Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Beton dirancang tidak hanya untuk memenuhi kriteria aspek ekonomi
yaitu rendah dalam biaya namun juga harus memenuhi kriteria aspek teknik agar
menghasilkan beton yang bermutu sesuai spesifikasi yang diinginkan . Berkaitan
dengan hal tersebut beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam proses
produksi beton diantaranya bahan dasar pembuatan beton itu sendiri, mix design
serta proses pencampuran, pengecoran hingga tahap finishing. Pada berbagai
proyek konstruksi seringkali pelaksana proyek menemukan kendala dalam proses
pengecoran yang membutuhkan waktu cukup lama karena pekerjaan beton cor
ditempat membutuhkan proses pemadatan untuk menghasilkan beton bermutu
baik. Tidak jarang ditemukan hasil pemadatan yang kurang baik karena alat
pemadat yang digunakan sulit menjangkau bagian-bagian sempit pada bekesting
dan pada beton bertulang yang memiliki jarak tulangan rapat. Solusi yang dapat
dipertimbangkan untuk mengantisipasi permasalahan tersebut adalah dengan
menggunakan Self Compacting Concrete (SCC). Dimana konsep awal SCC ini
diusulkan pertama kali oleh Prof. Hajime Okamura.
Self Compacting Concrete merupakan salah satu terobosan baru dalam
teknologi beton meskipun telah dikembangkan pertama kali sejak pertengahan
tahun 1980-an di Jepang dan baru mulai digunakan pada konstruksi beton pada
awal tahun 1990-an (Okamura et.al. 2003). SCC merupakan salah satu hasil
modifikasi beton yang memiliki karakteristik flowability yang tinggi sehingga
mampu mengisi ruang-ruang dalam cetakan tanpa proses pemadatan. Beton ini
terbuat dari agregat kasar berukuran maksimum 20 mm dengan jumlah
superplasticizer yang banyak tanpa proses pemadatan.
Mengingat bahwa SCC dibuat dengan spesifikasi yang berbeda dari beton
normal (konvensional) pada umumnya maka tentu akan berpengaruh pada sifat
mekanis beton yang nantinya akan dihasilkan. Sifat-sifat yang ditunjukkan oleh
SCC akan berbeda dari beton normal. Sebagai beton yang relatif baru jika

1
dibandingkan beton normal perlu peninjauan lebih lanjut mengenai sifat mekanis
SCC.
Pengenalan lebih jauh mengenai perilaku SCC telah banyak dilakukan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya.Variasi perlakuan terhadap beton ini sangat
mempengaruhi sifat dan karakteristik dari beton itu sendiri. Perilaku mekanis yang
sudah umum diselidiki dengan alat uji standar pada penelitian sebelumnya adalah
kuat tekan, kuat tarik dan kuat lentur baik itu dengan metode destruktif maupun
non destruktif. Penyelidikan lebih lanjut terhadap perilaku mekanis SCC
sebelumnya masih jarang dilakukan seperti modulus elastisitas statis dan dinamis,
poisson ratio serta bagaimana hubungan tegangan-regangan SCC. Pada penelitian
ini alat uji strain gauge dilengkapi data logger akan dimanfaatkan untuk
meninjau secara lebih detail perilaku-perilaku mekanis tersebut yang kemudian
akan dibandingkan dengan beton konvensional dengan harapan hasil akhir
penelitian yang didapatkan lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan Latar Belakang yang telah dijabarkan diatas, maka
didapatkan beberapa rumusan masalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana sifat mekanis dari SCC dibandingkan dengan beton
konvensional pada berbagai umur beton?
2. Bagaimana hubungan tegangan-regangan dan modulus elastisitas statis
dan dinamis dari beton konvensional dan SCC pada umur 28 hari?
3. Berapa nilai poisson ratio dari beton konvensional dan SCC pada
umur 28 hari?
4. Bagaimana korelasi antara nilai cepat rambat gelombang Ultrasonik
(UPV) terhadap umur beton pada beton konvensional dibandingkan
dengan SCC?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah:

2
1. Mengetahui sifat mekanis yang meliputi kuat tekan, kuat tarik,
modulus runtuh, modulus elastisitas statis dan dinamis, poisson ratio
serta hubungan tegangan-regangan dari SCC dibandingkan dengan
beton konvensional pada berbagai umur beton.
2. Mengetahui hubungan kecepatan rambat gelombang (UPV) dan sifat
mekanis untuk beton SCC dibandingkan dengan beton konvensional
pada berbagai umur beton.

1.4 Manfaat Penelitian


Dengan adanya penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan
beberapa manfaat:
1. Menambah informasi tentang perbedaan prilaku dari Self Compacting
Concrete dibandingkan dengan beton konvensional secara lebih detail
sehingga nantinya SCC ini dapat diperlakukan dengan benar agar
menghasilkan mutu yang baik.
2. Dapat menjadi bahan rujukan tambahan untuk penelitian selanjutnya
yang berhubungan dengan SCC.

1.5 Batasan Masalah


Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Pengujian terhadap sifat mekanis beton konvensional maupun SCC
meliputi pengujian terhadap kuat tekan, kuat tarik, modulus runtuh,
modulus elastisitas statis dan dinamis, poisson ratio dan hubungan
tegangan-regangan.
2. Pengujian kuat tekan dilakukan dengan metode destruktif dengan CTM
dan non destruktif dengan test UPV.
3. Pengujian dengan strain gauge dan data logger hanya dilakukan pada
benda uji kuat tekan umur 28 hari.
4. Metode mix design SCC mengacu pada standar EFNARC.
5. Kuat tekan rencana yang digunakan pada umur uji 28 hari yaitu 25
Mpa.

3
6. Umur pengujian beton normal dan SCC yang digunakan adalah 7 hari,
14 hari, 28 hari, dan 90 hari. Masing-masing menggunakan 3 buah
benda uji untuk masing-masing jenis beton pada umur yang sama.
7. Semen yang digunakan adalah semen Portland tipe 1 dengan merk
Tiga Roda.
8. Agregat kasar yang digunakan adalah kerikil alam tak dipecah dengan
ukuran maksimum 20 mm.
9. Faktor air semen yang digunakan adalah 0,44.
10. Benda uji untuk pengujian kuat tekan dan kuat tarik belah adalah
silinder dengan diameter 150 mm dan tinggi 300 mm sedangkan untuk
uji modulus runtuh menggunakan balok ukuran 150 x 150 x 600 mm
dan uji NDT(UPV) menggunakan kubus 200 x 200 mm.

4
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui prilaku mekanis
beton SCC kemudian dibandingkan dengan perilaku mekanis beton normal.
Perlakuan yang berbeda-beda pada setiap pengujian yang dilakukan menunjukkan
sifat-sifat mekanis beton SCC yang semakin beragam.
Arfiyani (2015) melakukan penelitian dengan mengevaluasi peningkatan
kuat tekan, cepat rambat gelombang dan nilai pantul pada SCC dan beton normal
dengan metode pengujian destruktif yaitu dengan menggunakan alat CTM dan
non destruktif dengan ultrasonik dan hammer. Beton normal dipadatkan dengan
alat penumbuk sedangkan SCC ditambahkan superplasticizer untuk mempercepat
pemadatannya. Pengujian dilakukan pada benda uji umur 7 hari, 28 hari dan 56
hari. Hasil dari penelitian ini menunjukkan kuat tekan SCC lebih besar dari beton
normal. Hal ini disebabkan karena adanya penambahan superplasticizer pada
SCC. Namun pada pengujian dengan ultrasonik kuat tekan SCC mengalami
penurunan yang cukup jauh pada umur uji 56 hari. Hal ini diduga karena adanya
kesalahan pembacaan data pada saat penelitian. Berdasarkan pengujian cepat
rambat gelombang pada umur uji 56 hari, kedua jenis beton ini dikategorikan
beton mutu baik karena nilai cepat rambat gelombangnya berada pada kisaran
3700-4600 m/dt sehingga disimpulkan bahwa semakin lama perawatan maka
semakin baik mutu beton yang dihasilkan.
Dewi (2014) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh rasio
panjang terhadap diameter fiber bendrat pada SCC dan SCC serat. Pengujian yang
dilakukan adalah pengujian terhadap kuat tarik dan modulus runtuh. Hasilnya kuat
tarik optimal dan modulus runtuh mengalami peningkatan pada rasio 71.
Maida (2015) dalam penelitiannya Optimasi Superplasticizer dengan
Pendekatan Chemical Base untuk Beton Memadat Sendiri, menyimpulkan bahwa
kadar superplasticizer 1,6 % dari berat semen sebagai kadar optimum yang

