Anda di halaman 1dari 189

KESALAHAN GRAMATIKA DALAM BERBAHASA TUTUR

(Studi Kasus Mahasiswa Mahad l Hsyim Asyar PP Tebuireng Jombang)

TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister
Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab

Oleh:
AHMAD SHOLIHUDDIN
NIM: 06.2.00.1.13.08.0031

Pembimbing:
Prof. Dr. Aziz Fachrurozi, MA.

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2008

ii
PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama : Ahmad Sholihuddin


Tempat dan tanggal lahir : Surabaya, 24 Januari 1972
NIM : 06.2.00.1.13.08.0031
Alamat : Benowo III / 28 Surabaya

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul : Kesalahan


Gramatika Dalam Berbahasa Tutur : Studi Kasus Mahasiswa Mahad l
Hsyim Asyar PP Tebuireng Jombang adalah benar-benar karya saya sendiri,
didukung oleh berbagai sumber terkait. Jika dikemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya dan akan dibetulkan
sebagaimana mestinya. Dan jika ternyata tesis ini bukan karya saya sendiri, maka saya
siap dicabut gelar Magister saya.

Ciputat, 29 Agustus 2008


Yang membuat pernyataan,

Ahmad Sholihuddin

iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul : KESALAHAN GRAMATIKA DALAM BERBAHASA


TUTUR : Studi Kasus Mahasiswa Mahad l Hsyim Asyar PP Tebuireng
Jombang, yang ditulis oleh
Nama : Ahmad Sholihuddin
NIM : 06.2.00.1.13.08.0031
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta telah diperbaiki sesuai dengan permintaan, saran dan masukan pembimbing dan
disetujui untuk dibawa ke sidang ujian tesis.

Jakarta, 29 Agustus 2008

Pembimbing,

Prof. Dr. Aziz Fachrurozi, MA.

iv
PERSETUJUAN TIM PENGUJI

Tesis saudara Ahmad Sholihuddin (NIM : 06.2.00.1.13.08.0031) yang


berjudul KESALAHAN GRAMATIKA DALAM BERBAHASA TUTUR : Studi
Kasus Mahasiswa Mahad l Hsyim Asyar PP Tebuireng Jombang, telah
diujikan dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada hari Kamis, tanggal 4 September
2008, dan telah diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

TIM PENGUJI

Ketua Sidang / Penguji, Pembimbing / Penguji,

Prof. Dr. Suwito, MA Prof. Dr. Aziz Fachrurozi, MA

Tanggal: September 2008 Tanggal: September 2008

Penguji, Penguji,

Prof. Dr. Moh. Matsna, HS, MA Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA

Tanggal: September 2008 Tanggal: September 2008

v
ABSTRAK

Penelitian ini membuktikan bahwa kesalahan-kesalahan dalam berbahasa asing


(B2) tidak semata-mata disebabkan oleh pengaruh bahasa ibu (B1) pemelajar
(interferensi), akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor keberkembangan
pemelajar dalam merespon kaidah-kaidah B2 yang berbeda dengan B1nya.
Keberkembangan ini berakibat kepada kesalahan-kesalahan berbahasa yang disebabkan
oleh kesalahan melakukan overgeneralisasi, penerapan kaidah yang tidak sempurna,
kesalahan menghipotesiskan konsep, dan ketidaktahuan pembatasan kaidah. Kesalahan
ini dikenal dengan intralingual dan developmental.
Penelitian ini memperkuat pendapat Richards yang mengkoreksi Lado dkk.
Lado dengan teori interferensinya mengklaim bahwa kesalahan berbahasa semata-mata
disebabkan oleh pengaruh sistem B1 pemelajar yang mempengaruhi penggunaan
B2nya. Teori ini melahirkan analisis kontrastif. Richards kemudian menemukan bahwa
analisis kontrastif ternyata belum dapat mempredikasi semua kesalahan berbahasa yang
dilakukan oleh pemelajar B2. Menurutnya, kesalahan B2 merupakan implikasi dari
proses keberkembangan pemelajar, sehingga melahirkan bahasa pemelajar yang khas
dengan bentuk-bentuk tertentu, dan bentuk-bentuk tertentu tersebut bukan sebagai B1
dan bukan pula sebagai bentuk B2. Pada akhirnya bentuk-bentuk ini berangsur-angsur
mendekati sistem B2. Bahasa khas inilah yang oleh Selinker disebut dengan istilah
interlanguage, dan Namser menamakannya approximative system, serta Corder
mengistilahkannya dengan idiosyncratic dialects. Hasil koreksi ini kemudian
melahirkan teori analisis kesalahan.
Penelitian ini secara spesifik tidak membedakan antara kesalahan performansi
dan kompetensi, meskipun Corder (dengan dukungan Chomsky) membuat pembedaan
untuk itu. Pembedaan ini penting, akan tetapi sebagaimana dinyatakan oleh Dulay
bahwa dalam kenyatannya sering kali terjadi kesukaran untuk menentukan sifat atau
substansi suatu kesalahan tanpa mengadakan analisis secara cermat dan mendalam,
manakah yang termasuk kesalahan kompetensi dan manakah yang termasuk
performansi. Yang lebih penting dalam hal ini adalah, bahwa kesalahan ditentukan
berdasarkan ukuran ketidakberterimaan, dan juga bahwa kompetensi dan performansi
merupakan dua hal yang terkait, yakni bahwa kompetensi pemelajar muncul dalam
performansinya.
Data utama penelitian ini adalah keterampilan berbicara mahasiswa Mahad
l Hsyim Asyar PP Tebuireng Jombang yang dikumpulkan melalui metode simak,
berupa pengamatan peristiwa berbicara dalam bentuk diskusi dan presentasi
perkuliahan dalam berbagai matakuliah agama dan bahasa Arab. Data yang terkumpul
kemudian dilakukan identifikasi kesalahan dari aspek morfologi dan sintaksis, dengan
cara membandingkan tuturan subyek penelitian dengan bahasa yang baku, kemudian
dikelompokkan sesuai dengan jenis konstruksinya. Setelah itu direkonstruksi dengan
vi
cara memberikan bahasa bakunya, ditentukan jenis kesalahannya, frekuensi
kesalahannya, dan dilakukan interpretasi data.

ABSTRACT

This research proves that second language errors (L2) are not only caused by
interference from the learner mother language (L1), but also influenced by learner
developmental to response L2 system that defferent with L1 system. The
developmental causes learner fall in language errors such as overgeneralization,
ignorance of rule restrictions, incomplete application of rules, and false concepts
hypothesized. These errors called by intralingual or developmental errors.
This research also enforces Richards findings which corrected Lado and
friends. Lado s interference theory claimed that language errors caused by
interference form L1 system. It produced contrastive analysis study. Then Richards
findings explained that contrastive analysis could not predict yet all of language errors.
He said that L2 errors showed learner developmental process expressed special form
of language that he is using. Selinker named it interlanguage, and Namser named it
approximative system, and Corder named it idiosyncratic dialects.
Research makes no different between performance and competence errors,
although Corder (supported by Chomsky) distinguished them. The distinguish is
important but as Dulay said that practically there is difficulty to establish characteristic
and substantive of errors which one belongs to classified to performance and
competence errors without depth and neat analysis . The more important is language
errors are based on unacceptable and both of the performance and competence are
interrelation. The learner performance expresses his competence.
Primary data of this research are speaking skill of students of Mahad l
Hsyim Asyar Tebuireng which collected by listening method, by observing in
classroom discussion and subject presentation in several religions and language
subject. The data were processed by several steps, identifying based on errors
morfology and syntax by comparing between learner language and Arabic standard
language, making errors category according to kinds of structure, reconstructing
learner language (sentence) in standard language, establishing kinds of errors and the
frequencies, and finally data interpretating.

vii
viii
.

interlanguage approximative system


idiosyncratic dialects .

ix
TRANSLITERASI ARAB LATIN

A. Konsonan

Arab Latin Arab Latin


' dh
b th
t zh
ts
j gh
h f
kh q
d k
dz l
r m
z n
s w
sy h
sh y

B. Vokal panjang
=
=
=

C. Syaddah ( )
Syaddah dilambangkan dengan konsonan ganda.

D. Kata sandang

x
Kata sandang dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti dengan huruf
syamsiyyah maupun diikuti dengan huruf qamariyyah.
Contoh:
: al-durs : al-mudlraah

E. Ta' marbthah
Setiap ta' marbthah ditulis dengan "h" jika kata tersebut berdiri sendiri,
seperti "al-lughah". Hal yang sama juga berlaku jika ta' marbthah diikuti
oleh kata sifat, seperti "al-jumlah al-ismiyyah", dan pada ta' marbthah pada
dua kata yang bacaannya terpisah, seperti kata "al-lughah al-arabiyyah ".

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jenis-jenis Kesalahan Morfologi hal. 54


Tabel 2 Jenis-jenis Kesalahan Isytiqq pada Ism hal. 63
Tabel 3 Jenis-jenis Kesalahan Isytiqq pada fil hal. 70
Tabel 4 Jenis-jenis Kesalahan Sintaksis hal. 110
Tabel 5 Jenis-jenis Kesalahan Ketidaksesuaian dalam Nau hal. 115

xii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillh, berkat rahmat dan hidayah Allah SWT penulis dapat


menyelesaikan tesis dengan judul : KESALAHAN GRAMATIKA DALAM
BERBAHASA TUTUR (Studi Kasus Mahasiswa Mahad Al Hsyim Asyar PP
Tebuireng Jombang). Shalawat dan salam tetap terlimpahkan kepada teladan kita
Muhammad SAW beserta umatnya.
Karya ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Magister pada Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab Sekolah Pascasarjana (SPs)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa
penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Karena itu, dengan penuh
ketulusan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta para deputi direktur; Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali, MA, Dr.
Ujang Thalib, MA, juga Koordinator program khusus; Dr. Yusuf Rahman, MA.
3. Prof. Dr. Aziz Fachrurozi, MA, pembimbing dan juga penguji tesis yang senantiasa
memberikan waktu kepada penulis dengan tulus untuk berkonsultasi, memberikan
bimbingan serta arahan hingga penulisan tesis ini selesai.
4. Tim penguji tesis, Prof. Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. Moh. Matsna, HS, MA, dan
Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA, yang telah memberikan arahan dan koreksi demi
kesempurnaan tesis ini.
5. Segenap civitas akademika SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, manajemen dan
staf tata usaha, beserta unit perpustakaan.
6. Para dosen SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya walikelas
Prof. Dr. HD Hidayat, MA, dengan segala keikhlasannya membimbing dan
mengarahkan selama masa perkuliahan.

xiii
7. Departemen Agama, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat
Mapenda yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk menyelesaikan
program magister di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Kedua orang tua penulis tercinta, Ayahanda H. Abdullah (almaghfr lah) dan
Ibunda Hj. Chusnah yang telah mengorbankan segalanya, mendidik dan
mendoakan untuk kebaikan hidup penulis, beserta segenap keluarga penulis.
9. Keluarga besar Pondok Pesantren Tebuireng, khususnya pengasuh, KH M. Yusuf
Hasyim (almaghfr lah) beserta KH. Ir. Shalahuddin Wahid. Juga keluarga besar
M.A Salafiyyah Syafiiyyah, Kepala Madrasah beserta teman-teman guru, tempat
menimba pengalaman dan berkhidmat, yang telah memberikan izin dan doa bagi
penulis untuk melanjutkan studi ini.
10. Keluarga besar Civitas akademika Mahad 'Al Hsyim Asyar Pondok Pesantren
Tebuireng, tempat penulis melakukan penelitian.
11. Manajemen dan pengelola unt-unit perpustakaan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Malang, yang memberikan
keleluasaan dalam mengakses berbagai referensi untuk penulisan tesis ini.
12. Keluarga besar Nawal di Pesantren Tebuireng yang senantiasa menemani penulis
tempat berbagi segala suka dan duka.
13. Sahabat-sahabat penulis di SPs UIN Jakarta yang tinggal bersama penulis selama
dua tahun di Asrama Putra dan telah memberikan banyak bantuan dan dukungan
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari akan keterbatasan ilmu dan pengalamannya, karenanya kritik


dan saran dari pihak manapun sangat diharapkan.
Akhirnya, dengan senantiasa berharap ridha dan rahmat Allah SWT, penulis
mempersembahkan karya ini kepada mereka pejuang pendidikan di pesantren dan
madrasah. Semoga bermanfaat, dan berbarakah. Amin.
Ciputat, 29 Agustus 2008.
Penulis,

xiv
Ahmad Sholihuddin
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
SURAT PERNYATAAN ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
LEMBAR PERSETUJUAN TIM PENGUJI iv
ABSTRAK v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN viii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
x
KATA PENGANTAR xi
DAFTAR ISI xiii

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Permasalahan 10
1. Identifikasi Masalah . 10
2. Pembatasan Masalah .. 11
3. Rumusan Masalah . 11
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan 12
D. Tujuan Penelitian 14
E. Manfaat/ Signifikansi Penelitian 15

BAB II TEORI ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA TUTUR 17


A. Hakikat Kesalahan Berbahasa 18
B. Taksonomi Kesalahan Berbahasa 22
1. Taksonomi Linguistik . 22
2. Taksonomi Siasat Permukaan . 27
3. Taksonomi Komparatif . 32
4. Taksonomi Efek Komunikatif . 34

xv
C. Penyebab Kesalahan Berbahasa 36
D. Karakteristik Bahasa Tutur 40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 43
A. Jenis dan Pendekatan 43
B. Sumber Data, Populasi, dan Sampel 44
C. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data 48
D. Teknik pengolahan dan analisa data 50
E. Keterbatasan Penelitian 52

BAB IV KESALAHAN MORFOLOGI 53


A. Klasifikasi Kesalahan Morfologi 54
B. Penyebab Kesalahan Morfologi 82
1. Frekuensi Kesalahan . 83
2. Faktor Penyebab Kesalahan . 85
C. Upaya Mengatasi Kesalahan Morfologi 102
1. Strategi Pembetulan Kesalahan 103
2. Latihan Materi Kebahasaan 105
3. Prioritas Materi Pengajaran 106

BAB V KESALAHAN SINTAKSIS 109


A. Klasifikasi Kesalahan Sintaksis 110
B. Penyebab Kesalahan Sintaksis 149
1. Frekuensi Kesalahan . 150
2. Faktor Penyebab Kesalahan . 152
C. Upaya Mengatasi Kesalahan Sintaksis 167
1. Strategi Pembetulan Kesalahan 168
2. Latihan Materi Kebahasaan 170
3. Prioritas Materi Pengajaran 172

xvi
BAB VI PENUTUP 174
A. Kesimpulan 174
B. Saran 175

DAFTAR PUSTAKA 177


LAMPIRAN :
I. Persentase Kesalahan
II. Pengelompokan Kesalahan
III. Sebaran Kurikulum
IV. Jadwal Perkuliahan
V. Data Mahasiswa
VI. Transkrip Kesalahan
VII. Surat Penelitian

xvii
18

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di antara isu pokok yang berkembang dalam pemerolehan dan pengajaran
bahasa kedua (bahasa asing) adalah, pertama isu tentang peranan pengetahuan
gramatika, yang mempunyai anggapan bahwa pengetahuan gramatika merupakan
faktor utama dalam belajar bahasa kedua. Isu kedua, terkait dengan anggapan bahwa
balikan (feedback hasil koreksi) yang diberikan oleh guru, atau pihak lain yang
berkompeten terhadap kesalahan gramatika yang dilakukan oleh pembelajar akan
sangat membantu mereka menguasai bahasa target (yakni bahasa asing, baik sebagai
bahasa keduanya atau ketiga. Untuk selanjutnya, penulis menggunakan istilah bahasa
kedua, yang dalam hal ini adalah bahasa Arab).
Pandangan pertama berpendapat bahwa dengan menguasai kaidah-kaidah /
gramatika bahasa kedua, pembelajar bahasa akan dengan sendirinya menguasai
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Dengan demikian pemahaman ini
menyiratkan bahwa kemampuan berkomunikasi sebanding dengan perkembangan
penguasaan gramatika bahasa si pembelajar. Penelitian Widiatmoko menyimpulkan
bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara gugus variabel kompetensi gramatika
dan gugus variabel keterampilan berbicara. Sebagai konsekuensi dari pemahaman ini
maka pembelajaran bahasa Arab diarahkan kepada pemahaman terhadap kaidah-kaidah
gramatikal bahasa. Model pembelajaran yang seperti ini dengan mudah kita dapati di
banyak lembaga pendidikan di Indonesia mulai tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.
Survey Universitas al-Azhar Indonesia (2007) menjadi bukti kuat bahwa
gramatika masih menjadi isu utama dalam pembelajaran bahasa Arab di Indonesia.
Survey tersebut sekaligus membuktikan bahwa gramatika masih menjadi problema
utama dalam pembelajaran bahasa Arab. Tercatat mayoritas siswa MA (57,1%)
mendapatkan skor <5 untuk pemahaman gramatika. Kesimpulan lainnya, bahwa dalam
19

keterampilan membaca lagi-lagi aspek gramatika menduduki peringkat yang


memprihatinkan, yakni peringkat keempat dengan nilai 5,29 dari lima aspek penilaian
keterampilan membaca (aspek kosa kata, gramatika, fakta/definisi, terjemahan, dan
simpulan). Pentingnya aspek gramatika dalam pengajaran bahasa Arab juga didukung
oleh penelitian tersebut bahwa 67,5 % guru menjadikan kemampuan membaca sebagai
tujuan utama dalam pengajaran bahasa Arab, dan hanya 20 % yang mengajarkan empat
keterampilan sekaligus.
Isu kedua, beranggapan bahwa balikan (koreksi) yang diberikan oleh guru
buku atau pihak lain yang berkompeten terhadap kesalahan gramatika yang dilakukan
oleh pembelajar sangat membantu mereka menguasai bahasa kedua. Pandangan ini
beranggapan bahwa dengan memberikan koreksi pada pembelajar setiap kali mereka
melakukan kesalahan akan membuat mereka segera menguasai bahasa target secara
sempurna. Bahwa kesalahan yang dilakukan pembelajar sebenarnya merupakan hal
yang wajar dan menunjukkan arah dan tingkat perkembangan. Karena itu kesalahan
yang dilakukan sebenarnya dapat dijadikan sebagai refleksi bagi pengajaran bahasa
kedua untuk dilakukan perbaikan-perbaikan dalam pengajaran.
Lado dalam I Nyoman Sudiana menyatakan bahwa perbedaan bahasa
pertama (bahasa pembelajar, baik bahasa ibu maupun bahasa nasionalnya) dan bahasa
kedua merupakan sumber utama kesalahan dan kesulitan di dalam belajar bahasa kedua
tersebut. Sinyalemen Lado ini kemudian menghasilkan hipotesis analisis kontrastif.
Hipotesis analisis kontrastif lebih lanjut menyatakan bahwa seorang pembelajar bahasa
asing seringkali melakukan "transfer" dari bahasa pertama ke bahasa kedua dalam
bentuk penggunaan struktur bahasa untuk mengungkapkan gagasan dalam bahasa
keduanya. Oleh Weinreich, transfer inilah yang disebutnya sebagai hal yang
menyebabkan terjadinya kesalahan dalam berbahasa yang pada akhirnya menjadikan
kesulitan dalam belajar bahasa kedua, inilah yang disebut dengan interferensi,
penggunaan sistem B1 dalam berbahasa kedua sedangkan sistem tersebut tidak sama
20

dalam kedua bahasa antara B1 dan B2, dan kesalahannya disebut dengan kesalahan

interferensi.
Menurut Weinreich (dalam Aslinda, 2007) penyimpangan berupa interferensi
adalah sebagai akibat adanya kontak bahasa pada diri seorang dwibahasawan. Kontak
bahasa ini pada akhirnya menimbulkan saling pengaruh, yang manifestasinya
kebanyakan- terwujud didalam penerapan kaidah gramatika B1 di dalam penggunaan

B2. Salah satu akibat negatif dari praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian

seperti ini adalah terjadinya kekacauan pemakaian bahasa, sebagaimana yang disinyalir
oleh Lado dan menjadi penghambat dalam belajar bahasa target. Kekurangsempurnaan
B2 pembelajar mengakibatkan mereka mengambil dan menggunakan sistem B1nya

yang tidak sama pada saat menggunakan B2nya sehingga menyebabkan pembelajar

jatuh dalam kesalahan berbahasa.


Selain kesalahan interferensi atau antarbahasa, Richards (dalam Oller, Jr dan
Richards, 1973) menyebut ada dua jenis kesalahan lain dalam pemerolehan bahasa
kedua, yakni kesalahan intralingual, dan developmental. Kesalahan intralingual dan
developmental mencerminkan kompetensi pembelajaran pada tingkat tertentu dan
menggambarkan ciri umum pemerolehan bahasa. Kesalahan intralingual seperti
generalisasi yang salah, penggunaan aturan yang tidak lengkap, dan kegagalan
mempelajari syarat-syarat penggunaan aturan. Kesalahan developmental merupakan
gambaran usaha pembelajar dalam membangun hipotesa tentang bahasa kedua
berdasarkan pengalamannya yang terbatas.
Munculnya teori kesalahan intralingual tersebut merupakan tindaklanjut dari
teori analisis kontrastif sebelumnya yang mendasarkan upaya mengatasi kesalahan
berbahasa melalui pemerian perbedaan B1 dengan B2 pembelajar. Richards

menawarkan pendekatan analisis non kontrastif bagi upaya penyelesaian terhadap


kesalahan berbahasa. Hasil pemeriannya terhadap kesalahan berbahasa Inggris sebagai
21

B2 pada suatu pembelajaran bahasa, menyatakan bahwa terdapat kesalahan B2

pembelajar bukan disebabkan oleh B1nya, melainkan oleh kesalahan yang disebutnya

sebagai kesalahan intralingual dan developmental.


Kesalahan intralingual dan developmental berupa kesalahan yang
mencerminkan ciri-ciri umum belajar kaidah, baik kesalahan dalam melakukan
generalisasi yang berlebihan, penerapan kaidah yang tidak sempurna, maupun
kegagalan pembelajar dalam mempelajari kondisi-kondisi menerapkan kaidah tersebut.
Kesalahan ini terjadi karena kaidah-kaidah pada B2 tidak dimiliki oleh B1 sehingga

penerapan kaidah B2 oleh pembelajar, kesalahannya sama dengan kesalahan

pembelajar dalam penerapan kaidah B1nya. Dengan demikian kesalahan yang terjadi

pada jenis ini sama dengan yang dibuat oleh anak-anak yang belajar B1 mereka.

Januar (2006) dalam penelitiannya terhadap kemampuan menulis mahasiswa


semester III dan V (yang kesemua sampelnya adalah lulusan MA) jurusan Pendidikan
Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Thaha Jambi menyimpulkan, bahwa
terdapat kesalahan morfologi sebesar 28,72 % dan kesalahan sintaksis sebesar 39,60
%. Kesalahan-kesalahan tersebut menurutnya disebabkan oleh faktor interlingual dan
intralingual. Kesalahan interlingual adalah kesalahan akibat interferensi B1, dan

kesalahan intralingual adalah kesalahan karena keterbatasan kompetensi kebahasaan


B2 yang dimiliki pembelajar. Emzir, berdasarkan hasil penelitian kecilnya tentang

kemampuan menulis bahasa Arab pada mahasiswa tahun III Program Studi Bahasa
Arab Universitas Negeri Jakarta, menunjukkan bahwa wujud kesalahan karena
interferensi bahasa Indonesia terhadap penggunaan bahasa Arab dalam keterampilan
menulis memang ada, yang dapat diklasifikasikan menjadi interferensi fonologi dan
sintaksis. Penelitian Tim Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah (2001)
menyimpulkan bahwa dari sejumlah kesalahan insya' mahasiswa semester VI jurusan
PBA dan jurusan terjemah yang ditemukan, sebagian besar terkait dengan gramatika,
22

yakni morfologi 25,2 % dan sintaksis 54,7 %. Penelitian-penelitian di atas (dan masih
banyak lagi penelitian tentang kesalahan berbahasa) membuktikan bahwa
kesalahan-kesalahan yang terjadi didominasi pada bidang gramatika.
Sebagaimana hasil penelitian UAI tentang kemampuan membaca siswa MA
yang menunjukkan masih lemahnya kemampuan gramatika mereka, juga pesan kuat
standar isi mata pelajaran bahasa Arab untuk penguasaan gramatika, dan fungsi
gramatika sebagai himpunan kaidah-kaidah dan penjelasan dari kompetensi, dimana ia
memberikan gambaran pengetahuan kebahasaan yang analog antara penutur dengan
pendengar, maka penulis berkeyakinan bahwa kesalahan-kesalahan yang timbul dapat
diatasi melalui pemetaan kesalahan-kesalahan untuk kemudian dicarikan
pemecahannya dan pada gilirannya dapat menjadi feedback dalam pembenahan materi
pengajaran bahasa Arab.
Di sisi lain, dewasa ini pengajaran bahasa Arab juga mulai banyak diarahkan
untuk penguasaan keterampilan berbicara. Standar Isi mata pelajaran Bahasa Arab
(2006) dan Model KTSP MA (2007), meskipun mengamanatkan penguatan
keterampilan membaca dalam pengajaran Bahasa Arab, tetapi tidak meninggalkan
untuk penguasaan tiga keterampilan lainnya, terutama berbicara. Trend penguasaan
keterampilan berbicara ini juga dapat dilihat dari kebijakan Departemen Agama pada
saat mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) tahun 1987, yang
penyelenggaraannya mensyaratkan adanya boarding school (asrama) bagi para
siswanya untuk mendukung penguasaan keterampilan berbicara bahasa Arab dan
Inggris. Program MAK ini menjadi primadona pada zamannya dengan banyak
berdirinya MAK swasta yang penyelenggaraannya terintegrasi dengan
pesantren-pesantren yang selama ini memang telah eksis dengan pendidikan model
madrasah. Inilah model modernisasi pesantren yang selama ini dicap dengan
pengajaran bahasa Arab tradisionalnya. Berdirinya MAK melengkapi pola pengajaran
bahasa Arab di pesantren yang sebelumnya hanya sebatas untuk eksplorasi kitab
23

kuning, menjadi lebih modern melalui pengajaran bahasa Arab untuk berbicara /
berkomunikasi aktif. Saat ini MAK telah diakuisisi oleh MA reguler dengan
memasukkannya menjadikannya program keagamaan meski secara substansial
perhatian bahasa asing tetaplah menjadi hal yang utama.
Selain fenomena MAK, belakangan ini muncul pula istilah sekolah/madrasah
bilingual. Dari namanya, sekolah ini jelas juga menggunakan bahasa kedua (asing)
dalam proses belajar-mengajarnya. Demikian juga munculnya madrasah berstandar
internasional, dan yang tak kalah gencarnya adalah pola pembelajaran Bahasa Arab
intensif di kalangan mahasiswa perguruan tinggi Islam (STAIN, IAIN, UIN, STAIS,
IAIS). Kesemuanya menambah deretan lembaga pengajaran bahasa Arab yang telah
menggunakan keterampilan berbicara sebagai salah satu keterampilan bahasa yang
harus dikuasai, seperti di beberapa pesantren modern, maupun pesantren tradisional
yang melakukan inovasi dan modifikasi pembelajaran bahasa Arab.
Berangkat dari kenyataan seperti di atas, penulis berkeyakinan kuat bahwa
penelitian tentang keterampilan berbicara bahasa Arab yang terkait dengan kesalahan
gramatika menjadi sangat diperlukan. Hasil penelitian yang didasarkan pada data
jenis-jenis kesalahan akan menyimpulkan kepada sekumpulan bahan ajar yang terpilih
secara akurat guna mengatasi kesalahan-kesalahan gramatika, sehingga
kesulitan-kesulitan dalam belajar bahasa Arab yang terkait dengan keterampilan
berbicara akan menjadi mudah dan pada akhirnya terselesaikan. Penelitian ini akan
memberikan manfaat secara maksimal bagi kemajuan penguasaan bahasa Arab sebagai
bahasa kedua, baik manfaat bagi pembelajar, guru pengajar, maupun lembaga
penyelenggara pembelajaran bahasa Arab, terutama yang menjadikan keterampilan
berbicara sebagai core dalam pembelajaran bahasa Arab.
Demikian pula halnya yang terjadi pada Mahad l Hsyim Asyar
Tebuireng (MAHAT) Jombang. Sebagai lembaga pendidikan yang menjadikan bahasa
Arab sebagai bahasa pengantar perkuliahan, yang dengan demikian para mahasiswanya
24

diharuskan menguasai bahasa tersebut secara lisan maupun tulisan, maka penguasaan
bahasa tersebut merupakan suatu keniscayaan. Mahasiswa MAHAT dituntut memiliki
kemampuan berbahasa Arab baik dalam hal lisan maupun tulisan. Dalam hal lisan
karena mereka senantiasa berdiskusi dan berdialog dengan dosen maupun sesama
mahasiswa dengan menggunakan bahasa Arab. Dan dalam hal tulisan karena terkait
dengan pembuatan makalah maupun tugas-tugas perkuliahan yang lainnya.
Perkuliahan dalam bentuk ceramah, dialog, maupun diskusi merupakan
penggunaan ragam bahasa lisan yang tergolong formal. Artinya, bahwa dalam kondisi
seperti ini maka gramatikalisasi bahasa lisan menjadi penting untuk diperhatikan, dan
tidak dapat disamakan dengan bahasa lisan yang cenderung non formal. Gramatika
memiliki peran penting terkait dengan tingkat formalitas berbahasa. Di sisi lain, bahwa
salah satu bidang kompetensi komunikatif adalah kompetensi gramatikal, yang
mencakup pengetahuan mengenai kosa kata, kaidah-kaidah pembentukan kata dan
kalimat, semantik linguistik, ucapan dan ejaan.
Dengan demikian, perkuliahan di MAHAT yang menggunakan bahasa
pengantar bahasa Arab memerlukan keterampilan berbicara dalam ragam formal yang
memenuhi aspek kompetensi komunikatif, yang salah satu unsurnya adalah kompetensi
gramatikal, meliputi aspek nahw dan sharf. Mahasiswa MAHAT dituntut menguasai
kompetensi gramatikal ini dalam keterampilan berbicaranya. Kompetensi gramatikal
yang terbukti memberikan sumbangan tidak kecil pada keterampilan berbicara,
terutama pada bahasa lisan ragam formal, dapat dilihat ketepatan dan kebenaran
penggunaannya. Ketepatan dan kebenaran penggunaannya ini dapat dijadikan sebagai
bahan refleksi penguasaan keterampilan berbicara mereka. Untuk itulah maka penulis
mengambil judul penulisan tesis sebagai berikut :
" Kesalahan Gramatika Bahasa Arab dalam Berbahasa Tutur; Studi Kasus Mahasiswa
Mahad l Hsyim Asyar Pondok Pesantren Tebuireng Jombang"
25

