Ahmad Sholihuddin Pps
Ahmad Sholihuddin Pps
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister
Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab
Oleh:
AHMAD SHOLIHUDDIN
NIM: 06.2.00.1.13.08.0031
Pembimbing:
Prof. Dr. Aziz Fachrurozi, MA.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2008
ii
PERNYATAAN
Ahmad Sholihuddin
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing,
iv
PERSETUJUAN TIM PENGUJI
TIM PENGUJI
Penguji, Penguji,
v
ABSTRAK
ABSTRACT
This research proves that second language errors (L2) are not only caused by
interference from the learner mother language (L1), but also influenced by learner
developmental to response L2 system that defferent with L1 system. The
developmental causes learner fall in language errors such as overgeneralization,
ignorance of rule restrictions, incomplete application of rules, and false concepts
hypothesized. These errors called by intralingual or developmental errors.
This research also enforces Richards findings which corrected Lado and
friends. Lado s interference theory claimed that language errors caused by
interference form L1 system. It produced contrastive analysis study. Then Richards
findings explained that contrastive analysis could not predict yet all of language errors.
He said that L2 errors showed learner developmental process expressed special form
of language that he is using. Selinker named it interlanguage, and Namser named it
approximative system, and Corder named it idiosyncratic dialects.
Research makes no different between performance and competence errors,
although Corder (supported by Chomsky) distinguished them. The distinguish is
important but as Dulay said that practically there is difficulty to establish characteristic
and substantive of errors which one belongs to classified to performance and
competence errors without depth and neat analysis . The more important is language
errors are based on unacceptable and both of the performance and competence are
interrelation. The learner performance expresses his competence.
Primary data of this research are speaking skill of students of Mahad l
Hsyim Asyar Tebuireng which collected by listening method, by observing in
classroom discussion and subject presentation in several religions and language
subject. The data were processed by several steps, identifying based on errors
morfology and syntax by comparing between learner language and Arabic standard
language, making errors category according to kinds of structure, reconstructing
learner language (sentence) in standard language, establishing kinds of errors and the
frequencies, and finally data interpretating.
vii
viii
.
ix
TRANSLITERASI ARAB LATIN
A. Konsonan
B. Vokal panjang
=
=
=
C. Syaddah ( )
Syaddah dilambangkan dengan konsonan ganda.
D. Kata sandang
x
Kata sandang dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti dengan huruf
syamsiyyah maupun diikuti dengan huruf qamariyyah.
Contoh:
: al-durs : al-mudlraah
E. Ta' marbthah
Setiap ta' marbthah ditulis dengan "h" jika kata tersebut berdiri sendiri,
seperti "al-lughah". Hal yang sama juga berlaku jika ta' marbthah diikuti
oleh kata sifat, seperti "al-jumlah al-ismiyyah", dan pada ta' marbthah pada
dua kata yang bacaannya terpisah, seperti kata "al-lughah al-arabiyyah ".
xi
DAFTAR TABEL
xii
KATA PENGANTAR
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta para deputi direktur; Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali, MA, Dr.
Ujang Thalib, MA, juga Koordinator program khusus; Dr. Yusuf Rahman, MA.
3. Prof. Dr. Aziz Fachrurozi, MA, pembimbing dan juga penguji tesis yang senantiasa
memberikan waktu kepada penulis dengan tulus untuk berkonsultasi, memberikan
bimbingan serta arahan hingga penulisan tesis ini selesai.
4. Tim penguji tesis, Prof. Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. Moh. Matsna, HS, MA, dan
Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA, yang telah memberikan arahan dan koreksi demi
kesempurnaan tesis ini.
5. Segenap civitas akademika SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, manajemen dan
staf tata usaha, beserta unit perpustakaan.
6. Para dosen SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya walikelas
Prof. Dr. HD Hidayat, MA, dengan segala keikhlasannya membimbing dan
mengarahkan selama masa perkuliahan.
xiii
7. Departemen Agama, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat
Mapenda yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk menyelesaikan
program magister di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Kedua orang tua penulis tercinta, Ayahanda H. Abdullah (almaghfr lah) dan
Ibunda Hj. Chusnah yang telah mengorbankan segalanya, mendidik dan
mendoakan untuk kebaikan hidup penulis, beserta segenap keluarga penulis.
9. Keluarga besar Pondok Pesantren Tebuireng, khususnya pengasuh, KH M. Yusuf
Hasyim (almaghfr lah) beserta KH. Ir. Shalahuddin Wahid. Juga keluarga besar
M.A Salafiyyah Syafiiyyah, Kepala Madrasah beserta teman-teman guru, tempat
menimba pengalaman dan berkhidmat, yang telah memberikan izin dan doa bagi
penulis untuk melanjutkan studi ini.
10. Keluarga besar Civitas akademika Mahad 'Al Hsyim Asyar Pondok Pesantren
Tebuireng, tempat penulis melakukan penelitian.
11. Manajemen dan pengelola unt-unit perpustakaan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Malang, yang memberikan
keleluasaan dalam mengakses berbagai referensi untuk penulisan tesis ini.
12. Keluarga besar Nawal di Pesantren Tebuireng yang senantiasa menemani penulis
tempat berbagi segala suka dan duka.
13. Sahabat-sahabat penulis di SPs UIN Jakarta yang tinggal bersama penulis selama
dua tahun di Asrama Putra dan telah memberikan banyak bantuan dan dukungan
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
xiv
Ahmad Sholihuddin
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
SURAT PERNYATAAN ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
LEMBAR PERSETUJUAN TIM PENGUJI iv
ABSTRAK v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN viii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
x
KATA PENGANTAR xi
DAFTAR ISI xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Permasalahan 10
1. Identifikasi Masalah . 10
2. Pembatasan Masalah .. 11
3. Rumusan Masalah . 11
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan 12
D. Tujuan Penelitian 14
E. Manfaat/ Signifikansi Penelitian 15
xv
C. Penyebab Kesalahan Berbahasa 36
D. Karakteristik Bahasa Tutur 40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 43
A. Jenis dan Pendekatan 43
B. Sumber Data, Populasi, dan Sampel 44
C. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data 48
D. Teknik pengolahan dan analisa data 50
E. Keterbatasan Penelitian 52
xvi
BAB VI PENUTUP 174
A. Kesimpulan 174
B. Saran 175
xvii
18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di antara isu pokok yang berkembang dalam pemerolehan dan pengajaran
bahasa kedua (bahasa asing) adalah, pertama isu tentang peranan pengetahuan
gramatika, yang mempunyai anggapan bahwa pengetahuan gramatika merupakan
faktor utama dalam belajar bahasa kedua. Isu kedua, terkait dengan anggapan bahwa
balikan (feedback hasil koreksi) yang diberikan oleh guru, atau pihak lain yang
berkompeten terhadap kesalahan gramatika yang dilakukan oleh pembelajar akan
sangat membantu mereka menguasai bahasa target (yakni bahasa asing, baik sebagai
bahasa keduanya atau ketiga. Untuk selanjutnya, penulis menggunakan istilah bahasa
kedua, yang dalam hal ini adalah bahasa Arab).
Pandangan pertama berpendapat bahwa dengan menguasai kaidah-kaidah /
gramatika bahasa kedua, pembelajar bahasa akan dengan sendirinya menguasai
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Dengan demikian pemahaman ini
menyiratkan bahwa kemampuan berkomunikasi sebanding dengan perkembangan
penguasaan gramatika bahasa si pembelajar. Penelitian Widiatmoko menyimpulkan
bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara gugus variabel kompetensi gramatika
dan gugus variabel keterampilan berbicara. Sebagai konsekuensi dari pemahaman ini
maka pembelajaran bahasa Arab diarahkan kepada pemahaman terhadap kaidah-kaidah
gramatikal bahasa. Model pembelajaran yang seperti ini dengan mudah kita dapati di
banyak lembaga pendidikan di Indonesia mulai tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.
Survey Universitas al-Azhar Indonesia (2007) menjadi bukti kuat bahwa
gramatika masih menjadi isu utama dalam pembelajaran bahasa Arab di Indonesia.
Survey tersebut sekaligus membuktikan bahwa gramatika masih menjadi problema
utama dalam pembelajaran bahasa Arab. Tercatat mayoritas siswa MA (57,1%)
mendapatkan skor <5 untuk pemahaman gramatika. Kesimpulan lainnya, bahwa dalam
19
dalam kedua bahasa antara B1 dan B2, dan kesalahannya disebut dengan kesalahan
interferensi.
Menurut Weinreich (dalam Aslinda, 2007) penyimpangan berupa interferensi
adalah sebagai akibat adanya kontak bahasa pada diri seorang dwibahasawan. Kontak
bahasa ini pada akhirnya menimbulkan saling pengaruh, yang manifestasinya
kebanyakan- terwujud didalam penerapan kaidah gramatika B1 di dalam penggunaan
B2. Salah satu akibat negatif dari praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian
seperti ini adalah terjadinya kekacauan pemakaian bahasa, sebagaimana yang disinyalir
oleh Lado dan menjadi penghambat dalam belajar bahasa target. Kekurangsempurnaan
B2 pembelajar mengakibatkan mereka mengambil dan menggunakan sistem B1nya
yang tidak sama pada saat menggunakan B2nya sehingga menyebabkan pembelajar
pembelajar bukan disebabkan oleh B1nya, melainkan oleh kesalahan yang disebutnya
pembelajar dalam penerapan kaidah B1nya. Dengan demikian kesalahan yang terjadi
pada jenis ini sama dengan yang dibuat oleh anak-anak yang belajar B1 mereka.
kemampuan menulis bahasa Arab pada mahasiswa tahun III Program Studi Bahasa
Arab Universitas Negeri Jakarta, menunjukkan bahwa wujud kesalahan karena
interferensi bahasa Indonesia terhadap penggunaan bahasa Arab dalam keterampilan
menulis memang ada, yang dapat diklasifikasikan menjadi interferensi fonologi dan
sintaksis. Penelitian Tim Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah (2001)
menyimpulkan bahwa dari sejumlah kesalahan insya' mahasiswa semester VI jurusan
PBA dan jurusan terjemah yang ditemukan, sebagian besar terkait dengan gramatika,
22
yakni morfologi 25,2 % dan sintaksis 54,7 %. Penelitian-penelitian di atas (dan masih
banyak lagi penelitian tentang kesalahan berbahasa) membuktikan bahwa
kesalahan-kesalahan yang terjadi didominasi pada bidang gramatika.
Sebagaimana hasil penelitian UAI tentang kemampuan membaca siswa MA
yang menunjukkan masih lemahnya kemampuan gramatika mereka, juga pesan kuat
standar isi mata pelajaran bahasa Arab untuk penguasaan gramatika, dan fungsi
gramatika sebagai himpunan kaidah-kaidah dan penjelasan dari kompetensi, dimana ia
memberikan gambaran pengetahuan kebahasaan yang analog antara penutur dengan
pendengar, maka penulis berkeyakinan bahwa kesalahan-kesalahan yang timbul dapat
diatasi melalui pemetaan kesalahan-kesalahan untuk kemudian dicarikan
pemecahannya dan pada gilirannya dapat menjadi feedback dalam pembenahan materi
pengajaran bahasa Arab.
Di sisi lain, dewasa ini pengajaran bahasa Arab juga mulai banyak diarahkan
untuk penguasaan keterampilan berbicara. Standar Isi mata pelajaran Bahasa Arab
(2006) dan Model KTSP MA (2007), meskipun mengamanatkan penguatan
keterampilan membaca dalam pengajaran Bahasa Arab, tetapi tidak meninggalkan
untuk penguasaan tiga keterampilan lainnya, terutama berbicara. Trend penguasaan
keterampilan berbicara ini juga dapat dilihat dari kebijakan Departemen Agama pada
saat mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) tahun 1987, yang
penyelenggaraannya mensyaratkan adanya boarding school (asrama) bagi para
siswanya untuk mendukung penguasaan keterampilan berbicara bahasa Arab dan
Inggris. Program MAK ini menjadi primadona pada zamannya dengan banyak
berdirinya MAK swasta yang penyelenggaraannya terintegrasi dengan
pesantren-pesantren yang selama ini memang telah eksis dengan pendidikan model
madrasah. Inilah model modernisasi pesantren yang selama ini dicap dengan
pengajaran bahasa Arab tradisionalnya. Berdirinya MAK melengkapi pola pengajaran
bahasa Arab di pesantren yang sebelumnya hanya sebatas untuk eksplorasi kitab
23
kuning, menjadi lebih modern melalui pengajaran bahasa Arab untuk berbicara /
berkomunikasi aktif. Saat ini MAK telah diakuisisi oleh MA reguler dengan
memasukkannya menjadikannya program keagamaan meski secara substansial
perhatian bahasa asing tetaplah menjadi hal yang utama.
Selain fenomena MAK, belakangan ini muncul pula istilah sekolah/madrasah
bilingual. Dari namanya, sekolah ini jelas juga menggunakan bahasa kedua (asing)
dalam proses belajar-mengajarnya. Demikian juga munculnya madrasah berstandar
internasional, dan yang tak kalah gencarnya adalah pola pembelajaran Bahasa Arab
intensif di kalangan mahasiswa perguruan tinggi Islam (STAIN, IAIN, UIN, STAIS,
IAIS). Kesemuanya menambah deretan lembaga pengajaran bahasa Arab yang telah
menggunakan keterampilan berbicara sebagai salah satu keterampilan bahasa yang
harus dikuasai, seperti di beberapa pesantren modern, maupun pesantren tradisional
yang melakukan inovasi dan modifikasi pembelajaran bahasa Arab.
Berangkat dari kenyataan seperti di atas, penulis berkeyakinan kuat bahwa
penelitian tentang keterampilan berbicara bahasa Arab yang terkait dengan kesalahan
gramatika menjadi sangat diperlukan. Hasil penelitian yang didasarkan pada data
jenis-jenis kesalahan akan menyimpulkan kepada sekumpulan bahan ajar yang terpilih
secara akurat guna mengatasi kesalahan-kesalahan gramatika, sehingga
kesulitan-kesulitan dalam belajar bahasa Arab yang terkait dengan keterampilan
berbicara akan menjadi mudah dan pada akhirnya terselesaikan. Penelitian ini akan
memberikan manfaat secara maksimal bagi kemajuan penguasaan bahasa Arab sebagai
bahasa kedua, baik manfaat bagi pembelajar, guru pengajar, maupun lembaga
penyelenggara pembelajaran bahasa Arab, terutama yang menjadikan keterampilan
berbicara sebagai core dalam pembelajaran bahasa Arab.
Demikian pula halnya yang terjadi pada Mahad l Hsyim Asyar
Tebuireng (MAHAT) Jombang. Sebagai lembaga pendidikan yang menjadikan bahasa
Arab sebagai bahasa pengantar perkuliahan, yang dengan demikian para mahasiswanya
24
diharuskan menguasai bahasa tersebut secara lisan maupun tulisan, maka penguasaan
bahasa tersebut merupakan suatu keniscayaan. Mahasiswa MAHAT dituntut memiliki
kemampuan berbahasa Arab baik dalam hal lisan maupun tulisan. Dalam hal lisan
karena mereka senantiasa berdiskusi dan berdialog dengan dosen maupun sesama
mahasiswa dengan menggunakan bahasa Arab. Dan dalam hal tulisan karena terkait
dengan pembuatan makalah maupun tugas-tugas perkuliahan yang lainnya.
Perkuliahan dalam bentuk ceramah, dialog, maupun diskusi merupakan
penggunaan ragam bahasa lisan yang tergolong formal. Artinya, bahwa dalam kondisi
seperti ini maka gramatikalisasi bahasa lisan menjadi penting untuk diperhatikan, dan
tidak dapat disamakan dengan bahasa lisan yang cenderung non formal. Gramatika
memiliki peran penting terkait dengan tingkat formalitas berbahasa. Di sisi lain, bahwa
salah satu bidang kompetensi komunikatif adalah kompetensi gramatikal, yang
mencakup pengetahuan mengenai kosa kata, kaidah-kaidah pembentukan kata dan
kalimat, semantik linguistik, ucapan dan ejaan.
Dengan demikian, perkuliahan di MAHAT yang menggunakan bahasa
pengantar bahasa Arab memerlukan keterampilan berbicara dalam ragam formal yang
memenuhi aspek kompetensi komunikatif, yang salah satu unsurnya adalah kompetensi
gramatikal, meliputi aspek nahw dan sharf. Mahasiswa MAHAT dituntut menguasai
kompetensi gramatikal ini dalam keterampilan berbicaranya. Kompetensi gramatikal
yang terbukti memberikan sumbangan tidak kecil pada keterampilan berbicara,
terutama pada bahasa lisan ragam formal, dapat dilihat ketepatan dan kebenaran
penggunaannya. Ketepatan dan kebenaran penggunaannya ini dapat dijadikan sebagai
bahan refleksi penguasaan keterampilan berbicara mereka. Untuk itulah maka penulis
mengambil judul penulisan tesis sebagai berikut :
" Kesalahan Gramatika Bahasa Arab dalam Berbahasa Tutur; Studi Kasus Mahasiswa
Mahad l Hsyim Asyar Pondok Pesantren Tebuireng Jombang"
25
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Crystal sebagaimana dikutip Ruru dan Ruru (1985) menyatakan bahwa
analisis kesalahan adalah suatu teknik untuk melakukan serangkaian kegiatan
secara prosedural yang berupa identifikasi, klasifikasi, dan interpretasi secara
sistematis terhadap kesalahan-kesalahan pembelajar dengan menggunakan
teori-teori dan prosedur-prosedur berdasarkan linguistik. Obyek linguistik yang
berupa bahasa menjadi obyek analisis kesalahan bahasa. Terkait dengan analisis
kesalahan yang penekanannya lebih kepada B2 atau bahasa asing, maka yang
2. Pembatasan Masalah
Terkait dengan keterbatasan-keterbatasan penulis, maka dalam penelitian ini
perlu adanya pembatasan masalah. Sesuai dengan latar belakang yang telah
diuraikan maka penelitian ini dibatasi pada aspek-aspek gramatika apa saja yang di
dalamnya terjadi kesalahan-kesalahan, yakni pada tataran sintaksis dan morfologi.
Terkait dengan bahasa tutur maka penelitian ini difokuskan pada proses berbicara,
baik berupa proses komunikasi di antara siswa maupun siswa dengan guru.
26
3. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian
sebagai berikut :
Dalam hal apa saja kesalahan gramatika pada bahasa tutur mahasiswa Mahad l
Hsyim Asyar PP Tebuireng Jombang, dan apa saja yang menjadi penyebab
kesalahan-kesalahan tersebut ?
; (7) penghilangan kata ganti yang mengacu pada kata sebelumnya ; dan (8). urutan
kata dalam kalimat. Hasil penelitian tidak menyebutkan jumlah prosentasi kesalahan
akibat interferensi tersebut, dan penelitian ini memang memfokuskan pada jenis
kesalahan interlingual / interferensi.
Kesalahan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN Sultan Thaha
Saifuddin Jambi dalam Pembelajaran Insya', Tesis, tahun 2006, ditulis oleh Januar,
mahasiswa PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Penelitian dilakukan tanpa melihat
faktor interferensi akan tetapi lebih fokus kepada semua jenis kesalahan mahasiswa
semester III dan V jurusan PBA Fakultas Tarbiyah, berdasarkan tes mengarang bebas /
insy' hur yang dibuat oleh peneliti. Penelitiannya menyimpulkan bahwa
(1) kesalahan paling dominan ada pada aspek sintaksis, kemudian morfologi, kosa
kata, dan penulisan kata ; (2) faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan adalah,
pada kategori umum, terjadi kesalahan karena proses interlingual (interferensi), dan
performansi. Sedangkan pada bagian khusus, terjadi kesalahan karena faktor
intrabahasa atau keterbatasan kompetensi kebahasaan yang dimiliki oleh mahasiswa.
Di sini sudah terdapat penggolongan / klasifikasi jenis kesalahan ke arah interlingual
dan intralingual.
