PENDAHULUAN
Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) dapat diartikan sebagai
penurunan cepat dan tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini biasanya
ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau azotemia (peningkatan
konsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah cedera ginjal terjadi, tingkat
konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan adanya kerusakan ginjal
adalah penurunan produksi urin (Sudoyo AW, 2006).
AKI telah menarik perhatian dengan adanya pengakuan bahwa perubahan kecil dalam
fungsi ginjal mungkin memiliki efek yang serius dalam diagnosa akhir. Meskipun kemajuan
dalam diagnosis dan staging AKI dengan emergensi biomarker menginformasikan kepada
kita tentang mekanisme dan jalur dari AKI, tetapi kita belum bisa tahu bagaimana AKI
berkontribusi terhadap peningkatan mortalitas dan morbiditas pada pasien rawat inap (Mehta
R.L, 2011). Perkembangan deteksi dini dan manajemen AKI telah sangat ditingkatkan
melalui pengembangan definisi universal dan spektrum staging. Cedera AKI berubah dari
bentuk kurang parah menjadi staging severe injury, dimana gagal ginjal akut mungkin
memerlukan terapi pengganti ginjal (Sedgewick J, 2011).
1
BAB II
PEMBAHASAN
Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut (AKI) harus
mencakup: 1) sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam cedera ginjal, 2)
penilaian terhadap perjalanan klinis termasuk komorbiditas, 3) penilaian yang cermat
pada status volume, dan 4) langkah-langkah terapi yang tepat yang dirancang untuk
mengatasi atau mencegah memburuknya fungsional atau struktural abnormali ginjal.
Penilaian awal pasien dengan AKI klasik termasuk perbedaan antara prerenal, renal, dan
penyebab pasca-renal (Himellfarb J, 2008).
Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi ginjal
yang terjadi dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat atas dasar
adanya kreatinin serum yang meningkat dan blood urea nitrogen (BUN) dan urine
output yang menurun, meskipun terdapat keterbatasan. Perlu dicatat bahwa perubahan
BUN dan serum kreatinin dapat mewakili tidak hanya cedera ginjal, tetapi juga respon
normal dari ginjal ke deplesi volume ekstraseluler atau penurunan aliran darah ginjal
(Akcay A, 2010).
Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut terpenuhi :
(Lewington A, 2011)
2
atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau
Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3
kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO)
yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggam-
barkan prognosis gangguan ginjal (Sinto R, 2010).
Tabel 1. Perbandingan antara kriteria diagnosis RIFLE dan AKIN (Ackay R, 2010).
R-Risk Creatinin increa x 1,5 or GFR loss > 25% 0,5 < ml/kg/hour > 6 hours
I-Injury Creatinin increa x 2 or GFR loss > 50% 0,5 < ml/kg/hour > 12 hours
F-Failure Creatinin increase x 3 or GFR loss > 75% Creatinin increase x 4 0,5 < ml/kg/hour > 12 hours
mg/dl (acute increase >0,5 mg/dl)
1 Creatinin increase x 1,5 or creatinine increase > 0,3 0,5 < mg/kg/hour x >6 hours
mg/dl
3 Creatinin increase x 3 or creatinine increase > 4 0,5 < mg/kg/hour x >24 hours or
mg/dl (acute increase > 0,5 mg/dl Anuria > 12 hours
3
Gambar 1: Kriteria RIFLE yang dimodifikasi (Markum, 2009)
Patogenesis AKI adalah kompleks. Iskemia dan toxin merupakan faktor utama yang
memicu cedera, dan meskipun kejadian awal mungkin berbeda, respon cedera berikutnya
kemungkinan melibatkan jalur yang sama. Sebagai contoh, AKI oleh karena iskemia
disebabkan oleh penurunan aliran darah ginjal dibawah batas autoregulasi aliran darah.
Berbagai tanggapan molekul yang "maladaptif" dan stereotip kemudian terjadi. Respon
ini menyebabkan cedera sel endotel dan epitel setelah timbulnya reperfusi. Faktor-faktor
patogen seperti vasokonstriksi, leukostasis, vascular congestion , apoptosis, dan kelainan
pada modulator kekebalan tubuh dan faktor pertumbuhan telah membentuk dasar
rasional terapi intervensi (Jo S.K, 2007).