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Crystal sebagaimana dikutip Ruru dan Ruru (1985) menyatakan bahwa
analisis kesalahan adalah suatu teknik untuk melakukan serangkaian kegiatan
secara prosedural yang berupa identifikasi, klasifikasi, dan interpretasi secara
sistematis terhadap kesalahan-kesalahan pembelajar dengan menggunakan
teori-teori dan prosedur-prosedur berdasarkan linguistik. Obyek linguistik yang
berupa bahasa menjadi obyek analisis kesalahan bahasa. Terkait dengan analisis
kesalahan yang penekanannya lebih kepada B2 atau bahasa asing, maka yang

menjadi obyek penelitian adalah B2 pembelajar yang sedang dipelajarinya. Dengan

demikian obyek analisis kesalahan berbahasa terkait dengan fonologi, morfologi,


sintaksis, maupun semantik.
Karena itulah, dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang terkait dengan
judul penelitian sebagaimana berikut :
1. Kesalahan berbahasa tutur dalam aspek fonologi.
2. Kesalahan berbahasa tutur dalam aspek morfologi.
3. Kesalahan berbahasa tutur dalam aspek sintaksis.
4. Kesalahan berbahasa tutur dalam aspek semantik.
5. Kesalahan berbahasa tutur dalam aspek kosa kata.

2. Pembatasan Masalah
Terkait dengan keterbatasan-keterbatasan penulis, maka dalam penelitian ini
perlu adanya pembatasan masalah. Sesuai dengan latar belakang yang telah
diuraikan maka penelitian ini dibatasi pada aspek-aspek gramatika apa saja yang di
dalamnya terjadi kesalahan-kesalahan, yakni pada tataran sintaksis dan morfologi.
Terkait dengan bahasa tutur maka penelitian ini difokuskan pada proses berbicara,
baik berupa proses komunikasi di antara siswa maupun siswa dengan guru.
26

Termasuk pembatasan di sini adalah mahasiswa sebagai subyek penelitian dan


waktu penelitian. Subyek penelitian adalah mahasiswa pada Mahad l Hsyim
Asyar PP Tebuireng Jombang, yang memiliki lingkungan berbahasa Arab dalam
kesehariannya., sebuah lembaga pendidikan yang telah menerapkan lingkungan
berbahasa bagi siswa-siswanya dalam kegiatan belajar-mengajarnya sehari-hari.
Adapun waktu penelitian direncanakan pada rentang bulan Mei hingga Juni 2008.

3. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian
sebagai berikut :
Dalam hal apa saja kesalahan gramatika pada bahasa tutur mahasiswa Mahad l
Hsyim Asyar PP Tebuireng Jombang, dan apa saja yang menjadi penyebab
kesalahan-kesalahan tersebut ?

C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan


Beberapa karya tulis yang telah ada terkait dengan penelitian ini antara lain :
Interferensi Bahasa Indonesia dalam Bahasa Arab Tulis Mahasiswa, penelitian oleh
Emzir. Penelitian pada tahun 2000 dilakukan terhadap hasil karangan mahasiswa tahun
III Program Studi Bahasa Arab Universitas Negeri Jakarta. Emzir mengambil secara
acak 10 hasil pekerjaan tes mengarang / insy' mahasiswa pada saat mengikuti Ujian
Tengah Semester. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa kesalahan interferensi
terjadi pada tataran fonologi dan sintaksis. Pada tataran fonologi interferensi terjadi
pada (1) penghilangan vokal panjang huruf alif dan ya' ; (2) penggantian fonem /
/dengan / / , / / dengan / / , dan / / dengan / / . Pada tataran sintaksis,
interferensi meliputi : (1) penggantian kata tugas dengan kata tugas yang lain ; (2)
penghilangan kata tugas; (3) penambahan kata tugas ; (4) tidak terdapat kesesuaian
kata dengan kedudukan kalimatnya ; (5) tidak adanya persesuaian antara kata kerja
dengan subyeknya ; (6) tidak ada persesuaian antara kata sifat dengan yang disifatinya
27

; (7) penghilangan kata ganti yang mengacu pada kata sebelumnya ; dan (8). urutan
kata dalam kalimat. Hasil penelitian tidak menyebutkan jumlah prosentasi kesalahan
akibat interferensi tersebut, dan penelitian ini memang memfokuskan pada jenis
kesalahan interlingual / interferensi.
Kesalahan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN Sultan Thaha
Saifuddin Jambi dalam Pembelajaran Insya', Tesis, tahun 2006, ditulis oleh Januar,
mahasiswa PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Penelitian dilakukan tanpa melihat
faktor interferensi akan tetapi lebih fokus kepada semua jenis kesalahan mahasiswa
semester III dan V jurusan PBA Fakultas Tarbiyah, berdasarkan tes mengarang bebas /
insy' hur yang dibuat oleh peneliti. Penelitiannya menyimpulkan bahwa
(1) kesalahan paling dominan ada pada aspek sintaksis, kemudian morfologi, kosa
kata, dan penulisan kata ; (2) faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan adalah,
pada kategori umum, terjadi kesalahan karena proses interlingual (interferensi), dan
performansi. Sedangkan pada bagian khusus, terjadi kesalahan karena faktor
intrabahasa atau keterbatasan kompetensi kebahasaan yang dimiliki oleh mahasiswa.
Di sini sudah terdapat penggolongan / klasifikasi jenis kesalahan ke arah interlingual
dan intralingual.
Tim Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) meneliti
kesalahan redaksional mahasiswa tingkat V dan VI program persiapan (i'dady) tahun
1984-1985. Penelitian ini menemukan bahwa kesalahan berbahasa Arab pada
umumnya terjadi karena ketidaksesuaian (tathbuq) dalam mudzakkar-muannats,
i'rb, 'adad-ma'dd, nakirah-makrifah, mubtada'-khabar, penggunaan fi'il muta'add
dan lzim, isytiqq, dan dzarf zamn. Penelitian ini lebih mendasarkan pada analisis
kontrastif dengan melihat kepada kecenderungan munculnya kesalahan berbahasa Arab
yang dilakukan oleh para mahasiswa tersebut.
Tim Peneliti Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah (2001) meneliti hasil
kerja mahasiswa semester VI jurusan PBA dan jurusan terjemah. Penelitian
28

menyimpulkan bahwa kesalahan yang ditemukan, meliputi aspek morfologi sebanyak


25,2 %, sintaksis 54,7 %, semantik 9,2 %, dan kesalahan penulisan sebanyak 10,9 %,
dari 349 jumlah total kesalahan. Kesalahan terbanyak pada aspek morfologi terdapat
dalam isytiqq, pada aspek sintaksis terdapat dalam tarkb washf dan idhf.
Interferensi (pengaruh bahasa asal) dinyatakan sebagai penyebab yang paling menonjol
terjadinya kesalahan-kesalahan tersebut.
Abdul Muin, meneliti tentang interferensi gramatikal antara bahasa Arab
dengan bahasa Indonesia. Data penelitian berupa tes tertulis terhadap mahasiswa
semester VI Program Pendidikan Bahasa Arab UPI Bandung. Tes yang dilakukan
berupa kemampuan dalam lingkup kalimat (jumlah) dan unsur bawahannya berupa
kata dan frasa sebagai pembentuk kalimat dan pengisi subyek, predikat, dan obyek.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kesalahan mahasiswa sebesar 63,72 % pada
aspek sintaksis, 33,79 % pada aspek morfologi, dan 2,49 % pada aspek penulisan.
Kesalahan pada aspek sintaksis terbanyak pada jenis persesuaian adad antara khabar
dan mubtada, dan pada aspek morfologi kesalahan terbanyak pada jenis tayn.
Dari beberapa hasil penelitian yang didapatkan oleh penulis di atas, seluruhnya
menggunakan data tertulis sebagai data primer penelitiannya. Hingga sejauh ini penulis
belum menemukan yang secara spesifik mendasarkan data penelitiannya pada bahasa
tutur. Karakteristik bahasa tutur yang memiliki perbedaan dibandingkan bahasa tulis
tetap dapat dijadikan bahan penelitian terkait dengan bidang gramatikanya, pada aspek
morfologi dan sintaksis. Hal ini karena pada penerapannya, bahasa tutur juga memiliki
kesamaan dengan bahasa tulis seperti kesamaan berdasarkan atas sistem bunyi,
gramatika, dan mufradat.
Penulis memiliki dugaan bahwa data penelitian tersebut di atas yang diambil
berdasarkan hasil bahasa tulis tentu akan memiliki implikasi berbeda apabila diterapkan
dalam bahasa tutur. Untuk itulah penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang akan
dilakukan memiliki sisi perbedaan yang signifikan dengan penelitian-penelitian yang
29

telah ada sebelumnya. Pada akhirnya akan didapatkan peta kesalahan gramatika dalam
bahasa tutur sehingga dapat menghindarkan pembelajar bahasa Arab jatuh pada
kesalahan berbahasa saat bertutur.

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini ingin mengungkap kesalahan-kesalahan dalam hal apa saja yang
terkait dengan aspek nahw dan sharf dalam berbahasa tutur. Dengan demikian akan
diketahui juga, bahwa dalam bahasa lisanpun diperlukan penguasaan gramatika bahasa
Arab, karena selama ini kebanyakan penelitian menggunakan data tertulis
(keterampilan menulis) sebagai obyek penelitiannya. Penelitian ini sekaligus juga ingin
membuktikan bahwa kesalahan gramatika sebenarnya dapat diatasi melalui
pembenahan materi ajar yang didesain berdasarkan munculnya frekuensi kesalahan,
khususnya dalam bertutur. Untuk mengarah ke sana maka hal yang dilakukan terlebih
dahulu adalah mengelaborasi kesalahan-kesalahan dalam berbahasa tutur untuk
kemudian membuat peta kesalahan gramatika sebagai pijakan menyimpulkan
sekumpulan materi yang penting untuk diperhatikan pada saat mengajar bahasa Arab.
Hasil ini merupakan umpan balik/feedback dalam pengajaran bahasa Arab khususnya
keterampilan berbicara, yakni menghasilkan sekumpulan materi pengajaran yang
memberikan fokus pada materi gramatika tertentu yang banyak memberikan kontribusi
kesalahan pada saat pembelajar bertutur.

E. Signifikansi Penelitian
Suatu kenyataan bahwa distorsi yang dibuat oleh pembelajar berhubungan erat
dengan perbedaan-perbedaan diantara dua bahasa (B1 dan B2) pada diri pembelajar.

Brown (1980) dalam Pateda, mengemukakan bahwa dalam kaitannya dengan


memperbaharui kesalahan pembelajar bahasa, maka hal ini dapat dilakukan melalui tiga
cara : (1) mengoreksi kesalahan di kelas, (2) menjelaskan bentuk gramatikal yang baik,
30

dan (3) membuat pola terhadap bahan ajar yang dikaitkan dengan kurikulum. Baradja
menegaskan bahwa dengan pendekatan analisis kesalahan diharapkan kesalahan
pembelajar dalam berB2 dapat diselesaikan, yang kemudian hasilnya dapat dibuat

hierarki kesulitan untuk dapat dipergunakan sebagai salah satu bagian dari bahan ajar.
Uraian di atas meneguhkan akan nilai signifikansi hasil penelitian ini. Para
praktisi bilingualisme yang menjadikan bahasa Arab sebagai B2 pembelajar secara aktif

dalam fungsi komunikasi/berbicara dapat memanfaatkannya sebagai bahan ajar. Upaya


penciptaan lingkungan berbahasa yang saat ini sedang menggejala di berbagai level
pendidikan baik pada tingkat dasar, menengah maupun pendidikan tinggi, akan dapat
terwujud secara benar dalam tataran gramatikal melalui pemanfaatan hasil analisa
kesalahan pembelajar bahasa Arab di Indonesia. Dengan demikian isu kesalahan dan
kesulitan belajar bahasa Arab dalam ujaran untuk aspek gramatika dapat direduksi
bahkan diatasi dengan maksimal.
Sesuai dengan hasil penelitian yang diuraikan di muka, terkait dengan urgensi
gramatika dalam belajar bahasa dan juga sumbangan kompetensi gramatika terhadap
keterampilan berbicara, maka hasil penelitian yang berangkat dari dua aspek gramatika
yakni morfologi dan sintaksis yang berbasiskan data kesalahan pembelajar B2

diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pembelajar akan materi gramatika yang


digunakan dan dipakai dalam konteks senyatanya pada kehidupan keseharian. Dengan
berbasiskan data keterampilan berbicara maka diharapkan menghasilkan gambaran
bentuk-bentuk dan pola ujaran yang biasa dipakai dalam berkomunikasi yang memang
menjadi salah satu tujuan belajar bahasa.
BAB II
TEORI ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA TUTUR
Kesalahan berbahasa merupakan suatu hal yang wajar terjadi pada seseorang
yang sedang dalam proses belajar bahasa asing, sebagai bahasa kedua atau ketiganya.
Timbulnya kesalahan ini dapat dimengerti berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada
antara bahasa yang telah dimiliki oleh pembelajar dengan bahasa asing yang sedang
dipelajari. Perbedaan-perbedaan ini pada awalnya menimbulkan studi analisis kontrastif
yang mengelaborasi perbedaan dan persamaan bahasa sumber (bahasa yang telah
dikuasai pembelajar) dan bahasa target (bahasa asing yang sedang dipelajari), untuk
menghindarkan dari munculnya kesalahan berbahasa.
Akan tetapi orientasi pembelajaran bahasa target kemudian bergeser ke arah
studi analisis kesalahan berbahasa. Pada akhirnya analisis kesalahan akan
menghasilkan pemerian bahan ajar yang dipilih dan ditata sedemikian rupa sehingga
menghindarkan siswa melakukan kesalahan-kesalahan dalam aktivitas berbahasanya,
baik melalui media tulisan maupun lisan. Analisis kesalahan membantu pengajar guna
memudahkan pembelajar menguasai bahasa asing melalui pemilihan dan penekanan
pada materi-materi ajar tertentu yang dianggap banyak menimbulkan kesulitan
sehingga mengakibatkan kesalahan dalam berbahasa.

A. Hakikat Kesalahan Berbahasa


Dalam studi penguasaan bahasa asing dikenal istilah kompetensi dan
performansi. Demikian juga dalam analisis kesalahan berbahasa dikenal kesalahan
performansi dan kompetensi. Perbedaan keduanya merupakan konsekuensi dari adanya
berbagai macam istilah yang merujuk pada kesalahan yang ditimbulkan oleh pembelajar
bahasa asing. Kesalahan-kesalahan tersebut terjadi pada saat pembelajar sedang dalam
proses penguasaan bahasa target yang sedang dipembelajarinya. Berbagai macam
48

kesalahan yang dimaksud adalah lapses, error, dan mistake. Ketiga istilah tersebut
diperkenalkan oleh Piet S Corder.
Lapses, merupakan kesalahan akibat salah pengucapan, sehingga disebut juga
dengan slip of tongue. Dalam hal ini pembelajar melakukan pengucapan yang salah
akan tetapi dia sebenarnya telah mengetahui sehingga dapat membetulkannya segera
setelah menyadari kesalahannya tersebut. Dengan demikian lapses merupakan keliru
pengucapan, keliru menerapkan kaidah, salah susun, atau kekurang cermatan
menentukan pilihan kata yang lebih sesuai.
Error, merupakan kesalahan berbahasa yang dilakukan pembelajar terkait
dengan pelanggaran aturan tata bahasa. Kesalahan ini lebih mengarah kepada
kekurangsempurnaan pengetahuan pembelajar tentang aturan tata bahasa. Dalam
kondisi seperti ini, maka pembelajar berusaha untuk membangun pengetahuannya
sebatas apa yang telah diketahuinya. Dari sinilah muncul kemungkinan terjadinya
kesalahan-kesalahan, karena pembelajar berkreasi dalam berbahasa berdasarkan atas
tingkat pengetahuannya. Kreasi ini berupa gramatika yang khas, Corder menyebutnye
idiosinkratik atau kompetensi transisional, atau interlanguage oleh Slinker.
Sedangkan mistake, mengarah kepada kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh
pembelajar bahasa asing karena salah pengungkapan, baik dalam hal aturan tata bahasa
maupun pilihan kata. Namun kesalahan ini dibangun di atas kesempurnaan
pengetahuan bahasa sasaran yang sedang dipembelajari, bukan karena
kekurangsempurnaan pengetahuan bahasa. Kesalahan yang terjadi lebih diakibatkan
oleh faktor luar seperti keterbatasan ingatan, kelelahan, dan yang semacamnya, dan
dapat segera dibetulkan oleh pembelajar, namun ada juga yang tidak dapat segera
dibetulkan. Dalam hal ini sebenarnya lebih tepat diistilahkan dengan lapses,
Batasan pengetahuan yang dimiliki pembelajar inilah yang membedakan
kesalahan kompetensi dan performansi. Kesalahan kompetensi mengarah kepada
kesalahan karena kurangsempurnanya pengetahuan pembelajar, yang pada akhirnya
49

akan menggunakan bahasa khasnya (bahasantara atau interlanguage). Kesalahan


kompetensi terkait dengan penguasaan B2 yang minim. Kesalahan ini bersifat

sistematik dan merupakan cermin tingkat penguasaan pembelajar terhadap kaidah B2

yang dipembelajarinya. Pembelajar berada pada masa transisional perkembangan


kaidah gramatikal dan dalam usaha penguasaan B2nya secara menyeluruh.

Sedangkan kesalahan performansi terkait dengan penampilan dalam pemakaian


bahasa sehari-hari, dan tidak berhubungan dengan tingkat kemampuan bahasa.
Pembelajar sebenarnya telah memiliki sejumlah kemampuan kaidah-kaidah bahasa yang
mencukupi, akan tetapi dalam penampilan berbahasanya melakukan kesalahan yang
sebenarnya dia mengetahui kesalahan yang dilakukannya. Hal ini berbeda dengan
kesalahan kompetensi. Termasuk dalam kelompok kesalahan performansi ini adalah
lapses dan mistake.
Dalam bahasa Arab dikenal kata "ghalath" dan "khatha'", keduanya merujuk
kepada arti kesalahan, namun memiliki perbedaan. Kata "ghalath" lebih mengarah
kepada suatu kesalahan performansi/"ad'" , penampilan berbahasa. Sedangkan
"khatha'" lebih mengarah kepada kesalahan kompetensi, keterbatasan kaidah-kaidah
bahasa yang dikuasai oleh pembelajar. Dengan demikian "ghalath" lebih condong ke
mistake, dan "khatha'" mengarah ke error. Pateda, memberikan istilah, mistake dengan
error, dalam bahasa Indonesia dengan term kekeliruan dan kesalahan.
Dalam konteks yang terakhir inilah seharusnya penelitian tentang analisis
kesalahan dilaksanakan, karena akan dapat diketahui seberapa banyak kesalahan terjadi
terkait dengan kompetensi pembelajar B2. Kesalahan yang terkait dengan performansi

sebenarnya juga dapat dihilangkan karena hal itu terkait dengan faktor non linguistik.
Namun demikian, sebagaimana Dulay bahwa meskipun melakukan pembedaan antara
kesalahan kompetensi dan performansi merupakan hal penting, akan tetapi sering kali
terjadi kesukaran untuk menentukan sifat atau substansi suatu kesalahan tanpa
mengadakan analisis secara cermat dan mendalam. Karena itulah maka untuk
50

memberikan kemudahan acuan pada penyimpangan-penyimpangan yang belum


terklasifikasikan sebagai kesalahan kompetensi atau performansi, maka penelitian ini
tidak membatasi istilah kesalahan dalam batasan kompetensi saja, akan tetapi berlaku
untuk setiap penyimpangan dari norma baku bahasa Arab. Berangkat dari kategori
kesalahan jenis error inilah diharapkan dapat dihasilkan pemerian data kesalahan yang
dikumpulkan dari bahasa tutur. Sebagaimana dimaksudkan dalam pengajaran bahasa
asing, bahwa upaya menghindarkan kesulitan dan kesalahan pembelajar merupakan hal
yang utama. Kajian ini berorientasi dan membahas kesalahan-kesalahan pembelajar,
dan menjadi feedback bagi pengajaran B2 di masa berikutnya, sehingga kesalahan

tidak terulang.
Dengan demikian, analisis kesalahan adalah suatu upaya identifikasi, klasifikasi,
dan interpretasi kesalahan-kesalahan pembelajar B2 dengan menggunakan teori-teori

dan prosedur linguistik. Analisis kesalahan berangkat dari deskripsi


kesalahan-kesalahan pembelajar. Deskripsi tersebut menghasilkan peta kesalahan
berbahasa dalam berbagai kategori. Berdasarkan kategori yang dihasilkan, analisis
kesalahan kemudian membuat kesimpulan yang terkait dengan penyebab kesalahan dan
materi bahan ajar yang perlu pendalaman.