Tim Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) meneliti
kesalahan redaksional mahasiswa tingkat V dan VI program persiapan (i'dady) tahun
1984-1985. Penelitian ini menemukan bahwa kesalahan berbahasa Arab pada
umumnya terjadi karena ketidaksesuaian (tathbuq) dalam mudzakkar-muannats,
i'rb, 'adad-ma'dd, nakirah-makrifah, mubtada'-khabar, penggunaan fi'il muta'add
dan lzim, isytiqq, dan dzarf zamn. Penelitian ini lebih mendasarkan pada analisis
kontrastif dengan melihat kepada kecenderungan munculnya kesalahan berbahasa Arab
yang dilakukan oleh para mahasiswa tersebut.
Tim Peneliti Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah (2001) meneliti hasil
kerja mahasiswa semester VI jurusan PBA dan jurusan terjemah. Penelitian
28
telah ada sebelumnya. Pada akhirnya akan didapatkan peta kesalahan gramatika dalam
bahasa tutur sehingga dapat menghindarkan pembelajar bahasa Arab jatuh pada
kesalahan berbahasa saat bertutur.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini ingin mengungkap kesalahan-kesalahan dalam hal apa saja yang
terkait dengan aspek nahw dan sharf dalam berbahasa tutur. Dengan demikian akan
diketahui juga, bahwa dalam bahasa lisanpun diperlukan penguasaan gramatika bahasa
Arab, karena selama ini kebanyakan penelitian menggunakan data tertulis
(keterampilan menulis) sebagai obyek penelitiannya. Penelitian ini sekaligus juga ingin
membuktikan bahwa kesalahan gramatika sebenarnya dapat diatasi melalui
pembenahan materi ajar yang didesain berdasarkan munculnya frekuensi kesalahan,
khususnya dalam bertutur. Untuk mengarah ke sana maka hal yang dilakukan terlebih
dahulu adalah mengelaborasi kesalahan-kesalahan dalam berbahasa tutur untuk
kemudian membuat peta kesalahan gramatika sebagai pijakan menyimpulkan
sekumpulan materi yang penting untuk diperhatikan pada saat mengajar bahasa Arab.
Hasil ini merupakan umpan balik/feedback dalam pengajaran bahasa Arab khususnya
keterampilan berbicara, yakni menghasilkan sekumpulan materi pengajaran yang
memberikan fokus pada materi gramatika tertentu yang banyak memberikan kontribusi
kesalahan pada saat pembelajar bertutur.
E. Signifikansi Penelitian
Suatu kenyataan bahwa distorsi yang dibuat oleh pembelajar berhubungan erat
dengan perbedaan-perbedaan diantara dua bahasa (B1 dan B2) pada diri pembelajar.
dan (3) membuat pola terhadap bahan ajar yang dikaitkan dengan kurikulum. Baradja
menegaskan bahwa dengan pendekatan analisis kesalahan diharapkan kesalahan
pembelajar dalam berB2 dapat diselesaikan, yang kemudian hasilnya dapat dibuat
hierarki kesulitan untuk dapat dipergunakan sebagai salah satu bagian dari bahan ajar.
Uraian di atas meneguhkan akan nilai signifikansi hasil penelitian ini. Para
praktisi bilingualisme yang menjadikan bahasa Arab sebagai B2 pembelajar secara aktif
kesalahan yang dimaksud adalah lapses, error, dan mistake. Ketiga istilah tersebut
diperkenalkan oleh Piet S Corder.
Lapses, merupakan kesalahan akibat salah pengucapan, sehingga disebut juga
dengan slip of tongue. Dalam hal ini pembelajar melakukan pengucapan yang salah
akan tetapi dia sebenarnya telah mengetahui sehingga dapat membetulkannya segera
setelah menyadari kesalahannya tersebut. Dengan demikian lapses merupakan keliru
pengucapan, keliru menerapkan kaidah, salah susun, atau kekurang cermatan
menentukan pilihan kata yang lebih sesuai.
Error, merupakan kesalahan berbahasa yang dilakukan pembelajar terkait
dengan pelanggaran aturan tata bahasa. Kesalahan ini lebih mengarah kepada
kekurangsempurnaan pengetahuan pembelajar tentang aturan tata bahasa. Dalam
kondisi seperti ini, maka pembelajar berusaha untuk membangun pengetahuannya
sebatas apa yang telah diketahuinya. Dari sinilah muncul kemungkinan terjadinya
kesalahan-kesalahan, karena pembelajar berkreasi dalam berbahasa berdasarkan atas
tingkat pengetahuannya. Kreasi ini berupa gramatika yang khas, Corder menyebutnye
idiosinkratik atau kompetensi transisional, atau interlanguage oleh Slinker.
Sedangkan mistake, mengarah kepada kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh
pembelajar bahasa asing karena salah pengungkapan, baik dalam hal aturan tata bahasa
maupun pilihan kata. Namun kesalahan ini dibangun di atas kesempurnaan
pengetahuan bahasa sasaran yang sedang dipembelajari, bukan karena
kekurangsempurnaan pengetahuan bahasa. Kesalahan yang terjadi lebih diakibatkan
oleh faktor luar seperti keterbatasan ingatan, kelelahan, dan yang semacamnya, dan
dapat segera dibetulkan oleh pembelajar, namun ada juga yang tidak dapat segera
dibetulkan. Dalam hal ini sebenarnya lebih tepat diistilahkan dengan lapses,
Batasan pengetahuan yang dimiliki pembelajar inilah yang membedakan
kesalahan kompetensi dan performansi. Kesalahan kompetensi mengarah kepada
kesalahan karena kurangsempurnanya pengetahuan pembelajar, yang pada akhirnya
49
sebenarnya juga dapat dihilangkan karena hal itu terkait dengan faktor non linguistik.
Namun demikian, sebagaimana Dulay bahwa meskipun melakukan pembedaan antara
kesalahan kompetensi dan performansi merupakan hal penting, akan tetapi sering kali
terjadi kesukaran untuk menentukan sifat atau substansi suatu kesalahan tanpa
mengadakan analisis secara cermat dan mendalam. Karena itulah maka untuk
50
tidak terulang.
Dengan demikian, analisis kesalahan adalah suatu upaya identifikasi, klasifikasi,
dan interpretasi kesalahan-kesalahan pembelajar B2 dengan menggunakan teori-teori
atau muslimna .Yang kedua, derifatif, berupa tambahan, yakni perubahan yang
seperti yang terdapat pada verba (fil), seperti perubahan jalasa menjadi jlasa ;
qatala menjadi taqtala, dan lain sebagainya. Atau perubahan kata dengan
berbagai variasinya, seperti jalasa menjadi majlis, jlis; kataba menjadi
maktb, ktib, maktab, kuttb, dan lain sebagainya.
1.2 Kesalahan Sintaksis
Sintaksis, dalam banyak pengertian dipahami sebagai kajian hubungan antar
kata dalam suatu konstruksi. Sintaksis adalah tata bahasa yang mengkaji struktur frasa
dan kalimat, karena kata tunggal yang berdiri sendiri tidak dapat dikaji secara sintaksis.
Konstruksi kata-kata yang membentuk frasa, atau kalimat menjadi kajian sintaksis.
Dengan demikian sintaksis merupakan subsistem bahasa/linguistik yang mencermati
hubungan kata dengan kata baik dalam susunan yang luas seperti kalimat, maupun
yang lebih kecil seperti frasa. Susunan Ab 'Abdullah yushall f al-masjid, secara
sintaksis dapat dikaji hubungan kata demi katanya, antara kata ab dengan
'abdullah, kata yushall dengan sebelumnya, dan demikian juga frasa f
al-masjid. Terkait dengan sintaksis ini, dalam bahasa Arab dikenal juga susunan
frasa, klausa, dan kalimat. Berdasarkan teori-teori pembahasan frasa, klausa, dan
kalimat, maka dilakukan analasis kesalahan terhadap data-data ketrampilan berbicara.
Kesalahan-kesalahan dalam aspek sintaksis akan dianalisis dengan beberapa
model konstruksi atau susunan dalam bahasa Arab. Berkaitan dengan struktur kalimat
dalam bahasa Arab, dikenal adanya beberapa macam konstruksi yang merupakan
satuan-satuan pengisi struktur kalimat. Ada enam macam susunan (tarkb), yaitu:
a. Tarkb isnd, yaitu struktur sintaksis yang terdiri dari musnad dan musnad ilaih,
atau disebut juga dengan jumlah yang dalam bahasa Arab dikenal ada 2 macam
yakni filiyyah dan ismiyyah. Jumlah ismiyyah adalah suatu struktur yang
mengandung pola mubtada dan khabar atau yang asalnya merupakan mubtada
54
dan khabar. Sedangkan yang dimaksud dengan jumlah filiyyah adalah susunan
kalimat yang mengandung pola fil dan f il atau fil dengan nib al-f il.
b. Tarkb idhf, yaitu susunan kata yang terdiri dari mudhf dan mudhf ilaih.
c. Tarkb bayn, yaitu susunan dua kata yang keduanya berperan menjelaskan kata
yang pertama. Susunan ini terbagi atas 3 macam, yaitu :
Tarkb washf, yaitu susunan terdiri dari kata sifat dan benda yang disifati.
Tarkb taukd, yaitu susunan yang terdiri dari muakkid dan muakkad.
Tarkb badal, yaitu susunan kata yang terdiri dari badal dan mubdal minhu.
d. Tarkb athf, yaitu susunan yang terdiri dari matf dan mathf alaih, di antara
kedua kata tersebut terdapat hurf athaf yang menyambung keduanya.
e. Tarkb mazj, yaitu dua kata yang dijadikan satu, membentuk kesatuan kata.
f. Tarkb adad, yaitu susunan adad (bilangan) dan madd (benda yang dihitung).
dari tipe-tipe kesalahan yang ada. Tarigan, dengan mengutip pendapat para pakar,
menyatakan bahwa dalam kesalahan penambahan ini terdapat tiga tipe kesalahan pada
ujaran pembelajar, baik B1 maupun B2. Tiga tipe kesalahan penambahan itu adalah
3. Taksonomi Komparatif
Nilai komparasi pada taksonomi ini terdapat pada metode yang digunakan
berupa penggolongan kesalahan-kesalahan berdasarkan pada
59
Arab).
Dalam taksonomi komparatif ini, kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat
dibedakan atas (1) kesalahan perkembangan, (2) kesalahan antarbahasa, dan (3)
kesalahan lainnya. Kesalahan perkembangan ini berlaku juga bagi pembelajar B1.
tidak berakibat pada terganggunya proses penyampaian pesan komunikasi. Dalam hal
ini penyimak atau pembaca masih dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh
pengujar. Dengan demikian kesalahan lokal terjadi sebatas pada suatu bagian kalimat
saja, seperti contoh-contoh berikut : Jumlah pasangan cagub dan cawagub berjumlah
lima pasang ; Penyerahan BLT secara simbolis diserahkan oleh bapak gubernur DKI
Jakarta ; Peringatan seabad kebangkitan nasional diperingati secara besar-besaran oleh
pemerintah RI. Contoh-contoh tersebut seharusnya : Pasangan cagub dan cawagub
berjumlah lima pasang ; BLT secara simbolis diserahkan oleh gubernur DKI Jakarta ;
Seabad kebangkitan nasional diperingati secara besar-besaran oleh pemerintah RI.
Pembagian kesalahan ke dalam jenis lokal dan global ini menyiratkan strata
urgensi dan signifikansi penguasaan tata bahasa global dan lokal. Penguasaan tata
bahasa lokal menjadi mutlak dilakukan untuk menuju kepada kesempurnaan
komunikasi seperti pemilik bahasanya. Pembelajar bahasa Arab harus memperhatikan
tata bahasa lokal secara maksimal untuk dapat menyamai orang Arab dalam melakukan
62
keseluruhan dapat dikelompokkan atas dua macam, yaitu kesalahan antarbahasa dan
kesalahan intrabahasa. Keduanya merefleksikan peristiwa-peristiwa yang mengiringi
proses pembelajaran B2 pada seorang pembelajar. Peristiwa-peristiwa yang dimaksud
intrabahasa.
Kesalahan antarbahasa merupakan kesalahan yang timbul akibat pembelajar B2
yang secara otomatis mengambil dan menggunakan sistem B1 yang telah dimilikinya
pada saat menggunakan B2nya, melalui tulisan ataupun lisan. Transfer B1 merupakan
suatu keniscayaan yang sulit dihindari. Analisis kontrastif telah membuktikan adanya
peristiwa transfer bahasa tersebut. Hipotesis analisis ini menyatakan bahwa adanya
perbedaan-perbedaan yang terdapat pada bahasa sumber (B1) dan bahasa sasaran (B2)
demikian maka kesalahan yang dibuat oleh pembelajar merupakan cerminan kesalahan
yang strukturnya adalah sama dengan B1 pembelajar.
al-masjid
Hal yang tidak berbeda jauh dengan generalisasi berlebihan adalah kegagalan
pembelajar dalam mencermati pembatasan-pembatasan terhadap struktur-struktur yang
ada. Kegagalan yang dimaksud adalah pembelajar B2 menerapkan kaidah-kaidah
di dalam B2 yang dipembelajarinya. Di antara hal yang tergolong seperti ini adalah
terkait dengan gradasi butir-butir pengajaran yang tidak selaras. Dalam bahasa Inggris
dicontohkan tentang pemahaman to be untuk kala lampau dan sekarang was, were dan
is, are, dimana pembelajar membedakannya berdasarkan klasifikasi kala.
Contoh-contoh itu seperti One day it was happened ; He is talks much ; Teachers
were went to the library ; We are play football every Sunday morning.
menjadi salah satu kunci pokok dalam keberhasilan penyampaian pesan komunikasi
untuk sampai dengan tepat kepada sasaran (pendengar/lawan bicara).
Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan juga durasi ikut menjadi faktor penentu
bagi pemahaman suatu pesan bahasa tutur, selain juga dapat menjadi daya tarik
tersendiri dalam bertutur. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sering kali
terjadi kesalahpahaman akibat penentuan tekanan, nada, dan juga durasi bertutur yang
kurang tepat. Kesalahan pengambilan kesimpulan pesan oleh pendengar terhadap
pesan yang disampaikan oleh penutur dapat terjadi akibat kesalahan persepsi yang
dtitimbulkan oleh penempatan tekanan maupun jeda bertutur yang kurang pas.
Pemberian tekanan pada suatu kata atau suku kata merupakan suatu keniscayaan
dalam bertutur. Demikian juga durasi dan jeda bertutur selalu ikut dan melingkupi
peristiwa bertutur seseorang. Oleh karena itu penempatan tekanan berikut besarannya,
pengambilan jeda dan intonasi yang selalu mengiringi penuturan seharusnya dilakukan
secara tepat untuk berlangsungnya proses komunikasi yang efektif.
Demikian juga halnya dengan pemilihan kata saat bertutur. Pilihan kata yang
tepat, jelas, mudah dipahami akan memberikan efek komunikasi yang lebih nyata
dibandingkan dengan yang sebaliknya. Dalam hal ini juga harus diperhatikan persoalan
dengan siapa bertutur dan dalam hal apa topik atau pokok pembicaraan tersebut.
Penutur harus menyesuaikan pilihan kata-katanya berdasarkan faktor siapa yang diajak
berbicara dan dalam hal apa fokus pembicaraanya. Pilihan kata juga menunjukkan
pengungkapan ekspresi pembicara, karena itu harus benar-benar tepat.
Sedangkan ketepatan sasaran pembicaraan terkait dengan pemakaian kalimat.
Penggunaan kalimat efektif akan sangat membantu sasaran pembicara dalam
memahami maksud pembicaraan. Kalimat efektif memiliki ciri-ciri keutuhan,
perpautan, pemusatan perhatian, dan kehematan. Keutuhan yang dimaksud adalah
dalam hal kelengkapan struktur pembentuk kalimat tersebut. Perpautan berhubungan
dengan keterkaitan antara unsur pembentuk kalimat, seperti antar kata, atau antar
67
bandingan bentuk dan struktur linguistik B1 pembelajar. Dengan cara ini akan
diketahui persamaan dan perbedaan yang mengakibatkan kesalahan B2. Hal ini sejalan
dengan hipotesis analisis kontrastif versi kuat yang menyatakan bahwa kesalahan B2
B1 pembelajar. Hal ini sejalan dengan temuan Richards dkk yang menyatakan bahwa
pembelajar. Karena itulah, maka dua pendekatan, kontrastif dan non kontrastif
digunakan dalam analisis kesalahan ini.
dibandingkan dengan bentuk lain. Selain itu, diskusi dianggap memiliki tingkat
kewajaran dan naturalitas yang tinggi untuk mendapatkan susunan yang lengkap.
Kegiatan diskusi pada kelas ini dapat dikelompokkan atas tiga bagian,
pertama presentasi mahasiswa (penyaji) terhadap makalah yang ditulisnya, dengan
cara membacanya sebagai pengantar. Kedua, pemberian keterangan oleh penyaji
yang merupakan lanjutan dari pembacaan. Dan ketiga, tanya jawab yang
melibatkan anggota kelas. Penulis hanya mentranskrip kesalahan-kesalahan
berbahasa yang dihasilkan dari bagian ke dua dan ke tiga saja, karena pada bagian
pertama bukanlah menunjukkan kemampuan berbicara yang sesungguhnya.
b. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berupa data penunjang yang terkait
dengan keadaan dan latar belakang subyek penelitian, hal-hal yang terkait dengan
MAHAT seperti kurikulum dan keadaan tenaga pengajar, yang diperoleh melalui
teknik dokumentasi. Data sekunder lain juga berupa buku-buku yang berisi
penjelasan tentang gramatika dan bahasa tutur, baik dalam bahasa Indonesia
maupun bahasa Arab. Data sekunder ini sekaligus dipakai sebagai alat verifikasi
data kesalahan yang telah ditemukan.
tersedia. Dalam hal ini peneliti melakukan langkah antisipasi dengan menyediakan
dua buah alat perekam (MP3 Recorder).
2. Data rekaman ditranskrip melalui tulisan dengan hanya mencatat
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh subyek penelitian.
3. Pengolahan korpus (data rekaman kesalahan) dilanjutkan dengan menggarisbawahi
bagian-bagian yang salah dalam aspek morfologis dan sintaksis.
Selanjutnya langkah-langkah analisis data, dengan tahapan sebagai berikut :
1. Identifikasi kesalahan bahasa, dari aspek morfologis dan sintaksis, dengan cara
membandingkan tuturan subyek penelitian dengan bahasa yang baku.
2. Mengelompokkan kesalahan-kesalahan tersebut sesuai jenis konstruksinya.
3. Merekonstruksi tuturan yang dimaksud oleh subyek penelitian dengan cara
memberikan bahasa bakunya sesuai dengan maksud tuturan.
4. Membandingkan bahasa tuturan subyek penelitian dengan bahasa Arab bakunya.
5. Menentukan jenis kesalahan bahasa tuturan subyek penelitian.
6. Menentukan frekuensi masing-masing konstruksi kesalahan.
7. Menentukan proporsi kesalahan masing-masing jenis konstruksi dengan cara
memproyeksikan kesalahan terhadap total jumlah kesalahan.
8. Interpretasi data berdasarkan hasil langkah-langkah sebelumnya. Interpretasi yang
dimaksud juga dikaitkan dengan data sosiolinguistik mahasiswa, latarbelakang
pendidikan, dan prestasi bahasa Arab, untuk mengekplorasi penyebab kesalahan.
Semua langkah-langkah di atas, merupakan penjabaran dari inti prosedur studi
analisis kesalahan berbahasa. Bahwa prosedur analisis kesalahan mencakup tiga hal,
identifikasi kesalahan, deskripsi kesalahan, dan (3) interpretasi data-data kesalahan.
E. Keterbatasan Penelitian
Penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menghasilkan penelitian yang
representatif, namun penelitian ini tidak luput dari berbagai keterbatasan, antara lain :
74
1. Media berbahasa tutur yang menjadi sumber data utama penelitian ini terbatas pada
diskusi, belum mencakup atau dilengkapi dengan semua macam keterampilan
berbicara, seperti percakapan, wawancara terstruktur, berpidato dengan
batasan-batasan tertentu, dan lain sebagainya.
