Anda di halaman 1dari 16

Alergi Susu Sapi Pada Anak BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK FAKULTAS

KEDOKTERAN JAKARTA 2010 BAB I PENDAHULUAN Sumber nutrisi


terbaik bagi bayi baru lahir adalah air susu ibu (ASI). Setelah melalui masa
pemberian ASI secara ekslusif yang umumnya berlangsung 3-6 bulan, bayi mulai
diberikan susu formula sebagai pengganti air susu ibu (PASI). PASI lazimnya
dibuat dari susu sapi, karena susunan nutriennya dianggap memadai dan harganya
terjangkau. (1) Susu sapi dianggap sebagai penyebab alergi makanan pada anak-
anak yang paling sering dan paling awal dijumpai dalam kehidupan. Alergi susu
sapi merupakan suatu penyakit berdasarkan reaksi imunologis yang timbul sebagai
akibat dari susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi. (2) Hippocrates
pertama kali melaporkan adanya reaksi terhadap susu sapi sekitar tahun 370 SM.
Dalam dekade belakangan ini prevalensi dan perhatian terhadap alergi susu sapi
semakin meningkat. Susu sapi sering dianggap sebagai penyebab alergi makanan
pada anak-anak yang paling sering. Beberapa penelitian pada beberapa negara di
seluruh dunia menunjukan prevalensi alergi susu sapi pada anak-anak pada tahun
pertama kehidupan sekitar 2%. Sekitar 1-7% bayi pada umumnya menderita alergi
terhadap protein yang terkandung dalam susu sapi. Sedangkan sekitar 80% susu
formula bayi di pasar menggunakan bahan dasar susu sapi.(2) Pada sumber lain
dikatakan bahwa alergi terhadap protein susu sapi/Cows milk protein allergy
(CMPA) terjadi pada 2-6% dari anak-anak, dengan prevalensi tertinggi pada usia
tahun pertama. Sekitar 50% anak telah ditunjukkan sembuh dari CMPA pada usia
tahun pertama, atau 80-90% dalam tahun kelimanya. Alergi pada susu sapi 85%
akan menghilang atau menjadi toleran sebelum usia 3 tahun. Penanganan alergi
terhadap susu sapi adalah menghindari susu sapi dan makanan yang mengandung
susu sapi, dengan memberikan susu kedelai sampai terjadi toleransi terhadap susu
sapi. Perbedaan kontras antara penyakit alergi terhadap susu sapi dan makanan lain
pada bayi adalah bahwa dapat terjadi toleransi secara spontan pada anak usia
dini.(2),(3),(5),(6) Alergi protein susu sapi dapat berkembang pada anak-anak yang
diberi ASI atau pada anak-anak yang diberi susu formula. Namun, anak-anak yang
diberi ASI biasanya memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk menjadi alergi
terhadap makanan lainnya. Biasanya, anak yang diberi ASI dapat mengalami alergi
terhadap susu sapi jika bayi tersebut bereaksi terhadap kadar protein susu sapi yang
sedikit yang didapat dari diet ibu saat menyusui. Pada kasus lainnya, bayi-bayi
tertentu dapat tersensitisasi terhadap protein susu sapi pada ASI ibunya, namun
tidak mengalami reaksi alergi sampai mereka diberikan secara langsung susu sapi.
(4) Pada makalah ini akan dibahas mengenai alergi susu sapi pada anak, sehingga
pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang definisi, manifestasi klinis,
diagnosis, penatalaksanaan, dan pencegahan alergi susu sapi pada anak. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan
gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi
terhadap susu sapi dengan keterlibatan mekanisme sistem imun. (2) Reaksi alergi
yang terjadi ini diprovokasi oleh protein yang ada dalam susu sapi. Susu
merupakan protein yang spesifik untuk tiap spesiesnya, karenanya protein dalam
susu sapi memang sesuai untuk usus sapi, tetapi belum tentu sesuai dengan usus
manusia. Bagi kebanyakan bayi, protein susu sapi merupakan protein asing yang
pertama kali dikenalnya saat ia mendapat susu formula. (1) 2.2 Prevalensi Dan
Insidensi Dalam survei nasional ahli alergi anak, tingkat prevalensi alergi susu sapi
dilaporkan 3,4% di Amerika Serikat. Sedangkan di Denmark, pada studi kohort
dari 1.749 bayi baru lahir dari pusat Kota Odense yang dimonitor secara prospektif
untuk pengembangan intoleransi terhadap protein susu sapi selama tahun pertama
kehidupan, dilaporkan besarnya insidensi dalam 1 tahun adalah 2,2%. (6) Sebuah
penelitian prospektif menunjukkan bahwa 42% bayi yang mengalami gejala akibat
intoleransi protein susu sapi terjadi dalam waktu 7 hari (70% dalam waktu 4
minggu) setelah pemberian susu sapi. Intoleransi protein susu sapi telah
didiagnosis pada 1,9-2,8% dari populasi umum bayi berumur 2 tahun atau lebih
muda di berbagai negara di Eropa bagian utara, namun kejadian turun menjadi
sekitar 0,3% pada anak-anak yang berusia lebih dari 3 tahun. (6) 2.3 Patofisiologi
Dan Manifestasi Klinis Protein susu sapi adalah salah satu dari alergen utama yang
terlibat dalam kedua jenis alergi, dan diagnosis yang tepat sangat penting untuk
manajemen yang tepat. (5) Susu sapi mengandung lebih dari 20 fraksi protein.
Dalam dadih, dapat diidentifikasi 4 kasein (yaitu, S1, S2, S3, S4) yang jumlahnya
sekitar 80% dari protein susu. 20% protein sisanya, pada dasarnya adalah protein
glubular (misalnya, laktoalbumin, lactoglobulin, bovine serum albumin), yang
terkandung dalam air dadih. Kasein sering dianggap kurang imunogenik karena
strukturnya yang fleksibel, tidak padat. Secara historis, lactoglobulin merupakan
alergen utama dalam intoleransi protein susu sapi. Namun, polisensitisasi beberapa
protein terjadi pada sekitar 75% dari pasien dengan alergi terhadap protein susu
sapi.(6) PROTEIN COMPONENT MOLECULAR WEIGHT (kD)
PERCENTAGE OF TOTAL PROTEIN ALERGINISITAS STABILITY IN THE
TEMPERATURE 100 C -lactoglobulin 18.3 10 +++ ++ Casein 20-30 82 ++ +++
-lactalbumin 14.2 4 ++ + Serum albumin 67 1 + + Immunoglobulins 160 2 + -
Tabel 2.1 Karakteristik komponen protein pada susu sapi.(2) Anak-anak adalah
kelompok usia yang paling sering terkena penyakit ini dan harus diikuti dengan
hati-hati karena adanya komplikasi yang parah dari pembatasan diet seperti
keterlambatan pertumbuhan berat badan, kwashiorkor, hipokalsemia dan rakitis.