B. Taksonomi Kesalahan Berbahasa


Dalam subbab ini, diuraikan pembagian kesalahan berdasarkan
macam-macam taksonomi yang dibuat oleh Dulay, Burt, dan Krashen. Dulay membagi
taksonomi kesalahan menjadi empat macam, yaitu taksonomi kategori linguistik,
kategori strategi lahir atau siasat permukaan, kategori komparatif, dan kategori efek
komunikasi. Di antara empat kategori tersebut, analisis kesalahan lebih didasarkan
pada taksonomi linguistik, berdasarkan komponen-komponen bahasa, untuk kemudian
dikelompokkan juga berdasarkan taksonomi lainnya.
1. Taksonomi Linguistik
51

Aspek linguistik merupakan klasifikasi kesalahan-kesalahan berbahasa


berdasarkan komponen linguistik, seperti fonologi, gramatika (sintaksis dan
morfologi), semantik dan leksikal, dan wacana. Komponen-komponen linguistik
tersebut merupakan cakupan elemen-elemen yang mengandung setiap komponen
bahasa. Dengan demikian dalam komponen sintaksis misalnya, kesalahan dapat lebih
ditelusuri lagi apakah pada klausa utama ataukah klausa bawahan. Dari sini dapat
dirinci lagi, konstituen manakah dalam klausa yang dipengaruhi, apakah frasa verba,
nomina, preposisi, adverbia, adjektifa, dan lain sebagainya.
Pengklasifikasian kesalahan berbahasa berdasarkan taksonomi linguistik ini
memberikan manfaat kebutuhan praktis pengajaran bahasa asing, berupa kemudahan
penyusunan kurikulum pengajaran bahasa yang terejawantahkan dalam sekumpulan
materi bahan ajar, buku pembelajaran, maupun buku kerja yang berisi latihan-latihan.
Bahan ajar, buku pembelajaran, maupun latihan-latihan disusun berdasarkan skala
prioritas materi yang harus dipembelajari untuk menghindari terjadinya kesalahan yang
berulang-ulang. Para pengembang kurikulum dapat menjadikan hasil analisis kesalahan
sebagai umpan balik materi pengajaran yang tepat dan cepat untuk penguasaan bahasa
asing secara maksimal dan terhindar dari kesulitan yang bisa saja disebabkan oleh
urutan penyajian materi yang tidak sistematis dan terukur.
Analisis kesalahan berdasarkan aspek linguistik ini juga berguna bagi para
peneliti sebagai sarana laporan yang mengorganisasi kesalahan-kesalahan yang telah
dikumpulkan. Kesalahan-kesalahan yang telah dikelompokkan dapat digunakan
sebagai data awal untuk masuk kepada kajian linguistik lebih lanjut. Juga, akan
menjadi penuntun bagi penelitian lebih lanjut seperti akses masuk kepada unsur-unsur
komponen linguistik yang lebih kecil, dari kalimat, ke frasa, hingga kata.
Bagi guru dan siswa, taksonomi ini sangat membantu mereka dalam
merefleksi diri terhadap capaian aspek-aspek bahasa tertentu dalam kelas mereka.
Mereka dapat dengan segera mengukur kemampuan gramatikanya dengan
52

menggunakan hasil analisis kesalahan. Kesalahan-kesalahan dalam kategori apa saja di


kelompok fonologi, sintaksis, morfologi, semantik dan leksikon, serta wacana.
Dalam penelitian ini, hanya dua aspek linguistik saja yang menjadi fokus
analisis data, sesuai dengan maksud pembahasan yang merujuk kepada sisi gramatika,
yakni sisi morfologi dan sintaksis. Gramatika dijadikan sebagai fokus utama dan
satu-satunya standar klasifikasi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah
diuraikan dalam latar belakang penelitian. Dengan demikian uraian yang terkait dengan
kesalahan-kesalahan dalam bidang morfologi dan sintaksis menjadi pokok bahasan dan
salah satu bagian analisis yang mendalam.
1.1 Kesalahan Morfologis
Secara umum, diketahui bahwa subsistem bahasa meliputi fonetik, fonologi,
morfologi, dan sintaksis. Morfologi, merupakan subsistem bahasa yang
pembahasannya terpusat kepada kata per kata, dan bukan keterkaitan antara kata yang
satu dengan kata yang berikutnya. Kesalahan morfologis mendasarkan analisis
kesalahan berdasarkan kajian morfologi. Dengan demikian obyek kajian kesalahan
morfologis adalah kata itu sendiri yang berdiri sendiri, dan kemudian dianalisis
unsur-unsur pembentukannya. Kata muslimna merupakan gabungan dari muslim
dan wau-nun. Demikian juga kata inkasara merupakan gabungan kasaradan
alif-nun. Penekanan dalam hal ini adalah morfologi sebagai suatu proses, yaitu cara
pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem
yang lainnya. Untuk melihat kesalahan morfologis suatu kata dapat ditempuh dengan
cara membandingkan berbagai proses morfologis yang ada di suatu kata seperti
afiksasi, reduplikasi, modifikasi intern, komposisi, dan juga klitisasi.
Dalam Bahasa Arab, pembentukan kata ada dua, inflektif dan derivatif. Yang
pertama berupa perubahan bentuk yang tidak merubah makna dasarnya, dengan
menambahkan morfem terikat pada morfem bebas. Morfem terikat ada yang berupa
infleksi dan derivasi. Infleksi ini dapat ditandai dengan hurf dan dapat ditandai
53

dengan harakah. Sebagai contoh adalah perubahan muslim menjadi muslimni

atau muslimna .Yang kedua, derifatif, berupa tambahan, yakni perubahan yang
seperti yang terdapat pada verba (fil), seperti perubahan jalasa menjadi jlasa ;
qatala menjadi taqtala, dan lain sebagainya. Atau perubahan kata dengan
berbagai variasinya, seperti jalasa menjadi majlis, jlis; kataba menjadi
maktb, ktib, maktab, kuttb, dan lain sebagainya.
1.2 Kesalahan Sintaksis
Sintaksis, dalam banyak pengertian dipahami sebagai kajian hubungan antar
kata dalam suatu konstruksi. Sintaksis adalah tata bahasa yang mengkaji struktur frasa
dan kalimat, karena kata tunggal yang berdiri sendiri tidak dapat dikaji secara sintaksis.
Konstruksi kata-kata yang membentuk frasa, atau kalimat menjadi kajian sintaksis.
Dengan demikian sintaksis merupakan subsistem bahasa/linguistik yang mencermati
hubungan kata dengan kata baik dalam susunan yang luas seperti kalimat, maupun
yang lebih kecil seperti frasa. Susunan Ab 'Abdullah yushall f al-masjid, secara
sintaksis dapat dikaji hubungan kata demi katanya, antara kata ab dengan
'abdullah, kata yushall dengan sebelumnya, dan demikian juga frasa f
al-masjid. Terkait dengan sintaksis ini, dalam bahasa Arab dikenal juga susunan
frasa, klausa, dan kalimat. Berdasarkan teori-teori pembahasan frasa, klausa, dan
kalimat, maka dilakukan analasis kesalahan terhadap data-data ketrampilan berbicara.
Kesalahan-kesalahan dalam aspek sintaksis akan dianalisis dengan beberapa
model konstruksi atau susunan dalam bahasa Arab. Berkaitan dengan struktur kalimat
dalam bahasa Arab, dikenal adanya beberapa macam konstruksi yang merupakan
satuan-satuan pengisi struktur kalimat. Ada enam macam susunan (tarkb), yaitu:
a. Tarkb isnd, yaitu struktur sintaksis yang terdiri dari musnad dan musnad ilaih,
atau disebut juga dengan jumlah yang dalam bahasa Arab dikenal ada 2 macam
yakni filiyyah dan ismiyyah. Jumlah ismiyyah adalah suatu struktur yang
mengandung pola mubtada dan khabar atau yang asalnya merupakan mubtada
54

dan khabar. Sedangkan yang dimaksud dengan jumlah filiyyah adalah susunan

kalimat yang mengandung pola fil dan f il atau fil dengan nib al-f il.

b. Tarkb idhf, yaitu susunan kata yang terdiri dari mudhf dan mudhf ilaih.
c. Tarkb bayn, yaitu susunan dua kata yang keduanya berperan menjelaskan kata
yang pertama. Susunan ini terbagi atas 3 macam, yaitu :
Tarkb washf, yaitu susunan terdiri dari kata sifat dan benda yang disifati.
Tarkb taukd, yaitu susunan yang terdiri dari muakkid dan muakkad.
Tarkb badal, yaitu susunan kata yang terdiri dari badal dan mubdal minhu.
d. Tarkb athf, yaitu susunan yang terdiri dari matf dan mathf alaih, di antara
kedua kata tersebut terdapat hurf athaf yang menyambung keduanya.
e. Tarkb mazj, yaitu dua kata yang dijadikan satu, membentuk kesatuan kata.
f. Tarkb adad, yaitu susunan adad (bilangan) dan madd (benda yang dihitung).

2 Taksonomi Siasat Permukaan


Taksonomi jenis ini merupakan sisi pandang analisis kesalahan dari prespektif
perubahan-perubahan yang nampak pada struktur luar bahasa. Perubahan-perubahan
yang dimaksud adalah cara-cara yang terjadi dan digunakan pembelajar. Cara-cara
tersebut dapat berupa penghilangan (omission), penambahan (addition), salah formasi
(misformation), dan salah susun (misordering).
Yang dimaksud dengan penghilangan adalah apabila terdapat ketiadaan suatu
butir yang seharusnya ada dalam sebuah ucapan. Tarigan memberikan contoh, bahwa
dapat dipahami apabila setiap morfem atau kata dalam suatu kalimat memiliki potensi
untuk penghilangan. Akan tetapi, terdapat beberapa morfem yang justeru lebih sering
dihilangkan daripada yang lainnya. Menurutnya beberapa morfem penuh seperti
nomina, ajektifa, dan adverbia merupakan pendukung makna referensial dalam sebuah
kalimat. Dalam praktiknya, seringkali pembelajar menghilangkan unsur morfem
gramatikal, kata tugas, dibandingkan morfem penuh.
55

Morfem gramatikal yang dimaksud adalah seperti preposisi, konjungsi, dan


artikel. Penghilangan ini menjadi lebih sering terjadi pada bahasa percakapan
dibandingkan dengan bahasa tulis. Sebagaimana telah menjadi ciri bahasa percakapan
atau tutur, bahwa penutur memiliki kencederungan untuk berbicara yang
pendek-pendek, simpel, dan dengan struktur yang tidak kompleks. Maka dalam
keadaan seperti inilah sering kali dijumpai penghilangan butiran yang seharusnya ada
dan disebutkan oleh penutur. Penghilangan morfem gramatikal ini memang sering kali
tidak memberikan pengaruh dalam pemaknaan, namun demikian hal ini akan dapat
mengganggu harmonisasi kalimat apabila dipraktikkan dalam bahasa tulis.
Kesalahan berbahasa yang berwujud penghilangan ini sering kali terjadi pada
masa awal tahap pemerolehan B2. Penghilangan ini umumnya terjadi karena kurangnya

kosa kata, terbatasnya perbendaharaan kata, dan para pembelajar kebanyakan


menyatakan kesadarannya atas unsur-unsur yang hilang tersebut. Dalam keadaan yang
demikian, beberapa pembelajar berinisiatif menggunakan gerak-gerik, isyarat untuk
menjelaskan makna yang diinginkan. Contoh kongkrit penghilangan adalah pada
sejumlah latihan pemahaman bacaan yang menggunakan pertanyaan WH question.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat berupa jawaban yang lengkap dan
panjang dengan pengulangan pertanyaannya. Namun dapat juga jawaban pertanyaan
berupa kalimat yang langsung merujuk pada jawaban yang dimaksudkan oleh
pertanyaan, tanpa mengulangi redaksional kalimat pertanyaan.
Adapun penambahan, hal ini merupakan kebalikan dari penghilangan di atas.
Kesalahan berupa penambahan ini berwujud pada munculnya suatu butir yang
seharusnya tidak ada dalam sebuah ucapan yang semestinya. Kesalahan berupa
penambahan ini dapat dikatakan sebagai akibat dari pemakaian kaidah-kaidah bahasa
yang terlalu teliti, ataupun pemakainya terlalu hati-hati, meski sebenarnya kehati-hatian
itu malah menyebabkan penambahan butiran-butiran yang seharusnya tidak diperlukan
56

kehadirannya. Kesalahan penambahan ini banyak dilakukan oleh pembelajar B2 yang

telah banyak menerima kaidah-kaidah bahasa.


Dugaan bahwa kesalahan-kesalahan yang ada pada jenis penambahan ini
terjadi pada pembelajar B2 yang telah banyak menerima kaidah bahasa, dapat dilihat

dari tipe-tipe kesalahan yang ada. Tarigan, dengan mengutip pendapat para pakar,
menyatakan bahwa dalam kesalahan penambahan ini terdapat tiga tipe kesalahan pada
ujaran pembelajar, baik B1 maupun B2. Tiga tipe kesalahan penambahan itu adalah

penandagandaan (double markings), regularisasi (regularizations), dan penambahan


sederhana (simple additions).
Penandaan ganda adalah penambahan yang sebenarnya lebih tepat disebut
sebagai kegagalan menghilangkan beberapa unsur, yang dalam sebuah konstruksi
linguistik diperlukan namun tidak perlu dihilangkan pada konstruksi lain, seperti
menambahkan kata penanda jamak pada kata yang sudah menunjukkan jamak.
Beberapa contoh berikut menunjukkan kesalahan penandaan ganda, yakni : beberapa
anak-anak, banyak mobil-mobil, para bapak-bapak, yang semestinya cukup diringkas
menjadi : beberapa anak, banyak mobil, dan para bapak.
Kedua, regularisasi, berupa upaya pembelajar menerapkan aturan-aturan
tertentu yang sebenarnya menjadi sebuah ketentuan umum, akan tetapi pada
kenyataannya tidaklah selalu demikian. Ketika sebuah aturan berlaku untuk hampir
semua konstruksi linguistik, maka hal ini menjadi sebuah gejala regular yang bersifat
umum. Dalam bahasa yang ringkas dapat dikatakan bahwa terdapat pengecualian
untuk aturan-aturan yang sudah baku. Dalam posisi seperti ini, pembelajar terkadang
terjebak untuk mengikuti aturan regular ini sehingga menimbulkan kesalahan. Contoh
dari regularisasi ini seperti pembentukan verba kala lampau menggunakan akhiran "ed"
untuk beberapa kata yang ternyata malah salah kalau dibuat demikian, antara lain
comed, eated, runned, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Arab ditemui misalnya
jamak kata "thlib" bukanlah "thlibna", akan tetapi "thullb".
57

Ketiga, penambahan sederhana, salah satu sub kategori kesalahan kenis


penambahan. Kelompok ini dapat dikatakan sebagai penampungan terhadap jenis
kesalahan-kesalahan yang tidak dimasukkan dalam kelompok penandaan ganda
maupun regularisasi. Maka dalam hal ini tidaklah dapat dikemukakan ciri-ciri khusus
sebagai penanda kelompok kesalahan ini, selain ciri secara umum yang berupa
penyimpangan atas penggunaan unsur yang tidak terdapat pada ujaran atau ucapan
yang benar. Di antara contoh untuk kelompok kesalahan ini antara lain : Kita-kita ini
bukan orang sembarangan ; Pak Umar tidak masuk karena pergi ke kota ; Berulang
kali saya menasehati tetapi dianya saja yang bandel. Contoh-contoh tersebut
seharusnya disederhanakan menjadi "Kita", "Karena", dan "Dia". Beberapa
penambahan yang seharusnya tidak ada adalah "kita", "di-kan", dan "nya".
Selain penghilangan dan penambahan, termasuk kesalahan dalam taksonomi
siasat permukaan adalah salah formasi, yang dalam hal ini ditandai oleh pemakaian
bentuk morfem atau struktur yang salah. Pembelajar sebenarnya telah menyediakan
dan memberikan sesuatu (jadi bukan penghilangan), namun ternyata hal itu sama sekali
tidak benar. Terdapat tiga tipe salah formasi, yaitu regularisasi, bentuk arki (archi
forms), dan bentuk pengganti (alternating forms).
Tipe pertama, regularisasi, pengertian dasarnya sama dengan yang dimaksud
regularisasi pada jenis kesalahan penambahan. Perbedaannya ada pada kategori
"penambahan" dan "salah formasi" saja. Kategori penambahan menitikberatkan pada
adanya penambahan dalam sebuah konstruksi linguistik, sedangkan salah formasi lebih
mengacu pada kesalahan bentukan, yang tidak selalu melalui penambahan. Sebagai
contoh, kesalahan pada kata "hisself" yang seharusnya "himself".
Tipe kedua, archi forms, yakni suatu bentuk yang oleh pembelajar B2 telah

dipahami sedemikian rupa sehingga menjadi suatu pemahaman melekat, yang


kemudian dipergunakan untuk bentuk lain pada hal yang sama. Archi forms muncul
melalui pemilihan salah satu anggota suatu kelas bentuk untuk mewakili atau
58

menggambarkan yang lainnya dalam kelas yang sama. Seorang pembelajar


menggunakan "that" untuk yang seharusnya hanya untuk kata tunggal, tetapi
dipergunakannya juga untuk plural, seperti "that books". "Me" yang seharusnya hanya
untuk posisi obyek, tetapi dipergunakannya juga untuk subyek : "Me angry"
Tipe ketiga, bentuk pengganti, terjadi apabila kosa kata dan tata bahasa
pembelajar telah tumbuh dan berkembang, sehingga penggunaan bentuk archi forms
sering kali memberikan peluang kepada pemilihan bebas yang agak jelas terhadap
berbagai anggota kelas dengan yang lainnya. Dalam penggunaan kata ganti penunjuk
misalnya, dapat dicontohkan "those dog" dan "this cats". Dalam pemakaian
pronomina, seperti penggunaan "he" untuk "she" ; "they" untuk "it" ; "her" untuk
"she", dan lain-lain yang semacamnya.
Bagian terakhir dari kesalahan taksonomi siasat permukaan adalah salah
susun. Sebagaimana namanya, salah susun merupakan salah letak, ditandai oleh
penempatan yang tidak benar bagi suatu morfem atau kelompok morfem dalam suatu
ujaran atau ucapan. Dengan demikian salah susun adalah kesalahan letak, atau
penempatan sebuah morfem atau kelompok morfem. Salah letak ini berupa pertukaran
tempat yang semestinya di belakang ternyata diletakkan di depan, dan sebaliknya.
Contoh salah susun seperti "He is all the time present " yang seharusnya frasa all the
time diletakkan di belakang sehingga menjadi "He is present all the time". Demikian
juga "What Daddi is reading?" yang seharusnya "What is Daddy reading?" Kesalahan
"misordering" ini terjadi pada pembelajar B2 dengan secara sistematis dalam
konstruksi-konstruksi yang telah didapatkan, terutama pada pertanyaan-pertanyaan
sederhana yang langsung dan cakupan yang tidak langsung.

3. Taksonomi Komparatif
Nilai komparasi pada taksonomi ini terdapat pada metode yang digunakan
berupa penggolongan kesalahan-kesalahan berdasarkan pada
59

perbandingan-perbandingan antara struktur kesalahan-kesalahan B2 dan tipe-tipe

konstruksi tertentu lainnya. Kesalahan-kesalahan yang dibuat pembelajar B2

dibandingkan dengan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pembelajar yang


menjadikan B2 tersebut sebagai B1nya. Kesalahan-kesalahan yang dibuat pembelajar

Bahasa Arab di Indonesia misalnya, dibandingkan dengan kesalahan-kesalahan


pembelajar Bahasa Arab di negaranya (di negara Arab yang B1nya adalah bahasa

Arab).
Dalam taksonomi komparatif ini, kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat
dibedakan atas (1) kesalahan perkembangan, (2) kesalahan antarbahasa, dan (3)
kesalahan lainnya. Kesalahan perkembangan ini berlaku juga bagi pembelajar B1.

Kesalahan berbahasa Arab oleh pembelajar Indonesia memiliki kesamaan dengan


kesalahan berbahasa Arab yang dilakukan oleh pembelajar negara Arab. Demikian juga
dalam hal pembelajaran bahasa Inggris. Pembelajar Indonesia sama dalam membuat
kesalahan seperti penghilangan artikel atau penanda kala lampau, seperti "Cat eat it"
untuk yang seharusnya "The cat ate it". Demikian juga seperti "I like eat it" untuk
yang seharusnya "I like to eat it", "I not talking" untuk "I'm not talking ".

Kesalahan antarbahasa, merupakan kesalahan yang sepenuhnya mengacu


kepada kesalahan-kesalahan B2, tanpa memperhatikan proses-proses internal maupun
kondisi eksternal yang menjadi penyebabnya. Dalam kaitan ini, yang menjadi dasar
adalah bahwa sekecil apapun, diyakini bahasa ibu (B1) secara otomatis ikut campur
tangan dengan B2 pada saat pembelajaran. B1 dengan sendirinya ikut larut dan
berpindah pada sistem B2 pembelajar yang sedang berusaha menguasainya.
Perkembangan system B2 pembelajar secara tidak sengaja dipengaruhi oleh sistem B1
yang telah melekat pada pembelajar tersebut. Dengan demikian kesalahan antar bahasa
merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari pada saat pembelajar
berusaha membangun sistem B2nya. Dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah
meminimalisasi pengaruh B1 terhadap pembelajaran B2 melalui pemahaman yang
60

konprehensif dan pembiasaan yang intensif dengan pendalaman dan pembiasaan.


Kesalahan-kesalahan antarbahasa akan lebih tampak jelas melalui proses
penterjemahan bentuk gramatikal kalimat atau frasa pembelajar ke dalam B2nya. Para
pembelajar sering kali menambahkan huruf sin ( )ke verba mudhri untuk

menyatakan kegiatan yang segera dilakukannya kemudian, seperti .

Di luar kelompok kesalahan perkembangan dan antar bahasa, ditemukan


kesalahan lain yang dianggap unik dan tidak dapat dimasukkan ke dalam dua
kelompok tersebut. Dianggap unik dan masuk kategori "lain" karena kesalahan yang
dibuat bukan cerminan perkembangan pembelajar dalam membangun sistem kaidah
B2nya, dan juga bukan pengaruh dari B1. Penggunaan kata yang dipahami sebagai

terjemahan kata "memiliki' untuk menyatakan dapat


dijadikan contoh untuk jenis kesalahan ini. Oleh Dulay dan Burt, kesalahan ini memang
cermin khas dari pembelajar B2 dan merupakan upaya konstruksif yang bersifat kreatif
dari pembelajar.

4. Taksonomi Efek Komunikatif


Dalam taksonomi ini, peninjauan kesalahan didasarkan kepada efek yang
muncul bagi pendengar, penyimak, atau pembaca. Kesalahan berbahasa yang dilakukan
pembelajar tentunya memiliki efek bagi penyimak ataupun pembaca yang mendengar
ataupun yang membacanya. Taksonomi efek komunikatif memandang kesalahan dari
perspektif akibat yang ditimbulkan bagi orang yang terlibat sebagai penyimaknya,
melalui ujaran lisan ataupun tulisan. Analisis kesalahan ini mendasarkan diri pada
pembedaan antara kesalahan-kesalahan yang dapat menimbulkan salah paham
komunikasi dan yang tidak demikian. Manakah di antara kesalahan-kesalahan yang
dapat membuat suatu frasa atau kalimat menjadi tidak dapat dipahami oleh penyimak
atau pembaca, sehingga menimbulkan gangguan komunikasi. Berdasarkan taksonomi
efek komunikatif ini, kesalahan dapat dibedakan atas dua macam, yakni kesalahan
global, dan kesalahan lokal.
61

Apabila kesalahan yang dibuat oleh pembelajar ternyata mempengaruhi


secara signifikan terhadap sebuah struktur kalimat sehingga dapat mengganggu
komunikasi, maka hal ini dikategorikan ke dalam kesalahan global. Dalam bahasa
Indonesia ditemukan hal-hal seperti (1) salah penyusunan dalam unsur pokok,
contohnya : Warung yang murah dan enak banyak orang disenangi, yang seharusnya
adalah : Warung yang murah dan enak disenangi banyak orang; (2) salah penempatan
atau pemakaian kata sambung, contohnya : Kamu akan berhasil sampai kamu
sungguh-sungguh, yang seharusnya adalah : Kamu akan berhasil jika kamu
sungguh-sungguh; dan (3) hilangnya ciri kalimat pasif, contohnya : Proposal penelitian
kelas diperiksa pada pimpinan sekolah, yang seharusnya : Proposal penelitian kelas
diperiksa oleh pimpinan sekolah.
Sedangkan kesalahan lokal, terjadi apabila kesalahan yang dilakukan oleh
pembelajar B2 terjadi pada sebuah unsur dalam struktur sebuah kalimat, akan tetapi

tidak berakibat pada terganggunya proses penyampaian pesan komunikasi. Dalam hal
ini penyimak atau pembaca masih dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh
pengujar. Dengan demikian kesalahan lokal terjadi sebatas pada suatu bagian kalimat
saja, seperti contoh-contoh berikut : Jumlah pasangan cagub dan cawagub berjumlah
lima pasang ; Penyerahan BLT secara simbolis diserahkan oleh bapak gubernur DKI
Jakarta ; Peringatan seabad kebangkitan nasional diperingati secara besar-besaran oleh
pemerintah RI. Contoh-contoh tersebut seharusnya : Pasangan cagub dan cawagub
berjumlah lima pasang ; BLT secara simbolis diserahkan oleh gubernur DKI Jakarta ;
Seabad kebangkitan nasional diperingati secara besar-besaran oleh pemerintah RI.
Pembagian kesalahan ke dalam jenis lokal dan global ini menyiratkan strata
urgensi dan signifikansi penguasaan tata bahasa global dan lokal. Penguasaan tata
bahasa lokal menjadi mutlak dilakukan untuk menuju kepada kesempurnaan
komunikasi seperti pemilik bahasanya. Pembelajar bahasa Arab harus memperhatikan
tata bahasa lokal secara maksimal untuk dapat menyamai orang Arab dalam melakukan
62

komunikasi. Akan tetapi apabila pembelajar mencukupkan untuk sekedar tercapaianya


fungsi komunikasi minimal, maka penguasaan tata bahasa global sudah dianggap
memadai dan memenuhi kebutuhan. Maka di sini berlaku ukuran urgensi dan
signifikansi komunikasi yang dilakukan oleh pengujar bahasa.

C. Penyebab Kesalahan Berbahasa


Di antara kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pembelajar B2, secara

keseluruhan dapat dikelompokkan atas dua macam, yaitu kesalahan antarbahasa dan
kesalahan intrabahasa. Keduanya merefleksikan peristiwa-peristiwa yang mengiringi
proses pembelajaran B2 pada seorang pembelajar. Peristiwa-peristiwa yang dimaksud

adalah, bahwa seorang pembelajar B2 dalam upaya membangun kesempurnaan

aspek-aspek linguistik B2nya tidak dapat melepaskan pengaruh B1 yang telah

dimilikinya, maka terjadilah interferensi dan menimbulkan kesalahan interferensi atau


interlingual. Selain itu, masih dalam upaya menyempurnakan pengetahuan
linguistiknya, seorang pembelajar berupaya membangun kemampuannya dengan
mendasarkan kepada pengetahuan B2 sebatas yang telah dikuasainya, hasil dari

pembelajaran B2 yang sedang berlangsung, maka muncullah kesalahan-kesalahan

intrabahasa.
Kesalahan antarbahasa merupakan kesalahan yang timbul akibat pembelajar B2

yang secara otomatis mengambil dan menggunakan sistem B1 yang telah dimilikinya

pada saat menggunakan B2nya, melalui tulisan ataupun lisan. Transfer B1 merupakan

suatu keniscayaan yang sulit dihindari. Analisis kontrastif telah membuktikan adanya
peristiwa transfer bahasa tersebut. Hipotesis analisis ini menyatakan bahwa adanya
perbedaan-perbedaan yang terdapat pada bahasa sumber (B1) dan bahasa sasaran (B2)

dapat menimbulkan masalah-masalah dan kesulitan dalam performansi. Dengan


63

demikian maka kesalahan yang dibuat oleh pembelajar merupakan cerminan kesalahan
yang strukturnya adalah sama dengan B1 pembelajar.

Kesalahan intrabahasa berupa kesalahan-kesalahan yang merefleksikan ciri-ciri


umum kaidah B2 yang sedang dipembelajari oleh pembelajar. Dalam hal ini pembelajar

B2 melakukan kesalahan-kesalahan yang bukan merupakan refleksi dari struktur dan

kaidah B1 yang telah dimilikinya. Akan tetapi melakukan kesalahan-kesalahan yang

mencerminkan struktur B2 yang sedang dipembelajarinya. Dari sinilah muncul istilah

intrabahasa, intralingual dan bukan antarbahasa atau interlingual / interferensi. Dalam


kesalahan intrabahasa, Richards (1971) dan Fisiak (1985) menyatakan bahwa
penyebab kesalahan meliputi penyamarataan yang berlebihan (over generalization),
ketidaktahuan pembatasan kaidah (ignorance of rule restrictions), penerapan kaidah
yang tidak sempurna (incomplete application of rules), dan salah menghipotesiskan
konsep (false concepts hypothesized).
Generalisasi yang berlebihan berupa upaya pembelajar menciptakan struktur
yang menyimpang dengan berdasarkan pengalamannya mengenai struktur-struktur lain
dalam B2. Penciptaan inilah yang pada akhirnya memunculkan kesalahan-kesalahan

melalui upaya generalisasi berlebihan berupa penggunaan strategi-strategi atau


siasat-siasat yang telah tersedia sebelumnya di dalam situasi-situasi yang baru.
Pembelajar melalui pengalamannya akan mengambil suatu kesimpulan-kesimpulan
melalui upaya men-generalisasi kaidah-kaidah yang telah diterimanya berdasarkan
fakta-fakta B2 yang dipembelajarinya. Namun pada kesempatan lain, upaya

generalisasinya ini hanya mendasarkan pada kesamaan-kesamaan aspek luar, sehingga


berakibat menyesatkan dan tidak dapat diterapkan, yang pada akhirnya membawanya
kepada berbuat kesalahan-kesalahan berbahasa. Contoh dari generalisasi berlebihan ini
antara lain :
He must comes, yang seharusnya He must come
64

I comes from, yang seharusnya I come from


Dalam bahasa Arab, ditemukan ungkapan seperti :
Yushallna al-muslimna fi al-masjid, yang seharusnya Yushall al-muslimna f

al-masjid
Hal yang tidak berbeda jauh dengan generalisasi berlebihan adalah kegagalan
pembelajar dalam mencermati pembatasan-pembatasan terhadap struktur-struktur yang
ada. Kegagalan yang dimaksud adalah pembelajar B2 menerapkan kaidah-kaidah

terhadap konteks-konteks yang sebenarnya tidak dapat menerima penerapan tersebut.