2. Penelitian ini belum menjangkau unsur-unsur yang melekat pada bahasa tutur itu
sendiri seperti nabr, tanghim, saktah, dan lain sebagainya. Hal ini karena penelitian
ini lebih memfokuskan pada aspek gramatikal semata. Kompleksitas bahasa tutur
dibandingkan dengan bahasa tulis, seperti yang terkait dengan unsur-unsur di atas
belum terpenuhi pada penelitian ini.
3. Alat verifikasi data pada penelitian ini terbatas pada data dokumentasi kurikulum
lembaga dan data sosiolinguistik subyek penelitian, belum didukung dengan
wawancara yang mendalam terhadap subyek penelitian.
4. Variabel penelitian ini terbatas pada aspek morfologi dan sintaksis saja, belum
pada aspek-aspek lain seperti kosa kata, semantik, atau penggunaan preposisi, dan
juga terutama yang terkait dengan berbahasa tutur seperti fonologi.
5. Keterbatasan waktu yang tersedia menyebabkan proses observasi dan rekaman
terhadap berbahasa tutur belum dapat dilakukan untuk jangka waktu yang lama
(longitudinal), misalnya selama satu semester.
111
BAB IV
KESALAHAN MORFOLOGI
Yang dimaksud dengan kesalahan morfologi (sharf) dalam penelitian ini
adalah kesalahan dalam bentuk, kala (tenses), dan derivasi kata dalam kalimat.
Termasuk dalam kategori ini adalah kesalahan penggunaan dhamr pada fil, maupun
ism, dan kesalahan menggunakan wazn atau shghah. Hal ini sesuai dengan ruang
lingkup morfologi itu sendiri yakni terpusat kepada kata per kata, dan bukan
keterkaitan antara kata yang satu dengan kata yang berikutnya. Kesalahan morfologis
mendasarkan analisis kesalahan berdasarkan kajian morfologi, di mana obyek kajian
kesalahan morfologis adalah kata itu sendiri yang berdiri sendiri, dan kemudian
dianalisis unsur-unsur pembentukannya. Dalam hal ini, penekanannya adalah morfologi
sebagai suatu proses, yaitu cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan
morfem yang satu dengan morfem yang lainnya. Untuk melihat kesalahan morfologis
suatu kata dapat ditempuh dengan cara membandingkan berbagai proses morfologis
yang ada di suatu kata seperti afiksasi, reduplikasi, modifikasi intern, komposisi, dan
juga klitisasi. Dari total kesalahan gramatika yang ada (441 kesalahan), 29 % nya atau
128 buah adalah kesalahan pada aspek morfologi. Bab ini membahas hal-hal yang
terkait dengan kesalahan morfologi tersebut, yakni klasifikasi kesalahan morfologi,
penyebab dan upaya menanggulangi kesalahan.
dalam berbahasa tutur ketika diskusi tersebut adalah kompetensi gramatikal pada
aspek morfologi, agar tidak salah dalam melakukan pembentukan kata-kata ketika
berbicara.
Berikut ini adalah kesalahan berbicara dalam aspek morfologi pada diskusi
perkuliahan mahasiswa MAHAT. Kesalahan dapat dikelompokkan menjadi empat jenis
sebagaimana tabel I berikut ini :
Tabel I
Jenis-jenis Kesalahan Morfologi
%
Jum kesel
No Jenis Kesalahan %
lah uruh
an*
1 Menjadikan marifah di tempat nakirah, atau sebaliknya 11 8,6 2,5
2 Mutaadd (verba transitif) dan Lzim (verba intransitif) 37 28,9 8,4
3 Isytiqq (Derivasi) 77 60,2 17,5
4 Zamn (Kala) 3 2,3 0,7
Jumlah 128 100,0 29,0
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)
(2) , ..
seharusnya
generalisasi ini hanya mendasarkan pada kesamaan aspek luar, sehingga berakibat
115
menyesatkan dan tidak dapat diterapkan, yang pada akhirnya membawanya kepada
berbuat kesalahan-kesalahan berbahasa.
Sedangkan untuk penyebab kedua, kesalahan pembicara terdapat pada
penggunaan bentuk nakirah untuk kata yang seharusnya marifah. Dalam hal ini
pembelajar gagal dalam mencermati pembatasan-pembatasan terhadap
struktur-struktur yang ada. Kegagalan yang dimaksud adalah pembelajar B2
siswa belum mengetahui bahwa sebenarnya terdapat kaidah lain yang benar dan
tepat. Perbedaan sistem tanda penjelas untuk kata yang ada antara bahasa
Dalam kelompok ini terdapat 6 kesalahan, yang berarti 4,7 % dari kesalahan
morfologi, atau 1,4 % dari total kesalahan gramatika.
b. Membuat lzim untuk kata yang seharusnya mutaadd. Contohnya adalah :
lokal, terjadi apabila kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar B2 terjadi pada
sebuah unsur dalam struktur sebuah kalimat, akan tetapi tidak berakibat pada
terganggunya proses penyampaian pesan komunikasi. Dalam hal ini penyimak atau
pembaca masih dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh pengujar. Dengan
demikian kesalahan lokal terjadi sebatas pada suatu bagian kalimat saja.
Dulay, Burt, dan Krashen (1982) dalam Khasairi, menyatakan bahwa
pengurangan dan penambahan termasuk kesalahan dalam kategori strategi
lahiriyah. Dalam hal ini kesalahan didasarkan pada strategi pembelajar dalam
menghasilkan ungkapan dengan menggunakan strategi perubahan sistem pada
ungkapan yang dimaksud. Corder menyebut kesalahan ini masuk dalam tahapan
kebangkitan (stage of emergent), di mana pembelajar sebenarnya telah memiliki
sejumlah pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa asing yang dipelajarinya,
dapat membedakan dan menginternalisasi sejumlah kaidah-kaidah, akan tetapi
dalam waktu tertentu masih juga membuat kesalahan. Tahap kebangkitan ini
merupakan kelanjutan dari tahap sebelumnya, yakni kesalahan acak (stage of
random errors).
Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada penambahan ataupun pengurangan
preposisi setelah fil ini pada dasarnya disebabkan oleh belum sempurnanya
penguasaan pembelajar terhadap uslb/susunan bahasa Arab. Sehingga dalam
upayanya menghasilkan ujaran bahasa Arab, pembelajar berupaya dengan usahanya
sendiri yang pada akhirnya muncul pengaruh bahasa sumber/bahasa ibu sehingga
muncullah transfer negatif. Untuk contoh (3) dapat diduga bahwa pembelajar
mendapat pengaruh bahasa sumbernya, dan dikelompokkan pada jenis kesalahan
interlingual. Sedangkan untuk contoh (1), (2), dan (4) dapat dikatakan termasuk
kesalahan intralingual, karena pembelajar belum mampu membedakan verba
transitif dan intransitif melalui penggunaan preposisi. Kesalahan intralingual ini
119
3. Isytiqq (Derivasi)
Kesalahan dalam kategori ini menduduki posisi yang paling tinggi, karena
77 dari 128 kesalahan yang ada pada aspek morfologi adalah pada isytiqq, atau
60,2 %. Sedangkan secara keseluruhan dalam kesalahan gramatika, menempati
posisi nomor tiga yakni dengan persentase sebesar 17,5 %. Kesalahan isytiqq
dikelompokkan atas jenis kata yakni isytiqq pada ism dan fil, yang
masing-masing pengelompokan itu terdiri dari beberapa macam lagi. Proses
morfologis berupa isytiqq dalam bahasa Arab yang terjadi pada dua kelompok
kata, yakni ism dan fil ini tidak terjadi pada hurf karena ia sendiri tidak dapat
berdiri sendiri dan tidak memiliki makna kecuali bila digandengkan dengan kata
lain. Karena itu kesalahan isytiqq hanya pada dua kelompok tersebut, yakni:
a. Kesalahan isytiqq pada ism , meliputi :
Kesalahan isytiqq pada ism dapat dibedakan atas beberapa kelompok
lagi, sebagaimana terlihat pada tabel II berikut ini :
Tabel II
Jenis-jenis Kesalahan Isytiqq Ism
Jum % se
No Jenis Kesalahan %
lah mua*
1 Pembentukan adad 1 0,8 0,2
2 Pembentukan jam al-taksr 4 3,1 0,9
3 Pembentukan mashdar 17 13,3 3,9
4 Pembentukan ism mansb 3 2,3 0,7
5 Pembentukan ism al- shift 7 5,5 1,6
Jumlah 32 25,0 7,3
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)
- Kesalahan pembentukan adad, berjumlah 1 atau 0,8 % dari kesalahan
morfologi, 0,2 % dari seluruh kesalahan gramatika. Contohnya adalah :
120
, yang seharusnya
Dalam bahasa Arab, dikenal dua pola (wazn) yang dapat digunakan
untuk menyatakan bilangan (adad), yaitu bilangan pokok (cardinal
numbers) dan bilangan bertingkat (ordinal numbers), di mana pola pertama
adalah bentuk dasar bilangan seperti whid, itsnni, tsaltsah, dst.
Sedangkan pola ke dua mengikuti pola fil seperti tsni, tslits, dst.
Dalam ungkapan di atas seharusnya bentuk yang digunakan adalah bilangan
pokok dan bukan bilangan bertingkat sesuai dengan fungsinya. Hal ini
dapat diketahui dari kata-kata sebelumnya yang merujuk kepada
penjumlahan, dan bukan urutan (tertib), sehingga dalam hal ini bentuk yang
digunakan seharusnya berpola bilangan pokok, padahal kata yang
digunakan oleh penutur yakni tsni menggunakan pola fil yang bermakna
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
(1) , seharusnya
(2) ,
seharusnya
karena kebanyakan bersifat sim. Kecuali untuk yang berakar kata lebih
dari tiga huruf, maka memiliki pola-pola yang telah ditentukan. Pada
contoh (1) penutur menggunakan bentuk ism al-fil, yaitu bentuk kata
yang menunjukkan makna pelaku perbuatan (pembentukan ism al-fil
yang berakar kata tiga huruf mengikuti pola fil). Padahal yang benar
seharusnya penutur menggunakan bentuk mashdar, karena penutur
bermaksud merujuk kepada makna hasil sebuah perbuatan, dan bukan
pelaku perbuatan. Demikian juga untuk contoh (2) yang seharusnya
penutur menggunakan bentuk mashdar, sebagaimana kata sebelumnya
(tatsniyah) dan bukan bentuk ism al-mafl, suatu bentuk kata yang
merujuk kepada makna dikenai pekerjaan (seperti obyek). Untuk
pembentukan mashdar yang akar katanya tiga huruf, meskipun kebanyakan
bersifat sim akan tetapi ada juga pola-pola tertentu yang dapat diikuti.
Dalam kajian ilmu sharf, pembentukan mashdar memiliki pola
isytiqq yang lebih kaya dan variatif dibandingkan dengan pola isytiqq
pada jenis kata yang lainnya. Keragaman pola isytiqq ditambah dengan
tidak adanya pola yang baku untuk yang berakar kata tiga huruf (tsultsi),
sebagaimana pada kata yang berakar lebih dari tiga huruf, menjadikan
pembelajar banyak mengalami kesulitan sehingga muncul
kesalahan-kesalahan dalam membuat bentuk mashdar yang dimaksud.
Di sisi lain, makna yang didapat pada bentukan mashdar, sebagai
konsekuensi dari beragamnya pola bentukannya, juga sangatlah beragam.
Bentukan mashdar yang sedemikian beragam ini pada akhirnya dapat
menampung hampir semua ragam makna melalui pembentukan mashdar
dengan berbagai pola bentukannya tersebut. Karena itulah penggunaan
mashdar merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam ujaran
untuk pemunculan makna sebagaimana yang diinginkan.
123
Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa mashdar dapat
diaplikasikan pada berbagai posisi dan kedudukan dalam struktur kalimat.
Mashdar dapat diposisikan sebagai maful muthlaq, dengan berbagai
fungsinya seperti taukd, marrah, dan nau. Mashdar juga dapat
diposisikan sebagaimana fil maupun mafl bih. Demikian juga mashdar
dapat berfungsi sebagai fil, seperti fil al-amr dan juga fil mudhri yang
didahului huruf an. Dengan keragaman yang demikian ini, baik dari segi
pola, wazn, maupun makna dan juga posisi dalam struktur kalimat,
sehingga menjadikan mashdar sebagai suatu keniscayaan dalam
pemakaiannya, maka menjadi suatu hal yang wajar apabila ternyata sering
kali terjadi kesalahan yang terkait dengan pembentukan mashdar pada diri
seorang pembelajar bahasa Arab sebagai B2nya.
, seharusnya
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
mashdar shin. Hal ini tidak benar karena semestinya cukup dengan
menggunakan bentuk al-shift al-musyabbahah bi ism al-fil, yaitu
jamlah. Penutur tidak perlu menggunakan ism al-mansb, yakni
jamliyah, karena tanpa memberikan tambahan ya nisbah di akhir
kata, pola yang diikuti jamlah sudah mengandung makna ajektifa.
, seharusnya
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
(1) , seharusnya
128
(2) , seharusnya
Dalam bahasa Arab dikenal fil (verba) bentuk malm (aktif) dan
majhl (pasif). Malm adalah fil yang menyertakan pelakunya
(fil/subyek) dalam ujaran, atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
kata kerja aktif. Sedangkan bentuk majhl tidak menyertakan pelaku.
Sebagai gantinya disertakan obyek (mafl bih) yang menduduki posisi
pelaku (fil). Bentuk ini ada pada fil mdhi dan juga fil mudhri.
Pembentukan fil malm digunakan apabila pelaku (fil) disertakan juga
dalam ujaran. Sedangkan fil majhl digunakan apabila pelaku tidak
disebutkan dalam ujaran dengan pertimbangan dan tujuan tertentu.
Pada contoh (1) penutur menggunakan bentuk fil majhl,
padahal disertakan juga pelakunya, yaitu kata umm, karena itu
seharusnya fil menggunakan bentuk malm. Sedangkan untuk contoh (2)
penutur menggunakan bentuk mashdar untuk bentuk yang seharusnya fil,
dalam hal ini adalah fil mdhi. Terdapat perbedaan makna apabila pada
permulaan ungkapan tersebut menggunakan bentuk mashdar dan bila
menggunakan bentuk fil. Bila penutur menggunakan bentuk mashdar
maka dhamr h yang bersambung dengan mashdar menunjukkan makna
possesive, kepemilikan, yang dalam hal ini menunjukkan pelaku dari
mashdar (yang juga berfungsi/amal seperti fil) tersebut. Dengan
demikian maka tentu kata setelahnya, urwah, menjadi mafl bih
(obyek). Kalau memang demikian yang dimaksud maka tidaklah tepat,
karena yang lebih tepat menjadi obyek dari kata tazawwaja seharusnya
perempuan, sedangkan pada kata setelahnya adalah berjenis laki-laki.
Sehingga yang lebih tepat adalah kata setelahnya menjadi fil dari
tazawwaja, dan dhamr h menjadi mafl bih dari fil tersebut.
Dengan demikian tarkb-nya adalah isnd dalam bentuk jumlah filiyah.
129
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pembelajar Non Arab. Bahwa pada tiap
bahasa dijumpai isytiqq memanglah demikian adanya, namun tidaklah selalu
sama antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, dalam pola isytiqq
nya. Imam Hasan mengemukakan macam-macam proses morfologi dalam
bahasa Arab yang meliputi afiksasi, reduplikasi, modifikasi intern, suplisi, dan
modifikasi kosong.
Proses-proses morfologi di atas ada yang memiliki tingkat kesulitan
tersendiri dengan kompleksitas konstruksinya. Kompleksitas konstruksi berupa
adanya lapisan-lapisan konstruksi, adanya konstruksi yang satu sesudah
konstruksi yang lain. Lapisan tersebut tidak dapat dibentuk secara mana suka
yang tidak menentu, melainkan terdapat aturan-aturan yang telah ditentukan
untuk diikuti. Hal yang demikian inilah menjadikan isytiqq tidak sesederhana
yang ada dalam B1 pembelajar bahasa Arab. Akibatnya adalah pembelajar
Arab sebagai B2nya, dengan lebih fokus lagi terhadap materi pelajaran yang
4. Zamn/Kala (Tense)
Kesalahan yang masuk dalam kategori ini sebanyak 3 kesalahan, atau
sebesar 2,3 % dari kesalahan morfologi, dan 0,7 % dari seluruh kesalahan
gramatika. Ada dua macam kesalahan yang termasuk dalam kategori zamn/kala
ini, yaitu kesalahan menggunakan fil mdhi untuk menunjukkan waktu sekarang,
akan datang, atau kebiasaan (yang seharusnya menggunakan fil mudhri), dan
kesalahan menggunakan fil mudhri untuk yang seharusnya menggunakan fil
mdhi. Kesalahan-kesalahan itu adalah :
a. Kesalahan menggunakan fil mdhi untuk menunjukkan waktu sekarang, akan
datang, atau kebiasaan. Terdapat 1 kesalahan atau 0,8 % kesalahan morfologi
dan 0,2 % kesalahan keseluruhan. Kesalahan tersebut adalah :
, seharusnya
, seharusnya
Sedangkan pada contoh (2) yang menuturkan cerita masa lampau maka
seharusnya digunakan bentuk mdhi.
Pada dasarnya penggunaan fil mdhi memang untuk merujuk ke arah
masa yang telah lewat, dan mudhri merujuk ke masa sekarang atau yang
akan datang. Namun demikian bukan berarti tidak ditemukan atau
diperbolehkan penggunaan masing-masing untuk waktu yang bertolak
belakang dengan ketentuan tersebut. Dalam kenyataannya memang ditemui
juga fil mdhi untuk merujuk pada masa sekarang atau akan datang. Demikian
juga pada mudhri, digunakan untuk merujuk kepada waktu yang telah lewat,
dan bukan merujuk kepada waktu sedang berlangsung atau yang akan datang.
Untuk hal yang demikian ini tentu saja ada ketentuan-ketentuan atau
keadaan tertentu sehingga pemakaian keduanya untuk konteks yang berbeda
dapat dibenarkan. Fil mdhi dapat digunakan untuk masa sekarang dan juga
akan datang apabila : (1) dipakai pada ungkapan-ungkapan kata mutiara,
hikmah dan yang semacamnya; (2) makna yang terkandung pada ungkapan
menunjukkan untuk sesuatu yang berlaku selamanya; (3) apabila ungkapan
menunjukkan kalam insy dan bukan kalam khabar, seperti pada pada saat
melakukan akad (transaksi), sumpah, atau doa; (4) apabila terletak setelah
frasa syart; (5) apabila diikuti m mashdariyyah zamn; dan (6) apabila
dimaksudkan untuk mempertegas sesuatu yang benar-benar akan terjadi di
masa yang akan datang. Sedangkan pada fil mudhri, untuk penggunaan
masa / waktu yang berkebalikan (masa lampau) dapat dibenarkan apabila : (1)
dalam posisi menjadi hl atau mafl bih yang sebelumnya didahului oleh fil
mdhi ; dan (2) apabila dikehendaki untuk merujuk kepada waktu yang telah
lewat, namun dipandang baik untuk tetap menggunakan bentuk mudhri.
Pada contoh-contoh (1) dan (2) tidak dijumpai kondisi-kondisi
sebagaimana yang diperbolehkan penggunaan fil mdhi untuk masa yang
136
sedang berlangsung dan akan datang, atau mudhri digunakan untuk masa
yang telah lewat. Karena itu penggunaan mdhi dan mudhri pada contoh (1)
dan (2) tidak dapat dibenarkan. Sebenarnya penggunaan fil yang
berkesesuaian waktu dengan peristiwa tidaklah sulit, karena tidak memiliki
kaidah yang rumit dalam pembentukannya. Karena itulah kesalahan
penggunaan fil mdhi dan mudhri yang terkait dengan masalah waktu
tidaklah banyak. Kesalahan-kesalahan yang ada bisa jadi masuk dalam
kelompok performansi, sehingga lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor di
luar kemapanan pengetahuan (kompetensi).
adalah pada pembentukan fil majhl, yakni sebanyak 13 kesalahan, atau 10,2 % dari
kesalahan morfologi dan 2,9 % dari total kesalahan.
