PENDAHULUAN
1
dibandingkan beton normal perlu peninjauan lebih lanjut mengenai sifat mekanis
SCC.
Pengenalan lebih jauh mengenai perilaku SCC telah banyak dilakukan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya.Variasi perlakuan terhadap beton ini sangat
mempengaruhi sifat dan karakteristik dari beton itu sendiri. Perilaku mekanis yang
sudah umum diselidiki dengan alat uji standar pada penelitian sebelumnya adalah
kuat tekan, kuat tarik dan kuat lentur baik itu dengan metode destruktif maupun
non destruktif. Penyelidikan lebih lanjut terhadap perilaku mekanis SCC
sebelumnya masih jarang dilakukan seperti modulus elastisitas statis dan dinamis,
poisson ratio serta bagaimana hubungan tegangan-regangan SCC. Pada penelitian
ini alat uji strain gauge dilengkapi data logger akan dimanfaatkan untuk
meninjau secara lebih detail perilaku-perilaku mekanis tersebut yang kemudian
akan dibandingkan dengan beton konvensional dengan harapan hasil akhir
penelitian yang didapatkan lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
2
1. Mengetahui sifat mekanis yang meliputi kuat tekan, kuat tarik,
modulus runtuh, modulus elastisitas statis dan dinamis, poisson ratio
serta hubungan tegangan-regangan dari SCC dibandingkan dengan
beton konvensional pada berbagai umur beton.
2. Mengetahui hubungan kecepatan rambat gelombang (UPV) dan sifat
mekanis untuk beton SCC dibandingkan dengan beton konvensional
pada berbagai umur beton.
3
6. Umur pengujian beton normal dan SCC yang digunakan adalah 7 hari,
14 hari, 28 hari, dan 90 hari. Masing-masing menggunakan 3 buah
benda uji untuk masing-masing jenis beton pada umur yang sama.
7. Semen yang digunakan adalah semen Portland tipe 1 dengan merk
Tiga Roda.
8. Agregat kasar yang digunakan adalah kerikil alam tak dipecah dengan
ukuran maksimum 20 mm.
9. Faktor air semen yang digunakan adalah 0,44.
10. Benda uji untuk pengujian kuat tekan dan kuat tarik belah adalah
silinder dengan diameter 150 mm dan tinggi 300 mm sedangkan untuk
uji modulus runtuh menggunakan balok ukuran 150 x 150 x 600 mm
dan uji NDT(UPV) menggunakan kubus 200 x 200 mm.
4
BAB II
DASAR TEORI
5
menghasilkan kuat tekan maksimum sebesar 35,386 Mpa dan kuat tarik belah
maksimum sebesar 4,411 MPa dengan nilai kuat tekan beton normal sebesar
37,084 MPa dan nilai kuat tarik belah maksimum beton normal 3,856 MPa.
Peneliti lainnya yaitu Desnerck et.al (2012) melakukan riset yang terfokus
pada hubungan Tegangan-Regangan SCC. Disimpulkan bahwa akibat beban-
beban uniaksial SCC memperlihatkan regangan puncak yang lebih besar daripada
beton konvensional. Desnerck melakukan risetnya menggunakan silinder dengan
rasio h/d=3. Hal ini tidak memenuhi standar yang umum berlaku yaitu h/d=2
(silinder 150x300 mm).
Arezoumandi (2013) pada risetnya dengan SCC dan beton konvensional
menyimpulkan bahwa bila dibandingkan dengan beton konvensional SCC
memperlihatkan karakteristik kuat tekan dan fracture energy yang lebih tinggi.
Kajian tersebut dilakukan dengan menggunakan komposisi bahan yang sama baik
beton konvensional maupun SCC, kecuali pada SCC hanya ditambahkan
superplasticizer untuk mendapatkan sifat passing, filling dan flowability.
Arezoumandi dalam studinya menggunakan silinder beton 100x200mm untuk
pengujian kuat tekan dan kuat tarik belah, baik SCC maupun untuk beton
konvensional. Prosedur pengujian yang dilakukannya mengikuti standar yang ada
namun ukuran silinder 100x200 ini tidak mengikuti ukuran standar pengujian
benda uji untuk beton yang umum digunakan baik ASTM maupun SNI.
Amalia (2009) melakukan studi eksperimental mengenai perilaku mekanis
beton normal dengan dry dust collector. Eksperimennya ditunjang dengan alat
strain gauge dilengkapi data logger. Perilaku mekanis yang diteliti meliputi kuat
tekan, kuat lentur, modulus elastisitas beton, poisson ratio dan hubungan
tegangan-regangan beton tersebut.
6
sebagai sekumpulan interaksi mekanis dan kimiawi dari material pembentuknya.
