Anda di halaman 1dari 15

TUGAS METODOLOGI PENELITIAN

PENTA ORBIS

PERANAN INFORMASI & DUKUNGAN ORANG


TUA DALAM MENGURANGI KECEMASAN ANAK
PRE SIRKUMSISI

ADHEA PRIYANKA INDIRA


C111 14 312
KELOMPOK 7B
ORBIS 1: CONSTRUCT A CONCEPTUAL FRAMEWORK

Di Indonesia sirkumsisi sudah lama dikenal, pada mulanya sirkumsisi dilakukan oleh
dukun, kemudian mantri atau perawat dan sekarang sudah banyak dilakukan oleh dokter.
Sirkumsisi diwajibkan pada anak laki-laki yang memeluk agama islam. Dalam tradisi
agama islam disebutkan bahwa anak laki-laki yang sehat harus disirkumsisi begitu
menginjak usia akhir balik yaitu setelah mimpi basah. Umumnya terjadi ketika anak
tersebut telah berusia lebih dari 10 tahun. Hermana (2000) menyatakan bahwa sirkumsisi
disebut juga sayatan melingkar, yang diidentikan pada pemotongan prepusium yang
melingkar terhadap batang penis. Oleh sebab itu kecemasan akan muncul pada anak dan
perlu adanya sistem pendukung seperti keluarga atau teman yang akan mendengarkan
dan memberikan nasihat dan dukungan emosional akan sangat bermanfaat bagi seseorang
yang mengalami kecemasan atau stress. 1,2

Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kecemasan adalah adanya hubungan keluarga.
Support system keluarga atau dukungan keluarga yang merupakan bagian dari dukungan
sosial mempunyai pengaruh terhadap kesehatan. Jika kita merasa didukung oleh
lingkungan maka segala sesuatu dapat menjadi lebih mudah pada waktu menjalani
kejadian-kejadian yang menegangkan. Dukungan tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk
dukungan emosional melalui rasa empati, dukungan maju, dukungan kontra mental
melalui bantuan langsung berupa harta atau benda dan dukungan informatif melalui
pemberian nasehat, saran-saran atau petunjuk. 1, 2

Sebagian masyarakat pada umumnya menganggap, tindakan khitan merupakan tindakan


yang biasa saja tanpa memperhatikan aspek psikologi anak. Jika hal ini tidak tertangani
dengan baik maka proses khitan tidak akan berjalan kooperatif, sehingga anak akan
menangis, memberontak dan menolak untuk melanjutkan proses khitan (Prasetyono,
2009). Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu tertentu
dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat
menekan kehidupan seseorang, dan karena itu berlangsung tidak lama (Ramainah, 2003).
Ketakutan dan kecemasan tersebut timbul akibat proses sirkumsisi yang akan dijalani
melibatkan rasa nyeri saat anestesi (Suddarth & Brunner, 2002). 3

Beberapa studi mengatakan bahwa adanya nyeri yang ekstrim dalam sunat (Rahmawati,
2009). Kecemasan umumnya disebabkan karena kurangnya pemberian informasi
sehingga akan berpengaruh pada tingkat kecemasan anak. Kecemasan pada anak yang
akan menjalani khitan dikenali sebagai bagian dari trauma yang dialami anak akibat
tindakan yang dianggap membahayakan bagi dirinya. Dukungan informatif melalui
pemberian informasi, nasehat, saran ataupun petunjuk kepada anak. Dengan pemberian
informasi yang adekuat dan menarik tentang khitan, anak akan tertarik untuk
memperhatikan dan dapat meningkatkan pengetahuan anak sehingga mempunyai
mekanisme koping yang baik dalam mengatasi kecemasan. 3
PEMOTONGAN
NYERI KECEMASAN
PREPUTIUM
SIRKUMSISI

INFORMASI
&
DUKUNGAN
ORG TUA

ORBIS 2: EXPLORE THE DYNAMIC POTENTIAL OF EACH VARIABLE WITHIN


THE CONCEPTUAL FRAMEWORK
I. Sirkumsisi & pemotongan preputium

Sirkumsisi adalah suatu tindakan pembedahan membuah prepusium penis


untuk tujuan tertentu, baik tujuan medis, social maupun religious, kata
sirkumsisi berasal dari bahasa Latin, circum (sekeliling) dan coedere
(memotong), sedangkan di Indonesia sendiri sirkumsisi lebih dikenal dengan
istilah sunat atau khitan. 3