Melihat fakta tersebut di atas, hal ini menunjukkan bahwa isytiqq paling
banyak memunculkan kesalahan. Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa
penggunaan isytiqq berada pada frekuensi yang paling banyak dipakai, terutama pada
tiga jenis kesalahan yang paling tinggi, yakni pembentukan mashdar, fil mujarrad
mazd, dan fil majhl. Karena itu pola pembentukan isytiqq dalam tiga hal tersebut
harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dibandingkan dengan pembentukan
isytiqq pada bentuk yang lain. Artinya, mahasiswa dituntut untuk lebih terampil lagi
dalam pembentukannya, yang hal ini dapat diupayakan antara lain melalui pengajaran
remedial, penambahan jam pelajaran, atau latihan-latihan yang lebih intensif pada
materi-materi tersebut.
dapat dikelompokkan atas dua macam, yaitu kesalahan antarbahasa (interferensi) dan
kesalahan intrabahasa. Kedua kesalahan tersebut merefleksikan peristiwa-peristiwa
yang mengiringi proses pembelajaran B2 pada seorang pembelajar. Artinya, bahwa hal
sebatas yang telah dikuasainya, hasil dari pembelajaran B2 sebelumnya dan yang
dimilikinya pada saat menggunakan B2nya, melalui tulisan ataupun lisan. Transfer
bahasa bagi pembelajar B2 yang telah memiliki B1 merupakan suatu keniscayaan yang
sulit dihindari. Analisis kontrastif telah membuktikan adanya peristiwa transfer bahasa
tersebut. Hipotesis analisis ini menyatakan bahwa adanya perbedaan-perbedaan yang
terdapat pada bahasa sumber (B1) dan bahasa sasaran (B2) dapat menimbulkan
morfologi, beberapa kesalahan yang dapat dikelompokkan dalam kategori ini adalah
yang terkait dengan kesalahan penggunaan bentuk tayn, mutaadd lzim, dan
penggunaan zamn untuk fil.
Kesalahan-kesalahan yang terkait dengan penggunaan tayn (tanda penjelas,
yakni ism marifah dan nakirah) dapat disebabkan antara lain oleh kenyataan bahwa
B1 pembelajar tidak mengenal ketentuan penggunaan kata yang harus berstatus jelas,
atau nakirah dalam posisi tertentu. Beberapa contoh berikut ini menunjukkan
mana kata bergaris bawah seharusnya berstatus marifah dengan penambahan huruf
alif dan lam/al. Hal ini karena diyakini bahwa kata tersebut merujuk kepada
suatu hal yang telah jelas. Sedangkan pada contoh yang berikut ini ,
marifah karena pada pola seperti ini memang biasanya yang digunakan adalah bukan
bentuk marifah, akan tetapi nakirah. Selain itu penggunaan bentuk nakirah
menunjukkan bahwa penutur bermaksud memberitahukan suatu hal yang belum
diketahui, karena baru akan disampaikan pada waktu setelah perkataannya tersebut.
Indikasi kesalahan antarbahasa juga dapat dilihat pada kesalahan yang terkait
dengan pembentukan pola fil mutaadd - lzim. Kesalahan-kesalahan yang terdapat
pada pola ini banyak dipengaruhi oleh pola B1 pembelajar, melalui penggunaan hurf
jarr setelah fil. Banyak didapati penggunaan hurf jarr yang seharusnya tidak perlu,
atau keliru penggunaan hurf jarr sehingga mengakibatkan kesalahan pemaknaan. Di
antara kesalahan-kesalahan yang terjadi pada kelompok ini, misalnya :
fil yubayyin yang seharusnya tidak perlu, karena cukup dengan fil saja dan
langsung menjadikan ism setelahnya sebagai obyek. Nampaknya penutur terpengaruh
dengan pola pada bahasa Indonesia di mana kata dapati frasa menjelaskan tentang
yang kemudian ditransfer ke bahasa Arabnya dengan meletakkan hurf jarr an.
seharusnya tidak memerlukan hurf jarr lam setelah fil amara. Ungkapan
tersebut terjemahannya adalah Kita mengerjakan perbuatan-perbuatan yang telah
diperintahkan oleh Allah kepada kita. Nampak bahwa penggunaan hurf jarr lam
141
tersebut terdapat fil yahtj yang dalam konstruksinya sebenarnya harus ber-idiom
dengan hurf jarr il . Dalam bahasa Indonesia sebagai B1 pembelajar, memang
kata yahtj yang diterjemahkan membutuhkan tidak selalu diikuti dengan kata lain
sebelum ke obyeknya. Karena itulah penutur mentransfernya dalam ungkapan bahasa
seharusnya diberikan hurf jarr ternyata langsung ke obyeknya. Fil targhabu tidak
dapat langsung bersambungan dengan ism sebagai obyek (mafl bih) nya akan tetapi
harus didahului dengan hurf jarr, yakni f atau an, tergantung makna yang
diinginkan oleh penutur.
Selain dua hal di atas, penambahan dan penghilangan, ditemukan juga
kesalahan antarbahasa dalam bentuk kesalahan penghadiran hurf jarr, yakni salah
meletakkan hurf jarr yang sesuai untuk makna yang diinginkan. Diantara kesalahan
dalam menghadirkan hurf jarr berupa an. Penghadiran an setelah fil yabhats
akan memunculkan makna mencari, dan bukan mempelajari, atau membahas,
sebagaimana yang dapat dipahami dari ungkapan penutur. Sebenarnya, tanpa
penghadiran an sudah dapat didapatkan makna yang dimaksud, atau seandainya
ditambahkan dengan hurf jarr maka dapat menggunakan f.
142
keterangan waktu pada saat menggunakan kata kerja (fil). Meskipun pada hasil
penelitian ini tidak menunjukkaan frekuensi kesalahan yang signifikan (karena hanya
ditemukan 3 kesalahan saja atau 0,7 % dari seluruh kesalahan), akan tetapi tetap harus
mendapatkan perhatian. Diantara contoh kesalahan dalam penggunaan fil yang terkait
bergaris bawah menunjukkan masa yang telah lewat (mdhi), padahal ungkapan
tersebut dimaksudkan untuk konteks yang sedang berjalan (mudhri). Demikian pula
fil mudhri yang menunjukkan waktu sekarang atau yang akan datang, padahal
ungkapan itu menjelaskan kejadian yang telah lewat. Penutur pada kedua ungkapan di
atas tidak memperhatikan implikasi penggunaan fil terkait dengan waktu, karena
memang dalam B1 mereka tidak ditemui keharusan menyertakan keterangan waktu
pada fil (kata kerja) kecuali untuk konteks-konteks yang memang mengharuskannya.
b. Kesalahan Intrabahasa
Kelompok kesalahan ini, yakni intrabahasa, berupa kesalahan-kesalahan yang
merefleksikan ciri-ciri umum kaidah B2 yang sedang dipelajari oleh pembelajar. Dalam
dari struktur dan kaidah B1 yang telah dimilikinya. Akan tetapi melakukan
143
Karena itulah dari sini muncul istilah intrabahasa, intralingual dan bukan antarbahasa
atau interlingual/interferensi. Dalam kesalahan intrabahasa, Richards (1971) dan Fisiak
(1985) menyatakan bahwa penyebab kesalahan meliputi penyamarataan yang
berlebihan (over generalization), ketidaktahuan pembatasan kaidah (ignorance of rule
restrictions), penerapan kaidah yang tidak sempurna (incomplete application of rules),
dan salah menghipotesiskan konsep (false concepts hypothesized).
Data yang diperoleh dari kegiatan diskusi mahasiswa memang tidak
seluruhnya menunjukkan adanya kesalahan akibat pengaruh B1 atau interferensi.
Dalam kenyataannya ditemui juga adanya kesalahan yang bukan disebabkan oleh
faktor B1nya akan tetapi karena belum lengkapnya kaidah, atau sudah memiliki kaidah
akan tetapi belum sampai pada tahap stabilisasi sehingga terkadang masih melakukan
kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan merupakan hal yang wajar
dalam proses penguasaan B2 karena hal itu sekaligus menunjukkan perkembangan
yang tidak ringan bagi pembelajar Indonesia yang menjadikan bahasa Arab sebagai
B2nya.
, dan (5)
(2), dan (3) merupakan kesalahan isytiqq pada ism, dan contoh (4) dan (5) kesalahan
isytiqq pada fil. Kesalahan-kesalahan tersebut berupa kekeliruan dalam melakukan
proses morfologis karena memang terdapat banyak cara dan pola isytiqq dalam
bahasa Arab terkait dengan wazn (pola) dan juga shghah (bentukan) yang
bermacam-macam. Demikian juga terkait dengan jumlah huruf pembentuk kata yang
dapat bertambah, yang pada akhirnya masing-masing memiliki konsekuensi pola
bentukan sendiri-sendiri.
Proses morfologis pada isytiqq ini berbeda sama sekali antara bahasa
Indonesia dengan bahasa Arab. Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang bertipe
145
aglutinasi, yakni proses pembentukan kata dalam bahasa yang beraglutinasi dilakukan
melalui afiksasi (pengimbuhan), seperti prefik (penambahan awalan), sufik
(penambahan akhiran) dan infik (penyisipan). Dengan demikian pada kata dasar tidak
mengalami perubahan sama sekali, tetapi hanya mendapat penambahan baik awalan,
akhiran, awalan dan akhiran maupun penyisipan. Sedangkan dalam bahasa Arab yang
merupakan bahasa bertipe infleksi, proses pembentukan kata dilakukan melalui
perubahan bentuk dasar menjadi bentuk lainnya. Perubahan bentuk yang dimaksud
bukan hanya dilakukan melalui penambahan awalan, penyisipan, dan penambahan
akhiran saja, tetapi lebih dari itu adalah pembentukan kata yang memiliki makna baru
melalui proses derivasi dan infleksi.
Dengan demikian, kesalahan yang terjadi pada isytiqq tidak dapat dikatakan
sebagai akibat pengaruh B1 pembelajar atau transfer negatif, karena pembentukan kata
diantara kedua bahasa pembelajar memang berbeda sama sekali. Kesalahan yang
terjadi pada isytiqq lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan kaidah-kaidah
isytiqq sehingga terkadang pembelajar membuat upaya-upaya mandiri dengan
mencoba-coba menghadirkan bentuk kata berdasarkan pengalaman atas kaidah B2
Indonesia. Diantara karakteristik bahasa Arab ada yang memang tidak dimiliki oleh
bahasa Indonesia, namun ada juga yang dimiliki oleh bahasa Indonesia akan tetapi
memiliki perbedaan. Karakteristik inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya
kesalahan berbahasa dalam aspek morfologi.
146
ada juga yang memang tidak dimiliki. Beberapa karakteristik bahasa Arab dalam aspek
morfologis yang menimbulkan kesalahan tersebut adalah :
a. Konsep isytiqq, di mana bahasa Arab memiliki pola pembentukan yang berbeda
dengan bahasa Indonesia. Bahasa Arab yang merupakan bahasa bertipe infleksi,
memiliki pola perubahan atau pembentukan kata yang berbeda dengan bahasa
Indonesia yang bertipe aglutinasi. Pada bahasa tipe infleksi perubahan atau
pembentukan kata berlangsung melalui perubahan bentuk dasar menjadi bentuk
lainnya. Hal ini berbeda dengan tipe aglutinasi pada bahasa Indonesia yang
pembentukan atau perubahan kata berlangsung melalui pola-pola afiksasi
(pengimbuhan), yang meliputi pengimbuhan di awal kata (prefik), pengimbuhan di
akhir kata (sufik) dan melalui penyisipan (infik). Pada bahasa Arab misalnya
terdapat perubahan dari shghah (bentuk) mdhi ke mashdar, atau ke ism fil, ke
ism mafl dan seterusnya. Belum lagi perubahan dari fil yang mujarrad (yang
kosong belum ada tambahan) ke mazd (penambahan) . Perhatikan perubahan kata
berikut ini, misalnya kata alima dapat berubah ke ilm, lim, malm, dan
seterusnya. Kata tersebut juga dapat berubah ke bentuk mazd menjadi allama,
taallama, istalama, yang masing-masing juga dapat berubah ke bentuk
mashdar, ism fil, ism mafl yang berbeda. Sedangkan dalam bahasa Indonesia
hanya ditemui kata ajar, berubah menjadi belajar, mengajar, pelajaran,
mengajarkan, ajari, diajarkan, diajari, yang masing-masing hanyalah berupa
penambahan di awal atau di akhir kata ajar. Dengan demikian pada kata dasar
tidak mengalami perubahan sama sekali, tetapi hanya mendapat penambahan baik
awalan, akhiran, awalan dan akhiran maupun penyisipan. Sedangkan dalam bahasa
Arab proses pembentukan kata dilakukan melalui perubahan bentuk dasar menjadi
147
bentuk lainnya. Perubahan bentuk yang dimaksud bukan hanya dilakukan melalui
penambahan awalan, penyisipan, dan penambahan akhiran saja, tetapi lebih dari itu
adalah pembentukan kata yang memiliki makna baru melalui proses derivasi dan
infleksi. Hal ini menjadikan perubahan kata pada bahasa Arab menjadi lebih rumit
dan kompleks dibandingkan dengan pada bahasa Indonesia. Terbukti dari macam
kesalahan pada isytiqq ini yang terdiri dari berbagai bentukan, seperti pada
isytiqq ism, kesalahannya meliputi pembentukan adad, jam taksr, mashdar,
mansb, dan shift. Kesalahan terbanyak ada pada pembentukan mashdar, yakni
17 dari 32 kesalahan pada isytiqq ism ini. Pada isytiqq fil kesalahannya meliputi
pembentukan yang terkait dengan adad, hurf mudhraah, malm, majhl, dan
mujarrad-mazd. Kesalahan terbanyak ada pada pembentukan mujarrad-mazd,
yakni 15 dari 45 kesalahan. Kesalahan yang terjadi dalam isytiqq ini pun
menunjukkan frekuensi yang tinggi, yakni 60,2 % dari kesalahan morfologi, dan
17,5 % dari seluruh kesalahan. Tingginya kesalahan dalam hal ini menunjukkan
masih kompleksnya materi yang terkait dengan isytiqq dan kerumitan pola
pembentukannya.
b. Konsep lzim (intransitif) melalui melalui penambahan hurf (preposisi), yang hal
ini terkadang merupakan idiom kesatuan dengan fil-nya sehingga kesalahan
pemilihan hurf yang mengikuti fil tersebut dapat mengakibatkan kesalahan dalam
pemaknaan. Problem besar yang ada pada kesalahan kelompok ini adalah
penambahan hurf jarr (preposisi) pada fil yang seharusnya tidak perlu. Dalam
bahasa Arab fil yang demikian disebut dengan mutaadd, yang langsung
berhubungan dengan ism sebagai mafl bih tanpa melalui perantara hurf jarr.
Ketika dihadirkan hurf jarr maka fil tersebut berstatus menjadi lzim, atau
mutaadd bi ghairih. Kesalahan inilah yang memiliki frekuensi cukup tinggi, yakni
31 dari 37 kesalahan yang ada pada kelompok mutaadd lzim ini. Yang 6
kesalahan berupa sebaliknya, yakni meniadakan hurf jarr pada fil lzim sehingga
148
tidak bisa melakukan penyebutan benda begitu saja sebagaimana yang pada B1nya
yang untuk penunjuk jumlah harus ditambahkan secara leksikal. Konsep adad ini
juga mengikat pada fil, artinya setiap fil selain mengandung makna
peristiwa/perbuatan, dan waktu terjadinya perbuatan tersebut, juga mengandung
makna jumlah pelaku. Dalam bahasa Indonesia konsep bilangan hanya berlaku
untuk nomina saja, dan itupun tidak bersifat include, atau melekat pada nomina
melainkan diberikan penambahan leksikal yang menunjukkan bilangan, atau melalui
reduplikasi. Konsep bilangan yang melekat pada leksikal baik nomina maupun
verba dalam bahasa Arab ini menyebabkan pembelajar harus melakukan
penyesuaian dalam pemilihan bentuk agar tidak terjatuh kepada melakukan
kesalahan. Kesalahan yang terkait dengan adad ini secara keseluruhan mencapai
20 dari 441 kesalahan atau 4,5 %. Maksud secara keseluruhan adalah kesalahan
baik yang masuk dalam kelompok tawfuq adad maupun isytiqq yang terkait
dengan adad.
f. Konsep nau (penanda jender) untuk ism maupun fil. Selain adad (bilangan), hal
lain yang melekat pada ism dan fil adalah sistem nau. Setiap ism dan fil tidak
terlepas dari salah satu jenis muannats (feminin) ataukah mudzakkar (maskulin).
Artinya, ketika menyebutkan ism atau fil maka pada keduanya dapat diidentifikasi
151
Indonesia ke dalam bahasa Arab sehingga hasil ketika mereka berbicara dalam konteks
presentasi dan diskusi perkuliahan masih kelihatan adanya pengaruh bahasa Indonesia
terhadap bahasa Arab. Pengaruh-pengaruh ini seperti kesalahan penggunaan bentuk
tayn, mutaadd lzim, penggunaan zamn untuk fil, dan persoalan pembentukan
adad, nau maupun tayn. Kesalahan yang semacam ini disebut dengan kesalahan
interlingual/antarbahasa.
Di samping itu, ada kesalahan yang disebabkan oleh faktor kesulitan dalam
bahasa Arab itu sendiri, misalnya adanya perbedaan pada unsur-unsur bahasa antara
bahasa Indonesia dengan Arab seperti di atas. Kesalahan yang dapat dikelompokkan
dalam kategori ini misalnya yang terkait dengan isytiqq. Isytiqq dalam bahasa Arab
152
petunjuk bagaimana bahasa seharusnya dipelajari, strategi dan prosedur apa yang
digunakan dan seharusnya dikembangkan dalam rangaka penguasaan bahasa asing.
Terkait dengan hal di atas maka hal yang penting dilakukan setelah
diketahuinya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar, dan setelah
kesalahan-kesalahan berbahasa dalam berbicara dapat diidentifikasi, diklasifikasikan,
dan dicari faktor-faktor penyebabnya, maka selanjutnya adalah bagaimana membuat
agar kesalahan tidak lagi terjadi melalui upaya-upaya seperti strategi pembetulan
kesalahan, pemberian latihan-latihan, dan penyusunan materi.
Dengan cara pembetulan yang secara tidak langsung maka akan memberikan
kesempatan kepada pembelajar untuk ikut serta berperan aktif dan kreatif karena akan
berusaha membetulkan kesalahannya sendiri. Pembelajar juga merasa dihargai
kemampuannya untuk membetulkan sendiri sehingga tidak terasa menyakitkan
terhadap pembetulan kesalahan yang dilakukannya. Selain itu hal ini juga akan
memberikan efektifitas dan efisiensi dalam pembelajaran karena tidak setiap kesalahan
harus dibetulkan oleh pengajar.
Berdasarkan pengamatan penulis, dan pengecekan data rekaman menunjukkan
bahwa peran pengajar dalam pembetulan kesalahan belum ditemukan. Nampaknya
para pengajar belum merasa perlu untuk melakukan pembetulan-pembetulan di saat
pengajaran mata kuliah mereka. Bisa saja hal ini disebabkan oleh waktu yang tersita
lebih banyak untuk pembahasan materi kuliah yang bersangkutan, sehingga waktu
digunakan habis untuk menerangkan atau mengulang pembahasan yang telah
disampaikan oleh mahasiswa melalui media diskusi kelas. Dengan adanya hasil
penelitian ini tentu saja diharapkan pembetulan kesalahan bukan hanya merupakan
tanggung jawab pengajar materi bahasa Arab, atau hanya terjadi pada saat mata kuliah
yang terkait dengan bahasa Arab saja. Peran pengajar secara keseluruhan, yang selain
kompeten dalam bidang keilmuan masing-masing juga cakap dalam kemampuan
berbahasa Arab aktif, merupakan kebutuhan mutlak dalam rangka ikut membantu
meminimalkan kesalahan mahasiswa dalam berbahasa lisan.