Istilah "intoleransi protein sapi" sering digunakan dalam kasus-kasus gejala non
spesifik yang dikaitkan dengan susu, apakah termasuk jenis reaksi imun mediasi
IgE atau non-IgE, mekanisme patologi ini disebabkan oleh reaksi imun terhadap
protein susu. (5) Alergi terhadap makanan (atau dalam hal ini susu sapi) mengacu
pada reaksi imun terhadap protein dalam makanan dan dapat dibagi menjadi 2
(dua) jenis mekanisme yaitu reaksi mediasi IgE dan non-IgE (kebanyakan adalah
selular) (gambar 2.1). Reaksi mediasi IgE dapat diketahui melalui tes diagnostik
yang telah disahkan, sedangkan reaksi imun mediasi non IgE yang dapat timbul
dalam saluran gastrointestinal belum diketahui dan dijelaskan dengan baik dan
lebih sulit untuk dikenali. Beberapa reaksi dapat juga melibatkan kedua jenis
mekanisme tersebut atau berevolusi sekunder menuju alergi mediasi IgE. (5)
Gambar 2.1 Klasifikasi hipersensitivitas makanan (5) 2.3.1 Alergi Susu Mediasi
IgE A. Patofisiologi Alergi susu mediasi IgE terjadi ketika organisme gagal untuk
mendapatkan daya tahan (toleransi) terhadap alergen makanan. Alergen makanan
utama pada anak-anak ialah panas, asam, dan protease yang stabil, glikoprotein
yang water soluble dengan ukuran 10-70 kd. Contohnya yaitu protein dalam susu
(kasein), kacang (vicilin), dan telur (ovumucoid) dan protein transfer lemak yang
tidak spesifik yang ditemukan pada buah apel (Mald 3). (5) Ketika antigen
makanan dicerna, makanan diproses dalam usus dimana terdapat banyak
mekanisme fisik yang kompleks (lendir, asam, sel epitel dan asam) dan proteksi
imunologis. Hilangnya pelindung seperti keadaan netralisasi pH lambung dapat
membuat alergi. Serupa seperti pada bayi dimana pelindung-pelindung usus
(aktivitas enzim dan produksi IgA) masih belum matang sehingga meningkatkan
prevalensi alergi makanan pada masa bayi. (5) Antigen presenting cells (APC),
khususnya sel epitel usus dan sel dendritik, dan sel T memiliki peran utama pada
daya tahan oral melalui ekspresi IL-10 dan IL-4. Bakteri komensal usus juga
mempengaruhi respon imun mukosa. Daya tahan dibentuk dalam 24 jam pertama
setelah lahir dan memproduksi molekul imunomudulator yang memiliki efek
bermanfaat dalam pembentukan imun respon. Studi saat ini telah menunjukan
bahwa ketidakseimbangan komposisi dari bakteri mikrobiota menjadi faktor utama
terjadinya alergi, asma atau inflammatory bowel disease. (5) Alergi yang dimediasi
IgE dimulai dari sensitisasi. Alergen dicerna, diinternalisasi dan diekspresikan
pada permukaan APC. APC berinteraksi dengan limfosit T dan menghasilkan
transformasi dari limfosit B menjadi sel sekretori antibodi. Setelah dibentuk dan
dilepaskan ke sirkulasi, IgE mengikat, melalui bagian Fc, ke reseptor sel mast yang
memiliki afinitas yang tinggi, meninggalkan reseptor spesifik alergen mereka yang
ada untuk berinteraksi dengan alergen di masa depan suatu saat nanti. (5) Proses
alergi yang dibentuk tanpa dimediasi oleh IgE kurang begitu dimengerti namun
fase pengenalan antigen awal kemungkinan adalah sama, dan merangsang reaksi
inflamasi utama melalui mediasi sel T dan eosinofil, meliputi aktivasi sitokin-
sitokin yang berbeda seperti IL-5.(5) Hubungan yang terbentuk dari sejumlah sel
mast/antibodi IgE yang berikatan dengan basophil yang cukup oleh alergen
merangsang proses intra-seluler, hal ini menyebabkan degranulasi sel, dengan
pelepasan histamin dan mediator peradangan lainnya. (5) B. Manifestasi klinis
Alergi susu sapi ditandai oleh berbagai variasi manifestasi klinis yang terjadi
setelah meminum susu. (11) Manifestasi paling berbahaya dari reaksi mediasi IgE
akibat alergi susu ialah anafilaksis. Setelah degranulasi sel mast, pelepasan
mediator inflamasi mempengaruhi berbagai sistem organ. (5) Gejala yang dapat
timbul ialah pruritus, urtikaria, angio-edema, muntah, diare, nyeri perut, sulit
bernapas, sesak, hipotensi, pingsan, dan syok. (11),(5) Gejala pada kulit
merupakan gejala paling sering, meskipun, sampai 20% reaksi anafilaksis dapat
muncul tanpa adanya manifestasi pada kulit khususnya pada anak-anak. Onset
munculnya gejala dari reaksi anafilaksis yang diinduksi makanan bervariasi namun
mayoritas reaksi muncul dalam hitungan detik sampai 1 jam pertama setelah
terpapar. (5) Diantara gejala-gejala akibat alergi makanan, seringkali terdapat
dermatitis atopi. Memang, telah diketahui bahwa 30% anak-anak yang menderita
dermatitis atopi yang sedang sampai berat memiliki hubungan dengan alergi
makanan yang memperparah eksema. Makanan yang berpengaruh ialah susu sapi,
dengan ditemukannya IgE spesifik pada kebanyakan pasien. (5) Reaksi cepat
Reaksi Lambat Anafilaksis Urtikaria akut Akut angioedema Sesak Rhinitis
Batuk kering Muntah Edema laryngeal Asma akut dengan stres pernapasan
Dermatitis atopi Diare kronis, diare berdarah, anemia defisiensi besi, konstipasi,
muntah kronis, kolik Terganggunya pertumbuhan Enteropati dengan kehilangan
protein dengan hipoalbuminemia sindrom enterokolitis Esofagogastroenteropati
eosinofilik yang diketahui dari biopsi Tabel 2.2 Onset reaksi cepat dan lambat
alergi susu sapi pada anak-anak.(3) Gambar 2.2 Dermatitis atopi pada bayi pada
wajah akibat alergi protein. (6) 2.3.2 Alergi Susu Sapi Gastrointestinal A.