Parameter-parameter yang mempengaruhi kekuatan beton adalah:
1. Kualitas semen
2. Proporsi semen terhadap campuran
3. Kekuatan dan kebersihan agregat
4. Interaksi atau adhesi antara pasta semen dengan agregat
5. Pencampuran yang cukup dari bahan-bahan pembentuk beton
6. Penempatan yang benar, penyelesaian dan pemadatan beton
7. Perawatan beton
8. Kandungan klorida tidak melebihi 0,15% dalam beton yang diekspos dan 1%
bagi beton yang tidak diekspos (Nawy, 1985:24).
7
Suatu beton dikatakan SCC apabila sifat dari beton segar memenuhi
kriteria sebagai berikut :
1. Filling Ability
Kemampuan campuran beton segar mengisi ruangan atau cetakan dengan
beratnya sendiri. Untuk mengetahui beton memiliki kemampuan filling maka
beton segar diuji dengan slump cone, dengan waktu yang diperlukan aliran beton
mencapai diameter 50 cm adalah 2 5 detik dan diameter maksimum yang
dicapai aliran beton 65 80 cm (EFNARC, 2002).
8
3. Segregation Resistance
Ketahanan campuran beton segar terhadap segregasi, untuk mengetahui
beton memiliki kemampuan ini dilakukan uji sieved stability test dengan
menggunakan saringan yang berdiameter 5 mm dan menghitung jumlah beton
segar yang lolos ayakan 5 mm.
9
Keuntungan - keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan Self
Compacting Concrete (SCC) antara lain :
1. Mengurangi lamanya konstruksi dan besarnya upah pekerja.
2. Pemadatan dan penggetaran beton yang dimaksudkan untuk memperoleh
tingkat kepadatan optimum dapat dieliminir.
3. Mengurangi kebisingan yang mengganggu lingkungan sekitarnya.
4. Meningkatkan kepadatan elemen struktur beton dan bagian yang sulit
Konsep dasar yang diterapkan dalam proses produksi SCC ditunjukkan pada
Gambar 2.4
10
2.2.4.1 Agregat
Kandungan agregat dalam campuran beton biasanya sangat tinggi.
Berdasarkan pengalaman, komposisi agregat tersebut berkisar 60%-70% dari berat
campuran beton.Walaupun fungsinya hanya sebagai pengisi, tetapi karena
komposisinya yang cukup besar, agregat inipun menjadi penting. Agregat dalam
campuran beton dapat berupa agregat alam dan agregat buatan (artificial
aggregates). Secara umum agregat dapat dibedakan berdasarkan ukurannya yaitu
agregat kasar dan agregat halus (Mulyono, 2004).
a. Agregat Kasar
Komposisi agregat kasar pada beton konvensional menempati 70 75%
dari total volume beton. Sedangkan dalam SCC agregat kasar dibatasi jumlahnya
sekitar kurang lebih 50% dari total volume beton. Pembatasan agregat ini
bertujuan agar beton bisa mengalir dan memadat sendiri tanpa alat pemadat
(Okamura dan Ouchi 2003).
Agregat kasar yang digunakan dalam SCC yaitu ukuran maksimum 20
mm. Agregat kasar dapat berupa kerikil sebagai hasil disintegrasi alami dari batu-
batuan atau berupa batu pecah yang diperoleh dari pemecahan batu. Pemeriksaan
yang dilakukan terhadap kerikil meliputi berat satuan, kadar air, berat jenis SSD,
penyerapan air, kadar lumpur, daya tahan terhadap keausan, dan modulus
kehalusan (FM).
Tabel 2.2 Syarat gradasi agregat kasar/kerikil
Persen butir yang lolos ayakan
Lubang
ayakan Besar butir maksimal Besar butir maksimal
40 (mm) 20 (mm)
(mm)
40 95-100 100
20 30-70 95-100
10 10-35. 25-55
11
b. Agregat Halus
Agregat halus adalah agregat yang semua butirnya menembus ayakan 4,8
mm. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasir meliputi berat satuan, kadar
air, berat jenis SSD, penyerapan air, kadar lumpur, dan modulus kehalusan
pasir (FM), umumnya modulus kehalusan pasir untuk beton berkisar antara 1,5
3,8 (Mulyono, 2003).
Tabel 2.3 Syarat gradasi agregat halus/pasir
Persen berat tembus kumulatif
Lubang ayakan
Zone I Zone II Zone III Zone IV
(mm)
2.2.4.2. Binder
Binder adalah bahan pengikat dalam campuran beton yang terdiri dari
semen dan bahan pengisi (filler), jika digunakan bahan pengisi. Salah satu jenis
binder adalah semen portland. Semen portland memiliki beberapa senyawa kimia
yang masing-masing memiliki sifat tersendiri.
2.2.4.2. Superplasticizer
Superplasticizer (high range water reducer admixture) yaitu bahan kimia
yang berfungsi mengurangi air sampai 12% atau bahkan lebih (ASTM C494-82).