313 diantaranya terjadi pada aspek ini atau 71% nya. Kesalahan-kesalahan tersebut
dapat dikelompokkan menjadi empat jenis sebagaimana tabel IV berikut ini :
Tabel IV
Jenis-jenis Kesalahan Sintaksis
%
kesel
No Jenis Kesalahan F %
uruh
an*
1 Persesuaian (agreement / tawfuq)
a. Dalam hal adad (bilangan) 17 5,4 3,8
b. Dalam hal nau(jenis) 135 42,7 29,9
c. Dalam hal tayn (tanda penjelas) 14 4,4 3,1
2 Irb
a. Ism 98 31,0 21,6
b. Fil 3 0,9 0,7
3 Kaidah khusus
a. Membuat konstruksi adad 3 0,9 0,7
b. Membuat dua fil atau lebih untuk satu fil 1 0,3 0,2
c. Menjadikan mudhf dalam bentuk marifah 7 2,2 1,6
4 Struktur
a. Penambahan kata 16 5,1 3,5
b. Penghilangan kata 15 4,7 3,3
c. Susunan yang lemah 7 2,2 1,6
Jumlah 316 100,0 70,1
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)
1. Persesuaian
a. Persesuaian dalam adad, jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 17
ungkapan atau 5,4 % dari kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis dan 3,9 %
dari jumlah keseluruhan kesalahan yang terjadi. Kesalahan yang terkait dengan
persesuaian dalam hal adad ini terbagi atas dua kelompok, yakni ketidaksesuaian
antara ism dengan fil, dan ketidaksesuaian antara ism dengan dhamr.
216
(1) , seharusnya
(2) ,seharusnya
Persesuaian dalam hal adad antara ism dengan fil dapat terjadi pada
berbagai macam tarkb, seperti isnd, bayn, maupun washf. Setiap fil yang
didahului oleh ism yang menjadi subyeknya (fil / pelaku), maka fil tersebut
harus memiliki kesesuaian dengan ism dalam hal adad (jumlah). Apabila ism
mengandung jumlah tunggal maka fil juga dibentuk untuk subyek tunggal,
demikian pula apabila ism menunjukkan jumlah dua ataupun lebih. Pada contoh
(1) kata kuffr menunjukkan jam (plural) maka fil setelahnya juga harus
dibentuk untuk pelaku jam menjadi yaqbalna.
Sedangkan untuk contoh (2) ism menunjukkan jumlah tunggal (anta)
sehingga fil setelahnya yang memiliki subyek ism tersebut harus dibentuk
untuk tunggal pula. Dalam hal ini, pada fil harus terdapat rbith berupa
dhamr yang sesuai dengan ism sebelumnya. Rbith pada fil yang didahului
oleh isimnya sebagai subyek maka harus memiliki kesesuaian dalam adad. Fil
tatakabbar yang diucapkan oleh penutur mengandung dhamr jam
antum yang dilambangkan dengan huruf wau, padahal ism yang
mendahuluinya, yang mengindikasikan sebagai subyek, bukanlah jam akan
tetapi tunggal anta. Karena itulah harus disesuaikan dan dirubah
sebagaimana yang ada pada pembetulannya, dengan menghilangkan wau.
217
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
Dalam bahasa Arab dikenal pula klausa, yaitu satuan kelompok kata
yang minimal dibentuk oleh subyek dan predikat dan memiliki potensi untuk
menjadi kalimat. Karena itu klausa masih memungkinkan untuk dibuat menjadi
kalimat. Pada contoh (1) terdapat klausa huwa waratsah al-anbiy.
Mengingat sebelumnya telah didahului oleh ism yang kemudian diikuti klausa
menggunakan dhamr (pronomina / kata ganti) maka dalam hal ini dhamr
harus mengikuti ism sebelumnya, baik dalam adad (bilangan) maupun nau
(jenis). Kata Ulam berbentuk jam (plural) sehingga ketika pada urutan
berikutnya diberikan kata lain yang terkait dengan kata tersebut, baik berfungsi
sebagai predikatnya, atau sebagai penegas, maka harus sesuai dalam hal adad
maupun nau. Karena itulah dhamr yang tepat untuk digunakan sebagai
pengganti kata ulam haruslah hum.
Sedangkan pada contoh (2) ketidaksesuaian ism dengan dhamr terjadi
antara kata walad dengan ummuhum. Konstruksi yang terdapat kesalahan
adalah maushl dan shilah dalam hal adad. Sebagaimana ketentuan yang
berlaku pada frasa mushl, bahwa diantara ism maushl dengan shilah harus
terdapat kesesuaian, yakni kesesuaian yang meliputi nau dan adad. Kata
ummuhum yang didalamnya mengandung dhamr hum yang merujuk
kepada makna jam (plural) tidak sesuai dengan kata walad yang merujuk
kepada makna tunggal (ifrd), padahal dalam konstruksi frasa maushl
218
disyaratkan adanya rbith yang sesuai dengan mashl dalam adad. Karena
itulah dhamr hum pada kata ummuhum seharusnya diganti dengan
dhamr h sehingga menjadi ummuh.
matangnya pengetahuan yang dimilikinya. Apalagi hal yang seperti ini, yakni
persesuaian adad dalam konstruksi kalimat seperti jumlah ismiyyah, tidak
ditemukan dalam bahasa Indonesia.
Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh penutur merupakan kesalahan
akibat penerapan kaidah yang tidak sempurna, mengingat adanya unsur yang
dipandang sebagai suatu kerumitan dalam bahasa Arab. Ketentuan berupa
kesesuaian dalam hal adad tidak diaplikasikan secara sempurna oleh pembelajar.
Kerumitan yang dimaksud adalah apabila dibandingkan B1 pembelajar yang
berbeda dengan B2 yang dipelajarinya. B1 yang telah dimiliki pelajar tidak ditemui
adanya ketentuan yang mengatur kesesuaian dalam hal adad sebagaimana pada
B2. Karena itulah pembelajar dituntut untuk memahami secara sempurna terhadap
kaidah B2 yang terkait dengan persesuaian. Pemahaman yang tidak terbatas pada
tataran teori saja, akan tetapi juga pada tataran aplikasinya, baik dalam bahasa lisan
maupun tulisan. Namun demikian, terkait dengan kedudukan bahasa lisan yang
219
memegang peranan penting pada pembelajar subyek penelitian, maka aplikasi pada
bahasa lisan menjadi penting untuk diperhatikan.
b. Persesuaian dalam nau (jenis), jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 127
ungkapan atau 40,6 % dari kesalahan sintaksis dan 28,8 % dari seluruh kesalahan
yang terjadi. Kesalahan yang terkait dengan persesuaian dalam hal nau ini terbagi
atas enam kelompok, yakni ketidaksesuaian antara ism dengan fil, antara ism
dengan dhamr, antara maushl dengan id shilah, antara fil dengan fil, antara
nat dengan mant, dan antara isyrah dengan musyr ilaih.
Tabel V
Jenis-jenis Kesalahan Ketidaksesuaian dalam Nau
%
kesel
No Jenis Kesalahan F %
uruh
an*
1 Ketidaksesuaian ism dengan fil 28 8,9 6,3
2 Ketidaksesuaian ism dengan dhamr 19 6,1 4,3
3 Ketidaksesuaian maushl dengan id shilah 6 1,9 1,4
4 Ketidaksesuaian fil dengan fil 31 9,9 7,0
5 Ketidaksesuaian nat dengan mant 23 7,3 5,2
6 Ketidaksesuaian isyrah dengan musyr ilaih 20 6,4 4,5
Jumlah 127 40,6 28,8
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)
- Ketidaksesuaian antara ism dengan fil , dalam hal ini terdapat kesalahan
sebanyak 28 ungkapan, atau 8,9 % dari kesalahan yang ada pada aspek
sintaksis, dan 6,3 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek
sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini
contohnya adalah :
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
220
(3) , seharusnya
(4) , seharusnya
Kesesuaian antara ism dengan fil dapat terjadi pada berbagai macam tarkb
(susunan). Hal ini terjadi apabila dhamr yang tersimpan pada fil memiliki rujukan ke ism
sebelumnya. Untuk keadaan yang demikian ini memang disyaratkan adanya kesesuaian
antara fil dengan ism sebelumnya dalam hal nau (maupun adad). Adanya
bermacam-macam susunan tersebut terkait dengan dimungkinkannya suatu jumlah (baik
ismiyyah maupun filiyyah) menduduki posisi (mahall) irb tertentu dalam sebuah kalimat,
baik rafa, nashab, maupun jarr, dan inilah yang disebut dengan al-jumlah lah mahall min
al-irb,. Demikian juga sebaliknya, dimungkinkan untuk adanya jumlah l mahalla lah
min al-irab. Maka fil yang memiliki dhamr berkesesuaian dengan ism sebelumnya dalam
hal nau maupun adad, dapat berposisi sebagai khabar dalam mahall rafa, dapat berposisi
sebagai maful bih dalam mahall nashab, dan dapat pula berposisi sebagai nat dalam
mahall jarr. Juga dapat berada di tengah-tengah kalimat meskipun tanpa memiliki posisi
(mahall) irb.
Contoh (1) dan (2) menunjukkan jumlah yang berposisi dalam mahall rafa sebagai
khabar dari ism sebelumnya. Kedua contoh tersebut sama-sama memiliki ketidaksesuaian
dalam nau antara ism dengan fil-nya, namun berbeda dalam kesesuaian tadzkr-tants-nya.
Contoh (1) menunjukkan ketidaksesuaian antara ism yang mudzakkar sedangkan fil-nya
muannats. Contoh (2) adalah kebalikannya, ism berjeniskan muannats tetapi filnya
berjeniskan mudzakkar. Pada contoh (1) Kata kull menunjukkan jens mudzakkar, karena
tidak didapati tanda muannats pada fil tersebut. Karena itulah maka fil setelahnya yang
berposisi sebagai khabar dari ism tersebut harus diganti dan disesuaikan dengan fil yang
mengandung dhamr mudzakkar, menjadi yarjiu, bukan muannats sebagaimana yang
digunakan oleh penutur pada awalnya.
Berkebalikan dengan contoh (1) adalah contoh (2) yang menuntut kesesuaian dalam
jenis muannats antara fil dengan ism sebelumnya. Kata nafs dengan yamt tidak
berkesesuaian dalam hal nau yakni muannats. Nafs merujuk kepada jenis muannats
sedangkan yamt merujuk kepada mudzakkar. Penutur menganggap nafs sebagai ism
berjeniskan mudzakkar karena secara leksikal (lahiriah/tertulis) tidak didapati tanda
221
(1) , seharusnya
222
(2) , seharusnya
Persesuaian dalam hal nau juga harus dipenuhi antara ism dengan dhamr yang
menggantikannya. Dalam hal ini dhamr dapat berupa munfashil, dan dapat pula berupa
muttashil. Dhamr berfungsi untuk menggantikan kata (ism dzhir) yang telah disebutkan di
muka sehingga kata tersebut tidak perlu disebutkan secara berulang karena cukup dengan
menggunakan kata gantinya saja sehingga kalimat menjadi lebih ringkas. Penggunaan
dhamr ini harus sesuai dengan ism dzhir yang digantikannya dalam hal nau (jenis) dan
juga adad (jumlah). Ketidaksesuaian dalam keduanya mengakibatkan kesalahan
sebagaimana pada dua contoh di atas.
Contoh (1) menunjukkan ketidaksesuaian nau antara ism dengan dhamr muttashil.
Ism yang digantikan dengan dhamr adalah marah yang merujuk kepada jenis
perempuan. Karena itu dhamr yang menggantikannya seharusnya berjenis perempuan juga.
Dhamr muttashil untuk perempuan tunggal adalah h, bukan h karena h"
digunakan untuk laki-laki tunggal. Pada contoh tersebut dhamr muttashil bersambungan
dengan hurf jarr yaitu lam , pada mahall jarr.
Sedangkan pada contoh (2), menunjukkan ketidaksesuaian antara ism dengan
dhamr munfashil. Kata tharqah al-aql menunjukkan kepada jenis perempuan, karena itu
apabila digantikan dengan dhamr maka yang sesuai dengannya adalah berjenis perempuan
juga. Pada contoh tersebut dhamr munfashil menduduki posisi rafa sehingga yang tepat
adalah "hiya" untuk menggantikan kata "tharqah al-aql" yang menunjukkan jenis
perempuan tunggal. Sedangkan dhamr yang dipergunakan oleh penutur pada contoh (2)
tersebut menunjukkan jenis laki-laki tunggal, karena itu huwa tidak tepat dan harus
diganti.
- Ketidaksesuaian antara ism maushl dengan id shilah , dalam hal ini terdapat
kesalahan sebanyak 6 ungkapan, atau 1,9 % dari kesalahan yang ada pada
aspek sintaksis, dan 1,4 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek
sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini
contohnya adalah :
223
, seharusnya
Bahasa Arab memang kaya dengan ragam konstruksi dan susunan baik dalam
kerangka frasa, klausa, maupun kalimat. Salah satu konstruksi itu adalah ism maushl
dengan shilah-nya. Adanya susunan ini berfungsi menjadi penjelas bagi kata sebelumnya,
atau bagi ism maushl itu sendiri yang tidak didahului oleh ism dzhir sebelumnya. Shilah
yang mengikuti ism maushl itulah menjadi penjelas bagi ism sebelumnya, karena itu ada
persyaratan yang terkait dengan konstruksi shilah. Persyaratan tersebut adalah keharusan
adanya rbith dalam shilah yang menghubungkan dengan ism maushl. Karena berfungsi
menghubungkan itulah maka shilah harus memiliki dhamr yang kembali ke maushl dan
dhamr ini dikenal dengan sebutan id.
Pada contoh di atas, ism maushl digunakan setelah ism dzhir sebagai penjelasnya.
Ism dzhir yang dimaksud adalah kata al-mani yang merupakan jam dari al-man.
Karena termasuk jam taksr maka ism maushl yang dapat dipakai adalah al-lat.
Demikian pula shilah yang digunakan setelah ism maushl harus memiliki rbith yang
dalam hal ini berupa dhamr id. Kata yakhruju menyimpan dhamr huwa untuk jenis
laki-laki tunggal yang berarti hal ini tidak sesuai dengan ism maushl al-lat. Karena
itulah maka harus diletakkan shilah yang menyimpan dhamr hiya sesuai dengan ism
maushl-nya, sehingga diganti menjadi takhruju.
- Ketidaksesuaian antara fil dengan fil, dalam hal ini ditemui kesalahan
sebanyak 31 ungkapan, atau 9,9 % dari kesalahan yang ada pada aspek
sintaksis, dan 7,0 % dari seluruh kesalahan aspek sintaksis maupun morfologi.
Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain :
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
224
Berdasarkan jenis kata yang mengawali, sebuah kalimat dapat dibedakan atas dua
macam, yaitu ismiyyah dan filiyyah. Apabila yang mengawali suatu kalimat adalah ism
maka disebut jumlah ismiyyah, dan bila yang mengawalinya adalah fil maka disebut jumlah
filiyyah. Jumlah ismiyyah strukturnya terdiri dari mubtada dan khabar, sedangkan
filiyyah terdiri dari fil dan fil. Kedua struktur tersebut memiliki ketentuan yang sama
dalam hal kesesuaian nau, tetapi berbeda dalam kesesuaian adad. Antara fil (predikat)
dan fil (subyek) hanya dipersyaratkan adanya kesesuaian dalam nau (jenis).
Contoh (1) dan (2) sama-sama tidak memiliki kesesuaian nau antara fil dengan
fil-nya sebagaimana persyaratan dalam jumlah filiyyah. Pada contoh (1) kata ahad
sebagai fil menunjukkan jenis laki-laki, akan tetapi penutur menggunakan bentuk
muannats untuk fil-nya, tar. Kata tar adalah fil mudhri yang diawali dengan
huruf ta. Ta adalah hurf al-mudhraah sebagai penanda mudhri yang digunakan untuk
pelaku orang ke dua, atau orang ke tiga perempuan tunggal. Sedangkan untuk pelaku orang
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
Apabila kita ingin memberikan sifat kepada sesuatu maka cukup dengan
menambahkan kata setelahnya. Kata inilah yang disebut dengan shifah atau nat, sedangkan
225
kata yang pertama disebut dengan mant, yang diberi sifat. Diantara keduanya diharuskan
adanya persesuaian dalam beberapa hal, salah satunya adalah nau. Apabila kata yang
disifati (kata pertama) berjeniskan mudzakkar maka kata sifat (kata berikutnya/yang ke dua)
juga harus mudzakkar, demikian pula jika kata pertamanya muannats, maka kata ke dua
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
Konstruksi isyrah dan musyr ilaih juga mengharuskan adanya persesuaian dalam
nau. Konstruksi ini dapat terjadi melalui dua cara, yaitu berdiri sendiri dan bersambungan
dengan kata lain, yang berupa ism marifah dengan alif lam (). Pada saat berdiri sendiri
maupun bersambungan dengan ism marifah alif lam, isyrah dapat menempati dan
berkedudukan sebagaimana ism lain yang memiliki irb. Ketika pada posisi bersambungan
maka musyr ilaih berkedudukan sebagai badal. Dua contoh di atas menunjukkan macam
dua penggunaan tersebut. Sesuai dengan adanya persyaratan persesuaian dalam nau, maka
ism isyrah dibedakan atas jenis untuk kata-kata yang masuk dalam kelompok mudzakkar
dan untuk muannats.
Contoh (1) kesesuaian terkait dengan konstruksi mubtada khabar, di mana ism
isyrah berdiri sendiri sebagai mubtada. Ism isyrah yang digunakan oleh penutur
menunjukkan jenis mudzakkar, sedangkan khabar setelahnya menunjukkan muannats.
Dalam hal ini penutur harus jelas dan tepat, apakah ia akan menggunakan isyrah laki-laki
ataukah perempuan untuk mewakili ism dzhir yang sebelumnya sebagai musyr ilaih-nya.
Apabila yang dimaksud oleh penutur adalah ism dzhir berstatus mudzakkar maka penutur
sudah tepat dengan menggunakan hdz, dan yang salah adalah khabar-nya. Akan tetapi
apabila penutur bermaksud menggantikan kata berjenis muannats maka yang harus diganti
adalah isyrah-nya, dan khabar-nya sudah tepat.
Pada contoh (2) konstruksi isyrah dengan musyr ilaih-nya berupa badal dan
mubdal minhu, berbeda dengan contoh (1) sebelumnya yang berupa mubtada dan khabar.
Meskipun demikian, diantara keduanya sama-sama harus bersesuaian dalam nau. Kata
al-masalah yang berjenis muannats, oleh penutur diberikan isyrah hdz yang
sebenarnya untuk mudzakkar. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian dalam nau diantara
keduanya. Isyrah yang tepat adalah dalam bentuk muannats juga yaitu hdzih.
227
oleh pembelajar Indonesia. Dalam bahasa Arab, nau dapat diidentifikasi secara
gramatikal, artinya setiap kata dalam bahasa Arab dapat secara langsung
dikategorikan jenisnya, mudzakkar (laki laki) ataukah muannats (perempuan)
berdasarkan tulisan kata tersebut. Hal ini karena nau sudah inklusif dengan kata
tersebut melalui pengungkapan secara gramatikal, sehingga setiap kata, baik ism
(nomina) maupun fil (verba) pasti berjenis atau mengandung salah satu jenis
diantara mudzakkar dan muannats. Hal ini berbeda dengan bahasa Indonesia
sebagai B1 pembelajar Indonesia yang sebaliknya, di mana nau tidak inklusif
dalam kata. Untuk merujuk ke arah nau, maka dalam bahasa Indonesia harus
ditambahkan secara leksikal. Masing-masing bahasa memang memiliki
karakteristiknya sendiri, yang berbeda dengan bahasa lainnya. Dan hal ini bisa
menjadi salah satu permasalahan dalam pembelajaran B2 sehingga menyebabkan
berdasarkan nau ini sudah pasti memiliki tujuan penggunaan secara gramatikal,
seperti terkait dengan tujuan untuk menerangkan dua fenomena berbeda, yakni
acuan dhamr (kata ganti/pronomina) dan persesuaian shift (ajektifa). Bahkan ada
yang penerapannya tidak terbatas pada antara ism dan shift, melainkan juga
antara ism dan fil serta beberapa keterangan. Berbagai kesalahan yang ada di atas
menunjukkan beragamnya fungsi dan penggunaan yang timbul sebagai konsekuensi
dari adanya persesuaian nau.