Patofisiologi Mekanisme dasar yang mengarah pada alergi belum diketahui dengan
baik. Berbagai faktor, yag berhubungan dengan pasien (faktor genetik, flora usus)
dan yang tidak berhubungan (seperti waktu, dosis, frekuensi eksposure alergen)
yang saling berinteraksi dengan patogenesis penyakit. Alergi gastrointestinal,
kebanyakan pasien mengalami reaksi hipersensitivitas tipe IV dengan respon yang
abnormal dari limfosit TH2. Produk ini meningkatkan jumlah mediator inflamasi,
seperti IL-4 dan IL-5, seperti kemokin, yang menyebabkan aktivasi eosinofil. Pada
beberapa pasien, alergi campuran dari mediasi IgE dan non IgE dapat terjadi dan
tes diagnostik harus dilakukan untuk kedua jenis alergi tersebut. (5) B. Manifestasi
Klinis Pasien dengan alergi susu gastrointestinal dapat muncul dengan berbagai
macam gejala, berdasarkan lokalisasi dari inflamasi (Tabel 2.3). (5) Alergi Pada
Usus Mediasi Non IgE atau Campuran Gejala-Gejala Komplikasi Tes Diagnostik
Evolusi Penatalaksanaan Kolitis Makanan Dan Susu Perdarahan rectum dengan
pengeluaran lendir pada bayi Anemia Eliminasi diet untuk ibu atau hydrolyzed
milk (bayi yang tidak diberi ASI), biopsy kolon jika resisten terhadap kultur feses
Resolusi dalam 6-12 bulan Diet eliminasi diikuti tes pemberian ulang setelah 6
bulan Esofagus Eosinofilik Regurgitasi, refluks, anoreksia, disfagi atau menolak
makanan, muntah, nyeri lambung Kegagalan pertumbuhan, kehilangan berat
badan, striktur esofagus Endoskopi, biopsy, tes kutaneus dan epikutaneus, diet
asam amino dan tes provokasi oral Terus menerus ada Diet eliminasi, steroid
sistemik atau topical (ditelan) Food Protein-Induced Enterocolitis Syndrome
(FPIES) Muntah terus-menerus dan/atau diare 2-4 jam setelah makan/minum
Leukositosis, syok hipovolemik, asidosis metabolic, hipotensi Riwayat sugestif, tes
epikutaneus dan/atau tes provokasi oral Resolusi dalam 2-5 tahun Diet eliminasi
diikuti tes pemberian ulang Food Protein Induced Enteropathy Gejala insidious,
abdominal discomfort, disfagia, kehilangan berat badan, muntah, diare
Hipereosinofilia, hematemesis/rectal bleeding, anemia defisiensi besi,
hipoalbuminemia, kegagalan pertumbuhan Endoskopi, biopsy, tes skin pricks dan
epikutaneus, tes provokasi oral Resolusi dalam 1-2 tahun Diet eliminasi Tabel 2.3
Alergi makanan mediasi non IgE Gastroenteropathies Eosinofilik
Gastroenteropathies eosinofilik didefinisikan infiltrasi eosinofil pada dinding usus.
Terdapat 3 (tiga) bentuk keadaan klinis yang dijelaskan: kolitis yang diinduksi
susu, oesophagitis eosinofilik dan enterocolitis yang diinduksi protein makanan.
Prevalensi kelainan-kelainan tersebut semakin meningkat. Diagnosis banding dari
eosinofilia usus sangat luas dan meliputi inflamatory bowel disease, infeksi parasit,
sindrom hipereosinofilia dan hipersensitivitas obat. Tidak ada tes diagnostik yang
patognomonis dan diagnosis alergi eosinofilia gastroenterologi harus berdasarkan
keadaan klinis, tes kulit, biopsi dan/atau oral food challenges. (5) Colitis Akibat
Makanan dan Susu Sapi (Food and cows milk colitis) Alergi susu sapi merupakan
salah satu penyebab yang umum dari terjadinya kehilangan darah kronis dan
anemia pada masa neonatal, dengan darah samar atau perdarahan rectum pada
feses dan diare, meskipun begitu diare berdarah yang masif jarang terjadi. (8)
Pendarahan rektal merupakan gejala yang mengkhawatirkan tetapi pada umumnya
jinak dan self limiting tetapi dapat dikaitkan dengan alergi susu pada sekitar 20%
kasus. Bayi yang terkena dapat timbul dengan pendarahan anus yang terisolasi
dengan mengeluarkan lendir pada jam pertama kehidupan, dapat melalui dalam
rahim, atau sebelum 3 sampai 6 bulan pertama kehidupan tetapi biasanya tetap
dalam kondisi umum yang sangat baik. Biopsi rektal menunjukkan peradangan
eosinofilik yang khas dengan erosi epitel, microabscess atau fibrosis. Gejala
diakibatkan oleh protein susu sapi yang terkandung dalam susu formula atau ASI,
dan setengah dari pasien ini didiagnosis ketika menggunakan ASI eksklusif. (5)
Kebanyakan dari bayi hanya alergi terhadap susu tapi sekitar 20% juga dapat
bereaksi terhadap telur, dan protein makanan lain walaupun jarang. Kemajuan
klinis biasanya sangat baik seiring dengan perbaikan gejala dalam waktu lima hari
setelah diet bebas susu sapi bagi ibu. Bila diet pada ibu mengalami kegagalan, diet
bebas telur juga dapat dilakukan. Alergi ini biasanya sembuh dalam beberapa
bulan, sehingga pemberian susu kembali dapat dilakukan antara 6 dan 12 bulan. (5)
Oesofagitis Eosinofilik (Eosinophilic oesophagitis) Penyakit ini baru diidentifikasi
dalam 15 tahun terakhir dan studi menunjukkan prevalensi yang semakin
meningkat. Penyakit ini terutama mempengaruhi orang-orang berusia dekade
kedua atau ketiga, tetapi semakin banyak pula dilaporkan dalam literatur-literatur
pediatrik. Penyakit ini didefinisikan dengan terjadinya suatu infiltrasi eosinofil
pada esofagus, dan terkait dengan gejala refluks yang resisten terhadap terapi
proton pump inhibitor (PPI). (5) Pasien biasanya mengeluhkan gejala sakit seperti
ketidaknyamanan, disfagia dan cenderung untuk menghindari makan makanan
berserat atau kering. Gejala pada anak-anak biasanya tidak khas, seperti sakit
perut, muntah atau regurgitasi dan anoreksia, atau kegagalan pertumbuhan.