Dari sisi medis sirkumsisi sangat bermanfaaat karena kebersihan penis dapat
terjaga. Preputium atau kulit penutup depan dari penis yang menjadi tempat
berkumpulnya sisa-sisa air seni dan kontoran lain yang membentuk zat warna
putih disebut smegma, ini sangat potensial sebagai sumber infeksi. Dengan
membuang kulit atau preputium maka resiko terkena infeksi dan penyakit lain
menjadi lebih kecil (BKKBN, 2006). Sirkumsisi dapat menghindari timbulnya
berbagai penyakit, misalnya fimosis (prepusium atau kulit tidak dapat ditarik
ke belakang atau tidak dapat membuka), parafimosis (preposium atau kulit
tidak bisa ditarik ke depan), serta pencegahan terjadinya tumor pada daerah
alat kelamin laki-laki. Dan terbukti pula penis laki-laki yang disirkumsisi
lebih higienis (Harry Wahyudi Utama, 2007). 4

Terdapat beberapa metode dalam melakukan sirkumsisi. 5


Yang paling sering digunakan adalah :

1. Metode Klasik Metode klasik merupakan salah satu metode sirkumsisi yang
6
saat ini sudah jarang dilakukan atau sudah ditinggalkan. Metode klasik banyak
5,6
ditemukan pada daerah pedalaman yang sudah jarang di jangkau. Dalam
metode ini alat yang digunakan adalah sebilah bambu tajam, pisau, atau silet.
Metode ini dilakukan tanpa pembiusan sebelumnya dan relatif lebih cepat karena
setelah dilakukan sirkumsisi bekas luka langsung dijahit dan dibungkus dengan
kain kasa. Sehingga metode sirkumsisi ini memungkinkan terjadinya perdarahan
5,6
hebat serta infeksi yang parah apabila tidak dilakukan secara benar dan steril.

2. Metode DorsumsisiDorsumsisi merupakan merupakan perbaikan dari metode


klasik. Metode ini telah menggunakan peralatan medis standard dan masih
5,6
dipakai hingga saat ini. Di Sunda metode ini dikenal dengan nama sopak
5,6
londong. Pada metode ini, umumnya bekas luka tidak dijahit, walaupun dalam
pelaksanaannya ada beberapa dokter yang telah memodifikasi dengan melakukan
5,6
pembiusan serta jahitan pada bekas luka untuk mengurangi risiko perdarahan.
Kelebihan dorsumsisi adalah peralatan yang digunakan lebih murah dan
sederhana, prosesnya singkat, relatif murah, sudah banyak dikenal masyarakat
umum, serta bisa dilakukan pada bayi atau anak berusia di bawah 3 tahun yang
5,6
pembuluh darahnya masih kecil. Kekurangan metode ini adalah risiko
terpotongnya glands penis lebih besar serta dapat menimbulkan nekrosis jaringan
dan perdarahan apabila tidak dilakukan penjahitan setelah selesai dilakukan
5,6
sirkumsisi.

3. Metode Standar Sirkumsisi KonvensionalMetode ini merupakan


penyempurnaan dari metode dorsumsisi dan paling sering digunakan oleh dokter
6
maupun pelayan medis lainnya. Peralatan yang digunakan dalam metode ini telah
sesuai dengan standar medis serta membutuhkan keahlian khusus untuk
5,6
melakukan metode ini. Benang yang digunakan untuk penjahitan luka
merupakan benang yang terbuat dari daging sehingga kemungkinan terjadi infeksi
sangat rendah dan risiko perdarahan tidak ada. Metode ini sangat baik dilakukan
pada semua kelompok usia, biaya yang yang di keluarkan sangat terjangkau, serta
banyak menjadi pilihan bagi pasien dengan kelainan fimosis. Kekurangannya
adalah dokter serta pelayan kesehatan yang ingin mengguakan metode ini dalam
6
praktik sirkumsisi harus memiliki keahlian yang khusus serta terlatih.

