Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Etnobotani adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik Secara
menyeluruh Antara masyarakat lokal dan lingkungannya meliputi system pengetahuan
tentang sumber daya alam tumbuhan. Hutan tropika adalah salah satu sumber alam hutan
yang terluas di dunia yang diharapkan dapat terus berperan sebagai paru-paru dunia yang
mampu meredam perubahan iklim global (Tim Studi Etnobotani, 2004).Dharmono (2007)
menambahkan bahwa etnobotani merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan
dalam keperluan sehari-hari dan adat suku bangsa. Dapat disimpulkan bahwa etnobotani
merupakan ilmu yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan secara tradisional, baik
penggunaan tumbuhan, pengerjaanya, serta pengelompokan. Semua bahan dan alat yang
dimanfaatkan merupakan produk etnobotani.
Ritual adalah serangkaian tindakan yang selalu melibatkan agama atau magic, yang
kemudian dimantapkan melalui tradisi. Ritual ini tidak sama persis dengan pemujaan,
karena ritual adalah tindakan yang bersifat keseharian. (Winnick dalam Nur Syam : 2005).
Ritual adalah suatu hal yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan spritual dengan
suatu tujuan tertentu. (Situmorang : 2004)

B. Rumusan masalah
Dalam rumusan ini akan dibahas tentang :
1. Apa pengertian dari ritual adat ?
2. Bagaimana cara mengelolah tanaman ritual adat pada masyarakat ?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian ritual adat
2. Mengetahui cara mengelolah tanaman ritual adat pada masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ritual adat


Definisi ritual adalah suatu perilakumtertentu yang sifatnya formal dan dilakukan
dalam waktu tertentu dengan cara yang berbeda. Ritual bukanlah hanya sekedar rutinitas
yang bersifat teknis saja, melainkan tindakan yang didasarkan pada keyakinan regilius
terhadap suatu kekuasaan atau kekuatan mistis (Victor Turner). Ritual keagamana adalah
segala macam tindakan manusia untuk mendekatkan diri kepada yang ghaib dengan
tujuan mengharapkan adanya suatu kebahagiaan di dunia maupun kehidupan setelah mati
yang diyakininya dengan sepenuh hati dan didasarkan atas kepercayaan terhadap agama
yang dianutnya.
Acara ritualnya bisa saja dibuat sekali dua minggu atau kapanpun itu. Namanya
sudah tradisi pasti sudah dijadwalkan sebagaimana mestinya. Ada tiga tujuan
dilakukannya sebuah ritual, yakni:
1. Sebagai bentuk pendekatan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa
dilimpahi kasih, rahmat, kesejahteraan, keselamatan, dan sukacitaSebagai bentuk
rasa syukur atas apa yang telah siberikan Sang Pencipta
2. Sebagai bentuk sembah sujud dan doa minta ampun atas kesalahan dan dosa yang
telah kita perbuat sebelumnya
3. Sebagai bentuk sembah sujud dan doa minta ampun atas kesalahan dan dosa yang
telah kita perbuat sebelumnya

B. Cara mengelolah tanaman ritual


Pesta Bakar Batu mempunyai makna tradisi bersyukur yang unik dan khas. Dan
merupakan sebuah ritual tradisional Papua yang dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur
atas berkat yang melimpah, pernikahan, penyambutan tamu agung, dan juga sebagai
upacara kematian. Selain itu, upacara ini juga dilakukan sebagai bukti perdamaian setelah
terjadi perang antar-suku.
Sesuai dengan namanya, dalam memasak dan mengolah makanan untuk pesta
tersebut, suku-suku di Papua menggunakan metode bakar batu. Tiap daerah dan suku di
kawasan Lembah Baliem memiliki istilah sendiri untuk merujuk kata bakar batu.
Masyarakat. Paniai menyebutnya dengan gapii atau ‘mogo gapii‘, masyarakat Wamena
menyebutnya kit oba isago, sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan barapen.
Namun tampaknya barapen menjadi istilah yang paling umum digunakan. Pesta Bakar
Batu juga merupakan ajang untuk berkumpul bagi warga. Dalam pesta ini akan terlihat
betapa tingginya solidaritas dan kebersamaan masyarakat Papua. Makna lain dari pesta
ini adalah sebagai ungkapan saling memaafkan antar-warga.