Endoskopi dapat menampilkan berbagai gambaran dari area normal sampai putih
atau merah merata dengan beberapa striktur esofagus, dengan aspek tracheiformis
yang khas. (5) Biopsi menunjukkan infiltrasi padat dari dinding oleh eosinofil (>
15-20/ Lapang pandang). Esofagitis ini dapat sipersulit oleh adanya stenosis
esofagus dan impaksi makanan. Eosinofilik esofagitis biasanya disebabkan oleh
alergi makanan dengan campuran mediasi IgE dan non IgE, khususnya pada anak-
anak dan remaja. (5) Identifikasi alergen harus dikoordinasikan dengan spesialis
karena dapat melibatkan berbagai antigen. Diet bebas unsur asam amino atau
formula semi-unsurnya dapat menyebabkan perbaikan gejala sebanyak 30-70%
pada pasien ini. Namun demikian, penggunaan steroid topikal atau sistemik sering
dibutuhkan, terutama jika makanan penyebab tidak dapat diidentifikasi secara jelas
atau jika peradangan sudah berlangsung lama. (5) Enterokolitis yang Diinduksi
Protein Makanan (Food protein-induced enterocolitis) Alergi ini dapat muncul
dengan gejala yang luar biasa seperti muntah terus menerus dan/atau diare lendir
berdarah yang dapat membuat lemas dan syok hipovolemik. Gejala dapat muncul
seringkali 2 (dua) jam setelah makan atau minum. Anak-anak dengan gejala-gejala
ini seringkali menjadi suspek terjadinya sepsis. Jumlah hitung darah selama fase
akut adalah leukositosis yang dipenuhi oleh sel-sel muda (neutrofil non segmen).
Mekanismenya belum jelas namun diketahui dipengaruhi oleh reaksi mediasi IgE
dan non IgE. Biopsi kolon memperlihatkan abses kripta dengan infiltrasi inflamasi
yang difus. Alergi ini dapat juga disebabkan oleh protein pada makanan daripada
susu, seperti halnya reaksi terhadap kedelai, ikan, nasi, kentang dan ayam. (5)
Riwayat dari eneterocolitis yang diinduksi susu biasanya membaik setelah usia 2-3
tahun, namun perubahan penyakitnya dapat lebih panjang pada pasien dengan
enterokolitis yang diinduksi protein padat. Pasien dengan manifestasi klinis yang
tidak jelas harus dilakukan tes diagnostik menggunakan endoskopi dan biopsi yang
bertujuan untuk menghilangkan diagnosis penyakit eosinofilik. (5) 2.4 Diagnosis
Proses diagnosis alergi susu sapi pada dasarnya adalah sama dengan proses
diagnosa alergi makanan. Seperti penyakit pada umumnya, proses diagnosa
dimulai dari penelusuran dan evaluasi riwayat penyakit, dilanjutkan dengan
pemeriksaan klinis secara seksama. Hal yang khusus dilakukan dalam investigasi
alergi makanan adalah pembuatan catatan harian diet, uji eliminasi dan provokasi,
uji kulit, dan pemeriksaan kadar IgE. (1) Dalam anamnesis, perhatian difokuskan
pada reaksi alergi yang terjadi, dan kaitannya dengan makanan yang dimakannya.
Setelah berbagai bahan makanan yang dicurigai menjadi penyebab alergi
diperoleh, diagnosa dikonfirmasi dengan pemeriksaan berupa uji eliminasi dan uji
provokasi. (1) Prinsip uji eliminasi adalah menghindarkan bahan makanan yang
menjadi tersangka, dalam hal ini adalah protein susu sapi, selama 2 minggu. Dalam
kurun waktu ini diobservasi apakah gejala alergi yang ada berkurang atau tidak.
Bila gejala berkurang, dapat dilanjutkan uji provokasi untuk mengkonfirmasinya
lagi, yaitu dengan pemberian kembali bahan makanan tersebut, dan dicatat reaksi
yang terjadi. Jika makanan tersangka memang penyebab alergi, maka gejala akan
berkurang saat makanan dieliminasi dan muncul kembali lagi saat diprovokasi. (1)
Di samping penggunaan cara tersebut, cara pemeriksaan yang dapat dipakai juga
adalah dengan pemeriksaan kadar IgE dan uji kulit. Kadar IgE yang meninggi
dalam darah dapat dipergunakan sebagai petunjuk status alergi pada pasien, dan
memang kadar IgE ini seringkali didapatkan meninggi pada penderita alergi susu
sapi. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh Hidvegi dkk, diduga kadar total
IgE serum dan IgG anti-a-casein memiliki nilai prognostik; yaitu bila didapatkan
peningkatan pada awal penyakit, toleransi terhadap susu sapi akan dicapai lebih
lambat atau bahkan dapat pula sifat alergi yang terjadi bersifat menetap. (1) Uji
kulit yang dilakukan, disebut skin prick tests. Namun demikian perlu diketahui
bahwa uji kulit ini memiliki nilai prediktif positif yang rendah, karena tingginya
hasil positif palsu. Interpretasi ini perlu diperhatikan, sebab bila tatalaksana
dilakukan berdasarkan hasil positif ini, maka dapat saja terjadi penghindaran
makanan yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Di sisi lain, tes ini juga
memiliki nilai prediktif negatif yang tinggi, dengan demikian bila didapatkan hasil
yang negatif maka diagnosa alergi makanan dapat dianggap kecil
kemungkinannya. (1) Walau demikian dalam praktek klinisnya sehari-hari,
diagnosa lebih sering ditegakkan berdasarkan gejala dan respons klinis dari uji
eliminasi dan provokasi. Pemeriksaan secara laboratoris hanya bersifat pelengkap.