Semua Superplasticizer juga memiliki kelemahan yang cukup mengkhawatirkan.
12
Flowability yang tinggi pada campuran beton yang mengandung superplasticizer
umumnya dapat bertahan sekitar 30 sampai 60 menit dan setelah itu berkurang
dengan cepat, yang sering disebut dengan slump loss.
2.2.4.3. Air
Air diperlukan pada pembuatan beton untuk memicu proses kimiawi
semen, membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pekerjaan beton.
Dalam mix design beton yang perlu diperhatikan adalah persentase perbandingan
air dengan semen yang biasa disebut faktor air semen (water cement ratio). Air
yang berlebihan akan menyebabkan banyak gelembung air setelah proses hidrasi
selesai, sedangkan jika kurang air menyebabkan proses hidrasi tidak tercapai
seluruhnya sehingga akan mempengaruhi kekuatan beton.
Untuk campuran beton, maka air yang digunakan harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu, terutama adanya batasan terhadap :
a. Air yang dipergunakan untuk pembuatan beton harus bersih, tidak boleh
mengandung minyak, asam alkali, garam-garam, zat organik atau bahan-bahan
lain yang dapat merusak beton maupun baja tulangan.
b. Tidak boleh mengandung klorida (Cl) > 500 mg per liter air.
c. Air tawar yang tidak dapat diminum tidak boleh dipakai untuk pembuatan
beton.
13
semen, agregat kasar dan halus, air dan berbagai jenis campuran. Perbandingan
dari air terhadap semen merupakan faktor utama didalam penentuan kekuatan
beton. Semakin rendah perbandingan air-semen, semakin tinggi kekuatan tekan.
Suatu jumlah tertentu air diperlukan untuk memberikan aksi kimiawi didalam
pengerasan beton. Kelebihan air meningkatkan kemampuan pengerjaan
(mudahnya beton untuk dicor) akan tetapi menurunkan kekuatan. Suatu ukuran
dari pengerjaan beton ini diperoleh dengan percobaan slump. Pada umumnya nilai
slump berkisar 75-100 mm. Penggetaran dalam campuran beton akan
meningkatkan mudahnya pengerjaan (Salmon dkk, 1993).
Kekuatan tekan (fc) ditentukan dengan silinder standar (berukuraan 6 in x
12 in) yang dirawat dibawah kondisi standar laboratorium pada kecepatan
pembebanan tertentu, pada umur 28 hari (Nawy, G., 2008).
Berdasarkan cara uji kuat tekan dengan silinder pada SNI 1974-2011 Kuat tekan
beton dihitung dengan persamaan (2-1) berikut:
fc = (2-1)
dengan:
fc = Kuat tekan (MPa)
P = Beban maksimum (N)
A = Luas bidang tekan (mm2)
b) Kekuatan tarik
Kekuatan tarik beton relatif rendah. Pendekatan yang baik untuk
menghitung kekuatan tarik beton fct adalah dengan rumus 0,10 fc < gct < 0,2
fc. kekuatan tarik lebih sulit diukur dibandingkan kekuatan tekan karena masalah
penjepitan (gripping) pada mesin. Ada sejumlah metode yang tersedia untuk
menguji kekuatan tarik dan yang paling sering digunakan adalah tes pembelahan
silinder atau tes brasil (Nawy, G., 2008).
Kekuatan tarik biasanya ditentukan dengan menggunakan percobaan
silinder dimana silinder yang ukurannya sama dengan benda uji dalam percobaan
tekan diletakkan pada sisinya diatas mesin uji dan beban tekan P dikerjakan secara
merata dalam arah diameter di sepanjang benda uji. Benda uji silinder akan
14
terbelah dua pada saat dicapainya kekuatan tarik. Besarnya kekukatan tarik
berkisar antara 10 - 15% dari kekuatan tekan.
fct = 6 fc sampai 7 fc psi untuk beton berbobot normal (2-2)
(Slamon dkk, 1993).
Besaran kuat tarik belah benda uji dihitung dengan persamaan (2-3) berikut:
2P
ft = LD (2-3)
dengan:
ft = Kuat tarik belah (MPa)
P = Beban maksimum yang diberikan (N)
L = Panjang benda uji silinder (mm)
D = Diameter benda uji silinder (mm)
c) Modulus runtuh beton
Untuk batang yang mengalami lentur, yang dipakai dalam desain adalah
besarnya modulus repture fr, bukan kekuatan pembelahan tarik ft. Modulus
repture ini diukur dari percobaan balok beton sederhana berpenampang bujur
sangkar 6 in dan bentangnya 18 in yang diberi beban pada 3 titik sesuai dengan
ASTM C-78. Modulus repture lebih besar daripada kekuatan pembelahan-tarik.