Prosesi Pesta Bakar Batu biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan, bakar
babi, dan makan bersama. Tahap persiapan diawali dengan pencarian kayu bakar dan batu
yang akan dipergunakan untuk memasak. Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan
sebagai berikut, pada bagian paling bawah ditata batu-batu berukuran besar, di atasnya
ditutupi dengan kayu bakar, kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya lebih kecil, dan
seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu. Kemudian tumpukan tersebut
dibakar hingga kayu habis terbakar dan batuan menjadi panas. Semua ini umumnya
dikerjakan oleh kaum pria.
Pada saat itu, masing-masing suku menyerahkan babi. Lalu secara bergiliran kepala
suku memanah babi. Bila dalam sekali panah babi langsung mati, itu merupakan pertanda
bahwa acara akan sukses. Namun bila babi tidak langsung mati, diyakini ada yang tidak
beres dengan acara tersebut. Apabila itu adalah upacara kematian, biasanya beberapa
kerabat keluarga yang berduka membawa babi sebagai lambang belasungkawa. Jika tidak
mereka akan membawa bungkusan berisi tembakau, rokok kretek, minyak goreng,
garam, gula, kopi, dan ikan asin. Tak lupa, ketika mengucapkan belasungkawa
masingmasing harus berpelukan erat dan berciuman pipi.
Di lain tempat, kaum wanita menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak. Babi
biasanya dibelah mulai dari bagian bawah leher hingga selangkang kaki belakang. Isi
perut dan bagian lain yang tidak dikonsumsi akan dikeluarkan, sementara bagian yang
akan dimasak dibersihkan. Demikian pula dengan sayur mayur dan umbi-umbian.
Kaum pria yang lainnya mempersiapkan sebuah lubang yang besarnya berdasarkan
pada banyaknya jumlah makanan yang akan dimasak. Dasar lubang itu kemudian dilapisi
dengan alang-alang dan daun pisang. Dengan menggunakan jepit kayu khusus yang
disebut apando, batu-batu panas itu disusun di atas daun-daunan. Setelah itu kemudian
dilapisi lagi dengan alang-alang. Di atas alang-alang kemudian dimasukan daging babi.
Kemudian ditutup lagi dengan dedaunan. Di atas dedaunan ini kemudian ditutup lagi
dengan batu membara, dan dilapisi lagi dengan rerumputan yang tebal. Menata Batu
Menggunakan Apando Setelah itu, hipere (ubi jalar) disusun di atasnya. Lapisan
berikutnya adalah alang-alang yang ditimbun lagi dengan batu membara. Kemudian
sayuran berupa iprika atau daun hipere, tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya),
nahampun (labu parang), Dan towabug atau hopak (jagung) diletakkan di atasnya. Tidak
cukup hanya umbiumbian, kadang masakan itu akan ditambah dengan potonganbarugum
(buah). Selanjutnya lubang itu ditimbun lagi dengan rumput dan batu membara. Teratas
diletakkan daun pisang yang ditaburi tanah sebagai penahan agar panas dari batu tidak
menguap.
Sekitar 60 hingga 90 menit masakan itu sudah matang. Setelah matang, rumput akan
dibuka dan makanan yang ada di dalamnya mulai dikeluarkan satu persatu, kemudian
dihamparkan di atas rerumputan. Sesudah makanan terhampar di atas, ada orang yang
akan mengambil buah merah matang. Buah itu diremas-remas hingga keluar pastanya.
Pasta dari buah merah dituangkan di atas daging babi dan sayuran. Garam dan penyedap
rasa juga ditaburkan di atas hidangan.
Kini tibalah saatnya bagi warga untuk menyantap hidangan yang telah matang dan
dibumbui. Semua penduduk akan berkerumun mengelilingi makanan tersebut. Kepala
Suku akan menjadi orang pertama yang menerima jatah berupa ubi dan sebongkah daging
babi. Selanjutnya semua akan mendapat jatah yang sama, baik laki-laki, perempuan,
orang tua, maupun anak-anak. Setelah itu, penduduk pun mulai menyantap makanan
tersebut. Tradisi bakar batu merupakan salah satu tradisi penting di Papua yang berupa
ritual memasak bersama-sama Bakar Batu (Barapen) di Lembah Baliem,Jayawijaya,
Papua warga satu kampung yang bertujuan untuk bersyukur, bersilaturahim