4. Metode LoncengMetode ini berbeda dengan metode-metode lainnya, karena


pada metode ini tidak dilakukan pemotongan kulup. Ujung penis diikat
menggunakan sebuah alat khusus sehingga bentuknya menyerupai lonceng,
akibatnya sistem sirkulasi atau peredaran darah akan tersumbat yang
mengakibatkan kurangnya suplai darah pada ujung penis. Apabila terjadi terus
menerus maka jaringan pada kulup yang membungkus penis akan mengalami
nekrosis dan akan terlepas dengan sendirinya. Alat untuk melakukan sirkumsisi
dengan metode ini telah diproduksi di beberapa Negara Eropa, Amerika Serikat,
6
dan Asia dengan nama circumcision cord device.

5.Metode KlampMetode ini memiliki banyak variasi alat serta nama. Prinsip
kerjanya sama, yaitu kulup dijepit dengan menggunakan suatu alat yang
umumnya sekali pakai penggunaan, kemudian dipotong dengan menggunakan
6
pisau bedah tanpa dilakukan penjahitan.

Metode Klamp yang sering digunakan, antara lain:

a) Metode Cincin ( Tara Klamp)


Penemu metode ini adalah Dr. T. Gurcharan Singh pada tahun 1990. Alat
yang digunakan dalam metode ini terbuat dari plastik untuk sekali pakai. dr.
Sofin adalah dokter yang mencetuskan metode cincin ini di Indonesia, setelah
lulus dari Fakultas kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada
tahun 2001.5,6 Pada metode ini, ujung kulup dilebarkan, lalu ditahan agar tetap
merenggang. Dengan cara memasang cincin karet. Kulup yag direnggangkan
tadi akan menghitam dan terlepas dengan sendirinya. Prosesnya hanya
berlangsung sekitar 3-5 menit. Kelebihan dari metode cincin adalah mudah
dan aman dalam penggunaan, tidak memerlukan penjahitan sehingga tidak
mengganggu aktifitas sehari-hari. Hampir tidak terjadi perdarahan sama sekali
dan setelah sirkumsisi dilakukan pun tidak ada rasa nyeri maupun sakit.5,6
b)
Metode Smart Klamp
Metode ini merupakan metode dan teknik sirkumsisi yang telah diperkenalkan
sejak tahun 2001 di Jerman.6 Penemu metode ini adalah dr. Harrie Van Baars.
Alat yang digunakan dalam metode sirkumsisi ini terdiri atas beberapa ukuran
yang berbeda tergantung dari fungsi alat tersebut digunakan. Ukurannya mulai
dari nomor 10, 13, 16, dan 21. Untuk melakukan sirkumsisi pada bayi maka
digunakan alat bernomor 10, sedangkan untuk orang dewasa digunakan alat
bernomor 21. Akan tetapi tidak selalu menggunakan patokan ini, sebab ukuran
diameter glands penis seseorang sangat berbeda dan harus disesuaikan dengan
ukuran glands penis pria yang melakukan sirkumsisi.5,6 Alat yang digunakan
terbuat dari dua jenis bahan kunci klamp, yakni nilon dan polikarbonat yang
dikemas secara steril dan sekali pakai.6 Metode ini memberikan perlindungan
luka dengan sistem tertutup. Luka sayatan terkunci secara rapat sehingga tidak
memungkinkan masuknya kuman atau mikroorganisme pengganggu yang
dapat mengakibatkan penularan infeksi penyakit.5,6
Pada metode ini glands penis pria yang akan di sirkumsisi diukur diameternya.
Selanjutnya diberi anastesi lokal secara hati-hati. Kulup (preputium)
dibersihkan dan ditarik sehingga tidak terjadi perlekatan dengan glands penis.
Batas kulup yang akan dibuang ditandai dengan spidol. Setelah itu, tabung
klamp dimasukkan ke dalam kulup hingga mencapai batas korona glandis.
Lalu klamp pengunci dimasukkan sesuai arah tabung dan diputar 90 derajat
sampai posisi klamp siap dikunci. Setelah posisi kulup yang akan dibuang
sudah terpasang dengan baik, harus diperhatikan juga bahwa saluran kencing
tidak terhalangi oleh tabung. Selanjutnya adalah mengunci klamp sehingga
terdengar bunyi klik. Sisi paling luar kulup dibuang menggunakan pisau
bisturi. Kemudian luka dibersihkan dengan obat antiinfeksi dan dibungkus
dengan kasa steril.5,6,7
c) Metode Gomco Klamp
Metode ini pertama kali digunakan pada tahun 1934.6 Pembuat alat atau kalmp
adalah Hirram S, Yellen MD, dan Aaron Goldstein. Alat ini terdiri dari bel
logam dan plat datar dengan lubang didalamnya. Terdpat pula sebuah sekrup
yang berfungsi untuk memberi tekanan.5,6Metode ini menggunakan 4 buah
perangkat yaitu bel, platform, pengait lengan, dan sekrup yang berfungsi
melindungi kelenjar, menyediakan hemostasis dan platform untuk reseksi
pada kulup. Sirkumsisi diawali dengan menarik kulup untuk membebaskan
perlengketan dan memungkinkan paparan dan pemeriksaan kelenjar untuk
melihat terjadi kelainan atau tidak.6,7
d) Metode Q-Tan Klamp
Metode ini menggunakan sekrup sebagai mekanisme pengunciannya, akan
tetapi sekrupnya terkunci mati (irreversible locking system) sehingga alat ini
tidak mungkin di daur ulang karena pembukaan alat ini harus dengan
dipotong. Alat yang digunakan dalam metode ini juga belum diproduksi
secara luas, sebab masih dilakukan penelitian sampai sekarang mengenai
layak atau tidaknya alat ini untuk digunakan.56,7
e) Metode Alis Klamp
Metode ini menggunakan alat yang sama dengan metode smart klamp, hanya
saja klemnya di rancang miring dengan pertimbangan mengikuti bentuk dan
ukuran dari glands penis.5,6
f) Metode Sunathrone Klamp
Metode ini ditemukan oleh dr. Moehammad Tasron Surat seorang dokter asal
Malaysia. Kelebihan metode adalah lebih paktis dan proses penyembuhannya
lebih cepat serta tidak memerlukan perawatan yang khusus setelah sirkumsisi
selesai dilakukan.5,6