(Nawy, G., 2008).
Berdasarkan SNI 4431-2011 kuat lentur beton dapat dihitung dengan
rumus:
= untuk bidang patah didaerah pusat bentang (2-4)
2
= untuk bidang patah di luar pusat bentang (2-5)
2
d) Modulus elastisitas
Berbeda dengan baja, modulus elastisitas beton berubah-ubah menurut
kekuatan. Modulus elastisitas juga tergantung pada umur beton, sifat-sifat agregat
dan semen, kecepatan pembebanan, jenis dan ukuran dari benda uji (Salmon dkk,
1993). Modulus elastisitas beton didefinisikan sebagai kemiringan garis singgung
(slope dari garis lurus yang ditarik) dari kondisi tegangan nol ke kondisi tegangan
0,45 fc pada kurva tegangan-regangan beton.
15
Modulus elastisitas selain dipengaruhi oleh beban, dipengaruhi juga oleh
faktor lain seperti kelembaban benda uji beton, faktor air semen, umur beton, dan
temperaturnya. Hanya ada sedikit penelitian untuk menentukan modulus
elastisitas dalam keadaan tarik karena kekuatan tarik beton yang rendah dan
biasanya diabaikan dalam perhitungan. Bagaimanapun bisa diasumsikan dengan
batas-batas tertentu bahwa modulus elastisitasnya sama dengan keadaan tekan
(Nawy, G., 2008). Dalam perhitungan struktur boleh diambil modulus elastisitas
beton sebagai berikut:
Ec = 4700 fc untuk beton normal (2-6)
Ec = (Wc)1,5. 0,043 fcuntuk Wc = 1,5-2,5 (2-7)
Modulus elastisitas yang diperoleh dari pengujian NDT seperti pada uji
ultrasonic disebut dengan Modulus elastisitas dinamis sedangkan Modulus
elastisitas yang diperoleh dari pengujian destructive dikenal dengan Modulus
elastisitas statis. Modulus elastisitas statis (Ec) dan poisson ratio pada metode uji
standar dengan silinder dapat dihitung dengan persamaan:
(S2S1)
E= (2-8)
(20,000050)
(t2 t1)
= (2-9)
(2 0,00005)
dimana:
E = Modulus elastisitas beton (N/mm2)
P2
S2= Tegangan yang terjadi saat beban 40 % P maksimum, S2 =
A
P2= Beban pada saat 40 % Pmak
P1
S1= Tegangan yang terjadi saat regangan longitudinal mencapai 0,000050, S1 =
A
P1 = Beban pada saat regangan mencapai 0,00005 Psi.
2= Regangan longitudinal pada saat beban mencapai 40 % Pmak (P2).
= Poisson ratio
t1= Regangan transversal akibat S1
t2= Regangan transversal akibat S2
sedangkan modulus elastisitas dinamis (Ed) yang dapat diperoleh dari pengujian
NDT UPV diberikan pada persamaan berikut:
v2(1+v)(12v)
Ed = (2-10)
(1v)
16
Dimana:
Ed = Modulus elastisitas dinamis beton (N/mm2)
= Poisson ratio dinamis
= berat jenis beton (kg/m3)
V = kecepatan gelombang (km/s)
e) Poisson ratio
Poisson ratio merupakan perbandingan regangan arah lateral dengan
regangan aksial akibat pembebanan aksial dalam kondisi batas elastis. Nilai
poisson ratio beton normal berkisar antara 0,15 - 0,20. Namun demikian beberapa
hasil penelitian mendapatkan nilai poisson ratio beton normal antara 0,10 0,30
(R.Park dan T.Paulay, 1975).
f) Perilaku tegangan-regangan beton normal
Hubungan tegangan-regangan beton perlu diketahui untuk menurunkan
persamaan dalam analisis maupun desain struktur beton. Untuk mengetahui
perilaku hubungan tegangan-regangan beton didapat dari hasil pengujian tekan
terhadap silinder beton. Hubungan tegangan-regangan beton normal pada
pembebanan uniaksial yang diusulkan oleh E. Hognestad diperlihatkan pada
Gambar Pada daerah 0 < c< 0 , E. Hognestad memberikan persamaan sebagai
berikut :
2c c 2
fc= fc[ ( ) ]; 0= 2fc/Ec (2-11)
0 0
dengan:
fc: tegangan beton,
fc: Tegangan maksimum beton,
0: Regangan yang terjadi pada saat terjadi tegangan maksimum,
c :Regangan yang terjadi pada saat tegangan mencapai 85 % teganganmaksimum.
Pada daerah c > 0, persamaan hubungan tegangan regangannya merupakan
17
maksimum beton dicapai pada regangan tekan 0,002-0,0025. Regangan ultimit
pada saat beton hancur 0,003 0,008. Untuk perencanaan, SNI 03-2847 (2002)
menggunakan regangan tekan maksimum beton sebesar 0,003.
