DITERBITKAN OLEH :
AKADEMI FARMASI SAMARINDA
PENANGGUNG JAWAB:
Hayatus Saadah, S.F., M.Sc., Apt
KETUA EDITOR:
Husnul Warnida, S.Si., M.Si., Apt
EDITOR AHLI:
Prof. Dr. Nurfina Aznam, SU., Apt (UNY)
Prof. Agung Endro Nugroho, M.Si., PhD., Apt (UGM)
Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App,Sc., Apt (USU)
Prof. Enos Tangke Arung, PhD (UNMUL)
Irawan Wijaya Kusuma, PhD (UNMUL)
EDITOR PELAKSANA:
Yullia Sukawaty, S.Far., M.Sc., Apt
Eka Siswanto, S.Farm., M.Sc., Apt
Henny Nurhasnawati, S.Si., M.Si.
Yulistia Budianti S., M.Farm., Apt
Anita Apriliana, S.Farm., M.Farm., Apt
Risa Supriningrum, S.Si., MM.
ADMINISTRASI:
Fitri Handayani, S.Si., M.Si., Apt
DISTRIBUTOR:
Heri Wijaya, S.Farm., M.Si., Apt
Sapri, S.Si
Siti Jubaidah, S.Far., Apt
JURNAL ILMIAH MANUNTUNG
Sains Farmasi Dan Kesehatan
DAFTAR ISI
No Judul Halaman
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, pada tahun 2015 ini
Akademi Farmasi Samarinda telah memiliki Jurnal Ilmiah Manuntung yang merupakan
edisi pertama dengan ISSN: 2443-115X Vol. 1 No. 1 sebagai wadah penghimpunan karya
ilmiah untuk para peneliti Indonesia. Jurnal Ilmiah Manuntung menerima naskah ilmiah
hasil penelitian dan review hasil-hasil penelitian dalam bidang ilmu terkait dengan
Kesehatan yaitu, Ilmu Farmasi, Kedokteran, Ilmu Kimia (Kimia Organik Sintetis, Kimia
Organik Bahan Alam, Biokimia, Kimia Analisis, Kimia Fisis), Ilmu Biologi
(Mikrobiologi, Kultur Jaringan, Botani dan hewan yang terkait dengan produk farmasi),
keperawatan, Kebidanan, Analis Kesehatan, Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
Semoga Jurnal Ilmiah Manuntung menjadi wadah ilmiah kesehatan yang ke depannya
menjadi media publikasi yang bertaraf nasional.
ABSTRACT
Research Test Antibacterial Activity of Ethanol Extracts of Leaves kecombrang against Salmonella
typhi aims to determine the antibacterial activity of ethanol extract of leaves kecombrang against Salmonella
typhi. The extract used is kecombrang leaf extract prepared by maceration using ethanol 95%, extracts
obtained test chemical classes of compounds to determine the content of the active compound. Antibacterial
activity test conducted at five concentrations of the extract is 20%, 40%, 60%, 80%, and 100%. Inhibition
zone measurement results are then analyzed using One Way ANOVA with SPSS 20 to determine whether
there is a difference at each concentration. The results showed kecombrang leaf ethanol extract 20%, 40%,
60%, 80%, and 100% produce inhibition zone diameter 3.9 mm; 6.5 mm; 6.75 mm; 7:45 mm; and 9:28 mm,
0 mm for the negative control and positive control 32.61 mm. The test results show the class of secondary
metabolites kecombrang leaf ethanol extract contains tannin, saponin, and flavonoids. Of statistical tests
concluded there were significant differences of treatment results in inhibition of the respective
concentrations of ethanol extracts of leaves kecombrang
PENDAHULUAN
Kecombrang merupakan salah satu jenis menghambat bakteri E. coli pada konsentrasi
rempah-rempah yang sejak lama dikenal dan 100% dan S. aureus pada konsentrasi 20%.
dimanfaatkan oleh manusia sebagai obat-obatan Bahan antibakteri diartikan sebagai bahan
berkaitan dengan khasiatnya, yaitu sebagai yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme
penghilang bau badan dan bau mulut1. Bagian bakteri, sehingga bahan tersebut dapat
yang biasa digunakan dari tanaman ini adalah menghambat pertumbuhan atau bahkan
bunga, daun dan batangnya. Beberapa penelitian membunuh bakteri4. Menurut David Stout,
menunjukkan bunga dan daun kecombrang berdasarkan cara kerjanya antibakteri dibedakan
memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri menjadi dua yaitu bakteriostatik dan bakteriosida.
gram positif maupun gram negatif2. Ningtyas3 Antibakteri bakteriostatik bekerja menghambat
melakukan penelitian tentang uji antioksidan dan perbanyakan populasi bakteri dan tidak
antibakteri ekstrak air daun kecombrang mematikan, sedangkan bakteriosida bekerja
(Etlingera elatior) sebagai pengawet alami membunuh bakteri. Bakteriostatik dapat bertindak
terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus sebagai bakteriosida dalam konsentrasi tinggi.
aureus. Dari hasil penelitiannya ekstrak air daun Kadar minimal yang dibutuhkan untuk
kecombrang memiliki beberapa senyawa yang di menghambat bakteri atau membunuhnya, masing-
asumsikan memiliki keterkaitan dengan masing dikenal sebagai Kadar Hambat Tumbuh
kemampuan antibakteri dari ekstrak tersebut, Minimal (KHTM) dan Kadar Bunuh Minimal
yaitu golongan fenolik, golongan alkohol, (KBM).
golongan monoterpen dan aromatik. Konsentrasi Uji antimikroba adalah diperolehnya suatu
yang digunakan yaitu, 20%, 40%, 60%, 80%, dan sistem pengobatan yang efektif dan efisien dengan
100%. Setelah dilakukan penelitian, diketahui melibatkan hasil metabolism sekunder dari
bahwa ekstrak air daun kecombrang dapat mikroorganisme. Dilakukan dengan berbagai cara.
Salah satunya adalah metode disc diffusion (tes
Kirby & Bauer). Metode ini digunakan untuk melakukan penelitian tentang uji aktivitas
menentukan aktivitas agen mikroba. Piringan antibakteri dari ekstrak etanol daun kecombrang
yang berisi agen anti mikroba diletakkan di media (Etlingera elation)dengan menggunakan bakteri
Agar yang telah ditanami mikroorganisme yang uji Salmonella typhi dengan menggunakan etanol
akan berdifusi pada media Agar tersebut. Area 95% sebagai larutan penyari. Etanol
jernih mengindikasikan adanya hambatan dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih
pertumbuhan mikroorganisme oleh agen selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam
antimikroba pada permukaan media Agar. etanol 20% ke atas, netral, absorbsinya baik, dan
Berdasarkan uraian di atas, dalam rangka panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih
pengembangan obat tradisional yang memiliki sedikit5.
aktivitas antibakteri, maka peneliti tertarik
METODE PENELITIAN
Objek Penelitian Uji golongan senyawa kimia
Objek penelitian adalah daun kecombrang Identifikasi golongan senyawa kimia
yang akan dibuat dalam bentuk ekstrak dengan dilakukan pada ekstrak dengan prosedur
konsentrasi 20 %, 40 %, 60 %, 80 % dan 100% sebagai berikut:
selanjutnya diujikan terhadap bakteri Salmonella 1. Uji alkaloid
typhi menggunakan media Mueller Hinton Agar 10 mg ekstrak daun kecombrang
(MHA). dimasukkan ke dalam tabung ditambahkan
1 ml HCl 2 N lalu ditambahkan air suling 9
Sampel dan Teknik Sampling ml. Dipanaskan selama 2 menit setelah
Daun kecombrang diperoleh dari dipanaskan kemudian disaring
daerah Samarinda Kelurahan Air Putih. Daun menggunakan kertas saring sehingga
kecombrang dipanen langsung dari pohon, yang didapat ekstrak daun kecombrang. Diambil
tumbuh di kelurahan Air Putih Samarinda. Panen 3 tetes dari filtrate yang diperoleh lalu
dilakukan pada pagi hari. Daun yang digunakan ditambahkan 2 tetes pereaksi Meyer
adalah daun tua dan dipetik dari beberapa pohon. menghasilkan endapan putih/kuning.
Selanjutnya, diambil 3 tetes filtrate yang
Prosedur Penelitian diperoleh, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi
Pembuatan ekstrak etanol simplisia daun Bouchardat menghasilkan endapan coklat-
kecombrang hitam. Diambil 3 tetes filtrat, lalu
Daun kecombrang dicuci bersih, ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendrof
ditiriskan, selanjutnya dikeringkan dengan cara menghasilkan endapan merah bata.
di angin-anginkan selama 1 minggu. Setelah Alkaloid dianggap positif jika terjadi
itu dirajang dan dibuat serbuk dengan cara endapan atau paling sedikit 2 atau 3 dari
diblender kemudian diayak dengan percobaan di atas6.
menggunakan ayakan mesh 40. Pembuatan 2. Uji tanin
ekstrak etanol serbuk simplisia daun 10 mg ekstrak daun kecombrang
kecombrang dilakukan secara remaserasi dimasukkan ke dalam tabung reaksi
dengan cara menimbang simplisia serbukan ditambahkan 1 sampai 2 tetes larutan
daun kecombrang sebanyak 200 g. Selanjutnya Fe(Cl)3 1%. Bila terbentuk warna biru tua
dimasukkan sampel ke dalam toples kaca, dan hijau kehitaman, menunjukkan adanya
ditambahkan 1 L etanol 95% kemudian diaduk tanin atau sepuluh tetes ekstrak daun
selama 6 jam pertama lalu didiamkan selama kecombrang dimasukkan ke dalam tabung
24 jam. Disaring ekstrak yang diperoleh reaksi ditambahkan 1 sampai 2 tetes larutan
menggunakan kertas saring. Ampas dimaserasi gelatin. Bila timbul endapan menunjukkan
kembali dengan 1 L etanol 95%, kemudian adanya tanin.
diaduk selama 6 jam pertama, lalu didiamkan 3. Uji Flavonoid
kembali selama 24 jam. Ekstrak yang 10 mg ekstrak daun kecombrang
diperoleh disaring dengan kertas saring. dimasukkan ke dalam tabung reaksi
Kemudian ekstrak yang didapat dipekatkan ditambahkan 5 tetes HCl pekat, sedikit
dengan cara diuapkan. Ekstrak yang telah serbuk Mg dan 5 tetes amil alkohol
dikentalkan dimasukkan ke dalam wadah dan kemudian dikocok. Bila terbentuk warna
ditimbang. merah, jingga, atau kuning menunjukkan
adanya flavonoid.
Dari tabel di atas, dapat diketahui jika terjadi endapan atau paling sedikit 2 atau
bahwa ekstrak etanol daun kecombrang yang 3 dari percobaan diatas. Dalam pengujiannya
diperoleh peneliti mengandung tanin, yang lakukan, hanya 1 pereaksi saja yang
flavonoid dan saponin. Berdasarkan literature positif, ini dapat dikatakan ekstrak daun
untuk uji alkaloid, alkaloida dianggap positif kecombrang yang pratikkan miliki tidak
Akademi Farmasi Samarinda 3
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 1-7, 2015 Eko Kusumawati
mengandung alkaloid. Pada Uji flavonoid, Agar). Aktivitas antibakteri tampak dengan
dalam literatur disebutkan bahwa flavonoid terbentuknya zona hambat di sekitar kertas
positif jika terjadi warna merah, kuning, dan cakram yang diukur menggunakan jangka
jingga. Berdasarkan pengujian yang lakukan sorong. Pada penelitian ini digunakan media
di dapatkan warna kuning jingga dan dapat Mueller Hinton Agar, karena media ini telah
disimpulkan bahwa ekstrak positif direkomendasikan oleh FDA dan WHO untuk
mengandung flavonoid. Untuk uji tanin yang tes antibakteri terutama bakteri aerob dan
lakukan didapatkan hasil yang positif atau facultative anaerobic bacteria untuk makanan
mengandung tanin, ini ditandai dengan dan materi klinis. Media agar ini juga telah
terbentuknya warna hijau kehitaman. terbukti memberikan hasil yang baik dan
Berdasarkan literatur, jika terjadi warna biru reproduksibel. Dalam penelitian ini peneliti
atau hijau kehitaman menunjukkan adanya menggunakan metode disc diffusion atau
tanin. Secara kimia terdapat dua jenis utama kertas cakram dikarenakan bakteri yang
tanin yang tersebar tidak merata dalam dunia ditanam pada media dalam metode ini bersifat
tumbuhan. Tanin terkondensasi hampir aerob yaitu tumbuhnya bakteri memerlukan
terdapat semesta di dalam paku-pakuan dan oksigen sehingga bakteri tersebut tumbuh di
gimnospermae, serta tersebar luas dalam permukaan media. Metode disc diffusion
angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan dilakukan dengan menggunakan piringan atau
berkayu. Sebaliknya, tanin yang kertas cakram (Wathman nomor 4) yang
terhidrolisiskan penyebarannya terbatas berisi agen anti mikroba, diletakkan di media
kepada tumbuhan berkeping dua8. agar yang telah ditanami mikroorganisme
Jenis tanin yang terkandung di dalam yang akan berdifusi pada media agar tersebut.
ekstrak etanol daun kecombrang adalah tanin- Area jernih mengindikasikan adanya
terkondensasi, karena jenis tumbuhan yang hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh
digunakan yaitu tumbuhan kecombrang agen antimikroba pada permukaan media
bersub-divisi angiospermae. Kandungan agar9.
senyawa kimia saponin juga terdapat dalam Kontrol positif yang digunakan dalam
ekstrak etanol daun kecombrang, ini ditandai penelitian ini adalah kloramfenikol.
dengan terbentuknya buih selama kurang dari Kloramfenikol dipilih karena berspektrum
10 menit dan tidak hilang pada penambahan luas yaitu efektif untuk bakteri gram positif
asam klorida 2N. Dalam literatur disebutkan dan gram negatif serta mikroorganisme lain10.
bahwa apabila buih tidak hilang pada Mekanismenya dengan menghambat sintesis
penambahan 1 tetes asam klorida 2N protein, mencegah ujung aminoasil t-RNA
menunjukkan adanya saponin. bergabung dengan peptidil tranferase (enzim
yang menghubungkan asam amino dengan
Uji Aktivitas Antibakteri rantai peptide selama proses sintesis
Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol protein)11. Pada pengujian antibakteri ini
daun kecombrang terhadap Salmonella typhi diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 2.
dilakukan dengan metode disc diffusion
menggunakan media MHA (Mueller Hinton
Tabel 2. Hasil pengukuran diameter zona hambat ekstrak etanol daun kecombrang terhadap
Salmonella typhi.
a b c
d e f
Berdasarkan dari data yang telah tersaji sangat berpengaruh terhadap terbentuknya
pada Tabel 2 dan Gambar 1 di atas untuk rata- zona hambat yang dihasilkan. Menurut
rata diameter zona hambat terbesar terletak Ningtyas3 bahwa semakin tinggi konsentrasi
pada konsentrasi 100%. Penentuan yang digunakan maka semakin tinggi daya
konsentrasi ekstrak etanol daun kecombrang hambatnya, hal ini dikarenakan semakin
Akademi Farmasi Samarinda 5
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 1-7, 2015 Eko Kusumawati
tinggi konsentrasi semakin banyak kandungan ekstraseluler dan protein yang dapat larut
bahan aktif antibakterinya. Jenie dan serta dengan dinding sel bakteri13. Senyawa
Kuswanto12 menyatakan bahwa keefektifan tanin merupakan senyawa metabolit sekunder
suatu zat antimikroba dalam menghambat yang tergolong senyawa fenol terkondensasi
pertumbuhan tergantung pada sifat mikroba dan banyak terdapat pada tumbuhan
uji, konsentrasi dan lamanya waktu kontak, Angiospermae. Tanin dalam konsentrasi
dan sifat biostatistik dapat meningkat dengan rendah mampu menghambat pertumbuhan
semakin tingginya konsentrasi yang kuman maupun pada konsentrasi tinggi dapat
ditambahkan. bersifat membunuh bakteri. Senyawa fenolik
Menurut tabel David Stout, daya bekerja sebagai antimikroba dengan cara
hambat antibakteri ekstrak etanol daun mengkoagulasi atau menggumpalkan
kecombrang pada konsentrasi 100% potoplasma kuman sehingga terbentuk ikatan
menghasilkan zona hambat sebesar 9.28 mm yang stabil dengan protein kuman dan pada
yang masuk dalam kategori antibakteri kerja saluran pencernaan, tanin diketahui mampu
sedang. Daya antimikroba ekstrak daun mengeliminasi toksin14.
kecombrang ini disebabkan oleh karena Data yang diperoleh dianalisis
adanya bahan-bahanaktif yang terkandung di mengunakan SPSS IBM 20. Terlebih dahulu
dalamnya yang berperan utama dalam data dianalisis untuk mengetahui apakah
menghambat pertumbuhan maupun berdistribusi normal. Pada uji One-Sampel
membunuh bakteri Salmonella typhi. Bahan Kolmogorov-Smirnov test menunjukan
aktif tersebut diantaranya adalah saponin, bahwa nilai D (Absolute) lebih besar dari 0,05
flavonoid dan tanin. atau signifikansi lebih besar dari 0,05, ini
Saponin adalah senyawa penurun menunjukkan bahwa data yang diperoleh
tegangan permukaan yang kuat yang peneliti berdistribusi normal. Selanjutnya
menimbulkan busa bila dikocok dalam air. dilakukan analisis menggunakan uji One Way
Sifat saponin menyerupai sabun (bahasa latin ANOVA. Berdasarkan Uji One Way ANOVA
sapo berarti sabun).Saponin bekerja sebagai menunjukkan bahwa uji tersebut memiliki
antimikroba dengan mengganggu stabilitas signifikansi kurang dari 0,05 dengan
membran sel bakteri sehingga menyebabkan keputusan yang berarti terdapat perbedaan
sel bakterilisis. Flavonoid berefek bermakna dari hasil perlakuan pada daya
antimikroba melalui kemampuan untuk hambat masing-masing konsentrasi ekstrak
membentuk kompleks dengan protein etanol daun Kecombrang.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian mengenai aktivitas kesimpulan bahwa semakin besar konsentrasi
antibakteri ekstrak etanol daun kecombrang ekstrak etanol kecombrang, semakin besar
terhadap bakteri Salmonella typhidiperoleh pula zona hambat yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hidayat dan Hutapea. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan
Departemen Kesehatan RI.
2. Hudaya, Adeng. 2010. Uji Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Air Bunga Kecombrang (Etlingera
elatior) Sebagai Pangan Fungsional Terhadap Staphylococus aureus dan Eschericia coli. Skripsi.
Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
3. Ningtyas, Rina. 2010. Uji Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Air Daun Kecombrang (Etlingera elatior
(Jack) R.M. Smith). Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
4. Lathifah, Qurrotuayunin. 2008. Uji Efektifitas Ekstrak Kasar Senyawa Antibakteri Pada Buah
Belimbing Wuluh (Averrhoabilimbi L.) Dengan Variasi Pelarut. Skripsi. Malang: Universitas Islam
Negeri Malang.
5. Departemen Kesehatan RI. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
6. Departemen Kesehatan RI. 1987. Analisis Obat Tradisional. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
7. Handoko, T. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi Empat. Jakarta: Gaya Baru.
8. Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
9. Pratiwi., S. T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.
10. Mycek, MJ. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi I.Jakarta.Widya Medika.
11. Olson. J. 2004. Belajar Mudah Farmakologi. Cetakan 1. EGC. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
12. Jenie, B.S.L. dan Kuswanto. 1994. Aktivitas antimilcroba dari pigmen angkak yang diproduksi oleh
Monasnrs purpuracs terhadap beberapa milcroba patogen dan perusak makanan.Prosiding Pertemuan
Ilmiah Tahunan Permi.
13. Ardananurdin, Alhamfaib. 2004.Uji Efektivitas Dkok Bunga Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi)
Sebagai Anttimikroba Terhadap Bakteri Salmonella Typhi Secara in vitro. Jurnal kedokteran. FK
Unibraw.
14. Hapsari, Lukyta Setyo. 2013. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Akar Rumput Belulang (Eluesine
indicaGaerin). Samarinda.: Akademi Farmasi Samarinda.
ABSTRACT
Background: Asthma is a respiratory disease with a large enough number of prevalence in the world.
Asthma treatmentin hospital needs serious monitoring because of the risk to patient safety and increase the
cost of treatment. One attempt to reduce the incidence of unwanted is the pharmacovigilance studies to
improve patient safety.
Purpose: to determine safety in terms of adverse drug reactions (ADR) and drug interactions of the
treatment of inpatient asthmatic patients in a hospital.
Methods: This is a non-experimental study with sampling using purposive sampling. Then the data were
obtained from medical records were analyzed ADRs and drug interactions that occur using the library and
shown descriptively.
Results: The study sample as many as 43 people. The results showed there were 56 cases of ADRs on asthma
medications, especially the use of nebulized salbutamol (57.14%). While the incidence of asthma therapy
drug interactions there were 10 cases and the highest is aminophylline with salbutamol (14.29%).
Conclusion: Treatment of asthma need to get to the ADR incidence and risk of drug interactions. Incidence
of ADRs and drug interactions at most of the use of salbutamol which is relatively safe preference. This still
needs to be done further research.
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit heterogen dengan /YLD), dan asma menduduki peringkat ke-14 di
inflamasi kronik pada saluran napasyang dunia berdasarkan pengukuran YLD dan
melibatkan sel inflamasi didalamnya, yang akan peringkat ke-28 di dunia ketika diukur dengan
merespon suatu trigger secara berlebih sehingga DALY.3 Kejadian asma di Indonesia belum
menimbulkan gejalaepisodik seperti mengi, sesak diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2-5%
napas, rasa tertekan didada, dan batuk (terutama penduduk Indonesia menderita asma.4
pada pagi dan malam hari).1Perburukan episode Beberapa cara perlu dilakukan dalam
asma yang dikenal dengan eksaserbasi menangani asma. Gejala asma memerlukan
asma,1merupakan penyebab terbesar pasien masuk pengobatan yang bertujuan untuk meminimalkan
ke UGD, dan kejadiannya di Amerika mencapai gejala kronis yang mengganggu aktifitas normal,
67 dari 10,000 pada tahun 2002.2 mencegah eksaserbasi berulang, meminimalkan
Asma sebenarnya merupakan masalah perujukan ke rumah sakit, dan untuk
kesehatan yang sangat umum diseluruh mempertahankan fungsi normal paru.5 Oleh
dunia.Studi dari Global Burden of Disease (GBD) karena itu dalam penanganan terapi harus
2010 merupakan usaha terbaru dan terbesar untuk memperhatikan keamanan pengobatan, potensi
menggambarkan distribusi global dan penyebab adverse drug reaction (ADR) dan biaya
dari faktor risiko kesehatan yang tinggi, termasuk pengobatan untuk mencapai tujuan.1Kejadian atau
asma. Berdasarkan studi tersebut, mayoritas dari kemungkinan kejadian adverse event yang
disability-adjusted life years (DALYs) akibat melibatkan terapi baik bersifat aktual atau
asma telah meningkat dari tahun sehat yang hilang potensial dapat mengganggu hasil akhir suatu
akibat kecacatan (years lived with a disability terapi, salah satunya adalah ADR atau reaksi obat
yang tidak diinginkan.6Salah satu usaha untuk Masalah terkait obat pada pengobatan asma
mengurangi kejadian yang tidak diinginkan adalah sudah pernah diteliti sebelumnya, seperti
dengan studi farmakovigilans, yang oleh Badan penggunaan teofilin yang merupakan obat dengan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah rentang terapi sempit sehingga berisiko
dicanangkan dalam peraturan Kepala BPOM RI menyebabkan ADR,9 penggunaan beta-2 agonis
nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011, aksi panjang (long-acting beta-2 agonist) tunggal
untuk menerapkan farmakovigilans yang yang diduga memperparah eksaserbasi asma,10
merupakan kegiatan tentang pendeteksian, serta ADR kortikosteroid inhalasi berupa
penilaian, pemahaman, dan pencegahan ADR atau candidiasis orofaringeal yang sering muncul
masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat.7 karena penggunaan yang tidak tidak tepat atau
Tujuan farmakovigilans adalah untuk dosis penggunaan yang tinggi dan dapat
meningkatkan keamanan dan keselamatan pasien menyebabkan komplikasi asma,11 tetapi penelitian
terkait pengobatan yang didapatnya, dari yang lebih luas pada masyarakat di Indonesia
kemungkinan kejadian ADR, yang bersifat belum diteliti secara luas. Oleh karena itu, perlu
individual.8 ADR adalah respon terhadap obat dikaji lebih lanjut terkait dengan ADR dan
yang berbahaya dan tidak sengaja dan yang terjadi interaksi obat sehingga melalui penelitian ini
pada dosis yang digunakan dalam manusia untuk dapat memberikan informasi mengenahi studi
profilaksis, diagnosis atau terapi, termasuk farmakovigilans (keamanan pengobatan) pasien
kegagalan terapetik. Kejadian ADR juga sangat asma. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa
berkaitan dengan kemungkinan adanya interaksi kejadian ADR kategori aktual atau potensial yang
obat, karena penggunaan beberapa obat secara terjadi pada pengobatan asma dari pasien asma
bersamaan sehingga satu obat dapat dewasa yang menjalani rawat inap di suatu rumah
mempengaruhi kadar obat lain di dalam darah.8 sakit di Bojonegoro, Jawa Timur.
Keterangan: N/A : not available (tidak dapat diterapkan ada situasi tersebut/tidak diketahui). Penafsiran nilai
total: >8 (pastiinteraksi obat), 58 (kemungkinan besar interaksi obat), 24 (kemungkinan interaksi obat), <2
( bukaninteraksi obat)
Penilaian analisa obat terhadap kejadian ADR dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Per Masing-Masing Golongan dan Jenis Obat Asma yang
Didapat Pasien di Suatu Rumah Sakit
Jumlah Sampel Penelitian
Golongan
Jenis Obat Terapi Yang Yang Tidak Total
Obat Terapi
Asma Mendapatkan Mendapatkan
Asma
Terapi Terapi
Aminofilin oral 15 (34,88%) 28 (65,12%) 43
Metilsantin Aminofilin
36 (83,72%) 7 (16,28%) 43
intravena
Salbutamol oral 26 (60,47%) 17 (39,53%) 43
Salbutamol
35 (81,40%) 8 (18,60%) 43
nebulasi
Beta-2 agonis Terbutalin oral 1 (2,33%) 42 (97,67%) 43
Terbutalin
6 (13,95%) 37 (86,05%) 43
intravena
Terbutalin nebulasi 6 (13,95%) 37 (86,05%) 43
Dexametason oral 23 (53,49%) 20 (46,51%) 43
Dexametason
36 (83,72%) 7 (16,28%) 43
intravena
Kortikosteroid
Metilprednisolon
2 (4,65%) 41 (95,35%) 43
oral
Prednison oral 3 (6,98%) 40 (93,02%) 43
Aminofilin intravena merupakan salah satu 2013 berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
obat terbanyak yang diterima oleh pasien, yaitu RI No. 312/MENKES/SK/IX/2013 tentang Daftar
sebanyak 36 pasien (83,72%). Aminofilin Obat Essensial 2013.20Teofilintelah
menupakan turunan teofilin dengan penambahan diklasifikasikan sebagai bronkodilator, namun
ethylenediamine yang menjadi kompleks garam penggunaannya pada asma di luar negri telah
larut air. Teofilin/aminofilinmemiliki rentang berkurang karena tingginya frekuensi efek
terapeutik sempit dan variasi sempit pada samping dan efektivitas relatif rendah serta lebih
metabolisme hepatik dan klirens sehingga berisiko lambat.1,21Bukti mengenai kejadian ADR dari
menyebabkan terjadinya ADR.19 Golongan teofilin dan aminofilin telah banyak
22,23,24,25,26
metilxantin biasanya hanya digunakan sebagai diungkap, sehingga penggunaannya di
terapi tambahan dalam manajemen asma apabila luar negeri sudah ditinggalkan. Berbeda dengan
efektivitas terapi belum optimal, serta perannya kejadian ADR dari metilsantin pada sampel
dalam menejemen eksaserbasi asma masih penelitian ini, yang relatif cukup sedikit, yaitu
kontroversional.1Di Indonesia, aminofilin/teofilin pada aminofilin oral menyebabkan sebanyak 1
merupakan salah satu obat asma yang sering kasus takikardi (6,67%), aminofilin intravena
digunakan dalam penanganan eksaserbasi asma di yang menyebabkan sebanyak 4 kasus takikardi
rumah sakit. Bahkan aminofilintermasuk dalam dan 3 kasus sakit kepala (19,44%) (Tabel 5),
daftar DOEN (Daftar Obat Essensial Nasional)
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kejadian Adverse Drug Reaction (ADR) dari Obat Asma yang
Didapat Pasien di Suatu Rumah Sakit
Jumlah Sampel Penelitian yang
Golongan Mendapatkan Terapi
Jenis Obat Prediksi
Obat Terapi Yang mengalami Yang tidak Tota
Terapi Asma Kejadian ADR
Asma ADR mengalami l
ADR
1 (93,33%
Aminofilin oral Takikardia 1 1 (6,67%) 15
4 )
Metilsantin
Aminofilin Takikardia 4 2 (80,56%
7 (19,44%) 36
intravena Sakit kepala 3 9 )
Takikardia 3
Dada sakit 2
Hiper-/
Salbutamol 5 1 1 (46,15%
Hipotensi (53,85%) 26
oral 4 2 )
Sakit kepala 2
Hipokalemia 1
Hiperglikemi 1
Takikardia 4
Dada sakit 3
Beta-2
Hiper-/
agonis Salbutamol 6 2 1 (42,86%
Hipotensi (57,14%) 35
nebulasi 0 5 )
Sakit kepala 3
Hipokalemia 2
Hiperglikemi 2
Terbutalin oral - - 0 (0,00%) 1 (100%) 1
Terbutalin Takikardia 1 (66,67%
2 (33,33%) 4 6
intravena Hiperglikemia 1 )
Terbutalin Takikardia 1 (50,00%
3 (50,00%) 3 6
nebulasi Hiperglikemia 2 )
Dexametason 2 (91,30%
Sakit kepala 2 2 (8,70%) 23
oral 1 )
Hipertensi 2
Kortikostero
Sakit kepala 1
id Dexametason 3 (86,11%
Peningkatan 5 (13,89%) 36
intravena 1 )
enzim 2
transaminase
Metilprednisol (50,00%
Hipokalemia 1 1 (5,00%)0 1 2
on oral )
(66,67%
Prednison oral Sakit kepala 1 1 (33,33%) 2 3
)
Keterangan:
ADR = adverse drug reaction
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Kejadian Adverse Drug Reaction (ADR) dari Obat Asma yang
Didapat Pasien di Suatu Rumah Sakit Berdasarkan Naranjo Scale
Jumlah Sampel Nilai Naranjo Scale
Golongan Prediksi Penelitian
Jenis Obat
Obat Terapi Kejadian Yang mengalami Nila Keterangan
Terapi Asma
Asma ADR ADR i Nilai Naranjo
total Scale
Aminofilin Kemungkinan
Takikardia 1 1 (6,67%) 3
oral ADR
Kemungkinan
Metilsantin Takikardia 4 3
Aminofilin ADR
7 (19,44%)
intravena Sakit Kemungkinan
3 3
kepala ADR
Kemungkinan
Takikardia 3 3
ADR
Kemungkinan
Dada sakit 2 3
ADR
Kemungkinan
Hipertensi/
5 4 besar adalah
Hipotensi
Salbutamol ADR
14 (53,85%)
oral Sakit Kemungkinan
2 3
kepala ADR
Kemungkinan
Hipokalemi
1 4 besar adalah
a
ADR
Hiperglike Kemungkinan
1 3
mi ADR
Kemungkinan
Takikardia 4 3
ADR
Beta-2 agonis Kemungkinan
Dada sakit 3 3
ADR
Kemungkinan
Hipertensi/
6 4 besar adalah
Hipotensi
Salbutamol ADR
20 (57,14%)
nebulasi Sakit Kemungkinan
3 3
kepala ADR
Kemungkinan
Hipokalemi
2 4 besar adalah
a
ADR
Hiperglike Kemungkinan
2 3
mi ADR
Terbutalin
- - 0 (0,00%) -
oral
Kemungkinan
Terbutalin Takikardia 1 3
2 (33,33%) ADR
intravena
Hiperglike 1 4 Kemungkinan
Kortikosteroid dexametason juga kasus ADR (57,14%), yang terdiri dari 4 kasus
merupakan obat dalam terapi asma yang paling takikardi, 3 kasus dada terasa sakit, 6 kasus
banyak digunakan, yaitu sebanyak 36 pasien hipertensi dan hipotensi, 3 kasus sakit kepala, 2
(83,72%) (Tabel 4). Kejadian ADR pada kasus hipokalemia, dan 2 kasus hiperglikemia
penggunaan dexametason relatif kecil, yaitu hanya (Tabel 5). Pada penggunaan salbutamol nebulasi,
sebesar 5 kasus (13,89%) dan 36 pasien yang kejadian ADR termasuk dalam naranjo scale
menggunakannya (Tabel 5), terdiri dari 2 kasus dalam nilai total 3 (kemungkinan ADR) dan nilai
hipertensi dengan nilai naranjo scale 4 total 4 (kemungkiann besar ADR) (Tabel 6).