g) Metode Mogen Klamp


Metode ini awalnya dilakukan untuk ritul sirkumsisi di Yahudi. Alat yang
digunakan adalah penjepit mogen, yang biasanya digunakan oleh dokter ahli
kandungan, serta berfungsi untuk memberikan hemostasis.8

Tingkat efek samping setelah melakukan sirkumsisi sangat bervariasi di seluruh


5
dunia. Beberapa laporan menyebutkan frekuensi efek samping setelah melakukan
sirkumsisi merupakan hal yang sangat serius, hal ini disebabkan selama periode 5
tahun terakhir lebih dari 74% dari semua kunjungan ahli urologi pediatrik adalah
5,6
untuk masalah komplikasi setelah sirkumsisi. Efek samping (komplikasi)
setelah melakukan sirkumsisi dikategorikan sebagai komplikasi awal dan
6
komplikasi akhir. Komplikasi awal misalnya, perdarahan, nyeri, penghapusan
kulit yang tidak memadai, serta infeksi situs bedah yang cenderung kecil untuk
diobati. Perdarahan pada pasien setelah melakukan sirkumsisi dengan gangguan
koagulasi dapat berakibat fatal. Komplikasi awal lainnya misalnya, hispospadia,
6
nekrosis kelenjar, dan amputasi kelenjar. Sementara itu, komplikasi akhir
meliputi inklusi kista epidermal, penghilangan kulup yang berlebihan, fimosis,
penis terkubur, penyempitan uretra, fistula uretrokutaneus, meatitis, serta stenosis
7
meatus.

