FISTULA ANI
Disusun Oleh:
Rizki Februamina Yanti
20100310090
Pembimbing:
dr. Ita Rima Rahmawati, Sp. Rad
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R Tanggal pemeriksaan : 5 Oktober 2015
Usia : 37 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : tidak diketahui
Alamat : Sidomukti, Salatiga
No. RM : 15-16-121367
B. ANAMNESIS
- Keluhan Utama: keluar nanah saat BAB
- Anamnesis Sistem
Sistem serebrospinal : tidak ada keluhan
Sistem respiratorius : tidak ada keluhan
Sistem kardiovaskuler : tidak ada keluhan
Sistem gastrointestinal : keluar nanah saat BAB
Sistem anogenital : tidak ada keluhan
Sistem muskuloskeletal : tidak ada keluhan
Sistem integumentum : suhu teraba hangat, terdapat seperti bisul pada pantat
kanan
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis (GCS 15)
Vital Sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Suhu : 36,5 0C
Nadi : 72 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi nafas : 20 x/menit.
Pemeriksaan Sistemik
Kepala : Tidak terdapat jejas maupun massa.
Wajah : tidak terdapat kelainan.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), subkonjungtiva
bleeding (-/-), oedem periorbita (-/-).
Nasal : tidak terdapat kelainan.
Mulut : tidak terdapat kelainan.
Leher : tidak terdapat pembesaran limfonodi, kaku kuduk (-).
Abdomen
Inspeksi :tampak datar, distended (-), massa (-), sikatrik (-),
hiperpigmentasi (-),
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
Auskultasi : bising usus (+) normal.
Perkusi : timpani (+).
Ekstremitas : akral hangat perfusi baik, CRT < 2 detik, edema (-/-).
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan Radiologi
Gambar 1. Foto polos pelvis Gambar 2. Foto fistulografi posisi
proyeksi AP, dengan tanda lokasi lateral, post pemberian kontras
fistula pada fistula
Interpretasi Hasil
1. Pada foto polos, dipasang marker pada ujung lesi (di perianal). Tak tampak gambaran
lesi lusen maupun opaq di sekitar marker. Sistema tulang intact.
2. Dimasukkan bahan kontras iodine melalui abocath no. 22, abocath hanya masuk + 3
mm dari permukaan lesi. Bahan kontras tampak refluks ke permukaan (cutis), tak
tampak aliran bahan kontras ke intramuscular maupun ke anal / deep soft tissue.
KESAN
1. Gambaran sinus perianal
2. Tak tampak gambaran fistula cutocutan maupun enterocutan
E. DIAGNOSA KLINIS
Fistula ani
dd/ abses perianal, sinus perianal
G. PENATALAKSANAAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Perianal
Kanalis anal merupakan bagian akhir dari kolon dan rektum, yang berawal
dari diafragma pelvis yang melewati otot levator ani dan berakhir pada pinggiran anal.
Kanalis ini mempunyai panjang sekitar 4 cm. Dinding otot dari kanal anal merupakan
kelanjutan dari lapisan otot sirkuler rektum yang kemudian menebal dan membentuk
sfingter internal.
Secara anatomis, kanal anal memanjang dari tepi anal sampai ke linea
dentata. Tetapi, untuk alasan praktis, ahli bedah terkadang mendefinisikan kanal anal
memanjang dari tepi anal sampai ke cincin anorektal. Cincin anorektal teraba saat rectal
toucher sekitar 1 1,5 cm di atas linea dentata.
Pinggiran atau tepi anal merupakan pertemuan antara anoderm dan kulit
perianal. Anoderm merupakan epitel tersendiri yang kaya akan saraf tapi kurang dalam
perangkat kulit (folikel rambut, kelenjar sebasea). Linea dentata atau linea pectinata yang
merupakan pertemuan mucocutaneus sebenarnya, terletak 1 1,5 cm di atas pinggiran
anal. Terdapat zona transisional atau cloacogenik sebesar 6-12 mm di atas linea dentata
yang merupakan peralihan epitel squamosa anoderm menjadi kuboidal dan kemudian
epitel kolumnar.