Demikianlah, nau dalam bahasa Arab berimplikasi luas kepada
pemakaiannya secara sintaksis maupun morfologis. Adanya ketentuan persesuaian
nau dalam sintaksis mengakibatkan adanya proses morfologis kata untuk
penyesuaian dalam hal nau. Adanya persesuaian antara ism dengan fil
mengakibatkan fil berubah secara morfologis menyesuaikan jenisnya dengan ism
sebelumnya. Demikian pula persesuaian antara ism maushl dengan id
shilah-nya, antara fil dengan fil-nya, nat dengan mant, dan isyrah dengan
musyr ilaih. Semua konstruksi di atas mensyaratkan adanya persesuaian dalam
hal nau.
Kesemua hal di atas menunjukkan luasnya pengaruh adanya nau dalam
bahasa Arab yang berimplikasi terhadap sistem sintaksis maupun morfologisnya.
Pembelajar Indonesia yang tidak menemukan hal seperti ini dalam B1nya, sedikit
kerepotan untuk secara konsisten menguasainya dalam waktu singkat. Karena itu
diperlukan latihan-latihan dan perhatian yang lebih maksimal agar tidak sering
jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan. Beberapa contoh kesalahan di atas
menunjukkan bahwa memang adanya nau berpotensi menyebabkan kesalahan
karena berbedanya sistem B1 pembelajar dengan B2 yang sedang dipelajari.
memudahkan dalam memahami konsep nau sehingga menjadi lebih sederhana dan
mudah diingat namun tetap dapat mencakup semua keberagaman
ketentuan-ketentuan di atas.
c. Persesuaian dalam tayn (tanda penjelas), jumlah kesalahan pada kelompok ini
sebanyak 13 ungkapan atau 4,2 % dari kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis
dan 2,9 % dari jumlah keseluruhan kesalahan yang terjadi. Kesalahan yang terkait
dengan persesuaian dalam hal tayn ini hanya terjadi pada penggunaan bentuk
nakirah pada mant yang nat-nya marifah. Sedangkan untuk yang sebaliknya,
yaitu penggunaan bentuk marifah pada mant yang nat-nya nakirah tidak
ditemukan adanya kesalahan.
Diantara kesalahan penggunaan mant berbentuk nakirah dan nat berbentuk
marifah, contohnya adalah :
, seharusnya
Diantara konstruksi yang paling sering banyak dipakai adalah frasa nat (nat dan
mant). Musthaf al-Ghalayain menamakannya dengan tarkb washf dan merupakan bagian
dari tarkb bayn. Dalam konstruksi ini disyaratkan adanya kesesuaian dalam beberapa hal,
yaitu nau (mudzakkar-muannats), irb (marf, manshb, majrr), tayn (nakirah-marifah),
dan adad (mufrad, mutsann, jam). Terkait dengan persesuaian dalam tayn, frasa nat dapat
disusun dari dua kata yang sama-sama nakirah atau sama marifah-nya.
Pada contoh di atas, ketidaksesuaian terjadi antara kata asm dan al-husn. Kata
pertama berstatus nakirah, sedangkan kata ke dua marifah. Pola yang demikian ini biasanya
untuk frasa idhf, yang terdiri atas mudhf dan mudhf ilaih. Dalam bahasa Arab keduanya
memiliki perbedaan ketentuan dan juga pemaknaan. Susunan dua kata tersebut lebih tepat dibuat
dengan frasa nat dan bukan idhf meskipun sama-sama terdiri dari dua kata. Hal ini karena
frasa idhf sebenarnya menyimpan hurf al-jarr sebagai penafsiran susunan dua kata tersebut.
Sedangkan pada frasa nat tidak ada penafsiran menggunakan hurf al-jarr karena yang
dimaksudkan dengan susunan tersebut adalah hubungan ajektifa (keterangan). Karena itulah
231
keduanya harus memiliki kesesuaian dalam tayn dengan merubah kata pertama menjadi
marifah, al-asm.
Kesalahan-kesalahan yang muncul dalam susunan nat dengan mant semuanya berupa
ketidaksesuaian dalam tarf, yakni penutur membuat mant (kata pertama/yang diterangkan)
dalam bentuk nakirah sedangkan nat (kata kedua/yang menerangkan kata pertama) berbentuk
marifah, dan tidak ditemukan kesalahan yang bersusunan sebaliknya. Nampaknya hal ini lebih
dipengaruhi oleh susunan yang sama dalam B1 pembelajar, yakni bahasa Indonesia. Tidak
sedikit ungkapan bahasa Arab yang bersusunan frasa nat menjadi milik masyarakat Indonesia,
karena digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari. Namun demikian, ungkapan tersebut sudah
mengalami perubahan karena disesuaikan dengan struktur dan kemudahan pelafalan masyarakat
Indonesia, seperti penghilangan al tarf dalam berbagai ungkapan, contohnya al-akhlq
al-karmah, al-asm al-husn, menjadi akhlakul-karimah, asmaul-husna, dll. Hal yang
demikian ini kemudian memberikan pengaruh kepada pembelajar bahasa Arab yang kemudian
menerapkannya dalam susunan bahasa Arab yang sesungguhnya, sehingga kesalahan yang
muncul adalah penghilangan al pada kata pertama.
2. Irb, jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 101 ungkapan atau 32,3 %
dari kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis dan 22,9 % dari jumlah
keseluruhan kesalahan yang terjadi, yakni baik dalam aspek sintaksis maupun
morfologi. Kesalahan dalam irb ini terbagi atas dua kelompok, yakni irb pada
ism dan irb pada fil.
- Kesalahan dalam irb ism , yang dapat dibagi lagi menjadi kesalahan pada
irb rafa, nashab, dan jarr. Kesalahan pada irb rafa mencapai 18
ungkapan atau 5,8 % dari kesalahan pada aspek sintaksis dan 4,1 % dari
seluruh kesalahan sintaksis dan morfologi. Kesalahan pada irb nashab
mencapai 56 ungkapan atau 17,9 % dari kesalahan pada aspek sintaksis dan
12,7 % dari seluruh kesalahan sintaksis dan morfologi. Dan kesalahan pada
irb jarr mencapai 24 ungkapan atau 7,7 % dari kesalahan pada aspek
sintaksis dan 5,4 % dari seluruh kesalahan sintaksis dan morfologi.
Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi pada irb ini contohnya adalah :
232
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
(3) , seharusnya
(4) , seharusnya
Irb yang merupakan salah satu ciri khas pada bahasa Arab berupa perubahan
akhir kata disebabkan oleh adanya mil (sesuatu yang mempengaruhi struktur kalimat)
yang masuk/mendahului kata tersebut. Perubahan (irb) pada ism ada tiga macam, yaitu
rafa nashab, dan jarr. Contoh (1), (2), dan (3) irb berupa harakat, masing-masing rafa
dengan dlammah, nashab dengan fathah, dan jarr dengan kasrah. sedangkan pada contoh
(4) irb rafa berupa huruf, yaitu wau sebagai ganti dlammah.
Pada contoh (1) kata umm berkedudukan sebagai fil (subyek) sehingga harus
dibaca marf (diberi irb rafa) dengan tanda dlammah karena ia termasuk ism mufrad
(berbilangan tunggal). Tetapi penutur memberi tanda kasrah yang sebenarnya tanda tersebut
adalah untuk irb jarr. Karena itulah maka kesalahan ada pemberian tanda irb sehingga
harus diganti dengan dlammah. Pada contoh (2), kata al-afwa berkedudukan sebagai
mafl bih sehingga harus dibaca manshb dengan fathah, karena termasuk ism mufrad.
Pada contoh (3), kata ruyah berkedudukan sebagai mudhf ilaih sehingga harus dibaca
majrr dengan tanda kasrah karena ia termasuk ism mufrad. Sedangkan pada contoh (4),
pemberian irb tidak menggunakan harakah tetapi hurf. Kata akhn yang
berkedudukan sebagai fil seharusnya diberikan tanda irb huruf wau, karena huruf ya
- Kesalahan dalam irb fil, dalam hal ini terdapat kesalahan sebanyak 3
ungkapan, atau 1 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 0,7 %
dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun
morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi adalah :
(1) , seharusnya
233
(2) , seharusnya
Irb yang terdapat pada fil meliputi rafa, nashab, dan jazm. Namun, yang
berstatus murab hanyalah fil mudhri. Sedangkan mdhi dan amr statusnya mabn. Pada
dasarnya, mudhri selalu marf, kecuali jika ada mil yang menyebabkannya menjadi
manshb, atau majzm, sebagaimana contoh (1) dan (2). Pada contoh (1) mudhri menjadi
nashab karena didahului oleh nawshib (mil / huruf-huruf yang menyebabkan mudhri
menjadi manshb) yaitu hatt. Karena itulah yang asalnya marf (dengan tanda
dlammah) berubah menjadi manshb (ditandai dengan fathah). Sedangkan pada contoh (2)
menjadi majzm karena didahului oleh jawzim (mil / huruf-huruf yang menyebabkan
mudhri menjadi majzm) yaitu lam. Dengan demikian kata yunkiru seharusnya
diberikan tanda irb jazm yaitu sukun karena mudhri tersebut tidak termasuk kelompok
al-afl al-khamsah .
Sistem irb yang menimbulkan kesalahan sebagaimana contoh di atas, berlaku
untuk semua kata-kata dalam bahasa Arab, kecuali yang masuk kepada kelompok mabn.
Adanya irb berupa pemberian tanda pada akhir kata dengan harakah atau hurf termasuk
hal yang membuat rumit dalam penguasaan bahasa Arab, mengingat beragamnya tanda dan
amil yang menjadi penyebab perubahan irb tersebut. Belum lagi pengetahuan pembelajar
harus terbagi dengan mengingat dan memahami hal-hal yang terkait dengan mabn agar
tidak salah dalam menerapkan tanda irb dan tidak bercampur dalam penggunaan tanda
tersebut, karena mabn juga memiliki tanda tersendiri.
Perbedaan sistem B2 dengan B1 pembelajar yang tidak mengenal irb menambah
kesulitan dalam penguasaannya. Perubahan akhir suatu kata akibat perubahan fungsi atau
posisinya dalam kalimat baik melalui perubahan fonem (harakah) kata maupun perubahan
bentuk kata tidak dikenal oleh pembelajar dalam B1nya yakni bahasa Indonesia. Kata dalam
bahasa Indonesia selamanya akan tetap dalam bentuk penulisan dan pengucapannya
dimanapun dia berada. Hal ini berbeda dengan bahasa Arab di mana posisi suatu kata
mempengaruhi keadaan akhir kata tersebut. Karena itulah pada ism didapat tiga macam
keadaan yaitu marf, manshb, dan majrr. Demikan pula terdapat posisi-posisi kapan ism
harus dibaca marf, manshb, dan majrr sehingga muncul kelompok-kelompok marft
al-asm, manshbt al-asm dan majrrt al-asm. Belum lagi untuk kelompok fil
234
sehingga hal ini menambah panjang materi pengajaran yang harus dikuasai oleh pembelajar.
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
(3) , seharusnya
Adad-madd (bilangan dan benda yang terbilang) memiliki kaidah sendiri yang
terdiri dari beberapa macam susunan. Muminin menyimpulkan ada lima macam pola
susunan, yaitu adad mufrad, adad murakkab, adad mathf, adad mudhf, dan adad
uqd. Masing-masing pola penyusunan tersebut memiliki kaidah yang berbeda satu dengan
lainnya berdasarkan konstruksi yang digunakan. Dengan demikian penyusunan
masing-masing konstruksi harus memperhatikan ketentuan yang berlaku.
Kesalahan-kesalahan di atas memiliki konstruksi yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Pada kesalahan (1) pola susunannya mengikuti adad murakkab yang berlaku
235
untuk hitungan sebelas hingga sembilan belas. Pada pola ini madd harus diposisikan
sebagai tamyz dalam bentuk mufrad-nya. Namun penutur menggunakan bentuk jam taksr,
yakni masil, yang sebenarnya digunakan untuk adad mufrad, hitungan antara tiga
hingga sembilan, karena itu kata tersebut seharusnya dirubah menjadi mufrad manshb
dalam posisi tamyz, yakni masalah. Kesalahan juga ada pada nau adad yang dipakai,
yakni itsn asyara yang seharusnya mengikuti nau dari madd yang berbentuk
muannats karena masih dalam satuan antara satu hingga dua, sehingga adad tersebut diatas
harus dirubah menjadi itsnat asyarata.
Kesalahan (2) dan (3) termasuk ke dalam pola adad mufrad yang memiliki
ketentuan berkebalikan dalam hal nau antara adad dengan madd. Pada pola ini madd
didatangkan dalam bentuk jam, sesuai dengan ketentuan bentukannya, jam mudzakkar
slim, jam muannats slim, atau jam taksr. Pada ungkapan di atas, penutur sudah tepat
mendatangkan bentuk jam, akan tetapi kesalahan ada pada bentukan adad yang harus
berkebalikan dalam nau dengan madd. Artinya, bila madd berupa mudzakkar maka
adad harus muannats, dan sebaliknya. Maka pada no (2) kata bant yang muannats
seharusnya diberikan adad dalam bentuk mudzakkar yakni tsalts, bukan tsaltsah.
Pada kesalahan no (3) pola adad madd mengikuti susunan nat mant, yang
dengan demikian harus mengikuti ketentuan susunan tersebut, yakni kesesuaian dalam nau.
Penutur mendatangkan nat dalam bentuk mudzakkar, al-tsalatsah padahal mant yakni
al-martib adalah muannats. Sepintas hal ini memang kelihatan tepat, akan tetapi adad
yang mudzakkar berkebalikan dengan ciri muannats sebagaimana biasanya yang berakhiran
ta marbthah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa adad yang menunjukkan
bilangan di atas tiga untuk semua satuan tingkatan (belasan maupun puluhan) memiliki ciri
berkebalikan dalam nau. Karena itu penutur seharusnya menggunakan kata al-tsalts.
- Kesalahan dalam membuat dua fil atau lebih untuk satu fil, terdapat
kesalahan sebanyak 1 ungkapan, atau 0,3 % dari kesalahan yang ada pada
aspek sintaksis, dan 0,2 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek
sintaksis maupun morfologi. Kesalahan tersebut adalah :
, seharusnya
236
Konstruksi kalimat (jumlah/kalm) dalam bahasa Arab ada dua macam, pertama
dimulai dengan ism dan ke dua dimulai dengan fil. Yang pertama disebut dengan jumlah
ismiyyah dan yang ke dua disebut dengan jumlah filiyyah. Ismiyyah berupa susunan yang
berpola mubtada khabar. Khabar dapat berupa ism dan dapat pula berupa fil. Bila berupa
fil maka harus sesuai dengan mubtada dalam hal nau (jenis/mudzakkar-muannats) dan
adad (jumlah / mufrad, mutsann, jam). Sedangkan dalam pembentukan jumlah filiyyah
yang diawali dengan fil berlaku ketentuan persesuaian antara fil dengan fil dalam hal
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
Frasa idhf berupa gabungan dua kata ism yang memiliki hubungan atributif, yakni
kata ke dua merupakan atribut kata pertama (sebagai unsur pusat). Dalam bahasa Arab,
frasa terbagi atas beberapa macam fungsi, yakni fungsi atributif, koordinatif, dan apositif.
237
Frasa idhf memiliki ketentuan berupa kata pertama harus nakirah, sedangkan untuk kata
ke dua dapat berupa nakirah dan dapat pula marifah dengan alif lam ( ).
Dengan ketentuan tersebut maka contoh (1) pada kata haqquh yang marifah
harus dirubah menjadi nakirah yakni haqq. Kata haqquh sebenarnya merupakan frasa
idhfi antara ism haqq dengan dhamr muttashil h, sehingga menjadikannya marifah
dan tidak tepat digunakan untuk mudhf. Sedangkan pada contoh (2) meskipun sama
kesalahannya dengan contoh (1), yakni mudhf berupa marifah, akan tetapi berbeda dalam
pembentukan marifah-nya. Kata al-qiym (yang tepat adalah iqmah, bukan qiym, di
sini terdapat kesalahan isytiqq juga) sebagai mudhf dibentuk menjadi marifah dengan
penambahan alif lam di awalnya. Karena itu pembetulannya dengan cara menghilangkan
alif lam penanda marifah tersebut menjadi iqmah.
analogi dari jumlah ismiyyah. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam jumlah ismiyyah diharuskan
adanya kesesuaian dalam adad (selain dalam hal nau), pembelajar kemudian menganalogikan
hal ini ke dalam jumlah filiyyah yang sebenarnya hanya disyaratkan memiliki kesesuaian dalam
nau saja. Pembelajar melakukan kesalahan dengan membuat fil yang mengandung adad
sejumlah adad yang ada pada fil.
Pada jenis kesalahan ke tiga, yakni membuat mudhf dalam bentuk marifah yang
seharusnya berbentuk nakirah, pembelajar menganalogikan dengan frasa nati, susunan nat
mant yang memang dipersyaratkan adanya kesamaan dalam tayn, yakni kesesuaian dalam
marifah atau nakirah. Hal ini tidak berlaku intuk frasa idhf, susunan mudhf-mudhf ilaih, di
mana kata pertama harus nakirah. Pada kesalahan di atas, pembelajar menerapkan ketentuan
yang berlaku pada frasa nat kepada frasa idhf melalui generalisasi dengan menyamaratakan
ketentuan yang ada pada kedua frasa tersebut.
4. Struktur , jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 44 ungkapan atau 14,1 %
dari kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis dan 10 % dari jumlah keseluruhan
kesalahan yang terjadi. Kesalahan dalam struktur ini dapat berupa penambahan
kata, penghilangan kata, dan susunan yang lemah.
- Menambah kata dalam kalimat, terdapat kesalahan sebanyak 20 ungkapan, atau
6,4 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 4,5 % dari seluruh
kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara
kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah :
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
(3) , seharusnya
Pada contoh (1) terjadi penumpukan ism maushl yaitu al-ladz dan m. Dalam
bahasa Arab terdapat dua macam ism maushl, yang khsh (khusus) dan musytarak (umum).
Ism maushl yang khsh mengandung konsekuensi penyesuaian dalam nau dan adad
sesuai dengan yang diinginkan penggunanya. Sedangkan ism maushl yang musytarak
239
diberlakukan tanpa melihat nau dan adad. Pada contoh di atas, penutur menggunakan dua
macam ism maushl tersebut secara beriringan sehingga hal ini perlu dibuang salah satunya.
Membandingkan dua macam ism maushl yang digunakan tersebut, nampaknya yang harus
digunakan adalah ism maushl yang musytarak yakni m, karena ia mencakup kepada
semua hal yang terkait dengan pengertian sunnah sebagaimana diinginkan penutur.
Contoh (2) menunjukkan kekurangtepatan penutur dalam menggunakan ism
maushl yang seharusnya tidak disertakan. Kata aml yang nakirah tidak perlu
menggunakan ism maushl, dan cukup langsung bersambung dengan jumlah setelahnya,
sebagai nat. Karena dengan langsung ke jumlah setelahnya telah menunjukkan hubungan
keterangan, sehingga tidak perlu ditambahkan ism maushl yang juga menjadi penjelas
(keterangan). Sedangkan pada contoh (3) terdapat penambahan m maushl yang diikuti
dengan ism shifah (berupa ism fil). Seharusnya, penutur tidak perlu menambahkan m
karena ism shifah setelahnya sudah cukup memenuhi makna yang diinginkan oleh penutur.