II. Nyeri

Nyeri (pain) adalah suatu konsep yang komplek untuk didefenisikan dan
dipahami. Nyeri barangkali adalah suatu fenomena yang sering dihadapi oleh
petugas kesehatan (Montes-Sandoval, 1999). Melzack dan Casey (1968)
mengemukakan bahwa, nyeri bukan hanya suatu pengalaman sensori belaka tetapi
juga berkaitan dengan motivasi dan komponen affektif individunya. 9

Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon terhadap nyeri


tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu: tranduksi/
transduction, transmisi/transmission, modulasi/modulation, dan persepsi/
perception (McGuire & Sheilder, 1993; Turk & Flor, 1999). Keempat proses
tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

Transduksi/Transduction
Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk yang
dapat diakses oleh otak (Turk & Flor, 1999). Proses transduksi dimulai ketika
nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri
teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon
terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan. 9

Transmisi/Transmission
Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa impuls
listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen
yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter
besar (Davis, 2003). Saraf aferen akan ber-axon pada dorsal horn di spinalis.
Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic
melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral. 9

Modulasi/Modulation

Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol jalur
transmisi nociceptor tersebut (Turk & Flor, 1999). Proses modulasi melibatkan
system neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi
impuls nyeri ini akan dikontrol oleh system saraf pusat dan mentransmisikan
impuls nyeri ini kebagian lain dari system saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya
impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf- saraf descend ke tulang
belakang untuk memodulasi efektor. 9

Persepsi/Perception
Persepsi adalah proses yang subjective (Turk & Flor, 1999). Proses persepsi ini
tidak hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja
(McGuire & Sheildler, 1993), akan tetapi juga meliputi cognition (pengenalan)
dan memory (mengingat) (Davis, 2003). Oleh karena itu, faktor psikologis,
emosional, dan berhavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon dalam
mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah yang
menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang melibatkan multidimensional. 9

III. Kecemasan

Menurut Suliswati, (2005) kecemasan sebagai respon emosi tanpa objek yang
spesifik yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal.
Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi
dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak
menentu dan tidak berdaya. 10

Menurut Suliswati, (2005) ada 2 faktor yang mempengaruhi


kecemasan yaitu : a. Faktor predisposisi yang meliputi :
1) Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan
krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional.
2) Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik.
Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat
menimbulkan kecemasan pada individu.
3) Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu berpikir
secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.
4) Frustasi akan menimbulkan ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan
yang berdampak terhadap ego.
5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman
integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu. 10

Menurut Hawari (2008), untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan


seseorang apakah ringan, sedang, berat atau berat sekali digunakan alat ukur yang
dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale For Anxiety (HRS-A). Alat ukur ini
terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan
gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi
penilaian angka (score) antara 0-4, yang artinya nilai 0 berarti tidak ada gejala,
nilai 1 gejala ringan, nilai 2 gejala sedang, nilai 3 gejala berat, dan nilai 4 gejala
berat sekali. Masing-masing nilai angka (score) dari ke-14 kelompok gejala
tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat
kecemasan seseorang yaitu Total nilai (score) < 14 tidak ada kecemasan, nilai 14-
20 kecemasan ringan, nilai 21-27 kecemasan sedang, nilai 28-41 kecemasan berat
dan nilai 42-56 kecemasan berat. 11

IV. Informasi

Dalam KBBI Informasi /informasi/ Berarti


1 penerangan;
2 pemberitahuan; kabar atau berita tt sesuatu;
3 Ling keseluruhan makna yg menunjang amanat yg terlihat dl bagian-bagian
amanat itu; 12

Definisi informasi menurut para ahli :


1. Abdul Kadir (2002: 31); McFadden dkk (1999) mendefinisikan informasi sebagai
data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga meningkatkan pengetahuan
seseorang yang menggunakan data tersebut.
3. Azhar Susanto (2004:46) dalam bukunya Sistem Informasi Akuntansi,
menyatakan bahwa informasi adalah hasil pengolahan data yang memberikan arti
dan manfaat.
4. Burch dan Strater menyatakan bahwa informasi adalah pengumpulan atau
pengolahan data untuk memberikan pengetahuan atau keterangan.
5. George R. Terry berpendapat bahwa informasi adalah data yang penting yang
memberikan pengetahuan yang berguna.
6.
Jogianto (2004:8) dalam bukunya yang berjudul Analisis dan Desain Sistem
Informasi, berpendapat bahwa informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk
yang lebih berguna bagi yang menerimanya. 13, 14, 15
ORBIS 3: CONDUCT THE CORRELATION AND CAUSE-EFFECT STUDIES AMONG
THE VARIABLES
I. Sirkumsisi dan Kecemasan