Kanal anal dikelilingi oleh sebuah sfingter eksternal dan internal yang
keduanya menjalankan mekanisme sfingter anal. Sfinter internal merupakan kelanjutan
dari bagian dalam otot polos sirkuler rektum, merupakan otot involunter dan normalnya
berkontraksi saat istirahat. Bidang/ruang intersfingterik menggambarkan kelanjutan
fibrosa dari lapisan otot polos longitudinal rektum.
Sfingter eksternal merupakan otot volunter berlurik, yang terbagi menjadi 3
putaran bentuk U (subkutaneus, superfisial, dan profunda), namun bekerja sebagai satu
kesatuan. Sfingter eksternal merupakan kelanjutan dari otot-otot levator dari dasar pubis,
khususnya otot puborectalis. Putaran paling atas terbentuk dari otot puborektalis yang
berasal dari pubis. Putaran di tengah terbentuk oleh otot sfingter eksternal superfisial,
yang berasal dari ujung coccyx atau ligamentum anacoccygeal. Putaran terbawah
tersusun oleh lapisan subkutaneus dari otot sfingter eksternal. Otot puborektalis berasal
dari pubis dan menyatu pada posterior dari rektum. Normalnya, sfingter berkontraksi
menghasilkan penyudutan 80o dari sudut pertemuan anorektal.
C. Epidemiologi
Fistula ani sering terjadi pada laki laki berumur 20 40 tahun, berkisar 1-3
kasus tiap 10.000 orang. Sebagian besar fistula terbentuk dari sebuah abses (tapi tidak
semua abses menjadi fistula). Sekitar 40% pasien dengan abses akan terbentuk fistula.
D. Etiologi
Penyebab fistula ani pada sebagian besar kasus adalah adanya abses
anorektal, atau adanya infeksi kelenjar pada anus (anal cryptglandular).
Fistula ani dapat juga terjadi secara sekunder akibat inflamasi kronik pada
usus (seperti pada Chrons disease, Irritable Bowl Syndrome (IBS), diverkulitis, kolitis
ulseratif, tuberkulosis usus), HIV-AIDS, kanker rektum, fissura anal, terapi radiasi,
infeksi actinomycoses, infeksi chlamydial, dan infeksi lain pada daerah ano-rektal.
E. Patofisiologi
Pada daerah setinggi dentate line pada kanalis anal, terdapat 8 10 kelenjar
yang tersusun melingkar. Kelenjar-kelenjar ini menembus sfingter interna dan berakhir di
intersphincteric plane, sehingga jika terjadi infeksi pada kelenjar-kelenjar tersebut dapat
menjalar ke celah intramuscular.
Mayoritas penyakit supurativ anorektal terjadi karena infeksi dari kelenjar
anus (cyptoglandular). Kelenjar ini terdapat di dalam ruang intersphinteric. Diawali
kelenjar anus terinfeksi, sebuah abses kecil terbentuk di daerah intersfincter. Abses ini
kemudian membengkak dan fibrosis, termasuk di bagian luar kelenjar anus di garis
kripte. Ketidakmampuan abses untuk keluar dari kelenjar tersebut akan mengakibatkan
proses peradangan yangmeluas sampai perineum, anus atau seluruhnya, yang akhirnya
membentuk abses perianal dan kemudian menjadi fistula.
F. Klasifikasi
Aturan Goodsall menerangkan hubungan antara lokasi bukaan external pada
fistula ani dengan lokasi bukaan internal (regio canal analis). Goodsall membagi anus
menjadi 2 melalui potongan coronal, sehingga timbul garis khayalan yang disebut garis
transversal anal dan terbentuk bagian anterior dan posterior.
Menurut aturan Goodsall, apabila bukaan external berada di posterior dari garis
transversal, maka akan terbentuk traktus yang melengkung menuju garis tengah
posterior. Apabila bukaan external berada di anterior, maka traktus yang terbentuk akan
mengikuti garis radial lurus menuju linea dentata. Tetapi pengecualian pada bukaan
externa anterior yang berada >3 cm dari tepi anal, maka traktus yang terbentuk akan
melengkung ke garis tengah posterior. Gambaran yang terkahir ini hampir selalu berasal
dari traktus primer atau sekunder dari garis tengah posterior yang konsisten dengan
horseshoe-shaped yang terbentuk sebelum akhirnya membuka bukaan external.