Sedangkan penggunaan uji kulit pada anak, selain karena masalah akurasinya yang
kurang, perlu juga dipertimbangkan faktor ketidaknyamanan yang akan timbul,
mengingat penderita umumnya berusia di bawah 2-3 tahun. (1) Walaupun
tampaknya mudah, pada beberapa keadaan diagnosis dapat menjadi sulit dan
membingungkan. Hal ini terjadi misalnya karena adanya reaktivasi dari makanan
lain. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah protein susu sapi dapat menimbulkan
alergi baik dalam bentuk murni, atau bisa juga dalam bentuk lain seperti es krim,
keju, dan kue yang menggunakan susu sapi sebagai bahan dasarnya. (1) 2.5
Pemeriksaan Penunjang Selain dari manifestasi klinis yang ada, untuk
mendiagnosis adanya alergi susu sapi pada anak dapat dilakukan beberapa tes
penunjang atau tes diagnostik. Berikut ini adalah tes untuk menilai alergi terhadap
susu sapi, yaitu: 2.5.1 Skin Prick Test (SPT) SPT merupakan tes yang cepat dan
tidak mahal untuk mendeteksi sensitisasi mediasi kelainan IgE dan dapat
dikerjakan pada bayi dengan baik. Nilai prediksi negatif adalah baik (>95%) dan
dipastikan dengan tidak adanya reaksi mediasi IgE. Meskipun, hasil respon yang
positif tidak pasti menunjukan bahwa makanan merupakan penyebabnya (kurang
spesifik), dan hanya menunjukan sensitivitas terhadap makanan (atopi, pada
keadaan tidak adanya gejala alergi). (5) SPT kurang begitu berguna pada kelainan
alergi usus yang sensitif terhadap makanan daripada alergi yang dimediasi oleh
IgE. Pada alergi mediasi non IgE, seperti Food protein-induced enterocolitis atau
colitis akibat susu menghasilkan hasil tes yang negatif. Meskipun begitu, SPT
bergunan dalam mengeluarkan diagnosis banding alergi mediasi IgE atau dalam
keadaan patologi yang disebabkan mekanisme kombinasi, khususnya esofagitis
eosinofilik dimana SPT dapat membantu mengetahui penyebab dari alergennya.
(5) Gambar 2.3 Skin Pricks Test. (7) 2.5.2 Atopy Patch Test Pada tes ini, makanan
diberikan selama 48 jam pada kulit menggunakan patch yang tertutup. Tes positif
menunjukan terjadinya eritema, indurasi dan/atau lesi vesikulus yang muncul 24 -
48 jam kemudian pada lokasi patch. Secara teoritis mekanismenya sama dengan
mekanisme limfosit sel T yang serupa dengan terjadinya mekanisme enteropati.
Meskipun begitu, sel T dari lokasi yang berbeda mengekspresikan marker awal
yang berbeda, seperti CLA (Cutaneus Lymphocyte Antigen) untuk kulit dan 47-
integrin untuk usus, yang mana dapat merubah sensitivitas dan spesifisitas dari tes.
Tes ini telah diteliti pada kasus dermatitis yang parah dimana sensitivitasnya
sekitar 65%. Telah ditunjukkan bahwa tes ini membantu untuk mengetahui
penyebab makanan pada esofagitis pada anak-anak tetapi seringkali hasilnya
negatif pada pasien dewasa. (5) GAMBAR 2.4 ATOPY PATCH TEST. (9) 2.5.3
Diet Eliminasi dan Tes Tantangan Pemberian Makanan (Oral Food Challenge) Bila
diagnosis masih belum jelas, oral food challenge merupakan standar emas. Sebuah
protokol diterbitkan oleh Bock SA pada tahun 1988 dan protokol standar telah
diusulkan oleh European Academy of Allergy and Clinical Immunology pada
tahun 2004. Pasien mencerna, lebih dari 2 jam, secara progresif meningkatkan
jumlah dari makanan yang diduga membuat alergi. Prosedur dihentikan ketika
muncul gejala klinis (tes positif) atau setelah jumlah makanan yang dimakan sudah
mencapai batasnya dan reaksi alergi tidak muncul. Karena terdapat reaksi
anafilaksis, tes ini harus dipimpin secara ketat, oleh tenaga medis yang terlatih, dan
kesiapan peralatan resusitasi. Protokol ini lama, mahal, dan dapat menyebabkan
kecemasan atau ketidaknyamanan reaksi klinis, namun pemeriksaan ini merupakan
indikasi pasti pada pasien dengan diagnosis yang tidak jelas. (5) Dasar dari
diagnosis food-induced gastrointestinal allergy ialah respon terhadap diet
eliminasi, dengan timbulnya gejala yang berulang ketika diberikan makanan atau
susu. Disebabkan reaksi alergi biasanya tertunda, diet eliminasi harus dilakukan
untuk setidak-tidaknya 1 (satu) bulan sebelum diberikan tantangan makanan (food
challenge). Namun, identifikasi penyebab makanan seringkali berat dan dokter
kadang-kadang harus meresepkan diet ketat yang "oligo-antigen". (5) Pada
beberapa sindrom alergi seperti food protein-induced enterocolitis, tantangan
pemberian makanan dapat menyebabkan reaksi klinis berbahaya yang mengarah
kepada syok hipovolemik. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk memasang
jalur intravena dan memiliki supervisi medis dengan fasilitas resusitasi dan
penatalaksanaan segera. (5) 2.5.4 Uji In Vitro Dalam uji in vitro seperti ECP
(Eosinophilic Cationic Protein), tes aktivasi basophil atau tes proliferasi limfosit
tidak menunjukkan sensitivitas atau spesifisitas dalam mendiagnosis alergi
makanan. (5) Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan Edit Hidvgi dan