18
Ada beberapa jenis peralatan pengujian yang dapat digunakan untuk
metode ini, salah satunya adalah pengujian dengan ultrasonik (Pundit).
Ultrasonic Pulse VelocityTest (Pundit) adalah pengujian kekuatan tekan beton
secara tidak langsung, melalui pengukuran kecepatan perambatan gelombang
ultrasonik longitudinal pada media beton.
Pundit plus yaitu alat yang digunakan untuk mengetahui adanya kerusakan
pada elemen struktur bangunan dengan cara merambatkan gelombang ultrasonik
langsung ke benda uji. Gelombang ultrasonik yang merambat dalam benda uji
akan mengalami penurunan kecepatan dan perubahan arah rambatan bila
gelombang tersebut melalui suatu bidang lemah atau ruang kosong yang terdapat
dalam benda uji tersebut. Kerusakan ini akan di indikasi dengan turunnya
kecepatan gelombang ultrasonik longitudinal.
Sistem kerja pundit adalah dengan menghitung waktu rambat gelombang
ultrasonik untuk melewati beton. Data yang diperoleh berupa waktu rambat
gelombang dalam satuan s (micro second). Kecepatan gelombang dapat dicari
dengan rumus (Lawson dkk, 2011) :
v=L/T (2-12)
Dari hasil perhitungan cepat rambat gelombang tersebut, kuat tekan beton dapat
diketahui dengan rumus sebagai berikut :
fc = 47,66 0,555 (2-13)
Tes UPV dapat digunakan untuk:
(1) mengetahui keseragaman kualitas beton,
(2) mengetahui kualitasstruktur beton setelah umur beberapa tahun,
(3) mengetahui kekuatan tekan beton, serta
(4) menghitung moduluselastisitas dan koefisien poisson beton (International
Atomic Energy Agency, 2002).
Adapun metode-metode yang dapat dilakukan dengan menggunakan alat pundit
adalah sebagai berikut :
1. Direct Transmission (Transmisi langsung).
Pada metode ini unit sensor berupa transmitter dan receiver diletakkan
pada permukaan yang berlawanan. Metode ini digunakan untuk mendeteksi
19
kedalaman retak pada elemen yang memiliki ketebalan tidak terlalu besar dan
dapat dijangkau pelaksanaannya seperti pada balok maupun kolom.
20
Gambar 2.8 Indirect of Surface Transmission (IAEA,2002)
Kecepatan gelombang ultrasonik dipengaruhi oleh kekakuan elastis dan
kekuatan beton. Pada beton yang pemadatannya kurang baik, atau mengalami
kerusakan butiran material, gelombang UPV akan mengalami penurunan
kecepatan. Perubahan kekuatan beton pada tes UPV ditunjukkan dengan
perbedaan kecepatan gelombangnya, jika turun, adalah tanda bahwa beton
mengalami penurunan kekuatan, sebaliknya jika kecepatannya naik, adalah tanda
bahwa kekuatan beton meningkat. Hubungan kualitas beton dan kecepatan rambat
gelombang ultrasonik ditunjukkan pada Tabel 2.4
21
BAB III
METODE PENELITIAN
3.2.2 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Timbangan untuk menimbang berat bahan dan benda uji,
2. Satu set ayakan untuk menguji gradasi agregat,
3. Gelas ukur untuk menakar air dan Sika Viscocrete10,
4. Piknometer untuk menguji berat jenis pasir,
5. Oven untuk mengeringkan material uji,
6. Slump test aparatus (kerucut Abrams) untuk menguji nilai slump flow dan
slump time T50,
22
7. Pelat datar sebagai alas untuk pengujian slump flow dan slump time flow
(T50),
8. Saringan dengan lubang 5 mm, diameter 300 mm dan tinggi 75 mm untuk
menguji sieve stability test,
9. Stopwatch,
10. Cetakan silinder dengan ukuran diameter 150 mm dan tinggi 300 mm
untuk mencetak benda uji tekan dan tarik belah,
11. Cetakan kubus dengan ukuran sisi 200 mm x 200 mm untuk mencetak
benda uji NDT/UV,
12. Cetakan balok dengan ukuran sisi 150 x 150 mm dan panjang 600 mm
untuk mencetak benda uji Modulus runtuh,
13. Mistar dan jangka sorong untuk mengukur nilai slump dan dimensi benda
uji,
14. Mesin CTM untuk melakukan pengujian kuat tekan dan tarik belah,
15. Satu set alat strain gauge dilengkapi dengan kabel penghubung ke data
logger untuk pembacaan regangan,
16. Satu set alat pundit plus untuk menguji cepat rambat gelombang
(NDT/UV),
17. Flexural and transversting machine untuk pengujian modulus runtuh,
18. Bak air untuk merendam benda uji selama perawatan,
19. Peralatan penunjang lain yang dibutuhkan seperti sekop, spidol, dan lain-
lain.