Beberapa kesalahan yang dapat digolongkan ke dalam kegagalan pembatasan kaidah
ini adalah seperti penambahan dan penghilangan. Hal ini terjadi karena pembelajar
membentuk kalimat atau bentuk bahasa lain hanya berdasarkan analogi terhadap sistem
dan kaidah B2 yang telah mereka ketahui. Dalam hal ini siswa belum mengetahui

bahwa sebenarnya terdapat kaidah lain yang benar dan tepat.


Sedangkan penerapan kaidah yang tidak sempurna berupa
penyimpangan-penyimpangan yang mengindikasikan gambaran taraf perkembangan
kaidah-kaidah yang diperlukan untuk menghasilkan keberterimaan atas suatu susunan
bahasa. Kesalahan-kesalahan dalam kelompok ini seperti penggunaan
pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab. Dalam hal ini pembelajar melakukan proses
transformasi-transformasi berangkai yang mungkin dihilangkan, atau suatu kata tanya
yang dapat ditambahkan begitu saja ke dalam bentuk pernyataan. Pembelajar
mengulang begitu saja kata-kata yang terdapat dalam bentuk pertanyaan. Beberapa
contoh menunjukkan hal tersebut, seperti : Do you eat much, dijawab oleh pembelajar
: Yes I eat much. Pertanyaan : What was she saying ?, dijawab : She saying she would
ask him. Dalam bahasa Arab, ketika diajukan Man hum al-muhjirna?, dijawab :
Hum al- muhjirna al-rijlu wa al-nisk.
Adapun kesalahan akibat kekeliruan dalam menghipotesiskan konsep, terjadi
apabila pembelajar memiliki pemahaman yang salah terhadap pembedaan-pembedaan
65

di dalam B2 yang dipembelajarinya. Di antara hal yang tergolong seperti ini adalah

terkait dengan gradasi butir-butir pengajaran yang tidak selaras. Dalam bahasa Inggris
dicontohkan tentang pemahaman to be untuk kala lampau dan sekarang was, were dan
is, are, dimana pembelajar membedakannya berdasarkan klasifikasi kala.
Contoh-contoh itu seperti One day it was happened ; He is talks much ; Teachers
were went to the library ; We are play football every Sunday morning.

D. Karakteristik Bahasa Tutur


Bertutur atau berbicara adalah berkomunikasi secara langsung. Untuk dapat
tersampaikannya pesan tutur sebagai tujuan utama berkomunikasi, maka seorang
penutur harus memiliki kemampuan bertutur atau berbicara. Untuk itu dalam
berbahasa tutur terdapat hal-hal yang harus diperhatikan untuk kelancaran proses
kemunikasi antara penutur dengan pendengar. Hal ini terkait dengan perbedaan dan
karakteristik bahasa tutur yang tidak sama dengan bahasa tulis.
Dalam hal ini harus dimiliki keterampilan bertutur yang tidak saja melibatkan
unsur kebahasaan (linguistik) tetapi juga unsur non kebahasaan. Unsur-unsur
kebahasaan yang dimaksud adalah ketepatan ucapan; penempatan tekanan, nada,
sendi, dan durasi yang sesuai; pilihan kata; dan ketepatan sasaran pembicaraan.
Sedangkan unsur-unsur non kebahasaan meliputi suasana sosiolinguistik dan
psikolinguistik yang meliputi peristiwa bertutur tersebut.
Hal yang terkait dengan ketepatan ucapan adalah pengucapan bunyi-bunyi
bahasa dengan artikulasi yang tepat. Meskipun disadari bahwa tidak selalu berhasil
dilakukan pengucapan artikulasi dengan tepat, akan tetapi hendaknya diusahakan
bunyi-bunyi yang keluar tidak melenceng jauh dari ketentuan pengucapannya. Dengan
demikian dalam memproduksi bunyi bahasa harus diperhatikan dengan seksama
bagaimana posisi alat bicara seperti lidah, gigi, bibir, dan langit-langit membentuk
bunyi, baik itu bunyi vokal maupun konsonan. Ketepatan memproduksi bunyi bahasa
66

menjadi salah satu kunci pokok dalam keberhasilan penyampaian pesan komunikasi
untuk sampai dengan tepat kepada sasaran (pendengar/lawan bicara).
Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan juga durasi ikut menjadi faktor penentu
bagi pemahaman suatu pesan bahasa tutur, selain juga dapat menjadi daya tarik
tersendiri dalam bertutur. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sering kali
terjadi kesalahpahaman akibat penentuan tekanan, nada, dan juga durasi bertutur yang
kurang tepat. Kesalahan pengambilan kesimpulan pesan oleh pendengar terhadap
pesan yang disampaikan oleh penutur dapat terjadi akibat kesalahan persepsi yang
dtitimbulkan oleh penempatan tekanan maupun jeda bertutur yang kurang pas.
Pemberian tekanan pada suatu kata atau suku kata merupakan suatu keniscayaan
dalam bertutur. Demikian juga durasi dan jeda bertutur selalu ikut dan melingkupi
peristiwa bertutur seseorang. Oleh karena itu penempatan tekanan berikut besarannya,
pengambilan jeda dan intonasi yang selalu mengiringi penuturan seharusnya dilakukan
secara tepat untuk berlangsungnya proses komunikasi yang efektif.
Demikian juga halnya dengan pemilihan kata saat bertutur. Pilihan kata yang
tepat, jelas, mudah dipahami akan memberikan efek komunikasi yang lebih nyata
dibandingkan dengan yang sebaliknya. Dalam hal ini juga harus diperhatikan persoalan
dengan siapa bertutur dan dalam hal apa topik atau pokok pembicaraan tersebut.
Penutur harus menyesuaikan pilihan kata-katanya berdasarkan faktor siapa yang diajak
berbicara dan dalam hal apa fokus pembicaraanya. Pilihan kata juga menunjukkan
pengungkapan ekspresi pembicara, karena itu harus benar-benar tepat.
Sedangkan ketepatan sasaran pembicaraan terkait dengan pemakaian kalimat.
Penggunaan kalimat efektif akan sangat membantu sasaran pembicara dalam
memahami maksud pembicaraan. Kalimat efektif memiliki ciri-ciri keutuhan,
perpautan, pemusatan perhatian, dan kehematan. Keutuhan yang dimaksud adalah
dalam hal kelengkapan struktur pembentuk kalimat tersebut. Perpautan berhubungan
dengan keterkaitan antara unsur pembentuk kalimat, seperti antar kata, atau antar
67

frasa. Pemusatan perhatian dapat dilakukan dengan menempatkan bagian yang


dianggap penting pada awal atau akhir kalimat dengan memberikan tekanan pada saat
berbicara. Sedangkan kehematan terkait dengan pemakaian kata yang tidak berlebihan,
tidak ada pemborosan kata yang tidak memiliki maksud yang jelas.
Dari semua hal di atas, yang tidak dapat dilepaskan dan terkait langsung dalam
kaitannya dengan berbahasa tutur adalah pengucapan. Yang menjadi ciri utama
pengucapan adalah hal-hal yang berkaitan dengan ketepatan bunyi atau makhraj,
durasi pengucapan atau mad, pemenggalan kata-suku kata atau maqtha, jeda atau
saktah, tekanan kata atau nabr, dan juga intonasi atau tanghm. Kesemuanya
merupakan kajian yang terkait dengan bunyi, unsur utama dalam berbahasa tutur.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan pendekatan kontrastif
dan non kontrastif. Deskriptif kualitatif karena menghasilkan data deskriptif yang
kemudian dilakukan analisa dan interpretasi menjadi kesimpulan. Hal ini sesuai dengan
Tarigan bahwa fenomena-fenomena dalam perilaku pembelajaran B2 merupakan

tujuan dari riset kualitatif. Fenomena-fenomena tersebut adalah peristiwa berbicara B2

mahasiswa subyek penelitian. Data penelitian dianalisa secara kualitatif, dengan


mendeskripsikan aspek morfologi dan sintaksis dalam berbicara.
Penelitian ini menggunakan model classroom research, dan merupakan
penelitian kasus, karena mengambil peristiwa berbicara subyek penelitian dalam
kegiatan belajarnya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa bahasa Arab merupakan
peristiwa alamiah yang sudah menjadi kebiasaan dalam keseharian belajar mereka di
kelas. Penggalian informasi yang menyeluruh membantu mencapai tujuan penelitian.
Dari sisi teknik analisis kesalahan, pendekatan yang digunakan meliputi dua
hal, yakni kontrastif dan non kontrastif. Pendekatan kontrastif dilakukan dalam rangka
mencari unsur interferensi yang menjadi penyebab munculnya kesalahan berbahasa
terkait dengan unsur B1 pembelajar. Kontrastif dilakukan dengan cara mencari

bandingan bentuk dan struktur linguistik B1 pembelajar. Dengan cara ini akan

diketahui persamaan dan perbedaan yang mengakibatkan kesalahan B2. Hal ini sejalan

dengan hipotesis analisis kontrastif versi kuat yang menyatakan bahwa kesalahan B2

adalah akibat interferensi B1 pembelajar.

Sedangkan pendekatan non kontrastif dilakukan untuk melihat kesalahan yang


ternyata tidak disebabkan oleh unsur interferensi B1 pembelajar. Dalam hal ini

dilakukan eksplorasi kesalahan-kesalahan yang ada tanpa melihat bandingannya dalam


69

B1 pembelajar. Hal ini sejalan dengan temuan Richards dkk yang menyatakan bahwa

terdapat kesalahan-kesalahan B2 yang bukan diakibatkan oleh faktor interferensi B1

pembelajar. Karena itulah, maka dua pendekatan, kontrastif dan non kontrastif
digunakan dalam analisis kesalahan ini.

B. Sumber Data, Populasi dan Sampel Penelitian


1. Sumber Data
a. Data Primer
Dalam studi analisis kesalahan, data yang digunakan dapat berupa ragam
tulisan, dan dapat juga berupa ragam lisan. Ragam tulisan berupa pemanfaatan
media tulis dengan menggunakan tulisan huruf sebagai unsur dasarnya, sedangkan
ragam lisan dicirikan dengan penggunaan alat ucap (organ of speech) dengan
fonem sebagai unsur dasarnya. Kepada dua ragam bahasa ini dapat dilakukan
penelitian analisis kesalahan sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh
masing-masing ragam tulisan dan lisan tersebut. Karakteristik akan menentukan
aspek apa saja yang dapat dijadikan sebagai kategorisasi kesalahan.
Data primer penelitian ini adalah kegiatan berbicara mahasiswa semester IV
Mahad l Hsyim Asyar PP Tebuireng Jombang. Kegiatan berbicara tersebut
berupa presentasi dan diskusi matakuliah yang menggunakan bahasa Arab, baik
berupa presentasi subyek penelitian melalui penjelasan, maupun interaksi tanya
jawab/diskusi. Topik pembicaraan adalah sesuai dengan jadwal matakuliah, dan
urutan presentasi subyek penelitian juga sesuai jadwal.
Pemilihan diskusi sebagai data penelitian dengan pertimbangan
keunggulannya terkait dengan penekanan aspek gramatikal dalam analisis
kesalahan ini, dibandingkan dengan keterampilan berbicara lainnya, seperti pidato
maupun percakapan. Aspek gramatikal berupa morfologi dan sintaksis akan
muncul lebih lengkap dalam variasi bentuk dan susunannya melalui diskusi
70

dibandingkan dengan bentuk lain. Selain itu, diskusi dianggap memiliki tingkat
kewajaran dan naturalitas yang tinggi untuk mendapatkan susunan yang lengkap.
Kegiatan diskusi pada kelas ini dapat dikelompokkan atas tiga bagian,
pertama presentasi mahasiswa (penyaji) terhadap makalah yang ditulisnya, dengan
cara membacanya sebagai pengantar. Kedua, pemberian keterangan oleh penyaji
yang merupakan lanjutan dari pembacaan. Dan ketiga, tanya jawab yang
melibatkan anggota kelas. Penulis hanya mentranskrip kesalahan-kesalahan
berbahasa yang dihasilkan dari bagian ke dua dan ke tiga saja, karena pada bagian
pertama bukanlah menunjukkan kemampuan berbicara yang sesungguhnya.
b. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berupa data penunjang yang terkait
dengan keadaan dan latar belakang subyek penelitian, hal-hal yang terkait dengan
MAHAT seperti kurikulum dan keadaan tenaga pengajar, yang diperoleh melalui
teknik dokumentasi. Data sekunder lain juga berupa buku-buku yang berisi
penjelasan tentang gramatika dan bahasa tutur, baik dalam bahasa Indonesia
maupun bahasa Arab. Data sekunder ini sekaligus dipakai sebagai alat verifikasi
data kesalahan yang telah ditemukan.

2. Populasi dan Sampel Penelitian


Mengingat penelitian ini adalah studi kasus dalam bentuk penelitian kelas,
maka populasi adalah sekaligus sampelnya, yang dalam hal ini adalah seluruh
mahasiswa semester IV MAHAT yang berjumlah 25 orang. Dipilihnya mahasiswa
semester IV sebagai subyek penelitian dengan pertimbangan karena pada kelas ini
matakuliah kebahasaan yang terkait dengan gramatikal telah diberikan, yakni sharf
pada semester 2 dan nahw pada semester 4. Demikian juga matakuliah yang
diberikan semuanya menggunakan bahasa Arab, kecuali satu mata kuliah yakni
bahasa Inggris.
71

Dengan demikian, dari target populasi kegiatan berbicara sebanyak 25


mahasiswa, penulis menjadikan keseluruhannya sebagai sampel juga. Hal ini untuk
mendapatkan data yang dapat menggambarkan subyek penelitian secara utuh dan
sesungguhnya. Sebagaimana disebutkan, bahwa populasi penelitian memiliki
tingkat homoginitas yang relatif tinggi berdasarkan kenyataan bahwa mereka
adalah hasil seleksi ujian masuk yang ketentuan pelulusannya menitikberatkan pada
aspek penguasaan bahasa Arab lisan maupun tulisan. Demikian juga, bahwa
pengajaran yang berlangsung dengan pengantar bahasa Arab telah dilalui selama
hampir empat semester. Dengan demikian sebenarnya pengambilan sampling dapat
dibenarkan meskipun peneliti tidak melakukannya dengan pertimbangan yang telah
disebutkan..

C. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data


Pengumpulan data primer dalam penelitian ini menggunakan metode simak..
Metode simak digunakan untuk mengamati peristiwa berbicara siswa, sebagai data
primer kesalahan bertutur. Teknik simak ini memiliki teknik dasar sadap, dan teknik
lanjutan berupa simak libat cakap, simak bebas libat cakap, catat, dan rekam.. Data
penelitian diambil dengan cara mengikuti alur perkuliahan dengan harapan data yang
terkumpul bersifat natural, alamiah, dan tidak dibuat-buat oleh responden. Data yang
demikian ini akan menunjukkan kepada hal yang lebih mendekati terhadap data yang
sesungguhnya, sesuai dengan sifat penelitian deskriptif..
Instrumen pengumpulan data yang utama adalah peneliti sendiri. Untuk itu
diperlukan alat-alat yang mendukung metode pengumpulan data tersebut. Dalam hal
ini alat rekam baik elektronik (tape recorder, MP3 Recorder) maupun manual seperti
catatan-catatan diharapkan dapat membantu mengumpulkan data yang diharapkan.
Sedangkan untuk data sekunder/penunjang, digunakan teknik dokumentasi.
Dokumentasi digunakan untuk mengumpukan informasi yang terkait dengan keadaan
72

pengajaran seperti jadwal pelajaran, keadaan siswa, dan kegiatan belajar-mengajar.data


sekunder juga diambil melalui teknik wawancara dengan pengelola MAHAT, yang
dalam hal ini adalah wakil direktur, staf TU dan tenaga pengajar.
D. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Data yang dianalisis pada penelitian ini berupa kalimat-kalimat yang salah
menurut prinsip-prinsip keberterimaan (acceptability). Analisis kesalahan gramatikal
dilaksanakan berdasarkkan pada penggunaan komponen-komponen struktur
gramatikal dalam kalimat. Komponen-komponen tersebut seperti susunan kata (word
order), infleksi, derivasi, dan hubungan antar bentuk atau kesesuaian (corrrelation of
forms, concord, agreement). Selanjutnya, dilanjutkan dengan upaya mencari dan
menata secara sistematis rekaman hasil observasi dalam rangka mencari bukti terhadap
hal-hal yang sedang diteliti. Upaya mencari bukti tersebut dilakukan dengan cara
menindaklanjuti analisa yang telah dilakukan, yakni dengan berupaya mencari
makna/meaning. Namun sebelumnya, dilakukan pengolahan data terlebih dahulu
sebagai langkah awal untuk memudahkan dan mengantarkan pada analisa data.
Secara umum, langkah-langkah analisis kesalahan adalah sebagaimana Tarigan
yakni: mengumpulkan data kesalahan berbahasa, mengidentifikasi dan
mengklasifikasikannya, dengan cara mengenali, memilah dan menggolongkan
berdasarkan kategorisasi kebahasaan. Memperingkat kesalahan, dengan mengurutkan
atau mempersentase frekuensi kesalahan. Menjelaskan kesalahan, melalui deskripsi
kesalahan, penyebabnya, dengan menuliskan pembetulannya.
Maka terkait dengan penelitian ini, langkah-langkah pengolahan data adalah:
1. Pemeriksaan data hasil penelitian, untuk mengecek jumlah data apakah sudah
sesuai dengan jumlah subyek penelitian. Pemeriksaan dilakukan untuk mengecek
apakah data rekaman dapat didengarkan untuk kemudian dilakukan transkrip
secara tulisan. Apabila didapati rekaman yang tidak mungkin untuk dilakukan
transkrip tulisan, maka dicarikan data pengganti melalui rekaman lain yang
73

tersedia. Dalam hal ini peneliti melakukan langkah antisipasi dengan menyediakan
dua buah alat perekam (MP3 Recorder).
2. Data rekaman ditranskrip melalui tulisan dengan hanya mencatat
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh subyek penelitian.
3. Pengolahan korpus (data rekaman kesalahan) dilanjutkan dengan menggarisbawahi
bagian-bagian yang salah dalam aspek morfologis dan sintaksis.
Selanjutnya langkah-langkah analisis data, dengan tahapan sebagai berikut :
1. Identifikasi kesalahan bahasa, dari aspek morfologis dan sintaksis, dengan cara
membandingkan tuturan subyek penelitian dengan bahasa yang baku.
2. Mengelompokkan kesalahan-kesalahan tersebut sesuai jenis konstruksinya.
3. Merekonstruksi tuturan yang dimaksud oleh subyek penelitian dengan cara
memberikan bahasa bakunya sesuai dengan maksud tuturan.
4. Membandingkan bahasa tuturan subyek penelitian dengan bahasa Arab bakunya.
5. Menentukan jenis kesalahan bahasa tuturan subyek penelitian.
6. Menentukan frekuensi masing-masing konstruksi kesalahan.
7. Menentukan proporsi kesalahan masing-masing jenis konstruksi dengan cara
memproyeksikan kesalahan terhadap total jumlah kesalahan.
8. Interpretasi data berdasarkan hasil langkah-langkah sebelumnya. Interpretasi yang
dimaksud juga dikaitkan dengan data sosiolinguistik mahasiswa, latarbelakang
pendidikan, dan prestasi bahasa Arab, untuk mengekplorasi penyebab kesalahan.
Semua langkah-langkah di atas, merupakan penjabaran dari inti prosedur studi
analisis kesalahan berbahasa. Bahwa prosedur analisis kesalahan mencakup tiga hal,
identifikasi kesalahan, deskripsi kesalahan, dan (3) interpretasi data-data kesalahan.

E. Keterbatasan Penelitian
Penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menghasilkan penelitian yang
representatif, namun penelitian ini tidak luput dari berbagai keterbatasan, antara lain :
74

1. Media berbahasa tutur yang menjadi sumber data utama penelitian ini terbatas pada
diskusi, belum mencakup atau dilengkapi dengan semua macam keterampilan
berbicara, seperti percakapan, wawancara terstruktur, berpidato dengan
batasan-batasan tertentu, dan lain sebagainya.
2. Penelitian ini belum menjangkau unsur-unsur yang melekat pada bahasa tutur itu
sendiri seperti nabr, tanghim, saktah, dan lain sebagainya. Hal ini karena penelitian
ini lebih memfokuskan pada aspek gramatikal semata. Kompleksitas bahasa tutur
dibandingkan dengan bahasa tulis, seperti yang terkait dengan unsur-unsur di atas
belum terpenuhi pada penelitian ini.
3. Alat verifikasi data pada penelitian ini terbatas pada data dokumentasi kurikulum
lembaga dan data sosiolinguistik subyek penelitian, belum didukung dengan
wawancara yang mendalam terhadap subyek penelitian.
4. Variabel penelitian ini terbatas pada aspek morfologi dan sintaksis saja, belum
pada aspek-aspek lain seperti kosa kata, semantik, atau penggunaan preposisi, dan
juga terutama yang terkait dengan berbahasa tutur seperti fonologi.
5. Keterbatasan waktu yang tersedia menyebabkan proses observasi dan rekaman
terhadap berbahasa tutur belum dapat dilakukan untuk jangka waktu yang lama
(longitudinal), misalnya selama satu semester.
111

BAB IV
KESALAHAN MORFOLOGI
Yang dimaksud dengan kesalahan morfologi (sharf) dalam penelitian ini
adalah kesalahan dalam bentuk, kala (tenses), dan derivasi kata dalam kalimat.
Termasuk dalam kategori ini adalah kesalahan penggunaan dhamr pada fil, maupun
ism, dan kesalahan menggunakan wazn atau shghah. Hal ini sesuai dengan ruang
lingkup morfologi itu sendiri yakni terpusat kepada kata per kata, dan bukan
keterkaitan antara kata yang satu dengan kata yang berikutnya. Kesalahan morfologis
mendasarkan analisis kesalahan berdasarkan kajian morfologi, di mana obyek kajian
kesalahan morfologis adalah kata itu sendiri yang berdiri sendiri, dan kemudian
dianalisis unsur-unsur pembentukannya. Dalam hal ini, penekanannya adalah morfologi
sebagai suatu proses, yaitu cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan
morfem yang satu dengan morfem yang lainnya. Untuk melihat kesalahan morfologis
suatu kata dapat ditempuh dengan cara membandingkan berbagai proses morfologis
yang ada di suatu kata seperti afiksasi, reduplikasi, modifikasi intern, komposisi, dan
juga klitisasi. Dari total kesalahan gramatika yang ada (441 kesalahan), 29 % nya atau
128 buah adalah kesalahan pada aspek morfologi. Bab ini membahas hal-hal yang
terkait dengan kesalahan morfologi tersebut, yakni klasifikasi kesalahan morfologi,
penyebab dan upaya menanggulangi kesalahan.

A. Klasifikasi Kesalahan Morfologi


Kesalahan pada aspek morfologi ini adalah pada penggunaan bahasa Arab
dalam kegiatan perkuliahan sehari-hari pada mahasiswa Mahad l Hsyim Asyar
PP Tebuireng Jombang (MAHAT) semester IV tahun pelajaran 2007-2008.
Perkuliahan yang pengantarnya berbahasa Arab mengharuskan para mahasiswa
memiliki keterampilan berbicara dalam situasi formal, seperti ketika mempresentasikan
dan mendiskusikan makalahnya. Salah satu hal yang harus dimiliki oleh mahasiswa
112

dalam berbahasa tutur ketika diskusi tersebut adalah kompetensi gramatikal pada
aspek morfologi, agar tidak salah dalam melakukan pembentukan kata-kata ketika
berbicara.
Berikut ini adalah kesalahan berbicara dalam aspek morfologi pada diskusi
perkuliahan mahasiswa MAHAT. Kesalahan dapat dikelompokkan menjadi empat jenis
sebagaimana tabel I berikut ini :
Tabel I
Jenis-jenis Kesalahan Morfologi
%
Jum kesel
No Jenis Kesalahan %
lah uruh
an*
1 Menjadikan marifah di tempat nakirah, atau sebaliknya 11 8,6 2,5
2 Mutaadd (verba transitif) dan Lzim (verba intransitif) 37 28,9 8,4
3 Isytiqq (Derivasi) 77 60,2 17,5
4 Zamn (Kala) 3 2,3 0,7
Jumlah 128 100,0 29,0
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)

1. Menjadikan marifah di tempat nakirah, dan sebaliknya


Dari 128 kesalahan dalam aspek morfologi, 11 diantaranya masuk dalam
kategori kesalahan ini, yaitu menjadikan bentuk marifah pada ism yang
seharusnya berbentuk nakirah (sebanyak 9 kesalahan), dan menjadikan bentuk
nakirah pada ism yang seharusnya berbentuk marifah (sebanyak 2 kesalahan). Hal
ini berarti kesalahan dalam kategori ini mencapai 8,6 % dari kesalahan morfologi,
dan 2,5 % dari total kesalahan gramatika yang ada. Kategori kesalahan dalam
kelompok ini dapat dibedakan atas dua macam yaitu :
a. Menggunakan bentuk kata marifah, padahal yang seharusnya digunakan
adalah kata berbentuk nakirah. Contohnya adalah :

(1) , ungkapan tersebut seharusnya


113

(2) , ..
seharusnya

Dalam kelompok ini ditemukan sebanyak 9 kesalahan, atau 7,0 % dari


kesalahan morfologi, dan 2,0 % dari total kesalahan gramatika.
b. Menggunakan bentuk kata nakirah, padahal yang seharusnya digunakan adalah
kata berbentuk marifah. Contohnya adalah :

(3) , yang seharusnya adalah

(4) , yang seharusnya adalah

Dalam kelompok ini ditemukan sebanyak 2 kesalahan, atau 1,6 % dari


kesalahan morfologi, dan 0,5 % dari semua kesalahan gramatika.
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam sistem bahasa Arab dikenal bentuk
marifah dan nakirah. Marifah adalah ism (nomina) yang menunjukkan kepada
suatu benda tertentu. Kebalikan marifah adalah nakirah. Diantara penanda
marifah adalah adanya alif dan lam ( ) di awal kata, seperti al-masjid,
al-kitb, dll. Kata yang tidak diawali alif dan lam dikategorikan sebagai
nakirah. Bahasa Arab mensyaratkan penggunaan bentuk marifah untuk
posisi-posisi tertentu, seperti mubtada, isim yang menjadi awal permulaan sebuah
kalimat. Bentuk marifah juga digunakan untuk mengacu kepada sesuatu yang
telah jelas rujukannya. Karena itu dalam bahasa Arab, bilamana menggunakan
sesuatu yang sudah jelas rujukannya, maka harus menggunakan bentuk marifah.
Demikian juga sebaliknya, apabila mengungkapkan sesuatu yang belum diketahui,
maka digunakan bentuk nakirah.
Karena itulah kesalahan dalam hal ini dapat terjadi seperti pada
contoh-contoh di atas, baik no (1), (2), (3) maupun (4). Untuk contoh no (1) dan
(2) seharusnya digunakan bentuk nakirah, karena pembicara bermaksud untuk
menjelaskan sesuatu yang bersifat umum, belum diketahui lebih spesifik lagi.
Pembicara dapat menggunakannya dalam bentuk marifah apabila kata tersebut
114

telah disebutkan dalam ungkapan sebelumnya, sehingga penyebutan ke dua


menjadikannya sebagai sesuatu yang telah jelas. Sedangkan untuk contoh no (3)
dan (4) adalah sebaliknya, seharusnya digunakan bentuk marifah untuk merujuk
kepada suatu kaidah yang telah dimaksudkan oleh pembicara.
Istilah marifah dan nakirah tidak dikenal dalam bahasa Indonesia,
sebagaimana yang dikenal dalam sistem bahasa Arab sebagaimana tersebut di atas.
Kata dalam bahasa Indonesia untuk merujuk kepada sesuatu yang jelas maupun
yang belum jelas tidak ada perubahan leksikal sebagaimana dalam bahasa Arab.
Untuk menyatakan sesuatu yang sudah jelas, dalam bahasa Indonesia dilakukan
dengan penambahan leksikal sebagai keterangan bahwa kata yang dimaksud
memang adalah merujuk kepada suatu pemahaman tertentu, seperti, masjid itu,
buku yang saya tulis, dan seterusnya.
Dalam kaitannya dengan penyebab kesalahan berbahasa asing, maka hal ini
dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) generalisasi yang salah dan (2) tidak
mengetahui kaidah. Dalam hal ini, pembicara membuat generalisasi yang salah
dalam berbahasa sehingga menimbulkan kesalahan dalam membuat marifah pada
kata yang seharusnya nakirah, sebagaimana yang terlihat pada contoh (1) dan (2).
Yang dimaksud dengan generalisasi yang berlebihan adalah upaya pembelajar
menciptakan struktur yang menyimpang dengan berdasarkan pengalamannya
mengenai struktur-struktur lain dalam B2. Penciptaan inilah yang akhirnya

memunculkan kesalahan-kesalahan melalui upaya penggunaan strategi-strategi atau


siasat-siasat yang telah tersedia sebelumnya untuk diterapkan di dalam
situasi-situasi yang baru. Pembelajar melalui pengalamannya akan mengambil suatu
kesimpulan melalui upaya menyamaratakan kaidah-kaidah yang telah diterimanya
berdasarkan fakta-fakta B2 yang telah dipelajarinya. Namun pada kesempatan lain,

generalisasi ini hanya mendasarkan pada kesamaan aspek luar, sehingga berakibat
115

menyesatkan dan tidak dapat diterapkan, yang pada akhirnya membawanya kepada
berbuat kesalahan-kesalahan berbahasa.
Sedangkan untuk penyebab kedua, kesalahan pembicara terdapat pada
penggunaan bentuk nakirah untuk kata yang seharusnya marifah. Dalam hal ini
pembelajar gagal dalam mencermati pembatasan-pembatasan terhadap
struktur-struktur yang ada. Kegagalan yang dimaksud adalah pembelajar B2

menerapkan kaidah-kaidah terhadap konteks-konteks yang sebenarnya tidak dapat


menerima penerapan tersebut. Beberapa kesalahan yang dapat digolongkan ke
dalam kegagalan pembatasan kaidah ini adalah seperti penambahan dan
penghilangan, yang dalam hal ini adalah terkait dengan al ( )tarf. Hal ini terjadi
karena pembelajar membentuk kalimat atau bentuk bahasa lain hanya berdasarkan
analogi terhadap sistem dan kaidah B2 yang telah mereka ketahui. Dalam hal ini

siswa belum mengetahui bahwa sebenarnya terdapat kaidah lain yang benar dan
tepat. Perbedaan sistem tanda penjelas untuk kata yang ada antara bahasa

Indonesia dengan bahasa Arab menjadi penyebabnya.