rekan-rekan (2001) yang menyimpulkan bahwa normalisasi kadar serum ECP
dapat menjadi indikasi berhentinya alergi susu sapi. Oleh karena itu, pengukuran
serum ECP mungkin dapat membantu dalam menentukan waktu yang optimal
untuk mengulang uji pemberian tantangan makanan, sehingga hasilnya akan
cenderung lebih negatif. Penurunan kadar yang signifikan dari serum ECP 2 jam
setelah uji awal pemberian tantangan makanan dapat dijelaskan oleh fakta bahwa
protein ini dikeluarkan ke dalam lumen usus.(11) 2.5.5 Dosis Antibodi Serum IgE
Pemeriksaan kuantitif dari antibodi IgE spesifik terhadap makanan sering menjadi
langkah yang berikutnya. Alergen yang diduga diikat ke matriks padat dan
dipaparkan ke serum pasien. Antibodi IgE spesifik untuk alergen mengikat ke
matriks protein dan dideteksi menggunakan antibodi spesifik sekunder pada bagian
Fc dari IgE manusia. Hampir sama dengan skin test, sensitisasi dapat muncul tanpa
reaksi klinis, dan tes tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis alergi makanan
tanpa adanya riwayat klinis alergi makanan. Meskipun begitu, meningkatnya
konsentrasi dari spesifik IgE akibat makanan berhubungan dengan meningkatnya
kemungkinan reaksi klinis. (5) Meskipun memiliki sensitivitas yang baik, pada
sebagian kecil pasien dengan reaksi gejala klinis alergi yang sesuai namun serum
IgE spesifik akibat makanan tidak dapat dideteksi.(5) 2.6 Penatalaksanaan 2.6.1
Diet Eliminasi Penatalaksanaan utama alergi makanan (dalam hal ini susu sapi)
adalah diet eliminasi. Pasien dan keluarganya harus diajarkan untuk selalu
membaca label makanan yang mengandung susu atau produknya (mentega, kasein,
lactalbumin, lactoglobulin atau laktosa). (5) Pada anak kecil, diet eliminasi harus
dipertimbangkan dengan hati-hati dan memerlukan tindak lanjut medis yang terus-
menerus, karena diet eliminasi secara serius dapat mengganggu kualitas hidup dan
membuat efek samping yang parah. Ketika alergi susu sapi didiagnosis pada bayi,
dokter harus merekomendasikan kepada orangtua penggunaan makanan pengganti
susu berdasarkan extensively hydrolysed susu sapi dan harus mengobservasi pasien
untuk menentukan waktu yang paling tepat untuk diberikan kembali susu sapi
tersebut. (5) Extensively hydrolysed formulas merupakan disusun oleh campuran
peptida dan asam amino yang diproduksi dari kasein susu sapi atau air dadih dan
dapat ditoleransi pada 95% anak yang alergi terhadap susu. Jika gejalanya tetap
persisten, maka dapat digunakan formula asam amino, khususnya pada anak
dengan alergi beberapa makanan dan gangguan pertumbuhan. (5) Dibandingkan
dengan eHF, Soy formula (SF) atau susu kedelai merangsang reaksi yang lebih
sering pada anak-anak yang mengalami alergi protein susu sapi berusia kurang dari
6 bulan. Soy formula dapat menginduksi terjadinya gejela-gejala
gastrointestinal.(3) Susu kedelai, tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak-anak
secara sempurna. Selain itu, meskipun tidak adanya protein homolog dan reaksi
silang alergi, sekitar 10% dari reaksi mediasi IgE dan 60% dari anak-anak reaksi
mediasi non IgE juga alergi terhadap kedelai. (5) Kebanyakan orang tua ingin
mengganti susu sapi dengan susu binatang mamalia lainnya atau susu kedelai.
Meskipun begitu, sebenarnya setiap pasien alergi susu sapi memiliki reaksi silang
dengan susu biri-biri betina atau susu kambing, lagi pula susu-susu tersebut tidak
memiliki nutrisi yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan bayi dan dapat
menyebabkan anemia megaloblastik disebabkan kekurangan asam folat. Beberapa
studi menyarankan bahwa susu unta dan keledai memiliki imunitas yang lebih baik
namun komposisi lainnya sangat berbeda dari ASI sehingga tidak dapat digunakan.
(5) Susu kambing sering menyebabkan terjadinya reaksi alergi pula lebih dari 90%
anak dengan alergi protein susu sapi, dan 15% pada susu keledai, selain itu juga
memiliki harga yang mahal. Susu binatang mamalia lainnya bukanlah pilihan
nutrisi yang adekuat. (3) Amino acid formula (AAF) tidak bersifat alergenik,
namun kekurangannya ialah mempunyai harga yang mahal dan rasa yang tidak
enak. (3) Nasi bersifat alergenik dan seringkali berpengaruh pada terjadinya
sindrom enterocolitis pada bayi-bayi di Australia. Namun data yang berbeda
ditunjukan oleh efek pada pertumbuhan dari protein yang terkandung di dalam
nasi. Pada anak-anak di Itali, rice formula dapat ditoleransi pada anak dengan
alergi protein susu sapi. (3) Rice formula dapat digunakan sebagai pilihan pada
kasus-kasus tertentu apalagi dengan rasa yang lebih baik dan harga yang lebih
murah. (3) Dengan demikian, extensively hydrolysed formula adalah pengganti
susu sapi yang direkomendasikan pada kasus alergi susu bayi dan anak-anak kecil.
(5) 2.6.2 Pengobatan Darurat Dokter harus memberikan penjelasan fungsi dari
pengobatan darurat pada kasus-kasus paparan yang accidental (tidak disengaja).