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
- Struktur yang lemah, yakni kelemahan dalam uslb / rangkaian kata. Yang
dikategorikan dalam kesalahan ini adalah apabila ditemukan lebih dari satu
kesalahan struktur dalam satu kalimat. Dalam hal ini terdapat kesalahan
sebanyak 8 ungkapan, atau 2,6 % dari kesalahan yang ada pada aspek
sintaksis, dan 1,8 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek
sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi pada
kelompok ini contohnya adalah :
(1) , seharusnya
(2) , seharusnya
dilihat dari tipe-tipe kesalahan yang ada. Tarigan menyatakan bahwa dalam
kesalahan penambahan ini terdapat tiga tipe, yakni penandagandaan, regularisasi,
dan penambahan sederhana. Penandaan ganda, yang dimaksud adalah penambahan
yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai kegagalan menghilangkan beberapa
242
unsur, yang dalam sebuah konstruksi linguistik diperlukan, namun pada konstruksi
lain tidak perlu dihilangkan. Hal ini seperti terlihat pada contoh (1) di atas, di mana
penutur meletakkan al-ladz dan m, yang keduanya sama-sama ism maushl.
Yang ketiga adalah adalah salah formasi atau salah susun. Sebagaimana
penamaannya, salah susun merupakan salah letak, ditandai oleh penempatan yang
tidak benar bagi suatu kata atau susunan kata (frasa/klausa) dalam suatu kalimat.
Dengan demikian salah susun adalah kesalahan letak, atau penempatan sebuah kata
atau kelompok kata yang tidak tepat. Salah letak ini berupa pertukaran tempat
yang semestinya di belakang ternyata diletakkan di depan, dan sebaliknya. Kedua
contoh di atas, pada kelompok kesalahan struktur yang lemah, memperlihatkan
jenis kesalahan salah susun ini di mana penutur pada contoh (1) membuat frasa
shilah maushl dalam bentuk jumlah ismiyyah dengan pengulangan kata
sebelumnya yang menjadikannya tidak efisien, sehingga perlu dirubah ke bentuk
jumlah filiyyah. Demikian juga pada contoh (2) pembentukan jrr majrr yang
dapat disingkat melalui frasa idhf. Pembentukan frasa idhf dirasakan lebih tepat
dibandingkan dengan pola jrr majrr.
untuk mengetahui kesalahan pada aspek apa saja yang memiliki frekuensi paling sering
terjadi. Dari sini pula nantinya dapat diidentifikasi penyebab kesalahan yang terjadi
pada aspek sintaksis. Karena itu pembahasannya meliputi frekuensi kesalahan dan
faktor-faktor yang menjadi penyebab kesalahan.
3. Frekuensi Kesalahan Sintaksis
Data rekaman kegiatan belajar mahasiswa yang berupa diskusi mata kuliah
ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu agama merupakan jawaban atas masalah-masalah
dalam penelitian ini. Hasilnya berupa kalimat-kalimat yang memberikan gambaran
tentang kesalahan berbicara dan penguasaan bahasa Arab mereka, khususnya
penguasaan sintaksis (nahw). Data lengkap kesalahan baik dalam rangkuman
prosentase maupun transkrip kalimat disajikan dalam lampiran II.
Berdasarkan lampiran I yang memuat prosentase kesalahan gramatika dalam
bahasa tutur mahasiswa, diketahui bahwa dalam berbahasa tutur yang berupa kegiatan
diskusi selama berlangsungnya perkuliahan, mahasiswa membuat kesalahan-kesalahan
dalam aspek sintaksis sebagai berikut :
Jumlah seluruh kesalahan sintaksis adalah sebanyak 313 dari total seluruh
kesalahan yang ada, atau sebesar 71 %, yang terdiri atas :
(1) Kesalahan dalam persesuaian adad : 17 (5,4 % kesalahan sintaksis, atau 3,9 %
total kesalahan)
(2) Kesalahan dalam persesuaian nau : 127 (40,6 % kesalahan sintaksis, atau 29,9 %
total kesalahan)
(3) Kesalahan dalam persesuaian tayn : 13 (4,2 % kesalahan sintaksis, atau 2,9 %
total kesalahan)
(4) Kesalahan dalam hal irb : 101 (32,3 % kesalahan sintaksis, atau 22,9 % total
kesalahan)
(5) Kesalahan yang terkait dengan kaidah khusus : 11 (3,5 % kesalahan sintaksis, atau
2,5 % total kesalahan)
245
(6) Kesalahan dalam hal struktur kalimat : 44 (14,1 % kesalahan sintaksis, atau 10 %
total kesalahan)
Dari perincian di atas, dapat diketahui bahwa kesalahan-kesalahan berbahasa
dalam berbicara mahasiswa pada aspek sintaksis terbagi atas enam jenis yakni
kesalahan persesuaian dalam hal adad, kesalahan persesuaian dalam hal nau,
kesalahan persesuaian dalam hal tayn, kesalahan irb, kesalahan yang terkait dengan
kaidah khusus, dan kesalahan dalam hal struktur kalimat.
Dari enam jenis tersebut, kesalahan yang paling banyak dibuat oleh
mahasiswa pada aspek sintaksis ialah kesalahan dalam tawfuq nau, yakni sebanyak
127 kesalahan atau 40,6 % dari seluruh kesalahan sintaksis. Pada jenis kesalahan ini,
sebenarnya masih terbagi atas beberapa sub jenis kesalahan sebagai wujud adanya
beberapa konstruksi (pola susunan) yang terdapat pada ungkapan bahasa Arab.
Sub-sub tersebut, sebagaimana dapat dilihat pada lampiran, adalah kesalahan dalam
persesuaian antara ism dengan fil, antara ism dengan dhamr, antara maushl dengan
id shilah, antara fil dengan fil, antara nat dengan mant, dan antara isyrah
dengan musyr ilaih.
Tawfuq nau menduduki kesalahan yang paling banyak dilakukan oleh
mahasiswa dalam berbahasa tuturnya, yakni 135 kesalahan atau 42,7 % kesalahan
morfologi, dan 29,9 % kesalahan keseluruhan, yang hal ini menunjukkan bahwa
pembelajar masih belum memiliki kemantapan kaidah dalam pengungkapan secara lisan
untuk pola-pola susunan yang diharuskan memenuhi persyaratan persesuaian ini.
Melihat banyaknya sub jenis kesalahan yang tidak sedikit (6 sub jenis kesalahan) hal ini
juga menunjukkan dominannya peran sistem nau dalam konstruksi kalimat bahasa
Arab.
4. Faktor Penyebab Kesalahan Sintaksis
Dari uraian deskripsi dan frekuensi kesalahan sebelumnya, maka dapat
diketahui faktor-faktor yang menjadi penyebab kesalahan. Diantara
246
dapat dikelompokkan atas dua macam, yaitu kesalahan antarbahasa (interferensi) dan
kesalahan intrabahasa. Kedua kesalahan tersebut merefleksikan peristiwa-peristiwa
yang mengiringi proses pembelajaran B2 pada seorang pembelajar. Artinya, bahwa hal
dimilikinya pada saat menggunakan B2nya, melalui tulisan ataupun lisan. Transfer
bahasa bagi pembelajar B2 yang telah memiliki B1 merupakan suatu keniscayaan yang
sulit dihindari. Analisis kontrastif telah membuktikan adanya peristiwa transfer bahasa
tersebut. Hipotesis analisis ini menyatakan bahwa adanya perbedaan-perbedaan yang
terdapat pada bahasa sumber (B1) dan bahasa sasaran (B2) dapat menimbulkan
dalam kategori ini adalah yang terkait dengan persoalan tawfuq, baik dalam adad,
nau maupun tayn.
Persoalan persesuaian ini tidak dijumpai dalam B1 pembelajar karena itu
kesalahan dalam jenis ini termasuk yang paling banyak dilakukan, yakni masing-masing
adad, nau maupun tayn adalah 3,9 %, 28,8 % dan 2,9 % dari seluruh kesalahan.
Tingginya frekuensi kesalahan pada persesuaian ini karena banyaknya konstruksi yang
mensyaratkan persesuaian-persesuaian, sehingga mengharuskan pembelajar B2
benar-benar memahaminya dengan tuntas agar tidak selalu jatuh pada kesalahan karena
hal ini tidak ditemukan dalam B1 mereka. Akibatnya mereka membawa kaidah B1
yang tidak memiliki persamaan ini ke dalam B2 mereka pada saat membuat ungkapan
bahasa Arab.
Konsep adad terkait dengan ism maupun fil dan melekat pada kedua
macam kata tersebut, artinya setiap kali menyebutkan ism maupun fil maka kata itu
selalu diikuti dengan adad. Berikut ini adalah contoh kesalahan sebagaimana yang
menunjukkan bilangan jam padahal dari konteks ungkapan, dapat dipahami bahwa
yang dimaksudkannya adalah untuk bilangan yang lebih dari dua. Maka seharusnya fil
(kata bergaris bawah) seharusnya dibuat dalam bentuk jam (plural), bukan mufrad
(tunggal) sebagaimana contoh di atas. Nampaknya, penutur mentransfer begitu saja
pola yang ada dalam B1nya, yakni bahasa Indonesia yang tidak mengenal konsep
kesesuaian adad.
Pada ungkapan tersebut seharusnya kata bergaris bawah dihadirkan dalam bentuk jam
sesuai dengan persyaratan kesesuaian adad dalam konstruksi jumlah ismiyyah, yakni
248
antara mubtada (subyek) dengan khabar (predikat). Dhamr hum sebagai subyek
menunjukkan bilangan jam karena itu kata setelahnya sebagai predikat harus sesuai
dengan subyek dalam adad, sehingga harus dibentuk jam pula. Hal ini membuktikan
bahwa nampaknya penutur melakukan transfer pola dalam B1nya yang tidak mengenal
kesesuaian antara subyek dengan predikat dalam hal bilangan, sehingga mengucapkan
predikat apa adanya (bentuk mufrad-nya) tanpa merubah menjadi bentuk jam.
Tawfuq nau juga demikian halnya, dipergunakan dalam banyak konstruksi,
bahkan mungkin lebih banyak lagi konstruksi yang mengharuskan adanya persesuaian
dalam nau dibandingkan dengan adad. Terbukti bahwa tawfuq nau ini menduduki
kesalahan yang paling banyak dilakukan oleh mahasiswa dalam bahasa tuturnya, yakni
127 kesalahan atau 40,6 % dalam kesalahan morfologi, dan 28,8 % dalam keseluruhan
kesalahan. Artinya, hal ini menunjukkan bahwa banyak konstruksi dalam bahasa Arab
yang menjadikan persesuaian nau ini sebagai salah satu persyaratan. Hal ini juga dapat
dilihat pada banyaknya sub jenis kesalahan (yakni macam-macam konstruksi) yang
terjadi. Diantara contoh kesalahan-kesalahan dalam tawfuq nau ini, misalnya (1)
meskipun berbeda dalam konstruksi. Konstruksi pertama dan kedua berupa tarkb
isnd , yang pertama dalam pola jumlah ismiyyah yang terdiri dari mubtada dan
khabar, dan yang ke dua dalam pola jumlah ismiyyah yang terdiri dari fil dan fail,
sedangkan konstruksi ke tiga berupa tarkb washf yang terdiri dari mant dan nat.
Adapun tawfuq tayn memang tidak dipergunakan pada banyak konstruksi
sebagaimana tawfuq adad dan nau. Hal ini juga terbukti dari frekuensi kesalahan
yang terjadi pada bahasa tutur mahasiswa, yakni sebanyak 13 kesalahan, atau 4,2 %
kesalahan sintaksis dan 2,9 % kesalahan secara keseluruhan. Kesalahan sebanyak 14
kali itu pun hanya pada satu macam saja, yakni mant berbentuk nakirah sedangkan
249
nat berbentuk marifah. Untuk kesalahan yang berpola sebaliknya, yakni mant
berbentuk marifah dan nat berbentuk nakirah ternyata tidak ada. Diantara
tarkb washf yang menuntut kesamaan tayn antara mant dengan nat. Dalam
bahasa Indonesia sebagai B1 pembelajar, untuk konstruksi seperti itu tidak dikenal
adanya aturan kesesuaian, apalagi dalam B1 mereka juga tidak dikenal konsep tayn
adalah terkait dengan struktur atau pola susunan kalimat. Dalam bahasa Arab banyak
dijumpai susunan baik pada tingkat frasa maupun klausa. Belum lagi pola-pola itu
memiliki perbedaan dengan pola yang ada dalam B1 pembelajar. Diantara pola yang
paling menyolok perbedaannya adalah adanya susunan jumlah filiyyah, di mana pada
pola ini yang menjadi awal kalimat adalah fil (kata kerja/verba/predikat) baru
kemudian fil (subyek), meskipun tidak ditemukan kesalahan yang banyak untuk pola
bentuk mutsann pada fil, padahal seharusnya cukup dengan bentuk mufrad-nya
meskipun fil menunjukkan mutsann atau jam .
Arab dikenal pola frasa mashdar muawwal yang terdiri dari an dan fil. B1
pembelajar tidak memiliki pola seperti ini sehingga pada susunan di atas penutur
250
langsung saja menghadirkan fil mudhri setelah qabla yang seharusnya didahului
dengan huruf an. Demikian pula halnya yang terjadi pada contoh berikut ini,
sebenarnya tidak perlu. Juga dapat dilihat pada ungkapan yang berikut ini,
membuat ungkapan-ungkapan dalam B2nya. Kesalahan yang ada terkait dengan salah
susun atau penambahan dan penghilangan ini mencapai 44 kali, atau 10 % dari total
kesalahan keseluruhan.
Itulah antara lain contoh-contoh yang menunjukkan adanya transfer negatif
atau interferensi akibat penggunaan kaidah atau pola B1 pembelajar pada saat
sehingga pada saat tertentu ia masih memanggil dan merujuk kaidah B1nya dan
dwibahasawan yang tidak seimbang, karena memang masih dalam tahap belajar dan
penyempurnaan kaidah-kaidah B2.
d. Kesalahan Intrabahasa
Kelompok kesalahan ini, yakni intrabahasa, berupa kesalahan-kesalahan yang
merefleksikan ciri-ciri umum kaidah B2 yang sedang dipelajari oleh pembelajar. Dalam
251
dari struktur dan kaidah B1 yang telah dimilikinya. Akan tetapi melakukan
Karena itulah dari sini muncul istilah intrabahasa, intralingual dan bukan antarbahasa
atau interlingual/interferensi. Dalam kesalahan intrabahasa, Richards (1971) dan Fisiak
(1985) menyatakan bahwa penyebab kesalahan meliputi penyamarataan yang
berlebihan (over generalization), ketidaktahuan pembatasan kaidah (ignorance of rule
restrictions), penerapan kaidah yang tidak sempurna (incomplete application of rules),
dan salah menghipotesiskan konsep (false concepts hypothesized).
Data yang diperoleh dari kegiatan diskusi mahasiswa memang tidak
seluruhnya menunjukkan adanya kesalahan akibat pengaruh B1 atau interferensi.
Dalam kenyataannya ditemui juga adanya kesalahan yang bukan disebabkan oleh
faktor B1nya akan tetapi karena belum lengkapnya kaidah, atau sudah memiliki kaidah
akan tetapi belum sampai pada tahap stabilisasi sehingga terkadang masih melakukan
kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan merupakan hal yang wajar
dalam proses penguasaan B2 karena hal itu sekaligus menunjukkan perkembangan
penguasaan B2nya. Beberapa kesalahan yang dapat dikelompokkan dalam kategori ini
misalnya yang terkait dengan irb dan juga pembentukan pola atau susunan tertentu.
Kesalahan pada irb terjadi karena B1 pembelajar sama sekali tidak
mengenal konsep itu. Irb bukan sekedar menjadi penanda akhir sebuah kata, akan
tetapi juga menunjukkan posisi dan kedudukan kata tersebut. Dengan tiadanya konsep
irb pada B1 pembelajar, maka tidak dapat dikatakan bahwa kesalahan pada
penandaan irb merupakan pengaruh B1. Pembelajar tidak akan melakukan transfer
negatif kalau pada B1nya tidak dikenal konsep yang sama. Dengan demikian kesalahan
yang terjadi pada masalah ini semata-mata merupakan kesalahan pembelajar dalam
252
menunjukkan bahwa penutur masih terpengaruh dengan pola jumlah ismiyyah di mana
ism pertamanya dibaca rafa. Penutur belum mengetahui (atau mungkin sudah
mengetahui akan tetapi kurang sempurna pemahamannya) adanya kaidah yang
menyebabkan suatu kata dibaca rafa, nashab, atau jarr. Akan tetapi, dalam kasus
tersebut dia tidak tepat dalam memberikan irb, sehingga bergaris bawah yang
seharusnya dibaca berbeda (tidak dalam keadaan rafa sebagaimana ism pertama
jumlah ismiyyah) ternyata diberikan penanda irb yang sama, yakni rafa (dengan
harakah dlammah). Nampaknya penutur mengambil kaidah mubtada, di mana ism
yang ada pada permulaan kata harus dibaca rafa.
mana kesalahan yang dibuat oleh penutur merupakan pengaruh dari kaidah B2 yang
telah dipelajarinya, yakni hukum kna wa akhawtuh. Pada pola yang normal ism
kna terletak setelahnya, akan tetapi pada ungkapan di atas terletak setelah khabar
yang mendahuluinya. Karena itulah penutur mentransfer pola normal dengan
melakukan generalisasi sehingga mengakibatkan adanya kesalahan. Hal yang demikian
ini wajar terjadi, yakni pembelajar mentransfer dan menggunakan kaidah B2 yang telah
secara benar, karena dia akan memindah kata qiym/iqmah atau ahruf begitu
saja, tanpa perlu menambahkan awalan alif lam. Penalaran yang demikian lebih
mendekati kepada penyebab kesalahan yang sebenarnya dibandingkan mengkaitkannya
dengan pengaruh B1 pembelajar.
Contoh kesalahan tarkb idhf berikut ini ikut memperkuat dugaan tersebut,
yang harus digunakan untuk merujuk kepada angka 3 hingga 10. sedangkan contoh ke
dua menunjukkan pola yang harus digunakan untuk merujuk kepada angka belasan.
Dan masing-masing pola memiliki aturan tersendiri yang berbeda-beda. B1 pembelajar
tidak mengenal pola susunan yang berbeda dengan aturan-aturan tersendiri sehingga
terkesan rumit. B1 pembelajar tidak memiliki pola adad madd yang diatur-atur
sehingga terkesan rumit. Pada contoh di atas, pola yang digunakan tidak ada yang
mirip atau sama dengan pola pada B1 pembelajar. Karena itulah dalam hal ini tidak
Indonesia. Diantara karakteristik bahasa Arab ada yang memang tidak dimiliki oleh
bahasa Indonesia, namun ada juga yang dimiliki oleh bahasa Indonesia akan tetapi
memiliki perbedaan. Karakteristik inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya
kesalahan berbahasa dalam aspek sintaksis.
Hasil verifikasi data kesalahan berbahasa menunjukkan bahwa
kesalahan-kesalahan gramatikal mahasiswa memang terkait dengan karakteristik
bahasa Arab baik yang berhubungan dengan sintaksis. Karakteristik tersebut ada yang
ditemui juga dalam B1 pembelajar, dan ada juga yang memang tidak dimiliki.
g. Konsep irb , yang berupa perubahan akhir suatu kata dari satu bentuk ke bentuk
yang lain, baik berubah dalam fonem (harakah) maupun penambahan atau
perubahan huruf pada akhir kata. Perubahan tersebut terkait dengan perubahan
fungsi atau posisinya dalam sebuah susunan kalimat. Irb dengan segala macam
jenis dan tandanya memberikan implikasi yang tidak sedikit bagi terjadinya
kesalahan pada pembelajar. Data menunjukkan bahwa kesalahan irb pada
mahasiswa subyek penelitian mencapai 101 dari 313 kesalahan sintaksis, atau
mencapai 32,3 %-nya, dan 22,9 % dari seluruh kesalahan morfologi dan sintaksis
yang berjumlah 441. Yang juga menjadi catatan adalah kesalahan terbanyak ada
pada irb ism, mencapai 98 dari 101 kesalahan irb. Hal ini karena pada
umumnya fil bersifat mabni, berbeda dengan ism yang pada umumnya murab.