4
Tabel 2 . Beberapa penyebab AKI yang dikelompokkan dalam AKI prarenal, AKI Renal, dan
AKI pascarenal (Sinto R, 2010)
5
Diperlukan pendekatan klinis untuk menentukan etiologi dari AKI. Dapat
berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Akcay A, 2010).
1. Prerenal Azotemia
Ada empat kriteria yang diperlukan untuk diagnosis azotemia prerenal: 1)
peningkatan akut BUN dan / atau serum kreatinin, 2) penyebab hipoperfusi
ginjal, 3) sedimen urin hambar (tidak adanya sel dan gips selular) atau eksresi
natrium (FE) kurang dari 1%, dan 4) Kembalinya keadaaan fungsi ginjal yang
normal dalam 24-48 jam setelah keadaan hipoperfusi diatasi.
6
2. Postrenal Azotemia
Obstruksi aliran urin di kedua ureter, kandung kemih, atau uretra atau
obstruksi dari ginjal soliter dapat menyebabkan AKI pasca-renal. Penyebab
dari azotemia akut dalam keadaan ini adalah obstruksi aliran urin. Pasien yang
paling berisiko untuk azotemia akut postrenal adalah pria tua dengan hipertrofi
prostat atau kanker prostat. Pemeriksaan pelvis wajib dalam evaluasi azotemia
postrenal, karena pasien dengan karsinoma serviks atau endometrium atau
endometriosis dapat hadir dengan azotemia sekunder karena obstruksi saluran
kemih bilateral. Ultra-sonografi ginjal akan mendeteksi dilatasi pelvicalyceal
sekunder untuk obstruksi pada lebih dari 90% pasien.
3. Setelah azotemias prerenal dan postrenal telah disingkirkan, diagnosis AKI
intrarenal dapat dipertimbangkan.
C. Diagnosis
1) Pendekatan Diagnosis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah
dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang
merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan
umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK,
riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK)
dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut
tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada
PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati
diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus pula
mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi (Sinto R,
2010).
2) Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO
dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan
OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda
hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP),
penurunan turgor kulit, mukosa kering, stig- mata penyakit hati kronik dan
7
hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia
menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda
AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat
nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat).
Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang
menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi
maligna.4,9,12 AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostover-
tebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau
kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal
menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi
maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong
adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat
dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom
(Sinto R, 2010).
3) Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas
urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI
(Brady H.R, 2005).
Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah ginjal akan
menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga mencapai 99%.
Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin) terakumulasi di dalam darah akibat
vaso- konstriksi pembuluh darah ginjal dengan fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi
8
ekskresi natrium (FENa = [(Na urin x Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang
dari 1%, FEUrea kurang dari 35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi
pada seseorang yang menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan
reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama juga berlaku
untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik dengan
pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa keadaan spesifik seperti ARF renal
akibat radiokontras dan mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal
secara dini dengan fungsi tubulus ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula
menunjukkan hasil kurang dari 1%.
D. Penatalaksanaan
Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan utama
hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi. Sampai saat ini,
tidak ada terapi khusus untuk mendirikan AKI intrinsik renal karena iskemia atau
nefrotoksisitas. Manajemen gangguan ini harus fokus pada penghapusan hemodinamik
kelainan penyebab atau toksin, menghindari penghinaan tambahan, dan pencegahan dan
pengobatan komplikasi. Pengobatan khusus dari penyebab lain dari AKI renal tergantung
pada patologi yang mendasari (Brady H.R, 2005).
9
1) AKI Prarenal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat
hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang.
Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi dengan packed red cells,
sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang sesuai untuk ringan sampai
sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar, pankreatitis).
Cairan kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi
namun biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya
direkomendasikan sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal
akibat meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun
salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi berikutnya
harus didasarkan pada pengukuran volume dan isi ionik cairan yang
diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus dimonitor dengan
hati-hati. Gagal jantung mungkin memerlukan manajemen yang agresif
dengan inotropik positif, preload dan afterload mengurangi agen, obat
antiaritmia, dan alat bantu mekanis seperti pompa balon intraaortic.
Pemantauan hemodinamik invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi
untuk komplikasi pada pasien yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume
intravaskular sulit.