5
menghasilkan kuat tekan maksimum sebesar 35,386 Mpa dan kuat tarik belah
maksimum sebesar 4,411 MPa dengan nilai kuat tekan beton normal sebesar
37,084 MPa dan nilai kuat tarik belah maksimum beton normal 3,856 MPa.
Peneliti lainnya yaitu Desnerck et.al (2012) melakukan riset yang terfokus
pada hubungan Tegangan-Regangan SCC. Disimpulkan bahwa akibat beban-
beban uniaksial SCC memperlihatkan regangan puncak yang lebih besar daripada
beton konvensional. Desnerck melakukan risetnya menggunakan silinder dengan
rasio h/d=3. Hal ini tidak memenuhi standar yang umum berlaku yaitu h/d=2
(silinder 150x300 mm).
Arezoumandi (2013) pada risetnya dengan SCC dan beton konvensional
menyimpulkan bahwa bila dibandingkan dengan beton konvensional SCC
memperlihatkan karakteristik kuat tekan dan fracture energy yang lebih tinggi.
Kajian tersebut dilakukan dengan menggunakan komposisi bahan yang sama baik
beton konvensional maupun SCC, kecuali pada SCC hanya ditambahkan
superplasticizer untuk mendapatkan sifat passing, filling dan flowability.
Arezoumandi dalam studinya menggunakan silinder beton 100x200mm untuk
pengujian kuat tekan dan kuat tarik belah, baik SCC maupun untuk beton
konvensional. Prosedur pengujian yang dilakukannya mengikuti standar yang ada
namun ukuran silinder 100x200 ini tidak mengikuti ukuran standar pengujian
benda uji untuk beton yang umum digunakan baik ASTM maupun SNI.
Amalia (2009) melakukan studi eksperimental mengenai perilaku mekanis
beton normal dengan dry dust collector. Eksperimennya ditunjang dengan alat
strain gauge dilengkapi data logger. Perilaku mekanis yang diteliti meliputi kuat
tekan, kuat lentur, modulus elastisitas beton, poisson ratio dan hubungan
tegangan-regangan beton tersebut.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Pengertian Beton
Berdasarkan SNI 2847:2013 beton merupakan campuran semen Portland
atau semen hidrolis lainnya, agregat halus, agregat kasar dan air dengan atau tanpa
bahan campuran tambahan (admixture). Nawy (1985:8) mendefinisikan beton

6
sebagai sekumpulan interaksi mekanis dan kimiawi dari material pembentuknya.
Parameter-parameter yang mempengaruhi kekuatan beton adalah:
1. Kualitas semen
2. Proporsi semen terhadap campuran
3. Kekuatan dan kebersihan agregat
4. Interaksi atau adhesi antara pasta semen dengan agregat
5. Pencampuran yang cukup dari bahan-bahan pembentuk beton
6. Penempatan yang benar, penyelesaian dan pemadatan beton
7. Perawatan beton
8. Kandungan klorida tidak melebihi 0,15% dalam beton yang diekspos dan 1%
bagi beton yang tidak diekspos (Nawy, 1985:24).

2.2.2 Beton Normal


Beton yang paling umum digunakan adalah beton normal atau sering
disebut beton konvensional. Beton normal merupakan beton yang mempunyai
berat satuan 2200 kg/m3 sampai 2500 kg/m3 dan dibuat menggunakan agregat
alam yang dipecah atau tanpa dipecah (SNI 03-2847-2002).

2.2.3 Beton Memadat Sendiri (Self Compacting Concrete)


Beton memadat sendiri (Self Compacting Concrete) merupakan campuran
beton yang dapat memadat sendiri tanpa menggunakan bantuan alat vibrator untuk
memperoleh konsolidasi yang baik. Metode Self Compacting Concrete (SCC) ini
merupakan suatu hasil riset di Jepang pada awal tahun 1980-an dengan
menghasilkan suatu prototype yang cukup sukses pada tahun 1988 (Okamura dan
Ouchi 2003).
High range water reducer diperlukan untuk menghasilkan Self
Compacting Concrete dengan Workability dan flowability yang tinggi. Self
Compacting Concrete mensyaratkan kemampuan mengalir yang cukup baik pada
beton segar tanpa terjadi segregasi, sehingga viskositas beton juga harus
diperhatikan untuk mencegah terjadi segregasi (Okamura dan Ozawa, 1994).

7
Suatu beton dikatakan SCC apabila sifat dari beton segar memenuhi
kriteria sebagai berikut :
1. Filling Ability
Kemampuan campuran beton segar mengisi ruangan atau cetakan dengan
beratnya sendiri. Untuk mengetahui beton memiliki kemampuan filling maka
beton segar diuji dengan slump cone, dengan waktu yang diperlukan aliran beton
mencapai diameter 50 cm adalah 2 5 detik dan diameter maksimum yang
dicapai aliran beton 65 80 cm (EFNARC, 2002).

Gambar 2.1 Alat Slump Cone


2. Passing Ability
Kemampuan campuran beton segar untuk melewati celah celah antar
besi tulangan atau bagian celah yang sempit dari cetakan. Untuk mengetahui
beton memiliki kemampuan ini dilakukan uji menggunakan alat J-Ring dengan
mengukur perbedaan tinggi diluar dan didalam ring tidak lebih dari 0-10 mm
(EFNARC, 2005).

Gambar 2.2 J-Ring Test (EFNARC, 2002)

8
3. Segregation Resistance
Ketahanan campuran beton segar terhadap segregasi, untuk mengetahui
beton memiliki kemampuan ini dilakukan uji sieved stability test dengan
menggunakan saringan yang berdiameter 5 mm dan menghitung jumlah beton
segar yang lolos ayakan 5 mm.

Gambar 2.3 Sieved StabilityTest (EFNARC, 2005)


Beberapa metode evaluasi SCC dan cara pengujian sifatnya dapat dilihat pada
Table 2.1
Tabel 2.1 Uji Sifat dan Metode Evaluasi SCC
Karakteristik Metode Uji Ukuran Nilai
Slump-flow Total spread
Flowability/Fillingability
Kajima box Visual filling
T500 Flow time
V-funnel Flow time
Viscosity/Flowability
O-funnel Flow time
Orimet Flow time
L-box Passing ratio
U-box Hight difference
Passing ability
J-Ring Step height, total flow
Kajima box Visua passing ability
Penetration Depth
Segregation resistance Sieve Segregation Percent laitance
Settlement Column Segregation ratio
(EFNARC, 2005)

9
Keuntungan - keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan Self
Compacting Concrete (SCC) antara lain :
1. Mengurangi lamanya konstruksi dan besarnya upah pekerja.
2. Pemadatan dan penggetaran beton yang dimaksudkan untuk memperoleh
tingkat kepadatan optimum dapat dieliminir.
3. Mengurangi kebisingan yang mengganggu lingkungan sekitarnya.
4. Meningkatkan kepadatan elemen struktur beton dan bagian yang sulit

Konsep dasar yang diterapkan dalam proses produksi SCC ditunjukkan pada
Gambar 2.4

Gambar 2.4 Prinsip dasar produksi Self Compacting Concrete


(Dehn, Holschemacher, dan Weie, 2000)

2.2.4 Material Penyusun Beton


Pada dasarnya material penyusun SCC sama dengan material penyusun
beton konvensional. Hanya saja pada beton SCC dilakukan penambahan
admixture untuk memperoleh sifat beton segar SCC agar memenuhi kriteria
filling ability, passing ability dan segregation resistance.