2. Mutaadd (verba transitif) dan Lzim (verba intransitif)


Dalam kelompok ini, dari 128 kesalahan dalam aspek morfologi, 37
diantaranya merupakan kesalahan penggunaan mutaadd dan lzim, yaitu
membuat mutaadd pada kata yang seharusnya lzim (sebanyak 6 kesalahan), dan
membuat lzim pada kata yang seharusnya mutaadd (sebanyak 31 kesalahan).
Hal ini berarti kesalahan dalam kategori ini mencapai atau 29,1 % dari kesalahan
morfologi, dan 8,4 % dari total kesalahan gramatika yang ada. Kategori kesalahan
dalam kelompok ini dapat dibedakan atas dua macam yaitu :
a. Membuat mutaadd untuk kata yang seharusnya lzim. Contohnya adalah :

(1) , yang seharusnya


116

(2) , yang seharusnya

Dalam kelompok ini terdapat 6 kesalahan, yang berarti 4,7 % dari kesalahan
morfologi, atau 1,4 % dari total kesalahan gramatika.
b. Membuat lzim untuk kata yang seharusnya mutaadd. Contohnya adalah :

(3) , yang seharusnya

(4) , yang seharusnya

Dalam kelompok ini ditemukan sebanyak 31 kesalahan, atau 24,2 % dari


kesalahan morfologi, dan 7 % dari semua kesalahan gramatika.
Dalam bahasa Arab dikenal dua jenis fil (verba) yaitu mutaadd (transitif)
dan lzim (intransitif). Hal ini juga ditemukan dalam bahasa Indonesia. Namun
demikian, apabila dikaitkan dengan preposisi sebagai kata tugas dalam mutaadd
maka hal ini seringkali menimbulkan kesalahan. Terdapat mutaadd yang tidak
dapat begitu saja disambung dengan ism sebagai mafl bih (obyeknya), akan
tetapi harus di dahului oleh preposisi. Meskipun terkesan sebagai sesuatu hal yang
kecil akan tetapi preposisi memiliki fungsi yang tidak dapat diabaikan begitu saja,
meskipun seandainya salah dalam pemakaian maka tidak selalu menimbulkan
kesalahan dalam mengambil suatu pemahaman. Sebagai kata tugas, preposisi hanya
memiliki arti gramatikal, tidak memiliki arti leksikal dan tidak mengalami
perubahan bentuk. Artinya, jika preposisi dalam suatu kalimat dihilangkan, maka
kalimat tersebut tidak berterima secara gramatikal. Dengan demikian, preposisi
tidak memiliki makna apapun dalam kesendiriannya. Ia hanya dapat diidentifikasi
maknanya apabila direlasikan dengan kata lain dalam sebuah kalimat.
Dalam penelitian ini, terdapat kesalahan-kesalahan berupa penghilangan
preposisi setelah fil yang memang seharusnya ada. Demikian pula sebaliknya,
terdapat kesalahan berupa penambahan preposisi setelah fil yang sebenarnya hal
itu tidak perlu. Dalam penelitian ini terdapat ungkapan yang seharusnya
117

menggunakan preposisi akan tetapi pembicara tidak menggunakannya. Ada juga


ungkapan yang seharusnya tidak menggunakan preposisi akan tetapi pembicara
menggunakannya.
Contoh (1) dan (2) masuk dalam gejala penghilangan preposisi.
Penghilangan preposisi pada contoh (1) selain memberikan akibat
ketidakberterimaan gramatikal, juga ketidakberterimaan semantik. Hal ini karena
untuk kata tersebut, raghiba memiliki idiom dengan preposisi-preposisi yang
apabila tidak tepat penggunaannya maka dapat berakibat pada kesalahan makna.
Sedangkan penghilangan pada contoh (2) hanya menimbulkan ketidakberterimaan
gramatikal saja.
Contoh (3) dan (4) masuk dalam gejala penambahan preposisi setelah
verba. Secara gramatikal, penambahan ini tidak dibenarkan, meski tidak selalu
menimbulkan ketidakberterimaan makna (semantis). Hal ini dicontohkan pada no.
(4), di mana penambahan preposisi an tidak berakibat pada ketidakberterimaan
makna. Akan tetapi pada contoh (3) penambahan preposisi an setelah fil
bahatsa dapat berakibat kesalahan pemaknaan. Dengan demikian, meski
kesalahan dalam penggunaan preposisi setelah fil tidak selalu berakibat kepada
ketidakberterimaan semantis, namun demikian tetap harus diperhatikan
penggunaan-penggunaan preposisi tertentu yang ternyata dapat berakibat
demikian. Berdasarkan taksonomi efek komunikatif, hal yang pertama dikenal
dengan kesalahan lokal, dan hal yang ke dua disebut dengan kesalahan global.
Apabila kesalahan yang dibuat oleh pembelajar ternyata mempengaruhi
secara signifikan terhadap sebuah struktur kalimat sehingga dapat mengganggu
komunikasi, maka hal ini dikategorikan ke dalam kesalahan global. Disebut
"global" karena cakupan kesalahan yang luas sehingga mempengaruhi
susunan/strutur bahasa secara signifikan, yang pada akhirnya menyebabkan
kesalahpahaman pada penyimak/pembacanya. Sedangkan jenis ke dua, kesalahan
118

lokal, terjadi apabila kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar B2 terjadi pada

sebuah unsur dalam struktur sebuah kalimat, akan tetapi tidak berakibat pada
terganggunya proses penyampaian pesan komunikasi. Dalam hal ini penyimak atau
pembaca masih dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh pengujar. Dengan
demikian kesalahan lokal terjadi sebatas pada suatu bagian kalimat saja.
Dulay, Burt, dan Krashen (1982) dalam Khasairi, menyatakan bahwa
pengurangan dan penambahan termasuk kesalahan dalam kategori strategi
lahiriyah. Dalam hal ini kesalahan didasarkan pada strategi pembelajar dalam
menghasilkan ungkapan dengan menggunakan strategi perubahan sistem pada
ungkapan yang dimaksud. Corder menyebut kesalahan ini masuk dalam tahapan
kebangkitan (stage of emergent), di mana pembelajar sebenarnya telah memiliki
sejumlah pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa asing yang dipelajarinya,
dapat membedakan dan menginternalisasi sejumlah kaidah-kaidah, akan tetapi
dalam waktu tertentu masih juga membuat kesalahan. Tahap kebangkitan ini
merupakan kelanjutan dari tahap sebelumnya, yakni kesalahan acak (stage of
random errors).
Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada penambahan ataupun pengurangan
preposisi setelah fil ini pada dasarnya disebabkan oleh belum sempurnanya
penguasaan pembelajar terhadap uslb/susunan bahasa Arab. Sehingga dalam
upayanya menghasilkan ujaran bahasa Arab, pembelajar berupaya dengan usahanya
sendiri yang pada akhirnya muncul pengaruh bahasa sumber/bahasa ibu sehingga
muncullah transfer negatif. Untuk contoh (3) dapat diduga bahwa pembelajar
mendapat pengaruh bahasa sumbernya, dan dikelompokkan pada jenis kesalahan
interlingual. Sedangkan untuk contoh (1), (2), dan (4) dapat dikatakan termasuk
kesalahan intralingual, karena pembelajar belum mampu membedakan verba
transitif dan intransitif melalui penggunaan preposisi. Kesalahan intralingual ini
119

bukti bahwa pembelajar masih dalam tahap membangun kaidah-kaidah menuju


kelengkapan dan kesempurnaan.

3. Isytiqq (Derivasi)
Kesalahan dalam kategori ini menduduki posisi yang paling tinggi, karena
77 dari 128 kesalahan yang ada pada aspek morfologi adalah pada isytiqq, atau
60,2 %. Sedangkan secara keseluruhan dalam kesalahan gramatika, menempati
posisi nomor tiga yakni dengan persentase sebesar 17,5 %. Kesalahan isytiqq
dikelompokkan atas jenis kata yakni isytiqq pada ism dan fil, yang
masing-masing pengelompokan itu terdiri dari beberapa macam lagi. Proses
morfologis berupa isytiqq dalam bahasa Arab yang terjadi pada dua kelompok
kata, yakni ism dan fil ini tidak terjadi pada hurf karena ia sendiri tidak dapat
berdiri sendiri dan tidak memiliki makna kecuali bila digandengkan dengan kata
lain. Karena itu kesalahan isytiqq hanya pada dua kelompok tersebut, yakni:
a. Kesalahan isytiqq pada ism , meliputi :
Kesalahan isytiqq pada ism dapat dibedakan atas beberapa kelompok
lagi, sebagaimana terlihat pada tabel II berikut ini :
Tabel II
Jenis-jenis Kesalahan Isytiqq Ism
Jum % se
No Jenis Kesalahan %
lah mua*
1 Pembentukan adad 1 0,8 0,2
2 Pembentukan jam al-taksr 4 3,1 0,9
3 Pembentukan mashdar 17 13,3 3,9
4 Pembentukan ism mansb 3 2,3 0,7
5 Pembentukan ism al- shift 7 5,5 1,6
Jumlah 32 25,0 7,3
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)
- Kesalahan pembentukan adad, berjumlah 1 atau 0,8 % dari kesalahan
morfologi, 0,2 % dari seluruh kesalahan gramatika. Contohnya adalah :
120

, yang seharusnya

Dalam bahasa Arab, dikenal dua pola (wazn) yang dapat digunakan
untuk menyatakan bilangan (adad), yaitu bilangan pokok (cardinal
numbers) dan bilangan bertingkat (ordinal numbers), di mana pola pertama
adalah bentuk dasar bilangan seperti whid, itsnni, tsaltsah, dst.
Sedangkan pola ke dua mengikuti pola fil seperti tsni, tslits, dst.
Dalam ungkapan di atas seharusnya bentuk yang digunakan adalah bilangan
pokok dan bukan bilangan bertingkat sesuai dengan fungsinya. Hal ini
dapat diketahui dari kata-kata sebelumnya yang merujuk kepada
penjumlahan, dan bukan urutan (tertib), sehingga dalam hal ini bentuk yang
digunakan seharusnya berpola bilangan pokok, padahal kata yang
digunakan oleh penutur yakni tsni menggunakan pola fil yang bermakna

urutan, karena itu hal ini menimbulkan kesalahan.

- Kesalahan pembentukan jam al- taksr, berjumlah 4 ungkapan atau 3,1 %


dari kesalahan morfologi dan 0,9 dari seluruh kesalahan gramatika,
contohnya adalah :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

Dalam bahasa Arab, pola pembentukan kata yang menunjukkan


makna jamak (plural, lebih dari dua) dapat melalui tiga pola, yakni jam
al-mudzakkar al-slim, jam al-muannats al-slim, dan jam al-taksr. Di
antara tiga macam pola tersebut di atas, jam al-taksr tidak memiliki pola
yang baku. Jam al-taksr dibentuk melalui perubahan bentuk kata, baik
melalui penambahan, pengurangan huruf-hurufnya, atau melalui perubahan
fonem (harakah). Meski tidak memiliki pola yang baku, akan tetapi para
121

ahli bahasa Arab membuat pengelompokan yang dapat dijadikan sebagai


acuan dalam membuat bentuk jamak. Pengelompokan itu adalah jam
al-qillah dan jam al-katsrah. Pada contoh (1) penutur membuat pola
jamak untuk merujuk kepada jumlah empat, karena itu penutur dapat
merujuk kepada salah satu pola jam al-qillah, dan diantara pola yang
terdapat dalam jam al-qillah tersebut adalah afilah, sehingga dalam
contoh (1) untuk menyatakan frasa empat imam maka seharusnya kata
imm dipolakan menjadi aimmah.
Sedangkan kata firqah pada contoh (2) seharusnya dibuat bentuk
plural menjadi firaq. Musthafa al-Ghalayain membuat rincian untuk
bentuk-bentuk plural bahwa terdapat 13 macam pola bentukan jam
al-katsrah yang dapat dijadikan pola pembentukan jamak. Salah satunya
menyebutkan bahwa ism yang mengikuti pola filah maka bentuk pluralnya
mengikuti pola fial. Kata firqah sebagaimana dalam contoh (2)
bentuknya mengikuti pola filah dan juga menunjukkan jumlah yang lebih
dari tiga yang tidak terbatas. Dengan demikian pembentukan jamak kata
firqah harus dirubah menjadi firaq.
- Kesalahan pembentukan mashdar, berjumlah 17 ungkapan, atau 13,3 %
dari kesalahan morfologi dan 3,9 % dari seluruh kesalahan gramatika,
contohnya adalah :

(1) , seharusnya

(2) ,

seharusnya

Mashdar merupakan kata yang merujuk pada makna sebuah


kejadian, namun tidak disertai dengan kala/waktu. Inilah yang membedakan
mashdar dengan fil. Tidak ada pola khusus untuk pembentukan mashdar,
122

karena kebanyakan bersifat sim. Kecuali untuk yang berakar kata lebih
dari tiga huruf, maka memiliki pola-pola yang telah ditentukan. Pada
contoh (1) penutur menggunakan bentuk ism al-fil, yaitu bentuk kata
yang menunjukkan makna pelaku perbuatan (pembentukan ism al-fil
yang berakar kata tiga huruf mengikuti pola fil). Padahal yang benar
seharusnya penutur menggunakan bentuk mashdar, karena penutur
bermaksud merujuk kepada makna hasil sebuah perbuatan, dan bukan
pelaku perbuatan. Demikian juga untuk contoh (2) yang seharusnya
penutur menggunakan bentuk mashdar, sebagaimana kata sebelumnya
(tatsniyah) dan bukan bentuk ism al-mafl, suatu bentuk kata yang
merujuk kepada makna dikenai pekerjaan (seperti obyek). Untuk
pembentukan mashdar yang akar katanya tiga huruf, meskipun kebanyakan
bersifat sim akan tetapi ada juga pola-pola tertentu yang dapat diikuti.
Dalam kajian ilmu sharf, pembentukan mashdar memiliki pola
isytiqq yang lebih kaya dan variatif dibandingkan dengan pola isytiqq
pada jenis kata yang lainnya. Keragaman pola isytiqq ditambah dengan
tidak adanya pola yang baku untuk yang berakar kata tiga huruf (tsultsi),
sebagaimana pada kata yang berakar lebih dari tiga huruf, menjadikan
pembelajar banyak mengalami kesulitan sehingga muncul
kesalahan-kesalahan dalam membuat bentuk mashdar yang dimaksud.
Di sisi lain, makna yang didapat pada bentukan mashdar, sebagai
konsekuensi dari beragamnya pola bentukannya, juga sangatlah beragam.
Bentukan mashdar yang sedemikian beragam ini pada akhirnya dapat
menampung hampir semua ragam makna melalui pembentukan mashdar
dengan berbagai pola bentukannya tersebut. Karena itulah penggunaan
mashdar merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam ujaran
untuk pemunculan makna sebagaimana yang diinginkan.
123

Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa mashdar dapat
diaplikasikan pada berbagai posisi dan kedudukan dalam struktur kalimat.
Mashdar dapat diposisikan sebagai maful muthlaq, dengan berbagai
fungsinya seperti taukd, marrah, dan nau. Mashdar juga dapat
diposisikan sebagaimana fil maupun mafl bih. Demikian juga mashdar
dapat berfungsi sebagai fil, seperti fil al-amr dan juga fil mudhri yang
didahului huruf an. Dengan keragaman yang demikian ini, baik dari segi
pola, wazn, maupun makna dan juga posisi dalam struktur kalimat,
sehingga menjadikan mashdar sebagai suatu keniscayaan dalam
pemakaiannya, maka menjadi suatu hal yang wajar apabila ternyata sering
kali terjadi kesalahan yang terkait dengan pembentukan mashdar pada diri
seorang pembelajar bahasa Arab sebagai B2nya.

- Kesalahan pembentukan mansb, berjumlah 3 ungkapan, atau 2,3 % dari


kesalahan morfologi dan 0,7 % dari seluruh kesalahan gramatika,
contohnya adalah :

, seharusnya

Pembentukan ism mansb dilakukan untuk memberikan bentuk


sifat pada sebuah kata (ism) dengan cara menambahkan ya ber-tasydd
pada akhir kata tersebut. Ya ber-tasydid tersebut berfungsi untuk
memberikan rujukan kepada makna berupa menghubungkan sesuatu
dengan lainnya berupa keterkaitan dalam hal sifat. Al-adillah al-Syarah
merupakan frasa ajektifa (tarkb washfi), karena itu penggunaan kata
al-syarah tidak memenuhi syarat tarkb ini. Penutur bermaksud
memberikan bentuk sifat syarah kepada kata al-adillah, karena itu harus
ditambahkan ya nisbah di akhir kata al-syarah sehingga menjadi
al-syariyyah. Meskipun hanya berupa penambahan huruf ya
124

ber-tasydd di akhir kata, namun terdapat aturan-aturan tentang tata cara


penambahan huruf ya untuk menjadi bentuk mansb. Aturan-aturan
tersebut muncul terkait dengan bermacam-macamnya bentuk akhir kata,
seperti kata yang berakhiran alif mamddah, alif maqshrah, ta
tants, dan lain sebagainya.

- Kesalahan pembentukan al-shift, berjumlah 7 ungkapan, atau 5,5 % dari


kesalahan morfologi dan 1,6 % dari seluruh kesalahan gramatika,
contohnya adalah

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

Yang dimaksud al-shift dalam hal ini adalah isim-isim yang


memberikan pengertian kepada pemberian sifat kepada sesuatu, seperti ism
al-fil, ism al-mafl, al-shift al-musyabbahah bi ism al-fil, dan ism
al-tafdhl . Ism tersebut diberi label sebagai al-shift karena memberikan
pengertian hubungan sifat/keterangan dengan kata yang menjadi
rangkaiannya. Berbeda dengan bentuk mansb yang dibuat melalui
imbuhan huruf ya tasydd di akhir kata sehingga memunculkan makna
ajektifa dihubungkan dengan sesuatu yang lain dalam konstruksi frasa
washf, isim-isim shift dibentuk hanya dengan derivasi kata mengikuti
pola-pola yang ada, seperti fil, mafl, afal, dan lain lain.
Pada contoh (1) penutur bermaksud membuat makna
pengecualian, namun terjebak dalam bentuk mashdar, padahal yang
dimaksud dengan pengecualian adalah sesuatu / hal-hal yang dikecualikan.
Karena itu seharusnya digunakan bentuk ism al-mafl, dan bukan
mashdar. Sedangkan pada contoh (2) penutur menggunakan bentuk
125

mashdar shin. Hal ini tidak benar karena semestinya cukup dengan
menggunakan bentuk al-shift al-musyabbahah bi ism al-fil, yaitu
jamlah. Penutur tidak perlu menggunakan ism al-mansb, yakni
jamliyah, karena tanpa memberikan tambahan ya nisbah di akhir
kata, pola yang diikuti jamlah sudah mengandung makna ajektifa.

b. Kesalahan isytiqq pada fil, berjumlah 52 ungkapan, meliputi :


Kesalahan isytiqq pada fil juga dapat dibedakan atas beberapa
kelompok lagi. Kelompok-kelompok tersebut sebagaimana terlihat pada tabel
III berikut ini :
Tabel III
Jenis-jenis Kesalahan Isytiqq pada Fil
%
Jum kesel
No Jenis Kesalahan %
lah uruh
an*
1 Pembentukan adad 2 1,6 0,5
2 Pembentukan fil dengan hurf al-mudhraah 7 5,5 1,6
3 Pembentukan fil mabn malm 8 6,3 1,8
4 Pembentukan fil mabn majhl 13 10,2 2,9
5 Pembentukan fil mujarrad-mazd 11,7 3,4
15
Jumlah 45 35,2 10,2
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)

- Pembentukan adad, berjumlah 2 ungkapan, atau 1,6 % dari kesalahan


sintaksis dan 0,5 % dari seluruh kesalahan gramatika, contohnya adalah :

, seharusnya

Dalam hal ini penutur menggunakan bentuk perintah/fil al-amr


(imperatif). Pembentukan fil al-amr mengambil bentuk fil mudhri yang
dibuang hurf mudhraah-nya, kemudian dilakukan
126

penyesuaian-penyesuaian selanjutnya. Penutur sudah tepat dalam


mengambil bentuk seperti itu, akan tetapi karena yang menjadi khithb
adalah jamak / plural maka seharusnya pembentukan fil al-amr juga
mengikuti pola jamak. Kesimpulan untuk mengambil pola jamak
berdasarkan kata setelahnya yang merujuk kepada bentuk jamak yaitu
adanya pronomina (dhamr) antum, pada kata waraqtikum.
Sebagaimana pada ism, fil juga selalu terkait dengan bilangan (adad), dan
juga jenis (nau). Terdapat pola-pola tertentu untuk pembentukan fil
al-amr terkait dengan jumlah. Dan untuk bentuk jamak maka ditambahkan
wau sebagai penanda jamak pada akhir fil al-amr sebagaimana yang ada
dalam pembetulan contoh di atas.

- Pembentukan hurf al-mudhraah, berjumlah 7 ungkapan, atau 5,5 %


dari kesalahan sintaksis dan 1,6 % dari seluruh kesalahan gramatika,
contohnya adalah :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

Di antara ciri fil mudhri adalah adanya hurf al-mudhraah.