(kemungkinan besar ADR), 1 kasus sakit kepala Salbutamol oral juga relatif cukup banyak
dengan nilai naranjo scale 3 (kemungkinan digunakan oleh sampel penelitian, yaitu sebanyak
ADR), dan 2 kasus peningkatan enzim 26 pasien (Tabel 4). Pemberian nebuasi umumnya
transaminase dengan nilai naranjo scale 4 lebih disukai daripada oral (sistemik), karena
(kemungkinan besar ADR) (Tabel 6). lebih bersifat lokal yang membutuhkan dosis lebih
Salbutamol nebulasi adalah terapi yang kecil sehingga kejadian ADR juga relatif lebih
banyak digunakan sampel penelitian yaitu kecil.1 Menurut Cochrane systematic review,
sebanyak 35 orang (81,40%) (Tabel 4). tidak ada bukti yang mendukung penggunaan
Salbutamol merupakan bronkodilator yang intravena beta-2 agonis, walaupun dalam kondisi
termasuk golongan beta-2 agonis aksi cepat (short tingkat keparahan asma akut parah.28 Penggunaan
acting beta-2 agonist / SABA), yang merupakan salbutamol oral mengalami ADR sebanyak 14
pilihan wajib dalam menejemen eksaserbasi kasus ADR (53,85%), yang terdiri dari 4 kasus
asma.1,27 Menurut penelitian di luar negri, takikardi, 2 kasus dada terasa sakit, 5 kasus
penggunaan salbutamol untuk pengobatan asma hipertensi dan hipotensi, 2 kasus sakit kepala, 1
tergolong aman dan kejadian ADR juga relatif kasus hipokalemia, dan 1 kasus hiperglikemia
ringan.1 Namun pada penelitian ini, menunjukkan (Tabel 5). Pada penggunaan salbutamol oral,
hasil berbeda karena dari hasil penelitian ini kejadian ADR termasuk dalam naranjo scale
menunjukkan bahwa presentase yang paling dalam nilai total 3 (kemungkinan ADR) dan nilai
banyak mengalami ADR adalah pada penggunaan total 4 (kemungkinan besar ADR) (Tabel 6).
salbutamol nebulasi yaitu sebesar 57,14% (Tabel Kejadian ADR pada hasil penelitian banyak
5). Sebagian besar pasien yang menggunakan menunjukkan perbedaan dengan hasil penelitian
salbutamol nebulasi mengalami ADR sebanyak 20 sebelum-sebelumnya. Hal ini dapat dikarenakan
efek suatu obat bersifat individual dan suatu obat yang dipengaruhi oleh genetik, karena
dipengaruhi faktor genetik yang menyebabkan respons obat dapat ditentukan oleh hubungan
respons yang berbeda terhadap terapi asma,29 antara genotip.
diperkirakan genetik berkontribusi pada rentang Kombinasi terapi asma yang paling banyak
antara 20-95% untuk obat yang berbeda.30 Oleh digunakan adalah salbutamol dan dexamethasone,
karena itu, dibutuhkan penelitian lebih lanjut sebanyak 38 pasien (88,37%) (Tabel 7).
terkait farmakogenomik untuk mengetahui efek
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Kombinasi Golongan dan Jenis Obat Asma yang Didapat Pasien
di Suatu Rumah Sakit
Jumlah Sampel Penelitian
Golongan Obat Jenis Obat Terapi Yang Yang Tidak Total
Terapi Asma Asma Mendapatkan Mendapatkan
Terapi Terapi
Aminofilin +
35 (81,39%) 8 (18,60%) 43
Metilsantin : Salbutamol
Beta-2 agonis Aminofilin +
10 (23,26%) 33 (76,74%) 43
Terbutalin
Salbutamol +
3 (6,977%) 40 (93,02%) 43
Prednison
Beta-2
Salbutamol +
agonis + 2 (4,65%) 41 (95,35%) 43
Methylprednisolon
Kortikosteroid
Salbutamol +
38 (88,37%) 5 (11,63%) 43
Dexametason
Kombinasi ini biasanya digunakan untuk kombinasi ini, kejadian yang diprediksi
pengobatan asma tingkat ringan/ sedang yang merupakan interaksi obat hanya terjadi pada satu
belum memberikan respon optimal dengan kasus saja yaitu berupa hipokalemia (2,63%)
pengobatan salbutamol tunggal, atau pada tingkat (Tabel 8),
eksaserbasi asma yang parah.1 Namun pada
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Kejadian Interaksi Obat dari Obat Asma yang Didapat Pasien di
Suatu Rumah Sakit
Jumlah Sampel Penelitian yang
Prediksi
Golongan Mendapatkan Terapi
Jenis Obat Kejadian
Obat Terapi Yang Mengalami Yang tidak Tota
Terapi Asma Interaksi
Asma Interaksi Obat Mengalami l
Obat
Interaksi Obat
Hipokalemi
Aminofilin + 1
Metilsantin Salbutamol a 5 (14,29%) 30 (85,71%) 35
+ Takikardia 4
Beta-2 Hiperglike
Aminofilin + 1
agonis mia 3 (30,00%) 7 (70,00%) 10
Terbutalin
Takikardia 2
Salbutamol +
- - 0 (0,00%) 3 (100%) 3
Prednison
Beta-2
Salbutamol +
agonis + Hipokalemi
Methylprednis 1 1 (50,00%) 1 (50,00%) 2
Kortikostero a
olon
id
Salbutamol + Hipokalemi
1 1 (2,63%) 37 (97,37%) 38
Dexametason a
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Kejadian Interaksi Obat Antar Obat Asma yang Didapat Pasien di
Suatu Rumah Sakit Berdasarkan DIPS
Prediksi Jumlah Sampel Nilai DIPS
Golongan
Jenis Obat Kejadian Penelitian
Obat Terapi
Terapi Asma Interaksi Yang mengalami Nilai Keterangan
Asma
Obat Interaksi Obat total Nilai DIPS
Kemungkinan
Hipokalemi
1 4 besar interaksi
Aminofilin + a (14,29%
5 obat
Salbutamol )
Metilsantin Kemungkinan
Takikardia 4 3
+ interaksi obat
Beta-2 Kemungkinan
Hiperglike
agonis 1 4 besar interaksi
Aminofilin + mia (30,00%
3 obat
Terbutalin )
Kemungkinan
Takikardia 2 3
interaksi obat
Salbutamol +
- - 0 (0,00%) - -
Prednison
Beta-2 Salbutamol + Kemungkinan
Hipokalemi (50,00%
agonis + Methylprednis 1 1 4 besar interaksi
a )
Kortikostero olon obat
id Kemungkinan
Salbutamol + Hipokalemi
1 1 (2,63%) 4 besar interaksi
Dexametason a
obat
Kejadian interaksi obat paling banyak memberikan efek yang berlawanan, dimana pada
terjadi pada kombinasi aminofilin dan salbutamol, salbutamol meningkatkan dalam penghambatan
sebanyak 5 kasus (14,29%) dari 35 pasien yang pelepasan TNF-, dan teofilin menghambat efek
menggunakannya (Tabel 8), berupa 1 kasus peningkatan IL-6 dari salbutamol.
hipokalemia dengan nilai DIPS adalah 4 yang Keterbatasan penelitian ini adalah adanya
berarti kemungkinan besar merupakan interaksi keterbatasan data yang hanya didapatkan dari
obat (Tabel 9), dan 4 kasus takikardi dengan nilai rekam medik, sehingga kejadian ADR berupa
DIPS adalah 3 yang berarti kemungkinan gejala klinis ada kemungkinan tidak
merupakan interaksi obat (Tabel 9). Ezeamuzie terdokumenntasi secara lengkap. Selain itu tingkat
dan Shihab (2010)31meneliti interaksi in vitro keparahan dari kejadian ADR juga tidak
antara teofilindan salbutamol pada produksi terdokumentasi secara lengkap. Penelitian ini
sitokin dari monosit manusia dan dibandingkan menggunakan desain retrospektif sehingga
dengan interaksi yang serupa antara dexametason prediksi ADR juga ada kemungkinan dipengaruhi
dan salbutamol. Salbutamol menghambat secara faktor lain seperti kebiasaan merokok, gaya hidup,
signifikan pelepasan dari TNF-, tapi juga secara kepatuhan, dll.
signifikan meningkatkan IL-6. Sedangkan teofilin Selain interaksi obat antar obat asma, ada
dan dexamethason menghambat kuat produksi satu kasus yang diduga terjadi secara akual pada
dari kedua sitokin, sehingga kombinasi antara penggunaan aminofilin dan furosemide (Tabel
aminofilin+salbutamol atau 10),
aminofilin+dexametason secara teori akan
Tabel 10. Distribusi Frekuensi Kejadian Interaksi Obat Antar Obat Asma dan Non-Asna yang
Didapat Pasien di Suatu Rumah Sakit Berdasarkan DIPS
Prediksi Jumlah Sampel Nilai DIPS
Golongan
Jenis Obat Kejadian Penelitian
Obat Terapi
Terapi Asma Interaksi Yang mengalami Nilai Keterangan
Asma
Obat Interaksi Obat total Nilai DIPS
Kemungkinan
Metilsantin Aminofilin + Hipokalemi
1 1 (2,33%) 4 besar interaksi
+ Diuretik Furosemide a
obat
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan obat asma pada penggunaan kombinasi aminofilin dan
juga dapat menyebabkan kejadian ADR dan salbutamol. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut,
bahkan kombinasi obat asma juga berisiko karena reaksi suatu obat bersifat individual,
menyebabkan interaksi obat. Pengobatan menggunakan desain studi penelitian yang
salbutamol yang menurut pustaka relatif aman berbeda dengan mengendalikan variabel-variabel
ternyata justru menunjukkan kejadian ADR yang penelitian yang dapat mempengaruhi hasil
lebih besar dibandingkan aminofilin, dan interaksi penelitian.
obat yang diduga bersifat aktual terbanyak adalah
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma.Global Strategy for Asthma Management & Prevention (Update). 2014.
Website: http://www.ginasthma.org/local/uploads/files/GINA_Report_2014_Aug12.pdf. Diakses 30
Oktober 2014
2. Lugogo NL, MacIntyre NR. Life-Threatening Asthma: Pathophysiology and Management. Respiratory
Care. 2008 June;53(6):726-739
3. Institute for Health Metrics and Evaluation. Global Burden of Disease, Visualizations, GBD Arrow
Diagram. 2013. Website:http://www.healthmetricsandevaluation.org/gbd/visualizations/gbd-arrow-
diagram.Diakses 30 Oktober 2014
4. Oemiati R, Sihombing M, Qomariah. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Asma di
Indonesia. Media Litbang Kesehatan. 2010;20(1):41-49
5. National Asthma Education and Prevention Program. Expert Panel Report 3: Guidelines for the
Diagnosis and Management of Asthma. 2007. Website:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK7232/pdf/TOC.pdf. Diakses 30 Oktober 2014
6. Pharmaceutical Care Network Europe Foundation. PCNE Classification for Drug Related Problems.
2009. Website:http://www.pcne.org/upload/files/11_PCNE_classification_V6-2.pdf. Diakses 30
Oktober 2014
7. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011 Tentang Penerapan Farmakovigilans
Bagi Industri Farmasi. 2011
8. Food and Drug Administration. Preventable Adverse Drug Reactions: A Focus on Drug Interactions.
2014. Website:
http://www.fda.gov/drugs/developmentapprovalprocess/developmentresources/druginteractionslabeling/
ucm110632.htm. Diakses 30 Oktober 2014
9. Ray A, Gulati K, Tyagi N, Vishnoi G, Lal D, Vijyan VK. Pharmacovigilance in respiratory
medicine: An experience with theophylline. Indian J Pharmacol. 2008; 40(2): S206-207
10. Nelson HS, Weiss ST, Bleecker ER, Yancey SW, Dorinsky PM. The Salmeterol Multicenter Asthma
Research Trial: a comparison of usual pharmacotherapy for asthma or usual pharmacotherapy plus
salmeterol. Chest. 2006;129(1):15-26
11. Kelly HW, Sorkness C. Asthma. In:DiPiro J, Talbert R, Yee G, Matzke G, Wells B, Posey M.Editors.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7thed. 2008.McGrawHill. New York.US
12. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). National Center for Chronic Disease Prevention and
Health Promotion. 2011. Website: http://www.cdc.gov/chronicdisease/overview/. Diakses 30 Oktober
2014
13. Kasiulevicius V, Sapoka V, Filipaviciute R. Theory and Practice: Sample Size Calculation in
Epidemiological Studies. Gerontologija. 2006; 7(4): 225231
14. Joint Formulary Committee. British National Formulary 66. 2013
15. Badan POM RI. Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (MESO) bagi Tenaga Kesehatan. 2012.
Website: http://e-meso.pom.go.id/useruploads/files/reference/PEDOMAN%20MESO_NAKES.pdf.
Diakses 30 Oktober 2014
16. Baxter K .ed. Stockleys Drug Interactions. Pharmaceutical Press. 2008
17. Horn J, Hansten PD. Drug Interation: Insights and Observations: DIPS: A Tool to Evaluate Causation in
Potential Drug Interactions. Pharmacy Times. 2007 Oct;48
18. ECPM. drug interaction probability scale (DIPS). 2013. Website:
http://www.ecpm.ch/pharmaceutical_dictionary/230.html. Diakses 30 Oktober 2014
19. Shargel L, Wu-Pong S, Andrew BC. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics. 5th edition. 2004.
McGraw-Hill, New York. US
20. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 312/MENKES/SK/IX/2013 tentang Daftar Obat Essensial
(DOEN). 2013
21. Xu YJ.Development of theophylline in treatment of Asthma and Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Zhongguo Yi Xue Ke Xue Yuan Xue Bao. 2004 June;26(3):319-22
22. Hart SP. Should Aminophylline be Abandoned in the The Treatment of Acute Asthma in Adults?. Q J
Med. 2000 Nov;93:761-765
23. Parameswaran K, Belda J, Rowe BH. Addition of intravenous aminophylline to beta2-agonists in adults
with acute asthma.Cochrane Database Syst Rev. 2000;4:CD002742
24. Fotinos C, Dodson S. Is there a role for theophylline in treating patients with asthma?. Family Practice
Inquiries Network. 2002 Sept;51(9)
25. Makino S, Adachi M, Ohta K, Kihara N, Nakajima S, Nishima S, et al. A prospective survey on safety
of sustained-release theophylline in treatment of asthma and COPD. Allergol Int. 2006 Dec;55(4):395-
402
26. Tyagi N, Gulati K, Vijayan VK, Ray A. A Study to Monitor Adverse Drug Reactions in Patients of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Focus on Theophylline. The Indian Journal of Chest Diseases
& Allied Sciences. 2008;50:199-202
27. National Asthma Council Australia.Asthma Management Handbook. 2006. Website:
http://www.nationalasthma.org.au/uploads/handbook/370-amh2006_web_5.pdf. Diakses 30 Oktober
2014
28. Cairns CB. Acute Asthma Exacerbations: Phenotypes and Management. Clinical in Chest Medicine.
2006 Mar;27:99-108
29. Tse SM, Tantisira K, Weiss ST. The Pharmacogenetics and Pharmacogenomics of Asthma Therapy.
Pharmacogenomics Journal. 2011 Dec;11(6):383-392
30. Fenech AG, Grech G. Pharmacogenetics: Where do we stand?. Journal of the Malta College of
Pharmacy Practice.2011;11:25-33
31. Ezeamuzie CI, Shihab PK. Interactions between Theophylline and Salbutamol on Cytokine Release in
Human Monocytes. The Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics.2010 Apr;334(1):302-
309
ABSTRACT
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a health problem in Indonesia, which can lead to the
extraordinary events (plague).The development of science and technology affect the development of social
and cultural, agricultural, industrial, mining and public mobility. The second-class Port Health Office
Samarinda is included as endemic area; with the 33 total numbers of cases in 2013 and there were 20 cases
started from January to August 2014. The purpose of this study was to find out the relationship between
water shelter, humidity and eradication of mosquito breeding toward DHF in buffer area of the Second-
Class Port Health Office Samarinda. This type of research is an analytical survey method with cross
sectional approach. It is included as the research which learns the dynamics of the correlation between risk
factors and effects, using observation or data collection approach at once. The sample of this study was 140
respondents with observation and measurement using Mann Whitney and Chi Square tests. Variables of this
study consisted of dependent variable, which is DHF and independent variables are the water shelter,
humidity and eradication of mosquito breeding. The findings showed there was relationship between water
shelters ( value0,031), and humidity ( value0,046), and also eradication of mosquito breeding (
value0,000). Based on the results of this study, it is expected to the healthcare institutions to give frequent
health education to the society about the dangers of DHF, control the breeding of mosquitoes, and prevent
mosquitoes bites in order to prevent infected by this disease.
K eywords : Water shelter, humaditity, eraclication of mosquito breeding, Dangue hemorrhagic faver (DHF)
PENDAHULUAN
Penyakit DBD merupakan salah satu Samarinda tahun 2011 sebanyak 244 kasus, tahun
masalah kesehatan utama karena dapat menyerang 2012 sebanyak 331 kasus 3.
semua golongan umur dan menyebabkan Kota Samarinda merupakan daerah endemis
kematian khususnya pada anak-anak. Penyakit DBD. Penyakit DBD di Samarinda pertama kali
DBD dapat menimbulkan kejadian luar biasa dilaporkan pada tahun 1988 yang diduga terjadi
(wabah).Di Indonesia penyakit Demam Berdarah pada anak kecil di Kecamatan Palaran. Hingga
Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan saat ini, kasus DBD sering terjadi di Samarinda
masyarakat. Penyakit ini pada mulanya ditemukan setiap tahunnya, perkembangan pemukiman di
di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 dengan kota Samarinda semakin meluas, padat dan
kematian sebanyak 24 orang, selanjutnya heterogen.
menyebar ke beberapa Provinsi di Indonesia1. Berdasarkan penelitian Dhina Sari, dkk 4
Adapun jumlah penderita demam dimana keberadaan tempat perindukan nyamuk
berdarah dengue (DBD) di Indonesia yaitu pada dan ragamnya jenis tempat penampungan air
tahun 2011 terdapat 65,432 kasus dan tahun 2012 sangat berperan dalam keberadaan vektor
terdapat 90,245 kasus 2. Kejadian DBD di DBD.Sedangkan hasil penelitian5 di Semarang
Provinsi Kalimantan Timur yaitu pada tahun 2010 diketahui bahwa terdapat hubungan antara
terdapat 5.862 penderita, pada tahun 2011 kelembaban dengan keberadaan jentik nyamuk
terdapat 1.416 penderita3. Kejadian DBD di Kota penular demam berdarah dengue. Kelurahan
Sendangguwo Kota Semarang menujukkan
adanya hubungan yang signifikan antara tindakan mendapatkan air bersih sangat susah, dikarnakan
PSN masyaraka dengan keberadaan jentik Aedes volume air yang mengalir sangat kecil, sehingga
aegypti dengan hasil p value 0,025 0,05. warga tersebut banyak menampung air yang
Adapun data DBD di wilayah puskesmas dapat menjadi tempat perkembangbiakan jentik
Sambutan yang merupakan puskesmas yang dekat aedes aegypti, serta di dukung dengan perumahan
dengan wilayah Buffer kantor kesehatan yang padat, jarak antar rumah yang sangat dekat,
pelabuhan Samarinda yaitu tahun 2012 sebanyak pencahayaan yang kurang, akan mempengaruhi
20 kasus, tahun 2013 sebanyak 18 kasus 2. penularan vektor penyakit.
Wilayah Buffer Kantor Kesehatan Berdasarkan latar belakang di atas maka
Pelabuhan Samarinda merupakan daerah padat perlu dilakukan penelitian tentang hubungan
penduduk dan sebagian lokasi tempat tinggal Tempat Penampungan Air (TPA),Kelembaban
merupakan daerah pegunungan, warga yang dan PSN dengan Penyakit DBD di wilayah Buffer
tinggal di daerah pegunungan akses untuk Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda.
METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian adalah penyakit DBD dan variabel bebas
survey analitik dengan pendekatan cross (independen) adalah Tempat penampungan air
sectional. Waktu penelitian dimulai sejak bulan (PSN), kelembaban dan tindakan PSN. Uji
Oktober hingga Nopember tahun 2014. Lokasi statistik yang digunakan dalam penelitian ini
penelitian dilakukan di Kelurahan Selili RT. 01, adalah uji Chi Square dan uji Mann Whitney
RT. 02 dan RT.03 wilayah Buffer Kantor untuk mengetahui nilai sig dan value antara dua
Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda. Dalam variabel. Bila nilai sig dan value< nilai (0,05)
penelitian ini besar sampel adalah 140 responden. maka ada hubungan yang signifikan antara
Variabel terikat (dependen) dari penelitian ini variabel bebas dan variabel terikat.
Tabel 1. Hubungan antara tempat penampungan air dengan penyakit DBD di Wilayah Buffer
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Samarinda Tahun 2014
Penyakit DBD Jumlah
TPA
Tidak ada % Ada % N %
Tidak Ada Jentik 62 57,4 5 9,6 67 67
0,031
Ada Jentik 58 62,6 15 10,4 73 73
Total 120 85,7 20 14,3 70 100
Berdasarkan hasil penelitian yang telah drum, tempayan, ember dan lain-lain yang
dilakukan menunjukkan bahwa hasil uji statistik merupakan keperluan sehari-hari yaitu sebanyak
dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh 820 kontainer, dan ditemukan 152 kontainer yang
nilai value= 0,031karena nilai value lebih kecil positif jentik, dengan jenis penampungan yang
dari nilai (0,05) yang artinya ada hubungan banyak positf jentik yaitu drum sebesar 32,6%.
antara tempat penampungan air dengan penyakit Hal ini disebabkan karena kelurahan Selili
DBD di wilayah Buffer KKP Kelas II Samarinda merupakan daerah pemukiman yang pada
Hal ini didukung oleh penelitian Sukamto6 yang penduduk dan sanitasi lingkungannya kurang
menyatakan bahwa ada hubungan keberadaan bersih sehingga banyak tempat perindukan
jentik Aedes aegypti pada tempat penampungan nyamuk Aedes aegypti seperti bak mandi, drum
air terhadap kejadian DBD di Kelurahan Ploso dan tempayan yang jarang dibersihkan. Hal ini di
Kecamatan Pacitan (nilai p=0,001). dukung oleh penelitian yang dilakukan Yudhastuti
Hasil penelitian pemeriksaan jentik Aedes 5 yang menyatakan bahwa kota di Indonesia
aegypti pada tempat penampungan air diperoleh menunjukkan tempat perindukan yang paling
jenis penampungan air seperti di bak mandi, potensial adalah TPA yang digunakan untuk
keperluan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak Selain itu volume tempayan lebih sedikit
mandi, bak wc, ember dan sejenisnya. dibandingkan dengan TPA yang lainnya, sehingga
Dari seluruh jenis tempat penampungan air memudahkan menguras ataupun membersihkan
diatas dapat diambil simpulan bahwa drum TPA tersebut.
mempunyai peluang yang paling banyak terdapat TPA yang bukan kebutuhan sehari-hari
jentik 32,6% dibandingkan dengan tempat ditemukan sebanyak 6 kontainer yang berupa vas
penampungan air (TPA) yang lain yaitu bak bunga dan tempat minum hewan piaraan, tidak
mandi, tempayan, ember dan lainya. Hal ini satupun TPA yang ditemukan jentik. Ini
diperkirakan karena ketinggian lokas RT 02 dan dikarenakan jarang responden memilikinya dan
03 berada di kemiringan 300 sehingga sulit kontainer jenis ini setiap hari selalu diganti air
untuk mendapatkan pasokan air bersih terutama yang baru.
yang berasal dari PDAM. Sehingga hampir Hasil penelitian di wilayah RT 1, RT 2 dan
sebagian besar responden menampung air di RT, 3 dimungkinkan bahwa belum secara
drum. maksimal memutus rantai perkembangbiakan
Hasil observasi yang dilakukan terhadap nyamuk dengan masih banyaknya tempat
tempat perindukan nyamuk jenis bak sebesar penampungan air yang positif jentik, sehingga
19,6%, ini cenderung berada di dalam rumah, perlu dilakukan tindakan PSN dengan cara
kondisi ini memudahkan untuk dilakukan membasmi jentik-jentik nyamuk dengan
pengurasan dan pembersihan. Begitu juga dengan melakukan 3M plus sehingga tidak sampai
air yang berada di dalam bak dipakai setiap hari menjadi nyamuk dewasa. Kegiatan 3M plus harus
sehingga secara tidak langsung ada pergantian air sering dilakukan oleh masyarakat dilingkungan
di dalam bak. tempat tinggalnya masing-masing
Tempat penampungan air lainnya yang
kebutuhan sehari-hari dengan peluang paling Hubungan Kelembaban Dengan Penyakit
sedikit terdapat jentik didalamnya adalah DBD di Wilayah Buffer Kantor Kesehatan
tempayan (3,3%) dan ember (3,7). Hal ini Pelabuhan Kelas II Samarinda
diperkirakan sebagian besar tempayan dan ember Berdasarkan hasil pengolahan data yang
itu diletakkan di dalam rumah dan dalam keadaan telah dilakukan, hubungan kondisi kelembaban
tertutup. Sehingga kecil kemungkinan ada dengan penyakit DBD dapat dilihat pada tabel 2
nyamuk yang hinggap dan bertelur di dalamnya. sebagai berikut:
Tabel 2. Hubungan kelembaban dengan penyakit DBD di Wilayah Buffer Kantor Kesehatan
Pelabuhan Kelas II Samarinda.
Penyakit DBD Jumlah
Kelembaban P
Tidak ada % Ada % N %
Baik 78 73,3 8 12,3 86 86
0,046
Kurang Baik 42 46,3 12 ,77 54 54
Total 120 120 20 20 140 140
Berdasarkan tabel 2 diatas, menunjukkan perkembangan vektor DBD yaitu antara 81,5%
bahwa hasil uji statistik dengan menggunakan uji hingga 89,5%. Namun penelitian dengan hasil
Chi Square diperoleh nilai P value= 0,046 karena berbeda dikemukakan oleh Salawati4 yang
nilai value lebih kecil dari nilai (0,05) yang menyatakan bahwa kondisi kelembaban tidak
artinya ada hubungan antara kelembaban terhadap memiliki hubungan yang bermakna terhadap
penyakit DBD di wilayah Buffer KKP Kelas II kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Samarinda. Srondol dengan hasil perhitungan nilai value
Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh sebesar 0,483.
