PENTA ORBIS
Di Indonesia sirkumsisi sudah lama dikenal, pada mulanya sirkumsisi dilakukan oleh
dukun, kemudian mantri atau perawat dan sekarang sudah banyak dilakukan oleh dokter.
Sirkumsisi diwajibkan pada anak laki-laki yang memeluk agama islam. Dalam tradisi
agama islam disebutkan bahwa anak laki-laki yang sehat harus disirkumsisi begitu
menginjak usia akhir balik yaitu setelah mimpi basah. Umumnya terjadi ketika anak
tersebut telah berusia lebih dari 10 tahun. Hermana (2000) menyatakan bahwa sirkumsisi
disebut juga sayatan melingkar, yang diidentikan pada pemotongan prepusium yang
melingkar terhadap batang penis. Oleh sebab itu kecemasan akan muncul pada anak dan
perlu adanya sistem pendukung seperti keluarga atau teman yang akan mendengarkan
dan memberikan nasihat dan dukungan emosional akan sangat bermanfaat bagi seseorang
yang mengalami kecemasan atau stress. 1,2
Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kecemasan adalah adanya hubungan keluarga.
Support system keluarga atau dukungan keluarga yang merupakan bagian dari dukungan
sosial mempunyai pengaruh terhadap kesehatan. Jika kita merasa didukung oleh
lingkungan maka segala sesuatu dapat menjadi lebih mudah pada waktu menjalani
kejadian-kejadian yang menegangkan. Dukungan tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk
dukungan emosional melalui rasa empati, dukungan maju, dukungan kontra mental
melalui bantuan langsung berupa harta atau benda dan dukungan informatif melalui
pemberian nasehat, saran-saran atau petunjuk. 1, 2
Beberapa studi mengatakan bahwa adanya nyeri yang ekstrim dalam sunat (Rahmawati,
2009). Kecemasan umumnya disebabkan karena kurangnya pemberian informasi
sehingga akan berpengaruh pada tingkat kecemasan anak. Kecemasan pada anak yang
akan menjalani khitan dikenali sebagai bagian dari trauma yang dialami anak akibat
tindakan yang dianggap membahayakan bagi dirinya. Dukungan informatif melalui
pemberian informasi, nasehat, saran ataupun petunjuk kepada anak. Dengan pemberian
informasi yang adekuat dan menarik tentang khitan, anak akan tertarik untuk
memperhatikan dan dapat meningkatkan pengetahuan anak sehingga mempunyai
mekanisme koping yang baik dalam mengatasi kecemasan. 3
PEMOTONGAN
NYERI KECEMASAN
PREPUTIUM
SIRKUMSISI
INFORMASI
&
DUKUNGAN
ORG TUA
Dari sisi medis sirkumsisi sangat bermanfaaat karena kebersihan penis dapat
terjaga. Preputium atau kulit penutup depan dari penis yang menjadi tempat
berkumpulnya sisa-sisa air seni dan kontoran lain yang membentuk zat warna
putih disebut smegma, ini sangat potensial sebagai sumber infeksi. Dengan
membuang kulit atau preputium maka resiko terkena infeksi dan penyakit lain
menjadi lebih kecil (BKKBN, 2006). Sirkumsisi dapat menghindari timbulnya
berbagai penyakit, misalnya fimosis (prepusium atau kulit tidak dapat ditarik
ke belakang atau tidak dapat membuka), parafimosis (preposium atau kulit
tidak bisa ditarik ke depan), serta pencegahan terjadinya tumor pada daerah
alat kelamin laki-laki. Dan terbukti pula penis laki-laki yang disirkumsisi
lebih higienis (Harry Wahyudi Utama, 2007). 4
1. Metode Klasik Metode klasik merupakan salah satu metode sirkumsisi yang
6
saat ini sudah jarang dilakukan atau sudah ditinggalkan. Metode klasik banyak
5,6
ditemukan pada daerah pedalaman yang sudah jarang di jangkau. Dalam
metode ini alat yang digunakan adalah sebilah bambu tajam, pisau, atau silet.
Metode ini dilakukan tanpa pembiusan sebelumnya dan relatif lebih cepat karena
setelah dilakukan sirkumsisi bekas luka langsung dijahit dan dibungkus dengan
kain kasa. Sehingga metode sirkumsisi ini memungkinkan terjadinya perdarahan
5,6
hebat serta infeksi yang parah apabila tidak dilakukan secara benar dan steril.
5.Metode KlampMetode ini memiliki banyak variasi alat serta nama. Prinsip
kerjanya sama, yaitu kulup dijepit dengan menggunakan suatu alat yang
umumnya sekali pakai penggunaan, kemudian dipotong dengan menggunakan
6
pisau bedah tanpa dilakukan penjahitan.