Hal yang demikian ini berbeda dengan B1 pembelajar yang tidak memiliki konsep
Apabila fil mudzakkar maka fiil yang digunakan juga harus mudzakkar, dan
demikian pula untuk muannats. Sedangkan persesuaian dalam tayn misalnya pada
tarkb washf, yakni susunan nat mant. Bila kata pertama (mant) berbentuk
marifah maka nat juga harus marifah, dan demikian pula untuk sebaliknya.
Persesuaian semacam ini tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia sebagai B1
pembelajar, karena konsep ketiganya, yakni adad, nau, dan tayn yang melekat
pada ism ataupun fil tidak ditemukan pada bahasa Indonesia sebagaimana yang
ada pada bahasa Arab. Persesuaian yang melibatkan tiga konsep tersebut
menjadikan problema tersendiri bagi pembelajar bahasa Arab. Terbukti pada data
kesalahan berbahasa yang menunjukkan frekuensi kesalahan tawafuq menduduki
posisi yang paling tinggi. Gabungan kesalahan pada tiga macam tawafuq tersebut
mencapai 157 dari 313 kesalahan sintaksis, atau 50,2 %-nya, dan 35,6 % kesalahan
keseluruhan sintaksis dan morfologi yang berjumlah 441 kesalahan.
i. Beragamnya pola tarkb (susunan). Susunan dalam bahasa Arab memiliki banyak
ragam pola yang bervariasi. Susunan dalam tingkat frasa, klausa maupun kalimat
dalam bahasa Arab memang menunjukkan keragaman dan kekayaan, namun
demikian hal ini sekaligus menimbulkan kerumitan bagi pembelajar asing, apalagi
yang tidak memiliki kesamaan dalam B1nya. Diantara pola yang biasa digunakan
saja, seperti tarkb isnd, terdapat dua macam pola, yakni pola yang diawali
dengan ism, disebut dengan jumlah ismiyyah, dan pola yang diawali dengan fil,
disebut dengan jumlah filiyyah. Dua jumlah yang masih dalam satu jenis tarkb ini
dapat menimbulkan kerumitan karena yang dikenal oleh pembelajar dalam sistem
B1nya, hanyalah pada jenis pertama yakni jumlah ismiyyah. Hal ini terbukti masih
Kesalahan ini memang tidak banyak akan tetapi tetap menunjukkan perbedaan
sistem B1 dengan B2 mengakibatkan adanya kesalahan. Atau sedikitnya kesalahan
pada jenis ini disebabkan oleh tingkat pengetahuan pembelajar subyek penelitian
yang memang termasuk kategori lanjutan, sesuai dengan karakteristik data yang
telah penulis sebutkan pada bab sebelumnya. Tarkb lain yang juga rentan
menimbulkan kesalahan adalah idhf. Tarkb ini memiliki kemiripan dengan
washf. Terbukti kesalahan yang dibuat mahasiswa subyek penelitian pada tarkb
idhf ini kesemuanya adalah membuat marifah pada mudhf yang seharusnya
nakirah. Dengan membuat mudhf dalam bentuk marifah yang mudhf ilaihnya
juga marifah maka hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku pada tarkb washf
yang mensyaratkan adanya persesuaian dalam tayn. Kesalahan dalam jenis ini
mencapai 7 kali atau 2,2 % kesalahan sintaksis dan 1,6 % kesalahan keseluruhan
sintaksis dan morfologi. Kesalahan akibat beragamnya tarkb ini juga didukung
oleh kesalahan yang terjadi pada pola adad dan madd. Pola adad madd
yang memiliki banyak macam ini berbeda dengan pola serupa yang ada pada B1
pembelajar. Pada pola ini terjadi kesalahan sebanyak 3 kali, atau 1 % kesalahan
morfologi, dan 0,7 % kesalahan keseluruhan.
Dari uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa faktor penyebab
timbulnya kesalahan-kesalahan berbicara dalam bahasa Arab pada aspek sintaksis oleh
mahasiswa subyek penelitian dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, terdapat
kecenderungan mahasiswa mengalihkan pola-pola kalimat B1 mereka yakni bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Arab sehingga hasil ketika mereka berbicara dalam konteks
presentasi dan diskusi perkuliahan masih kelihatan adanya pengaruh bahasa Indonesia
terhadap bahasa Arab. Pengaruh-pengaruh ini seperti kesalahan yang terkait dengan
persoalan tawfuq, baik dalam adad, nau maupun tayn. Kesalahan yang semacam
ini disebut dengan kesalahan interlingual/antarbahasa.
258
Di samping itu, ada kesalahan yang disebabkan oleh faktor kesulitan dalam
bahasa Arab itu sendiri, misalnya adanya perbedaan pada unsur-unsur bahasa antara
bahasa Indonesia dengan Arab seperti di atas. Beberapa kesalahan yang dapat
dikelompokkan dalam kategori ini misalnya yang terkait dengan irb dan juga
pembentukan pola atau susunan tertentu, seperti tarkb washf dan idhaf. Hal-hal
inilah yang menimbulkan kesalahan dalam berbahasa tutur oleh mahassiswa MAHAT
pada saat kegiatan diskusi pelajaran di kelasnya. Kesalahan semacam ini disebut
dengan kesalahan intralingual atau intrabahasa.
petunjuk bagaimana bahasa seharusnya dipelajari, strategi dan prosedur apa yang
digunakan dan seharusnya dikembangkan dalam rangaka penguasaan bahasa asing.
Terkait dengan hal di atas maka hal yang penting dilakukan setelah
diketahuinya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar, dan setelah
kesalahan-kesalahan berbahasa dalam berbicara dapat diidentifikasi, diklasifikasikan,
dan dicari faktor-faktor penyebabnya, maka selanjutnya adalah bagaimana membuat
259
agar kesalahan tidak lagi terjadi melalui upaya-upaya seperti strategi pembetulan
kesalahan, pemberian latihan-latihan, dan penyusunan materi bahan ajar bahasa Arab.
apapun yang mengarah kepada upaya pembetulan; (5) penguatan positif dan negatif
yang melibatkan persepsi setuju atau tidak setuju. Persepsi setuju dan tidak setuju
dapat dilakukan melalui upaya kinesik, paralinguistik, ekspresi wajah, anggota badan,
dan lain sebagainya.
Dengan cara pembetulan yang secara tidak langsung maka akan memberikan
kesempatan kepada pembelajar untuk ikut serta berperan aktif dan kreatif karena akan
berusaha membetulkan kesalahannya sendiri. Pembelajar juga merasa dihargai
kemampuannya untuk membetulkan sendiri sehingga tidak terasa menyakitkan
terhadap pembetulan kesalahan yang dilakukannya. Selain itu hal ini juga akan
memberikan efektivitas dan efisiensi dalam pembelajaran karena tidak setiap kesalahan
harus dibetulkan oleh pengajar.
Berdasarkan pengamatan penulis, dan pengecekan data rekaman menunjukkan
bahwa peran pengajar dalam pembetulan kesalahan belum ditemukan. Nampaknya
para pengajar belum merasa perlu untuk melakukan pembetulan-pembetulan di saat
pengajaran mata kuliah mereka. Bisa saja hal ini disebabkan oleh waktu yang tersita
lebih banyak untuk pembahasan materi kuliah yang bersangkutan, sehingga waktu
digunakan habis untuk menerangkan atau mengulang pembahasan yang telah
disampaikan oleh mahasiswa melalui media diskusi kelas. Dengan adanya hasil
penelitian ini tentu saja diharapkan pembetulan kesalahan bukan hanya merupakan
tanggung jawab pengajar materi bahasa Arab, atau hanya terjadi pada saat mata kuliah
yang terkait dengan bahasa Arab saja. Peran pengajar secara keseluruhan, yang selain
kompeten dalam bidang keilmuan masing-masing juga cakap dalam kemampuan
berbahasa Arab aktif, merupakan kebutuhan mutlak dalam rangka ikut membantu
meminimalkan kesalahan mahasiswa dalam berbahasa lisan.
tersebut. Hal ini berdasarkan pertimbangan silabus materi bahasa Arab yang mungkin
saja telah dibakukan sejak awal. Alternatif lain adalah pengajaran tetap berjalan sesuai
dengan kurikulum dan urutan silabi yang telah ada, namun dengan penguatan dan
latihan-latihan yang lebih intensif pada bagian-bagian yang sering menimbulkan
kesalahan.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis terhadap data kesalahan gramatika mahasiswa
Mahad Aly Hasyim Asyari Tebuireng Jombang (selanjutnya disingkat MAHAT)
dalam bahasa tutur, maka dapat disimpulkan bahwa kesalahan gramatika yang
dilakukan oleh mahasiswa MAHAT memperlihatkan dua sumber/penyebab kesalahan
berbahasa, yakni kesalahan antarbahasa atau interferensi, dan kesalahan intrabahasa.
Kesalahan antarbahasa bersumber pada pengaruh sistem bahasa ibu pembelajar, dalam
hal ini adalah bahasa Indonesia. Pemelajar (dalam hal ini adalah mahasiswa MAHAT)
membuat peralihan-peralihan sistem B1 ke dalam sistem B2 sehingga terjadilah
tidak sama atau tidak dimiliki pada sistem B1 pembelajar. Pola dan problematika
B. Saran
Berdasarkan temuan-temuan pada kesimpulan di atas, penulis memberikan
saran-saran sebagai berikut :
Perlunya dilakukan treatment terkait dengan jenis-jenis kesalahan berbahasa
tutur tersebut. Dalam hal ini dapat diwujudkan melalui strategi pembetulan kesalahan,
dan pemberian latihan-latihan terutama terkait dengan jenis-jenis kesalahan yang dibuat
oleh mahasiswa MAHAT.
Juga, keterlibatan semua tenaga pengajar yang notabene memiliki
keterampilan bahasa yang bagus dapat dimaksimalkan dalam setiap aktivitas
pengajaran. Bahwa kesalahan berbahasa bukanlah tanggungjawab tenaga pengajar
bidang studi bahasa saja, akan tetapi semua pihak yang menjadi bagian dari lembaga
penyelenggara pengajaran di MAHAT.
Selain itu dapat dipertimbangkan juga perlunya restrukturisasi bahan
pengajaran terutama dalam aspek gramatika, nahw dan sharf. Hal ini penting
mengingat gramatika merupakan unsur utama dalam semua aspek keterampilan
267
berbahasa, tidak terkecuali keterampilan berbicara yang menjadi salah satu core
keterampilan yang harus dikuasai oleh mahasiswa MAHAT.
Terkait dengan kelanjutan penelitian, bahwa penelitian ini baru sebatas
permulaan yang selanjutnya dapat dilakukan dengan lebih intens dan menyeluruh.
Keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini menyisakan masalah-masalah yang
dapat ditindaklanjuti penelitiannya. Hal-hal sebagaimana dimaksud adalah seperti
jenis-jenis keterampilan berbahasa tutur lainnya selain diskusi; penelusuran unsur-unsur
yang terkait dengan bahasa tutur seperti nabr, tanghm, saktah, dan lain sebagainya;
dan juga variabel penelitian selain morfologi dan sintaksis seperti kosa kata,
semantik, atau penggunaan preposisi, dan juga terutama yang terkait dengan berbahasa
tutur seperti fonologi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Suparman Ibrahim dkk, Mahad Aly Profil Pendidikan Tinggi Pondok
Pesantren di Indonesia, Yogyakarta: RDI Indonesia, 2001.
Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Abdul Hamied, Fuad, Proses Belajar Mengajar Bahasa, Jakarta: Ditjen Dikti,
Depdikbud, 1987.
Abdul Massh, Mujam Qawid al-Lughah al-Arabiyyah, Beirut: Maktabah Lubnn,
1987.
Abdul Muin, Analisis Kontrastif Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia; Telaah
terhadap Fonetik dan Morfologi, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004.
Abdul Muin, Interferensi Gramatika antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab, Tesis,
PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003.
Abdul Wahab, Muhbib, Ragam Bentuk, Makna, dan Aplikasi Mashdar dalam Bahasa
Arab. Makalah dalam Jurnal al-Turats, Vo. 13 No. 1 Januari 2007.
Afghani, Said, al-, F Ushl al-Nahw, Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1987.
Ainin, Moh, Tahapan Perkembangan Bahasantara dan Implikasinya. Makalah dalam
Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 22 No. 1 Pebruari 1994, FPBS IKIP, Malang.
________Menyoal Penyelenggaraan Tes Kemampuan Berbicara, di MA. Makalah
dalam al-Hadlarah, Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab, Tahun I No.I
2001, IMLA.
Ali, Muhammad, Penilaian Kependidikan Prosedur dan Strategi, Bandung: Angkasa,
1982.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 1998.
Arsyad, Maidar G, Mukti US, Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia,
Jakarta: Erlangga, 1988.
Askar, Abu Hilal, al-, al-Furq al-Lughawiyyah, Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah,
tt.
Aslinda, Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, Bandung: Refika Aditama, 2007.
Asrori, Imam, Generalisasi Konstruksi Mafl Fih Makalah pada Jurnal Bahasa
dan Seni, Vol.XXI No.2 1993, FPBS IKIP Malang.
________, Sintaksis Bahasa Arab; Frasa-Klausa-Kalimat, Misykat, Malang, 2004
Aziez, Furqanul, A.Chaedar alwasilah, Pengajaran Bahasa Komunikatif; Teori dan
Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.
337
6 1
6 2
11 3
14 / 4
16 .. 5 ..
19 6
22 7
23 8
24 9
24 10
25 11
11 JUMLAH
2. Kesalahan Mutaadd-Lzim
No.
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.
168
345
1 1
1 2
1 3
1 4
2 5
2 6
2 7
3 8
3 9
3 10
5 11
6 12
/
8 13
7 14
9 15
12 16
12 17
12 18
14 19
15 20
16 21
16 22
18 23
169
346
18 24
18 25
19 26
19 27
21 28
22 29
22 30
23 31
23 32
23 33
23 34
25 35
25 36
25 37
37 JUMLAH
No.
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.
1 1
2 2
2 3
2 4
2 5
170
347
3 6
3 7
4 8
4 9
:
4 10
5 11
5 12
5 13
5 14
5 15
6 16
6 17
6 18
6 19
7 7 20
7 21
8 22
8 23
8 24
9 25
10 26
11 27
11 28
12 29
12 30
13 31
171
348
14 32
14 33
14 34
14 35
14 36
14 37
14 38
14 39
14 40
15 41
15 42
15 43
15 44
15 45
16 46
16 47
16 48
17 49
17 50
..
17 51
18 52
18 53
19 54
172
349
19 55
19,19 56
19 57
21 58
21 59
22 60
22 61
22 62
22 63
22 64
22 65
22 66
22 67
23 68
23 69
23 70
24 71
24 72
24 73
25 74
25 75
77 JUMLAH
Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini dikelompokkan sebagai berikut :
a. Kesalahan isytiqq pada ism berjumlah 32, terdiri dari :
- Pembentukan adad, berjumlah 1 ungkapan, yaitu nomor 72.
- Pembentukan jam taksr, berjumlah 4 ungkapan, yaitu nomor 6,16,30,dan 67.
173
350
No.
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.
3 1
7 2
14 3
4 JUMLAH
174
351
Resp.
2 1
2 2
3 3
3 4
6 5
6 6
7 7
7 8
8 9
8 10
10 11
11 12
12 13
16 14
17 15
18 16
25 17
17 JUMLAH
175
352
No.
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.
1 1
1 2
1 3
1 4
1 5
1 6
1 7
1 8
1 9
1 10
1 11
2 12
2 13
2 14
2 15
2 16
2 17
2 18
2 19
2 20
2 21
2 22
2 23
2 24
2 25
176
353
2 26
2 27
3 28
3 29
3 30
3 31
3 32
3 33
3 34
3 35
3 36
3 37
3 38
3 39
6 40
6 41
6 42
7 43
7 44
7 45
7 46
7 47
8 48
177
354
8 49
8 50
8 51
8 52
8 53
8 54
10 55
10 56
10 ...... 57
11 58
11 59
11 60
11 61
11 62
11 11 63
11 64
...
11 65
11 66
12 67
12 68
" "
12 69
12 70
178
355
12 71
12 72
13 73
14 74
14 75
14 / 76
14 77
15 78
15 79
15 80
15 81
15 ......... 82
16 83
16 84
16 85
16 86 .....
16 87
16 88
17 89
17
90
18 91
18 92
179
356
18 93
19 94
"......." "......."
19 95
19 96
19 97
20 98
20 99
20 100
20 101
21 102
21 103
21 104
21 105
22 106
22 107
22 108
22 109
22 110
22 111
22 112
23 113
23 114
23 115
23 116
24 117
24 118
180
357
24 119
24 120
24 24 121
24 24 122
25 123
25 124
127 JUMLAH
Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah :
a. Tidak adanya kesesuaian antara ism dengan fil, berjumlah 28 ungkapan, yaitu pada
nomor 1,2,6, 8,9,10,15,16,25,26,27,
33,39,44,59,61,62,69,71,72,75,87,89,90,98,108,121,dan 124.
b. Tidak adanya kesesuaian antara ism dengan dhamr, berjumlah 19 ungkapan, yaitu pada
nomor 3,5,23,28,29,31,34,35,45,57,68,77,78,82,99,101,106,114 dan 117.
c. Tidak adanya kesesuaian antara ism maushl dengan id shilah, berjumlah 6 ungkapan,
yaitu pada nomor 37,38,52,53,65,dan 121.
d. Tidak adanya kesesuaian antara fil dengan fil, berjumlah 31 ungkapan, pada nomor
11,13,21,22,30,32,46,49,54,60,66,79,80,81,83,86,91,96,97,100,107,109,110,111,112,1
13,118,119,120,dan 122(2x).
e. Tidak adanya kesesuaian antara nat dengan mant, berjumlah 23 ??ungkapan, yaitu
pada nomor 17,18,19,20,24,42,43,47,48,55,56,58,63,73,74,76, 84,88,93,105,115,116,
dan 123.
f. Tidak adanya kesesuaian antara isyrah dengan musyr ilaih, berjumlah 20 ungkapan,
yaitu pada nomor 4,7,12,14,36,40,41,50,51,63,64,67,70,85,92,94,95,102,103,dan 104.
No
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.
1 1
1 2
1 3
8 4
9 5
10 6
181
358
14 7
14 8
17 9
18 10
19 11
23 12
24 13
13 JUMLAH
Semua kesalahan yang ada berupa manut dalam bentuk nakirah, naat berbentuk marifah
No
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.
1 1
1 2
1 3
1 4
1 5
2 6
2 7
2 8
2 9
2 10
2 11
3 12
3 13
3 14
3 15
182
359
3 16
3 17
4 18
4 19
4 20
4 21
4 22
4 23
4 24
4 25
4 26
5 27
5 28
5 29
5 30
5 31
5 32
5 33
7 34
7 35
7 36
7 .... 37
7 38
7 39
9 40
10 41
11 42
11 43
183
360
12 44
12 45
12 46
13 47
13 48
13 49
13 50
13 51
13 52
14 53
14 54
14 55
15 56
15 57
16 58
16 59
16 60
16 61
16 62
17 63
17 64
18 65
18 66
18 67
18 68
184
361
18 69
18 70
18 71
19 72
19 73
19 74
19 75
19 76
19 77
19 78
19 79
19 80
20 81
20 82
20 83
21 / 84
21 85
21 86
21 87
21 88
22 89
22 90
22 91
22 92
22 93
185
362
23 94
24 95
24 96
24 97
24 98
25 99
25 100
25 101
101 JUMLAH
No
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.
1 1
1 2
/
2 3
6 4
7 5
11 6
13 7
186
363
13 8
15 9
22 10
24 11
11 JUMLAH
No
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.
1 1
1 2
2 3
2 4
2 5
3 6
3 7
3 8
6 9
6 10
6 11
187
364
7 12
7 13
7 14
8 15
8 16
8 17
8 18
11 19
12 20
13 21
14 22
14 23
14 24
14 25
14 26
14 27
14 28
14 29
16 30
16 31
16 32
17 33
17 34
17 35
...
17 36
..
188
365
18 37
18 38
19 39
19 40
22 41
22 42
25 43
25 44
44 JUMLAH
189