Yudhastuti5 yang membuktikan ada hubungan Kelembaban udara tidak berpengaruh
yang bermakna antara kondisi kelembaban yang langsung pada angka insiden DBD, tetapi
berada di angka pengukuran 81,5% hingga 89,5% berpengaruh pada umur nyamuk. Pada
terhadap kejadian DBD di daerah endemis DBD kelembaban udara yang rendah yaitu di bawah
Kota Surabaya dengan hasil value = 0,000. Dari 60% terjadi penguapan air dari tubuh nyamuk
58 rumah responden diwilayah tersebut, 34 rumah sehingga dapat memperpendek umur nyamuk. dan
memiliki kelembaban yang baik bagi
Akademi Farmasi Samarinda 21
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 19-24, 2015 Andi Anwar
batas maksimum kelembaban yang baik untuk memudahkan bagi parasite menyebarkan penyakit
vektor DBD. dirumah tersebut.
Saat melakukan penelitian, kondisi yang di
dapatkan di lapangan yaitu responden memiliki Hubungan Tindakan PSN Dengan Penyakit
rumah yang sangat padat dan berdekatan dengan DBD di Wilayah Buffer Kantor Pelabuhan
rumah di sebelahnya. Banyak rumah yang jarak Kelas II Samarinda
antara satu rumah dengan rumah lain berdempetan Berdasarkan hasil pengolahan data yang
sehingga tidak dapat sinar matahari yang cukup. telah dilakukan, hubungan tindakan PSN dengan
Dan sangat optimal bagi perkembangan parasite penyakit DBD dlihat pada tabel 3 berikut
penyakit terutama vektor DBD dan sangat
Tabel 3. Hubungan tindakan PSN dengan Penyakit DBD di Wilayah Buffer Kantor Kesehatan
Pelabuhan Samarinda Tahun 2014
Tindakan PSN Min Sig.
Tindakan PSN n Mean Rank
Maks (2-tailed)
secara maksimal dikarenakan masih kurangnya akan memudahkan nyamuk untuk masuk ke
kesadaran masyarakat setempat dalam mencegah dalam rumah untuk menggigit manusia dan untuk
penyakit DBD salah satunya pemberikan tutup beristirahat.
pada tempat penampungan air. Dengan tidak adanya nyamuk masuk ke
Hasil observasi diketahui masih banyak dalam rumah maka kemungkinan nyamuk untuk
responden yang kebiasaan menggantung pakaian menggigit semakin kecil. Keadaan ventilasi
61,4%, dimana diketahui faktor kebiasaan rumah yang tidak ditutupi kawat kasa akan
menggantung pakaian mempunyai hubungan menyebabkan nyamuk masuk ke dalam rumah.
terhadap kejadian DBD. Dari hasil tersebut berarti Dengan tidak adanya kasa nyamuk pada ventilasi
bahwa responden yang masih memiliki kebiasaan rumah, akan memudahkan nyamuk Aedes aegypti
menggantung pakaian memiliki peluang untuk masuk ke dalam rumah pada pagi hingga sore
bisa terkena penyakit DBD dari pada responden hari. Hal ini tentunya akan memudahkan
yang tidak memiliki kebiasaan menggantung terjadinya kontak antara penghuni rumah dengan
pakaian. Seharusnya pakaian-pakaian yang nyamuk penular DBD, sehingga akan
tergantung di balik lemari atau di balik pintu meningkatkan risiko terjadinya penularan DBD
sebaiknya dilipat dan disimpan dalam almari, yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah
karena nyamuk Aedes aegypti senang hinggap yang ventilasinya terpasang kasa.
dan beristirahat di tempat-tempat gelap dan kain Menurut Suyasa8 menyatakan bahwa
yang tergantung 1. bentuk perilaku seseorang ada 2 yaitu perilaku
Memasang kawat kasa pada ventilasi udara aktif dan perilaku pasif. Perilaku aktif seperti
sebanyak 63,64%, memiliki ventilasi rumah tanpa perilaku responden terhadap upaya pencegahan
kawat kasa dan sebesar 36,4% responden terjadinya DBD dapat berupa tindakan untuk
Pemakaian kawat kasa pada ventilasi rumah menambah pengetahuan mengenai penyakit,
adalah salah satu upaya untuk mencegah penyakit upaya membersihkan dalam rumah atau luar
DBD. Pemakaian kawat kasa pada setiap lubang rumah, sementara perilaku pasif adalah perilaku
ventilasi yang ada di dalam rumah bertujuan agar responden yang cenderung jarang membersihkan
nyamuk tidak masuk ke dalam rumah dan rumah meskipun memiliki pengetahuan penyakit
menggigit host (pejamu). Kegiatan lain yang DBD. Perilaku masyarakat mempunyai pengaruh
dapat mempengaruhi kejadian penyakit DBD terhadap lingkungan karena lingkungan
adalah pemasangan kawat kasa. Pemasangan merupakan lahan untuk perkembangan perilaku
kawat kasa berukuran 18 masih dapat diletakkan tersebut. Bila masyarakat mau melakukan
pada jendela dan lubang-lubang ventilasi pemberantasan sarang nyamuk (PSN) secara rutin
lainnya7. Penggunaan kawat kasa pada ventilasi dan berkesinambungan maka dapat mencegah
rumah sebenarnya adalah salah satu pengendalian perkembangan jentik nyamuk Aedes Aegypti dan
penyakit DBD secara mekanik. Rumah dengan mencegah timbulnya penyakit DBD.
kondisi ventilasi tidak terpasang kasa nyamuk,
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah =0,031). Ada hubungan Kelembaban dengan
dilakukan di Wilayah Buffer KKP Kelas II dengan Penyakit DBD di Wilayah Buffer KKP
Samarinda, maka dapat diambil kesimpulan Kelas II Samarinda (p =0,046) dan adahubungan
sebagai berikut ada hubungan Tempat PSN dengan Penyakit DBD di Wilayah Buffer
Penampungan Air dengan Penyakit DBD di KKP Kelas II Samarinda (p = 0,00)
Wilayah Buffer KKP Kelas II Samarinda (p
SARAN
Diharapkan bagi masyarakat agar bisa penelitian selanjutnya diharapkan agar dapat
menerapkan program-program pemerintah seperti menambah jumlah variabel dan jumlah sampel
PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan penelitian, sehingga diharapkan dapat
membantu program yang sudah berjalan seperti memperkuat keputusan yang akan diambil dan
3M, penaburan bubuk abate. Bagi instansi agar penelitian-penelitian selanjutnya lebih bermanfaat
dapat mempertahankan program yang telah lagi bagi masyarakat terutama di wilayah
berjalan dan lebih banyak membuat media pelabuhan.
promosi kesehatan tentang penyakit DBD. Untuk
DAFTAR PUSTAKA
1. Widoyono. Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya). Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2008.
2. Ridha, Rasyid, dkk. Hubungan Kondisi Lingkungan Dan Kontainer Dengan Keberadaan Jentik
Nyamuk Aedes Aegypti Di Daerah Endemis DBD Kota Banjarbaru. Jurnal Epidemiologi dan
Penyakit Bersumber Binatang. Diakses di http://ejournal.litbang.depkes.go.id pada 16
Agustus 2014, 2013.
3. Kementerian Kesehatan RI. Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Informasi Kesehatan
Indonesia. Diakses di http://kemenkes.or.id pada 26 Februari 2014, 2010.
4. Salawati, Trixie, Dkk. Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Faktor Lingkungan Dan
Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Diakses di
http://jurnal.unimus.ac.id pada 26 Februari 2014, 2010.
5. Yudhastuti, Riri, dkk.Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer Dan Perilaku Masyarakat Dengan
Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti Di Daerah Endemis DBD Kota Surabaya. Jurnal
Kesehatan Lingkungan.Diakses di http://journal.unair.ac.idpada 16 Agustus 2014, 2005.
6. Sukamto.Studi Karakteristik Wilayah Dengan Kejadian DBD Di Kecamatan Cilacap Selatan
Kabupaten Cilacap. Tesis Kesehatan Lingkungan. Diakses di http://ejournal-s2.undip.ac.id
pada 15 Agustus 2014, 2007.
7. Nadesul, Handrawan. 100 Pertanyaan + Jawaban Demam Berdarah. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2004.
8. Suyasa, Gede. Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Vektor
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Jurusan Kesehatan Lingkungan. Diakses di http://litbang.poltekkes-
denpasar.ac.idpada 09 Agustus 2014, 2008.
ABSTRACT
Free fatty acids and peroxide are part of cooking oil quality parameters. This study aims to
determine the levels of free fatty acids and peroxide value in cooking oil used by fried merchant in Jl. A.W.
Sjahranie Samarinda. Sampling was done by total sampling which is cooking oil before frying and after
frying a few times from four fried merchants. Determination of free fatty acid content using alkalimetry
method and levels of peroxide using iodometric method.
The test results of the free fatty acid content of samples A, B, C, D cooking oil before frying is equal
to 0.16%; 0.27%; 0.33%; 0.32%, and free fatty acid levels after few times frying is 0.19%; 0.29%; 0.37%;
0.36%. The test results of the peroxide sample A, B, C, D cooking oil before frying in the amount of 18.95
meq O2/kg; 27.63 meqO2/kg; 24.67 meq O2/kg; 23.29 meq O2/kg. Peroxide levels after several times frying is
26.25 meqO2/kg; 35.72 meqO2/kg; 34.54 meqO2/kg; 33.16 meqO2/kg. Average levels of free fatty acids
cooking oil before frying is 0.27% and after frying to 0.30%, or an increase of 12.04%. While the average
level of peroxide cooking oil before frying of 23.64 meqO2/kg and after frying be 32.42 meqO2/kg or an
increase of 37.16%.
PENDAHULUAN
Makanan jajanan (street food) sudah digunakan oleh para pedagang jajanan di Tampan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Kota Pekanbaru.
kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun Konsumsi minyak goreng di masyarakat
di pedesaan. Konsumsi jajanan di masyarakat cukup tinggi, makanan gorengan cenderung lebih
diperkirakan terus meningkat karena terbatasnya disukai dibanding rebus, karena berasa lebih gurih
waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan dan renyah. Praktek penggorengan untuk
sendiri. Keunggulan jajanan adalah murah dan menghasilkan mutu makanan yang baik dan aman
mudah didapat, serta cita rasa yang enak dan masih perlu mendapatkan perhatian, khususnya
cocok dengan selera kebanyakan pada masyarakat menengah kebawah yang
masyarakat1.Data Survei Nasional Ekonomi menggunakan minyak goreng curah. Hal tersebut
Sosial (Susenas) modul konsumsi menyebutkan akan mengakibatkan terakumulasinya komponen-
gorengan dipilih oleh hampir seluruh rumah komponen yang tidak menguntungkan bagi
tangga di Indonesia (49%). Jajanan lain yang kesehatan4.
disukai di Indonesia mie (bakso/rebus/goreng) Asam lemak bebas dan peroksida
(45%) serta makanan ringan (39%)2. merupakan bagian dari parameter kualitas minyak
Salah satu fenomena yang dihadapi dalam goreng. Asam lemak bebas terbentuk karena
proses penggorengan adalah menurunnya kualitas proses oksidasi dan hidrolisis. Kandungan asam
minyak setelah digunakan secara berulang pada lemak bebas yang tinggi akan berpengaruh
suhu yang relatif tinggi (200-250oC). Penelitian terhadap kualitas produk gorengan. Asam lemak
Ayu dkk3, menunjukkan beberapa parameter dalam bahan pangan dengan kadar lebih dari 0,2
kualitas yang tidak baik pada minyak goreng yang persen dari berat lemak akan mengakibatkan
flavor yang tidak diinginkan dan kadang-kadang
Akademi Farmasi Samarinda 25
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 25-30, 2015 Henny Nurhasnawati
dapat meracuni tubuh. Demikian juga dengan kadar asam lemak bebas dan bilangan peroksida
peroksida dapat mempercepat bau tengik dan pada minyak goreng yang digunakan oleh
flavor yang tidak diinginkan, jika jumlah pedagang gorengan di sekitar kampus Akademi
peroksida lebih besar dari 100 mek O2/kg akan Farmasi Samarinda khususnya Jalan A.W.
bersifat sangat beracun4. Berdasarkan hal tersebut Sjahranie Samarinda.
maka penelitian ini bertujuan untuk menetapkan
0.29
0.27
0.3 0.19
Bebas (%)
0.16
0.2
0.1
0
A B C D
Sampel Minyak Goreng Pedagang
Hasil uji terhadap kadar asam lemak bebas penggorengan yaitu sebesar 0,16% ; 0,27% ;
sampel A, B, C, D minyak goreng sebelum 0,33% ; 0,32%. Hasil uji kadar asam lemak bebas
sampel A, B, C, D minyak goreng setelah kandungan air dan udara pada bahan pangan
beberapa kali penggorengan yaitu 0,19% ; 0,29% ; semakin meningkatkan kerusakan yang terjadi
0,37% ; 0,36%. pada minyak yang dapat dianalisa dengan
Hasil uji terhadap kadar asam lemak bebas menghitung kadar asam lemak bebas yang
menunjukkan kadar asam lemak bebas tertinggi terbentuk. Kerusakan minyak dapat dipercepat
pada minyak goreng sampel C yaitu dengan kadar dengan adanya air, protein, lemak, hidrokarbon,
sebelum penggorengan sebesar 0,33% dan setelah dan bahan-bahan lain yang ada dalam bahan
beberapa kali penggorengan sebesar 0,37%. pangan yang digoreng11.
Berdasarkan hasil kadar asam lemak bebas yang Hasil uji kadar asam lemak bebas
didapat menunjukkan dari empat sampel terdapat menunjukkan bahwa kadar sampel A dan B
dua sampel mempunyai kadar asam lemak bebas sebelum penggorengan adalah sebesar 0,16% dan
lebih tinggi dari standar yang ditetapkan SNI 0,27% dan tidak melebihi standar SNI
7709:201217 maksimal 0,3% yaitu sampel C dan 7709:2012, sedangkan sampel C dan D memiliki
D. kadar asam lemak bebas sebesar 0,33% dan
Asam lemak bebas adalah asam lemak yang 0,32% yang melebihi standar SNI 7709:2012.
berada sebagai asam lemak bebas tidak terikat Kadar asam lemak bebas pada minyak
sebagai trigliserida. Asam lemak bebas dihasilkan goreng yang digunakan pedagang sudah
oleh proses hidrolisis dan oksidasi biasanya cenderung tinggi pada saat sebelum
bergabung dengan lemak netral. Hasil reaksi penggorengan, hal ini dikarenakan minyak yang
hidrolisis minyak kelapa sawit adalah gliserol dan dipakai oleh pedagang gorengan merupakan
asam lemak bebas. Reaksi ini akan dipercepat minyak goreng yang sudah digunakan berulang
dengan adanya faktor-faktor panas, air, keasaman kali. Minyak tersebut sering disebut dalam
dan katalis (enzim). Semakin lama reaksi ini masyarakat sebagai minyak jelantah. Pedagang
berlangsung, maka semakin banyak kadar asam gorengan biasanya hanya menambahkan beberapa
lemak bebas yang terbentuk7. liter saja minyak baru ke dalam minyak jelantah.
Asam lemak bebas dalam minyak tidak Semakin sering digunakan tingkat kerusakan
dikehendaki karena kenaikan asam lemak bebas minyak akan semakin tinggi. Penggunaan minyak
tersebut menghasilkan rasa dan bau yang tidak berkali-kali mengakibatkan minyak menjadi cepat
disukai. Jumlah asam lemak bebas yang terdapat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna
dalam minyak dapat menunjukkan kualitas coklat serta flavor yang tidak disukai pada bahan
minyak, dimana semakin tinggi nilai asam lemak makanan yang digoreng. Kerusakan minyak
bebas maka semakin turun kualitas 8. goreng yang berlangsung selama penggorengan
Hasil penetapan kadar memperlihatkan juga menurunkan nilai gizi dan berpengaruh
adanya peningkatan kadar asam lemak bebas pada terhadap mutu dan nilai bahan pangan yang
minyak goreng setelah penggorengan. Biasanya digoreng dengan menggunakan minyak yang telah
presentase kadar asam lemak bebas meningkat rusak akan mempunyai struktur dan penampakan
dengan waktu dan frekuensi penggorengan, hal ini yang kurang menarik serta citra rasa dan bau yang
digunakan sebagai indikator kualitas minyak9. kurang enak. Minyak goreng yang baik
Peningkatan persentase ini disebabkan adanya mempunyai sifat tahan panas, stabil pada cahaya
pertukaran komponen air pada bahan pangan yang matahari, tidak merusak flavor hasil gorengan,
digoreng dengan minyak yang dijadikan media menghasilkan produk-produk dengan tekstur dan
penggorengan. Penelitian Abdullah10 rasa yang bagus, serta menghasilkan produk
menunjukkan bahwa kadar asam lemak bebas keemasan pada produk12. Kecepatan hidrolisis
pada minyak goreng yang digunakan untuk dipengaruhi oleh kelembapan atau jumlah air
menggoreng tahu memiliki kenaikan kadar asam yang terdapat dalam bahan pangan, suhu
lemak bebas yang lebih tinggi dibanding asam penggorengan, kecepatan perubahan lemak, dan
lemak bebas pada minyak goreng untuk akumulasi bahan yang terbakar/hangus3.
menggoreng tempe dan pisang. Hal ini disebabkan Terjadinya kenaikan kadar asam lemak
oleh tingginya kadar air dalam tahu. Hal ini sesuai bebas juga disebabkan oleh lamanya
dengan Ketaren4, bahwa kerusakan yang terjadi penyimpanan. Selama penyimpanan, minyak dan
pada minyak goreng yang digunakan berulang lemak mengalami perubahan fisika-kimia yang
kali dalam proses penggorengan disebabkan dapat disebabkan oleh proses hidrolisis maupun
adanya reaksi yang kompleks yang terjadi pada oksidasi. Penyimpanan yang salah dalam jangka
saat bahan pangan digoreng. Rata-rata jenis bahan waktu tertentu dapat menyebabkan pecahnya
pangan yang digoreng oleh pedagang gorengan di ikatan trigliserida pada minyak lalu membentuk
Jl. A.W. Sjahranie Samarinda adalah tempe, gliserol dan asam lemak bebas13.
singkong, tahu, pisang dan bakwan. Adanya
Peroksida (mek/O2)
40
26.25 27.63 24.67 23.29
Kadar Bilangan
30 18.95
20
10
0
A B C D
Sampel Minyak Goreng Pedagang
Syarat mutu bilangan peroksida pada oksidasinya tergantung pada tipe lemak dan
minyak goreng menurut SNI 7709:2012 maksimal kondisi penyimpanan4. Minyak curah terdistribusi
sebesar 10 mek O2/kg. Hasil uji terhadap bilangan tanpa kemasan, paparan oksigen dan cahaya pada
peroksida sampel A, B, C, D minyak goreng minyak goreng curah lebih besar daripada minyak
sebelum penggorengan yaitu sebesar 18,95mek kemasan. Paparan oksigen, cahaya dan suhu
O2/kg ; 27,63 mek O2/kg ; 24,67 mek O2/kg ; tinggi selama penggorengan memicu terjadinya
23,29 mek O2/kg. Hasil uji bilangan peroksida oksidasi minyak. Menurut deMan15 setiap
sampel A, B, C, D minyak goreng setelah peningkatan suhu 10oC laju kecepatan oksidasi
beberapa kali penggorengan yaitu 26,25mek meningkat dua kali lipat. Kecepatan oksidasi
O2/kg ; 35,72 mek O2/kg ; 34,54 mek O2/kg ; lemak akan bertambah dengan kenaikan suhu dan
33,16 mek O2/kg. Seiring dengan frekuensi dan berkurang pada suhu rendah4. Komposisi bahan
lamanya penggorengan, minyak akan teroksidasi pangan juga mempengaruhi kadar bilangan
membentuk senyawa peroksida, terlihat dengan peroksida, penelitian Abdullah10 menunjukkan
meningkatnya bilangan peroksida setelah peningkatan kadar bilangan peroksida pada
dilakukan penggorengan. minyak goreng bekas menggoreng tahu lebih
Hasil uji terhadap bilangan peroksida tinggi daripada kadar bilangan peroksida pada
menunjukkan bilangan peroksida tertinggi minyak goreng bekas menggoreng tempe dan
terdapat pada minyak goreng sampel B yaitu pisang. Hal ini mungkin terjadi karena tingginya
dengan kadar sebelum penggorengan sebesar kadar air dalam tahu. Rata-rata jenis bahan
27,63mek O2/kg dan setelah beberapa kali pangan yang digoreng oleh pedagang gorengan di
penggorengan sebesar 35,72 mek O2/kg. Jl. A.W. Sjahranie Samarinda adalah tempe,
Berdasarkan hasil bilangan peroksida yang singkong, tahu, pisang dan bakwan. Kerusakan
didapat menunjukkan dari empat sampel sebelum minyak dapat dipercepat dengan adanya air,
penggorengan yang diteliti, semua sampel protein, lemak, hidrokarbon, dan bahan-bahan lain
mempunyai bilangan peroksida lebih tinggi dari yang ada dalam bahan pangan yang digoreng11.
standar yang ditetapkan SNI 7709:2012. Hal ini Terjadinya reaksi oksidasi ini akan
menunjukkan bahwa minyak goreng yang mengakibatkan bau tengik pada minyak dan
digunakan mempunyai mutu yang jelek. Hal ini lemak. Selain itu kenaikan bilangan peroksida
mungkin dikarenakan para pedagang penjual disebabkan oleh suhu dan pengaruh cahaya.
gorengan biasanya menggunakan minyak goreng Untuk mengurangi kerusakan minyak agar dapat
berulang-ulang kali tanpa peduli apakah warnanya bertahan dalam waktu yang lebih lama, dapat
sudah berubah menjadi coklat tua sampai hitam dilakukan dengan cara menyimpan lemak pada
atau belum. Hal tersebut dilakukan untuk suhu yang lebih rendah.
menghemat biaya produksi. Faktor-faktor yang dapat mempercepat
Pengukuran angka peroksida pada oksidasi pada minyak adalah suhu, cahaya atau
dasarnya adalah mengukur kadar peroksida dan penyinaran, tersedianya oksigen dan adanya
hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal logam-logam yang bersifat sebagai katalisator
reaksi oksidasi lemak. Bilangan peroksida yang proses oksidasi. Oleh karena itu minyak harus
tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah disimpan pada kondisi penyimpanan yang sesuai
mengalami oksidasi14. dan bebas dari pengaruh logam dan harus
Oksidasi lemak oleh oksigen terjadi secara dilindungi dari kemungkinan serangan oksigen,
spontan jika bahan berlemak dibiarkan kontak cahaya serta temperatur tinggi. Keadaan
dengan udara, sedangkan kecepatan proses lingkungan yang mempengaruhi penyimpanan
minyak dan lemak, yaitu kelembapan udara Kerusakan lemak atau minyak akibat
ruangan penyimpanan, suhu (temperatur), pemanasan pada suhu tinggi (200-250) akan
ventilasi, tekanan dan masalah pengangkutan4. mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan
Perubahan-perubahan kimia lemak dan berbagai penyakit misalnya diarrhea,
minyak dapat mempengaruhi bau dan rasa suatu pengendapan lemak dalam pembuluh darah
bahan makanan, baik menguntungkan ataupun (artherosclerosis), kanker dan menurunkan nilai
tidak. Pada umumnya penguraian lemak dan cerna lemak. Bahan makanan yang mengandung
minyak menghasilkan zat-zat yang tidak dapat lemak dengan bilangan peroksida tinggi akan
dimakan. Kerusakan lemak dan minyak mempercepat ketengikan, dan lemak dengan
menurunkan nilai gizi serta menyebabkan bilangan peroksida lebih besar dari 100 dapat
penyimpangan rasa dan bau lemak yang meracuni tubuh
bersangkutan. Setiap jenis kerusakan lemak dan Proses oksidasi pada minyak dapat
minyak pada pokoknya disebabkan oleh suatu berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah
perubahan kimia tertentu oleh faktor-faktor lain, oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya
seperti: suhu, kadar air, kotoran, dan waktu reaksi oksidasi ini akan menyebabkan bau tengik
penyimpanan18. pada minyak dan lemak. Gejala timbulnya
Asam lemak bebas terbentuk karena proses ketengikan oleh proses oksidasi lemak pada tahap
oksidasi dan hidrolisa enzim selama pengolahan permulaan ditandai dengan timbulnya flavor,
dan penyimpanan. Dalam bahan pangan, asam flatness atau oiliness, yang disusul dengan
lemak dengan kadar lebih besar dari berat lemak perubahan rasa dan aroma yang terdapat secara
akan mengakibatkan rasa yang tidak diinginkan alamiah. Selanjutnya minyak tersebut berubah
dan kadang-kadang dapat meracuni tubuh. menjadi bau yang tidak disukai dengan bau apek.
Timbulnya racun dalam minyak yang dipanaskan Jika ketengikan lemak telah mencapai tahap
telah banyak dipelajari. Bila lemak tersebut terakhir, maka lemak biasanya berbau tengik dan
diberikan pada ternak atau diinjeksikan ke dalam terasa getir.
darah, akan timbul gejala diare, kelambatan Vitamin perangsang pertumbuhan dalam
pertumbuhan, pembesaran organ, kanker, kontrol lemak mudah rusak akibat oksidasi oleh oksigen
tak sempurna pada pusat saraf dan mempersingkat udara, sedangkan vitamin yang penting dalam
umur16. proses pertumbuhan dan reproduksi akan rusak
Kerusakan minyak selama proses pada lemak-lemak yang telah menjadi tengik.
menggoreng akan mempengaruhi mutu dan nilai Nilai gizi lemak yang teroksidasi, lebih
gizi dari bahan pangan yang digoreng. Minyak rendah dibandingkan dengan lemak segar,
yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerisasi sehingga dapat mengganggu kesehatan dan
akan menghasilkan bahan dengan rupa yang pencernaan atau gangguan-gangguan lainnya.
kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak, Sebagai contoh ialah anjing yang diberi makanan
serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak mengandung lemak teroksidasi, akan mengidap
esensial yang terdapat dalam minyak. penyakit yang disebut oxidized fat syndrome, yang
akhirnya akan mengakibatkan kematian4.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cahanar, P dan Irwan Suhanda. 2006. Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta: PT. Kompas Media Utama
2. Suleeman, Evelyn dan Sulastri. 2006. Jajanan Favorit Separuh Rumah Tangga di Indonesia
Mengandung Zat Berbahaya.Social Science Research &
Consulting:Website:http://www.ihssrc.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=110
(diakses 10 Mei 2014)
3. Ayu, D.F. dan Farida, H. H. 2010. Evaluasi Sifat Fisiko Kimia Minyak Goreng yang Digunakan oleh
Pedagang Makanan Jajanan di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru. Sagu Vol. 9 (1): 4-14
4. Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press
5. Sudarmadji, S., Haryono.B., dan Suhadi.1997. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian.Edisi
keempat.Yogyakarta : Penerbit Liberty
6. Sudarmadji, S., Haryono.B., dan Suhardi.2007 Analisis Bahan Makanan dan Pertanian.Edisi
kedua.Yogyakarta : Penerbit Liberty
7. Tim Penulis PS. 2001. Kelapa Sawit Usaha Budidaya. Pemanfaatan Hasil dan Aspek Pemasaran.
Cetakan Ketiga Belas. Jakarta: Penerbit Swadaya
8. Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
9. Aminah, Siti dan Joko, T.I. 2010.Praktek Penggorengan dan Mutu Minyak Goreng Sisa Pada Rumah
Tangga di RT V RW III KedungmunduTembalang Semarang.Prosiding Seminar Nasional UNIMUS
Semarang:261-266
10. Abdullah.2007. Pengaruh Gorengan dan Intensitas Penggorengan Terhadap Kualitas Minyak
Goreng.Jurnal Pillar Sains Vol. 6 (2): 45-50
11. Selfiawati, Evi. Kajian Proses Degumming dan Netralisasi Pada Pemurnian Minyak Goreng
Bekas.Skripi. Bogor: Institut Pertanian Bogor
12. Trubusagrisarana. 2005. Mengolah Minyak Goreng Bekas. Surabaya: Perpustakaan Nasional RI
13. Sutiah, K., Sofjan, F & Budi, W.S. 2008.Studi Kualitas Minyak Goreng dengan Parameter Viskositas
dan Indeks Bias.Berkala Fisika Vol 11. (2): 53-58
14. Raharjo, 2006.Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
15. Deman, John. M. 1997. Kimia Makanan. Bandung: Penerbit ITB
16. Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
17. Badan Standarisasi Nasional.SNI 7709:2012 (Standar Mutu Minyak Goreng Sawit). Jakarta: Badan
Standarisasi Nasional
18. Winarno, F. G. 1999. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat.Bogor : Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT
Chitosan has been widely used in industrial, food, pharmaceuticals and agriculture. Chitosan is a
natural biocompatible polymers means that as nature does not have the side effect, non-toxic, can not be
easily digested and broken down by microbes (biodegradable). This study aims to determine whether the
chitosan may be formulated into dosage gel hand sanitizer that meets the requirements of the physical
stability of the gel.
Chitosan is formulated with 3 varying concentrations of Na CMC basis of 3%, 4.5% and
6%. Tests conducted gel formulation is the physical stability test which includes organoleptic test,
homogeneity, pH test, test dispersive power, viscosity test and test consistency. Testing is done
every week for 4 weeks of storage.
Results of testing physical properties of chitosan gel hand sanitizer has the shape and color stable
but the resulting aroma change during storage. pH gel meet the requirements, the consistency test of phase
separation does not occur, the homogeneity test showed no homogeneous gel, gel dispersive power does not
meet the requirements, the viscosity of the gel preparation third formula does not meet the requirements of
viscosity gel.