Di setiap fil mudhri dijumpai huruf-huruf yang sekaligus berfungsi
sebagai penanda pelaku fil tersebut. Huruf-huruf tersebut adalah hamzah,
nun, ya, dan ta. Hamzah digunakan untuk merujuk kepada pelaku
mutakallim mufrad (orang pertama tunggal). Nn digunakan untuk
merujuk kepada pelaku mutakallimin (orang pertama jamak). Ya
digunakan untuk merujuk kepada pelaku ghib mudzakkar mufrad (orang
ke tiga tunggal maupun jamak dari jenis laki-laki). Ta digunakan untuk
merujuk kepada pelaku mukhthab (orang ke dua, baik untuk jenis laki-laki
127

maupun perempuan), dan juga untuk ghibah (orang ke tiga perempuan


tunggal).
Pembentukan fil mudhri memiliki kaidah-kaidah tersendiri,
seperti adanya hurf al-mudhraah tersebut. Pada contoh (1)
pembentukan mudhri seharusnya menggunakan huruf nn karena harus
menyesuaikan dengan pronomina (dhmir) yang mendahului sebelumnya
yaitu nahnu (kita). Di sini berlaku kaidah persesuaian antara ism dengan
fil dalam tarkb isnd yakni jumlah ismiyah dengan khabar berupa
jumlah filiyah. Dalam hal ini disyaratkan adanya rbith (pengikat) yang
merujuk ke kata sebelumnya (mubtada).
Sedangkan pada contoh (2) berlaku persesuaian dalam jumlah
filiyah, antara fil (verba/predikat) dengan fil (pelaku/subyek). Penutur
melakukan kesalahan dalam memahami struktur/susunan yang seharusnya
digunakan. Di sini terlihat pengaruh bahasa ibu/bahasa sumber kepada
bahasa sasaran, atau yang dikenal dengan transfer negatif. Berbeda dengan
kata lain, fil wajaba yajibu memiliki kaidah tersendiri dalam
hubungannya dengan pembentukan fil (pelaku). Bila kata lain cukup
dengan memasukkan unsur pelaku melalui hurf al-mudhraah, maka
untuk fil tersebut harus melalui mediasi hurf jarr yaitu al dan
kemudian disusul dengan fil lain yang dapat ditambahkan dengan hurf
al-mudhraah sesuai pelaku.
- Pembentukan fil malm, berjumlah 8 ungkapan, atau 6,3 % dari
kesalahan sintaksis dan 1,8 % dari seluruh kesalahan gramatika, contohnya
adalah :

(1) , seharusnya
128

(2) , seharusnya

Dalam bahasa Arab dikenal fil (verba) bentuk malm (aktif) dan
majhl (pasif). Malm adalah fil yang menyertakan pelakunya
(fil/subyek) dalam ujaran, atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
kata kerja aktif. Sedangkan bentuk majhl tidak menyertakan pelaku.
Sebagai gantinya disertakan obyek (mafl bih) yang menduduki posisi
pelaku (fil). Bentuk ini ada pada fil mdhi dan juga fil mudhri.
Pembentukan fil malm digunakan apabila pelaku (fil) disertakan juga
dalam ujaran. Sedangkan fil majhl digunakan apabila pelaku tidak
disebutkan dalam ujaran dengan pertimbangan dan tujuan tertentu.
Pada contoh (1) penutur menggunakan bentuk fil majhl,
padahal disertakan juga pelakunya, yaitu kata umm, karena itu
seharusnya fil menggunakan bentuk malm. Sedangkan untuk contoh (2)
penutur menggunakan bentuk mashdar untuk bentuk yang seharusnya fil,
dalam hal ini adalah fil mdhi. Terdapat perbedaan makna apabila pada
permulaan ungkapan tersebut menggunakan bentuk mashdar dan bila
menggunakan bentuk fil. Bila penutur menggunakan bentuk mashdar
maka dhamr h yang bersambung dengan mashdar menunjukkan makna
possesive, kepemilikan, yang dalam hal ini menunjukkan pelaku dari
mashdar (yang juga berfungsi/amal seperti fil) tersebut. Dengan
demikian maka tentu kata setelahnya, urwah, menjadi mafl bih
(obyek). Kalau memang demikian yang dimaksud maka tidaklah tepat,
karena yang lebih tepat menjadi obyek dari kata tazawwaja seharusnya
perempuan, sedangkan pada kata setelahnya adalah berjenis laki-laki.
Sehingga yang lebih tepat adalah kata setelahnya menjadi fil dari
tazawwaja, dan dhamr h menjadi mafl bih dari fil tersebut.
Dengan demikian tarkb-nya adalah isnd dalam bentuk jumlah filiyah.
129

- Pembentukan fil majhl, berjumlah 13 ungkapan, atau 10,2 % dari


kesalahan sintaksis dan 2,9 % dari seluruh kesalahan gramatika, contohnya
adalah :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

Pada contoh (1) kesalahan terjadi pada penggunaan bentuk


malm untuk fil yang seharusnya majhl. Kesalahan tersebut dapat
diidentifikasi dari aspek makna. Apabila penutur menggunakan bentuk
malm maka kata setelahnya diposisikan sebagai fil, yang dalam hal ini
tentu saja tidak tepat secara maknawi, karena tidak mungkin seseorang
yang telah meninggal dapat melakukan suatu pekerjaan. Selain dari aspek
makna, kesalahan penutur juga dapat diidentifikasi dari penggunaan fil
setelahnya yang menggunakan majhl. Dengan demikian yang lebih tepat
adalah fil pertama seharusnya juga menggunakan bentuk majhl.
Sedangkan pada contoh (2), penutur telah menggunakan bentuk
majhl, hal ini terbukti dengan pola bentukan yang digunakannya, yakni
perubahan fonem di huruf awal dan huruf sebelum akhir kata tersebut.
Memang demikianlah pola bentukan untuk kata yang memiliki bin
(rancang bangun kata) yang shahh, yakni salah satu huruf pembentuk kata
tersebut tidak berupa huruf illah (alif, wau, dan ya). Namun untuk kata
yang termasuk mutall (terdapat huruf illah) maka tentu berlaku
penyesuaian-penyesuaian. Penutur kurang cermat dalam melakukan
penyesuaian sehingga melakukan kesalahan.
Adanya pola majhl pada fil tentu dilandasi adanya suatu
kebutuhan yang bersifat semantik. Bahasa sebagai ekspresi dan kebutuhan
130

dalam berkomunikasi tentu diharapkan memiliki berbagai pola dan


konstruksi bentukan yang dapat digunakan sebagai saluran ekspresi
tersebut. Termasuk salah satunya adalah penggunaan pola majhl. Karena
itulah, dalam hal ini penggunaan bentuk majhl memiliki beberapa tujuan
sehingga mengharuskan penutur menyatakan dalam bentuk demikian.
Di sisi lain, tidak selamanya fil memiliki bin (rancang bangun
kata) yang shahh, yang tidak terdapat huruf illah di dalamnya. Pada
kondisi seperti ini tentu dibutuhkan pengetahuan yang lebih karena
pembentukan majhl tentu harus memenuhi penyesuaian-penyesuaian
sesuai dengan keadaan kata yang tidak shahh tersebut. Adanya fil yang
huruf pembentuknya berupa huruf illah memang memberikan kesulitan
tersendiri bagi pembelajar B2 yang sedang dalam tahap membangun dan

menyempurnakan kaidah-kaidah dalam B2nya. Maka pembelajar harus

lebih memperhatikan pola pembentukan majhl pada bentuk-bentuk kata


seperti ini, sehingga terhindar dari kesalahan gramatika.
- Pembentukan mujarrad-mazd, berjumlah 15 ungkapan, atau 11,7 % dari
kesalahan sintaksis dan 3,4 % dari seluruh kesalahan gramatika, contohnya
adalah :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

Fil dalam bahasa Arab dapat berbentuk mujarrrad dan dapat


juga dalam bentuk mazd. Disebut mujarrad apabila akar kata pada fil
mdhi (verba lampau) tidak terdapat unsur huruf tambahan. Jadi pada fil
mdhi terdiri dari huruf-huruf asli pembentuknya. Contohnya kata
hadhara, qatala, dll. Dan disebut mazd apabila pada bentuk mdhi
terdapat unsur huruf-huruf tambahan, seperti tambahan huruf hamzah pada
131

ahdhara, tambahan alif pada qtala. Penambahan huruf-huruf


tersebut menimbulkan konsekuensi pemaknaan yang berbeda dari bentuk
mujarradnya. Dengan demikian pola penambahan ini harus dipahami agar
tidak keliru dalam pemaknaan baik dalam memahami maupun ketika
menggunakannya.
Pada contoh (1) penutur membuat bentuk mazd untuk fil yang
seharusnya tetap mujarrad. Penambahan hamzah pada bentuk mujarrad
salah satu fungsinya adalah menjadikan fil berstatus mutaadd (transitif).

Sedangkan kata ghashaba sebenarnya telah berstatus mutaadd .


Karena itulah seharusnya penutur tetap menggunakan bentuk mujarradnya.
Dengan penambahan hamzah pada kata tersebut maka penutur telah
membuat suatu tahshl al-hshil, yakni membuat suatu hal yang tidak ada
gunanya, karena apa yang diupayakannya sebenarnya sudah didapati pada
keadaan yang sudah ada. Dalam hal ini penutur membuat suatu generalisasi
yang berlebihan (over generalization), berupa penambahan hamzah
tersebut. Upaya pembelajar menciptakan struktur yang menyimpang ini
adalah berdasarkan pengalamannya mengenai struktur-struktur lain dalam
B2. Penciptaan inilah yang pada akhirnya memunculkan

kesalahan-kesalahan melalui upaya generalisasi berlebihan berupa


penggunaan strategi-strategi atau siasat-siasat yang telah tersedia
sebelumnya di dalam situasi-situasi yang baru. Berdasarkan
pengalamannya, pembelajar mengambil suatu kesimpulan-kesimpulan
melalui upaya men-generalisasi kaidah-kaidah yang telah diterimanya
berdasarkan fakta-fakta B2 yang diperoleh sebelumnya. Namun pada

kesempatan lain, upaya generalisasinya ini hanya mendasarkan pada


kesamaan-kesamaan aspek luar, sehingga berakibat menyesatkan dan tidak
132

dapat diterapkan, yang pada akhirnya membawanya kepada berbuat


kesalahan-kesalahan berbahasa.
Sedangkan pada contoh (2) adalah sebaliknya, penutur yang
seharusnya menggunakan bentuk mazd ternyata menggunakan mujarrad.
Berbeda dengan mdhi yang dari aspek penulisannya memang dapat
diidentifikasi dan dibedakan antara mujarrad dengan mazd (dalam hal ini
adalah pola penambahan hamzah di awal kata), maka pada mudhri yang
mengikuti pola tersebut, cirinya tidak dapat diidentifikasi berdasarkan
penulisan. Karena baik untuk mujarrad maupun mazd dengan hamzah di
depan, penulisannya untuk bentuk mudhri tidak ada perbedaan.
Identifikasi yang dapat dilakukan hanyalah melalui aspek semantik
(pemaknaan). Karena itulah penutur melakukan kesalahan dalam pelafalan
yang hal itu berangkat dari pola mazd bi harf whid (penambahan satu
hurf) yakni hamzah di awal kata.
Pada kesalahan kedua, pembelajar membuat suatu bentuk yang
dikenal dengan archi forms. Archi forms merupakan suatu bentuk yang
oleh pembelajar B2 telah dipahami sedemikian rupa sehingga menjadi suatu

pemahaman yang melekat, untuk kemudian dipergunakan dalam bentuk lain


pada hal yang sama. Archi forms muncul melalui pemilihan salah satu
anggota suatu kelas bentuk untuk mewakili atau menggambarkan yang
lainnya dalam kelas yang sama. Dalam hal ini penutur menggunakan bentuk
mudhri dari fil mujarrad padahal yang seharusnya adalah dari fil mazd
bi harf whid.

Sebagai salah satu karakteristik bahasa Arab, isytiqq (derivasi)


memberikan kekayaan bahasa yang membantu untuk memenuhi fungsi bahasa
sebagai media pengungkapan ekspresi, ide, perasaan, kehendak yang
133

kesemuanya itu merupakan kebutuhan pengguna bahasa. Banyaknya ragam


isytiqq ini digambarkan mencapai hingga 25 turunan kata. Keragaman
isytiqq dalam bahasa Arab memang membantu dan memberikan kemudahan
bagi ekspresi bahasa yang dapat diungkapkan dengan cukup memberikan
turunan katanya saja, karena dari satu kata tersebut dapat dikembangkan
dengan berbagai pola untuk memberikan pemaknaan baru sesuai yang
diinginkan oleh penutur. Di sinilah letak kemudahannya, dengan cukup
mengetahui satu kata dapat diturunkan menjadi berbagai macam makna.
Namun, di sisi lain, keragaman pola isytiqq ini juga memberikan
konsekuensi yang tidak ringan bagi kemudahan belajar bahasa Arab sebagai
B2. Konsekuensi yang dimaksud adalah bahwa keragaman isytiqq tersebut

menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pembelajar Non Arab. Bahwa pada tiap
bahasa dijumpai isytiqq memanglah demikian adanya, namun tidaklah selalu
sama antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, dalam pola isytiqq
nya. Imam Hasan mengemukakan macam-macam proses morfologi dalam
bahasa Arab yang meliputi afiksasi, reduplikasi, modifikasi intern, suplisi, dan
modifikasi kosong.
Proses-proses morfologi di atas ada yang memiliki tingkat kesulitan
tersendiri dengan kompleksitas konstruksinya. Kompleksitas konstruksi berupa
adanya lapisan-lapisan konstruksi, adanya konstruksi yang satu sesudah
konstruksi yang lain. Lapisan tersebut tidak dapat dibentuk secara mana suka
yang tidak menentu, melainkan terdapat aturan-aturan yang telah ditentukan
untuk diikuti. Hal yang demikian inilah menjadikan isytiqq tidak sesederhana
yang ada dalam B1 pembelajar bahasa Arab. Akibatnya adalah pembelajar

banyak melakukan kesalahan dalam pembentukan turunan suatu kata. Dengan


kenyataan di atas, tentu saja hal ini harus diantisipasi oleh pembelajar bahasa
134

Arab sebagai B2nya, dengan lebih fokus lagi terhadap materi pelajaran yang

terkait dengan isytiqq ini.

4. Zamn/Kala (Tense)
Kesalahan yang masuk dalam kategori ini sebanyak 3 kesalahan, atau
sebesar 2,3 % dari kesalahan morfologi, dan 0,7 % dari seluruh kesalahan
gramatika. Ada dua macam kesalahan yang termasuk dalam kategori zamn/kala
ini, yaitu kesalahan menggunakan fil mdhi untuk menunjukkan waktu sekarang,
akan datang, atau kebiasaan (yang seharusnya menggunakan fil mudhri), dan
kesalahan menggunakan fil mudhri untuk yang seharusnya menggunakan fil
mdhi. Kesalahan-kesalahan itu adalah :
a. Kesalahan menggunakan fil mdhi untuk menunjukkan waktu sekarang, akan
datang, atau kebiasaan. Terdapat 1 kesalahan atau 0,8 % kesalahan morfologi
dan 0,2 % kesalahan keseluruhan. Kesalahan tersebut adalah :

, seharusnya

b. Kesalahan menggunakan fil mudhri untuk yang seharusnya menggunakan


fil mdhi. Terdapat 2 kesalahan atau 1,6 % kesalahan morfologi dan 0,5 %
kesalahan keseluruhan, contohnya :

, seharusnya

Fil mdhi digunakan untuk merujuk kepada terjadinya peristiwa yang


telah lewat (masa lalu), sedangkan fil mudhri digunakan untuk peristiwa
yang sedang berlangsung atau yang akan datang. Karena itu pada contoh (1)
seharusnya penutur menggunakan bentuk mudhri karena dia merujuk kepada
peristiwa yang sedang dan masih berlangsung, yaitu kegiatan belajar mereka.
135

Sedangkan pada contoh (2) yang menuturkan cerita masa lampau maka
seharusnya digunakan bentuk mdhi.
Pada dasarnya penggunaan fil mdhi memang untuk merujuk ke arah
masa yang telah lewat, dan mudhri merujuk ke masa sekarang atau yang
akan datang. Namun demikian bukan berarti tidak ditemukan atau
diperbolehkan penggunaan masing-masing untuk waktu yang bertolak
belakang dengan ketentuan tersebut. Dalam kenyataannya memang ditemui
juga fil mdhi untuk merujuk pada masa sekarang atau akan datang. Demikian
juga pada mudhri, digunakan untuk merujuk kepada waktu yang telah lewat,
dan bukan merujuk kepada waktu sedang berlangsung atau yang akan datang.
Untuk hal yang demikian ini tentu saja ada ketentuan-ketentuan atau
keadaan tertentu sehingga pemakaian keduanya untuk konteks yang berbeda
dapat dibenarkan. Fil mdhi dapat digunakan untuk masa sekarang dan juga
akan datang apabila : (1) dipakai pada ungkapan-ungkapan kata mutiara,
hikmah dan yang semacamnya; (2) makna yang terkandung pada ungkapan
menunjukkan untuk sesuatu yang berlaku selamanya; (3) apabila ungkapan
menunjukkan kalam insy dan bukan kalam khabar, seperti pada pada saat
melakukan akad (transaksi), sumpah, atau doa; (4) apabila terletak setelah
frasa syart; (5) apabila diikuti m mashdariyyah zamn; dan (6) apabila
dimaksudkan untuk mempertegas sesuatu yang benar-benar akan terjadi di
masa yang akan datang. Sedangkan pada fil mudhri, untuk penggunaan
masa / waktu yang berkebalikan (masa lampau) dapat dibenarkan apabila : (1)
dalam posisi menjadi hl atau mafl bih yang sebelumnya didahului oleh fil
mdhi ; dan (2) apabila dikehendaki untuk merujuk kepada waktu yang telah
lewat, namun dipandang baik untuk tetap menggunakan bentuk mudhri.
Pada contoh-contoh (1) dan (2) tidak dijumpai kondisi-kondisi
sebagaimana yang diperbolehkan penggunaan fil mdhi untuk masa yang
136

sedang berlangsung dan akan datang, atau mudhri digunakan untuk masa
yang telah lewat. Karena itu penggunaan mdhi dan mudhri pada contoh (1)
dan (2) tidak dapat dibenarkan. Sebenarnya penggunaan fil yang
berkesesuaian waktu dengan peristiwa tidaklah sulit, karena tidak memiliki
kaidah yang rumit dalam pembentukannya. Karena itulah kesalahan
penggunaan fil mdhi dan mudhri yang terkait dengan masalah waktu
tidaklah banyak. Kesalahan-kesalahan yang ada bisa jadi masuk dalam
kelompok performansi, sehingga lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor di
luar kemapanan pengetahuan (kompetensi).

B. Penyebab Kesalahan Morfologi


Salah satu tahapan yang terpenting dalam prosedur analisis kesalahan adalah
melakukan pemetaan dan pemeringkatan kesalahan, dengan cara mengurutkan atau
membuat persentase berdasarkan frekuensi terjadinya kesalahan-kesalahan. Tahapan
ini penting untuk mengetahui kesalahan pada aspek apa saja yang memiliki frekuensi
paling sering terjadi. Dari sini pula nantinya dapat diidentifikasi penyebab kesalahan
yang terjadi pada aspek sintaksis maupun gramatika. Karena itu pembahasannya
didahului dengan frekuensi kesalahan dan kemudian faktor-faktor yang menjadi
penyebab kesalahan.
1. Frekuensi Kesalahan Morfologi
Data rekaman kegiatan belajar mahasiswa yang berupa diskusi mata kuliah
ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu agama merupakan jawaban atas masalah-masalah
dalam penelitian ini. Hasilnya berupa kalimat-kalimat yang memberikan gambaran
tentang kesalahan berbicara dan penguasaan bahasa Arab mereka, khususnya
penguasaan pada tata bahasa, yakni morfologi (sharf) dan sintaksis (nahw). Data
lengkap kesalahan baik dalam rangkuman persentase maupun transkrip kalimat
disajikan dalam lampiran.
137

Berdasarkan lampiran I yang memuat persentase kesalahan gramatika dalam


bahasa tutur mahasiswa, diketahui bahwa dalam bahasa tutur yang berupa kegiatan
diskusi selama berlangsungnya perkuliahan, mahasiswa membuat kesalahan-kesalahan
dalam aspek morfologi sebagai berikut :
Jumlah seluruh kesalahan morfologi adalah sebanyak 128 dari total seluruh
kesalahan yang ada (441), atau sebesar 29 % yang terdiri atas :
(1) Kesalahan marifah nakirah : 11 (8,6 % kesalahan morfologi atau 2,5 % seluruh
kesalahan morfologi dan sintaksis)
(2) Kesalahan mutaadd - lzim : 37 (28,9 % kesalahan morfologi atau 8,4 % seluruh
kesalahan morfologi dan sintaksis)
(3) Kesalahan isytiqq : 77 (60,5 % kesalahan morfologi atau 17,5 % seluruh
kesalahan morfologi dan sintaksis)
(4) Kesalahan zamn : 3 (2,3 % kesalahan morfologi atau 0,7 % seluruh kesalahan
morfologi dan sintaksis)
Dari perincian di atas, dapat diketahui bahwa kesalahan-kesalahan berbahasa
dalam berbicara mahasiswa terbagi atas empat jenis yakni kesalahan dalam tayn,
mutaadd-lzim, isytiqq, dan zamn. Dari empat jenis tersebut, kesalahan yang
paling banyak terjadi pada aspek morfologi adalah kesalahan dalam isytiqq yakni
sebanyak 77 kesalahan atau 60,5 % dari seluruh kesalahan morfologi, kemudian
disusul oleh kesalahan pembentukan mutaadd lzim, kemudian kesalahan
pembentukan marifah dan nakirah, dan terakhir dalam zamn.
Dalam hal jenis kesalahan terbesar pada aspek morfologi ini, yakni isytiqq,
terdapat beberapa kesalahan terbesar pada jenis ini, yakni kesalahan dalam hal
pembentukan mashdar, yakni 17 kesalahan, atau 13,3 % dari kesalahan morfologi dan
3,9 % dari total kesalahan morfologi dan sintaksis. Kesalahan terbesar ke dua adalah
pada pembentukan fil mujarrad-mazd, yakni sebanyak 15 kesalahan, atau 11,7 %
dari kesalahan morfologi dan 3,4 % dari total kesalahan, dan kesalahan terbesar ke tiga
138

adalah pada pembentukan fil majhl, yakni sebanyak 13 kesalahan, atau 10,2 % dari
kesalahan morfologi dan 2,9 % dari total kesalahan.
Melihat fakta tersebut di atas, hal ini menunjukkan bahwa isytiqq paling
banyak memunculkan kesalahan. Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa
penggunaan isytiqq berada pada frekuensi yang paling banyak dipakai, terutama pada
tiga jenis kesalahan yang paling tinggi, yakni pembentukan mashdar, fil mujarrad
mazd, dan fil majhl. Karena itu pola pembentukan isytiqq dalam tiga hal tersebut
harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dibandingkan dengan pembentukan
isytiqq pada bentuk yang lain. Artinya, mahasiswa dituntut untuk lebih terampil lagi
dalam pembentukannya, yang hal ini dapat diupayakan antara lain melalui pengajaran
remedial, penambahan jam pelajaran, atau latihan-latihan yang lebih intensif pada
materi-materi tersebut.

2. Faktor Penyebab Kesalahan Morfologi


Dari uraian deskripsi dan frekuensi kesalahan sebelumnya, maka dapat
diketahui faktor-faktor yang menjadi penyebab kesalahan. Di antara
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pembelajar B2, secara keseluruhan penyebabnya

dapat dikelompokkan atas dua macam, yaitu kesalahan antarbahasa (interferensi) dan
kesalahan intrabahasa. Kedua kesalahan tersebut merefleksikan peristiwa-peristiwa
yang mengiringi proses pembelajaran B2 pada seorang pembelajar. Artinya, bahwa hal

itu menunjukkan tingkat perkembangan B2 pembelajar.

Peristiwa-peristiwa yang dimaksud adalah, bahwa seorang pembelajar B2

dalam upaya membangun kesempurnaan aspek-aspek linguistik B2nya tidak dapat

melepaskan pengaruh B1 yang telah dimilikinya, maka terjadilah transfer negatif

(interferensi) dan menimbulkan kesalahan interferensi atau interlingual (antarbahasa).


139

Selain itu, masih dalam upaya menyempurnakan pengetahuan linguistiknya, pembelajar


berupaya membangun kemampuannya dengan mendasarkan kepada pengetahuan B2

sebatas yang telah dikuasainya, hasil dari pembelajaran B2 sebelumnya dan yang

sedang berlangsung. Maka dari sini muncullah kesalahan-kesalahan intrabahasa.

a. Kesalahan Antarbahasa (Interferensi)


Kesalahan antarbahasa merupakan kesalahan yang timbul akibat pembelajar
B2 yang secara otomatis mengambil dan menggunakan sistem B1 yang telah

dimilikinya pada saat menggunakan B2nya, melalui tulisan ataupun lisan. Transfer

bahasa bagi pembelajar B2 yang telah memiliki B1 merupakan suatu keniscayaan yang

sulit dihindari. Analisis kontrastif telah membuktikan adanya peristiwa transfer bahasa
tersebut. Hipotesis analisis ini menyatakan bahwa adanya perbedaan-perbedaan yang
terdapat pada bahasa sumber (B1) dan bahasa sasaran (B2) dapat menimbulkan

masalah-masalah dan kesulitan dalam performansi. Dengan demikian maka


kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pembelajar merupakan cerminan
kesalahan-kesalahan yang strukturnya adalah sama dengan B1 pembelajar. Pada aspek

morfologi, beberapa kesalahan yang dapat dikelompokkan dalam kategori ini adalah
yang terkait dengan kesalahan penggunaan bentuk tayn, mutaadd lzim, dan
penggunaan zamn untuk fil.
Kesalahan-kesalahan yang terkait dengan penggunaan tayn (tanda penjelas,
yakni ism marifah dan nakirah) dapat disebabkan antara lain oleh kenyataan bahwa
B1 pembelajar tidak mengenal ketentuan penggunaan kata yang harus berstatus jelas,

tertentu (marifah) kecuali untuk kepentingan-kepentingan yang dikehendaki dengan


menambahkan leksikal seperti ini, itu, tersebut dan lain sebagainya. Hal ini
berbeda dengan bahasa Arab yang memiliki ketentuan penggunaan status marifah
140

atau nakirah dalam posisi tertentu. Beberapa contoh berikut ini menunjukkan

kesalahan yang terkait dengan status marifah dan nakirah, misalnya , di

mana kata bergaris bawah seharusnya berstatus marifah dengan penambahan huruf
alif dan lam/al. Hal ini karena diyakini bahwa kata tersebut merujuk kepada

suatu hal yang telah jelas. Sedangkan pada contoh yang berikut ini ,

, kata bergaris bawah tidak seharusnya dihadirkan dalam status

marifah karena pada pola seperti ini memang biasanya yang digunakan adalah bukan
bentuk marifah, akan tetapi nakirah. Selain itu penggunaan bentuk nakirah
menunjukkan bahwa penutur bermaksud memberitahukan suatu hal yang belum
diketahui, karena baru akan disampaikan pada waktu setelah perkataannya tersebut.
Indikasi kesalahan antarbahasa juga dapat dilihat pada kesalahan yang terkait
dengan pembentukan pola fil mutaadd - lzim. Kesalahan-kesalahan yang terdapat
pada pola ini banyak dipengaruhi oleh pola B1 pembelajar, melalui penggunaan hurf

jarr setelah fil. Banyak didapati penggunaan hurf jarr yang seharusnya tidak perlu,
atau keliru penggunaan hurf jarr sehingga mengakibatkan kesalahan pemaknaan. Di
antara kesalahan-kesalahan yang terjadi pada kelompok ini, misalnya :

, penutur meletakkan hurf jarr an setelah

fil yubayyin yang seharusnya tidak perlu, karena cukup dengan fil saja dan
langsung menjadikan ism setelahnya sebagai obyek. Nampaknya penutur terpengaruh
dengan pola pada bahasa Indonesia di mana kata dapati frasa menjelaskan tentang
yang kemudian ditransfer ke bahasa Arabnya dengan meletakkan hurf jarr an.