2) AKI intrinsic renal
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut
atau vaskulitis dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan / atau
plasmapheresis, tergantung pada patologi primer. Glukokortikoid juga
mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial nefritis alergi. Kontrol
agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam membatasi cedera
ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit
pembuluh darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin
sensitif terhadap pengobatan dengan inhibitor ACE
3) AKI postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara
nephrologist, urologi, dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau kandung
kemih biasanya dikelola awalnya oleh penempatan transurethral atau
suprapubik dari kateter kandung kemih, yang memberikan bantuan sementara
sedangkan lesi yang menghalangi diidentifikasi dan diobati secara definitif.
10
Demikian pula, obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi
perkutan dari pelvis ginjal. Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat
diterapi perkutan (misalnya, kalkulus, sloughed papilla) atau dilewati oleh
penyisipan stent ureter (misalnya, karsinoma). Kebanyakan pasien mengalami
diuresis yang tepat selama beberapa hari setelah relief obstruksi. Sekitar 5%
dari pasien mengembangkan sindrom garam-wasting sementara yang mungkin
memerlukan pemberian natrium intravena untuk menjaga tekanan darah.
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI
dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan
inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata
laksana opti- mal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI
berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah
prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi
obstruksi pascarenal, dan meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik.
Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin.4,17
Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa
pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga
pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus
dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan
pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum
(Sinto R, 2010).
1. Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit
dasarnya dan kondisi komorbid yang dijumpai. Se- buah sistem klasifikasi
pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada
tahun 2005 (Sinto R, 2010).
11
Tabel 3. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi pada pasien AKI (Sinto R, 2010)
Manajemen nutrisi untuk AKI tidak jauh berbeda untuk pasien sakit kritis,
tetapi lebih rumit karena rejimen tersebut harus dirancang dengan tetap melihat
perubahan kompleks dalam sisa metabolisme dan nutrisi yang terjadi dengan
hilangnya fungsi ginjal akut. Selain dukungan nutrisi harus dikoordinasikan dengan
terapi pengganti ginjal (RRT). Masalah utama dalam pengelolaan AKI adalah retensi
air dan produk dari Asam Amino karena gangguan fungsi ekskresi yang membatasi
pemberian cairan dan elektrolit (Saxena A, 2012).
12
Tabel 4. Kebutuhan nutrisi pada pasien AKI (Saxena A, 2012)
2. Terapi Farmakologis
13
pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh (Sinto R, 2010).
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada peng- gunaan diuretik sebagai
bagian dari tata laksana AKI adalah:
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat
tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali
dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1
gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan
koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut
tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain.
Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan
toksisitas (Ho K.M, 2009)
14
ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah
ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat
menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan
karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap
pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang
diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung
dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta
abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis),
sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada
dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian dan
meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan
terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia
mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan,
pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika
tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya
untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan
penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki
hemodinamik dan fungsi ginjal.17,24,25 Obat-obatan lain seperti agonis selektif
DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter
untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak
terbukti efektif pada tata laksana AKI (Kumar V.S, 2000).
15
modalitas, dan / atau dosis dari RRT dapat mempengaruhi hasil klinis, khususnya
kelangsungan hidup (Akcay A, 2010).
Fluid overload
Metabolic acidosis
Oliguria (urine output <200 mL/12 h)
Anuria /extreme oliguria (urine output <50 mL/12 h)
Hyperkalemia ([K] >6.5 mEq/L)
Clinically significant organ (especially pulmonary) edema
Uremic encephalopathy
Uremic pericarditis
Uremic neuropathy/myopathy
Severe dysnatremia ([Na] <115 or >160 mEq/L)
Hyperthermia
Drug overdose with filterable toxin (lithium, vancomycin, procainamide, etc)
Imminent or ongoing massive blood product administration
Pertimbangan utama ketika memulai pasien dengan AKI pada dialisis adalah
sebagai berikut: 1) waktu inisiasi dialisis, 2) modalitas dialisis, dan 3) dosis dialisis.
16
tanpa pemberian diuretik, dibandingkan dengan pasien dengan terapi ditahan
dengan kriteria laboratorium yang menggunakan serum kreatinin, BUN, dan
kalium. 243 pasien dari Program to Improve Care in Acute Renal Disease
(Picard) studi, risiko kematian ditentukan pada pasien dengan BUN lebih
besar dari atau kurang dari 76 mg / dL pada inisiasi dialisis. Setelah
penyesuaian untuk usia, kegagalan hati, sepsis, trombositopenia, dan serum
kreatinin.