PENDAHULUAN
Kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam atau hand antiseptik merupakan alternatif untuk
bidang industri, pangan, farmasi dan pertanian mencuci tangan selain menggunakan air dan
dalam berbagai bentuk dan tujuan.Kitosan dalam sabun.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
bidang farmasi dimanfaatkan sebagai obat luka, pengaruh penambahan Na CMC terhadap sifat
obat pelangsing tubuh, antibakteri, antitumor, fisik gel hand sanitizer darikitosan terhadap
antikolesterol, antioksidan, sebagai pengemulsi, persyaratan stabilitas fisik gel yang meliputi uji
dan dapat membentuk gel1. organoleptis, pemeriksaan homogenitas,
Pemanfaatan kitosan dalam bentuk gel hand pengukuran pH, pengukuran daya sebar,
sanitizer belum banyak dilakukan. Hand sanitizer pengukuran viskositas danpengujian konsistensi.
METODE PENELITIAN
Bahan Penelitian b. Kitosan sebanyak 1 g dilarutkan dengan 20 ml
Bahan-bahan yang digunakan adalah asam asetat 4% dan digerus hingga homogen.
kitosan, asam asetat 4%, Natrium CMC, c. Ditambahkan propilenglikol dan metil paraben
propilenglikol, metil paraben,essens lemondan air yang telah dilarutkan dalam propilenglikol
suling. panas, gerus homogen hingga membentuk
basisgel.
Prosedur Pembuatan Gel Hand Sanitizer d. Ditambahkan larutan kitosan sedikit demi
a. Na CMC dikembangkan dengan cara sedikit kedalam basis gel.
ditaburkan di atas air dalam mortir diamkan e. Ditambahkan air suling hingga gel mencapai
hingga mengembang selama 24 jam, lalu 100 ml.
digerus. f. Dan terakhir ditambahkan pengaroma.
Akademi Farmasi Samarinda 31
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 31-37, 2015 Supomo
Keterangan :
F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3%
F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5%
F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6%
Berdasarkan tabel 2, sediaan gel yang F2 memiliki bentuk semi solid kental, dan formula
dihasilkan dengan variasi basis gel Na CMC F3 memiliki bentuk semi solid sangat kental.
cukup baik. Gel hand sanitizer yang dibuat Hasil pengamatanwarna gel kitosan dari
tidakmenampakkan perubahan bentuk, warna dan ketiga formula, mulai dari hari ke-0
aroma pada awal pembuatan. menampakkan warna putih keruh dan aroma
Setiap formula memiliki bentuk yang essens lemon yang bercampur dengan asam asetat.
berbeda-beda, hal ini dikarenakan terdapat Warna putih keruh pada gel dikarenakan kitosan
perbedaan konsentrasi gelling agent yang yang digunakan sebanyak 1%, semakin tinggi
digunakan. Semakin besar konsentrasi gelling konsentrasi kitosan maka semakin keruh pula
agent yang digunakan maka semakin kental pula warna gel. Pada hari ke-3, aromakhas asam asetat
sediaan yang dihasilkan. Pada formula F1 dari ketiga formula mulai berkurang danaroma
memiliki bentuk semi solid agak kental, formula essens lemon mulai mendominasi. Hal ini
dikarenakan asam asetat yang digunakan untuk
Keterangan :
F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3%
F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5%
F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6%
Keterangan :
F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3%
F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5%
F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6%
Keterangan :
F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3%
F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5%
F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6%
Parameter daya sebar gel yang baik yaitu 5- Daya sebar gel dari kitosan tidak memenuhi
7 cm 11 sedangkan daya sebar gel pada ketiga persyaratan disebabkan oleh berbagai macam
formula berkisar antara 1,86-3,77 cm yang faktor seperti viskositas dan karakteristik basis gel
menunjukkan bahwa ketiga formula tidak yang digunakan.Sediaan yang memiliki viskositas
memenuhi persyaratan.Lama penyimpanan rendah (lebih encer) menghasilkan diameter
mempengaruhi daya sebar gel, semakin lama penyebaran yang lebih besar karena lebih mudah
penyimpanan maka daya sebar gel semakin kecil, mengalir. Gel dari kitosan memiliki konsistensi
daya sebar gel yang kecil dikarenakan kandungan yang kental sehingga lebih sulit mengalir. Pada
air dalam sediaangel menguap sehingga sediaan dispersi polimer turunan selulosa, molekul
menjadi semakin keras. polimer masuk ke dalam rongga (cavities) yang
Daya sebar gel yang kecil juga disebabkan dibentuk oleh molekul air menyebabkan
karena adanya peningkatan konsentrasi gelling terjadinya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil
agent yaitu Na CMC pada formula F1, F2, dan F3. (-OH) dari polimer dengan molekul air. Ikatan
Salah satu faktor yang mempengaruhi daya sebar hidrogen ini yang berperan dalam hidrasi pada
gel adalah jumlah dan kekuatan matriks gel. proses swelling dari suatu polimer. Struktur
Semakin banyak dan kuat matriks gel maka daya monomer Na CMC memiliki gugus hidroksil yang
sebar gel akan berkurang. Dalam sistem gel yang banyak sehingga memiliki ikatan hidrogen yang
bertanggung jawab terhadap terbentuknya matriks banyak pula dan menyebabkan gel Na CMC
gel adalah gelling agent. Dengan demikian menjadi lebih kental. Na CMCmemiliki gaya
konsentrasi gelling agentakan menambah dan kohesi yang besar karena interaksi antar molekul
memperkuat matriks gel12. Oleh karena itu faktor sejenis lebih besar. Gaya kohesi antar molekul
dominan yang menentukan respon daya sebar basis gel yang besar menyebabkan sediaan
adalah Na CMC. cenderung mengumpul dan sulit menyebar13
Hasil Pengukuran Daya Sebar
Gel
Daya Sebar Gel (cm)
F1 F2
Keterangan :
F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3%
F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5%
F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6%
Pengukuran viskositas sediaan gel yang sediaan gel yang baik yaitu 2.000-4.000 cP 11.
telah diformulasi menggunakan Portable Rotary Dari data yang diperoleh diatas bahwa viskositas
Viscometer Model : VP1020dengan spindel yang sediaan gel tidak memenuhi persyaratan gel yang
cocok yaitu spindel no. R7 dan kecepatan 20 rpm, baik.
dari hasil pengamatan dan pengukuran viskositas Viskositas gel dipengaruhi oleh konsentrasi
sebelum penyimpanan memiliki nilai yang dari gelling agent. Peningkatan jumlah gelling
berbeda-beda dapat dilihat pada tabel 6. Pada agent dapat memperkuat matriks gel sehingga
minggu ke-0 ketiga formula yaitu formula F1 menyebabkan kenaikan viskositas12. Dalam
memiliki viskositas 25.033 cP, formula F2 formula F1, F2 dan F3 memiliki viskositas yang
memiliki viskositas 47.516 cP dan formula F3 berbeda, semakin tinggi konsentrasi Na CMC
memiliki viskositas terlalu kental sehingga tidak yang digunakan maka semakin besar pula
terbaca pada spindel R7 yang memiliki range viskositas yang diperoleh. Dalam formula sediaan
untuk membaca viskositas hingga gel, Na CMC dominan dalam menentukan respon
200.000cP.Setelah 4 minggu penyimpanan rata- viskositas gel. Nilai pH juga mempengaruhi
rata viskositas gel pada formula F1 adalah 33.209, besarnya viskositas yang dihasilkan, viskositas
formula F2 sebesar 82.399 cP sedangkan pada maksimum Na CMC yaitu pada pH 7-9 5 pH
formula F3 selama 4 minggu penyimpanan masih sediaan yang dihasilkan 5 dan tidak berada pada
tidak terbaca nilai viskositasnya.Nilai viskositas rentang pH maksimum Na CMC.
Gel
Pengujian Konsistensi
Pengujian gel dengan uji mekanik bertujuan untuk mengetahui kestabilan gel setelah pengocokan yang
sangat kuat.
Keterangan :
F1 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 3%
F2 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 4,5%
F3 : Formula dengan konsentrasi basis Na CMC 6%
Pengujian konsistensi dilakukan gel yang telah disentrifugasi setiap minggu selama
menggunakan centrifugal test yaitu sampel gel 4 minggu penyimpanan tidak terjadi pemisahan
disentrifugasi pada kecepatan 3800 rpm selama 5 fase sehingga sediaan gel yang dihasilkan tetap
jam kemudian diamati perubahan fisiknya, hasil stabil dan tidak terpengaruh gaya gravitasi.
yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 7. Sediaan
DAFTAR PUSTAKA
1. Toharisman, A. 2007. Peluang Pemanfaatan Enzim Kitinase Di Industri Gula. Pusat Penelitian
Perkebunan Gula.
2. Liu, N., Chen, X.G., Park, H.J., Liu, C.G., Liu, C.S., Meng, X.H., and Yu, L.J., 2006, Effect of MW and
Concentration of Chitosan on Antibacterial Activity of Escherichia Coli, Carbohydr. Polym.
3. Sarjono, P.R., Mulyani, N.S., dan Wulandari, N. 2008. Uji Antibakteri Kitosan Dari Kulit Udang Windu
(Panaeus monodon) Dengan Metode Difusi Cakram Kertas. Proceeding Seminar Nasional Kimia dan
Pendidikan Kimia. UNS-UNDIP-UNNES.
4. Anwar,E.2012.Eksipien dalam Sediaan Farmasi Karakterisasi dan Aplikasi. Jakarta: Dian Rakyat.
5. Rowe, R.C., Sheskey, P. J., Owen, S. C. 2006. Handbook of Pharmaceutical Exipiens 5th
Edition. London: American Pharmaceutical Association.
6. Deviwings. 2008. CMC. http://www.deviwings.blogspot.com/2008 /03/cmc.html. Diakses pada 20 Mei
2014.
7. Fisher, A. And Joseph, F. 2008. Contact Dermatitis Sixth Edition. Ontario: BC Dekker.
8. Loden, M. 2009. Hydrating Substances. In Handbook of Cosmetics Science and Technology. 3rd
Edition. New York : Informa Healtcare USA.
9. Rahayu L.H. dan Purnavita (2007). Optimasi Pembuatan Kitosan dari Kitin Cangkang Rajungan
(Portunus pelagicus) Untuk adsorben ion logam merkuri. Reaktor, 11 (1), 45-49.
10. Aulton, M. 1988. Pharmaceutics: The Science of Dosage Form Design. London: Curcill Livingstone,
Edirberd.
11. Garg, A., D. Aggarwal, S. Garg, and A. K. Sigla. 2002. Spreading on Semisolid Formulation : An
Update. Pharmaceutical Tecnology.
12. Zatz, J, L., and Kushla, G. P. 1996. Gels In H. A. Lieberman, M. M. Rieger & G.S. Banker (Ed.).
Pharmaceutical dosage forms: Disperse system.(2nd ed.) Vol. 2. New York: Marcel Dekker.
13. Erawati, T., Rosita, N., Hendroprasetyo, W., Juwita, W. 2005.Pengaruh Jenis Basis Gel dan Penambahan
NaCl (0.5% b/b) terhadap Intensitas Echo Gelombang Ultrasonik Sediaan Gel Untuk Pemeriksaan USG
(AcousticCoupling Agent).Majalah Farmasi Airlangga 5 (2).
14. Martin, A., J. Swarbrick, dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik: Dasar-dasar Farmasi Fisik dalam
Ilmu Farmasetik. Edisi Ketiga. Penerjemah : Yoshita. Jakarta: UI-Press.
Ratno Adrianto
ABSTRACT
Various activities have been implemented in the prevention and control of disease in the city of
Balikpapan, but based on the Health Profile 2012 field program is known that the achievement of disease
control and environmental sanitation is still not maximal. This corresponds to an increase in cases of
environment-linked diseases such as DBD, tuberculosis, diarrhea, ISPA and pneumonia each year. The
quality of program performance officer holder is a factor that affects the extent of success in achieving the
health programs that have been established.
The purpose of this study was to determine the relationship between co-operation, in return,
infrastructure and support superior to the performance of holders of Disease Prevention program in the city
of Balikpapan. This type of research is analytic survey with cross sectional approach. The population in this
study were all employees of the holder of health programs in 27 health centers with a total sampling
Balikpapan 54 people. The method used is the analysis of univariate and bivariate.
The results showed no significant relationship between co-operation with the performance of the
holder of the eradication program ( value 0.002), and between rewards to the performance of the holder of
the eradication program ( value 0.027).
Suggestions to increase cooperation and support employers through training soft skills and
personality, as well as leadership training management organizations, as well as considering pemberiaan
remuneration policy. Thus achieving the health program can be run according to plan.
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk adalah masalah utama dalam pelaksanaan
mencapai visi Indonesia sehat 2015, dimana masa pemberantasan penyakit Tuberculosis,
depan yang ingin dicapai melalui pembangunan Pneumonia, dan Diare1.
kesehatan adalah masyarakat yang hidup dalam Pencapaian penanggulangan penyakit kusta
lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat, di kota Balikpapan mengalami flukuasi hal ini
memiliki kemampuan untuk menjangkau karena terjadi peningkatan jumlah penderita kusta
pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan selama tiga tahun terakhir yaitu sebanyak 23 dan
merata, serta memiliki derajat kesehatan yang 34 penderita pada tahun 2009 dan 2010 dan
setinggi-tingginya di seluruh republik Indonesia. bertambah menjadi 38 penderita pada tahun 2012
Proporsi penemuan ISPA dan Pneumonia dan dilihat dari tingkat Kelurahan ada 10
pun terus mengalami peningkatan jumlah Kelurahan di Kota Balikpapan yang High
penderita dan kasus, penderita ISPA tahun 2011 Endemis (> 1/10.000 penduduk). Cakupan
sebanyak 61.950 meningkat menjadi 82.148 tahun Imunisasi dasar kota Balikpapan semua antigan
2012, begitu pun penemuan kasus baru sudah mencapai target, Sedangkan drop out bayi
pneumonia pada balita tahun 2012 mengalami masih dibawah target nasional yaitu < 5 %.
peningkatan yang signifikan yaitu dari 37,4% Sementara untuk jumlah pengidap HIV/AIDS di
menjadi 50,17% dan masih dibawah target kota Balikpapan dari tahun 2010 sebanyak 91
nasional yaitu (70%). Penemuan kasus atau Case ODHA, tahun 2011 menurun menjadi 90
Detection Rate (CDR) yang rendah penderita, kemudian tahun 2012 kembali
mengalami kenaikan sebanyak 117 penderita dan imbalan terhadap kinerja pemegang program
terus terjadi peningkatan kasus hingga tahun 2013 Penanggulangan Penyakit di Kota Balikpapan.
mengalami kenaikan lebih dari 100 persen yaitu Jenis penelitian yang digunakan adalah survey
dari 117 menjadi lebih 300 penderita1. analitik dengan pendekatan Cross Sectional.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pegawai pemegang program kesehatan di 27
mengenai hubungan kerjasama dan imbalan Puskesmas Kota Balikpapan dengan total
dengan kinerja pemegang program sampling sebanyak 54 orang. Metode yang
penanggulangan penyakit di kota Balikpapan digunakan adalah analisis univariat dan bivariat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara kerja sama dan
METODE PENELITIAN
Jenis atau metode penelitian yang ini dilakukan untuk mendeskripsikan atau
digunakan adalah survey analitik dengan menggambarkan mengenai bagaimana kinerja
pendekatan belah lintang (Cross Sectional) yaitu pemegang program penanggulangan penyakit
pengamatan variabel yang diukur (baik variabel dengan melihat keterkaitan atau hubungan antara
bebas dan terikat) dilakukan dalam waktu yang variabel-variabel yang diteliti.
bersamaan dan satu kali pengamatan. Penelitian
Hasil analisa dengan menggunakan uji responden pemegang program sebanyak 30 orang
korelasi Rank Spearman didapatkan nilai value (44,4%) memiliki Kerja sama yang baik dan 24
adalah 0,002 lebih kecil dari alfa ( < 0,05). orang (55,6%) memiliki Kerja sama yang kurang
Karena nilai tersebut lebih kecil dari nilai = baik. Sehingga dalam hal ini terdapat masalah
0,05, maka Ho ditolak. Artinya ada korelasi atau terkait kerja sama yang kurang baik yang masih
hubungan antara kerja sama dengan Kinerja dimiliki 24 orang responden.
Pemegang Program penanggulangan penyakit Hal tersebut diatas tentunya secara tidak
tingkat Puskesmas di Kota Balikpapan. langsung dapat mempengaruhi efektivitas kinerja
Berdasarkan penelitian yang telah dalam keberhasilan pencapaian program
dilakukan di 27 Puskesmas Kota Balikpapan penanggulangan penyakit dan penyehatan
diketahui bahwa tingkat kerja sama dari 54 lingkungan karena masih terdapat pemegang
program yang memiliki kerja sama yang kurang baik pada imbalan dan sarana prasarana.
hanya kurang baik, sementara pentingnya kerja Sedangkan pada responden yang memiliki kerja
sama yang harus dimiliki oleh responden sebagai sama kurang baik tetapi memiliki kinerja baik ada
pemegang program kesehatan. Hal ini relevan 9 orang (37,5%) ini karena responden menilai
dengan teori kerja sama 2 dorongan atau baik terhadap variabel dukungan atasan.
kemampuan untuk menjadi bagian dari suatu Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa
kelompok dalam melaksanakan suatu tugas, tingkat kerja sama berpengaruh terhadap kinerja
meliputi: Meminta ide dan pendapat dalam pemegang program Bidang Penanggulangan
mengambil keputusan atau, merencanakan Penyakit. Sehingga dapat diketahui bahwa
sesuatu, menjaga orang lain tetap memiliki semakin baik kerja sama yang dimiliki oleh
informasi dan hal-hal baru tentang proses dalam pemegang program maka akan semakin baik pula
kelompok, serta mendorong orang lain dan kinerja yang dimiliki begitupun sebaliknya.
membuat mereka merasa penting. Dimana kerja Hubungan Imbalan dengan Kinerja Pemegang
sama harus didasarkan atas hak, kewajiban dan Program penanggulangan penyakit Tingkat
tanggungjawab masing-masing orang untuk Puskesmas di Kota Balikpapan
mencapai tujuan3. Hubungan imbalan dengan kinerja
Jika variabel independen dan variabel pemegang program Bidang Penanggulangan
dependen dihubungkan, yaitu antara pertanyaan Penyakit merupakan presepsi responden tentang
kerja sama dengan kinerja pemegang program imbalan yang dapat mempengaruhi kinerja. Dalam
Bidang Penanggulangan Penyakit, maka diketahui hal ini untuk mengetahui gambaran hubungan
bahwa responden yang memiliki kerja sama baik antara imbalan dengan kinerja pemegang
dan memiliki kinerja yang baik yaitu sebanyak 21 program Bidang Penanggulangan Penyakit dengan
orang (70%), dan yang memiliki kerja sama baik uji korelasi Rank Spearman, maka diperoleh hasil
tetapi kinerja kurang baik yaitu 9 orang (30%) hal seperti pada tabel di bawah ini:
ini karena responden menilai kurang puas dan
Hasil analisa dengan menggunakan uji 54 responden pemegang program adalah 28 orang
korelasi Rank Spearman didapatkan nilai value menjawab puas terhadap imbalan, dan sebanyak
adalah 0,027 lebih kecil dari alfa ( < 0,05). 26 orang (53,7%) memiliki jawaban kurang puas
Karena nilai tersebut lebih kecil dari nilai = terhadap imbalan yang diperoleh. Sehingga dalam
0,05, maka Ho ditolak. Artinya ada korelasi atau hal ini terdapat masalah terkait presepsi terhadap
hubungan antara imbalan dengan Kinerja imbalan yang masih kurang memuaskan bagi 26
Pemegang Program Bidang Penggulangan responden, dimana pegawai mengatakan bahwa
Penyakit tingkat Puskesmas di Kota Balikpapan. tunjangan, insentif dan upah kerja lapangan yang
Selain gaji pokok pemegang program diperoleh masih tidak sesuai dengan banyaknya
Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan tanggung jawab pekerjaan yang di emban, hal ini
Lingkungan tingkat Puskesmas kota Balikpapan tentunya secara tidak langsung dapat
juga mendapatkan imbalan berupa tunjangan, mempengaruhi kinerja responden dalam
insentif, dan upah kerja lapangan atau transport. keberhasilan pencapaian program penanggulangan
Berdasarkan penelitian yang telah penyakit dan penyehatan lingkungan karena masih
dilakukan diketahui bahwa presepsi imbalan dari terdapat pemegang program yang merasa tidak
puas terhadap imbalan atau kompensasi yang kurang baik yaitu ada 8 orang (28,6%) ini karena
mereka peroleh. responden menilai kurang baik pada variabel kerja
Jika variabel independen dan variabel sama dan dukungan atasan. Hal ini menunjukkan
dependen dihubungkan, yaitu antara pertanyaan bahwa presepsi imbalan berpengaruh terhadap
imbalan dengan kinerja pemegang program kinerja pemegang program Bidang
Bidang Penanggulangan Penyakit, maka diketahui Penanggulangan Penyakit.
bahwa responden yang memiliki presepsi imbalan Sehingga dapat diketahui bahwa semakin
kurang puas tetapi memiliki kinerja yang baik ada puas presepsi pemegang program terhadap
10 orang (38,5%) ini karena responden memiliki imbalan maka akan memiliki kinerja yang
penilaian baik pada variabel kerja sama dan sarana semakin baik pula, sedangkan yang kurang puas
prasarana, sedangkan responden yang memiliki terhadap imbalan memiliki kinerja yang kurang
presepsi imbalan puas tetapi memiliki kinerja baik bahkan tidak baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dinas Kesehatan Kota Balikpapan. Profil Dinas Kesehatan Kota Balikpapan Tahun 2012.
Balikpapan
2. Dharma, Surya. 2005. Manajemen Kinerja. Jakarta: Pustaka Pelajar
3. Mangkunegara, A.A Anwar Prabu. 2005. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: PT. Refika Aditam
ABSTRACT
Diabetes mellitus is one of desease that have a large population and trend to increase. sulfonylurea
and biguanide are almost used treatment but have unexpected side effects. The research still necessary to
seek alternative medicine, such as Piper crocatum.
This study aimed to determine the effect of ethanol extract of red betel leaves on blood sugar levels
and body weight of mice (Mus musculus L.) diabetes. This riset was started to produce simplicia and drilled
become powders, continued extract with 70% ethanol. The extract was evaporated with rotary evaporator
until obtaine crude extract. And then screen it that determine phytochemical. To continued test on tolerance
of level of glucose then mice diabetes induced aloxan.
In summary, extract of red betle ethanolic has contained alkaloid, quercetin flavonoid, steroid and
fenolic compounds and decreased level of glucose in blood mice diabetes. Besides, it can reduce lose of
weight symptom.
K eywords : Piper crocatum, mice diabetes, aloxan, lose of weight
PENDAHULUAN
Diabetes melitus diperkirakan diderita Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada
hampir 150 juta di dunia pada tahun 2000 dan tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi
terus meningkat seiring dengan waktu dan penyakit diabetes sekitar 5,7% dan cenderung
sebagian besar peningkatan itu akan terjadi di mengalami peningkatan seiring waktu (Depkes
negara-negara yang sedang berkembang. RI, 2008). Pada tahun 2030, Indonesia
Diabetes mellitus (DM) merupakan diperkirakan memiliki penderita DM sebanyak
penyakit yang ditandai dengan tingginya kadar 21,3 juta jiwa dan menduduki peringkat keempat
gula darah akibat kekurangan sekresi insulin baik setelah Amerika Serikat, Cina dan India 3. Hal ini
absolut maupun relatif disertai dengan gangguan menjadi tantangan bagi peneliti dan tenaga
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. kesehatan untuk menekan laju prevalensi penyakit
Keadaan tersebut lazim terjadi pada penderita diabetes tersebut.
diabetes sehingga bisa menyebabkan kerusakan Pengobatan penyakit diabetes
serius pada sistem tubuh 1. menggunakan obat per oral golongan sulfonilurea
Di Amerika Serikat terdapat 25,8 juta atau dan biguanida masih menjadi pilihan utama saat
8,3% dari populasi yang menderita baik anak- ini, namun memiliki efek samping yang tidak
anak maupun orang dewasa dengan 18,8 juta jiwa diharapkan. Dewasa ini sebagian masyarakat
terdiagnosa dan 7,0 juta jiwa tidak terdiagnosa . masih menggunakan obat tradisional, baik dalam
Di Indonesia diperkirakan berkisar antara 1,5 bentuk sederhana yang diambil langsung dari
sampai 2,5% kecuali di Manado sekitar 6% dari alam maupun sediaan atau bungkusan yang sudah
jumlah penduduk sebanyak 200 juta jiwa, berarti melewati proses produksi pada perusahaan atau
lebih kurang 3-5 juta penduduk Indonesia industri jamu 4.
menderita diabetes. Tercatat pada tahun 1995, Suatu tumbuhan obat memberikan
jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai manfaat secara ilmiah, terkait dengan penggunaan
5 juta jiwa dan diperkirakan akan mencapai 12 secara tradisional, maka peneliti merasa perlu
juta jiwa 2. untuk menyelidikinya secara eksperimental
sehingga diperoleh data yang meyakinkan secara menggunakannya untuk mengobati DM,
ilmiah, sehingga penggunaan tanaman tersebut hipertensi, leukemia, keputihan, dan kanker
sebagai obat dapat dijamin kebenarannya. payudara 6. Air rebusan daun sirih merah
Mekanisme kerjanya yang tidak diketahui secara menunjukkan dosis 20 g/kg BB merupakan dosis
pasti dapat diteliti selanjutnya, namun dapat yang aman untuk dikonsumsi 7.
diperkirakan bahwa efeknya dalam menurunkan Berdasarkan uraian di atas peneliti
kadar gula darah sama seperti obat-obat tertarik untuk menguji lebih lanjut efek ekstrak
hipoglikemia oral 5. etanol sirih merah (Piper crocatum) sebagai
Salah satu tanaman yang sering digunakan penurun kadar gula darah dengan pembanding
pasien DM sebagai obat yaitu sirih merah (Piper metformin serta gambaran histologi pankreas
crocatum). Daun sirih merah digunakan secara terhadap mencit percobaan.
tradisional bahkan keluarga kraton Jogjakarta
600
Kadar Gula Darah (mg/dL)
500
400
300
200
100
0
0 2
base line
4 6 8 10
Kontrol Negatif: CMC 0,5%
12
Waktu (hari)
EESM 50 mg/kg EESM 100 mg/kg
EESM 200 mg/kg Metformin 10 mg/kg bb
Gambar 2. Perubahan berat badan mencit yang diinduksi aloksan selama 11 hari
SIMPULAN
EEDSM memiliki aktivitas menurunkan berat badan serta berpotensi menjadi obat
kadar gula darah mencit diabetes yang diinduksi alternatif untuk penderita diabetes.
aloksan dan memperbaiki symptom kehilangan
Speroff L, Fritz MA. Clinical gynaecologic endocrinology and infertility. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005. Chapter 29,
Endometriosis; P.1103-33.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization (WHO). About Diabetes. 2012. Diambil dari
http://www.who.int/diabetes/action_online/basics/en/index3.html
2. Depkes RI. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2005. P. 1, 7, 11-12, 25-27, 32.
3. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Laporan Nasional 2007. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2008.
4. Agoes, HA, Jacob, T. Antropologi Kesehatan Indonesia Pengobatan Tradisional. Jilid I. Cetakan
Pertama. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1992. P.13, 159.
5. Widowati L, Dzulkarnain B, Saroni. Tanaman Obat Untuk Diabetes Mellitus. Cermin Dunia
Kedokteran. No. 116. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 1997. p. 54.
6. Werdhany WI, Marton A, Setyorini W. Sirih Merah. Yogyakarta: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Yogyakarta. 2008.
7. Salim A. Potensi Rebusan Daun Sirih Merah (Piper crocatum) Sebagai Senyawa Antihiperglikemia
Pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley. Skripsi. Bogor: IPB. 2006.
8. Harborne, JB. Metode Fitokimia. Edisi II. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro.
Bandung: Penerbit ITB. 1987. p. 152.
9. Jork H, Funk W, Fischer W, Wimmer H. Thin Layer Chromatography Reagent and Detection Metods,
1, New York: VCH. 1990; p. 9-38, 147,191,314.
10. Qadori. Histological Studies on Pancreatic Tissue in Diabetic Rats by Using Wild Cherry. The Iraqi
Postgraduate Medical Journal. 2009. 10(3): 421-425
11. Velazquez ALL, Beltrn MM, Panduro A, Ruiz LH. Alternative Medicine and Molecular Mechanisms
in Chronic Degenerative Diseases. Chinese Medicine. 2011. 2: 84-92
12. Coskun O, Kanter M, Korkmaz A, Oter S. Quercetin, a flavonoid antioxidant, prevents and protects
streptozotocin-induced oxidative stress and beta-cell damage in rat pancreas. Pharmacol Res. 2005;
51(2): 117-23
13. Kim EK, Kwon KB, Song MY, Han MJ, Lee JH, Lee YR, et al. Flavonoids protect against cytokine-
induced pancreatic beta-cell damage through suppression of nuclear factor kappa B activation.
Pancreas. 2007. 35(4):1-9.
14. Kumari M. Jain S. Tannins: An Antinutrient with Positive Effect to Manage Diabetes. Res.J.Recent Sci.
2012. 1(12): 70-73,
15. Deshmukh D, Baghel VS, Shastri D, Nandini D, Chauhan NS. Plant as bitter, International Journal of
Advances in Pharmaceutical Sciences, 2010; 1: 334-343
HayatusSa`adah
ABSTRACT
Processing of medicinal plants into the appropriate dosage form can ensure security during use. It is a
motivation in making acceptable dosage form which is easy and convenient to use, especially the
manufacture of ethanol extract red ginger tablets using a combination of starch 1500 and amprotab.
The study begins with the manufacture of dry extract of red ginger. Optimization of making tablets using
a combination of starch 1500 and disintegrator with simplex lattice design using three formulas is done by
direct compaction method. Further testing on the tablet hardness, friability and disintegration time.