(mengumpulkan sanak saudara dan kerabat, menyambut kebahagiaan (kelahiran,
perkawinan adat, penobatan kepala suku), atau untuk mengumpulkan prajurit untuk
berperang. Tradisi Bakar Batu umumnya dilakukan oleh suku pedalaman/pegunungan,
seperti di Lembah Baliem, Paniai, Nabire, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang,
Jayawijaya, Dekai, Yahukimo dll. Disebut Bakar Batu karena benar-benar batu dibakar
hingga panas membara, kemudian ditumpuk di atas makanan yang akan dimasak.
Namun di masing-masing tempat/suku, disebut dengan berbagai nama, misalnya
Gapiia (Paniai), Kit Oba Isogoa (Wamena), atau Barapen (Jayawijaya). Ritualnya sebagai
berikut:
1. batu ditumpuk di atas Ritual perapian dan dibakar sampai kayu bakar habis terbakar
dan batu menjadi panas (kadang sampai merah membara.
2. bersamaan dengan itu, warga yg lain menggali lubang yang cukup dalam batu
panas tadi dimasukkan ke dasar lubang yg sudah diberi alas daun pisang dan alang-
alang
3. Di atas batu panas itu ditumpuklah daun pisang, dan di atasnya diletakkan daging
babi yg sudah diiris-iris
4. Di atas daging babi ditutup daun pisang, kemudian di atasnya diletakkan batu panas
lagi dan ditutup daun
5. Di atas daun, ditaruh ubi jalar (batatas), singkong (hipere), dan sayur2an lainya dan
ditutup daun lagi
6. Di atas daun paling atas ditumpuk lagi batu panas dan terakhir ditutup daun pisang
dan alang-alang
Babi yang akan dimasak tidak langsung disembelih, tapi dipanah terlebih dahulu.
Bila babi langsung mati, maka pertanda acara akan sukses, tapi bila tidak langsung mati,
maka pertanda acara tidak bakalan sukses. Setelah matang, biasanya setelah dimasak
selama 1 jam, semua anggota suku berkumpul dan membagi makanan untuk dimakan
bersama di lapangan tengah kampung, sehingga bias mengangkat solidaritas dan
kebersamaan rakyat Papua
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Definisi ritual adalah suatu perilakumtertentu yang sifatnya formal dan
dilakukan dalam waktu tertentu dengan cara yang berbeda. Ritual bukanlah hanya
sekedar rutinitas yang bersifat teknis saja, melainkan tindakan yang didasarkan pada
keyakinan regilius terhadap suatu kekuasaan atau kekuatan mistis (Victor Turner).
Ritual keagamana adalah segala macam tindakan manusia untuk mendekatkan diri
kepada yang ghaib dengan tujuan mengharapkan adanya suatu kebahagiaan di dunia
maupun kehidupan setelah mati yang diyakininya dengan sepenuh hati dan
didasarkan atas kepercayaan terhadap agama yang dianutnya.
Namun di masing-masing tempat/suku, disebut dengan berbagai nama,
misalnya Gapiia (Paniai), Kit Oba Isogoa (Wamena), atau Barapen (Jayawijaya).
Ritualnya sebagai berikut:
1. batu ditumpuk di atas Ritual perapian dan dibakar sampai kayu bakar habis
terbakar dan batu menjadi panas (kadang sampai merah membara.
2. Bersamaan dengan itu, warga yg lain menggali lubang yang cukup dalam
batu panas tadi dimasukkan ke dasar lubang yg sudah diberi alas daun
pisang dan alang- alang.
3. Di atas batu panas itu ditumpuklah daun pisang, dan di atasnya diletakkan
daging babi yg sudah diiris-iris
4. Di atas daging babi ditutup daun pisang, kemudian di atasnya diletakkan
batu panas lagi dan ditutup daun
5. Di atas daun, ditaruh ubi jalar (batatas), singkong (hipere), dan sayur2an
lainya dan ditutup daun lagi
6. Di atas daun paling atas ditumpuk lagi batu panas dan terakhir ditutup daun
pisang dan alang-alang

Babi yang akan dimasak tidak langsung disembelih, tapi dipanah terlebih dahulu. Bila
babi langsung mati, maka pertanda acara akan sukses, tapi bila tidak langsung mati, maka
pertanda acara tidak bakalan sukses. Setelah matang, biasanya setelah dimasak selama 1
jam, semua anggota suku berkumpul dan membagi makanan untuk dimakan bersama di
lapangan tengah kampung, sehingga bias mengangkat solidaritas dan kebersamaan rakyat
Papua

Anda mungkin juga menyukai