2) Modalitas dialisis
Beberapa Penelitian retrospektif dan prospektif membandingkan hasil
untuk modalitas dari Continous dan Intermitent dialisis. Secara umum,
penelitian sulit untuk melakukan seperti saat sakit (misalnya, saat pasien
hipotensi umumnya dimulai pada CVVH) dan kurang sakit (misalnya, mobile,
pasien non hipotensi umumnya dimulai pada IHD). Dalam sebuah penelitian
retrospektif terhadap 349 pasien, tingkat kematian lebih tinggi untuk cuci
darah terus menerus (continuous) dibandingkan intermiten (68% versus 41%,
P, 0,001) .90 Namun, ketika multivariat cox analisis digunakan untuk
menyesuaikan alasan untuk penugasan pasien dalam pengobatan terus menerus
(continuous) (misalnya, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg,
kegagalan hati dll) tidak ada peningkatan risiko kematian dengan pengobatan
terus menerus (continuous). Dalam studi prospektif yang lain, 225 pasien di
ICU dibagi menjadi tiga kelompok: kelompok I (kelompok kontrol): 156
pasien dengan AKI yang tidak menerima dialisis, kelompok II: 21 pasien yang
menerima dialisis peritoneal atau IHD, dan kelompok III: 43 pasien yang
menerima hemodiafiltration terus menerus (contonous). Mortalitas lebih tinggi
pada pasien dengan gagal ginjal dimana terapi dialisis diperlukan. Tidak ada
perbedaan angka kematian antara pasien yang diperlukan IHD dibandingkan
CRRT.
3) Dosis Dialisis
Tiga studi terbaru pada pusat penelitian telah menunjukkan bahwa
dosis peningkatan dialisis dikaitkan dengan kematian yang lebih rendah.
17
Tabel 5. Dosis Dialisi yang diperlukan pada pasien AKI (Ackay A, 2010)
Prognosis
Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal. Perlu
diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi yang
menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan memperburuk prognosa.
Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna
(10-20%), jantung (10-20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi
hipotensi, septikemia, dan sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka
kematiannya sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu
ditekankan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Akcay A, Turkmen A, Lee D, Edelstein C.L, 2010, Update on the diagnosis and
management of acute kidney injury, International Journal of Nephrology and Renovascular
Disease, vol 3 :129140
Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL,Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, edi- tor. Harrisons principle of internal medicine. Ed
16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53
Dube S, Sharman V.K, 2009, Renal Replacement Therapy in Intensive Care Unit, Journal of
the Assocation of Physician of India, Vol 57
Himellfarb J, Joannidis M, Molitoris B, Schietz M, Okusa M.D et al, 2008, Evaluation and
Initial Mangement of Acute Kidney Injury, Clin J Am Soc Nephrol, Vol 3: 962967
Ho K.M, Power BM, 2009, Benefits and Risks of Furosemid in Acute Kidney Injury, Journal
of the Assocation of Anaesthetists of Great Britain and Ireland, Vol 65: 283-293
Jo S.K, Rosner M.H, Okusa M.D, 2007, Pharmacologic Treatment of Acute Kidney Injury:
Why Drugs Havent Worked and What Is on the Horizon, Clin J Am Soc Nephrol 2: 356
365.
KDIGO Clinical Pratice of Acute Kidney Injury, 2012, Official Journal of the International
Society of Nephrology, Vol 2: 1
Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure, 2000, Indian J Urol, Vol 16:175
Lameire N, Biesen WV, Vanholder R, 2006, The rise of prevalence and the fall of mortality
of patients with acute renal failure: what the analysis of two databases does and does not tell
us. J Am Soc Nephrol. Vol 17:923-5.
Markum H.M.S, 2009, Gangguan Ginjal Akut, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed 2,
edi-tor, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrta MK Setiati S, Jakarta: Interna
Publishing, Vol II: 1041-1058
19
Mehta R.L, 2011, Management of Acute Kidney Injury: Its the Squeaky Wheel That Gets the
Oil!, Clin J Am Soc Nephrol, Vol 6: 21022104
Saxena A, 2012, Dietary Management in Acute Kidney Injury, Clinical Queries: Nephrology
0101: 5869
Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A, 2004, Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest, Vol 114:5-14.
Sinto R, Nainggolan G, 2010, Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana,
Maj Kedokt Indon, Volume 60:2
Waikar SS, 2006, Declining mortality in patients with acute renal fail- ure, 1988 to 2002. J
Am Soc Nephrol. Vol 17:1143-50.
20