The results showed starch 1500 has a greater influence increase hardness and disintegration time of
tablets, as well as lowering the fragility of the tablet. While the interaction of starch 1500 and disintegrator
has no effect on the physical tablet. The optimum proportion of the combination of starch 1500 and
disintegrator meet the physical requirements of tablets with a ratio of 4: 6 with 7.99 kg hardness, the
friability of 0.32% and disintegration time of 2.42 minutes
K eywords : extract red ginger, simplex lattice design, direct compaction method
PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia mengenal dan untuk menentukan keseragaman dosis dari produk
memakai tanaman berkhasiat obat sebagai salah yang digunakan. Demikian juga bentuk sediaan
satu upaya dalam penanggulangan masalah obat tradisional yang beredar di masyarakat
kesehatan yang dihadapinya, jauh sebelum bermacam-macam, baik asal bahan mentah,
pelayanan kesehatan formal dengan obat-obat proses pengolahan dan bentuk sediaannya,
modern menyentuh masyarakat. Pengetahuan sehingga dapat dipastikan kemungkinan betapa
tentang tanaman obat ini, merupakan warisan besarnya ketidakseragaman komposisi senyawa
budaya bangsa berdasarkan pengalaman, yang yang terdapat pada produk jadinya. Hal tersebut
secara turun temurun telah diwariskan oleh mendorong adanya pengolahan tanaman obat
generasi terdahulu kepada generasi berikutnya menjadi bentuk sediaan yang mudah digunakan
termasuk generasi saat ini.Obat tradisional sebagai serta mempunyai dosis penggunaan yang tepat
alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan sehingga menjamin keamanan sediaan tersebut.
dasar penduduk di bidang kesehatan. Penggunaan Fenomena tersebut menjadi motivasi yang
produk-produk bahan alam terutama dari mendorong produsen obat tradisional untuk
tumbuhan mengalami peningkatan hingga 380% membuat suatu sediaan yang mudah dalam
antara tahun 1990 dan 1997 sehingga fokus-fokus penggunaan salah satunya adalah pembuatan
penelitian mulai diarahkan pada keseragaman tablet ekstrak etanol jahe merah yang mempunyai
produk dan standarisasinya1. aktivitas antara lain sebagai anti inflamasi dan
Saat ini penggunaan tanaman obat sebagai antioksidan.
alternatif pengobatan di masyarakat semakin Penelitian mengenai jahe merah sejauh ini
meningkat, namun penggunaan tersebut tetap lebih banyak pada analisis kandungan dan
harus memperhatikan indikasi, dosis dan efek khasiatnya. Penelitian tersebut antara lain :
samping.Penggunaan produk-produk bahan alam Analisis minyak atsiri dari dua varietas rimpang
dari tumbuhan ini masih menggunakan cara-cara jahe dari bahan segar dan kering. Pengaruh air
tradisional, yaitu diseduh, dihaluskan, diambil perasan rimpang jahe terhadap toksisitas akut
sarinya dan sebagainya yang semuanya itu sulit propanolol dan kinidin pada mencit. Pemanfaatan
oleoresin jahe (Zingiber officinale) untuk dari formulasi. Metode kempa langsung kempa
mengatasi kelainan antioksidan intrasel langsung merupakan metode pilihan untuk
superoxide dismutase (SOD) hati tikus di bawah pembuatan tablet dengan zat aktif yang bersifat
kondisi stress2. termolabil dan sensitive terhadap kelembaban.
Dalam penelitian ini dibuat sediaan tablet (Jivrajet al, 2000)
yang didefinisikan sebagai sediaan padat Oleh karena itu perlu dilakukan suatu
mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan penelitian pembuatan tablet ekstrak etanol jahe
pengisi yang berdasarkan metode pembuatannya merah dengan melakukan formulasi pembuatan
dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet tablet ekstrak etanol jahe merah dengan metode
kempa3. kempa langsung. Sehingga dari penelitian ini
Cara kempa langsung biasanya digunakan diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
untuk obat-obat dengan potensi yang tinggi pengetahuan mengenai pembuatan tablet dengan
dimana kandungan zat aktifnya kurang dari 30 % bahan aktif berasal dari bahan alam.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan merupakan Penentuan formula dengan model simplex
penelitian eksperimental dengan rancangan lattice design dilakukan dengan menggunakan
penelitian menggunakan aplikasi Simplex Lattice perbandingan Starch 1500 (komponen A) dan
Design (Design Expert ver 7.11) . Amprotab (komponen B) dalam proporsi tertentu
(() 1) bagian. Dalam hal ini 1 bagian = 75 mg
Pembuatan serbuk kering ekstrak etanol jahe (maksimum) dan 0 bagian = 0 mg (minimum).
merah Rancangan proporsi komponen untuk tiap-tiap
Rimpang jahe merah yang di rajang formula tersaji dalam tabel 1.
melintang dengan tebal 2 mm dikeringkan Serbuk kering ekstrak etanol jahe merah
dengan cara di angin-anginkan dan di bawah sinar ditambah eksipien yang telah terpilih dicampur
matahari tak langsung dengan ditutup kain hitam. menggunakan mixer Erweka dengan kecepatan
Rimpang yang telah kering diblender halus. 145 rpm selama 10 menit. Campuran tersebut
Kemudian sebanyak 250 gram serbuk jahe dicetak dengan mesin tablet setelah diuji sifat alir
diekstrak empat kali dengan menggunakan 500 ml dan kompaktibilitasnya. Tablet dicetak dengan
pelarut organic etanol.Ekstrak yang diperoleh berat 500 mg dan dibuat dengan kedalaman punch
disaring kemudian disuling dengan rotaryvacum- atas 6,5 mm.
evaporator. Ekstrak dikeringkan dengan Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap
menambahkan aerosil dan dikeringkan di almari tablet kempa langsung ekstrak etanol jahe merah
pengering dengan suhu 400C selama 24 jam. meliputi kekerasan tablet, kerapuhan, dan waktu
hancur.
Optimasi formula serbuk kering ektrak etanol
jahe merah
Pembuatan tablet ekstrak etanol jahe merah Pendekatan simplex lattice design
dilakukan dengan metode kempa langsung untuk terhadap kekerasan tablet menghasilkan
menghindari kerusakan akibat panas dan lembab. persamaan :
Setelah dilakukan pencampuran bahan-bahan Y = 9,15 (A) + 7,20 (B) + 0,10 (A)(B)
yang akan di tablet, dilakukan uji sifat fisik (A) = fraksi komponen starch 1500
terhadap tablet yang dihasilkan, meliputi : (B) = fraksi komponen amprotab
1. Kekerasan Tablet (kg) Profil kekerasan tablet yang diperoleh
Kekerasan tablet merupakan parameter dari penelitian menggunakan metode simplex
yang menggambarkan ketahanan tablet lattice design digambarkan pada gambar 1.
terhadap kekuatan mekanik seperti goncangan Pendekatan simplex lattice design
dan benturan selama pengemasan, menunjukkan bahwa kedua komponen
penyimpanan serta pendistribusian ke tangan berpengaruh menaikkan kekerasan namun
konsumen. Kekerasan tablet akan berpengaruh yang paling berpengaruh meningkatkan
terhadap waktu hancur dan disolusi, pada kekerasan tablet adalah starch 1500 dimana
umumnya tablet yang keras memiliki waktu nilai koefisien a lebih besar dari b. Hal ini
hancur yang lebih lama dan disolusi lebih disebabkan karena starch 1500 mempunyai
rendah. Hasil uji kekerasan tablet seperti tersaji kompaktibilitas yang lebih baik daripada
pada tabel 2. amprotab. Interaksi starch 1500 dan amprotab
Kekerasan tablet yang baik menurut hampir tidak berpengaruh terhadap kekerasan
Parrot5 adalah antara 4-8 kg. Dari hasil yang ditunjukkan dengan nilai koefisien yang
penelitian menunjukkan bahwa formula I tidak sangat kecil dan profil menunjukkan garis yang
memenuhi persyaratan fisik tablet. cenderung lurus.
8.7
Kekerasan
8.2
7.7
7.2
0.36
kerapuhan
0.33
0.3
0.27
3.6
Waktu hancur
2.6
1.6
0.6
Gambar 3. Profil waktu hancur tablet berdasarkan pendekatan simplex lattice design
dan Y3 (persamaan untuk waktu hancur). Dari ke dalam mg sehingga diperoleh formula
masing-masing persamaan akan didapat grafik optimum starch 1500 dan amprotab yang akan
super imposed yang diperoleh dengan digunakan untuk pembuatan tablet ekstrak
menggabungkan grafik profil masing-masing etanol jahe merah dan diperoleh komposisi
sifat fisik tablet yang dioptimasi. seperti pada tabel 3.
Pada daerah optimum tersebut dipilih Responteoritis dapat dilihat pada hasil
satu titik dengan proporsi starch 1500 dan prediksi dengan program optimasi dengan
amprotab yang memenuhi parameter yang Design Expert atau dapat ditentukan sesuai
diinginkan untuk pembuatan tablet ekstrak jahe dengan persamaan tiap-tiap parameter
merah secara cetak langsung. Masing-masing optimasi.
notasi dari tiap komponen ditransformasikan
SIMPULAN
1. Starch 1500 mempunyai pengaruh yang lebih 2. Proporsi optimum kombinasi starch 1500 dan
besar memperbesar kekerasan dan waktu amprotab yang memenuhi persyaratan fisik
hancur tablet, serta menurunkan kerapuhan tablet ditetapkan dengan perbandingan 4 : 6
tablet. Sedangkan interaksi starch 1500 dan dengan respon kekerasan 7,99kg, kerapuhan
amprotab tidak mempunyai pengaruh yang 0,32 % dan waktu hancur 2,42 menit.
terlalu besar terhadap sifat fisik tablet.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lucinda, G., Hume, A., Harris, I.M., Jackson, E.A., Kanmaz, T.J., Cauffield, J.S., Chin, T.W.F and
Knell, M., 2000, White Paper on Herbal Product, Pharmacotherapy, vol 20, no 7, 877-891, 2000
Pharmacotherapy Publication Inc
2. Wresdiyati T, Astawan M, Adnyane I K M, Prasetyawati R C, 2005, Pemanfaatan Oleoresin Jahe
(Zingiber officinale) untuk mengatasi Kelainan Antioksidan IntraselSuperixide Dismutase (SOD) Hati
Tikus di Bawah Kondisi Stres, Biota Vol.X (2); 120-128,
3. Jivraj, M., Martini, L.G and Thomson, C.M., 2000, An overview of the Different Excipients Useful for
the Direct Compression of Tablet, PSTT, Vol 3, No 2 Februari 2000, 58-62, Elsevier Science Ltd
4. Banker, S.G and Anderson, R.N., 1976, Tablet in The Theory and Practice of Industrial Pharmacy,
Lachman and Lieberman (ed), 2nd Ed. Lea and Febiger, Philadelphia, 463-735
5. Parrot, E.L., 1971, Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceuties, 3rd, Burgess Publishing
Co, Mineapolis, Iowa, 73-86
ABSTRACT
Background: A drug therapy problem is any undesirable event experienced by a patient which involves, or is
suspected to involve drug therapy and that interferes with achieving the desired goals of therapy. Drug
Therapy Problems (DTPs) can lead to ineffective pharmacotherapy and may cause drug-related morbidity
and mortality.
Objective: The study aimed to estimates the direct medical cost of illness caused by the drug morbidity or
mortality related to NSAID utilization in a community pharmacy setting at Medan, Indonesia.
Method: Thisstudy used 7 (seven) categories probabilities and costs associated with the therapeutic
outcomes to estimate the direct medical cost of illness resulting from morbidity related NSAIDs utilization.
Direct non medical costs, indirect costs, and intangible costs related to drug-related-morbidity and mortality
were not valued in this cost-of-illness analysis.The duration of the study was from July 2009 to October
2010.
Result: The patient that experienced NSAIDs-related morbidity estimated to spend Rp.467.848,- each and
Rp.11.696.200,- in total to managing the morbidity. Every Rp.1,- spent on NSAIDs therapy, an additional
Rp.1,45,- was estimated to spent in managing morbidity related NSAIDs utilization.
Conclusion: This result showed the cost of illnessrelated morbidity of NSAIDs utilization exceeds the cost of
the medications themselves.
PENDAHULUAN
Biaya terkait Masalah Terapi Obat (MTO) sebenarnya dapat dicegah adalah Aspirin/AINS
sudah melebihi biaya yang dikeluarkan untuk terkait efek induksi pendarahan gastrointestinal
terapi obat itu sendiri.1Ernst dan Grizzle atau gagal ginjal.6 Biaya langsung untuk
(2000)menunjukkan bahwa estimasi biaya untuk menangani komplikasi ulcer terkait AINS
menangani kecideraan dan kematian terkait obat melebihi $4 Milyar pertahun di US.7Di Inggris,
melebihi $177.4 Milyar.2 pendarahan gastrointestinal sebagai akibat terapi
Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) AINS bertanggungjawab terhadap 12.000 angka
adalah salah satu golongan obat yang paling masuk ke rumah sakit pertahun, menghabiskan
sering digunakan, dengan 70 juta resep pertahun biaya 250 Milyar Pounds.8
di U.S.3dan97 juta resep setiap tahun di Tingginya penggunaan AINS, terutama
Jerman.4Sebagai tambahan, 60 juta orang di dunia pada pasien usia lanjut (kelompok pasien yang
menggunakan AINS yang tergolong sebagai obat memiliki resiko tinggi mengalami komplikasi,
bebas. Sepertiga sampai separuh dari para merupakan salah satu masalah dalam kesehatan
pengguna AINS ini berumur diatas 60 tahun.5 masyarakat. Hingga saat ini, belum ada data
Sebuah studi yang dilakukan oleh Howard mengenai implikasi biaya yang disebabkan oleh
et al. menyimpulkan obat yang paling sering kecideraan atau kematian terkait penggunaan
menyebabkan kejadian masuk rumah sakit yang AINS di Indonesia.
Selama masa studi, 574 pasien telah diundang, Biaya medis langsung akibat penggunaan
135 responden telah direkrut dan mengikuti AINS
penelitian. Seluruh data diperoleh peneliti Perhitungan estimasi biaya penanganan
menggunakan teknik interview, secara langsung kecideraan atau kematian terkait obat dilakukan
(pada tahap awal) atau melalui telephone (tahap dengan menggunakan pendekatan perspektif
follow-up) dengan pasien. system kesehatan dengan menghitung seluruh
biaya medis langsung. Biaya non medis langsung,
biaya tidak langsung dan biaya intangible tidak
Akademi Farmasi Samarinda 53
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 52-56, 2015 Hari Ronaldo Tanjung
dihitung dalam analisis biaya cost-of-illness ini. Biaya akibat MTO terkait penggunaan AINS
Implikasi biaya terkait penggunaan AINS dihitung pada fase lanjutan. Peneliti menggunakan
diestimasi pada dua tahap; (1) biaya pada awal 7 (tujuh) kategori kemungkinan biaya terkait
rawatan dan (2) biaya yang timbul akibat MTO. dengan hasil terapi untuk melakukan estimasi
biaya medis langsung akibat MTO. Kategori
tersebut pertama kali dikembangkan oleh Johnson
dan Bootman9dan digunakan dalam penelitian ini
Biaya awal rawatan dengan beberapa modifikasi agar sesuai dengan
Biaya medis langsung awal rawatan diestimasi kondisi di Indonesia. Kategori yang digunakan
pada fase awal penelitian. Terdapat 2 (dua) jenis adalah sebagai berikut: 1) Tidak perlu rawatan , 2)
biaya: (1) biaya kunjungan dokter dan (2) Biaya Kunjungan dokter, 3) Pengobatan resep, 4)
resep. Biaya kunjungan dokter diperoleh melalui Pengobatan dengan obat Over The Counter(OTC),
wawancara langsung dengan pasien dan biaya 5) Kunjungan gawat darurat 6) Masuk rumah sakit
resep diperoleh dari apotek. Biaya awal rawatan (opname), dan 7) Kematian. Jalur lengkap
dihitung dengan menjumlahkan biaya kunjungan penghitungan analisa biaya cost of illness dari
dokter dengan biaya resep. MTO terkait terapi AINS dapat dilihat pada Tabel
2.
Biaya akibat MTO terkait penggunaan AINS
Setiap responden akan dipantau melalui telepon hasil terapi lainnya (Obat OTC, kunjungan gawat
pada akhir durasi terapi untuk mengidentifikasi darurat, masuk rumah sakit) diperoleh
kemungkinan hasil terapi yang dialami pasien dan berdasarkan keterangan pasien. Biaya medis
memperkirakan biaya medis langsung yang timbul langsung diestimasi dengan menjumlahkan
akibat terjadinya MTO. seluruh kategori biaya sesuai dengan hasil terapi
yang dialami oleh pasien.
Peneliti menggunakan nilai rata-rata biaya
kunjungan dokter dan biaya resep yang diperoleh Pemantauan dan Evaluasi
pada awal rawatan untuk mengestimasi biaya Jadwal pemantauan dan evaluasi hasil terapi
medis langsung akibat terjadinya MTO. Hal ini pasien dilakukan pada akhir durasi terapi pasien
karena hingga saat penelitian dilakukan tidak sesuai dengan protokol penelitian (Gambar1).
terdapat data di Indonesia untuk nilai rata-rata Peneliti akan menghubungi dokter jika terjadi
biaya untuk setiap kemungkinan kategori hasil reaksi merugikan yang berat selama masa
terapi. Nilai rata-rata untuk kategori kemungkinan penelitian.
Biaya medis langsung akibat kecideraan hasil terapi negative atau tidak ada perubahan.
terkait penggunaan AINS dihitung pada tahap Biaya yang timbul akibat terapi tersebut meliputi
lanjutan dengan menggunakan kategori biaya obat resep, kunjungan dokter dan masuk
kemungkinan biaya hasil terapi negatif pada Tabel rumah sakit. Biaya yang timbul dapat dilihat pada
2. Dari 135 responden, 25 responden mengalami Tabel 4.
Secara keseluruhan, pasien yang mengalami untuk setiap kunjungan pasien, dimana
kecideraan akibat penggunaan AINS diestimasi diperkirakan akan menghabiskan biaya sebesar
harus mengeluarkan biaya masing-masing sebesar EUR 6.6 Milyar pertahun pada sistem kesehatan
Rp.467.848,- dan total biaya yang harus Swedia.11
dikeluarkan untuk merawat kecideraan adalah Beberapa kecideraan terkait obat memang
Rp.11.696.200. Lebih lanjut, dapat disimpulkan tidak dapat dihindari, termasuk yang merupakan
bahwa untuk setiap Rp.1,- yang dikeluarkan untuk reaksi idiosinkrasi. Bagaimanapun, studi-studi
terapi AINS, pasien diperkirakan harus literature menunjukkan bahwa 45% sampai 75%
mengeluarkan Rp.1,45,- untuk merawat akibat kejadian kecideraan terkait obat adalah dapat
merugikan dari terapi AINS. Dapat disimpulkan dicegah.11,12,13 Kejadian kecideraan terkait obat
bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk yang sebenarnya dapat dicegah merupakan suatu
merawat kecideraan akibat AINS melebihi biaya peluang besar dalam usaha meningkatkan kualitas
yang dikeluarkan untuk terapi AINS itu sendiri. sistem kesehatan mengingat jumlah kejadiannya
Hasil ini tidak berbeda jauh dengan hasil dapat diturunkan.
studi oleh Bootman10yang menunjukkan bahwa Secara keseluruhan, 18% pasien yang
kecideraan terkait obat pada fasilitas perawatan menggunakan AINS dengan resep mengalami
juga menunjukkan masalah ekonomi yang serius. hasil terapi negative atau tidak ada perubahan.
Untuk setiap $1 yang dikeluarkan di fasilitas Hasil terapi tersebut merupakan hasil dari terapi
perawatan tersebut, $1.33 harus dikeluarkan untuk AINS yang tidak efektif dan reaksi merugikan
merawat kecideraan akibat terjadinya MTO. baik secara potensial ataupun actual dari
Selain itu, sebuah studi di Swedia memperkirakan penggunaan AINS. Masalah terapi obat tersebut
bahwa 75% pasien yang mengalami kecideraan sebenarnya telah dapat di identifikasi dan
terkait obat membutuhkan biaya tambahan terkait diperkirakan pada tahap awal sehingga
kecideraan tersebut. Biaya yang dikeluarkan sebenarnya sejumlah besar MTO tersebut dapat
diperkirakan sebesar EUR 997 (2010 prices) dicegah.
KESIMPULAN
Pasien yang mengalami kecideraan terkait mengeluarkan biaya tambahan masing-masing
penggunaan AINS diperkirakan harus sebesar Rp.467.848,- dan total biaya yang harus
dikeluarkan untuk merawat kecideraan adalah dapat dicegah dan farmasis dengan latar belakang
Rp.11.696.200. Lebih lanjut, dapat disimpulkan praktek komunitas merupakan profesi yang tepat
bahwa untuk setiap Rp.1,- yang dikeluarkan untuk untuk mengidentifikasi dan mengatasi MTO
terapi AINS, pasien diperkirakan harus tersebut. Farmasis memiliki peluang yang sangat
mengeluarkan Rp.1,45,- untuk merawat akibat besar untuk ikut memastikan terlaksananya proses
merugikan dari terapi AINS. Sebagian besar MTO farmakoterapi yang aman, efektif dan terjangkau.
DAFTAR PUSTAKA
1. Manasse, HR. Jr. Medication use in an imperfect world: miss adventuring as an issue of public policy.
American Journal of Hospital Pharmacy. 1989;46:1093-1097.
2. Ernst, F.R., & Grizzle A.J. Drug related morbidity and mortality: updating the Cost-of-Illness Model.
Journal of American Pharmaceutical Association. 2001;41(2): 192-199.
3. Consumer Reports Health Best Buy Drugs.. The Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs: Treating
Osteoarthritis and Pain. 2011. retrieved December 10, 2012, from http://www.
consumerreportshealth.org/bestbuydrugs.
4. Steinmeyer,J.Pharmacological basis for the therapy of pain and inflammationwith nonsteroidal anti-
inflammatory drugs. Arthritis Res. 2000;2:379385
5. Kendall, B., & Peura, D. NSAID-associated gastrointestinal damaged and the elderly. Practical.
1993;17: 13-29.
6. Howard, R.L., Avery, A.J., Slavenburg, S., et al. Which drugs cause preventable admissions to hospital?
A systematic review. British Journal of Clinical Pharmacology. 2007;63:13647.
7. Bidaut-Russell, M. And Gabriel, S.E. Adverse gastrointestinal effects of NSAIDs: Consequences and
costs. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2001;15:73953.
8. Blower, A.L., Brooks, A., Fenn, G.C., Hill, A., Pearce, M.Y., Morant, S., & Bardhan, K.D. Emergency
admissions for upper gastrointestinal disease and their relation to NSAIDs use. Aliment Pharmacology
Ther. 1997;11(2): 283-291.
9. Johnson, J.A., & Bootman, J.L. Drug related morbidity and mortality: a Cost-of-Illness Model. Archive
of Internal Medicine. 1995;155: 1949-56.
10. Bootman, J.L., Harrison, D.L., & Cox, E. The health care costs of drug related morbidity and mortality
in nursing facilities. Archives of Internal Medicine. 1997;157(18).
11. Gyllensten, H., Hakkarainen, K.M., Jonsson, A.K., Sundell, K.A., Hagg, S., Rehnberg, C., & Carlsten,
A. Drug-related morbidity: modeling the cost-of-illness in Sweden using Pharmacists opinion. Value in
Health: The Journal of The International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research.
2011;14(7): A344.
12. Runciman, W.B., Roughead, E.E., Semple, S.J., & Adams, R.J. Adverse drug events and medication
errors in Australia. International Journal for Quality in Health Care. 2003;15(1): i49-i59.
13. Winterstein, A.G., Sauer, B.C., Hepler, C.D., & Poole, C. Preventable drug-related hospital admission.
Annals of Pharmacotherapy. 2002;36(7/8): 1238-1248.
RizaAlfian
ABSTRACT
Diabetes melitus is one ofthe metabolic disorders with characteristic hyperglycemia that occurs due to
abnormal insulin secretion, insulin resistance or both. The non adherence patients of taking antidiabetic
drugs are the main factors that could cause high blood glucose levels, so it is necessary an intervention to
achievedoutcome therapy desired. Giving of short message service reminder intervention in diabetes mellitus
patients was expected to improved the medication adherence and achieved normal blood glucose levels.This
study was conducted to determine the effect of a short message service reminder on medication adherence of
ambulatory diabetes melitus patients in Ulin General Hospital Banjarmasin.
This study was conducted with quasi-experimental design,the data were taken prospectively during
May to June, 2014. The subjects were ambulatory diabetes melitus patients in Ulin General Hospital
Banjarmasin who had received oral antidiabetic drugs. Subject who met the inclusion and exclusion criteria
were 39 patients and had given an intervention for seven days. The data collected by interviews and pill
counting on filling sheet. The blood glucose levels data was taken from their medical records.
The result showed that giving of a short message service reminder intervention improve patient
adherence (p<0,05). Fasting blood glucose level and blood glucose level two hours post prandial have
decreased significantly (p<0,05). There were correlation between the patient adherence and the decreasing
in fasting blood glucose levels (p=0,050; r=0,316) and blood glucose two hours post prandial levels
(p=0,010; r=0,040).Based on these result, it can be concluded that the giving of short message service
reminder in diabetes melitus patientshas been improved patient adherence.
K eywords: Diabetes Mellitus, short message service reminder, adherence, blood glucose levels.
PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) merupakan nasehat dokter yang pasif.Perilaku kepatuhan
kumpulan gejala metabolik yang timbul pada diri diartikan sebagai usaha penderita untuk
seseorang yang disebabkan oleh adanya mengendalikan perilakunya3.Berbagai penelitian
peningkatan glukosa darah akibat rusaknya menunjukkan bahwa kepatuhan pasien pada
sekresi insulin, resistensi terhadap insulin atau pengobatan penyakit yang bersifat kronis pada
keduanya1. Menurut International Diabetes umumnya rendah. Penelitian yang melibatkan
Federation, kasus diabetes melitus di Indonesia pasien berobat jalan menunjukkan bahwa lebih
menduduki peringkat ketujuh dari sepuluh besar dari 70% pasien tidak minum obat sesuai dengan
negara dengan penderita diabetes melitus dosis yang seharusnya4. Kepatuhan rata-rata
terbanyak di dunia.Prevalensi penderita diabetes pasien pada terapi jangka panjang terhadap
melitus di Indonesia tahun 2013 dengan penyakit kronis di negara maju hanya sebesar
prevalensi tertinggi pada daerah Yogyakarta 50%, sedangkan dinegara berkembang, jumlah
(2,6%) dan paling rendah daerah Lampung tersebut bahkan lebih rendah5.
(0,7%). Sementara Kalimantan Selatan (1,4%) Ketidakpahaman pasien terhadap terapi
menempati urutan tertinggi ke-13 di Indonesia2. yang sedang dijalaninya akanmeningkatkan
Kepatuhan minum obat didasarkan atas ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi
pandangan mengenai penderita sebagai penerima obatnya. Faktor tersebut akibat dari kurangnya
informasi dan komunikasi antara tenaga dalam penggunaan obat anti diabetes melitus.
kesehatan dengan pasien6. Berbagai macam metode yang biasa digunakan
Fenerty et al7 merekomendasikan dalam menilai kepatuhan dalam penggunaan obat
penggunaan teknologi baru untuk membantu diantaranya adalah metode penentuan kadar obat
peningkatan kesehatan.Layanan pesan singkat di dalam darah, dengan menggunakan kuesioner,
atau biasa disebut dengan short Message Service dan menghitung kesesuaian jumlah obat yang
(SMS) telah digunakan untuk transaksi bisnis, digunakan dengan jumlah obat yang diresepkan
komunikasi pribadi, serta periklanan.Potensi (hitung pil). Semua metode untuk mengukur
penggunaan teknologi SMS yang dikembangkan kepatuhan mempunyai kelebihan dan
8
pada mobile phone dapat digunakan untuk kelemahan .Penilaian kepatuhan penggunaan obat
mempengaruhi kualitas kesehatan di negara- dengan metode hitung pil adalah metode yang
negara berkembang.SMS yang murah dalam paling umum dan praktis untuk digunakan.Metode
komunikasi dapat digunakan untuk hitung pil juga paling efisien dalam hal efektifitas
menyampaikan pesan kesehatan kepada pemilik biaya9.
mobile phone.Kelebihan SMS adalah biaya yang Angka kunjungan pasien diabetes
relatif ringan dan dapat mengirimkan pesan pada melitus rawat jalan di RSUD Ulin pada tahun
banyak pasien sekaligus walaupun tersebar di 2013 mencapai 3837 kunjungan pasien. Penyakit
beberapa daerah yang berbeda. Selain itu, hampir diabetes melitus untuk pasien rawat jalan di
setiap orang di Indonesia memiliki mobile phone RSUD Ulin menduduki peringkat ketiga dengan
yang di dalamnya terdapat layanan SMS, kunjungan terbanyak.Berdasarkan hal tersebut di
ditambah lagi beberapa operator yang atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk
menawarkan bonus SMS setelah mengirimkan mengetahui pengaruh pemberian layanan pesan
SMS dalam jumlah tertentu. singkat pengingat terhadap kepatuhan minum obat
Pada kondisi sekarang ini, masih belum pasien diabetes melitus rawat jalan di RSUD Ulin
ada standar yang baku untuk menilai kepatuhan Banjarmasin.