23
tidak dilakukan karena secara visual air tersebut cukup bersih untuk digunakan
sebagai material penyusun beton.
2. Semen Portland
Pemeriksaan laboratorium terhadap semen tidak lagi dilakukan karena
dianggap telah memenuhi standar uji bahan bangunan. Pemeriksaan yang
dilakukan hanya terhadap kantong kemasan dan kehalusan butiran semen secara
visual serta semen yang akan digunakan tidak menggumpal. Kemasan semen yang
dipilih dalam keadaan tertutup rapat dan tidak rusak.
3. Agregat
Pemeriksaan agregat ini meliputi sifat - sifat fisis dan kandungan organik
mengikuti standar yang tertuang dalam SNI 03-1750-1990 atau yang tertuang
dalam Panduan Praktikum Beton, Laboratorium Struktur dan Bahan Fakultas
Teknik, Universitas Mataram.
24
3.4 Pengujian Slump Beton Segar
3.4.1 Slump Flow
Kelecakan (consistency) beton segar biasanya diperiksa dengan pengujian
slump beton segar. Dengan adanya pemeriksaan slump ini dapat diperoleh nilai
slump yang dapat dipakai sebagai tolak ukur kelecakan adukan beton segar yang
berhubungan dengan tingkat kemudahan pengerjaan beton (workability).
Adapun pelaksanaan dari pengujian slump adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan kerucut Abrams dan pelat sebagai dasar untuk melakukan
pengujian.
2. Pelat dasar yang bersih diletakkan di tempat yang datar sehingga tidak
mengganggu aliran beton ketika pengujian dilakukan.
3. Ember diisi dengan 6-7 liter beton segar SCC dan diamkan selama 1
menit.
4. Selama menunggu satu menit, permukaan kerucut dan pelat dasar dibasahi
dengan menggunakan kain basah dan tempatkan kerucut di tengah pelat.
5. Kerucut Abrams diisi dengan beton segar SCC tanpa melakukan tumbukan
atau getaran. Permukaan kerucut Abrams diratakan sehingga rata dengan
sisi atas cetakan. Beton segar yang tercecer di sekitar cetakan dibersihkan.
6. Angkat kerucut secara tegak lurus dengan sekali gerakan. Dengan begitu,
beton dapat mengalir secara bebas tanpa ada gangguan dari kerucut,di saat
yang sama mulai stopwatch ketika kerucut hilang kontak dengan pelat
dasar.
7. Hentikan stopwatch ketika aliran beton segar pertama kali menyentuh
lingkaran diameter 500 mm. Pembacaan stopwatch. Tes dinyatakan
berhenti ketika aliran beton berhenti mengalir.
8. Mengukur diameter terbesar dari aliran tersebut (dmax), dan yang tegak
lurus terhadap penyebaran itu dengan ketelitian 5 mm.
9. Bersihkan pelat dan kerucut setelah melakukan pengujian.
25
3.4.2 Sieve Stability Test
Tujuan dilakukannya tes ini adalah untuk memeriksa daya tahan beton segar
SCC terhadap segregasi dengan mengukur porsi contoh beton segar SCC
melewati ayakan 5 mm. Jika SCC memiliki daya tahan yang rendah terhadap
segregasi, maka adukan beton segar dapat dengan mudah melewati ayakan. Oleh
karena itu, porsi ayakan menunjukkan apakah SCC stabil atau tidak.
Adapun pelaksanaan dari pengujian ini adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan saringan dengan lubang 5 mm, diameter 300 mm, dan tinggi
75 mm.
2. Menyiapkan timbangan dengan keakuratan 20 gr dan dengan kapasitas
10 kg.
3. Menyiapkan wadah dengan bentuk dan volume yang sesuai untuk
menahan material yang melewati ayakan.
4. Ember diisi dengan 5 kg beton segar SCC dan ember kemudian ditutup.
5. Ember diletakkan di tempat yang datar dan diamkan selama 15 menit.
6. Timbang wadah (Wp) dan tempatkan ayakan diatas wadah tanpa
memindahkan wadah dari atas timbangan.
7. Timbangan dinolkan dan tuangkan beton segar SCC ke bagian tengah
ayakan dari ketinggian 50cm.
8. Catat berat contoh yang dituangkan ke atas ayakan (Wc).
9. Ayakan diangkat secara perlahan dan dipindahkan dari atas wadah tanpa
diguncangkan.