10
2.2.4.1 Agregat
Kandungan agregat dalam campuran beton biasanya sangat tinggi.
Berdasarkan pengalaman, komposisi agregat tersebut berkisar 60%-70% dari berat
campuran beton.Walaupun fungsinya hanya sebagai pengisi, tetapi karena
komposisinya yang cukup besar, agregat inipun menjadi penting. Agregat dalam
campuran beton dapat berupa agregat alam dan agregat buatan (artificial
aggregates). Secara umum agregat dapat dibedakan berdasarkan ukurannya yaitu
agregat kasar dan agregat halus (Mulyono, 2004).
a. Agregat Kasar
Komposisi agregat kasar pada beton konvensional menempati 70 75%
dari total volume beton. Sedangkan dalam SCC agregat kasar dibatasi jumlahnya
sekitar kurang lebih 50% dari total volume beton. Pembatasan agregat ini
bertujuan agar beton bisa mengalir dan memadat sendiri tanpa alat pemadat
(Okamura dan Ouchi 2003).
Agregat kasar yang digunakan dalam SCC yaitu ukuran maksimum 20
mm. Agregat kasar dapat berupa kerikil sebagai hasil disintegrasi alami dari batu-
batuan atau berupa batu pecah yang diperoleh dari pemecahan batu. Pemeriksaan
yang dilakukan terhadap kerikil meliputi berat satuan, kadar air, berat jenis SSD,
penyerapan air, kadar lumpur, daya tahan terhadap keausan, dan modulus
kehalusan (FM).
Tabel 2.2 Syarat gradasi agregat kasar/kerikil
Persen butir yang lolos ayakan
Lubang
ayakan Besar butir maksimal Besar butir maksimal
40 (mm) 20 (mm)
(mm)

40 95-100 100

20 30-70 95-100

10 10-35. 25-55

4,8 0-5 0-10

Sumber : Tjokrodimuljo, 1996

11
b. Agregat Halus
Agregat halus adalah agregat yang semua butirnya menembus ayakan 4,8
mm. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasir meliputi berat satuan, kadar
air, berat jenis SSD, penyerapan air, kadar lumpur, dan modulus kehalusan
pasir (FM), umumnya modulus kehalusan pasir untuk beton berkisar antara 1,5
3,8 (Mulyono, 2003).
Tabel 2.3 Syarat gradasi agregat halus/pasir
Persen berat tembus kumulatif
Lubang ayakan
Zone I Zone II Zone III Zone IV
(mm)

10 100 100 100 100

4,8 90-100 90-100 90-100 95-100

2,4 60-95 75-100 85-100 95-100

1,2 30-70 55-100 75-100 90-100

0,6 15-34 35-59 60-79 80-100

0,3 5-20 8-30 12-40 15-50

0,15 0-10 0-10 0-10 0-15

Sumber : Tjokrodimuljo, 1996

2.2.4.2. Binder
Binder adalah bahan pengikat dalam campuran beton yang terdiri dari
semen dan bahan pengisi (filler), jika digunakan bahan pengisi. Salah satu jenis
binder adalah semen portland. Semen portland memiliki beberapa senyawa kimia
yang masing-masing memiliki sifat tersendiri.

2.2.4.2. Superplasticizer
Superplasticizer (high range water reducer admixture) yaitu bahan kimia
yang berfungsi mengurangi air sampai 12% atau bahkan lebih (ASTM C494-82).
Semua Superplasticizer juga memiliki kelemahan yang cukup mengkhawatirkan.

12
Flowability yang tinggi pada campuran beton yang mengandung superplasticizer
umumnya dapat bertahan sekitar 30 sampai 60 menit dan setelah itu berkurang
dengan cepat, yang sering disebut dengan slump loss.

2.2.4.3. Air
Air diperlukan pada pembuatan beton untuk memicu proses kimiawi
semen, membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pekerjaan beton.
Dalam mix design beton yang perlu diperhatikan adalah persentase perbandingan
air dengan semen yang biasa disebut faktor air semen (water cement ratio). Air
yang berlebihan akan menyebabkan banyak gelembung air setelah proses hidrasi
selesai, sedangkan jika kurang air menyebabkan proses hidrasi tidak tercapai
seluruhnya sehingga akan mempengaruhi kekuatan beton.
Untuk campuran beton, maka air yang digunakan harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu, terutama adanya batasan terhadap :
a. Air yang dipergunakan untuk pembuatan beton harus bersih, tidak boleh
mengandung minyak, asam alkali, garam-garam, zat organik atau bahan-bahan
lain yang dapat merusak beton maupun baja tulangan.
b. Tidak boleh mengandung klorida (Cl) > 500 mg per liter air.
c. Air tawar yang tidak dapat diminum tidak boleh dipakai untuk pembuatan
beton.

2.2.5 Sifat Mekanis Beton


Sifat mekanis beton keras dapat diklasifikasikan sebagai sifat jangka
pendek atau sesaat dan sifat jangka panjang. Sifat jangka pendek adalah kekuatan
tekan, tarik, geser dan kekakuan yang diukur dengan modulus elastisitasnya. Sifat
jangka panjang dapat diklasifikasikan dalam rangkak dan susut (Nawy, G., 2008).
Pada ulasan teori ini hanya akan dijabarkan mengenai sifat jangka pendek dari
beton karena berkaitan dengan tujuan penelitian ini.
a) Kekuatan tekan
Kekuatan tekan adalah kemampuan beton untuk menerima gaya tekan per
satuan luas. Kekuatan tekan beton ditentukan oleh pengaturan dari perbandingan

13
semen, agregat kasar dan halus, air dan berbagai jenis campuran. Perbandingan
dari air terhadap semen merupakan faktor utama didalam penentuan kekuatan
beton. Semakin rendah perbandingan air-semen, semakin tinggi kekuatan tekan.
Suatu jumlah tertentu air diperlukan untuk memberikan aksi kimiawi didalam
pengerasan beton. Kelebihan air meningkatkan kemampuan pengerjaan
(mudahnya beton untuk dicor) akan tetapi menurunkan kekuatan. Suatu ukuran
dari pengerjaan beton ini diperoleh dengan percobaan slump. Pada umumnya nilai
slump berkisar 75-100 mm. Penggetaran dalam campuran beton akan
meningkatkan mudahnya pengerjaan (Salmon dkk, 1993).
Kekuatan tekan (fc) ditentukan dengan silinder standar (berukuraan 6 in x
12 in) yang dirawat dibawah kondisi standar laboratorium pada kecepatan
pembebanan tertentu, pada umur 28 hari (Nawy, G., 2008).
Berdasarkan cara uji kuat tekan dengan silinder pada SNI 1974-2011 Kuat tekan
beton dihitung dengan persamaan (2-1) berikut:

fc = (2-1)

dengan:
fc = Kuat tekan (MPa)
P = Beban maksimum (N)
A = Luas bidang tekan (mm2)
b) Kekuatan tarik
Kekuatan tarik beton relatif rendah. Pendekatan yang baik untuk
menghitung kekuatan tarik beton fct adalah dengan rumus 0,10 fc < gct < 0,2
fc. kekuatan tarik lebih sulit diukur dibandingkan kekuatan tekan karena masalah
penjepitan (gripping) pada mesin. Ada sejumlah metode yang tersedia untuk
menguji kekuatan tarik dan yang paling sering digunakan adalah tes pembelahan
silinder atau tes brasil (Nawy, G., 2008).
Kekuatan tarik biasanya ditentukan dengan menggunakan percobaan
silinder dimana silinder yang ukurannya sama dengan benda uji dalam percobaan
tekan diletakkan pada sisinya diatas mesin uji dan beban tekan P dikerjakan secara
merata dalam arah diameter di sepanjang benda uji. Benda uji silinder akan