METODE PENELITIAN
Penelitian secara prosfektif untuk Perkembangan pasien diikuti dari pre study
mengetahui pengaruh pemberian layanan pesan sampai post study selama lebih kurang 1 bulan.
singkat pengingat terhadap kepatuhan minum obat Layanan pesan singkat pengingat diberikan
pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD Ulin farmasis hanya selama 7 hari setelah pasien
Banjarmasin.Pengambilan sampel dilakukan mengisi data pre study. Data post study diambil
dengan metode consecutive sampling.Populasi setelah lebih kurang satu bulan sejak pre study.
terjangkau sebanyak 142 pasien diabetes Data penelitian dikumpulkan dari April sampai
melitus.Sampel yang memenuhi kriteria inklusi Mei 2014.Pengumpulan data dilakukan dengan
dan eksklusi berjumlah 39 sampel. Kriteria inklusi wawancara dan dengan metode hitung pil.
pada penelitian ini adalah pasien dengan usia 18- Data yang diperoleh dianalisis dengan
65 tahun dengan diagnosa diabetes melitus yang menggunakan SPSS 16.00. Analisis statistik yang
berobat di poliklinik penyakit dalam RSUD Ulin digunakan untuk mengolah data pre dan post
Banjarmasin, minimal satu kali pernah study adalah dengan uji wilcoxon dan uji paired
mendapatkan terapi pengobatan diabetes melitus, T-test, sedangkan untuk menganalisis hubungan
memiliki hand phone, dan dalam kriteria tidak antara kepatuhan dengan kadar gula darah
patuh pada pre study. Kriteria eksklusinya adalah digunakan uji korelasi Spearman. Nilai P<0,05
pasien dengan kondisi tuli, hamil, dan buta huruf. dianggap signifikan secara statistik.
Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian Pasien Diabetes Melitus di RSUD Ulin Banjarmasin
Jumlah
Karakteristik Pasien
(N=39) %
Jenis Kelamin Perempuan 23 58,9
Laki-laki 16 41,1
Usia (tahun) <55 tahun 16 41,1
55 tahun 23 58,9
Pendidikan 0-9 tahun 14 35,9
>9 tahun 25 64,1
Pekerjaan Ibu rumah tangga 15 38,5
Wiraswasta 2 5,1
Swasta 6 15,4
PNS 16 41
Riwayat DM Ada 20 51,3
Tidak ada 19 48,7
Metode hitung pil juga paling efisien dalam hal
Penilaian kepatuhan minum obat pasien
efektifitas biaya9.
diabetes melitus dilakukan dengan cara
Hasil penelitian yang terlihat pada tabel
menghitung jumlah obat yang didapatkan pasien.
2 menunjukkan bahwa intervensi pemberian
Pasien dikatakan patuh apabila obatnya digunakan
layanan pesan singkat pengingat oleh farmasis
sesuai dengan jumlah dan hari yang diresepkan,
secara positif merubah perilaku tidak patuh pasien
sedangkan pasien tidak patuh apabila obatnya
menjadi perilaku yang patuh dalam menjalani
diminum tidak sesuai dengan jumlah dan hari
pengobatan.Hasil penelitian yang tersaji pada
yang diresepkan.Penilaian kepatuhan penggunaan
tabel 2 menunjukkan terjadi perubahan kepatuhan
obat dengan metode hitung pil adalah metode
pada 27 pasien yang awalnya tidak patuh menjadi
yang paling umum dan praktis untuk digunakan.
patuh dalam pengobatan.
Uji statistik dilakukan untuk mengetahui disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kepatuhan
pengaruh intervensi yang diberikan kepada yang bermakna antara sebelum diberikan
pasien.Hasil uji normalitas Kolmogrov-Smirnov intervensi layanan pesan singkat pengingat
menunjukkan bahwa data tidak terdistribusi secara dengan sesudah diberikan intervensi.Hasil uji pre
normal sehingga dilakukan uji non parametrik studydan post studynilai kepatuhan tersaji pada
berupa uji Wilcoxon. Hasil test statistics diperoleh tabel 3.
nilai p=0,00 (p<0,05), dengan demikian dapat
Tabel 3. Uji pre study dan post study nilai kepatuhan (MeanSD)
Pre Post P
Sampel 0,000,00 0,690,46 0,000
membaik) dan kurangnya pengetahuan tentang Kadar gula darah pre study adalah kadar
diabetes melitus serta tujuan pengobatannya. gula darah puasa dan gula darah 2 jam post
Kepatuhan dalam pengobatan memegang peranan prandial yangdidapat dari hasil laboratorium yang
penting dalam mencapai target keberhasilan dibawa pasien pada saat berobat di poliklinik
terapi, terutama untuk penyakit kronis seperti penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah Ulin
diabetes melitus. Rendahnya kepatuhan pasien Banjarmasin. Nilai kadar gula darah post study
terhadap pengobatan diabetes melitus merupakan adalah nilai kadar gula darah puasa dan gula darah
salah satu penyebab rendahnya kontrol kadar gula 2 jam post prandial yangdidapat dari hasil
darah11. laboratorium yang dibawa pasien pada saat
Pengukuran kepatuhan pasien rawat berobat di poliklinik penyakit dalam Rumah Sakit
jalan dalam pengobatan diabetes melitus penting Umum Daerah Ulin Banjarmasin setelah
untuk mengetahui efektivitas pengobatan sehingga diberikan intervensi layanan pesan singkat
target terapi diabetes melitus dapat tercapai pengingat selama tujuh hari dan diikuti selama
dengan baik. Walaupun demikian, profesional lebih kurang tiga puluh hari oleh peneliti.
kesehatan sering tidak menanyakan tentang Uji normalitas dan homogenitas untuk
kebiasaan pasien minum obat, hal ini mungkin rerata kadar gula darah puasa dan kadar gula
dikarenakan mereka tidak mempunyai cukup darah 2 jam post prandialmenunjukkan bahwa
waktu untuk melalukannya. Salah satu cara untuk data terdistribusi secara normal dan homogen
menilai kepatuhan pasien diabetes melitus dalam sehingga dilakukan uji statistik parametrik dengan
meminum obat adalah dengan melakukan Paired Samples t-Test.
perhitungan jumlah obat.
Tabel 4. Uji pre study dan post study nilai kadar gula darah (MeanSD)
Gula darah Pre Post P
GDP 171,9574,95 158,0853,76 0,022
GDPP 240,15100,28 201,3364,14 0,000
SIMPULAN
Layanan pesan singkat pengingat yang positif, maka semakin besar juga penurunan kadar
diberikan farmasis efektif untuk merubah perilaku gula darah sehingga kepatuhan memiliki peranan
tidak patuh pasien menjadi perilaku yang patuh besar dalam pengontrolan kadar gula darah pasien
dalam menjalani terapi pengobatan. Seiring diabetes melitus.
perubahan perilaku kepatuhan pasienkearah yang
DAFTAR PUSTAKA
1. Scarano, W.R., Messias, A.G., Oliva, S.U., Klinefelter, GR, & Kempinas, W.G. (2006). Sexual
behaviour, sperm quantity and quality after short-therm streptozotocin-induced hyperglycaemia in rats.
International Journal Andrology, 29, 482-488.
2. Kementerian Kesehatan, 2013, Riset Kesehatan Dasar, Jakarta, Kementerian Kesehatan RI.
3. Safitri, I.N., 2013, Kepatuhan penderita diabetes melitus tipe II di tinjau dari locus of control, Jurnal
Ilmiah Psikologi Terapan, 1,3
4. Basuki, Endang. 2009. Konseling Medik : Kunci Menuju Kepatuhan Pasien. Majalah Kedokteran
Indonesia, Vol 59 Nomor 2 Februari 2009.
5. Asti, T. 2006. Kepatuhan Pasien : Faktor Penting dalam Keberhasilan Terapi. Info POM, Vol. 7, No. 5,
diakses Maret 2014 dari
http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info%20POM/0506.pdf
6. Anonim, 2007, Pelayanan Konseling Akan Meningkatkan Kepatuhan Pasien Pada Terapi Obat, diakses
Maret 2014 dari http://indonesiasehat. blogspot.com/2007/06/pelayanan-konseling-
akanmeningkatkan9866.html
7. Fenerty, S.D., West, C., Davis, S.A., Kaplan, S.G., Feldman, S.R., 2012, The effect of reminder systems
on patientsadherence to treatment, Patient Preference and Adherence:6 127135
8. Shelly, A.V., Maxwell, C.J., Hogan, D.B., Patten, S.B., Johnson, J.A., Slack, L.R., 2005, Assessing
Medication Adherence Among Older Persons In Comunity Settings, Can J Clin Pharmacol Vol 12 (1):
e152-e164
9. Hadi, N., Gooran, N.R., 2004, Determinant Factors of Medication Compliance In Hypertensive Patients
of Shiraz Iran, Archives of Iranian Medicine, V 292 olume 7, Number 4
10. Huang, H.L., Li, Y.C.J., Chou, Y.C., Hsieh, Y.W., Huo, F., Tsai, W.C., Chai,S.D., 2013, Effects of and
satisfaction with short message service reminders for patient medication adherence: a randomized
controlled study, BMC Medical Informatics and Decision Making, 13:127
11. Aronson, J.K., 2007, Compliance, Concordance, Adherence, Br J Clin Pharmacol 63:4 383384
12. Dulmen, S. V., Sluijs, E., Dijk, L. V., Ridder, D., Heerdink, R., & Bensing, J. (2007). Patient adherence
to medical treatment BMC Health Services Research, 7, 55.
Yugo Susanto
ABSTRACT
One of communicable diseases become very serious health problem was hypertension. The purpose
of hypertension therapy was to control blood pressure in range of normal blood pressure, it is needed the
adherence for hypertension therapy. The family supportcould improved healthy status. Patient with family
support feel that people care, so it could directed patient to improve their healthy lifestyle.
The purpose of this study was to determine elderly family support, medication adherence in elderly
hypertensive patients, and analyzedthe correlation between the family support with the adherence ension in
elderly hypertension patients in Puskesmas Sungai Cuka Tanah Laut.
This study was conducted with the cross sectional design in December 2014 until January 2015.
Population was280the elderly patient in the region of primary public health Sungai Cuka and 164 of them
were used for sample. Data was collected by completion questionnaires family support and Morisky
Modification Adherence Scale (MMAS)questionnaires. Data analysis was performed by gamma test with
95% confidence level.
Based on the results, that Elderly who have family support by category 23.8% lower category,
middle category were 64%, high category were 11.6%, and 0.6% were very high category. The adherence
degree of elderly hypertension patientwere 45,7% low adherence degree, moderate adherence degreewere
36%, and high adherence degree were 18.3%. There were a correlation between the family support andthe
medication adherence in elderly hypertension patients at Puskesmas Sungai Cuka Tanah Laut. ( =0.295).
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan adalah upaya milyar orang di dunia atau 1 dari 4 orang dewasa
yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa menderita penyakit ini. Bahkan, diperkirakan
yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, jumlah penderita hipertensi akan meningkat
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap menjadi 1,6 milyar menjelang tahun 20253. Dua
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat per tiga penderita hipertensi berada di negara
yang setinggi- tingginya, salah satu indikatornya berkembang yang berpenghasilan rendah dan
adalah angka harapan hidup1. sedang. Indonesia berada dalam deretan 10 negara
Salahsatu penyakit tidak menular (PTM) dengan prevalensi hipertensi tertinggi di dunia,
yang menjadi masalah kesehatan yang sangat bersama Myanmar, India, Srilanka, Bhutan,
serius saat ini yaitu Hipertensi. Thailand, Nepal, Maldives. Menurut Organisasi
Hipertensiadalahkeadaanyangditandaidengan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2012 melaporkan
terjadinya peningkatan tekanan darah didalam bahwa hipertensi adalah suatu kondisi berisiko
arteri.Seseorang dikatakan memiliki hipertensi tinggi yang menyebabkan sekitar 51% dari
jika tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau kematian akibat stroke, dan 45% dari jantung
lebih, tekanan diastolik mencapai 90 koroner4.
mmHgataulebih, atau keduanya2. Menurut Data Riset Kesehatan Dasar
Hipertensi merupakan salah satu (Riskesdas) tahun 2013 di Provinsi Kalimantan
penyakit paling mematikan di dunia. Sebanyak 1 Selatan tahun 2013 prevalensi hipertensi sebesar
30,4%, ini berarti sekitar 1.145.536 orang Kesehatan Lansia sebanyak 34.638 orang.
mengalami hipertensi5. Data dari Dinas Kesehatan Cakupan pelayanan kesehatan lansia (>60 Th)
Kabupaten Tanah Laut kasus baru pasien sebesar 63,95% sedangkan pada tahun 2011
hipertensi tahun 2011 sebanyak 17.594 orang, sebesar 87,56%. Hasil studi pendahuluan yang
tahun 2012 sebanyak 15.842 orang dan tahun dilakukan peneliti pada bulan Agustus 2014,
2013 sebanyak 15.181 orang. Menurut data di diketahui bahwa jumlah lansia di wilayah kerja
Puskesmas Sungai Cuka penyakit hipertensi Puskesmas Sungai Cuka yang berusia 45-59 tahun
merupakan 3 besar penyakit terbanyak pada tahun berjumlah 1721 orang, 60-69 tahun berjumlah 468
2013 yang ada diwilayah Puskesmas Sungai Cuka orang, 60 tahun ke atas berjumlah 766 orang dan
yang berjumlah 850 orang yang terbagi sebanyak 70 tahun ke atas berjumlah 298 orang. Dari data
257 orang laki- laki dan sebanyak 593 orang Profil Dinas Kesehatan Kab. Tanah Laut Tahun
perempuan . 2013.
Menurut Sarafino6 Individu membutuhkan Berdasarkan Laporan Tahunan Puskesmas
orang lain untuk memberi dukungan guna Sungai Cuka jumlah lansia pada tahun 2013
memperoleh kenyamanannya. Individu dengan sebanyak 1984 orang, jumlah pasien lansia yang
tingkat dukungan keluarga yang tinggi memiliki menderita penyakit hipertensi pada tahun 2013
perasaan yang kuat bahwa individu tersebut sebanyak 534 orang hal tersebut menunjukan
dihargai dan dicintai. Individu dengan dukungan bahwa masih sangat tingginya angka kejadian
keluarga yang tinggi merasa bahwa orang lain penyakit hipertensi di wilayah kerja Puskesmas
peduli dan membutuhkan individu tersebut, Sungai Cuka, dimana lansia yang dibina masih
sehingga hal ini dapat mengarahkan individu kurang dari target pencapaian. Diketahui bahwa
kepada gaya hidup yang sehat dalam hal ini cakupan pelayanan kesehatan lansia pada tahun
kepatuhan dalam mengikuti posyandu lansia. 2012 pada Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Keluarga merupakan support system (sistem yaitu sebesar 63,95 %, sedangkan di puskesmas
pendukung) yang berarti, sehingga dapat memberi sungai cuka diketahui lansia yang memanfaatkan
petunjuk tentang kesehatan mental klien, peristiwa fasilitas kesehatan tahun 2012 sebesar 26 %
dalam hidupnya dan sistem dukungan yang sehingga kurang dari pencapaian program yang
diterima. Sistem dukungan penting bagi kesehatan ditetapkan. Untuk meningkatkan pelayanan
lanjut usia terutama fisik dan emosi. Lansia yang kesehatan maupun kesejahteraan sosial
sering ditemani dan mendapatkan dukungan akan dimasyarakat diharapkan terciptanya lansia
mempunyai kesehatan mental yang lebih baik. mandiri dan terlibat secara aktif dalam
Di Indonesia Jumlah lansia meningkat peningkatan kesehatan masyarakat tetapi
menjadi 20.547.541 pada tahun 2009 jumlah ini kenyataan yang ada di lapangan bahwa masih
termasuk terbesar keempat setelah China, India banyaknya penderita hipertensi pada lansia.
dan Jepang. Badan kesehatan dunia WHO Berdasarkan latar belakang yang sudah
menyatakan bahwa penduduk lansia pada tahun dijelaskan di atas maka dilakukan penelitian untuk
2020 mendatang sudah mencapai angka 11,34% mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan
atau tercatat 28,8 juta orang7. kepatuhan minum obat penderita hipertensi pada
Pada tahun 2012/2013 di Tanah Laut pasien lansia di wilayah Kerja Puskesmas Sungai
jumlah sasaran lansia pada program Seksi Cuka Kabupaten Tanah Laut Tahun 2014.
METODE PENELITIAN
Penilitian ini menggunakan rancangan sakit dan tidak bisa beraktifitas
cross sectional yaitu dengan melakukan normal.Pengumpulan data dukungan keluarga dan
pengambilan data pada saat bersamaan/ satu tingkat kepatuhan minum obat dilakukan dengan
waktu di wilayah kerja Puskesmas Sungai Cuka wawancara dan pengisian kuesioner yang telah
Kabupaten Tanah Laut. Pengambilan sampel diuji validitas dan reliabilitasnya. Data penelitian
dilakukan dengan metode purposive sampling. dikumpulkan dari Agustus 2014 sampai Februari
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien 2015.
dengan usia 45-65 tahun dengan diagnosa Data yang diperoleh dianalisis dengan
hipertensi yang berobat di Puskesmas Sungai menggunakan SPSS 16.00. Analisis statistik yang
Cuka Kabupaten Tanah Laut, dapat digunakan untuk mengolah data tingkat kepatuhan
berkomunikasi dengan baik (tidak tuna rungu dan dan tingkat dukungan keluarga menggunakan uji
tuna wicara), dan bersedia untuk berpartisipasi distribusi frekuensi, sedangkan untuk
pada penelitian dengan mengisi informed consent. menganalisis hubungan antara dukungan keluarga
Kriteria eksklusinya adalah pasien yang sedang dengan kepatuhan minum obat pasien digunakan
metode uji analisis bivariat. Nilai P<0,05 dianggap signifikan secara statistik.
Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian Pasien Hipertensi Lansia di Puskesmas Sungai Cuka
Kabupaten Tanah Laut.
Jumlah
Karakteristik Pasien
(N=164) %
Jenis Kelamin Perempuan 110 67
Laki-laki 54 33
Usia (tahun) 45-59 tahun 126 76,8
60-74 tahun 38 23,2
Pendidikan SD 107 65,3
SLTP 38 23,2
SLTA 16 9,7
Perguruan Tinggi 3 1,8
Pekerjaan Tidak bekerja 115 70,2
Petani 32 19,5
Pedagang 12 7,3
PNS 5 3
kondisi kesehatan lansia (nomor 3), ini mendapatkan skor tertinggi adalah pertanyaan
menunjukkan bahwa keluarga kurang keluarga membantu menjelaskan mengenai cara
menanyakan keadaan kesehatan keluarga. Hal ini minum obat sesuai petunjuk petugas kesehatan
dikarenakan kebiasaan keluarga yang menanyakan (nomor 9) yaitu keluarga menjelaskan mengenai
keadaan kesehatan lansia apabila lansia terlihat cara minum obat sesuai petunjuk petugas
sakit atau merasakan keluhan gangguan kesehatan sedangkan skor terendah adalah
kesehatan. pertanyaan keluarga membantu mengingatkan
Berdasarkan parameter dukungan waktu saat meminum obat (nomor 10), artinya
keluarga menurut dimensi penghargaan yang keluarga kurang membantu mengingatkan waktu
mendapatkan skor tertinggi adalah pertanyaan saat meminum obat. Hal ini dikarenakan adanya
keluarga berusaha memberikan semangat untuk kesibukan keluarga sehingga keluarga pun mudah
kesehatan lansia (nomor 5), artinya keluarga lupa akan jadwal meminum obat.
memberikan semangat untuk kesehatan lansia hal Keluarga merupakan sumber dukungan
ini disebabkan keluarga tentunya sudah sosial yang paling penting, sehingga dapat
mengetahui pentingnya kesehatan lansia disimpulkan bahwa dukungan keluarga dengan
sedangkan yang terendah adalah pertanyaan tingkat sedang disebabkan karena kurangnya
Keluarga memberikan pujian terkait kepatuhan dukungan keluarga terhadap lansia sehingga
anda meminum obat (nomor 4), ini menunjukkan lansia merasa kurang dihargai dan diperhatikan.
bahwa keluarga jarang memberikan pujian kepada Penilaian kepatuhan minum obat pasien
lansia. Hal ini dikarenakan keterbatasan lansia lansia hipertensi dilakukan dengan menggunakan
dalam beraktifitas fisik maupun melakukan hal kuesioner Morisky Medication Adherence Scale
lainnya sehingga pujian jarang diberikan oleh (MMAS) yang d2si oleh pasien. Kepatuhan
keluarga. dikategorikan menjadi tiga tingkatan. Kepatuhan
Berdasarkan parameter dukungan tinggi apabila pasien mengisi kuesioner MMAS
keluarga menurut dimensi instrument yang dengan skor delapan, kepatuhan sedang apabila
mendapatkan skor tertinggi adalah pertanyaan pasien mengisi kuesioner MMAS dengan skor
keluarga membantu biaya untuk berobat (nomor enam sampai kurang dari delapan, dan kepatuhan
7), ini berarti keluarga membantu biaya berobat rendah apabila pasien mengisi kuesioner dengan
sedangkan pertanyaan yang mendapatkan skor skor kurang dari delapan. Penilaian kepatuhan
lebih rendah adalah pertanyaan keluarga penggunaan obat dengan metode kuesioner adalah
berusaha untuk membantu transportasi ke metode yang paling umum dan praktis untuk
Puskesmas (nomor 6), ini berarti keluarga kurang digunakan. Metode penilaian kepatuhan dengan
menyediakan transportasi jika lansia ingin menggunakan kuesioner juga paling efisien dalam
berobat. Hal ini dikarenakan keluarga hal efektifitas biaya9. Hasil penilaian tingkat
menganggap letak puskesmas yang tidak terlalu kepatuhan minum obat pasien lansia hipertensi di
jauh dari rumah dengan jalan kaki pun dapat Puskesmas Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut
dijangkau. dapat dilihat pada tabel 3.
Berdasarkan parameter dukungan
keluarga menurut dimensi informasi yang
Tabel 3. Tingkat kepatuhan minum obat pasien lansia hipertensi di Puskesmas Sungai Cuka
Kabupaten Tanah Laut
No. Tingkat Kepatuhan Frekuensi Persentase (%)
1 Tinggi 30 18,3
2 Sedang 59 36
3 Rendah 75 45,7
Jumlah 164 100
Tabel III menunjukkan sebagian besar bisa langsung sembuh dalam sekali pengobatan10.
lansia memiliki kepatuhan rendah dalam Tujuan dari pengobatan hipertensi adalah untuk
meminum obat yaitu berjumlah 75 orang (45,7%). mengontrol tekanan darah agar selalu berada pada
Kepatuhan yang rendah dalam menggunakan obat rentang tekanan darah normal sehingga dapat
antihipertensi juga disebabkan karena kurangnya mencegah timbulnya penyakit lain yang lebih
pemahaman pasien pada tujuan terapi hipertensi berat seperti penyakit jantung koroner, gagal
sendiri dan mengubah dosis atau jadwal minum ginjal, dan stroke. Berbagai macam alasan yang
obat. Hipertensi adalah penyakit kronis yang tidak menyebabkan pasien tidak bisa patuh dalam
Tabel 4. Hasil uji bivariat antara dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan minum obat.
Kepatuhan Minum Obat
Dukungan Rendah Sedang Tinggi
No. Keluarga n % n % n % %
1. Sangat tinggi 0 0 0 0 1 100 1 100
2 Tinggi 4 21 5 26.3 10 52.6 19 100
3 Sedang 36 34.2 52 49.5 15 14.2 105 100
4 rendah 35 89.8 2 5.1 2 5.1 39 100
5 sangat rendah 0 0 0 0 0 0 0 100
Total 75 45.7 59 35.9 30 18.2 164 100
Uji statistik Gamma: = 0,295
Tabel 4 menunjukkan bahwa responden obat yaitu berjumlah 35 orang (89,8%). Hasil uji
yang memiliki dukungan keluarga tinggi hampir statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara
seluruhnya memiliki kepatuhan tinggi dalam dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat
meminum obat yaitu berjumlah 10 orang (52,6%) penderita hipertensi pada lansia di wilayah kerja
sedangkan responden yang memiliki dukungan Puskesmas Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut.
keluarga yang rendah hampir seluruhnya Dukungan keluarga yang tinggi akan
memilikikepatuhan yang rendah dalam meminum memunculkan kepatuhan lansia yang tinggi pula
obat yaitu berjumlah 35 orang (89,8%). dalam meminum obat. Dukungan keluarga disini
Hasil analisis statistik uji Uji Gamma sebagai motivasi yang mampu untuk
diperoleh nilai = 0,295 Gamma berkisar antara - menggerakkan diri pada lansia.
1 (hubungan tidak searah sempurna) dan +1 Dukungan keluarga menjadi suatu aspek
(hubungan searah sempurna) dengan demikian pemberdayaan lansia terhadap perkembangan
secara statistik pada tingkat kepercayaan 95% hal aktifitas dan juga keinginan untuk mengetahui dan
ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara menggunakan sesuatu hal yang masih di anggap
dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat baru ataupun hal-hal yang jarang ia lakukan12.
penderita hipertensi pada lansiadi wilayah kerja Dukungan keluarga sangat berperan dalam
Puskesmas Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut. mendorong minat atau kesediaan lansia. Keluarga
Pasien lansia hipertensi yang memiliki bisa menjadi motivator kuat bagi lansia apabila
dukungan keluarga yang tinggi hampir seluruhnya selalu menyediakan diri untuk mendampingi atau
memiliki kepatuhan meminum obat yaitu mengantar lansia ke puskesmas dan berusaha
berjumlah 10 orang (52,6%) sedangkan responden membantu mengatasi segala permasalahan
yang memiliki dukungan keluarga yang rendah bersama lansia13.
hampir seluruhnya tidak patuh dalam meminum
SIMPULAN
Pasien hipertensi lansia di Puskesmas sebanyak 45,7%. Dukungan keluarga memiliki
Sungai Cuka Kabupaten Tanah Laut didominasi hubungan yang erat dengan kepatuhan minum
oleh pasien dengan tingkta dukungan keluarga obat sehinggadukungan keluarga diharapkan dapat
sedang sebanyak 64%. Kepatuhan minum obat ditingkatkan untuk menunjang keberhasilan terapi
pasien didominasi oleh tingkat kepatuhan rendah hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. 2008. Pedoman Kerja Puskesmas. Jakarta: Depkes RI
2. Alhaiqa, F., Deane, K.H.O., Nawafleh, A.H., Clark, A., Gray, R., 2012, Adherence therapy for
medication non compliant patients with hypertension: a randomised controlled trial, Journal of Human
Hypertension 26, 117126
ABSTRACT
Infection is a major problem that the world's attention. Infectious diseases have caused the death of
over 13 million people worldwide every year, particularly in the developing countries such as Indonesia.
One of the species of bacteria that cause infections are Escherichia coli. Curcuma heyneana rhizome
(Curcuma heyneana Val.) is a plant that is often used as a traditional medicine to antibacterial. This study
was intended to determine the antibacterial inhibition activity, and minimum inhibitory concentrations
(MIC) from the usage of an ethanol extract in the curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.) for
the growth of an Escherchia coli by in vitro.
Curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.) was extracted using maseration method
with solvent ethanol. Each extracts identified the active compounds group consisting of flavonoids, saponins,
curcumin, volatile oil, and tannins. This study was an experimental laboratoric by using the diffusion method
with discs blank with 10 treatment groups concentration which are 100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,12%,
1,56%, 0,78%, positive control and negative control with three repetitions.
The phytochemical screenings analysis showed curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana
Val.) of ethanol extract containing flavonoids, saponins, curcumin, volatile oil, and tannins. Ethanol extract
in the curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.) had an effectiveness in inhibiting the growth of
an Escherchia coli by in vitro. Minimum inhibitory concentrations (MIC) from the usage of an ethanol
extract in the curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.) for the growth of an Escherchia coli by
in vitro is 12,5% with average inhibition zone 9,77 mm. The results showed that the ethanol extract curcuma
heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.) had an effectiveness in inhibiting the growth of an Escherchia
coli, it showed inhibition zone diameter due to higher concentrations of the resistance is increasing. Analysis
of the test data with Kruskal-Wallis (sig) = 0,001 which is smaller than < 0,05. It means that there are
significant differences in the average diameter of an each concentration of ethanol extract of curcuma
heyneana rhizome in inhibiting (Curcuma heyneana Val.) the growth of Escherchia coli by in vitro.
K eywords : Antibacterial, Curcuma heyneana rhizome (Curcuma heyneana Val.), Minimum inhibitory
concentrations.
PENDAHULUAN
Infeksi merupakan masalah besar yang yang mulai resisten terhadap jenis bakteri ini.
menyedot perhatian dunia. Penyakit infeksi telah Menurut Okoli2 melakukan penelitian resistensi
menyebabkan kematian sebesar 13 juta orang di bakteri Escherichia coli pada beberapa
seluruh dunia setiap tahun, terutama di negara- antibakteri, dengan cara memberi antibakteri pada
negara yang sedang berkembang seperti ayam yang diinfeksi oleh Escherichiacoli.