10. Timbang wadah yang berisi hasil ayakan tersebut (Wps).
11. Bersihkan ayakan dan wadah setelah dilakukan pengujian.
12. Adukan yang lolos ayakan 5 mm dinyatakan dalam persen dengan
persamaan sebagai berikut :
SS = 100 (3-1)
26
3.4.3 J- Ring Test
Tes ini dilakukan untuk mengetahui apakah campuran beton segar mampu
melewati celah-celah antar besi tulangan atau bagian celah yang sempit dari
cetakan.
Adapun langkah-langkah dari pengujian ini adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan beton SCC untuk melakukan tes.
2. Melembabkan pelat dasar dan kerucut slump.
3. Meletakkan pelat dasar pada permukaan yang rata.
4. Meletakkan J-Ring ditengah-tengah pelat dasar dan kerucut slump,
dipasang dengan kuat hingga tidak goyang.
5. Mengisi kerucut dengan beton SCC. Tanpa dipadatkan, hanya meratakan
permukaan atas pada kerucut dengan trowel.
6. Membersihkan sisa beton yang berceceran disekitar kerucut.
7. Mengangkat beton secara vertikal sehingga memungkinkan beton mengalir
dengan bebas.
8. Mengukur diameter akhir beton dalam dua arah tegak lurus.
9. Menghitung ukuran rata-rata kedua diameter tersebut (mm).
10. Mengukur perbedaan tinggi antara beton pada lingkaran pertama dan
kedua.
11. Menghitung rata-rata dari perbedaan tinggi di empat lokasi (mm).
12. Mencatat setiap batas mortar atau pasta semen yang bebas dari agregat
kasar pada aliran beton.
27
Tabel 3.2 Jumlah Kebutuhan Benda Uji
28
3. Menyiapkan dan menimbang bahan yang digunakan dengan proporsi yang
telah ditentukan.
4. Setelah ditimbang bahan semen, kerikil, pasir diaduk hingga rata
menggunakan molen.
5. Kemudian ditambahkan air, dimana jumlah air yang digunakan sesuai
dengan perbandingan berat air : semen.
6. Bahan yang telah dicampurkan kemudian dimasukkan ke dalam cetakan
sesuai dengan cetakan benda uji yang akan dibuat.
7. Kemudian adonan dikeringkan untuk proses pengerasan. Metode yang
digunakan pada proses pengerasan adalah secara alami (normal).
8. Setelah 24 jam, cetakan dibuka dan beton direndam selama umur uji yang
telah ditentukan terhitung saat beton selessai dicetak.
9. Bentuk benda uji silinder, balok dan kubus beton dapat dilihat pada
Gambar 3.1 berikut:
29
3.8 Pengujian Benda Uji
3.8.1 Uji Kuat Tekan
Pengujian kuat tekan beton dengan menggunakan alat Compression Testing
Machine (CTM). Adapun langkah-langkah pengujian adalah sebagai berikut:
1. Sebelum dilakukan pengujian terhadap silinder beton, terlebih dahulu
benda uji diratakan permukaannya dengan menggunakan belerang atau
semen.
2. Setelah ditimbang, benda uji diletakkan pada alat pembebanan mesin uji
tekan beton (CTM).
3. Kemudian pembebanan diberikan secara berangsur-angsur dengan
kecepatan pembebanan yang sama sampai benda uji tersebut mencapai
pembebanan maksimal. Besar dan kecepatan pembebanan dicatat sesuai
jarum petunjuk pembebanan.
4. Beban yang mampu ditahan masing-masing benda uji (P) dibagi dengan
luas permukaan beton yang tertekan (A), sehingga diperoleh kuat tekan
beton yang maksimum.
30
transduser tanpa ada alat perantara pada keduanya.Setelah ditempelkan, melihat
angka bacaan yang ditunjukkan pada monitor.Apabila angka bacaan sudah nol ini
berarti alat Pundit siap untuk digunakan.
Adapun cara pengujian cepat rambat gelombang dengan Ultrasonic Pulse
Velocity Test menggunakan alat Pundit adalah sebagai berikut :
1. Dalam pengujian material/benda uji dengan menggunakan alat pundit,
digunakan dua probe, satu bertindak sebagai probe transmitter (pengirim)
dan satu lagi sebagai transduser (penerima).
2. Menentukan jumlah titik dan benda uji yang akan diuji.
3. Mengolesi gel pada pada titik yang akan diuji.
4. Menempelkan probe transmitter dan transduser pada titik pengujian.
5. Transmitter mengirimkan gelombang ultrasonik ke dalam benda uji yang
kemudian akan diterima oleh transduser.