14
terbelah dua pada saat dicapainya kekuatan tarik. Besarnya kekukatan tarik
berkisar antara 10 - 15% dari kekuatan tekan.
fct = 6 fc sampai 7 fc psi untuk beton berbobot normal (2-2)
(Slamon dkk, 1993).
Besaran kuat tarik belah benda uji dihitung dengan persamaan (2-3) berikut:
2P
ft = LD (2-3)

dengan:
ft = Kuat tarik belah (MPa)
P = Beban maksimum yang diberikan (N)
L = Panjang benda uji silinder (mm)
D = Diameter benda uji silinder (mm)
c) Modulus runtuh beton
Untuk batang yang mengalami lentur, yang dipakai dalam desain adalah
besarnya modulus repture fr, bukan kekuatan pembelahan tarik ft. Modulus
repture ini diukur dari percobaan balok beton sederhana berpenampang bujur
sangkar 6 in dan bentangnya 18 in yang diberi beban pada 3 titik sesuai dengan
ASTM C-78. Modulus repture lebih besar daripada kekuatan pembelahan-tarik.
(Nawy, G., 2008).
Berdasarkan SNI 4431-2011 kuat lentur beton dapat dihitung dengan
rumus:

= untuk bidang patah didaerah pusat bentang (2-4)
2


= untuk bidang patah di luar pusat bentang (2-5)
2

d) Modulus elastisitas
Berbeda dengan baja, modulus elastisitas beton berubah-ubah menurut
kekuatan. Modulus elastisitas juga tergantung pada umur beton, sifat-sifat agregat
dan semen, kecepatan pembebanan, jenis dan ukuran dari benda uji (Salmon dkk,
1993). Modulus elastisitas beton didefinisikan sebagai kemiringan garis singgung
(slope dari garis lurus yang ditarik) dari kondisi tegangan nol ke kondisi tegangan
0,45 fc pada kurva tegangan-regangan beton.

15
Modulus elastisitas selain dipengaruhi oleh beban, dipengaruhi juga oleh
faktor lain seperti kelembaban benda uji beton, faktor air semen, umur beton, dan
temperaturnya. Hanya ada sedikit penelitian untuk menentukan modulus
elastisitas dalam keadaan tarik karena kekuatan tarik beton yang rendah dan
biasanya diabaikan dalam perhitungan. Bagaimanapun bisa diasumsikan dengan
batas-batas tertentu bahwa modulus elastisitasnya sama dengan keadaan tekan
(Nawy, G., 2008). Dalam perhitungan struktur boleh diambil modulus elastisitas
beton sebagai berikut:
Ec = 4700 fc untuk beton normal (2-6)
Ec = (Wc)1,5. 0,043 fcuntuk Wc = 1,5-2,5 (2-7)
Modulus elastisitas yang diperoleh dari pengujian NDT seperti pada uji
ultrasonic disebut dengan Modulus elastisitas dinamis sedangkan Modulus
elastisitas yang diperoleh dari pengujian destructive dikenal dengan Modulus
elastisitas statis. Modulus elastisitas statis (Ec) dan poisson ratio pada metode uji
standar dengan silinder dapat dihitung dengan persamaan:
(S2S1)
E= (2-8)
(20,000050)
(t2 t1)
= (2-9)
(2 0,00005)

dimana:
E = Modulus elastisitas beton (N/mm2)
P2
S2= Tegangan yang terjadi saat beban 40 % P maksimum, S2 =
A
P2= Beban pada saat 40 % Pmak
P1
S1= Tegangan yang terjadi saat regangan longitudinal mencapai 0,000050, S1 =
A
P1 = Beban pada saat regangan mencapai 0,00005 Psi.
2= Regangan longitudinal pada saat beban mencapai 40 % Pmak (P2).
= Poisson ratio
t1= Regangan transversal akibat S1
t2= Regangan transversal akibat S2
sedangkan modulus elastisitas dinamis (Ed) yang dapat diperoleh dari pengujian
NDT UPV diberikan pada persamaan berikut:
v2(1+v)(12v)
Ed = (2-10)
(1v)

16
Dimana:
Ed = Modulus elastisitas dinamis beton (N/mm2)
= Poisson ratio dinamis
= berat jenis beton (kg/m3)
V = kecepatan gelombang (km/s)

e) Poisson ratio
Poisson ratio merupakan perbandingan regangan arah lateral dengan
regangan aksial akibat pembebanan aksial dalam kondisi batas elastis. Nilai
poisson ratio beton normal berkisar antara 0,15 - 0,20. Namun demikian beberapa
hasil penelitian mendapatkan nilai poisson ratio beton normal antara 0,10 0,30
(R.Park dan T.Paulay, 1975).
f) Perilaku tegangan-regangan beton normal
Hubungan tegangan-regangan beton perlu diketahui untuk menurunkan
persamaan dalam analisis maupun desain struktur beton. Untuk mengetahui
perilaku hubungan tegangan-regangan beton didapat dari hasil pengujian tekan
terhadap silinder beton. Hubungan tegangan-regangan beton normal pada
pembebanan uniaksial yang diusulkan oleh E. Hognestad diperlihatkan pada
Gambar Pada daerah 0 < c< 0 , E. Hognestad memberikan persamaan sebagai
berikut :
2c c 2
fc= fc[ ( ) ]; 0= 2fc/Ec (2-11)
0 0
dengan:
fc: tegangan beton,
fc: Tegangan maksimum beton,
0: Regangan yang terjadi pada saat terjadi tegangan maksimum,
c :Regangan yang terjadi pada saat tegangan mencapai 85 % teganganmaksimum.
Pada daerah c > 0, persamaan hubungan tegangan regangannya merupakan

persamaan linier yang bergantung pada nilai 0 dan fc.


Dari gambar 2.5 terlihat bahwa pada kondisi tegangan mencapai 40 %
fc pada umumnya berbentuk linier. Pada saat tegangan mencapai 70 % fc
material beton banyak kehilangan kekakuannya yang menyebabkan diagram
menjadi tidak linier. Dari beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa tegangan

17
maksimum beton dicapai pada regangan tekan 0,002-0,0025. Regangan ultimit
pada saat beton hancur 0,003 0,008. Untuk perencanaan, SNI 03-2847 (2002)
menggunakan regangan tekan maksimum beton sebesar 0,003.

Gambar 2.5 Idealisasi Hubungan Tegangan-Regangan pada Beton yang


diusulkan oleh E.Hognestad

2.2.6 Metode Pengujian Beton Keras


Metode pengujian sifat mekanik dari beton yang telah mengeras dan
mengalami perawatan sesuai umur uji yang ditentukan dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu dengan metode destructive dan non destructive. Pada penelitian ini
akan dilakukan dua metode pengujian pada beton konvensional dan beton SCC.
a) Uji Merusak (Destructive Test)
Destructive test (DT) adalah pengujian yang sifatnya merusak benda uji,
sampel ditekan sampai pecah, dari situ diperoleh data kekuatan tekan dan tarik
beton dan sifat mekanik. Peralatan pengujian yang dapat digunakan untuk metode
ini adalah menggunakan mesin uji CTM (Compression Testing Machine). Alat ini
dipergunakan untuk mengetahui kuat tekan dan modulus elastisitas beton.
Pengujian lainnya adalah uji modulus runtuh dengan alat flexural and
transversting machine.
b) Uji Tak Merusak (Non Destructive Test)
Non destructivetest (NDT) adalah uji yang dilakukan tanpa merusak benda
uji, pelaksanaannya dapat dilakukan langsung dilapangan, hasilnya berupa data
kekuatan beton yang bersifat perkiraan.