Indonesia. Salah satu dari spesies bakteri Hasilnya menunjukkan bahwa bakteri ini sudah
penyebab infeksi adalah cukup resisten terhadap ampicillin, cotrimoxazole,
Escherichiacoli.Escherichia coli merupakan dan nalidixic acid. Beda lagi menurut Olson dkk.3
bagian dari flora saluran cerna yang normal pada yang meneliti resistensi antibakteri pada
manusia, tetapi juga merupakan penyebab umum Escherichiacoli yang diisolasi dari urin.
infeksi saluran kemih, diare, dan penyakit Mahasiswi dengan riwayat infeksi saluran kemih
lainnya1. 11,8% resistensi terhadap ciprofloxacin dan
Sebuah penelitian di India sebanyak 1.8% yang resisten terhadap
mengemukakan bahwa sejumlah obat antibakteri
Selain skrining fitokimia juga dilakukan warna hijau menunjukkan hasil positif. Reaksi
identifikasi keberadaan etanol, karena oksidasi alkohol dengan kalium bikromat dan
dikhawatirkan ekstrak kental rimpang temu giring asam sulfat pekat akan menghasilkan warna hijau
masih mengandung etanol yang dapat dari ion Cr3+ 15. Ekstrak yang telah ditambahkan
menghambat pertumbuhan bakteri sehingga akan kalium bikromat dan asam sulfat pekat tidak
mempengaruhi hasil uji.Pada identifikasi memberikan warna hijau (ekstrak tetap berwarna
keberadaan etanol dalam ekstrak, tidak tercium kuning jingga), hal ini menunjukkan bahwa
aroma etanol yang spesifik, hanya tercium bau ekstrak kental rimpang temu giring sudah tidak
rimpang temu giring. Penambahan kalium mengandung etanol.
bikromat dan asam sulfat pekat akan memberikan
Uji Daya Hambat Antibakteri Uji daya hambat ini dilakukan pada 10
Pengujian daya hambat antibakteri pada kelompok uji yang terdiri dari ekstrak rimpang
Esherichia coli secara in vitro dilakukan dengan temu giring dengan berbagai konsentrasi (100%,
metode difusi cakram yaitu penentuan daya 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,12%, 1,56% dan
hambat antibakteri dilihat berdasarkan diameter 0,78%), kontrol positif (seftriakson 30g) dan
zona hambat yang muncul disekitar cakram yang kontrol negatif (aquadest).Pada penelitian ini
berisi zat antibakteri. Setelah diinkubasi, diameter replikasi dilakukan sebanyak 3 kali, sehingga data
zona hambat jernih yang mengelilingi yang diperoleh sebanyak 30 data diameter zona
cakramdiukur sebagai nilai kekuatan hambat obat hambatan.Hasil uji daya hambatekstrak dengan
terhadap bakteri uji. Artinya semakin luas zona variasi konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 2.
hambat yang terbentuk menunjukkan semakin
efektif zat tersebut sebagai antibakteri.
Hasil uji daya hambat antibakteri ekstrak meningkatkan penghambatan pada pertumbuhan.
rimpang temu giring terhadap Escherichia coli Saat tingkat konsentrasi ekstrak rimpang temu
(Tabel 2) menunjukkan bahwa konsentrasi 100%, giring tinggi, ekstrak tersebut akan menjadi
50%, 25% dan 12,5% memberikan diameter zona kental, membuat laju difusi senyawa aktif menjadi
hambat, sedangkan konsentrasi 6,25%, 3,12%, berkurang. Oleh karena itu pada konsentrasi 100%
1,56% dan 0,78% tidak memberikan zona hambat dan 50% diameter zona hambat rata-rata yang
disekitar paper disk.. Tabel diatas memperlihatkan diperoleh memiliki perbedaan yang sangat sedikit
bahwa diameter zona hambat tertinggi diperoleh dibandingkan dengan konsentrasi 50% dan 25%.
pada konsentrasi 100%. Kenaikan diameter zona
hambat berbanding lurus dengan konsentrasi. Analisis Data
Semakin besar konsentrasi maka diameter zona Data diameter zona hambat yang
hambat yang dihasilkan juga semakin besar. Hal diperoleh dari berbagai kelompok perlakuan
ini disebabkan karena kuantitas komponen aktif dilakukan analisis normalitas dan homogenitas
yang bersifat sebagai antibakteri semakin banyak untuk menentukan uji yang digunakan apakah
dengan semakin tingginya konsentrasi ekstrak, parametrik atau non parametrik.Uji normalitas
sehingga kemampuannya dalam menghambat data dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk karena uji
pertumbuhan Escherichia coli juga semakin besar. Shapiro-Wilk digunakan untuk sampel yang
Menurut Kurniawan16 dalam Hidayati17 jumlahnya sedikit (kurang atau sama dengan 50)
menyatakan bahwa bila kecepatan daya hambat (Dahlan, 2013). Pada uji Shapiro-Wilk didapatkan
antibakteri dari sampel ke dalam medium lebih signifikansi < 0,05 maka diambil kesimpulan
rendah dari pada kecepatan pertumbuhan bakteri, bahwa distribusi data tidak normal. Hasil uji
maka peningkatan konsentrasi tidak akan normalitas bisa dilihat pada tabel 3 di bawah.
Menurut Dahlan (2013) Mann-Whitney U bermakna antar kelompok perlakuan dari uji non
Analysis digunakan untuk menentukan pada parametrik. Berikut ringkasaan hasil Mann-
kelompok mana terdapat perbedaan yang Whitney U Analysis :
100 50% 25% 12,5 6,25 3,12 1,56 0,78 Kontrol Kontro
% % % % % % Positif l
Negati
f
100% - 0,046 0,046 0,046 0,037 0,037 0,037 0,037 0,050 0,037
50% 0,04 - 0,043 0,043 0,034 0,034 0,034 0,034 0,046 0,034
6
25% 0,04 0,043 - 0,043 0,034 0,034 0,034 0,034 0,046 0,034
6
12,5% 0,04 0,043 0,043 - 0,034 0,034 0,034 0,034 0,046 0,034
6
6,25% 0,03 0,034 0,034 0,034 - 1,00 1,00 1,00 0,037 1,00
7
3,12% 0,03 0,034 0,034 0,034 1,00 - 1,00 1,00 0,037 1,00
7
1,56% 0,03 0,034 0,034 0,034 1,00 1,00 - 1,00 0,037 1,00
7
0,78% 0,03 0,034 0,034 0,034 1,00 1,00 1,00 - 0,037 1,00
7
Kontro 0,05 0,046 0,046 0,046 0,037 0,037 0,037 0,037 - 0,037
l 0
Positif
Kontro 0,03 0,034 0,034 0,034 1,00 1,00 1,00 1,00 0,037 -
l 7
Negatif
dan H1 diterima, yang berarti terdapat aktivitas bahwa terdapat perbedaan diameter zona hambat
daya hambat ekstrak etanol rimpang temu giring diantara 10 kelompok perlakuan. Ringkasan hasil
(Curcuma heyneana Val.)terhadap pertumbuhan uji Kruskal-Wallis dapat dilihat pada tabel 6.
Escherichia coli. Maka dapat diambil kesimpulan
Menurut Dahlan18 Mann-Whitney U Analysis kelompok perlakuan dari uji non parametrik.
digunakan untuk menentukan pada kelompok Berikut ringkasaan hasil Mann-Whitney U
mana terdapat perbedaan yang bermakna antar Analysis :
100 50% 25% 12,5 6,25 3,12 1,56 0,78 Kontrol Kontro
% % % % % % Positif l
Negati
f
100% - 0,046 0,046 0,046 0,037 0,037 0,037 0,037 0,050 0,037
50% 0,0 - 0,043 0,043 0,034 0,034 0,034 0,034 0,046 0,034
46
25% 0,0 0,043 - 0,043 0,034 0,034 0,034 0,034 0,046 0,034
46
12,5% 0,0 0,043 0,043 - 0,034 0,034 0,034 0,034 0,046 0,034
46
6,25% 0,0 0,034 0,034 0,034 - 1,00 1,00 1,00 0,037 1,00
37
3,12% 0,0 0,034 0,034 0,034 1,00 - 1,00 1,00 0,037 1,00
37
1,56% 0,0 0,034 0,034 0,034 1,00 1,00 - 1,00 0,037 1,00
37
0,78% 0,0 0,034 0,034 0,034 1,00 1,00 1,00 - 0,037 1,00
37
Kontrol 0,0 0,046 0,046 0,046 0,037 0,037 0,037 0,037 - 0,037
Positif 50
Kontrol 0,0 0,034 0,034 0,034 1,00 1,00 1,00 1,00 0,037 -
Negatif 37
SIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu: 2. Konsentrasi hambat minimum (KHM) ekstrak
1. Ekstrak etanol rimpang temu giring (Curcuma etanol rimpang temu giring (Curcuma
heyneana Val.) mempunyai daya hambat heyneana Val.) terhadap pertumbuhan
terhadap pertumbuhan Escherichia coli pada Escherichia coli yaitu 12,5% dengan rata-rata
konsentrasi 100%, 50%, 25% dan 12,5% diameter zona hambat sebesar 9,77 mm.
dengan rata-rata diameter zona hambat 14,97
mm, 14,07 mm, 12,47 mm, dan 9,77 mm
DAFTAR PUSTAKA
1. Brooks, G.F., Carroll, K.C., Butel, J.S., Morse, S.A., Mietzner, T.A., 2012, Jawetz, Melnick & Adelberg
Mikrobiologi Kedokteran Edisi 25, diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Nugroho, A.W., dkk, EGC,
Jakarta, Indonesia.
2. Okoli, C, 2005, Anti Microbial Resistence Profile of E. coli Isolates from Tropical Free Range
Chicken,Online Journal of Health and Allied Sciences, 4 (3): 2, viewed 30 March 2014, Available from:
http://www.ojhas.org/issue15/2005-3-3.htm
3. Olson, R.P., Harrel, L.J., Kaye, K.S., 2009, Antibiotic Resistance in Urinary Isolates of Escherichia coli
from College Women with Urinary Tract Infections American Society For Microbiology, 53 (3): 1285-
1286, viewed 4 March 2014.Available from: http://aac.asm.org/content/53/3/1285.long
4. Muhlisah, F., 2000, Temu-temuan dan Empon-empon Budi Daya dan Manfaatnya, Kinisius, Yogyakarta,
Indonesia.
5. Santoso, H.B. 2008, Ragam dan Khasiat Tanaman Obat, Agro Media, Yogyakarta, Indonesia.
6. Meilisa. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri dan Formulasi Dalam Sediaan Kapsul Dari Ekstra Etanol
Rimpang Tumbuhan Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza, roxb) Terhadap Beberapa Bakteri. Medan.
Universitas Sumatera Utara.
7. Rahmatillah, M., 2014, Uji Daya Hambat Perasan Buah Jeruk Siam Banjar (Citrus Reticulata) Terhadap
Pertumbuhan Karya Tulis Ilmiah, Akademi Farmasi Isfi Banjarmasin.
8. Herawati, D., Nraida,L., dan Sumarno, Cara Produksi Simplisia yang Baik, ITB dan Seafast Center,
Indonesia.
9. Depkes RI, 2009, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 261/MENKES/SK/IV/2009
tentang Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama, Jakarta, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
10. Kristanti, A.N., Aminah, N.S., Tanjung, M., Kurniadi, B., 2006, Buku Ajar Fitokimia, Airlangga
University Press, Surabaya, Indonesia.
11. Depkes RI, 1977, Materia Medika Indonesia Jilid 1-4, Jakarta, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
12. Sulastri, T. 2009, Analisis Kadar Tanin Ekstrak Air dan Ekstrak Etanol pada Biji Pinang Sirih (Areca
cathecu L), Jurnal Chemica, 10: 59-63.
13. Sirait, M. 2007, Penuntun Fitokimia dalam Farmasi, ITB, Bandung, Indonesia.
14. Indriyani, L., Soetjipto, H., Sihasale, L., 2006, Skrining Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak Daun
Pecut Kuda (Stachytarpheta jamaicensis L. vahl) Terhadap Larva Udang Artemia Salina leach, Salatiga,
Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana.
15. Sulistyawati, 2011, Pemanfaatan Limbah Bonggol Pisang sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
sebagai Alternatif Energi Terbaru, Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta.
16. Kurniawan, A., 2006, Pengujian Aktivitas Antibakteri dan Antioksidan secara In Vitro pada Ekstrak
Herba Pegagan (Centella asiatica) Segar, Ekstrak Bubuk Kering dan Effervescent Pegagan, Skripsi,
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang cit.
17. Hidayati, N., 2009, Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Daun Teh (Camelia Sinesis L, v. assamica)
Tua Hasil Ekstraksi Menggunakan Pelarut Akuadest dan Etanol, Skripsi, Universitas Islam Negeri
Malang, Malang.
18. Dahlan, M., S.,2013, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta.
ABSTRACT
Rhodamine B is a synthetic dye used to dye the textile industry. Rhodamine B is presence in food can
cause poisoning, skin irritation, lung irritation, eye irritation, throat irritation, nasal irritation, and cause
liver damage if exposed to high concentrations. Samples taken from the red cake seller in the Antasari
Banjarmasin market. This research is a descriptive study. The sampling technique used was accidental
sampling. Rhodamine B on a method of identification of samples using Thin Layer Chromatography and
Visible spectrophotometry. Samples were prepared using the absorption method wool. The resulting solution
will be used as identification in Thin Layer Chromatography using silica gel GF 254 plates with a mobile
phase of n-butanol : ethyl acetate : ammonia (10:4:5). Rhodamine B assay performed visible
spectrophotometry at a wavelength of 544 nm.
Results of identification were putri ayu cake, Apam cake, Kukus cake A, Bolu cake, Singkong cake, and
Kukus cakes B, shows that 1 positive samples containing Rhodamine B is a Apam cake. After that, the assay
of Rhodamine B was performed in the sample apam cake and obtained for 0,4229 0,1157 mg of
Rhodamine B in 1 piece of red cake.
PENDAHULUAN
Belakang dikarenakan pewarna alami memiliki warna yang
Kue merupakan salah satu makanan ringan mudah pudar, penggunaannya tidak praktis, dan
yang diminati oleh masyarakat, karena harga kue tidak cocok digunakan dalam produksi pangan
yang murah, mudah didapat, dan cita rasa yang skala industri, sedangkan pewarna sintesis
cocok dengan selera masyarakat. Penampilan kue memiliki warnanya lebih menarik, harga yang
termasuk bentuk dan warnanya dapat menambah relatif murah, penggunaannya praktis, dan tidak
daya tarik masyarakat. Untuk itulah para produsen mudah pudar, namun ada beberapa produsen yang
sering menambahkan bahan tambahan pangan. dengan sengaja menambahkan pewarna sintesis
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 yang dilarang, contohnya seperti pewarna
Tahun 2012, menyatakan bahwa Bahan Rhodamin B.
Tambahan Pangan (BTP) merupakan bahan yang Ciri-ciri makanan yang mengandung
ditambahkan kedalam pangan untuk Rhodamin B dapat dilihat dari warna pada
mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. makanan tersebut yang lebih terang, warna yang
Penggunaan bahan tambahan pangan beragam, tidak homogen, warnanya lebih lengket dibanding
seperti pengawet, pemberi rasa dan dengan pewarna alami, dan adanya sedikit rasa
pewarna.Masyarakat Indonesia biasa pahit1. Rhodamin B adalah bahan kimia yang
menggunakan bahan alami sebagai pewarna digunakan untuk pewarna pada industri tekstil
makanan, misalnya kunyit untuk warna kuning, plastik dan keberadaan Rhodamin B dalam
daun suji untuk warna hijau, dan jambu untuk makanan dengan dosis yang tinggi bisa
warna merah. Seiring dengan perkembangan menyebabkan kanker, keracunan, iritasi paru-
zaman, penggunaan pewarna alami mulai paru, iritasi mata, tenggorokan, hidung dan usus2.
tergantikan dengan pewarna makanan sintesis, Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
contohnya karmosin dan pounceau 4R. Hal ini Paulina V.Y. Yamlean (2011) pada jajanan kue
yang berwarna merah muda yang beredar di Kota yang berada di pasar Antasari Banjarmasin, maka
Manado menunjukkan bahwa 5 dari 16 sampel dilakukanlah penelitian untuk mengetahui
jajanan kue yang berwarna merah muda positif keberadaan dan kadar pewarna Rhodamin B pada
mengandung pewarna Rhodamin B. kue yang berwarna merah yang dijual di pasar
Berdasarkan survei pendahuluan yang telah Antasari Kota Banjarmasin.
dilakukan, terdapat 6 penjual kue berwarna merah
merah yang tersebar pada masing-masing penjual terbentuk melalui pecahnya ikatan S-S dari sistina
kue tersebut, lalu kue berwarna merah yang akan karena adanya asam asetat. Setelah ikatan tersebut
diteliti dimasukkan ke dalam plastik klip dan terbuka, maka Rhodamin B dapat masuk kedalam
diberi kode agar sampel tidak tertukar. benang wol dan berikatan dengan COO dari
Sampel dilakukan preparasi terlebih dahulu asam aspartik juga berikatan dengan +NH3 dari
sebelum dilanjutkan ke tahap penotolan pada plat Arginin3.
KLT. Sampel dipreparasi dengan metode serapan Preparasi sampel menggunakan metode
benang wol, prinsipnya adalah penarikan zat serapan benang wol ini bertujuan untuk
warna dari sampel ke dalam benang wol dalam memisahkan zat-zat pengganggu yang ada pada
suasana asam dengan pemanasan dilanjutkan Rhodamin B yang dapat mengganggu tahap
dengan pelunturan warna oleh suatu basa. Benang identifikasi Rhodamin B dengan menggunakan
wol tersusun atas ikatan peptida yang di dalamnya metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan
terdapat ikatan sistina, asam glutarnat, lisin, asam penetapan kadar menggunakan Spektrofotometri
aspartik dan arginin. Rhodamin B dapat melewati Visibel. Gambar mekanisme peningkatan
lapisan kutikula melalui perombakan sestina Rhodamin B dalam benang wol dapat dilihat pada
menjadi sistein dengan suatu asam. Sistein gambar 1.
Preparasi sampel dilakukan dengan dengan zat-zat lain yang terdapat pada kue
menggerus halus sampel kue berwarna merah lalu berwarna merah.
ditimbang sebanyak 10 gram masukkan kedalam Sampel yang telah didiamkan satu malam
gelas erlenmeyer, kemudian direndam semalaman disaring filtratnya dengan kertas saring, kemudian
dengan larutan ammonia 2% yang dilarutkan larutan dipanaskan diatas kompor listrik dengan
dalam etanol 70%. Pelarut yang digunakan adalah suhu 80 C sampai semua larutan ammonia 2%
pelarut dengan suasana basa, hal tersebut menguap, sehingga diperoleh filtrat dari sampel.
dikarenakan suatu basa dapat melunturkan atau Kemudian sampel ditambahkan larutan asam yang
melarutkan warna Rhodamin B yang terdapat dibuat dengan mencampurkan 10 ml air dan 5 ml
pada kue berwarna merah. Larutan ammonia asam asetat 10%, lalu dimasukkan 15 cm benang
berfungsi untuk memisahkan Rhodamin B yang wol dan didihkan selama 10 menit. Larutan asam
terdapat pada kue dengan bantuan pelarut alkohol. asetat berfungsi untuk memecah ikatan sistina
Walaupun Rhodamin B adalah suatu senyawa yang terdapat pada benang wol menjadi sistein
yang sukar larut (1:100-1.000) dalam alkali dan dengan bantuan pemanasan maka akan
sangat larut dalam alkohol, namun kadar mempercepat reaksi tersebut sehingga Rhodamin
Rhodamin B yang terdapat dalam sampel hanya B dapat menyerap ke dalam benang wol.
sedikit yaitu sebesar 0,423 mg dalam 1 kue, Benang wol yang telah dididihkan lalu
sehingga Rhodamin B dapat larut dalam ammonia dicuci, hal tersebut bertujuan untuk
yang dilarutkan dalam etanol dan memisah menghilangkan larutan asam yang
berkemungkinan ikut tertarik ke dalam benang Jarak antar totol adalah 1 cm dan jarak garis
wol dan untuk menghindari kemungkinan bawah plat 1 cm, sedangkan garis atas 0,5 cm.
terjadinya reaksi kimia yang akan timbul dengan Terdapat Sampel yang telah ditotolkan dibiarkan
pelarut selanjutnya. Setelah bersih benang wol hingga mengering, lalu dielusi dalam chamber
dilarutkan dengan larutan ammonia 10% dalam yang telah dijenuhkan dengan fase gerak berupa
etanol 70% kemudian didihkan selama lebih n-butanol : etil asetat : ammonia (10 : 4 : 5).
kurang 2 menit. Rhodamin B yang berada dalam Kemudian plat KLT yang telah terelusi sempurna
benang wol akan luntur atau larut dalam suatu diangkat dan dikeringkan, lalu diamati secara
basa, dan larutan ini lah yang akan digunakan visual bercak akan berwarna merah muda dan di
sebagai cuplikan untuk dilanjutkan ke tahap bawah sinar UV 254 nm berflurosensi orange dan
identifikasi menggunakan Kromatografi Lapis di bawah sinar UV 366 nm berflurosensi merah
Tipis dan penetapan kadar dengan muda.
Spektrofotometri Visibel. Hasil identifikasi Rhodamin B pada kue
berwarna merah menunjukkan bahwa dari 6
Hasil Identifikasi Rhodamin B menggunakan sampel yang diuji, terdapat 1 sampel yang positif
Kromatografi Lapis Tipis mengandung Rhodamin B, yaitu sampel kue apam
Pengujian menggunakan metode dengan kode B. Gambar plat KLT dengan sampel
Kromatografi Lapis Tipis dilakukan dengan kue putri ayu dengan kode A dan sampel kue
menotolkan sampel pada plat, dalam 1 plat KLT apam dengan kode B dapat dilihat pada gambar
terdapat 8 totolan yaitu 1 totol kontrol positif, 3 4.2 secara visual, lampu UV 254 nm dan 366 nm,
totol untuk sampel pertama, 3 totol untuk sampel sedangkan untuk perhitungan nilai faktor retensi
ke dua dan 1 totol untuk kontrol negatif. atau nilai Rfsampel kode B dapat dilihat pada
Pengujian ini dilakukan 3 replikasi atau 3 tabel 1.
pengulangan yang bertujuan untuk mempertegas
atau memperjelas hasil dari pengujian sampel.
(I) (II)
(III)
Berdasarkan gambar pada 2 dapat dilihat sampel dengan nilai Rfkontrol positif Rhodamin B
bahwa sampel dengan kode B memberikan bercak sebagai pembanding, dan dapat dilihat
warna merah muda di plat KLT, bercak pada perhitungan nilai Rf pada tabel 1 yang
lampu UV 254 nm terlihat berflurosensi warna menunjukkan bahwa selisih nilai Rfantara sampel
orange muda, untuk lampu UV 366 nm terlihat kode B dan larutan Rhodamin B tidak terlalu jauh,
jelas berflurosensi warna merah muda. Terlihat yaitu diperoleh nilai Rfkontrol positif Rhodamin B
pada gambar 2 timbul 2 bercak berwarna merah sebesar 0,692 sedangkan untuk sampel kode B
muda diatas lintasan sampel kode B replikasi ke- yang positif mengandung Rhodamin B memiliki
3, karena bercak yang paling atas tidak sejajar nilai Rf yang sama untuk ketiga replikasi yaitu
dengan bercak kontrol positif maka diduga bercak sebesar 0,653.
tersebut adalah zat pengotor yang terdapat pada Gambar hasil identifikasi sampel kue kukus
sampel. Hasil warna bercak secara visual, lampu dengan kode C dan sampel kue bolu dengan kode
UV 254 nm dan 366 nm sesuai dengan penelitian D dengan menggunakan plat KLT dilihat secara
yang dilakukan oleh Wahyu Utami dan Andi visual, lampu UV 254 nm dan 366 nm dapat
Suhendi3. dilihat pada gambar 3, sedangkan untuk
Perhitungan nilai faktor retensi atau nilai perhitungan nilai Rfatau nilai faktor retensi dapat
Rfdilakukan untuk memperkuat hasil identifikasi dilihat pada tabel 2.
(I) (II)
(III)
Gambar 3. Plat Kromatografi Lapis Tipis pada sampel kode C dan D
Keterangan gambar 3 : ( I ) Sampel C dan D setelah selesai dielusi
( II ) Sampel C dan D pada lampu UV 245 nm
( III ) Sampel C dan D pada lampu UV 366 nm
Berdasarkan hasil gambar pada 3 dapat ada yang mengandung Rhodamin B maka hanya
dilihat bahwa sampel dengan kode C dan D tidak nilai Rf larutan Rhodamin B yang dapat dihitung
memberikan bercak warna merah muda di plat yaitu sebesar 0,714.
KLT, dan tidak terlihat flurosensi warna pada Gambar hasil identifikasi sampel kue
lampu UV 254 nm atau pada lampu UV 366 nm. singkong dengan kode E dan sampel kue kukus
Dari hasil tersebut dinyatakan bahwa sampel kode dengan kode F dengan menggunakan plat KLT
C dan D tidak mengandung Rhodamin B, dan dilihat secara visual, lampu UV 254 nm dan 366
perhitungan nilai Rflarutan Rhodamin B pada plat nm dapat dilihat pada gambar 4, sedangkan untuk
dengan kode sampel C dan D dapat dilihat pada perhitungan nilai Rfatau nilai faktor retensi dapat
tabel 2, karena kedua sampel pada plat ini tidak dilihat pada tabel 3.
(I) (II)
(III)
Gambar 4. Plat Kromatografi Lapis Tipis pada sampel kode E dan F
Keterangan gambar 4 : ( I ) Sampel E dan F setelah selesai dielusi
( II ) Sampel E dan F pada lampu UV 245 nm
( III ) Sampel E dan F pada lampu UV 366 nm
Hasil identifikasi pada gambar 4 dapat dilihat F dapat dilihat pada tabel 3 dan diperoleh nilai Rf
bahwa sampel dengan kode E dan F tidak larutanRhodamin B yaitu sebesar 0,685.
memberikan bercak warna merah muda di plat Berdasarkan hasil pengujianidentifikasi
KLT, dan tidak terlihat flurosensi warna pada Rhodamin B menggunakan metode Kromatografi
lampu UV 254 nm atau pada lampu UV 366 nm, Lapis Tipis yang dilakukan di Laboratorium
hanya kontrol positif yang memberikan bercak Kimia Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin
warna. Dari hasil tersebut dinyatakan bahwa terhadap sampel kue berwarna merah yang
sampel kode E dan F tidak mengandung beredar di pasar Antasari Kota Banjarmasin
Rhodamin B, dan perhitungan nilai Rflarutan gambar 5.
Rhodamin B pada plat dengan kode sampel E dan
16,67 %
83,34 % Positif
Negatif
Hasil dari gambar 5 menyatakan bahwa dari 6 maka akan diperoleh seri konstentrasi 10; 15; 20;
sampel yang diuji, diperoleh nilai sebanyak 16,67 25; 30; dan 35 ppm.
% untuk sampel positif mengandung Rhodamin B Penentuan panjang gelombang maksimum
dan sebanyak 83,34 % untuk sampel yang dilakukan pada larutan Rhodamin 10 ppm dengan
dinyatakan negatif mengandung Rhodamin B. Hal rentang panjang gelombang 400-800 nm. Hal ini
tersebut mungkin dikarenakan pedagang di pasar dikarenakan larutan Rhodamin B merupakan
Antasari Kota Banjarmasin masih banyak yang larutan berwarna. Menurut Gandjar dan Rohman4,
menggunakan pewarna yang diperbolehkan sinar tampak mempunyai panjang gelombang
seperti Karmoisin dan merah allura, atau 400-750 nm. Larutan Rhodamin B 10 ppm yang
menggunakan bahan pewarna alami seperti telah selesai dibuat, ditunggu selama 19-21 menit
Karmin dan merah bit. terlebih dahulu, karena pada rentang waktu
tersebut diperoleh pengukuran larutan Rhodamin
3. Hasil Penetapan Kadar Rhodamin B B yang stabil, lalu dimasukkan ke dalam
menggunakan Spektrofotometri Visibel spektrofotometri visibel untuk diukur serapan
a. Penentuan panjang gelombang maksimal panjang gelombang maksimum dengan
Larutan baku Rhodamin B dibuat dalam menggunakan larutan blanko. Larutan blanko
berbagai seri konstentrasi pengukuran yaitu 10; yang digunakan adalah pelarut dari Rhodamin B
15; 20; 25; 30; dan 35 ppm, dilakukan dengan yaitu etanol 96 % dan fungsi adalah untuk
cara mengencerkan dari larutan Rhodamin B 2000 menghilangkan serapan dari zat yang tidak diuji
ppm menggunakan pipet mikro diambil sebanyak atau pelarut agar tidak mempengaruhi serapan
125 l; 188 l; 250 l; 313 l; 375 l; dan 438 l dari Rhodamin B. Kurva panjang gelombang
lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml larutan Rhodamin B 10 ppm dapat dilihat pada
ditambahkan etanol 96 % hingga batas tanda, gambar 1.6.
Konsentrasi untuk sampel B1 adalah 5,4397 hanya berkisar 0,3072-0,5386 mg dalam satu buah
ppm, konsentrasi sampel B2 adalah 6,0862 ppm, kue berwarna merah, sehingga dapat dikatakan
dan untuk konsentrasi sampel B3 adalah 4,8783 bahwa kue berwarna merah yang beredar di pasar
ppm dan diperoleh kadar Rhodamin B dalam rata- Antasari Kota Banjarmasin masih ada yang
rata 5 buah sampel kue apam diperoleh sebesar mengandung pewarna yang dilarang yaitu
0,4229 0,1157 mg dalam satu buah kue atau Rhodamin B, data dapat dilihat pada tabel 5.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, merah yang beredar di pasar Antasari Kota
maka dapat diambil kesimpulan, yaitu: Banjarmasin, diperoleh 1 sampel yang positif
a. Hasil identifikasi dengan menggunakan mengandung Rhodamin B, yaitu sampel
metode Kromatografi Lapis Tipis yang dengan kode B (sampel kue apam).
dilakukan terhadap 6 sampel kue berwarna
DAFTAR PUSTAKA
1. Wijaya, H.C. dan Mulyono, N., 2009, Bahan Tambahan Pangan Pewarna, hal 86, IPB Press, Bogor,
Indonesia.
2. Sari, R.W., 2008, Dangerous Junk Food, hal 22-23 dan 62-63, O2, Yogyakarta, Indonesia.
3. Utami, W., dan Suhendi, A., 2009, Analisis Rhodamin B dalam jajanan pasar dengan metode
Kromatografi Lapis Tipis, Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi, Vol. 10 no. 2, hal 150-151.
4. Ghanjar, I.G. dan Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, hal 12, 222-223, 243, 252-256 dan 262,
Pustaka Belajar, Yogyakarta, Indonesia.
5. Putri, W.K.A., 2009, Pemeriksaan Penyalahgunaan Rhodamin B sebagai Pewarna pada Sediaan Lipstik
yang beredar di Pusat Pasar Kota Medan, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan,
Indonesia.