II. Nyeri
Nyeri (pain) adalah suatu konsep yang komplek untuk didefenisikan dan
dipahami. Nyeri barangkali adalah suatu fenomena yang sering dihadapi oleh
petugas kesehatan (Montes-Sandoval, 1999). Melzack dan Casey (1968)
mengemukakan bahwa, nyeri bukan hanya suatu pengalaman sensori belaka tetapi
juga berkaitan dengan motivasi dan komponen affektif individunya. 9
Transduksi/Transduction
Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk yang
dapat diakses oleh otak (Turk & Flor, 1999). Proses transduksi dimulai ketika
nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri
teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon
terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan. 9
Transmisi/Transmission
Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa impuls
listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen
yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter
besar (Davis, 2003). Saraf aferen akan ber-axon pada dorsal horn di spinalis.
Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic
melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral. 9
Modulasi/Modulation
Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol jalur
transmisi nociceptor tersebut (Turk & Flor, 1999). Proses modulasi melibatkan
system neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi
impuls nyeri ini akan dikontrol oleh system saraf pusat dan mentransmisikan
impuls nyeri ini kebagian lain dari system saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya
impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf- saraf descend ke tulang
belakang untuk memodulasi efektor. 9
Persepsi/Perception
Persepsi adalah proses yang subjective (Turk & Flor, 1999). Proses persepsi ini
tidak hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja
(McGuire & Sheildler, 1993), akan tetapi juga meliputi cognition (pengenalan)
dan memory (mengingat) (Davis, 2003). Oleh karena itu, faktor psikologis,
emosional, dan berhavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon dalam
mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah yang
menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang melibatkan multidimensional. 9
III. Kecemasan
Menurut Suliswati, (2005) kecemasan sebagai respon emosi tanpa objek yang
spesifik yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal.
Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi
dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak
menentu dan tidak berdaya. 10
IV. Informasi
Beberapa studi mengatakan bahwa adanya nyeri yang ekstrim dalam sunat
(Rahmawati, 2009). Kecemasan umumnya disebabkan karena kurangnya
pemberian informasi sehingga akan berpengaruh pada tingkat kecemasan anak.
Kecemasan pada anak yang akan menjalani khitan dikenali sebagai bagian dari
trauma yang dialami anak akibat tindakan yang dianggap membahayakan bagi
dirinya. Hermana (2000) menyatakan bahwa sirkumsisi disebut juga sayatan
melingkar, yang diidentikan pada pemotongan prepusium yang melingkar
terhadap batang penis. Oleh sebab itu kecemasan akan muncul pada anak dan
perlu adanya sistem pendukung seperti keluarga atau teman yang akan
mendengarkan dan memberikan nasihat dan dukungan emosional akan sangat
bermanfaat bagi seseorang yang mengalami kecemasan atau stress. 16
Motivasi anak bisa muncul karena adanya dorongan orang tua (keluarga) serta
lingkungan sekitar. Apabila anak bersedia melakukan sirkumsisi hanya
berdasarkan instruksi orang tua, berarti anak tersebut tidak temotivasi oleh dirinya
sendiri. Keluarga dapat menjadi motivator bagi anak, karena kebanyakan instruksi
orang tua sangat dibutuhkan, tetapi hendaknya keluarga juga mampu menjelaskan
tentang manfaat sirkumsisi sehingga motivasi dan pengetahuan bisa berjalan
sejalan. Selain itu, lingkungan juga berperan dalam meningkatkan motivasi anak
untuk melakukan sirkumsisi, karena lingkungan merupakan tempat sosialisasi
anak dengan teman-temannya, dan dari teman-temannya itulah akan terdorong
untuk melakukan sirkumsisi. Motivasi inilah yang mendorong seseorang untuk
berperilaku, beraktivitas dalam pencapaian tujuan (Widayatun, 1999 : 112).
Karena pada hakekatnya motivasi sangat diperlukan agar anak terdorong untuk
melakukan sirkumsisi. 17, 18
Setelah melakukan analisa tahap Spiral Penta Orbis hingga mencapai orbis
ketiga. Ternyata terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap kecemasan
anak adalah karakter pribadi sang anak dan trauma sebelum sirkumsisi.
Karakter pribadi sang anak sangat memperngaruhi apakah nantinya dia akan
mengalami kecemasan pre sirkumsisi atau tidak. Seperti misalnya anak yang
karakternya pemberani akan lebih kuat daripada anak yang memang dari
lahir karakternya penakut. Hal ini juga dipengaruhi oleh orang tua mereka
yang mungkin memiliki karakter yang sama karena anak adalah mesin copy
yang terbaik.19
Trauma masa kecil pun mempengaruhi, seperti misalnya saat kecil pernah
melihat teman atau kakaknya menangis keras saat disirkumsisi. Jika terjadi
hal seperti ini maka pastinya anak ini pun akan merasa takut bila tiba
saatnya dia untuk disirkumsisi. 20
KARAKTER
ANAK &
SIRKUMSISI TRAUMA
PEMOTONG
AN
PREPUTIUM
NYERI KECEMASAN
INFORMASI
&
DUKUNGAN
ORG TUA
DAFTAR PUSTAKA
9. Sumadi. Hubungan Fase Usia Anak Dengan Tingkat Kecemasan Pada Anak Pre
Operasi Sirkumsisi Di Pondok Khitan Al-Karomah Wonosobo Jawa Tengah
Tahun 2010. Naskah Publikasi Stikes Aisyiyah Yogyakarta. 10 Agustus 2010;
4-12.