18
Ada beberapa jenis peralatan pengujian yang dapat digunakan untuk
metode ini, salah satunya adalah pengujian dengan ultrasonik (Pundit).
Ultrasonic Pulse VelocityTest (Pundit) adalah pengujian kekuatan tekan beton
secara tidak langsung, melalui pengukuran kecepatan perambatan gelombang
ultrasonik longitudinal pada media beton.
Pundit plus yaitu alat yang digunakan untuk mengetahui adanya kerusakan
pada elemen struktur bangunan dengan cara merambatkan gelombang ultrasonik
langsung ke benda uji. Gelombang ultrasonik yang merambat dalam benda uji
akan mengalami penurunan kecepatan dan perubahan arah rambatan bila
gelombang tersebut melalui suatu bidang lemah atau ruang kosong yang terdapat
dalam benda uji tersebut. Kerusakan ini akan di indikasi dengan turunnya
kecepatan gelombang ultrasonik longitudinal.
Sistem kerja pundit adalah dengan menghitung waktu rambat gelombang
ultrasonik untuk melewati beton. Data yang diperoleh berupa waktu rambat
gelombang dalam satuan s (micro second). Kecepatan gelombang dapat dicari
dengan rumus (Lawson dkk, 2011) :
v=L/T (2-12)
Dari hasil perhitungan cepat rambat gelombang tersebut, kuat tekan beton dapat
diketahui dengan rumus sebagai berikut :
fc = 47,66 0,555 (2-13)
Tes UPV dapat digunakan untuk:
(1) mengetahui keseragaman kualitas beton,
(2) mengetahui kualitasstruktur beton setelah umur beberapa tahun,
(3) mengetahui kekuatan tekan beton, serta
(4) menghitung moduluselastisitas dan koefisien poisson beton (International
Atomic Energy Agency, 2002).
Adapun metode-metode yang dapat dilakukan dengan menggunakan alat pundit
adalah sebagai berikut :
1. Direct Transmission (Transmisi langsung).
Pada metode ini unit sensor berupa transmitter dan receiver diletakkan
pada permukaan yang berlawanan. Metode ini digunakan untuk mendeteksi

19
kedalaman retak pada elemen yang memiliki ketebalan tidak terlalu besar dan
dapat dijangkau pelaksanaannya seperti pada balok maupun kolom.

Gambar 2.6 Direct Transmission (IAEA,2002)


2. Semi Direct Transmission (semi langsung)
Aplikasi Pundit dengan metode ini, dimana transmitter diletakkan tegak lurus
terhadap receiver, biasanya diperuntukkan untuk mengukur elemen yang memiliki
ketebalan relatif besar yang mana kalau dilakukan pengukuran langsung
gelombang yang dipancarkan transmitter tidak terjangkau oleh sensor
receivernya. Contoh aplikasinya pada elemen balok maupun kolom dengan
ukuran yang besar.

Gambar 2.7 Semi Direct Transmission (IAEA,2002)


3. Indirect of Surface Transmission (tidak langsung)
Bila metode no 1 dan 2 diatas tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan
ruang gerak maka dimungkinkan melakukan pengukuran elemen struktur beton
dengan menempatkan sensor transmitter dan receivernya sejajar pada satu bidang
permukaan seperti ditunjukkan pada gambar 2.8. Cara ini biasanya digunakan
pada evaluasi elemen pelat lantai.

20
Gambar 2.8 Indirect of Surface Transmission (IAEA,2002)
Kecepatan gelombang ultrasonik dipengaruhi oleh kekakuan elastis dan
kekuatan beton. Pada beton yang pemadatannya kurang baik, atau mengalami
kerusakan butiran material, gelombang UPV akan mengalami penurunan
kecepatan. Perubahan kekuatan beton pada tes UPV ditunjukkan dengan
perbedaan kecepatan gelombangnya, jika turun, adalah tanda bahwa beton
mengalami penurunan kekuatan, sebaliknya jika kecepatannya naik, adalah tanda
bahwa kekuatan beton meningkat. Hubungan kualitas beton dan kecepatan rambat
gelombang ultrasonik ditunjukkan pada Tabel 2.4

Tabel 2.4 Klasifikasi kualitas beton berdasarkan kecepatan gelombang

Kualitas Beton Kecepatan Gelombang


Ultrasonik (km/dt)
Sangat baik (Excellent) >4,6
Baik (Good) 3,7 - 4,6
Cukup (Fair) 3,0 3,7
Jelek (Poor) 2,1 3,0
Sangat Jelek (Very Poor) < 2,1
Sumber : Road Transport Research, 1989

21
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Semua proses penelitian ini akan dilaksanakan di Universitas Mataram,
yaitu tepatnya di Laboratorium Beton dan Bahan Bangunan Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik. Penelitian sepenuhnya dilaksanakan ditempat tersebut mengingat
semua peralatan utama yang dibutuhkan tersedia cukup dan semua dalam kondisi
baik dan siap pakai.

3.2 Persiapan Penelitian


3.2.1 Bahan
Bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Agregat kasar berupa kerikil alam tidak dipecah dengan ukuran maksimum
20 mm.
2. Agregat halus berupa pasir alam
3. Semen Portland tipe I, merk Tiga Roda dengan kemasan 50 kg.
4. Air bersih yang berasal dari Laboratorium Struktur dan Bahan Fakultas
Teknik Universitas Mataram.
5. Superplasticizer SIKA Viscocrete10.

3.2.2 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Timbangan untuk menimbang berat bahan dan benda uji,
2. Satu set ayakan untuk menguji gradasi agregat,
3. Gelas ukur untuk menakar air dan Sika Viscocrete10,
4. Piknometer untuk menguji berat jenis pasir,
5. Oven untuk mengeringkan material uji,
6. Slump test aparatus (kerucut Abrams) untuk menguji nilai slump flow dan
slump time T50,

22
7. Pelat datar sebagai alas untuk pengujian slump flow dan slump time flow
(T50),
8. Saringan dengan lubang 5 mm, diameter 300 mm dan tinggi 75 mm untuk
menguji sieve stability test,
9. Stopwatch,
10. Cetakan silinder dengan ukuran diameter 150 mm dan tinggi 300 mm
untuk mencetak benda uji tekan dan tarik belah,
11. Cetakan kubus dengan ukuran sisi 200 mm x 200 mm untuk mencetak
benda uji NDT/UV,
12. Cetakan balok dengan ukuran sisi 150 x 150 mm dan panjang 600 mm
untuk mencetak benda uji Modulus runtuh,
13. Mistar dan jangka sorong untuk mengukur nilai slump dan dimensi benda
uji,
14. Mesin CTM untuk melakukan pengujian kuat tekan dan tarik belah,
15. Satu set alat strain gauge dilengkapi dengan kabel penghubung ke data
logger untuk pembacaan regangan,
16. Satu set alat pundit plus untuk menguji cepat rambat gelombang
(NDT/UV),
17. Flexural and transversting machine untuk pengujian modulus runtuh,
18. Bak air untuk merendam benda uji selama perawatan,
19. Peralatan penunjang lain yang dibutuhkan seperti sekop, spidol, dan lain-
lain.