Demikian pula pada contoh lain, seperti , yang

seharusnya tidak memerlukan hurf jarr lam setelah fil amara. Ungkapan
tersebut terjemahannya adalah Kita mengerjakan perbuatan-perbuatan yang telah
diperintahkan oleh Allah kepada kita. Nampak bahwa penggunaan hurf jarr lam
141

merupakan transfer penggunaan kata kepada setelah kata kerja


diperintahkan/memerintahkan dalam B1 pembelajar. Dalam ungkapan bahasa Arab,

sebenarnya tanpa menggunakan lam sudah mengandung makna demikian, karena


lam tidak selalu diterjemahkan dan digunakan untuk arti kepada.
Sedangkan yang berkebalikan, yakni yang harus ditambahkan hurf jarr akan

tetapi ternyata langsung ke ism, contohnya adalah . Dalam ungkapan

tersebut terdapat fil yahtj yang dalam konstruksinya sebenarnya harus ber-idiom
dengan hurf jarr il . Dalam bahasa Indonesia sebagai B1 pembelajar, memang

kata yahtj yang diterjemahkan membutuhkan tidak selalu diikuti dengan kata lain
sebelum ke obyeknya. Karena itulah penutur mentransfernya dalam ungkapan bahasa

Arab seperti contoh kesalahan di atas. Demikian pula pada ungkapan

di mana penutur membuat mutaadd untuk fil yang lzim, yang

seharusnya diberikan hurf jarr ternyata langsung ke obyeknya. Fil targhabu tidak
dapat langsung bersambungan dengan ism sebagai obyek (mafl bih) nya akan tetapi
harus didahului dengan hurf jarr, yakni f atau an, tergantung makna yang
diinginkan oleh penutur.
Selain dua hal di atas, penambahan dan penghilangan, ditemukan juga
kesalahan antarbahasa dalam bentuk kesalahan penghadiran hurf jarr, yakni salah
meletakkan hurf jarr yang sesuai untuk makna yang diinginkan. Diantara kesalahan

pada jenis ini adalah , di mana penutur melakukan kesalahan

dalam menghadirkan hurf jarr berupa an. Penghadiran an setelah fil yabhats
akan memunculkan makna mencari, dan bukan mempelajari, atau membahas,
sebagaimana yang dapat dipahami dari ungkapan penutur. Sebenarnya, tanpa
penghadiran an sudah dapat didapatkan makna yang dimaksud, atau seandainya
ditambahkan dengan hurf jarr maka dapat menggunakan f.
142

Kesalahan antarbahasa juga dapat diidentifikasi pada kesalahan penggunaan


zamn (kala) pada fil. Penggunaan fil pada bahasa Arab sekaligus memiliki
konsekuensi waktu pemakaiannya. Ketika mengucapkan fil maka hal itu sekaligus
menunjukkan waktu pemakaiannya. Artinya, bahwa penggunaan fil harus
memperhatikan bentuk/pola karena hal itu memiliki implikasi keterangan waktu. Suatu
hal yang berbeda dengan B1 pembelajar, di mana tidak selalu mengharuskan kehadiran

keterangan waktu pada saat menggunakan kata kerja (fil). Meskipun pada hasil
penelitian ini tidak menunjukkaan frekuensi kesalahan yang signifikan (karena hanya
ditemukan 3 kesalahan saja atau 0,7 % dari seluruh kesalahan), akan tetapi tetap harus
mendapatkan perhatian. Diantara contoh kesalahan dalam penggunaan fil yang terkait

dengan zamn ini adalah . Fil

bergaris bawah menunjukkan masa yang telah lewat (mdhi), padahal ungkapan
tersebut dimaksudkan untuk konteks yang sedang berjalan (mudhri). Demikian pula

pada contoh berikut, , di mana penutur menggunakan

fil mudhri yang menunjukkan waktu sekarang atau yang akan datang, padahal
ungkapan itu menjelaskan kejadian yang telah lewat. Penutur pada kedua ungkapan di
atas tidak memperhatikan implikasi penggunaan fil terkait dengan waktu, karena
memang dalam B1 mereka tidak ditemui keharusan menyertakan keterangan waktu

pada fil (kata kerja) kecuali untuk konteks-konteks yang memang mengharuskannya.

b. Kesalahan Intrabahasa
Kelompok kesalahan ini, yakni intrabahasa, berupa kesalahan-kesalahan yang
merefleksikan ciri-ciri umum kaidah B2 yang sedang dipelajari oleh pembelajar. Dalam

hal ini pembelajar B2 melakukan kesalahan-kesalahan yang bukan merupakan refleksi

dari struktur dan kaidah B1 yang telah dimilikinya. Akan tetapi melakukan
143

kesalahan-kesalahan yang mencerminkan struktur B2 yang sedang dipelajarinya.

Karena itulah dari sini muncul istilah intrabahasa, intralingual dan bukan antarbahasa
atau interlingual/interferensi. Dalam kesalahan intrabahasa, Richards (1971) dan Fisiak
(1985) menyatakan bahwa penyebab kesalahan meliputi penyamarataan yang
berlebihan (over generalization), ketidaktahuan pembatasan kaidah (ignorance of rule
restrictions), penerapan kaidah yang tidak sempurna (incomplete application of rules),
dan salah menghipotesiskan konsep (false concepts hypothesized).
Data yang diperoleh dari kegiatan diskusi mahasiswa memang tidak
seluruhnya menunjukkan adanya kesalahan akibat pengaruh B1 atau interferensi.

Dalam kenyataannya ditemui juga adanya kesalahan yang bukan disebabkan oleh
faktor B1nya akan tetapi karena belum lengkapnya kaidah, atau sudah memiliki kaidah

akan tetapi belum sampai pada tahap stabilisasi sehingga terkadang masih melakukan
kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan merupakan hal yang wajar
dalam proses penguasaan B2 karena hal itu sekaligus menunjukkan perkembangan

penguasaan B2nya. Kesalahan morfologi yang dapat dikelompokkan dalam kategori

ini misalnya yang terkait dengan isytiqq.


Isytiqq (derivasi) sebagai salah satu karakteristik bahasa Arab, memberikan
kekayaan bahasa yang membantu untuk memenuhi fungsi bahasa sebagai media
pengungkapan ekspresi, ide, perasaan. Keragaman isytiqq dalam bahasa Arab
memang membantu dan memberikan kemudahan bagi ekspresi bahasa yang dapat
diungkapkan dengan cukup memberikan turunan katanya saja, karena dari satu kata
tersebut dapat dikembangkan dengan berbagai pola untuk memberikan pemaknaan
baru sesuai yang diinginkan oleh penutur. Di satu sisi, isytiqaq memberikan
kemudahan, karena dengan cukup satu kata dapat diturunkan menjadi berbagai macam
makna. Namun, di sisi lain, keragaman pola isytiqq ini juga memberikan konsekuensi
144

yang tidak ringan bagi pembelajar Indonesia yang menjadikan bahasa Arab sebagai
B2nya.

Konsekuensi yang dimaksud adalah bahwa keragaman isytiqq tersebut


menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pembelajar Non Arab. Bahwa pada tiap bahasa
dijumpai isytiqq memanglah demikian adanya, namun tidaklah selalu sama antara
bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, dalam pola isytiqq nya. Proses-proses
morfologi dalam isytiqq ada yang memiliki tingkat kesulitan tersendiri dengan
kompleksitas konstruksinya. Kompleksitas konstruksi berupa adanya lapisan-lapisan
konstruksi, adanya konstruksi yang satu sesudah konstruksi yang lain. Lapisan tersebut
tidak dapat dibentuk secara mana suka yang tidak menentu, melainkan terdapat
aturan-aturan yang telah ditentukan untuk diikuti. Hal yang demikian inilah menjadikan
isytiqq tidak sesederhana yang ada dalam B1 pembelajar bahasa Arab. Akibatnya

adalah pembelajar banyak melakukan kesalahan dalam pembentukan turunan suatu


kata.
Beberapa contoh berikut ini menunjukkan kesalahan dalam isytiqq, seperti :

(1) , (2) , (3)

, dan (5)

(2), dan (3) merupakan kesalahan isytiqq pada ism, dan contoh (4) dan (5) kesalahan
isytiqq pada fil. Kesalahan-kesalahan tersebut berupa kekeliruan dalam melakukan
proses morfologis karena memang terdapat banyak cara dan pola isytiqq dalam
bahasa Arab terkait dengan wazn (pola) dan juga shghah (bentukan) yang
bermacam-macam. Demikian juga terkait dengan jumlah huruf pembentuk kata yang
dapat bertambah, yang pada akhirnya masing-masing memiliki konsekuensi pola
bentukan sendiri-sendiri.
Proses morfologis pada isytiqq ini berbeda sama sekali antara bahasa
Indonesia dengan bahasa Arab. Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang bertipe
145

aglutinasi, yakni proses pembentukan kata dalam bahasa yang beraglutinasi dilakukan
melalui afiksasi (pengimbuhan), seperti prefik (penambahan awalan), sufik
(penambahan akhiran) dan infik (penyisipan). Dengan demikian pada kata dasar tidak
mengalami perubahan sama sekali, tetapi hanya mendapat penambahan baik awalan,
akhiran, awalan dan akhiran maupun penyisipan. Sedangkan dalam bahasa Arab yang
merupakan bahasa bertipe infleksi, proses pembentukan kata dilakukan melalui
perubahan bentuk dasar menjadi bentuk lainnya. Perubahan bentuk yang dimaksud
bukan hanya dilakukan melalui penambahan awalan, penyisipan, dan penambahan
akhiran saja, tetapi lebih dari itu adalah pembentukan kata yang memiliki makna baru
melalui proses derivasi dan infleksi.
Dengan demikian, kesalahan yang terjadi pada isytiqq tidak dapat dikatakan
sebagai akibat pengaruh B1 pembelajar atau transfer negatif, karena pembentukan kata

diantara kedua bahasa pembelajar memang berbeda sama sekali. Kesalahan yang
terjadi pada isytiqq lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan kaidah-kaidah
isytiqq sehingga terkadang pembelajar membuat upaya-upaya mandiri dengan
mencoba-coba menghadirkan bentuk kata berdasarkan pengalaman atas kaidah B2

yang telah diterimanya. Upayanya mengkaitkan dengan kaidah-kaidah B2 yang telah

diterimanya inilah yang menjadikannya jatuh pada kesalahan. Kesalahan-kesalahan


yang ada pada contoh di atas menunjukkan hal tersebut.
Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa kesalahan gramatika
disebabkan oleh belum mantapnya pemahaman kaidah tata bahasa. Kesalahan ini
terkait dengan karakteristik linguistik pada bahasa Arab yang bisa saja ternyata
berbeda antara bahasa Arab dengan dengan B1 pembelajar, dalam hal ini adalah bahasa

Indonesia. Diantara karakteristik bahasa Arab ada yang memang tidak dimiliki oleh
bahasa Indonesia, namun ada juga yang dimiliki oleh bahasa Indonesia akan tetapi
memiliki perbedaan. Karakteristik inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya
kesalahan berbahasa dalam aspek morfologi.
146

Hasil verifikasi data kesalahan berbahasa menunjukkan bahwa


kesalahan-kesalahan gramatikal mahasiswa memang terkait dengan karakteristik
bahasa Arab. Karakteristik tersebut ada yang ditemui juga dalam B1 pembelajar, dan

ada juga yang memang tidak dimiliki. Beberapa karakteristik bahasa Arab dalam aspek
morfologis yang menimbulkan kesalahan tersebut adalah :
a. Konsep isytiqq, di mana bahasa Arab memiliki pola pembentukan yang berbeda
dengan bahasa Indonesia. Bahasa Arab yang merupakan bahasa bertipe infleksi,
memiliki pola perubahan atau pembentukan kata yang berbeda dengan bahasa
Indonesia yang bertipe aglutinasi. Pada bahasa tipe infleksi perubahan atau
pembentukan kata berlangsung melalui perubahan bentuk dasar menjadi bentuk
lainnya. Hal ini berbeda dengan tipe aglutinasi pada bahasa Indonesia yang
pembentukan atau perubahan kata berlangsung melalui pola-pola afiksasi
(pengimbuhan), yang meliputi pengimbuhan di awal kata (prefik), pengimbuhan di
akhir kata (sufik) dan melalui penyisipan (infik). Pada bahasa Arab misalnya
terdapat perubahan dari shghah (bentuk) mdhi ke mashdar, atau ke ism fil, ke
ism mafl dan seterusnya. Belum lagi perubahan dari fil yang mujarrad (yang
kosong belum ada tambahan) ke mazd (penambahan) . Perhatikan perubahan kata
berikut ini, misalnya kata alima dapat berubah ke ilm, lim, malm, dan
seterusnya. Kata tersebut juga dapat berubah ke bentuk mazd menjadi allama,
taallama, istalama, yang masing-masing juga dapat berubah ke bentuk
mashdar, ism fil, ism mafl yang berbeda. Sedangkan dalam bahasa Indonesia
hanya ditemui kata ajar, berubah menjadi belajar, mengajar, pelajaran,
mengajarkan, ajari, diajarkan, diajari, yang masing-masing hanyalah berupa
penambahan di awal atau di akhir kata ajar. Dengan demikian pada kata dasar
tidak mengalami perubahan sama sekali, tetapi hanya mendapat penambahan baik
awalan, akhiran, awalan dan akhiran maupun penyisipan. Sedangkan dalam bahasa
Arab proses pembentukan kata dilakukan melalui perubahan bentuk dasar menjadi
147

bentuk lainnya. Perubahan bentuk yang dimaksud bukan hanya dilakukan melalui
penambahan awalan, penyisipan, dan penambahan akhiran saja, tetapi lebih dari itu
adalah pembentukan kata yang memiliki makna baru melalui proses derivasi dan
infleksi. Hal ini menjadikan perubahan kata pada bahasa Arab menjadi lebih rumit
dan kompleks dibandingkan dengan pada bahasa Indonesia. Terbukti dari macam
kesalahan pada isytiqq ini yang terdiri dari berbagai bentukan, seperti pada
isytiqq ism, kesalahannya meliputi pembentukan adad, jam taksr, mashdar,
mansb, dan shift. Kesalahan terbanyak ada pada pembentukan mashdar, yakni
17 dari 32 kesalahan pada isytiqq ism ini. Pada isytiqq fil kesalahannya meliputi
pembentukan yang terkait dengan adad, hurf mudhraah, malm, majhl, dan
mujarrad-mazd. Kesalahan terbanyak ada pada pembentukan mujarrad-mazd,
yakni 15 dari 45 kesalahan. Kesalahan yang terjadi dalam isytiqq ini pun
menunjukkan frekuensi yang tinggi, yakni 60,2 % dari kesalahan morfologi, dan
17,5 % dari seluruh kesalahan. Tingginya kesalahan dalam hal ini menunjukkan
masih kompleksnya materi yang terkait dengan isytiqq dan kerumitan pola
pembentukannya.
b. Konsep lzim (intransitif) melalui melalui penambahan hurf (preposisi), yang hal
ini terkadang merupakan idiom kesatuan dengan fil-nya sehingga kesalahan
pemilihan hurf yang mengikuti fil tersebut dapat mengakibatkan kesalahan dalam
pemaknaan. Problem besar yang ada pada kesalahan kelompok ini adalah
penambahan hurf jarr (preposisi) pada fil yang seharusnya tidak perlu. Dalam
bahasa Arab fil yang demikian disebut dengan mutaadd, yang langsung
berhubungan dengan ism sebagai mafl bih tanpa melalui perantara hurf jarr.
Ketika dihadirkan hurf jarr maka fil tersebut berstatus menjadi lzim, atau
mutaadd bi ghairih. Kesalahan inilah yang memiliki frekuensi cukup tinggi, yakni
31 dari 37 kesalahan yang ada pada kelompok mutaadd lzim ini. Yang 6
kesalahan berupa sebaliknya, yakni meniadakan hurf jarr pada fil lzim sehingga
148

berstatus menjadi mutaadd. Secara keseluruhan pada kelompok ini kesalahannya


mencapai 28,9 % kesalahan morfologi, atau 8,4 % kesalahan secara keseluruhan
morfologi dan sintaksis. Tingginya frekuensi kesalahan mahasiswa dalam jenis ini
menunjukkan kesulitan mereka dalam penggunaannya. Hal ini terbukti dari
tingginya frekuensi kesalahan pada penggunaan hurf yang sebenarnya tidak perlu
tersebut. Fil yang sudah berstatus mutaadd, yang dengan demikian harus
langsung diikuti ism sebagai mafl bih (obyeknya) dan tidak perlu ditambahkan
hurf, ternyata oleh pembelajar ditambahkan sehingga statusnya menjadi lzim.
Sebenarnya dalam bahasa Indonesia juga terdapat konsep transitif dan intransitif,
akan tetapi yang berbeda adalah penggunaan hurf (preposisi) dalam bahasa Arab
yang menyebabkan verba menjadi intransitif. Penggunaan hurf ini bahkan ada
yang menjadi sebuah idiom sehingga harus benar-benar tepat penerapannya dengan
fil untuk didapatkan makna yang tepat sesuai dengan yang dikehendaki.
c. Konsep nakirah dan marifah pada ism, yang dalam hal ini terkait dengan
penggunaan ism marifah melalui penambahan alif dan lam (al). Nomina
dalam bahasa Arab (ism) selalu terkait dengan konsep nakirah dan marifah.
Artinya, penyebutan ism selalu dapat diikuti dengan apakah ism tersebut tergolong
marifah ataukah nakirah. Hal ini penting terkait dengan fungsi marifah dan
nakirah dalam pembentukan kalimat. Marifah digunakan untuk merujuk kepada
sesuatu (nomina) yang sudah jelas / tertentu, sedangkan nakirah merujuk kepada
sesuatu yang belum jelas. Masing-masing juga memiliki konsekuensi dalam
penggunaannya. Marifah tidak bisa digunakan dalam konteks nakirah, dan
demikian pula sebaliknya. Sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak mengenal
istilah nakirah dan marifah. Bahasa Indonesia tidak memiliki konsep seperti ini,
dan dengan sendirinya tidak terdapat kaidah ataupun aturan yang mengharuskan
penggunaan dengan bentuk seperti nakirah ataukah marifah. Namun demikian
bukan berarti dalam bahasa Indonesia tidak dijumpai sama sekali penggunaan yang
149

seperti ini, karena ada pengungkapan-pengungkapan yang merujuk ke arah sesuatu


yang jelas melalui penambahan kata penunjuk, seperti ini, itu, tersebut, atau
melalui keterangan dalam bentuk penambahan frasa maupun klausa. Kesalahan
yang dibuat oleh mahasiswa subyek penelitian memang tidak menunjukkan angka
yang tinggi, yakni 11 kesalahan atau 8,6 % kesalahan morfologi dan 2,5 %
kesalahan secara keseluruhan. Namun demikian ada hal yang perlu menjadi
perhatian, yakni kesalahan yang lebih banyak pada kelompok ini adalah membuat
marifah pada yang seharusnya nakirah, mencapai 9 dari 11 kesalahan.
d. Konsep zamn, atau kala dalam fil (verba). Verba dalam bahasa Arab selalu
terikat dengan waktu, bisa yang telah lalu, sekarang maupun yang akan datang.
Artinya, setiap fil merujuk kepada dua hal, pertama kandungan peristiwa
perbuatan, dan kedua, waktu perbuatan/peristiwa itu terjadi. Keterkaitan dengan
waktu ini kemudian melahirkan pembagian fil berdasarkan waktu kepada tiga
macam, yakni mdh, mudhri, dan amr. Masing-masing fil tersebut memiliki
pola-pola bentukan yang tertentu dan sekaligus disesuaikan dengan pelaku (subyek
/ fil dalam bentuk dhamr). Sedangkan dalam bahasa Indonesia, pengungkapan
zamn dilakukan melalui penambahan leksikal sebagai keterangan waktunya,
karena pengungkapan fil dalam bahasa Indonesia tidak terkait dengan waktu
tertentu. Pembelajar yang membuat ungkapan dalam bahasa Arab harus
mempertimbangkan bentuk yang pas untuk fil sesuai dengan waktu terkait karena
kesalahan mempergunakan fil yang tidak sesuai dengan waktunya akan
menyebabkan kesalahan pemahaman terhadap waktu kejadian / peristiwa. Data
kesalahan berbahasa yang terjadi pada mahasiswa subyek penelitian ini juga tidak
banyak, yakni hanya terjadi sebanyak tiga kali, atau 2,3 % dari kesalahan
morfologi, dan 0,7 % dari kesalahan keseluruhan. Hal ini dapat dipahami
berdasarkan penalaran, bahwa data diskusi yang berupa penjelasan dan interaksi
kebanyakan memang menggunakan bentuk mudhri. Hal ini terbukti dari lebih
150

banyaknya kesalahan yang berupa penggunaan mudhri dibandingkan dengan


sebaliknya, yakni 2 dari 3 tiga kesalahan yang ada. Berbeda dengan bercerita
misalnya, yang sangat mungkin menggunakan variasi waktu lampau dengan sedang
atau yang akan datang.
e. Konsep adad (bilangan), baik ism maupun fil selalu terkait dengan konsep ini,
yang meliputi tunggal (mufrad), dual (mutsann), dan plural (jam). Artinya,
ketika mengucapkan ism maka hal itu selain merujuk kepada arti benda, juga
menunjukkan jumlah benda. Untuk itu terdapat pola-pola untuk mengungkapan
benda dalam jumlah tertentu, apakah tunggal, dual ataukah plural. Pembelajar B2

tidak bisa melakukan penyebutan benda begitu saja sebagaimana yang pada B1nya

yang untuk penunjuk jumlah harus ditambahkan secara leksikal. Konsep adad ini
juga mengikat pada fil, artinya setiap fil selain mengandung makna
peristiwa/perbuatan, dan waktu terjadinya perbuatan tersebut, juga mengandung
makna jumlah pelaku. Dalam bahasa Indonesia konsep bilangan hanya berlaku
untuk nomina saja, dan itupun tidak bersifat include, atau melekat pada nomina
melainkan diberikan penambahan leksikal yang menunjukkan bilangan, atau melalui
reduplikasi. Konsep bilangan yang melekat pada leksikal baik nomina maupun
verba dalam bahasa Arab ini menyebabkan pembelajar harus melakukan
penyesuaian dalam pemilihan bentuk agar tidak terjatuh kepada melakukan
kesalahan. Kesalahan yang terkait dengan adad ini secara keseluruhan mencapai
20 dari 441 kesalahan atau 4,5 %. Maksud secara keseluruhan adalah kesalahan
baik yang masuk dalam kelompok tawfuq adad maupun isytiqq yang terkait
dengan adad.
f. Konsep nau (penanda jender) untuk ism maupun fil. Selain adad (bilangan), hal
lain yang melekat pada ism dan fil adalah sistem nau. Setiap ism dan fil tidak
terlepas dari salah satu jenis muannats (feminin) ataukah mudzakkar (maskulin).
Artinya, ketika menyebutkan ism atau fil maka pada keduanya dapat diidentifikasi
151

apakah ia tergolong untuk mudzakkar ataukah muannats. Penandaan untuk jenis


ini pada ism pun dapat berbeda-beda. Demikian juga pada fil terdapat
kaidah-kaidah melalui penambahan unsur-unsur tertentu pada kata tersebut. Selain
untuk menunjukkan status suatu benda, adanya sistem nau ini juga untuk
mentaati asas persesuaian yang berlaku pada susunan bahasa Arab, baik dalam
tingkat frasa, klausa, maupun kalimat. Bahasa Indonesia tidak memiliki sistem
seperti ini, dan tidak mengenal adanya jenis baik untuk nomina maupun verba.
Untuk merujuk kepada status jenis suatu benda/sesuatu maka ditambahkan leksikal
laki-laki atau perempuan setelahnya. Hal yang demikian ini termasuk salah
satu yang menyebabkan kesulitan dalam memahami sistem nau dalam bahasa
Arab. Terbukti dari tingginya kesalahan yang terkait dengan nau, yakni terdapat
127 dari 441 kesalahan secara keseluruhan, atau besarannya mencapai 28,8 %.

Dari uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa faktor penyebab


timbulnya kesalahan-kesalahan berbicara dalam bahasa Arab pada aspek morfologi
oleh mahasiswa subyek penelitian dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, terdapat
kecenderungan mahasiswa mengalihkan pola-pola kalimat B1 mereka yakni bahasa

Indonesia ke dalam bahasa Arab sehingga hasil ketika mereka berbicara dalam konteks
presentasi dan diskusi perkuliahan masih kelihatan adanya pengaruh bahasa Indonesia
terhadap bahasa Arab. Pengaruh-pengaruh ini seperti kesalahan penggunaan bentuk
tayn, mutaadd lzim, penggunaan zamn untuk fil, dan persoalan pembentukan
adad, nau maupun tayn. Kesalahan yang semacam ini disebut dengan kesalahan
interlingual/antarbahasa.
Di samping itu, ada kesalahan yang disebabkan oleh faktor kesulitan dalam
bahasa Arab itu sendiri, misalnya adanya perbedaan pada unsur-unsur bahasa antara
bahasa Indonesia dengan Arab seperti di atas. Kesalahan yang dapat dikelompokkan
dalam kategori ini misalnya yang terkait dengan isytiqq. Isytiqq dalam bahasa Arab
152

dengan berbagai macam bentuk dan pengggunaannya tidak jarang menimbulkan


kesalahan. Hal-hal inilah yang menimbulkan kesalahan dalam keterampilan berbicara
atau berbahasa tutur mahasiswa MAHAT. Kesalahan yang semacam ini disebut dengan
kesalahan intralingual atau intrabahasa.

C. Upaya Mengatasi Kesalahan Morfologi


Kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar bahasa asing merupakan umpan
balik yang baik bagi guru, pembelajar dan juga peneliti. Bagi guru kesalahan yang
muncul akan memberikan petunjuk atas seberapa jauh penguasaan pembelajar atas
materi yang telah diberikan dan juga seberapa jauh kemajuan mereka. Guru juga akan
mengetahui efektifitas teknik dan metode pengajaran yang digunakannya. Selaini itu,
adanya kesalahan tersebut juga merupakan informasi dalam usaha merencanakan
silabus dan program pengulangan pengajaran (remedial). Sedangkan bagi pembelajar,
kesalahan itu sendiri merupakan refleksi atas kemampuan mereka selama ini.
Pembelajar akan tahu bagian-bagian mana saja yang masih menyisakan problem
penguasaan pada B2 mereka. Dan bagi peneliti, kesalahan tersebut merupakan

petunjuk bagaimana bahasa seharusnya dipelajari, strategi dan prosedur apa yang
digunakan dan seharusnya dikembangkan dalam rangaka penguasaan bahasa asing.
Terkait dengan hal di atas maka hal yang penting dilakukan setelah
diketahuinya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar, dan setelah
kesalahan-kesalahan berbahasa dalam berbicara dapat diidentifikasi, diklasifikasikan,
dan dicari faktor-faktor penyebabnya, maka selanjutnya adalah bagaimana membuat
agar kesalahan tidak lagi terjadi melalui upaya-upaya seperti strategi pembetulan
kesalahan, pemberian latihan-latihan, dan penyusunan materi.

1. Strategi Pembetulan Kesalahan


153

Chaudron sebagaimana dikutip oleh Suwarna menyatakan, bahwa


pembetulan kesalahan akan efektif jika (1) dilakukan pada saat yang tepat (2) aktifitas
merupakan instruksional formal atau bertujuan pembelajaran, dan (3) mendasarkan
pada prinsip pedagogis. Dengan demikian, maka seharusnya upaya pembetulan
kesalahan bersifat selektif dan dilakukan pada saat aktifitas kegiatan pembelajaran
berlangsung. Selain itu pembetulan juga dilakukan apabila pembelajar belum mampu
membetulkan sendiri terhadap kesalahan yang telah dilakukannya.
Di sisi lain, Tarigan menyatakan bahwa pembetulan kesalahan dapat
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pembetulan secara langsung ini
dengan cara pengajar menunjukkan kesalahan itu dan bagaimana cara
membetulkannya, sedangkan siswa bertugas merekonstruksi pernyataannya yang salah
dengan pernyataan baru yang benar. Sedangkan pembetulan secara tidak langsung
adalah dengan cara yang tidak disadari oleh pembelajar kalau dirinya sedang
dibetulkan oleh pengajarnya. Tentu saja hal ini harus memperhatikan berbagai kondisi
yang sesuai dengan kegiatan belajar-mengajar.
Dengan memperhatikan jenis kesalahan yang terjadi pada data kesalahan
berbahasa mahasiswa MAHAT sebagai subyek penelitian, dan data sosiolinguistik
mereka yang kesemuanya merupakan lulusan pesantren maka teknik yang
dikemukakan oleh Long dan Choudron (dalam Ellis) dapat dijadikan rujukan. Teknik
pembetulan yang dimaksud adalah (1) pengajar mengulang kesalahan yang dibuat oleh
pembelajar dan kemudian memberikan pembetulannya; (2) mengatur perlakuan yang
mengarah kepada pembelajar untuk berusaha melakukan koreksi sendiri; (3) strategi
yang mengarah kepada pemancingan respon yang benar dari pembelajar; (4) dengan
melakukan reaksi apapun yang mengarah kepada upaya pembetulan; (5) penguatan
positif dan negatif yang melibatkan persepsi setuju atau tidak setuju. Persepsi setuju
dan tidak setuju dapat dilakukan melalui upaya kinesik, paralinguistik, ekspresi wajah,
anggota badan, dan lain sebagainya.
154

Dengan cara pembetulan yang secara tidak langsung maka akan memberikan
kesempatan kepada pembelajar untuk ikut serta berperan aktif dan kreatif karena akan
berusaha membetulkan kesalahannya sendiri. Pembelajar juga merasa dihargai
kemampuannya untuk membetulkan sendiri sehingga tidak terasa menyakitkan
terhadap pembetulan kesalahan yang dilakukannya. Selain itu hal ini juga akan
memberikan efektifitas dan efisiensi dalam pembelajaran karena tidak setiap kesalahan
harus dibetulkan oleh pengajar.
Berdasarkan pengamatan penulis, dan pengecekan data rekaman menunjukkan
bahwa peran pengajar dalam pembetulan kesalahan belum ditemukan. Nampaknya
para pengajar belum merasa perlu untuk melakukan pembetulan-pembetulan di saat
pengajaran mata kuliah mereka. Bisa saja hal ini disebabkan oleh waktu yang tersita
lebih banyak untuk pembahasan materi kuliah yang bersangkutan, sehingga waktu
digunakan habis untuk menerangkan atau mengulang pembahasan yang telah
disampaikan oleh mahasiswa melalui media diskusi kelas. Dengan adanya hasil
penelitian ini tentu saja diharapkan pembetulan kesalahan bukan hanya merupakan
tanggung jawab pengajar materi bahasa Arab, atau hanya terjadi pada saat mata kuliah
yang terkait dengan bahasa Arab saja. Peran pengajar secara keseluruhan, yang selain
kompeten dalam bidang keilmuan masing-masing juga cakap dalam kemampuan
berbahasa Arab aktif, merupakan kebutuhan mutlak dalam rangka ikut membantu
meminimalkan kesalahan mahasiswa dalam berbahasa lisan.