Pengobatan ini meliputi antihistamin untuk reaksi-reaksi kulit ringan dan
gastrointestinal, dan penggunaan adrenalin yang dapat disuntik sendiri untuk reaksi
sistemik atau reaksi pada pernapasan. Kortikosteroid dapat juga diberikan untuk
mencegah gejala-gejala fase rebound dan fase lambat namun pasien harus
diberikan inform consent dengan jelas tentang fase lambat tersebut dan
penggunaan adrenalin yang tidak terlambat. (5) 2.6.3 Evolusi Alergi susu mediasi
IgE pada anak-anak telah ditunjukkan mencapai resolusi pada kebanyakan pasien
sebelum usia 3 (tiga) tahun. Oleh karena itu, bayi harus dievaluasi secara teratur
oleh seorang spesialis, yang akan menentukan waktu yang paling tepat untuk
pengenalan susu ulang. Namun, sekitar 20% dari pasien akan tetap alergi untuk
jangka waktu yang lebih lama. Faktor prognosis bergantung pada kadar IgE
spesifik terhadap susu dan kadarnya menurun dari waktu ke waktu.(5) 2.6.4
Algoritma Penatalaksanaan Alergi Susu Sapi Di Bawah 1 tahun Jika terjadi reaksi
yang berhubungan dengan meminum susu sapi, maka terdapat algoritme
penatalaksanaan yang dapat dilakukan seperti pada gambar 2.5. (3) Gambar 2.5
Algoritma penatalaksanaan alergi terhadap susu sapi pada anak-anak kurang dari 1
tahun dengan gejala ringan-moderate Ketika alergi pada susu sapi diketahui, bayi
harus diberikan diet bebas protein susu sapi selama 2-4 minggu. 4 minggu
dimaksudkan untuk gejala gastrointestinal kronis. Bayi sebaiknya diberi makan
dengan eHF atau SF pada anak-anak berusia lebih dari 6 bulan dan tanpa gejala
gastrointestinal. (3) Jika gejalanya membaik pada diet yang ketat, pemberian
tantangan makanan sasu sapi merupakan tindakan diagnostic wajib untuk
menentukan diagnosis. Jika tes pemberian tantangan makanan positif, anak harus
mengikuti diet eliminasi dan mengulangi tes pemberian tantangan makanan setelah
6 bulan dan pada beberapa kasus dilulang 9-12 bulan kemudian. Jika tes pemberian
tantangan makanan negatif, diet yang bebas sudah dilakukan. (3) Gambar 2.6
Algoritma penatalaksanaan anak dengan alergi protein susu sapi berusia <>(3)
Susu sapi pengganti digunakan pada bayi kurang dari 12 bulan. Pada anak yang
alergi protein susu sapi yang lebih tua, eHF dan AAF kurang berguna karena diet
yang adekuat lainnya dapat didapatkan secara mudah. (3) Gejala akut yang parah
seperti edema laryngeal, asma akut dengan kesulitan respiratori, anafilaksis. (3)
Jika terdapat salah satu dari gejala ini sebagai akibat dari alergi protein susu sapi,
bayi harus mengikuti diet bebas susu sapi. Sebagai penggantinya, eHF atau SF atau
AAF dapat digunakan. Penggunaan eHF dan SF harus dilakukan dibawah supervisi
medis karena kemungkinan terjadinya reaksi alergi. Jika diberikan AAF maka
AAF diberikan selama 2 (dua) minggu kemudian bayi dapat dirubah kembali SF
atau eHF. (3) Pada anak dengan gejala alergi gastrointestinal parah yang lambat
dengan pertumbuhan yang buruk, anemia atau hipoalbuminemia atau
esofagogastropati eosinofilik, dianjurkan untuk memulai diet eliminasi
menggunakan AAF kemudian diganti eHF. Efek dari diet tersebut dicek kembali
dalam 10 (sepluluh) hari untuk sindrom enterocolitis, 1-3 minggu untuk enteropati
dan 6 minggu untuk esofagogastropati eosinofilik. (3) Pada anak dengan
anafilaksis dan tes IgE yang positif atau reaksi gastrointestinal yang parah, tes
pemberian tantangan makanan tidak boleh dilakukan sebelum 6-12 bulan setelah
reaksi alergi terakhir. Anak tersebut dilarang minum susu sapi sampai usia 12
bulan, tetapi pada anak dengan sindrom enterocolitis dilat=rang diberikan susu sapi
sampai usia 2-3 tahun. (3) Anak dengan gejala reaksi alergi yang parah harus
dirujuk ke pusat spesialistik. eHF atau AAF digunakan pada anak kurang dari usia
12 bulan dan pada anak lebih tua dengan gejala gastrointestinal yang parah. Pada
anak dengan usia > 12 bulan dengan anafilaksis, penggantian susu sapi tidak
diperlukan. (3) Pada bayi yang diberikan ASI eksklusif, gejala yang diduga
berhubungan dengan alergi protein susu sapi ialah sampir selalu reaksi mediasi non
IgE sebagai dermatitis atopi, muntah, diare, kolik. (3) Pada bayi dengan gejala
mederat-parah, protein susu sapi, telur dan makanan lain harus dipantang oleh ibu
hanya jika terdapat riwayat yang jelas. Oleh karena itu, bayi tersebut harus durujuk
ke klinik spesialis. Diet eliminasi pada ibu dilakukan selama 4 minggu. Jika tidak
terdapat perbaikan maka diet harus di stop. Jika gejalanya membaik, dianjurkan ibu
meminum susu sapi dengan jumlah yang banyak selama 1 minggu. Jika terjadi
gejala alergi, ibu harus melanjutkan dietnya dengan diberikan siet tambahan
kalsium. Bayi dapat disapih serupa dengan bayi yang sehat, namun susu sapi harus
dihindari sampai usia 9-12 bulan, dan sekurang-kurangnya 6 bulan dari permulaan
diet. Jika jumlah ASI kurang, eHF dan SF (jika usia > 6 bulan) dapat juga
diberikan. (3) Gambar 2.7 Algoritma untuk bayi yang diberikan ASI yang memiliki
suspek reaksi alergi mediasi non IgE terhadap protein susu sapi. (3) Jika setelah
diberikan susu sapi kembali gejala tidak muncul, maka makanan yang sebelumnya
dilarang dapat diberikan kembali satu per satu pada ibu. (3) Laktosa Konsep alergi
terhadap laktosa sudah sangat mendarah daging bahwa laktosa dapat merangsang
terjadinya alergi dikemukakan dalam diagnosis banding terhadap efek samping
dari makanan ketika penyebabnya tidak jelas. Reaksi alergi terhadap laktosa telah
ditunjukan oleh studi kasus yang melaporkan terjadinya reaksi alergi yang cepat
setelah pemberian royal jelly. Pabrik-pabrik lebih senang penggunaan laktosa dari
ekstraksi susu daripada yang disintesis disebabkan alasan harga namun jarang
disebutkan pada label dari produk tersebut. Sehingga para ahli alergi menganjurkan
untuk menghindari makanan yang mengandung laktosa dikhawatirkan adanya
paparan dari protein residu kepada anak yang alergi terhadap susu sapi. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Alessandro dan rekan-rekannya (2003) menemukan
bahwa pemberian diet bebas laktosa atau laktosa residu pada makanan pada anak
dengan alergi terhadap susu sapi adalah tidak perlu. Malahan, dapat terjadi
ketidakseimbangan nutrisi atau defisiensi gizi yang dapat disebabkan oleh
pembatasan diet produk susu, khususnya laktosa. Penelitian tersebut memiliki
kesimpulan bahwa pada anak yang hipersensitif terhadap susu sapi, secara klinis
masih memilki toleransi terhadap laktosa dan aman dikonsumsi sebagai makanan
atau sebagai obat dengan komposisi laktosa di dalamnya.(10) 2.7 Pencegahan
Pencegahan alergi dilakukan sedini mungkin. Hal ini dapat dilakukan sebelum
anak tersensitisasi protein susu sapi, yaitu pada masa intrauterin. Pencegahan dapat
dilakukan dengan mengkonsumsi susu sapi yang hipoalergi yaitu susu sapi
partially hydrolyzed untuk merangsang pembentukan terjadinya toleransi di masa
yang akan datang. Ketika reaksi alergi tetap terjadi setelah pemberian susu yang
hipoalergi, maka pemberian susu harus digantikan oleh susu lain seperti susu
kedelai. (2) Pada bayi, berdasarkan rekomendasi Eropa dan Amerika sebenarnya
bergantung pada pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan, diikuti dengan
penundaan pengenalan makanan padat pada anak dengan risiko atopik (seperti
atopik orang tua atau saudara kandung, atau anak-anak dengan dermatitis atopik).
Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa bayi yang terkena alergi makanan
(dalam hal ini susu sapi) pada awal kehidupan bayi melalui rute oral cenderung
kurang akan memiliki alergi terhadap makanan dari bayi tanpa eksposur tersebut.
Alergi susu sapi seringkali terdapat pada anak yang memiliki alergi makanan
lainhya pada usia yang lebih tua. Pencegahan dan pengobatan yang baik adalah
penting dalam mencegah alergi terhadap makanan di masa yang akan datang.
Secara umum terdapat 3 (tiga) fase pencegahan terhadap alergi susu, yaitu: (2),(5)
Pencegahan Primer Yang dilakukan sebelum tersensitisasi. Dilakukan sejak
prenatal pada janin dengan keluarga yang memiliki bakat dermatitis atopi.
Menghindari dengan cara memberikan susu sapi yang hipoalergi, seperti susu sapi
partially hydrolyzed, dengan tujuan untuk merangsang toleransi dari alergi susu
sapi pada masa yang akan datang, disebabkan masih mengandung sedikit partikel
dari susu sapi, sebagai contoh dengan merangsang IgG blocking agent. Tindakan
pencegahan ini juga dilakukan pada makanan alergi makanan lainnya, dan juga
menghindari merokok. (2) Pencegahan Sekunder Dilakukan setelah sensitisasi
tetapi manifestasi penyakit alergi tidak muncul. Kondisi sensitisasi ditentukan oleh
pemeriksaan IgE spesifik dalam serum atau darah tali pusat, atau dengan uji kulit.
Saat tindakan yang optimal adalah usia 0-3 tahun. Penghindaran dilakukan dengan
cara mengganti susu sapi menjadi susu sapi non alergenik, seperti susu sapi yang
dihidrolisis sempurna atau pengganti susu sapi seperti susu kedelai yang tidak
membuat terjadinya sensitisasi terjadinya manifestasi penyakit alergi. ASI
eksklusif tampaknya juga dapat mengurangi risiko alergi. (2) Pencegahan Tertier
Dilakukan pada anak-anak yang telah mengalami manifestasi sensitisasi dan
menunjukkan penyakit alergi awal seperti dermatitis atopik atau rinitis, tetapi
belum menunjukkan gejala alergi yang lebih berat seperti asma. Saat tindakan yang
optimal adalah pada usia 6 bulan sampai 4 tahun. (2) Penghindaran juga dilakukan
dengan memberikan susu sapi hidrolisat sempurna atau pengganti susu sapi.
Penyediaan obat preventif seperti setirizin, imunoterapi, imunomodulator tidak
direkomendasikan karena belum terbukti secara klinis bermanfaat. (2) 2.8
Prognosis Antigenitas dan alergenitas protein susu sapi ini diketahui berkaitan
dengan umur 8 dan alergi yang terjadi kebanyakan berkurang atau menghilang di
usia 2-3 tahun. Bahkan ada pula yang menyatakan alergi susu sapi hanya terjadi
pada tahun pertama kehidupan. Berdasarkan inilah pada usia tersebut dapat dicoba
diberikan lagi susu sapi sedikit-sedikit dan dilihat apakah alergi susu sapi masih
ada atau tidak. (1),(5) Bayi dengan alergi susu sapi memiliki risiko yang lebih
besar untuk mengalami alergi terhadap bahan makanan lain. Mereka juga memiliki
risiko yang lebih besar untuk mengalami asma atau bentuk alergi lainnya dalam
usia selanjutnya. Untuk itu, bagi anak yang mengalami alergi susu sapi, dianjurkan
untuk menghindari makanan yang juga memiliki sifat alergenitas tinggi, seperti
kacang, ikan, atau makanan laut, sampai usia 3 tahun.4 Walaupun demikian anak
yang memiliki alergi susu sapi tak selalu alergi terhadap daging sapi atau bulu sapi,
bahkan penelitian yang telah dilakukan hanya mendapatkan angka kurang dari
10% dari penderita alergi susu sapi yang mengalami reaksi terhadap daging sapi.
Di samping itu, proses pemanasan maupun pengolahan juga akan semakin
menurunkan sifat alegenitas daging sapi ; karenanya daging sapi yang dimasak
secara baik sangat jarang menimbulkan masalah pada penderita protein susu sapi.
(1) Dalam kaitannya dengan sifat alergi yang dimilikinya, berbagai penelitian telah
memperlihatkan pola hubungan berkesinambungan proses sensitisasi alergen
dengan perkembangan dan perjalanan alergi yang dikenal dengan nama allergic
march, yaitu perjalanan alamiah penyakit alergi. Secara klinis, allergic march
terlihat berawal sebagai alergi pada saluran cerna (umumnya berupa diare karena
alergi susu sapi) yang akan berkembang menjadi alergi pada lapisan kulit
(dermatitis atopi) dan kemudian alergi pada saluran napas (asma bronkial, rinitis
alergi). (1) BAB III KESIMPULAN Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala
yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi
terhadap susu sapi dengan keterlibatan mekanisme sistem imun, yang disebabkan
oleh kandungan protein di dalam susu sapi. Alergi susu sapi seringkali diduga
terjadi pada pasien, disertai banyak gejala klnis. Sindrom klinis yang terjadi
sebagai akibat alergi pada susu dapat bermacam-macam, meskipun demikian dapat
diketahui dengan baik. Penatalaksanaan alergi dapat dilakukan kepada bayi
maupun juga kepada ibu yang memberikan ASI-nya. Dan pencegahan saat ini
sudah dapat dilakukan semenjak masih dalam kandungan

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Anda mungkin juga menyukai