3.2.3 Pemeriksaan bahan


Pemeriksaan bahan dimaksudkan untuk mengetahui spesifikasi bahan yang
akan digunakan sebagai bahan penyusun beton. Adapun bahan-bahan tersebut
adalah:
1. Air
Air yang digunakan adalah air bersih dari jaringan air di Laboratorium
Struktur dan Bahan Fakultas Teknik Universitas Mataram. Pengujian terhadap air

23
tidak dilakukan karena secara visual air tersebut cukup bersih untuk digunakan
sebagai material penyusun beton.
2. Semen Portland
Pemeriksaan laboratorium terhadap semen tidak lagi dilakukan karena
dianggap telah memenuhi standar uji bahan bangunan. Pemeriksaan yang
dilakukan hanya terhadap kantong kemasan dan kehalusan butiran semen secara
visual serta semen yang akan digunakan tidak menggumpal. Kemasan semen yang
dipilih dalam keadaan tertutup rapat dan tidak rusak.
3. Agregat
Pemeriksaan agregat ini meliputi sifat - sifat fisis dan kandungan organik
mengikuti standar yang tertuang dalam SNI 03-1750-1990 atau yang tertuang
dalam Panduan Praktikum Beton, Laboratorium Struktur dan Bahan Fakultas
Teknik, Universitas Mataram.

3.3 Perencanaan campuran Beton (Mix Desain)


Perencanaan campuran beton bertujuan untuk mengetahui komposisi atau
proporsi bahan-bahan penyusun beton yang tepat agar memenuhi persyaratan
teknis dan kriteria dari beton normal dan SCC. Kriteria utama dalam mix design
adalah kekuatan beton (hubungannya dengan faktor air semen) dan kemudahan
pengerjaan (workability). Dalam penelitian ini metode mix design untuk SCC
mengacu pada EFNARC. Rancangan awal mix design untuk SCC berdasarkan
penelitian sebelumnya dapat dilihat dalam Tabel 3.1 berikut:
Tabel 3.1 Rancangan awal mix design dan SCC (/m3)
Agg. Agg. Faktor
Jenis Air PC Superplastisizer Air
Ksr Hls
Beton (kg) (Kg) (kg) Semen
(Kg) (Kg)
SCC 190 450 450 900 4,5 0,44

24
3.4 Pengujian Slump Beton Segar
3.4.1 Slump Flow
Kelecakan (consistency) beton segar biasanya diperiksa dengan pengujian
slump beton segar. Dengan adanya pemeriksaan slump ini dapat diperoleh nilai
slump yang dapat dipakai sebagai tolak ukur kelecakan adukan beton segar yang
berhubungan dengan tingkat kemudahan pengerjaan beton (workability).
Adapun pelaksanaan dari pengujian slump adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan kerucut Abrams dan pelat sebagai dasar untuk melakukan
pengujian.
2. Pelat dasar yang bersih diletakkan di tempat yang datar sehingga tidak
mengganggu aliran beton ketika pengujian dilakukan.
3. Ember diisi dengan 6-7 liter beton segar SCC dan diamkan selama 1
menit.
4. Selama menunggu satu menit, permukaan kerucut dan pelat dasar dibasahi
dengan menggunakan kain basah dan tempatkan kerucut di tengah pelat.
5. Kerucut Abrams diisi dengan beton segar SCC tanpa melakukan tumbukan
atau getaran. Permukaan kerucut Abrams diratakan sehingga rata dengan
sisi atas cetakan. Beton segar yang tercecer di sekitar cetakan dibersihkan.
6. Angkat kerucut secara tegak lurus dengan sekali gerakan. Dengan begitu,
beton dapat mengalir secara bebas tanpa ada gangguan dari kerucut,di saat
yang sama mulai stopwatch ketika kerucut hilang kontak dengan pelat
dasar.
7. Hentikan stopwatch ketika aliran beton segar pertama kali menyentuh
lingkaran diameter 500 mm. Pembacaan stopwatch. Tes dinyatakan
berhenti ketika aliran beton berhenti mengalir.
8. Mengukur diameter terbesar dari aliran tersebut (dmax), dan yang tegak
lurus terhadap penyebaran itu dengan ketelitian 5 mm.
9. Bersihkan pelat dan kerucut setelah melakukan pengujian.

25
3.4.2 Sieve Stability Test
Tujuan dilakukannya tes ini adalah untuk memeriksa daya tahan beton segar
SCC terhadap segregasi dengan mengukur porsi contoh beton segar SCC
melewati ayakan 5 mm. Jika SCC memiliki daya tahan yang rendah terhadap
segregasi, maka adukan beton segar dapat dengan mudah melewati ayakan. Oleh
karena itu, porsi ayakan menunjukkan apakah SCC stabil atau tidak.
Adapun pelaksanaan dari pengujian ini adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan saringan dengan lubang 5 mm, diameter 300 mm, dan tinggi
75 mm.
2. Menyiapkan timbangan dengan keakuratan 20 gr dan dengan kapasitas
10 kg.
3. Menyiapkan wadah dengan bentuk dan volume yang sesuai untuk
menahan material yang melewati ayakan.
4. Ember diisi dengan 5 kg beton segar SCC dan ember kemudian ditutup.
5. Ember diletakkan di tempat yang datar dan diamkan selama 15 menit.
6. Timbang wadah (Wp) dan tempatkan ayakan diatas wadah tanpa
memindahkan wadah dari atas timbangan.
7. Timbangan dinolkan dan tuangkan beton segar SCC ke bagian tengah
ayakan dari ketinggian 50cm.
8. Catat berat contoh yang dituangkan ke atas ayakan (Wc).
9. Ayakan diangkat secara perlahan dan dipindahkan dari atas wadah tanpa
diguncangkan.
10. Timbang wadah yang berisi hasil ayakan tersebut (Wps).
11. Bersihkan ayakan dan wadah setelah dilakukan pengujian.
12. Adukan yang lolos ayakan 5 mm dinyatakan dalam persen dengan
persamaan sebagai berikut :

SS = 100 (3-1)

26
3.4.3 J- Ring Test
Tes ini dilakukan untuk mengetahui apakah campuran beton segar mampu
melewati celah-celah antar besi tulangan atau bagian celah yang sempit dari
cetakan.
Adapun langkah-langkah dari pengujian ini adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan beton SCC untuk melakukan tes.
2. Melembabkan pelat dasar dan kerucut slump.
3. Meletakkan pelat dasar pada permukaan yang rata.
4. Meletakkan J-Ring ditengah-tengah pelat dasar dan kerucut slump,
dipasang dengan kuat hingga tidak goyang.
5. Mengisi kerucut dengan beton SCC. Tanpa dipadatkan, hanya meratakan
permukaan atas pada kerucut dengan trowel.
6. Membersihkan sisa beton yang berceceran disekitar kerucut.
7. Mengangkat beton secara vertikal sehingga memungkinkan beton mengalir
dengan bebas.
8. Mengukur diameter akhir beton dalam dua arah tegak lurus.
9. Menghitung ukuran rata-rata kedua diameter tersebut (mm).
10. Mengukur perbedaan tinggi antara beton pada lingkaran pertama dan
kedua.
11. Menghitung rata-rata dari perbedaan tinggi di empat lokasi (mm).
12. Mencatat setiap batas mortar atau pasta semen yang bebas dari agregat
kasar pada aliran beton.

3.5 Kebutuhan Benda Uji


Adapun kebutuhan benda uji untuk masing-masing jenis pengujian
ditunjukkan pada Table 3.2

27
Tabel 3.2 Jumlah Kebutuhan Benda Uji

Umur Kebutuhan Benda Uji


NO Jenis Pengujian Benda Uji Kode Benda Uji
(Hari) BK SCC
7 3 3
Kuat Tekan f'c 14 3 3
1
(150x150) mm 28 3 3
90 3 3
7 3 3
Kuat Tarik Belah 14 3 3
2
ft (150x300) mm 28 3 3
90 3 3
7 3 3
Modulus Runtuh 14 3 3
3 (150xx150x600)
mm 28 3 3
90 3 3
7
14
4 NDT/UV 3 3
28
90
Jumlah 39 39
dengan:
BK = beton konvensional
SCC = self compacting concrete
Catatan:
- NDT dilakukan dengan Pundit pada umur uji seperti diatas dengan
menggunakan spesimen yang sama dari umur pengujian pertama sampai
terakhir pengujian.
- Strain gauge dipasang pada semua jenis benda uji kuat tekan umur 28 hari.