6. Membaca transit time, path length, serta cepat rambat yang tertera pada
alat pundit
31
4. Meletakkan kembali pelat tipis yang lain di atas silinder beton,
5. Memeriksa apakah kedudukan silinder telah berada diantara dua pelat
penekan secara sentris dan semua pelat tipis kayu berada sejajar dengan
sumbu silinder,
6. Meletakan benda uji pada alat pembebanan mesin uji tarik belah beton
(compression testing machine),
7. Menerapkan beban pada silinder secara terus menerus dan tidak boleh
secara mendadak. Pembebanan dilakukan sampai beton tersebut pecah.
32
Gambar 3.4 Set up pembebanan pada pengujian modulus runtuh
Compression
Testing
Load cell machineKabel koneksi ke
Data
data logger
Logger
Strain Gauge (TDS 630)
Benda Uji
Hidraulic
jack
Lantai
33
- Flowability didapatkan dari hasil pengujian slump flow test, data
yang diperoleh adalah diameter maksimum yang dicapai aliran beton
yaitu harus mencapai 65-80 cm.
- Viscosity didapatkan dari uji slump time T50 berupa waktu yang
dibutuhkan beton segar SCC mencapai diameter 50cm.
- Ketahanan segregasi didapatkan dari hasil pengujian sieved stability
dan di analisis dengan menggunakan rumus (3-1).
b. Sifat mekanik beton yang diuji dengan metode destruktif meliputi: kuat
tekan, kuat tarik, modulus runtuh, diperoleh nilai P max. dengan masing-
masing hasil pengujian. Hasil tersebut kemudian dianalisis dengan
menggunakan rumus (2-1) untuk mendapatkan nilai kuat tekan (fc),
rumus (2-3) untuk nilai kuat tarik belah (ft) dan rumus (2-4) dan (2-5)
untuk nilai modulus runtuh (Mor).
c. Sifat mekanik beton yang diuji dengan metode non destruktif meliputi
adalah Uji UPV diperoleh. Data yang diperoleh adalah nilai cepat
rambat gelombang.
d. Pembacaan strain guge dengan data logger akan diperoleh data
regangan beton baik arah aksial maupun lateral sehingga akan diperoleh
nilai poisson ratio. Nilai regangan akan di plot pada grafik seperti pada
gambar 2.2 untuk mengetahui bagaimana hubungan tegangan-regangan
beton dan modulus elastisitas beton konvensional maupun beton SCC.
34
3.10 Jadwal Penelitian
Tabel 3.3 Jadwal Penelitian
Bulan Pelaksanaan
N Uraian 1 2 3 4 5 6
o Kegiatan
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
ke- ke- ke- ke- ke- ke-
1 Persiapan 1 2 3 4
Seminar
2 1
Proposal
Persiapan
3 4 1
Bahan
4 Penelitian 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
Analisa
5 1 2 3 4
Data
6 Konsultasi 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
Seminar
7 1
Hasil
8 Ujian 2 3 4
35
Mulai
Studi literatur
Persiapan Bahan:
- Menyiapkan agregat kasar
- Menyiapkan agregat halus
- Menyiapkan semen
- Menyiapkan Sika Visconcrete-10
Pemeriksaan Bahan
- Pemeriksaan berat satuan agregat
- Pemeriksaan gradasi agregat Menyiapkan
- Pemeriksaan kandungan lumpur Bahan Baru
dalam agregat halus
- Pemeriksaan berat jenis agregat
Tidak
Memenuhi Standar
Iya
36
A
Kesimpulan
Selesai
37
DAFTAR PUSTAKA
ASTM C469-02, Standard Test Method for Static Modulus of Elasticity and
Poissons Ratio of Concretein Compression.
Chu-Kia Wang dan Salmon, Charles G., 1993, Disain Beton Bertulang, Erlangga,
Jakarta.
Dewi, E.S., 2014, Pengaruh Rasio Panjang Terhadap Diameter Fiber Bendrat
Pada Kuat Tekan, Kuat Tarik dan Modulus Runtuh Beton Memadat
Sendiri, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil Universitas Mataram,
Mataram.
38
I. Lawson, K.A Danso, H.C. Odoi, C.A. Adjei, F.K. Quashie, I.I. Mumuni, dan
I.S. Ibrahim, (2011), Non Destructive Evaluation of Concrete using
Ultrasonic Pulse Velocity Research, Journal of Applied Sciences,
Engineering and Technology 3 (6), h: 499-504, 2011, ISSN : 2040-7467,
Maxwell Scientific Organization, 2011.
Okamura, H., Ouchi, M., 2003, Self Compacting Concrete, Japan Concrete
Institute, (http://www.jstage.jts.go.jp/article/jact/1/1/5/_pdf, diakses 22
September 2014).
SK SNI 1974-2011,2011, Cara Uji Kuat Tekan Beton dengan Benda Uji Silinder,
Departemen Pekerjaan Umum.
SK SNI 4431-2011,2011, Cara Uji Kuat Lentur Beton Normaldengan Dua Titik
Pembebanan, Departemen Pekerjaan Umum.
39