Beberapa studi mengatakan bahwa adanya nyeri yang ekstrim dalam sunat
(Rahmawati, 2009). Kecemasan umumnya disebabkan karena kurangnya
pemberian informasi sehingga akan berpengaruh pada tingkat kecemasan anak.
Kecemasan pada anak yang akan menjalani khitan dikenali sebagai bagian dari
trauma yang dialami anak akibat tindakan yang dianggap membahayakan bagi
dirinya. Hermana (2000) menyatakan bahwa sirkumsisi disebut juga sayatan
melingkar, yang diidentikan pada pemotongan prepusium yang melingkar
terhadap batang penis. Oleh sebab itu kecemasan akan muncul pada anak dan
perlu adanya sistem pendukung seperti keluarga atau teman yang akan
mendengarkan dan memberikan nasihat dan dukungan emosional akan sangat
bermanfaat bagi seseorang yang mengalami kecemasan atau stress. 16

II. Kecemasan dan Dukungan Orang Tua

Dukungan informatif melalui pemberian informasi, nasehat, saran ataupun


petunjuk kepada anak. Dengan pemberian informasi yang adekuat dan menarik
tentang khitan, anak akan tertarik untuk memperhatikan dan dapat meningkatkan
pengetahuan anak sehingga mempunyai mekanisme koping yang baik dalam
mengatasi kecemasan. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui sejauh
mana pemberian informasi yang adekuat dapat mempengaruhi kecemasan
sebelum khitan pada anak. 16

Motivasi anak bisa muncul karena adanya dorongan orang tua (keluarga) serta
lingkungan sekitar. Apabila anak bersedia melakukan sirkumsisi hanya
berdasarkan instruksi orang tua, berarti anak tersebut tidak temotivasi oleh dirinya
sendiri. Keluarga dapat menjadi motivator bagi anak, karena kebanyakan instruksi
orang tua sangat dibutuhkan, tetapi hendaknya keluarga juga mampu menjelaskan
tentang manfaat sirkumsisi sehingga motivasi dan pengetahuan bisa berjalan
sejalan. Selain itu, lingkungan juga berperan dalam meningkatkan motivasi anak
untuk melakukan sirkumsisi, karena lingkungan merupakan tempat sosialisasi
anak dengan teman-temannya, dan dari teman-temannya itulah akan terdorong
untuk melakukan sirkumsisi. Motivasi inilah yang mendorong seseorang untuk
berperilaku, beraktivitas dalam pencapaian tujuan (Widayatun, 1999 : 112).
Karena pada hakekatnya motivasi sangat diperlukan agar anak terdorong untuk
melakukan sirkumsisi. 17, 18

ORBIS 4: EXPLORE THE SURROUNDING FACTORS

Setelah melakukan analisa tahap Spiral Penta Orbis hingga mencapai orbis
ketiga. Ternyata terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap kecemasan
anak adalah karakter pribadi sang anak dan trauma sebelum sirkumsisi.

Karakter pribadi sang anak sangat memperngaruhi apakah nantinya dia akan
mengalami kecemasan pre sirkumsisi atau tidak. Seperti misalnya anak yang
karakternya pemberani akan lebih kuat daripada anak yang memang dari
lahir karakternya penakut. Hal ini juga dipengaruhi oleh orang tua mereka
yang mungkin memiliki karakter yang sama karena anak adalah mesin copy
yang terbaik.19

Trauma masa kecil pun mempengaruhi, seperti misalnya saat kecil pernah
melihat teman atau kakaknya menangis keras saat disirkumsisi. Jika terjadi
hal seperti ini maka pastinya anak ini pun akan merasa takut bila tiba
saatnya dia untuk disirkumsisi. 20

ORBIS 5: EXPLORE THE SURROUNDING FACTORS


Setelah melakukan analisa berdasarkan tahap-tahap Spiral Penta Orbis
hingga orbis keempat. Maka didapatkan bahwa kerangka konsep sebelumnya
telah dapat diterima tetapi perlu ditambahkan dan dibentuk ulang.
Sehingga kerangka konsep yang baru adalah sebagai berikut:

KARAKTER
ANAK &
SIRKUMSISI TRAUMA

PEMOTONG
AN
PREPUTIUM
NYERI KECEMASAN

INFORMASI
&
DUKUNGAN
ORG TUA
DAFTAR PUSTAKA

1. Parjanto. Hubungan Antara Support System Keluarga Dengan Tingkat


Kecemasan Anak Sebelum Tindakan Sirkumsisi Di Balai Pengobatan Adhia
Tunggur Slogohimo Wonogiri. Skripsi Fakultas Ilmu Kesehatan UMS. 2009; 1-4.
2. Sumadi, Dwi. Hubungan Fase Usia Anak Dengan Tingkat Kecemasan Pada Anak
Pre Operasi Sirkumsisi Di Pondok Khitan Al KAromah Wonosobo Jawa Tengah
Tahun 2010. Naskah Publikasi STIKES Aisyiyah Yogyakarta. 10 Agustus 2010;
4-6.
3. Khasanah, Nur. Pengaruh Pemberian Infomasi Pada Anak Sebelum Khitan Di
Pondok Khitan R. Isnanta Wonosidi Lor Wates. Naskah Publikasi STIKES
Aisyiyah Yogyakarta. 24 Juni 2014; 4-6.
4. Wahyu, Septa. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Motivasi Anak Usia
Sekolah (7-12 tahun) Untuk Melakukan Sirkumsisi. KTI Universitas
Muhammadiyah Ponorogo. 21 Desember 2011; 1-4.
5. Jeverson, Leonardo. Tinggi Rendahnya Pengetahuan Mahasiswa Pria Mengenai
Pentingnya Sirkumsisi Pada Organ Genitalia Di Fakultas Kedokteran Universitas
Pattimura Ambon Tahun 2014. 27 Desember 2014; 8-20.
6. Hirji H, Charlton R, Sarmah S. Male circumcision: a review of the evidence.
Journal of Mens Health and Gender. 2005 March,2(1):21-30

7. Salimah. Mengenal 7 metode sunat/khitan. Publish on 2014 Februry 24 [cited


on 2014 Dec 26]. Available from: http://www.salimah.or.id/mengenal-7-
metode-sunatkhitan-sirkumsisi/

8. Aaron J, Krill, Lane S, Pallmer, Jeffrey S, Palmer. Complications of


circumcision. The Scientific World Journal.2011,(11): 2458-68

9. Sumadi. Hubungan Fase Usia Anak Dengan Tingkat Kecemasan Pada Anak Pre
Operasi Sirkumsisi Di Pondok Khitan Al-Karomah Wonosobo Jawa Tengah
Tahun 2010. Naskah Publikasi Stikes Aisyiyah Yogyakarta. 10 Agustus 2010;
4-12.

10. Wahyu, Septa. Hubungan Sekolah Dengan Motivasi Anak Usia Sekolah Untuk
Melakukan Sirkumsisi. KTI Universitas Muhammadiyah Ponorogo. 21
Desember 2011; 4-10.

11. Hami, Doddy; Dimas Nugroho dkk. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan
Keluaran & Komplikasi Sirkumsisi. Artikel Pnelitian J Indom Med Assor
Volim : 62, Nomor: 1, Januari 2011.

12. Hananto, Sri. Pengaruh Mendengarkan Bacaan Al-Quran Terhadap


Penyembuhan Luka Post Sirkumsisi di Balai Pengobatan Lamongan. Surya
Vol.01, No.XVII, Maret 2014; 3-5.

13. Ardinata, Dedi. Multidimensional Nyeri. Jurnal Keperawatan Rufaidah


Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007; 77-79.

14. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

15. Schwartz, L., Slater, M. A., & Birchler, G. R. (1996). The role of pain behaviors
in the modulation of marital conflict in chronic pain couples. Pain, 65, 227-233.
16. Paulsen, J. S. & Altmaier, E. M. (1995). The effects of perceived versus enacted
social support on the discriminative cue function of spouses for pain behaviors.
Pain, 60, 103-110.
17. Nugroho, Amin. Persepsi Orang Tua Tentang Perawatan Pasca Sirkumsisi Pada
Anak Laki-Laki Usia Sekolah. KTI UMP. 2014; 6-10
18. Hermana, A, 2000. Teknik Khitan Panduan Lengkap, Sistematis dan Praktis,
Cetakan Pertama, Penerbit : Widya Medika, Jakarta.
19. Hidayat, A. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika.
20. Sunaryo. 2004. Metode Penelitian Keperawatan. Jakarta: EGC
21. Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yoyakarta: Andi
Yogyakarta.
22. Harsono dkk. Perbedaan Penyembuhan Luka Post Sirkumsisi Dengan Metode
Electro Couter dan Metode Konvensional Pada Pasien Sirkumsisi di Poliklinik
Morodadi Boyolali. Jurnal Ilmu Keperawatan Indonesia Vol.1 No. 1, Februari
2011; 12-16.
23. Tohari, Hamim. Informed Consent Pada Pelayanan Sirkumsisi. Jurnal Medika
Muda. 21 Juli 2014; 2-4.
24. Mulia, Musdah. Hak Anak Dalam Islam. Jurnal Keislaman Vol 2 No 5; Januari
2013; 1-3.
25. Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Mei 2012; 1-4.
26. Nelson, 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakrta : EGC
27. Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Pt. Rineka Cipta
28. Hermana. 2000. Teknik Khitan. Jakarta : Widya Medika
29. Hidayat, Aziz Alimul. 2007. Metode Keperawatan dan Teknik Analisa Data.
Jakarta : Salemba Medika
30. Widayatun, Tri Rusmi. 1999. Ilmu Perilaku. Jakarta : Informatika
31. Sujanto, Agus dkk. 2006. Psikologi Kepribadian Edisi 1 cetakan II. Jakrta :
Aksara Baru
32. Sugiono, 2003. Metodologi Penelitian Administrasi Ed.10. Bandung : Alfabeta
33. Dexa Media. Jurnal Kedokteran dan Farmasi No. 4, Vol 20, Oktober Desember
2007; 7-10
34. Muslimin, Khoirul. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kecemasan. Jurnal
Interaksi, Vol. II No. 2, Juli 2013: 42-52.
35. Widanarti, Niken. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Self
Efficacy Pada Remaja Di SMU Negeri 9 Yogyakarta. Jurnal Psikologi 2002, No.
2; 112-123.
36. Widiantari, A. 2002. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dan Locus Of
Control Dengan Daya Tahan Stres Pada Remaja. Skripsi. (tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
37. Wulaningsih, T. 1996. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Pada Siswa
Yang Mengalami Kecemasan di SMU Negeri 9 Yogyakarta. Skripsi. (tidak
diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
38. Sarason, I. G., Levine, H. M., Bresham, R. B., and Sarason, B. R. 1983. Assesing
Social Support. The Social Support Questionnaire. Journal of Personality And
Social Psychology. 44, 127-134.
39. Hamilton M. A rating scale for depression. J Neurol Neurosurg Psychiatry
1960; 23:5662
40. The Hamilton Rating Scale For Depression, Journal of Operational Psychiatry,
1979, 10(2); 149-165.
41. Maulida, Indah. Konstruksi Sosial Budaya Tentang Sunat. Skripsi FIS Universitas
Negeri Semarang. 2013; 4-8
42. Singarimbun, Masri. dan Effendi, Sofian. 1985. Metode Penelitian Survai.
43. Jakarta: LP3ES.
44. Sugiyono. 2008. Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
45. Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisiu
46. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek).
Jakarta: Rineka Cipta.
47. Handoyo, dkk. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang: UNNES Press.
48. Taeki Koa, Yuliana. http://jurnal.smh.ac.id/hubungan-pengetahuan-tentang-
khitan-dengan-motivasi-remaja-putra-melakukan-khitan-sirkumsisi-di-desa-
nonatbatan-kecamatan-biboki-anleu-kabupaten-timor-tengah-utara-propinsi-nusa-
tenggara-timur/ ; 2012.

49. World Health Organization. The global prevalence of male circumcision:


information package on male circumcision and HIV prevention insert 2.
[Internet]. 2007 [cited 2014 Nov 22]. Available from:
http://www.who.int/hiv/pub/malecircumcision/infopack_en_2.pdf

50. World Health Organization. Traditional male circumcision among young people:
a public health perspective in the context of HIV. [Internet]. 2009 Nov [cited
2014 Dec 26]. Available from:
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241598910_eng.pdf

Anda mungkin juga menyukai