3.6 Pembuatan Benda Uji


Adapun langkah-langkah dalam pembuatan benda uji secara garis besar
untuk semua dimensi benda uji adalah sebagai berikut :
1. Pengadaan material pasir, semen dan kerikil.
2. Menyiapkan cetakan benda uji sesuai bentuk dan ukuran yang ditentukan.

28
3. Menyiapkan dan menimbang bahan yang digunakan dengan proporsi yang
telah ditentukan.
4. Setelah ditimbang bahan semen, kerikil, pasir diaduk hingga rata
menggunakan molen.
5. Kemudian ditambahkan air, dimana jumlah air yang digunakan sesuai
dengan perbandingan berat air : semen.
6. Bahan yang telah dicampurkan kemudian dimasukkan ke dalam cetakan
sesuai dengan cetakan benda uji yang akan dibuat.
7. Kemudian adonan dikeringkan untuk proses pengerasan. Metode yang
digunakan pada proses pengerasan adalah secara alami (normal).
8. Setelah 24 jam, cetakan dibuka dan beton direndam selama umur uji yang
telah ditentukan terhitung saat beton selessai dicetak.
9. Bentuk benda uji silinder, balok dan kubus beton dapat dilihat pada
Gambar 3.1 berikut:

Gambar 3.1 Benda uji silinder, kubus dan balok beton

3.7 Perawatan Benda Uji


Perawatan beton dilakukan setelah beton mencapai final setting, artinya
beton telah mengeras. Kelembaban beton harus dijaga agar beton tidak mengalami
keretakan karena proses kehilangan air yang begitu cepat.
Pada penelitian ini metode perawatan yang dilakukan adalah dengan
melakukan perendaman terhadap sampel selama beton dalam bak berisi
air.Perawatan sampel dilakukan selama 7, 14, 28 dan 90 hari sesuai keperluan
pengujian.

29
3.8 Pengujian Benda Uji
3.8.1 Uji Kuat Tekan
Pengujian kuat tekan beton dengan menggunakan alat Compression Testing
Machine (CTM). Adapun langkah-langkah pengujian adalah sebagai berikut:
1. Sebelum dilakukan pengujian terhadap silinder beton, terlebih dahulu
benda uji diratakan permukaannya dengan menggunakan belerang atau
semen.
2. Setelah ditimbang, benda uji diletakkan pada alat pembebanan mesin uji
tekan beton (CTM).
3. Kemudian pembebanan diberikan secara berangsur-angsur dengan
kecepatan pembebanan yang sama sampai benda uji tersebut mencapai
pembebanan maksimal. Besar dan kecepatan pembebanan dicatat sesuai
jarum petunjuk pembebanan.
4. Beban yang mampu ditahan masing-masing benda uji (P) dibagi dengan
luas permukaan beton yang tertekan (A), sehingga diperoleh kuat tekan
beton yang maksimum.

Gambar 3.2 Set up pengujian kuat tekan

3.8.2 Uji cepat rambat geombang (NDT) menggunakan Pundit


Untuk memastikan bahwa alat Pundit yang digunakan untuk uji ultrasonik
akan menghasilkan bacaan yang tepat maka perlu dilakukan kalibrasi pada alat
tersebut. Cara kalibrasi alat pundit adalah dengan menempelkan transmitter dan

30
transduser tanpa ada alat perantara pada keduanya.Setelah ditempelkan, melihat
angka bacaan yang ditunjukkan pada monitor.Apabila angka bacaan sudah nol ini
berarti alat Pundit siap untuk digunakan.
Adapun cara pengujian cepat rambat gelombang dengan Ultrasonic Pulse
Velocity Test menggunakan alat Pundit adalah sebagai berikut :
1. Dalam pengujian material/benda uji dengan menggunakan alat pundit,
digunakan dua probe, satu bertindak sebagai probe transmitter (pengirim)
dan satu lagi sebagai transduser (penerima).
2. Menentukan jumlah titik dan benda uji yang akan diuji.
3. Mengolesi gel pada pada titik yang akan diuji.
4. Menempelkan probe transmitter dan transduser pada titik pengujian.
5. Transmitter mengirimkan gelombang ultrasonik ke dalam benda uji yang
kemudian akan diterima oleh transduser.
6. Membaca transit time, path length, serta cepat rambat yang tertera pada
alat pundit

3.8.3 Uji kuat tarik belah


Pengujian kuat tarik beton dilakukan untuk mengetahui kekuatan tarik dari
beton itu sendiri. Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat compression
testing machine (CTM). Metode yang digunakan adalah metode uji tarik belah
yang mengacu pada SNI 03-2491-2002. Adapun langkah-langkah pengujian
adalah sebagai berikut:
1. Menggambar garis diameter pada kedua ujung silinder yang satu sama lain
sejajar dan kemudian membuat garis yang menghubungkan kedua ujung
garis diameter tersebut. Periksa apakah kedua garis yang sejajar sumbu
silinder tersebut benar-benar berada pada kedua sisinya,
2. Meletakan pelat tipis yang terbuat dari kayu di atas blok mesin tekan yang
bawah, dengan melalui pusat diameter bloknya,
3. Meletakan benda uji di atas pelat tipis kayu dengan garis diameter vertikal.
Perhatikan apakah silinder telah benar-benar terletak semuanya di atas
pelat tipis kayu tersebut,

31
4. Meletakkan kembali pelat tipis yang lain di atas silinder beton,
5. Memeriksa apakah kedudukan silinder telah berada diantara dua pelat
penekan secara sentris dan semua pelat tipis kayu berada sejajar dengan
sumbu silinder,
6. Meletakan benda uji pada alat pembebanan mesin uji tarik belah beton
(compression testing machine),
7. Menerapkan beban pada silinder secara terus menerus dan tidak boleh
secara mendadak. Pembebanan dilakukan sampai beton tersebut pecah.

Gambar 3.3 Set up pengujian kuat tarik belah

3.8.4 Uji modulus runtuh balok beton


Pengujian modulus runtuh dilakukan sesuai dengan ASTM C78-84 dengan
metode third-point loading dengan menggunakan alat flexural and transversting
machine. Benda uji yang digunakan balok beton ukuran 600 mm x 150 mm x 150
mm. Adapun langkah langkah pengujian:
1. Menyiapkan benda uji balok beton yang akan diuji,
2. Meletakan benda uji pada alat uji lentur dengan posisi mendatar,
3. Mengatur jarum penunjuk lendutan (dial) tepat pada titik nol,
4. Memulai pembacaan beban dengan bergeraknya jarum penunjuk lendutan,
5. Mencatat besarnya beban maksimum yang terjadi pada benda uji.