Gambar 6. Berbagai Gambaran Aturan Goodsall untuk
Mengidentifikasi Bukaan Internal pada Fistula Ani
Aturan Goodsall ini hanya dapat digunakan pada kasus-kasus sederhana. Pada
kebanyakan kasus, fistula yang terbentuk hampir selalu indirek. Dan yang paling sering
ditemui adalah fistula anterior yang letaknya >3 cm dari tepi anal.
Klasifikasi lain menurut Parks dkk, terdapat 4 bentuk dasar fistula ani
berdasarkan hubungan antara fistula dengan otot-otot sfingter ani, yaitu:
1. Fistula intersfingterik
Fistula jenis ini diakibatkan oleh abses perianal dan merupakan tipe yang
paling sering terjadi (70% dari kasus fistula ani). Traktus dari fistula berjalan
di ruang intersfingterik. Pada fistula ini dapat ditemukan traktus buntu yang
tinggi dengan arah ke atas dari ruang sfingterik menuju ruang supralevator.
Bukaan eksternal biasanya pada kulit perianal yang dekat dengan tepi anal.
2. Fistula transsfingterik
Merupakan fistula tersering kedua (23% dari seluruh kasus fistula).
Umumnya merupakan akibat dari abses ischiorectal. Traktus fistula berjalan
dari ruang intersfingterik melewati sfingter external, menuju ke dalam fossa
ischiorectal, kemudian berakhir di kulit perianal. Fistula jenis ini dapat
melibatkan hampir seluruh sfingter eksternal atau hanya bagian
superficialnya saja. Dapat juga ditemukan traktus buntu yang tinggi dan
dapat mencapai apeks dari fossa ischiorectal atau dapat memanjang melalui
otot levator ani dan ke dalam pelvis.
Gambar 7. Fistula intersfingterik, fistula transsfingterik, dan
fistula transsfingterik yang memanjang ke atas
3. Fistula suprasginterik
Fistula jenis ini diakibatkan oleh abses supralevator dan mencakup 5% dari
semua jenis fistula. Traktus berjalan di atas puborectalis setelah naik, seperti
abses intersfingterik. Traktus kemudian berbelok ke arah bawah lateral
menuju sfingter eksternal dalam ruang ischioanal dan kulit perianal. Traktus
buntu dapat juga ditemukan pada fistula ini dan mengakibatkan pemanjangan
bentuk tapal kuda.
4. Fistula ekstrasfingterik
Merupakan jenis fistula yang paling jarang (2% dari semua kasus fistula).
Pada fistula ini, traktus terdapat di luar dari kompleks sfingter. Traktus
berjalan dari rectum di atas levator ani dan melewatinya untuk menuju ke
kulit perianal melalui ruang ischioanal. Fistula ini dapat terjadi karena
penetrasi dari benda asing pada rectum disertai drainase melalui levator,
akibat cedera penetrasi pada perineum (akibat penyakit Crohn, atau kanker
dan penatalaksanaannya). Penyebab paling sering adalah akibat iatrogenik
sekunder.
Gambar 8. Fistula suprasfingterik, fistula ekstrasfingterik, dan
fistula tapal kuda
Klasifikasi yang terbaru saat ini berbeda dengan klasifikasi menurut Parks dkk
yang tidak memasukkan fistula subkutan ke dalam tipe fistula ani. Karena fistula
subkutan tidak berasal dari cryptoglandular, tetapi biasanya disebabkan oleh fissura anal
yang belum sembuh atau post tindakan anorektal (misal: hemoroidektomi atau
sfingterektomi). Adapun pembagiannya sebagai berikut:
1. Subkutan
2. Submuskular (intrasfingterik, transsfingterik rendah)
3. Kompleks (transsfingterik tinggi, suprasfingterik, ekstrasfingterik, multiple
tracts,rekuren)
4. Stadium II
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perianal, dapat ditemukan 1/lebih bukaan external.
Pemeriksa harus memeriksa keseluruhan perineum untuk mencari bukaan eksternal
yang akan tampak seperti sinus terbuka atau elevasi jaringan granulasi. Pada rectal
toucher dapat ditemukan traktus fibrosa atau uliran di bawah kulit, indurasi fistula,
dan bukaan internal. Pengeluaran pus secara spontan dapat terlihat atau terjadi saat
penekanan dengan jari tangan.