10. Wahyu, Septa. Hubungan Sekolah Dengan Motivasi Anak Usia Sekolah Untuk
Melakukan Sirkumsisi. KTI Universitas Muhammadiyah Ponorogo. 21
Desember 2011; 4-10.
11. Hami, Doddy; Dimas Nugroho dkk. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan
Keluaran & Komplikasi Sirkumsisi. Artikel Pnelitian J Indom Med Assor
Volim : 62, Nomor: 1, Januari 2011.
15. Schwartz, L., Slater, M. A., & Birchler, G. R. (1996). The role of pain behaviors
in the modulation of marital conflict in chronic pain couples. Pain, 65, 227-233.
16. Paulsen, J. S. & Altmaier, E. M. (1995). The effects of perceived versus enacted
social support on the discriminative cue function of spouses for pain behaviors.
Pain, 60, 103-110.
17. Nugroho, Amin. Persepsi Orang Tua Tentang Perawatan Pasca Sirkumsisi Pada
Anak Laki-Laki Usia Sekolah. KTI UMP. 2014; 6-10
18. Hermana, A, 2000. Teknik Khitan Panduan Lengkap, Sistematis dan Praktis,
Cetakan Pertama, Penerbit : Widya Medika, Jakarta.
19. Hidayat, A. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika.
20. Sunaryo. 2004. Metode Penelitian Keperawatan. Jakarta: EGC
21. Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yoyakarta: Andi
Yogyakarta.
22. Harsono dkk. Perbedaan Penyembuhan Luka Post Sirkumsisi Dengan Metode
Electro Couter dan Metode Konvensional Pada Pasien Sirkumsisi di Poliklinik
Morodadi Boyolali. Jurnal Ilmu Keperawatan Indonesia Vol.1 No. 1, Februari
2011; 12-16.
23. Tohari, Hamim. Informed Consent Pada Pelayanan Sirkumsisi. Jurnal Medika
Muda. 21 Juli 2014; 2-4.
24. Mulia, Musdah. Hak Anak Dalam Islam. Jurnal Keislaman Vol 2 No 5; Januari
2013; 1-3.
25. Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Mei 2012; 1-4.
26. Nelson, 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakrta : EGC
27. Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Pt. Rineka Cipta
28. Hermana. 2000. Teknik Khitan. Jakarta : Widya Medika
29. Hidayat, Aziz Alimul. 2007. Metode Keperawatan dan Teknik Analisa Data.
Jakarta : Salemba Medika
30. Widayatun, Tri Rusmi. 1999. Ilmu Perilaku. Jakarta : Informatika
31. Sujanto, Agus dkk. 2006. Psikologi Kepribadian Edisi 1 cetakan II. Jakrta :
Aksara Baru
32. Sugiono, 2003. Metodologi Penelitian Administrasi Ed.10. Bandung : Alfabeta
33. Dexa Media. Jurnal Kedokteran dan Farmasi No. 4, Vol 20, Oktober Desember
2007; 7-10
34. Muslimin, Khoirul. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kecemasan. Jurnal
Interaksi, Vol. II No. 2, Juli 2013: 42-52.
35. Widanarti, Niken. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Self
Efficacy Pada Remaja Di SMU Negeri 9 Yogyakarta. Jurnal Psikologi 2002, No.
2; 112-123.
36. Widiantari, A. 2002. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dan Locus Of
Control Dengan Daya Tahan Stres Pada Remaja. Skripsi. (tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
37. Wulaningsih, T. 1996. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Pada Siswa
Yang Mengalami Kecemasan di SMU Negeri 9 Yogyakarta. Skripsi. (tidak
diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
38. Sarason, I. G., Levine, H. M., Bresham, R. B., and Sarason, B. R. 1983. Assesing
Social Support. The Social Support Questionnaire. Journal of Personality And
Social Psychology. 44, 127-134.
39. Hamilton M. A rating scale for depression. J Neurol Neurosurg Psychiatry
1960; 23:5662
40. The Hamilton Rating Scale For Depression, Journal of Operational Psychiatry,
1979, 10(2); 149-165.
41. Maulida, Indah. Konstruksi Sosial Budaya Tentang Sunat. Skripsi FIS Universitas
Negeri Semarang. 2013; 4-8
42. Singarimbun, Masri. dan Effendi, Sofian. 1985. Metode Penelitian Survai.
43. Jakarta: LP3ES.
44. Sugiyono. 2008. Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
45. Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisiu
46. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek).
Jakarta: Rineka Cipta.
47. Handoyo, dkk. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang: UNNES Press.
48. Taeki Koa, Yuliana. http://jurnal.smh.ac.id/hubungan-pengetahuan-tentang-
khitan-dengan-motivasi-remaja-putra-melakukan-khitan-sirkumsisi-di-desa-
nonatbatan-kecamatan-biboki-anleu-kabupaten-timor-tengah-utara-propinsi-nusa-
tenggara-timur/ ; 2012.
50. World Health Organization. Traditional male circumcision among young people:
a public health perspective in the context of HIV. [Internet]. 2009 Nov [cited
2014 Dec 26]. Available from:
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241598910_eng.pdf