32
Gambar 3.4 Set up pembebanan pada pengujian modulus runtuh

3.8.5 Pengujian modulus elastisitas dan poisson ratio


Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat strain gauge yang
ditempelkan pada penampang benda uji pada pengujian kuat tekan dan
dihubungkan ke data logger. Pada saat pembebanan strain gauge akan membaca
regangan yang terjadi dimana data regangan tersebut akan terekam dan terlihat
pada data logger. Sketsa pengujian dengan alat ini dapat dilihat pada gambar 3.2
berikut:

Compression
Testing
Load cell machineKabel koneksi ke
Data
data logger
Logger
Strain Gauge (TDS 630)

Benda Uji
Hidraulic
jack
Lantai

Gambar 3.5 Set up alat strain gauge dengan data logger

3.9 Analisa Data


Data-data yangakan diperoleh dalam penelitian ini meliputi:
a. Sifat beton segar yaitu:

33
- Flowability didapatkan dari hasil pengujian slump flow test, data
yang diperoleh adalah diameter maksimum yang dicapai aliran beton
yaitu harus mencapai 65-80 cm.
- Viscosity didapatkan dari uji slump time T50 berupa waktu yang
dibutuhkan beton segar SCC mencapai diameter 50cm.
- Ketahanan segregasi didapatkan dari hasil pengujian sieved stability
dan di analisis dengan menggunakan rumus (3-1).
b. Sifat mekanik beton yang diuji dengan metode destruktif meliputi: kuat
tekan, kuat tarik, modulus runtuh, diperoleh nilai P max. dengan masing-
masing hasil pengujian. Hasil tersebut kemudian dianalisis dengan
menggunakan rumus (2-1) untuk mendapatkan nilai kuat tekan (fc),
rumus (2-3) untuk nilai kuat tarik belah (ft) dan rumus (2-4) dan (2-5)
untuk nilai modulus runtuh (Mor).
c. Sifat mekanik beton yang diuji dengan metode non destruktif meliputi
adalah Uji UPV diperoleh. Data yang diperoleh adalah nilai cepat
rambat gelombang.
d. Pembacaan strain guge dengan data logger akan diperoleh data
regangan beton baik arah aksial maupun lateral sehingga akan diperoleh
nilai poisson ratio. Nilai regangan akan di plot pada grafik seperti pada
gambar 2.2 untuk mengetahui bagaimana hubungan tegangan-regangan
beton dan modulus elastisitas beton konvensional maupun beton SCC.

34
3.10 Jadwal Penelitian
Tabel 3.3 Jadwal Penelitian
Bulan Pelaksanaan
N Uraian 1 2 3 4 5 6
o Kegiatan
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
ke- ke- ke- ke- ke- ke-
1 Persiapan 1 2 3 4
Seminar
2 1
Proposal
Persiapan
3 4 1
Bahan
4 Penelitian 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
Analisa
5 1 2 3 4
Data
6 Konsultasi 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
Seminar
7 1
Hasil
8 Ujian 2 3 4

3.11 Bagan Alir Penelitian


Untuk mempermudah pemahaman, langkah-langkah dalam penelitian ini
dapat dilihat pada bagan alir berikut :

35
Mulai

Studi literatur

Persiapan Bahan:
- Menyiapkan agregat kasar
- Menyiapkan agregat halus
- Menyiapkan semen
- Menyiapkan Sika Visconcrete-10

Pemeriksaan Bahan
- Pemeriksaan berat satuan agregat
- Pemeriksaan gradasi agregat Menyiapkan
- Pemeriksaan kandungan lumpur Bahan Baru
dalam agregat halus
- Pemeriksaan berat jenis agregat

Tidak

Memenuhi Standar

Iya

Perhitungan mix design

Pengujian Slump Beton segar


- Slump flow
- J-Ring test
- Sieved stability test

36
A

Perawatan benda uji 7-90 hari

Pengujian Benda Uji


- Uji tekan silinder beton
- Uji tarik belah silinder beton
- Uji modulus runtuh balok beton
- Uji ultrasonik
- Uji modulus elastisitas
- Uji poisson ratio beton

Analisa data Pembahasan

Kesimpulan

Selesai

Gambar 3.6 Bagan alir penelitian

37
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, 2009, Studi Eksperimental Prilaku Mekanik Beton Normal dengan


Subtitusi Limbah Debu Pengolahan Baja (Dry Dust Collector), Tesis,
Universitas Diponegoro, Semarang.

Arezoumandi, M., 2014,A Comparative Study of the Mechanical Properties,


FractureBehavior, Creep, and Shrinkage of Chemically Based Self
ConsolidatingConcrete, Department of Civil, Architectural and
Environmental Engineering,Missouri University of Science and
technology, Missouri MO 65409, USA.

Arfiyani, Baiq, 2015, Evaluasi Peningkatan Kuat Tekan Cepat Rambat


Gelombang dan Nilai Pantul Pada Beton Memadat Sendiri (Self
Compacting Concrete) dengan Metode Destructive dan Non
Destructive), Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil Universitas Mataram,
Mataram.

ASTM C494-82, Specification for Chemical Admixtures for Concrete.

ASTM C469-02, Standard Test Method for Static Modulus of Elasticity and
Poissons Ratio of Concretein Compression.

Chu-Kia Wang dan Salmon, Charles G., 1993, Disain Beton Bertulang, Erlangga,
Jakarta.

Dehn, F., Holschemacher, K. and Wei e, D., 2000, Self-Compacting Concrete


(SCC) Time Development of the Material Properties and the Bond
Behaviour,LACER No.5., Leipzig
Desnerck, P., De Schutter, G. and Taerwe, L, 2012, Stress-strain behaviour of
Self-Compacting Concretes Containing Limestone Fillers. Structural
Concrete, 13: 95101. doi: 10.1002/suco.201100056.

Dewi, E.S., 2014, Pengaruh Rasio Panjang Terhadap Diameter Fiber Bendrat
Pada Kuat Tekan, Kuat Tarik dan Modulus Runtuh Beton Memadat
Sendiri, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil Universitas Mataram,
Mataram.

EFNARC, 2002, Specification & Guidelines for Self-Compacting Concrete,


Englished., Norfolk UK: European Federation for Specialist Construction
Chemicalsand Concrete Systems.

EFNARC, 2005, The European Guidelines for Self-Compacting


ConcreteSpecification,Production and Use, Norfolk UK: European
Federation for Specialist Construction Chemicalsand Concrete Systems.

38
I. Lawson, K.A Danso, H.C. Odoi, C.A. Adjei, F.K. Quashie, I.I. Mumuni, dan
I.S. Ibrahim, (2011), Non Destructive Evaluation of Concrete using
Ultrasonic Pulse Velocity Research, Journal of Applied Sciences,
Engineering and Technology 3 (6), h: 499-504, 2011, ISSN : 2040-7467,
Maxwell Scientific Organization, 2011.

International Atomic Energy Agency, Vienna, 2002, Guidebook on non-


destructive testing of concrete structures, Training Course Series No.17

Maida, N.M., 2015, Optimasi Superplasticizer dengan Pendekatan Chemical Base


untuk Beton Memadat Sendiri (Self Compacting Concrete),Tugas Akhir,
Jurusan Teknik Sipil Universitas Mataram, Mataram.

Mulyono, T., 2005, Teknologi Beton, C.V Andi Offset, Yogyakarta.

Nawy, Edward G., 2008, Reinforce Concrete a Fundamental Approach


Terjemahan, Cetakan Ketiga, PT. Refika Aditama, Bandung.

Okamura, H., Ouchi, M., 2003, Self Compacting Concrete, Japan Concrete
Institute, (http://www.jstage.jts.go.jp/article/jact/1/1/5/_pdf, diakses 22
September 2014).

Road Transport Research,1989, Durability of Concrete Road Bridges, Report


prepared by AN OECD Scientific Expert Group, Paris.
SK SNI 03-2834-1993, 1993, Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton
Normal, Departemen Pekerjaan Umum.

SK SNI 03-2847-2002, 2002, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk


Bangunan Gedung (Beta Version),Departemen Pekerjaan Umum.

SK SNI 1974-2011,2011, Cara Uji Kuat Tekan Beton dengan Benda Uji Silinder,
Departemen Pekerjaan Umum.

SK SNI 4431-2011,2011, Cara Uji Kuat Lentur Beton Normaldengan Dua Titik
Pembebanan, Departemen Pekerjaan Umum.

Tjokrodimuljo, K., 1996, Teknologi Beton, Napiri, Yogyakarta.

39

Anda mungkin juga menyukai