Gambar ... Menelusuri traktus fistula dengan probe untuk mencari
bukaan primernya
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Fistulografi
Merupakan pemeriksaan secara radiografi dengan menggunakan
kontras media dari saluran abnormal yang menghubungkan antara 2 area di
bagian tubuh. Pemeriksaan ini dilakukan dengan maksud untuk
memperlihatkan arah dan hubungan fistula, lokasi, luas, dan panjang dari
fistula.
Indikasi dilakukan pemeriksaan ini adalah pada penyakit kronik,
infeksi anatomi post operasi, carcinoma, kelainan kongenital, diverculitis.
Kontraindikasi pemeriksaan ini adalah pada infeksi berat fistula dengan nyeri
yang hebat dan alergi pada bahan kontras. Bahan dan alat yang dibutuhkan
adalah sebagai berikut:
1) Peralatan radiologi dan proteksi radiasi
Pesawat rontgen dengan fuoroscopy dan TV monitor
Apron, kacamata Pb, dan handscoon Pb
Kaset
Kacamata lompe
2) Peralatan steril
Hands coon sterile
Spuit (ukuran tergantung kebutuhan)
Lacrimal probe
Haas steril
Klem
3) Peralatan unsteril:
Cairan antiseptik
Plester
Bahan kontras: urografin 60%
Gambar 10.
Gambaran USG yang
menunjukkan adanya
abses di kelenjar
sekitar kanal anal
kanan kiri
USG endoanal memberikan gambaran yang baik dari daerah anal dan
sangat akurat dalam mengidentifikasi pengumpulan cairan dan traktus fistula,
tetapi masih susah untuk mengidentifikasi bukaan internal.
c. Barium Enema
Dilakukan jika terdapat fistula multipel, untuk mendeteksi adanya
inflamasi dari usus atau tidak. Indikasi pemeriksaan ini adalah jika terdapat
keluhan adanya perubahan pola defekasi, adanya darah dalam feses atau saat
buang air besar, dan tanda-tanda inflamasi pada saluran pencernaan lainnya.
Pada fistula ani, pemeriksaan ini digunakan untuk menyingkirkan diagnosis
inflamasi pada usus.
d. Manometri Anorektal
Fungsi pemeriksaan ini adalah untuk menguji kekuatan otot-otot
rektum dan anus. Otot-otot ini normalnya mengencang untuk menahan
gerakan feces dan mengendur untuk melewatkannya. Dalam tes ini, sebuah
tabung kecil ditempatkan ke dalam rektum, lalu tekanan di dalam anus dan
rektum diukur. Tes akan memberikan informasi kekuatan dan koordinasi
kontraksi anal dan rektal. Manometri anorektal bermanfaat untuk
mengevaluasi konstipasi dan masalah anus dan rektum lainnya.
e. CT-Scan
Dilakukan tanpa dan dengan kontras intravena dan rektal. Pemeriksaan
ini sangat berguna untuk mengidentifikasi abses-abses anorektal dengan letak
dalam, tetapi jarang digunakan untuk evaluasi preoperatif fistula ani. CT-Scan
memberikan resolusi yang kurang baik dalam memberi gambaran jaringan
lunak, sehingga aulit memberikan gambaran fistula berkaitan dengan otot-otot
sfingter dan levator, khususnya potongan axial.
f. MRI
MRI mempunyai resolusi jaringan yang bagus dan kapabilitisa
multiplanar sehingga sangat akurat dalam mengidentifikasi bukaan internal
dan traktus fistula. Beberapa penelitian menunjukkan hasil MRI 80-90%
mendekati penemuan saat operasi, sehingga MRI menjadi pilihan utama dalam
mengidentifikasi fistula yang kompleks. Walaupun MRI lebih baik daripada
USG, tetapu USG lebih murah dan dapat digunakan saat operasi sebagai
guiding.
H. Diagnosa Banding
1. Hidranitis Supurativa
Merupakan radang kelenjar keringat apokrin yang membentuk fistula multiple
subkutan. Predileksi di perineum, perianal, ketiak, dan tidak meluas ke struktur
yang lebih dalam.
2. Sinus Pilonidalis
Terdapat di lipatan sacrocoxygeal, berasal dari rambur dorsal os coxygeus.