Eka Kumalasari
ABSTRACT
Crackers are made from tapioca flour batter mixed with flavorings and colorings, still many
outstanding crackers that contain ingredients banned dye Rhodamine B. Rhodamine B is a chemical used for
red dye in the textile industry and plastic. Rhodamine B can cause cancer, poisoning, lung irritation, sore
eyes, and sore throat. This study aims to identify and determination the levels of Rhodamine B in circulating
red crackers Antasari market Banjarmasin.
The population is that sold in the red crackers that sold in Antasari market Banjarmasin.. The
sampling is technique incidental sampling , that is based on chance, so any population by chance met with
researchers can be used as a sample. Identification of Rhodamine B was done by Thin Layer
Chromatography (TLC) by using the stationary phase silica GF 254 and mobile phase is elution solvent is n-
butanol, ethyl acetate, ammonia (10:4:5). Then detected with a UV lamp 254 nm and 366 nm. While for the
determination of levels using Vis spectrophotometry at a wavelength of 544 nm.
The results showed that the samples of 6 found one sample containing Rhodamine B, namely
samples 5 (cassava crackers matches) and obtained values of 7,25 3,8640 levels mg / kg. Based on these
results, Rhodamine B still found in crackers that sold in the market Antasari Banjarmasin.
PENDAHULUAN
Kerupuk adalah makanan ringan yang pewarna alami dikarenakan produsen ingin
dibuat dari adonan tepung tapioka dicampur mendapatkan untung yang lebih banyak.
bahan perasa. Cara membuatnya sangat gampang, Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
bahan bakunya pun melimpah ruah. Kerupuk Nomor 33 Tahun 20122, menyatakan bahwa
sangat garing dan cocok dijadikan pelengkap Bahan Tambahan Pangan (BTP) merupakan
sajian masakan indonesia, selain itu kerupuk juga bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk
dapat dinikmati sebagai cemilan ketika nonton mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Banyak
televisi1. Salah satu pasar yang banyak menjual produsen kerupuk yang menambahkan bahan
kerupuk berwarna merah adalah pasar Antasari tambahan pangan yang aman, tidak jarang juga
Kota Banjarmasin. ada bahan tambahan yang dilarang misalnya zat
Kerupuk juga tidak lepas dari masalah pewarna Rhodamin B. Pemakaian zat pewarna
keamanan makanan jajanan. Adanya produsen berbahaya untuk bahan pangan telah ditetapkan
yang masih menggunakan Rhodamin B pada dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 33 Tahun
produknya disebabkan oleh pengetahuan yang 20122 tentang bahan tambahan pangan, bahwa
tidak memadai mengenai bahaya penggunaan Rhodamin B merupakan bahan tambahan pangan
bahan kimia tersebut pada kesehatan dan juga (BTP) yang dilarang penggunaannya dalam
karena tingkat kesadaran masyarakat yang masih makanan.
rendah. Selain itu, Rhodamin B sering digunakan Rhodamin B merupakan zat warna
sebagai pewarna karena harganya relatif lebih sintetik umum yang digunakan sebagai pewarna
murah, warna yang dihasilkan lebih menarik dan tekstil. Rhodamin B merupakan zat warna
tingkat stabilitas warnanya lebih baik dari pada tambahan yang dilarang penggunaannya dalam
produk-produk pangan. Rhodamin B bersifat berwarna merah muda sampai merah cerah dan
karsinogenik sehingga dalam penggunaan jangka jika diperhatikan terdapat pewarna yang
panjang dapat menyebabkan kanker3. menggumpal /tidak merata pada makanan
Menurut penelitian sebelumnya tentang tersebut. Penelitian ini menggunakan uji
identifikasi Zat Pewarna Rhodamin B dalam kromatografi kertas untuk menilai kandungan
Jajanan Yang di Pasarkan di Pasar Traditional Rhodamin B dalam sampel, selanjutnya sampel-
Kota Bandar Lampung4. Menyebutkan bahwa sampel yang telah melalui tahap ekstraksi dengan
hasil identifikasinya bahwa Rhodamin B prosedur standar di ukur dengan menggunakan
ditemukan pada jajanan sebanyak 50% atau 15 Spektrofotometri Visible untuk menilai
dari 30 sampel. Hal ini menunjukkan masih kandungan Rhodamin B dalam sampel.
banyaknya penggunaan zat pewarna terlarang Berdasarkan latar belakang yang sudah
Rhodamin B di gunakan pada jajanan terutama dijelaskan di atas maka dilakukan penelitian untuk
jajanan yang berwarna merah. Jajanan yang mengetahui keberadaan pewarna Rhodamin B
mengandung Rhodamin B adalah kerupuk pada kerupuk yang berwarna merah yang dijual
kelanting, agar-agar kembang gula/permen dan di pasar Antasari Kota Banjarmasin.
mutiara (sering jadi campuran es), jajanan
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah pasar Antasari Kota Banjarmasin dilakukan
penelitian deskriptif, yaitu dengan melakukan dengan metode kromatografi lapis tipis ( KLT).
observasi pada kerupuk yang dicurigai Silika GF 254 sebagai fase diam dan sebagai fase
mengandung senyawa Rhodamin B dan gerak atau larutan elusinya yaitu n- butanol, etil
menetapkan kadarnya. Penelitian ini dilakukan asetat, ammonia (10:4:5). Amati warna secara
pada tanggal 12 mei - 12 juni 2014. Penelitian ini visual dan dibawah sinar UV. Jika secara visual
dilakukan di Laboratorium Kimia AKADEMI noda berwarna merah jambu dan dibawah sinar
FARMASI ISFI Banjarmasin. UV 254nm warna kuning dan 366nm merah
Populasi dalam penelitian ini adalah muda dan nilai Rf sampel sama dengan nilai Rf
seluruh kerupuk berwarna merah yang beredar di larutan baku Rhodamin B maka hal ini
pasar Antasari Kota Banjarmasin. Dimana pasar menunjukkan adanya Rhodamin B, sehingga
Antasari ini merupakan pasar sektor 1 yaitu pasar penelitian dapat dilanjutkan ke tahap penetapan
yang banyak menjual kerupuk yang berwarna kadar Rhodamin B menggunakan
merah, di pasar ini terdapat 6 sampel kerupuk spektrofotometri visible. Setiap sampel yang
berwarna merah dianalisa dilakukan replikasi sebanyak 3 kali.
Identifikasi keberadaan Rhodamin B pada
kerupuk yang berwarna merah yang dijual di
sempurna kemudian plat KLT diangkat dan 254nm warna kuning dan 366nm merah muda hal
keringkan. Ketika pelarut naik akibat dari aksi ini menunjukkan adanya Rhodamin B7.
kapiler pada adsorben, komponen sampel terbawa Berdasarkan Tabel 1 dibawah ini dapat
dengan kecepatan yang berbeda dan dapat dilihat dilihat bahwa dari 6 sampel dengan replikasi 3
sebagai deretan titik-titik setelah pelatnya kali yang telah diuji terdapat satu sampel yang
dikeringkan dan diwarnai atau dilihat dibawah positif mengandung Rhodamin B karena nilai Rf
cahaya ultraviolet6. Amati warna secara visual sampel sama dengan Rf standar Rhodamin B.RF
dan dibawah sinar UV. Jika secara visual noda (faktor retensi) adalah jarak yang digerakkan oleh
berwarna merah jambu dan dibawah sinar UV senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang
digerakkan oleh pelarut dari titik asal8.
Tabel 1. Hasil pemeriksaan Identifikasi Rhodamin B pada sampel menggunakan Kromatografi Lapis
Tipis (KLT)
Deteksi
Sampel Harga Rf Dilihat di sinar UV 254 nm Dilihat di sinar UV 366
Rhodamin B 3,5 Merah Muda Merah Orange
= = 0,77
4,5
A1 0 - -
A2 0 - -
A3 0 - -
Rhodamin B 3,5 Merah Muda Merah Orange
= = 0,77
4,5
B1 0 - -
B2 0 - -
B3 0 - -
Rhodamin B 3,9 Merah Muda Merah Orange
= = 0,79
4,9
C1 0 - -
C2 0 - -
C3 0 - -
Rhodamin B 3,9 Merah Muda Merah Orange
= = 0,79
4,9
D1 0 - -
D2 0 - -
D3 0 - -
Rhodamin B 3,3 Merah Muda Merah Orange
= = 0.66
5
E1 3,3 Merah Muda Merah Orange
= = 0.66
5
E2 3,3 Merah Muda Merah Orange
= = 0.66
5
E3 3,3 Merah Muda Merah Orange
= = 0.66
5
Rhodamin B 3,3 Merah Muda Merah Orange
= = 0.66
5
F1 0 - -
F2 0 - -
F3 0 - -
Keterangan :A = Sampel 1 1 = Replikasi 1
B = Sampel 2 2 = Replikasi 2
C = Sampel 3 3 = Replikasi 3
D = Sampel 4 + = Positif
E= Sampel 5 - = Negatif
F= Sampel 6
Hasil penetapan kadar pada sampel yang Rhodamin B yang secara sengaja
positif mengandung Rhodamin B setelah dibaca ditambahkan pada kerupuk menambah kualitas
pada alat spektrofotometri UV Vis dengan pewarna agar lebih menarik sehingga konsumen
replikasi sebanyak 3 kali setiap sampelnya yaitu lebih tertarik untuk membelinya, selain itu banyak
dengan jumlah sampel 10 gr yang akan penjual masih menggunakan Rhodamin B yang
dipreparasi kemudian didapat hasil kadar rata-rata praktis digunakan dan harganya relatif murah
sebanyak 7,25 3,8640 mg/kg kerupuk serta tersedia dalam kemasan kecil di pasaran
mengandung Rhodamin B. Berdasarkan sehingga memungkinkan masyarakat umum untuk
perhitungan replikasi sampel menurut Federer dari membelinya. Jadi diharapkan bagi konsumen agar
6 sampel didapat sebanyak 3 replikasi. lebih hati-hati dalam mengkonsumsi kerupuk
yang beredar di pasar Antasari Kota Banjarmasin.
SIMPULAN
Dari hasil identifikasi dengan penetapan kadar sampel ke 5 dengan
menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis menggunakan metode Spektrofotometri UV-Vis
(KLT) dari 6 sampel dengan 3 replikasi didapat kadar rata-rata Rhodamin B pada sampel
ditemukan 1 sampel positif mengandung (kerupuk korek api) sebesar 7,25 3,8640 mg/kg
Rhodamin B yaitu sampel ke 5. Dari hasil kerupuk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Team, JB. 2010, Bisnis Rumah Tangga Cemilan dan Minuman,hal. 113,Jogya Bangkit
Publisher,Yogyakarta, Indonesia.
2. Kementrian Kesehatan, 2012, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan
Tambahan Pangan , Jakarta, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
3. Utami, W., dan Suhendi, A ., 2009, Analisis Rhodamin B Dalam Jajanan Pasar Dengan Metode
Kromatografi Lapis Tapis, Penelitian Sains & Toksikologi, Jurnal.Vol. 10, No 2, hal. 148-155 Fakultas
Farmasi Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
4. A, Permatasari, T. Susantiningsih, E. Kurniawati. 2013-2014, Identifikasi Zat Pewarna Rhodamin B
dalam Jajanan yang Dipasarkan Di Pasar Traditional Kota Bandar Lampung, Jurnal. hal. 30. Medical
Faculty of Lampung University
5. Djalil, A.D., Hartanti, D., Rahayu, W.S., Prihatin, R., Hidayah, N.,2005, Identifikasi Zat Warna Kuning
Metanil (Metanil Yellow) dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada Berbagai Komposisi
Larutan Pengembang, Jurnal Farmasi, Vol. 3, No.2, hal. 28-29, Fakultas Farmasi UMP,Purwokerto
6. Suwawinarta, N. 2002, Senarai Istilah Kedokteran Gigi,hal.38, EGC, Jakarta, Indonesia.
7. Putri, W.K. A., 2009, Pemeriksaan Penyalahgunaan Rhodamin B Sebagai Pewarna Pada Sediaan Lipstik
yang Beredar di Pusat Pasar Kota Medan. Skripsi. Fakultas Farmsi Universitas Sumatera Utara, Medan.
8. Sastrohamidjojo, H. 2005, Kromatografi, hal. 34, Liberti, Yogyakarta, Indonesia.
9. Ghanjar, I.G. dan Rohman, A. 2007, Kimia Farmasi Analisis, hal. 1 dan hal. 252-256, Pustaka Belajar,
Yogyakarta, Indonesia.
ABSTRACT
OBJECTIVE: This study aimed to determine the characteristics of the water extract of leaves puguntano
(Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) Using spectroscopic methods and phytochemical screening.
METHODOLOGY: phytochemical screening performed to analyze compounds alkaloids, flavonoids,
glycosides, anthraquinone glycosides, saponins, tannins, cyanogenic glycosides, and triterpenoids / steroids.
Analyses were performed using FTIR spectrophotometer (Shimadzu) with IR Solution software. The
wavelength is set at 4000 - 400 cm-1 with a resolution of 4 cm-1 and 16 scanner.
RESULTS: Puguntano leaf water extract contains flavonoids, glycosides, saponins, tannins, steroids, and
terpenoids. Infrared spectrum of puguntano leaf aqueous extract showed a O - H fuctional group at 3313.71
cm-1, C - H at 2974.23 and 2881.65 cm-1, C = C at 1689.65 and 1597.06 cm-1, C - O at 1265.30 and 1076.28
cm-1 and group C - H aromatics at 813.96 cm-1 in the fingerprint region.
PENDAHULUAN
Keanekaragaman hayati tanaman obat namun komponen aktifnya belum diidentifikasi.
Indonesiamerupakan potensiyang dapat Tanaman mengandung komponen fitokimia
dikembangkan sebagai sumber antelmintikbaru1. kompleks yang bertanggungajawab terhadap
Puguntano (Curanga fel-terrae (Lour.) aktivitas farmakologi. Reprodusibilitas kandungan
Merr.) merupakan tanaman dari famili senyawa tersebut menjadi salah satu faktor
Scrophulariaceaeyang tumbuh di wilayah Asia penting untuk menghasilkan ekstrak
seperti Cina, India, Indonesia, Filipina, Malaysia terstandar4.Metabolomik merupakan studi
dan Myanmar. Di Indonesia, tanaman ini tersebar komprehensif terhadap suatu sampel untuk
di daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan dan mengidentifikasi metabolit yang berhubungan
Maluku. Tanaman ini berbatang basah, berbaring dengan fungsi biologis. Metode ini dapat
dan tumbuh merambat. Tangkai daunnya tumbuh digunakan sebagai alat untuk menentukan
berhadapan, permukaanya tidak berbulu, rata, tipis karakteristik produk bahan alam seperti
dan bergerigi. Bagian tandan bunga tanaman ini ekstrak5.Penelitian ini bertujuan untuk
nampak berwarna merah2. menentukan karakteristik ekstrak air daun
Menurut Patilaya dan Husori3, ekstrak air puguntano menggunakan metode penapisan
daun puguntano memiliki aktivitas antelmintik, fitokimia dan spektroskopik.
Meskipun teknik spekroskopi infra merah tidak digunakan untuk menganalisis karakteristik
memberikan informasi senyawa kimia spesifik, metabolit dan mutu produk bahan alam. Senyawa-
namun teknik ini merupakan strategi yang relevan senyawa metabolit primer dan sekunder seperti
dalam studi metabolomik ekstrak air daun protein, lipid, karbohidrat, turunan fenol,
puguntano15. Selain itu, spektroskopi infra merah terpenoid, dan alkaloid juga secara spesifik dapat
merupakan teknik non-destruktif, sehingga dapat diidentifikasi dengan spektroskopi infra merah16.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan pada 3313,71 cm-1, C H) pada 2974,23 dan
sebagai berikut: 2881,65 cm-1, C = C pada 1689,65 dan 1597,06
a) Ekstrak air daun puguntano mengandung cm-1, C O pada 1265,30 dan 1076,28 cm-1
flavonoid, glikosida, saponin, tanin, steroid, serta gugus C H aromatis pada 813,96 cm-1di
dan terpenoid. daerah sidik jari.
b) Spektrum infra merah ekstrak air daun
puguntanomenunjukkan adanya gugus O H
DAFTAR PUSTAKA
1. Herawati, M.H. dan Husin, N. Berbagai tumbuhan obat yang berkhasiat sebagai obat kecacingan. Media
Litbang Kesehatan. 2010. 10(1): 8-13.
2. van Valkenburg dan Bunyapraphatsara. Plant Resources of South-East Asia: Medicinal and Poisonous
Plants 2,Leiden: Backhuys Publishers, Netherlands; 2001.
3. Patilaya P. dan Husori DI. Studi In vitro Aktivitas Antelmintik Ekstrak Daun Puguntano [Curanga fel-
terra (Lour.) Merr.]. Laporan Penelitian Program PNBP USU Tahun 2014. 2014.
4. Rajani M. dan Kanaki NS. Phytochemical standardization of herbal drugs and polyherbal formulations.
In: KG. Ramawat dan JM.Merillon, (editors). Bioactive Molecules and Medicinal Plants. Berlin:
Springer. 2008. p. 349-369.
5. Fiehn O. Combining genomic, metabolome analysis,and biochemical modelling to understand metabolic
networks. Comparative and Functional Genomics. 2002. 2(3): 155-168.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia.Edisi Ketiga. Jakarta: Depkes RI.
2012. Hal. 840.
7. Fransworth NR. Biological and Phytochemical Screening of Plants. Journal ofPharmaceutical Sciences.
1966. 55(3): 225-276.
8. Harahap U, Patilaya P, Marianne, Yuliasmi S, Husori DI, Prasetyo BE, Laila L, Sumantri IB, dan
Wahyuni HS. Profil fitokimia ekstrak etanol daun puguntano [Curanga fel-terrae (Merr.) Lour.)] yang
berpotensi sebagai antiasma. Prosiding Seminar Nasional Sains & Teknologi V Lembaga Penelitian
Universitas Lampung. 2013. 422-426.
9. Huang Y, De Bruyne T, Apers S, Ma Y, Claeys M, Pieters L, dan Vlietinck A. Flavonoid Glucuronides
from Picria fel-terrae. Phytochemistry. 1999. 62(8): 1701-1703.
10. Zhou JM, Wang LS, Niu XM, Sun HD, dan Guo YJ. Phenylethanoid Glycosidesfrom Picria felterrae
Lour. Journal of Integrative Plant Biology. 2005. 47(5): 632-636.
11. Huang Y, De Bruyne T, Apers S, Ma Y, Claeys M, van den Berghe D, Pieters L, danVlietinck A. (1998).
Complement-Inhibiting Cucurbitacin Glycosides from Picria felterrae.Journal of Natural Products.
1998. 61(6): 757-761.
12. Fang H, Ning DS, dan Liang XY. Studies on Technology Optimization for ExtractingTriterpenoid
Saponins from Picria felterrae by Multi-Target Grading Method. Journal ofChinese Medicinal Material.
2009. 32(12): 1902-1905.
13. Wang LS, Li SH, Zou JM, Guo YJ, dan Sun HD. Two New Terpenoids fromPicria fel-terrae. Journal of
Asian Natural Product Research. 2006. 8(6): 491-494.
14. Pavia DL, Lampman GM, Kriz GS. Introduction to Spectroscopy A Guide For Student of Organic
Chemistry. Third Edition, Orlando: Harcourt College Publisher. 2001. p. 13-101.
15. Dunn WB, dan Ellis DI. Metabolomics: current analytical platforms and methodologies. Trends in
Analytical Chemistry.2005. 24(4): 285-294.
16. Schulz H. dan Baranska M. Identification and quantification of valuable plant substances by IR and
Raman spectroscopy. Vibrational Spectroscopy. 2007. 43(1): 13-25.
ABSTRACT
Bawang Tiwai has an antibacterial activity toward some microorganisms e.g. Staphylococcus
epidermidis dan Propionibacterium acne, two acne related bacteria. Bawang Tiwai extract 1% and 2% were
formulated into gel (no oil content, because oil could make the acne worse) with carbomer 940 as gelling
agent. Physical stability of bawang tiwai gel was evaluated included stability, organoleptic, pH,
homogeneity, viscosity, consistency, spreading test, and activity toward Staphylococcus epidermidis. The
result showed that all formulas are stable after 7 days. The test results of antibacterial activity gel are 17,24
mm dan gel 19,75 mm to gel 1% dan 2% respectively.
K eywords : Anti acne, Bawang tiwai (Eleutherine americana), Carbomer 940, Staphylococcus epidermidis.
LATAR BELAKANG
Jerawat (acne vulgaris) adalah salah satu senyawa yang terdapat pada bulbus bawang tiwai
penyakit kulit yang umum ditemukan. Jerawat yang dapat memberikan aktivitas antibakteri di
mempengaruhi daerah kulit yang memiliki antaranya flavonoid, fenol, glikosida, triterpenoid,
banyak folikel sebaceous (kelenjar minyak) dan antrakuinon. Hasil pengujian menunjukkan
seperti wajah, dada bagian atas dan punggung 1. bahwa ekstrak etanol umbi bawang tiwai
Penyebab jerawat belum diketahui secara memberikan konsentrasi hambat minimum pada
lengkap tetapi penyebab jerawat yang sudah pasti konsentrasi 10 mg/ml terhadap bakteri P. acne , S.
adalah multi faktor. Faktor-faktor tersebut antara epidermidis, dan S. aureus 3.
lain genetik, ras, haid, pil antihamil, endokrin, Bentuk sediaan gel cocok untuk terapi topikal
makanan, pengaruh kejiwaan (psikis), infeksi pada jerawat terutama penderita dengan tipe kulit
bakterial atau kosmetik. Jerawat terjadi karena berminyak, sehingga lebih cocok digunakan oleh
penyumbatan pilosebaseus (kelenjer minyak) dan masyarakat Indonesia yang beriklim tropis dan
peradangan yang disebabkan oleh bakteri mayoritas memiliki kulit berminyak. Bahan dasar
Propionibaterium acnes, Staphylococcus gel untuk terapi jerawat adalah bahan dasar yang
epidermidis, dan Staphylococcus aureus 2. larut dalam air dan bersifat memperlambat proses
Pengobatan jerawat biasanya menggunakan pengeringan sehingga mampu bertahan lama pada
antibiotika seperti tetrasiklin, doksisiklin, dan permukaan kulit.
klindamisin. Penggunaan antibiotika jangka Penelitian ini bertujuan memformulasi
panjang selain menimbulkan resistensi, juga ekstrak bulbus bawang tiwai dalam bentuk gel
dapat menimbulkan kerusakan organ. menggunakan gelling agent Carbomer 940.
Bawang tiwai merupakan tanaman yang Selanjutnya dilakukan uji fisik gel dan aktivitas
memiliki aktivitas antibakteri. Kandungan gel terhadap Staphylococcus epidermidis.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Otoklaf (Speedy Autoclave tipe Vertical jangka sorong (Krisbow), Viskometer
model HL-340), blender (philips), Inkubator (Brookfield), Sentrifuge, alat-alat gelas (Pyrex).
(Jouan tipe IG 150), magnetic stirer, pH meter, Bahan: air suling, bulbus bawang tiwai,
neraca analitik (Ohaus), rotary evaporator(), etanol 70%, etanol 95%, propilenglikol (kualitas
farmasetis), trietanolamin (kualitas farmasetis),
94 Akademi Farmasi Samarinda
Jurnal Ilmiah Manuntung, 1(1), 94-99, 2015 Husnul Warnida
carbomer 940 (kualitas farmasetis), ascorbic acid maserat. Ampas dimaserasi kembali dengan
(kualitas farmasetis), media Mueller Hinton Agar etanol 80% menggunakan prosedur yang sama,
(MHA), media Nutrient Agar (NA), dan maserasi dilakukan sebanyak 3 kali. Seluruh
clindamycin phosphate. maserat digabung dan dipekatkan dengan
bantuan alat rotary evaporator pada
Prosedur Kerja temperatur tidak lebih dari 50C sampai
1. Pengolahan Sampel diperoleh ekstrak kental yang diuapkan hingga
Bulbus bawang tiwai dibersihkan, kental. Selanjutnya disimpan dalam desikator.
dirajang, dan dikeringkan selama 1 minggu. 3. Formulasi Ekstrak Bulbus Bawang Tiwai
Selanjutnya dihaluskan menjadi serbuk dan Fomula gel ekstrak bulbus bwang tiwai
diayak dengan pengayak nomor 40. disajikan di tabel 1. Ekstrak didispersikan
2. Ekstraksi Sampel dalam propilenglikol. Carbomer 940
Sebanyak 200 gram serbuk kering didispersikan dalam 20 ml air suling,
bulbus bawang tiwai dimaserasi dengan pelarut didiamkan selama 15 menit kemudian diaduk
etanol 80% sampai seluruh serbuk terendam, hingga homogen. Ditambahkan trietanolamin
ditutup dan disimpan pada suhu kamar selama hingga pH netral. Ditambahkan larutan asam
5 hari terlindung dari cahaya, sambil sering askorbat, diaduk hingga homogen.
diaduk. Simplisia disaring sehingga didapat
memadat. Dicelupkan lidi kapas steril ke dalam disk yang telah direndam Pengulangan
suspensi bakteri Staphylococcus epidermidis, dilakukan sebanyak 3 kali. Lalu cawan petri
Diusapkan pada permukaan medium MHA diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 C.
sampai seluruh permukaan tertutup rapat. Kemudian diukur diameter zona hambat (mm)
Dibiarkan selama 5-15 menit supaya suspensi dari masing-masing konsentrasi sampel dengan
bakteri meresap ke dalam agar. Di tempelkan menggunakan jangka sorong.
Pada saat pengujian sampel jam. Sehingga hasil yang diperoleh belum
disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 1 menggambarkan sifat fisik yang sebenarnya.
jam karena kendala teknis, seharusnya selama 5
2. Pengamatan Homogenitas
3. Pengukuran pH
Tabel 6. Hasil Pengukuran Daya Sebar Gel Ekstrak Bulbus Bawang Tiwai
Diameter sebar (cm) dengan beban 150 g
Pengamatan
FA FB FC
Hari ke-1 5,422 5,315 5,655
Uji daya sebar sediaan gel dimaksudkan penggunaan, tekanan yang diperlukan agar dapat
untuk mengetahui kemampuan menyebar gel saat keluar dari kemasan, dan penerimaan oleh
dioleskan pada kulit. Kemampuan menyebar konsumen 6. Dari hasil pengukuran diameter daya
adalah karakteristik penting dalam formulasi sebar, sediaan gel ekstrak bulbus bawang tiwai
karena mempengaruhi transfer bahan aktif pada memenuhi persyaratan daya sebar yaitu 5 sampai
daerah target dalam dosis yang tepat, kemudahan 7 cm.
5. Pengukuran Viskositas
Keterangan
Formula A : Gel dengan konsentrasi ekstrak umbi bawang tiwai 1%
Formula B : Gel dengan konsentrasi ekstrak umbi bawang tiwai 2%
Formula C : Kontrol negatif yang berisi basis gel
K(+) : Gel klindamisin.
Berdasarkan data pada tabel 8, dapat mm dan gel dengan konsentrasi ekstrak 2%
dilihat bahwa gel dengan konsentrasi ekstrak menghasilkan zona hambat sebesar 19,75 mm
bulbus bawang tiwai sebanyak 1% dan 2% sehingga kemampuan menghambat yang
mampu menghambat Staphylococcus dihasilkan oleh gel ekstrak umbi bawang tiwai
epidermidis. Daya hambat menurut Davis dan terhadap Staphylococcus epidermidis dapat
Stout 10 dibagi atas : sangat kuat (zona jernih > dikategorikan daya hambat kuat. Berdasarkan
20 mm), kuat (zona jernih 10-20 mm), hasil uji statistik dengan menggunakan LSD
sedang (zona jernih 5-10 mm) dan lemah tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua
(zona jernih < 5 mm). Gel dengan konsentrasi kelompok gel yang memberikan hasil positif
ekstrak 1% menghasilkan zona hambat 17,24 terhadap Staphylococcus epidermidis.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis uji stabilitas Staphylococcus epidermidis dengan nilai diameter
fisik gel dapat disimpulkan bahwa ketiga formula zona hambat (mm) sebesar 17,24 mm dan 19,75
gel ekstrak bulbus bawang tiwai memenuhi mm.
persyaratan uji organoleptis, uji homogenitas, uji Disarankan agar dilakukan pengujian
pH, uji daya sebar, uji viskositas, dan uji aktivitas antibakteri gel ekstrak bulbus bawang
konsistensi gel. Dari hasil uji aktivitas antibakteri tiwai terhadap bakteri penyebab jerawat yang lain
dapat disimpulkan bahwa Gel ekstrak umbi yaitu Propionibacterium acne dan Staphylococcus
bawang tiwai 1% dan 2% menghambat bakteri aureus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Webster GF. Acne Vulgaris. Brit. Med. Journal. 2002; 325(7362): 575-479
2. Atlas RM. Principles of Microbiology. Edisi 2. Iowa: WNC Brown Balsam, 1997.
3. Mierza V, Suryanto D, Nasution PM. Skrining fitokimia dan uji efek antibakteri ekstrak etanol
umbi bawang sabrang (Eleutherine palmofolia Merr.). Prosiding Seminar Nasional. Universitas
Sumatera Utara. Medan 2011
4. Ansel HC. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: UI Press. 1989
5. Ditjen POM. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 1979.
6. Garg A, Aggarwal D, Garg S, and Sigla A. K. Spreading of Semisolid Formulation: An Update.
Pharmaceutical Technology. September 2002: 84-102.
7. Aulton M. Pharmaceutics: The Science of Dosage Form Design. NewYork: Curchill Living Stone.
1988
8. Djajadisastra, J. Cosmetics Stability. Makalah Seminar. Himpunan Ilmuwan Kosmetika
Indonesia. Jakarta 2004
9. Kuntorini EM. Astuti M.D. 2010. Penentuan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Bulbus
Bawang Dayak (Eleutherine americana Merr.) Jurnal Sains dan Terapan Kimia. Januari
2010,.4(1): 15 22
10. Davis WW. Stout TR. Disc Plate Method ofMicrobiological Antibiotic Assay. Appl. Microbiol J. 1971