Gesekan rambut menyebabkan peradangan dan infeksi akut hingga terbentuk abses
dan fistula setelah abses pecah.
3. Fistula Proktitis
Dapat terjadi pada morbus crohn, TBC, amoebiasis, infeksi jamur, diverkulitis.
Terkadang disebabkan oleh benda asing atau trauma.
I. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Terapi medikamentosa dengan pemberian analgetik, antipiretik, serta antibiotik
profilaksis jangka panjang untuk mencegah fistula rekuren.
2. Terapi pembedahan
a. Fistulotomi
Insisi fistula dari bukaan primer sampai sekundernya, lalu dibiarkan terbuka
untuk sembuh per sekundam intentionem. Fistulotomi merupakan terapi yang
paling dianjurkan.
b. Fistulektomi
Jaringan granulasi dieksisi seluruhnya dan membiarkannya terbuka juga.
3. Seton
Terapi menggunakan seutas benang atau karet yang diikatkan melalui saluran
fistula dan ditinggalkan selama beberapa bulan hingga terlepas sendiri.
5. Fibrin glue
Menyuntikkan perekat khusus (Anal Fistula Plug / AFP) ke dalam saluran fistula
yang merangsang jaringan alamiah dan dapat diserap oleh tubuh.
Pasca Operasi
Pada operasi fistula simple, pasien dapat dipulangkan pada hari yang sama
setelah fistulotomi/fistulektomi. Namun pada fistula kompleks, mungkin membutuhkan
rawat inap. Setelah operasi mungkin akan terdapat sedikit darah ataupun cairan dari luka
operasi untuk beberapa hari, terutama saat buang air besar.
Perawatan luka pasca operasi meliputi sitz bath (merendam daerah pantat
dengan cairan antiseptik), dan penggantian balutan secara rutin. Obat-obatan yang
diberikan untuk rawat jalan antara lain antibiotika, analgetik dan laksatif. Aktivitas sehari
hari umumnya tidak terganggu dan pasien dapat kembali bekerja setelah beberapa hari.
Pasien dapat kembali menyetir bila nyeri sudah berkurang. Pasien tidak dianjurkan
berenang sebelum luka sembuh, dan tidak disarankan untuk duduk diam berlama-lama.
Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluh keluar nanah saat buang air besar
dan terasa nyeri pada daerah sekitar anus sejak + 1 minggu terakhir. Pasien juga
merasa nyeri pada daerah sekitar anus terutama saat BAB. Dalam keadaan istirahat,
nyeri terasa berkurang dan nanah tidak keluar. Pasien tidak pernah demam
sebelumnya, ketika BAB tidak ada kotoran yang keluar dari selain anus, dan tidak
merasa gatal pada daerah sekitar anus, tidak ada keluhan serupa sebelumnya,
memiliki riwayat BAB berdarah dan susah BAB.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi berisi pus di daerah perianal,
sekitar 5-7 cm dari tepi anal dengan tepi agak merah. Saat ditekan mengeluarkan
nanah dan terasa sakit. Saat diraba tidak terasa ada traktus. Ketika memasukkan
jarum kontras, hanya sampai ujung dan sudah terasa buntu. Dan saat kontras
dimasukkan ke bukaan eksternal, terjadi refluks, hal ini mengarah bahwa tidak ada
saluran fistula atau saluran terlalu kecil. Dari hasil fistulografi juga tampak cairan
kontras refluks ke luar dan tidak ada aliran yang masuk ke subkutis ataupun ke arah
kanal anal.
Dari anamnesis menunjukkan gejala adanya fistula ani. Tetapi setelah
dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik dan penunjang, tidak didapatkan adanya
traktus fistula. Sehingga diagnosis fistula ani dapat disingkirkan. Dan diagnosa
mengarah kepada sinus perianal.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian antibiotik
karena abses menunjukkan adanya infeksi cenderung karena bakteri. Analgesik juga
dapat diberikan untuk mengurangi nyeri. Anjuran untuk menjaga kebersihan
terutama di daerah perianal dan menjaga pola makan sangat penting.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://emedicine.medscape.com/article/190234-overview#a4
2. http://emedicine.medscape.com/article/190234-overview#a10
3. https://id.scribd.com/doc/227829385/LK-Fistulografi#