2. Latihan Materi Kebahasaan


Di samping teori yang terkait dengan materi kebahasaan, dalam aspek
morfologi, latihan juga perlu diberikan terutama untuk kesalahan-kesalahan yang
paling banyak dibuat oleh mahasiswa. Latihan-latihan tersebut perlu diintensifkan dan
dikembangkan sehingga kesalahan-kesalahan yang sama diharapkan tidak terulang lagi.
155

Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang terjadi maka yang perlu mendapatkan porsi


latihan adalah sebagai berikut :
a. Latihan tentang isytiqq.
Kesalahan dalam isytiqq mencapai 18,4 % atau sebanyak 83 dari 451 seluruh
kesalahan. Hal ini berarti masih menunjukkan sulitnya penguasaan isytiqq dengan
berbagai macam polanya. Mengingat banyaknya pola yang ada dalam isytiqq ini,
baik pada ism maupun fil maka latihan-latihan yang dapat dilakukan antara lain
dengan cara membantu pemahaman makna berdasarkan perubahan kata, latihan
membedakan arti untuk bentuk-bentuk yang berbeda.
b. Latihan mengenai penggunaan preposisi (hurf jarr) dalam kaitannya dengan fil.
Yang dimaksud dengan latihan preposisi adalah terkait dengan idiom, yakni
keterkaitan dengan fil sebelumnya. Persoalan idiom memang menjadi
permasalahan tersendiri mengingat kesalahan yang terjadi pada kelompok ini
tidaklah sedikit, terutama yang terkait dengan kesalahan membuat lzim pada fil
yang mutaadd. Hal ini menunjukkan kecenderungan pembelajar memasukkan
hurf jarr berdasarkan keterkaitan dalam sistem B1nya.

Metode-metode yang digunakan dalam latihan dapat merujuk kepada strategi


pengajaran bahasa Arab. Metode latihan yang dimaksud tentu saja yang sesuai dengan
aspek gramatika, khususnya morfologi (sharf). Metode latihan yang berkembang
belakangan menunjukkan ke arah perlunya penyajian gramatika fungsional (al-nahw
al-wadzf). Untuk itu perlu penekanan kepada materi dan latihan yang terkait dengan
gramatika fungsional tersebut. Dalam hal ini terdapat berbagai macam latihan, yakni
latihan mekanis, bermakna, dan komunikatif. Masing-masing latihan ini memiliki
teknik-teknik yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan tingkatan materi yang
diajarkan.

3. Prioritas Materi Pengajaran


156

Kesalahan berbahasa yang sepintas menunjukkan suatu hal yang menyakitkan


ternyata dapat memberikan manfaat yang besar bagi keberhasilan pengajaran bahasa.
Sebagai suatu keniscayaan maka kesalahan tidak dapat ditolak keberadaanya. Namun
berawal dari munculnya kesalahan inilah pada akhirnya ditemukan manfaat linguistis
maupun pedagogis dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa asing. Dari sinilah
kemudian muncul analisis kontrastif yang kemudian disempurnakan dengan analisis
kesalahan.
Analisis kesalahan akan memberikan umpan balik yang sangat berharga bagi
pengevalusian dan perencanaan pengajaran, terutama terkait dengan penyusunan
materi dan strategi pengajaran, meskipun pada kenyataanya pada hal pertamalah yang
lebih banyak diarahkan, yakni tersusunnya suatu materi pengajaran yang lebih mengena
dan sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sidhar (dalam Tarigan) menyatakan bahwa
analisis kesalahan ditujukan untuk menentukan urutan penyajian butir-butir pengajaran
di kelas dan buku teks, misalnya dari hal yang mudah ke sukar. Selain itu juga
menentukan urutan jenjang relatif penekanan, penjelasan, dan latihan bahan
pengajaran, serta merencanakan latihan dan pengajaran remedial beserta memilih
butir-butir bagi pengujian kemahiran siswa.
Berdasarkan pemaparan data kesalahan mahasiswa subyek penelitian pada
bagian sebelumnya, maka pengajar dapat menentukan urutan bahan pengajaran
berdasarkan besaran kesalahan yang dibuat oleh pembelajar. Besaran kesalahan yang
dibuat oleh pembelajar selain menunjukkan kemampuan penguasaan bahasa mereka,
juga menunjukkan problematika materi pengajaran, artinya terdapat bahan-bahan ajar
yang memang berpotensi menimbulkan kesalahan karena sulitnya materi tersebut.
Untuk itulah diperlukan prioritas penyajian materi pengajaran yang dianggap
berpeluang menimbulkan kesalahan.
Dalam rangka inilah, maka pemberian materi kuliah bahasa Arab yang terkait
dengan aspek morfologi perlu penekanan baik dalam hal pemberian teori maupun
157

dalam latihan-latihan, yang terkait dengan bidang kesalahan mahasiswa. Dengan


melihat mata kuliah yang diberikan kepada mahasiswa, sebenarnya penguasaan aspek
gramatika seharusnya telah dapat meminimalkan atau menghilangkan
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh mereka. Sebagai lembaga pendidikan yang
menggunakan bahasa Arab dalam perkuliahannya, Mahad l dianggap cukup dalam
memberikan porsi bahasa Arab. Namun dengan adanya penemuan kesalahan-kesalahan
berbicara mahasiswanya, hal ini dapat dipakai sebagai refleksi dalam urutan penyajian
bahan perkuliahan bahasa Arab yang terkait dengan gramatika. Urutan penyajian
materi tersebut dapat disusun dengan memperhatikan besaran kesalahan yang dibuat
oleh mahasiswa, yakni mendahulukan hal-hal yang terkait dengan isytiqq, dan
penggunaan hurf jarr dengan fil. Urutan penyajian yang dimaksud dapat diberikan
dalam bentuk pengajaran remedial. Sebagaimana fungsi remedial itu sendiri, yakni
memberikan penguatan melalui pengulangan materi yang dianggap memiliki tingkat
kesulitan pemahaman yang tinggi sehingga sering kali menyebabkan timbulnya
kesalahan. Alternatif lain adalah pengajaran tetap berjalan sesuai dengan kurikulum
dan urutan silabi yang telah ada, namun dengan penguatan dan latihan-latihan yang
lebih intensif pada bagian-bagian yang sering menimbulkan kesalahan.
BAB V
KESALAHAN SINTAKSIS

Yang dimaksud dengan kesalahan sintaksis dalam penelitian ini adalah


kesalahan dalam penggunaan struktur bahasa Arab, yang terkait dengan hubungan
antar kata dalam kalimat. Hal ini sesuai dengan ruang lingkup sintaksis itu sendiri
yakni kajian hubungan antar kata dalam suatu konstruksi, kajian struktur frasa dan
kalimat, karena kata tunggal yang berdiri sendiri tidak dapat dikaji secara sintaksis.
Sintaksis terkait dengan subsistem bahasa/linguistik yang mencermati hubungan kata
dengan kata baik. Terkait dengan pembahasan sintaksis ini, dalam bahasa Arab dikenal
juga susunan frasa, klausa, dan kalimat. Dalam bahasa Arab terdapat beberapa bentuk
susunan (tarkb), seperti isnd, idhf, bayn, washf, taukd, badl, athf, mazj,
dan adad. Berdasarkan teori-teori pembahasan frasa, klausa, dan kalimat inilah,
maka nantinya akan dilakukan analasis kesalahan terhadap data-data ketrampilan
berbicara.
Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis ini meliputi : tawfuq
(persesuaian) dalam hal adad (bilangan) baik untuk ifrd (tunggal), tatsniyah (dual),
maupun jam (plural); tawfuq dalam hal nau (jenis) yaitu tadzkr (laki-laki) dan
tants (perempuan); dan dalam hal tayn (tanda penjelas) yaitu tarf (definitif) dan
tankr (indefinitif). Kesalahan sintaksis juga terkait dengan masalah irb, dan
pembentukan struktur atau tarkb dengan berbagai variasi dan macamnya. Bab ini
membahas hal-hal yang terkait dengan kesalahan sintaksis, yakni klasifikasi kesalahan
sintaksis, penyebab dan upaya menanggulangi kesalahan tersebut.

c. Klasifikasi Kesalahan Sintaksis


Kesalahan dalam aspek sintaksis lebih besar daripada kesalahan yang terjadi
pada aspek morfologi. Dari total kesalahan gramatika yang berjumlah 441 kesalahan,
215

313 diantaranya terjadi pada aspek ini atau 71% nya. Kesalahan-kesalahan tersebut
dapat dikelompokkan menjadi empat jenis sebagaimana tabel IV berikut ini :
Tabel IV
Jenis-jenis Kesalahan Sintaksis
%
kesel
No Jenis Kesalahan F %
uruh
an*
1 Persesuaian (agreement / tawfuq)
a. Dalam hal adad (bilangan) 17 5,4 3,8
b. Dalam hal nau(jenis) 135 42,7 29,9
c. Dalam hal tayn (tanda penjelas) 14 4,4 3,1
2 Irb
a. Ism 98 31,0 21,6
b. Fil 3 0,9 0,7
3 Kaidah khusus
a. Membuat konstruksi adad 3 0,9 0,7
b. Membuat dua fil atau lebih untuk satu fil 1 0,3 0,2
c. Menjadikan mudhf dalam bentuk marifah 7 2,2 1,6
4 Struktur
a. Penambahan kata 16 5,1 3,5
b. Penghilangan kata 15 4,7 3,3
c. Susunan yang lemah 7 2,2 1,6
Jumlah 316 100,0 70,1
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)

1. Persesuaian
a. Persesuaian dalam adad, jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 17
ungkapan atau 5,4 % dari kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis dan 3,9 %
dari jumlah keseluruhan kesalahan yang terjadi. Kesalahan yang terkait dengan
persesuaian dalam hal adad ini terbagi atas dua kelompok, yakni ketidaksesuaian
antara ism dengan fil, dan ketidaksesuaian antara ism dengan dhamr.
216

- Ketidaksesuaian antara ism dengan fil, terdapat kesalahan sebanyak 12


ungkapan, atau 3,8 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 2,7 %
dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun
morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah:

(1) , seharusnya

(2) ,seharusnya

Persesuaian dalam hal adad antara ism dengan fil dapat terjadi pada
berbagai macam tarkb, seperti isnd, bayn, maupun washf. Setiap fil yang
didahului oleh ism yang menjadi subyeknya (fil / pelaku), maka fil tersebut
harus memiliki kesesuaian dengan ism dalam hal adad (jumlah). Apabila ism
mengandung jumlah tunggal maka fil juga dibentuk untuk subyek tunggal,
demikian pula apabila ism menunjukkan jumlah dua ataupun lebih. Pada contoh
(1) kata kuffr menunjukkan jam (plural) maka fil setelahnya juga harus
dibentuk untuk pelaku jam menjadi yaqbalna.
Sedangkan untuk contoh (2) ism menunjukkan jumlah tunggal (anta)
sehingga fil setelahnya yang memiliki subyek ism tersebut harus dibentuk
untuk tunggal pula. Dalam hal ini, pada fil harus terdapat rbith berupa
dhamr yang sesuai dengan ism sebelumnya. Rbith pada fil yang didahului
oleh isimnya sebagai subyek maka harus memiliki kesesuaian dalam adad. Fil
tatakabbar yang diucapkan oleh penutur mengandung dhamr jam
antum yang dilambangkan dengan huruf wau, padahal ism yang
mendahuluinya, yang mengindikasikan sebagai subyek, bukanlah jam akan
tetapi tunggal anta. Karena itulah harus disesuaikan dan dirubah
sebagaimana yang ada pada pembetulannya, dengan menghilangkan wau.
217

- Ketidaksesuaian antara ism dengan dhamr, terdapat kesalahan sebanyak 5


ungkapan, atau 1,6 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 1,1 %
dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun
morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

Dalam bahasa Arab dikenal pula klausa, yaitu satuan kelompok kata
yang minimal dibentuk oleh subyek dan predikat dan memiliki potensi untuk
menjadi kalimat. Karena itu klausa masih memungkinkan untuk dibuat menjadi
kalimat. Pada contoh (1) terdapat klausa huwa waratsah al-anbiy.
Mengingat sebelumnya telah didahului oleh ism yang kemudian diikuti klausa
menggunakan dhamr (pronomina / kata ganti) maka dalam hal ini dhamr
harus mengikuti ism sebelumnya, baik dalam adad (bilangan) maupun nau
(jenis). Kata Ulam berbentuk jam (plural) sehingga ketika pada urutan
berikutnya diberikan kata lain yang terkait dengan kata tersebut, baik berfungsi
sebagai predikatnya, atau sebagai penegas, maka harus sesuai dalam hal adad
maupun nau. Karena itulah dhamr yang tepat untuk digunakan sebagai
pengganti kata ulam haruslah hum.
Sedangkan pada contoh (2) ketidaksesuaian ism dengan dhamr terjadi
antara kata walad dengan ummuhum. Konstruksi yang terdapat kesalahan
adalah maushl dan shilah dalam hal adad. Sebagaimana ketentuan yang
berlaku pada frasa mushl, bahwa diantara ism maushl dengan shilah harus
terdapat kesesuaian, yakni kesesuaian yang meliputi nau dan adad. Kata
ummuhum yang didalamnya mengandung dhamr hum yang merujuk
kepada makna jam (plural) tidak sesuai dengan kata walad yang merujuk
kepada makna tunggal (ifrd), padahal dalam konstruksi frasa maushl
218

disyaratkan adanya rbith yang sesuai dengan mashl dalam adad. Karena
itulah dhamr hum pada kata ummuhum seharusnya diganti dengan
dhamr h sehingga menjadi ummuh.

Dari kenyataan-kenyataan di atas, diketahui bahwa dalam konstruksi


bahasa Arab banyak menyertakan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan
persesuaian, yang salah satunya adalah persesuaian dalam adad (bilangan).
Persesuaian dalam adad adakalanya berupa ism dengan fil, yang dalam hal ini
dapat terjadi pada konstruksi yang menghubungkan ism dengan fil, seperti yang
ada pada tarkib isnd, yakni jumlah ismiyyah. Pembentukan jumlah ismiyyah
harus memperhatikan persesuaian ini agar tidak jatuh dalam kesalahan. Kesalahan
yang dilakukan oleh pembelajar bahasa Arab sebagai B2nya, disebabkan belum

matangnya pengetahuan yang dimilikinya. Apalagi hal yang seperti ini, yakni
persesuaian adad dalam konstruksi kalimat seperti jumlah ismiyyah, tidak
ditemukan dalam bahasa Indonesia.
Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh penutur merupakan kesalahan
akibat penerapan kaidah yang tidak sempurna, mengingat adanya unsur yang
dipandang sebagai suatu kerumitan dalam bahasa Arab. Ketentuan berupa
kesesuaian dalam hal adad tidak diaplikasikan secara sempurna oleh pembelajar.
Kerumitan yang dimaksud adalah apabila dibandingkan B1 pembelajar yang

berbeda dengan B2 yang dipelajarinya. B1 yang telah dimiliki pelajar tidak ditemui

adanya ketentuan yang mengatur kesesuaian dalam hal adad sebagaimana pada
B2. Karena itulah pembelajar dituntut untuk memahami secara sempurna terhadap

kaidah B2 yang terkait dengan persesuaian. Pemahaman yang tidak terbatas pada

tataran teori saja, akan tetapi juga pada tataran aplikasinya, baik dalam bahasa lisan
maupun tulisan. Namun demikian, terkait dengan kedudukan bahasa lisan yang
219

memegang peranan penting pada pembelajar subyek penelitian, maka aplikasi pada
bahasa lisan menjadi penting untuk diperhatikan.

b. Persesuaian dalam nau (jenis), jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 127
ungkapan atau 40,6 % dari kesalahan sintaksis dan 28,8 % dari seluruh kesalahan
yang terjadi. Kesalahan yang terkait dengan persesuaian dalam hal nau ini terbagi
atas enam kelompok, yakni ketidaksesuaian antara ism dengan fil, antara ism
dengan dhamr, antara maushl dengan id shilah, antara fil dengan fil, antara
nat dengan mant, dan antara isyrah dengan musyr ilaih.
Tabel V
Jenis-jenis Kesalahan Ketidaksesuaian dalam Nau
%
kesel
No Jenis Kesalahan F %
uruh
an*
1 Ketidaksesuaian ism dengan fil 28 8,9 6,3
2 Ketidaksesuaian ism dengan dhamr 19 6,1 4,3
3 Ketidaksesuaian maushl dengan id shilah 6 1,9 1,4
4 Ketidaksesuaian fil dengan fil 31 9,9 7,0
5 Ketidaksesuaian nat dengan mant 23 7,3 5,2
6 Ketidaksesuaian isyrah dengan musyr ilaih 20 6,4 4,5
Jumlah 127 40,6 28,8
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)

- Ketidaksesuaian antara ism dengan fil , dalam hal ini terdapat kesalahan
sebanyak 28 ungkapan, atau 8,9 % dari kesalahan yang ada pada aspek
sintaksis, dan 6,3 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek
sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini
contohnya adalah :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya
220

(3) , seharusnya

(4) , seharusnya

Kesesuaian antara ism dengan fil dapat terjadi pada berbagai macam tarkb
(susunan). Hal ini terjadi apabila dhamr yang tersimpan pada fil memiliki rujukan ke ism
sebelumnya. Untuk keadaan yang demikian ini memang disyaratkan adanya kesesuaian
antara fil dengan ism sebelumnya dalam hal nau (maupun adad). Adanya
bermacam-macam susunan tersebut terkait dengan dimungkinkannya suatu jumlah (baik
ismiyyah maupun filiyyah) menduduki posisi (mahall) irb tertentu dalam sebuah kalimat,
baik rafa, nashab, maupun jarr, dan inilah yang disebut dengan al-jumlah lah mahall min
al-irb,. Demikian juga sebaliknya, dimungkinkan untuk adanya jumlah l mahalla lah

min al-irab. Maka fil yang memiliki dhamr berkesesuaian dengan ism sebelumnya dalam
hal nau maupun adad, dapat berposisi sebagai khabar dalam mahall rafa, dapat berposisi
sebagai maful bih dalam mahall nashab, dan dapat pula berposisi sebagai nat dalam
mahall jarr. Juga dapat berada di tengah-tengah kalimat meskipun tanpa memiliki posisi
(mahall) irb.
Contoh (1) dan (2) menunjukkan jumlah yang berposisi dalam mahall rafa sebagai
khabar dari ism sebelumnya. Kedua contoh tersebut sama-sama memiliki ketidaksesuaian
dalam nau antara ism dengan fil-nya, namun berbeda dalam kesesuaian tadzkr-tants-nya.
Contoh (1) menunjukkan ketidaksesuaian antara ism yang mudzakkar sedangkan fil-nya
muannats. Contoh (2) adalah kebalikannya, ism berjeniskan muannats tetapi filnya
berjeniskan mudzakkar. Pada contoh (1) Kata kull menunjukkan jens mudzakkar, karena
tidak didapati tanda muannats pada fil tersebut. Karena itulah maka fil setelahnya yang
berposisi sebagai khabar dari ism tersebut harus diganti dan disesuaikan dengan fil yang
mengandung dhamr mudzakkar, menjadi yarjiu, bukan muannats sebagaimana yang
digunakan oleh penutur pada awalnya.
Berkebalikan dengan contoh (1) adalah contoh (2) yang menuntut kesesuaian dalam
jenis muannats antara fil dengan ism sebelumnya. Kata nafs dengan yamt tidak
berkesesuaian dalam hal nau yakni muannats. Nafs merujuk kepada jenis muannats
sedangkan yamt merujuk kepada mudzakkar. Penutur menganggap nafs sebagai ism
berjeniskan mudzakkar karena secara leksikal (lahiriah/tertulis) tidak didapati tanda
221

muannats, sehingga fil mudhri yang digunakannya berjeniskan mudzakkar. Secara


leksikal, kata nafs memang tidak menampakkan jenis muannats, akan tetapi kata tersebut
dikategorikan oleh penutur asli bahasa Arab masuk kepada kelompok kata berjeniskan
muannats, sehingga mudhri yang digunakan setelahnya harus mengandung dhamr yang
berjeniskan muannats pula , yaitu tamt.
Sedangkan pada contoh (3) dan (4), fil yang tidak berkesesuaian dengan ism
sebelumnya bukan dalam hubungan isnd (dalam hal ini jumlah ismiyyah), akan tetapi
dalam tarkb washf. Pada contoh (3) fil yang tidak berkesesuaian tersebut berposisi sebagai
nat dari kata sebelumnya, sehingga dalam hal ini fil berada pada mahall jarr . Fil
yusabbibu yang berjeniskan mudzakkar harus disesuaikan dengan ism sebelumnya,
aml, yang berjeniskan muannats, sehingga harus dirubah menjadi tusabbibu. Secara
leksikal, kata aml tidak menunjukkan muannats, sebagaimana tanda muannats yang
nampak pada umumnya, namun demikian ia dikategorikan muannats karena merupakan
jam ghair qil.
Pada contoh (4) fil tidak memiliki posisi (l mahalla lah min al-irb). Meskipun
demikian hal ini dapat dibenarkan sebagaimana pada saat fil berstatus kebalikannya (lah
mahall min al-irb). Pada status memiliki posisi maupun tidak, fil tetap dipersyaratkan
memiliki kesesuaian dalam hal nau (dan juga adad) apabila memang memiliki keterkaitan,
baik keterkaitan dalam trkb isnd maupun lainnya seperti bayn pada contoh (4)
tersebut. Fil tattabi menjadi penjelas bagi susunan sebelumnya, yakni nukallif
al-syarah.

- Ketidaksesuaian antara ism dengan dhamr, terdapat kesalahan sebanyak 19


ungkapan, atau 6,1 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 4,3 %
dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun
morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi pada ketidaksesuaian ini
adalah :

(1) , seharusnya
222

(2) , seharusnya

Persesuaian dalam hal nau juga harus dipenuhi antara ism dengan dhamr yang
menggantikannya. Dalam hal ini dhamr dapat berupa munfashil, dan dapat pula berupa
muttashil. Dhamr berfungsi untuk menggantikan kata (ism dzhir) yang telah disebutkan di
muka sehingga kata tersebut tidak perlu disebutkan secara berulang karena cukup dengan
menggunakan kata gantinya saja sehingga kalimat menjadi lebih ringkas. Penggunaan
dhamr ini harus sesuai dengan ism dzhir yang digantikannya dalam hal nau (jenis) dan
juga adad (jumlah). Ketidaksesuaian dalam keduanya mengakibatkan kesalahan
sebagaimana pada dua contoh di atas.
Contoh (1) menunjukkan ketidaksesuaian nau antara ism dengan dhamr muttashil.
Ism yang digantikan dengan dhamr adalah marah yang merujuk kepada jenis
perempuan. Karena itu dhamr yang menggantikannya seharusnya berjenis perempuan juga.
Dhamr muttashil untuk perempuan tunggal adalah h, bukan h karena h"
digunakan untuk laki-laki tunggal. Pada contoh tersebut dhamr muttashil bersambungan
dengan hurf jarr yaitu lam , pada mahall jarr.
Sedangkan pada contoh (2), menunjukkan ketidaksesuaian antara ism dengan
dhamr munfashil. Kata tharqah al-aql menunjukkan kepada jenis perempuan, karena itu
apabila digantikan dengan dhamr maka yang sesuai dengannya adalah berjenis perempuan
juga. Pada contoh tersebut dhamr munfashil menduduki posisi rafa sehingga yang tepat
adalah "hiya" untuk menggantikan kata "tharqah al-aql" yang menunjukkan jenis
perempuan tunggal. Sedangkan dhamr yang dipergunakan oleh penutur pada contoh (2)
tersebut menunjukkan jenis laki-laki tunggal, karena itu huwa tidak tepat dan harus
diganti.

- Ketidaksesuaian antara ism maushl dengan id shilah , dalam hal ini terdapat
kesalahan sebanyak 6 ungkapan, atau 1,9 % dari kesalahan yang ada pada
aspek sintaksis, dan 1,4 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek
sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini
contohnya adalah :
223

, seharusnya

Bahasa Arab memang kaya dengan ragam konstruksi dan susunan baik dalam
kerangka frasa, klausa, maupun kalimat. Salah satu konstruksi itu adalah ism maushl
dengan shilah-nya. Adanya susunan ini berfungsi menjadi penjelas bagi kata sebelumnya,
atau bagi ism maushl itu sendiri yang tidak didahului oleh ism dzhir sebelumnya. Shilah
yang mengikuti ism maushl itulah menjadi penjelas bagi ism sebelumnya, karena itu ada
persyaratan yang terkait dengan konstruksi shilah. Persyaratan tersebut adalah keharusan
adanya rbith dalam shilah yang menghubungkan dengan ism maushl. Karena berfungsi
menghubungkan itulah maka shilah harus memiliki dhamr yang kembali ke maushl dan
dhamr ini dikenal dengan sebutan id.
Pada contoh di atas, ism maushl digunakan setelah ism dzhir sebagai penjelasnya.
Ism dzhir yang dimaksud adalah kata al-mani yang merupakan jam dari al-man.
Karena termasuk jam taksr maka ism maushl yang dapat dipakai adalah al-lat.
Demikian pula shilah yang digunakan setelah ism maushl harus memiliki rbith yang
dalam hal ini berupa dhamr id. Kata yakhruju menyimpan dhamr huwa untuk jenis
laki-laki tunggal yang berarti hal ini tidak sesuai dengan ism maushl al-lat. Karena
itulah maka harus diletakkan shilah yang menyimpan dhamr hiya sesuai dengan ism
maushl-nya, sehingga diganti menjadi takhruju.

- Ketidaksesuaian antara fil dengan fil, dalam hal ini ditemui kesalahan
sebanyak 31 ungkapan, atau 9,9 % dari kesalahan yang ada pada aspek
sintaksis, dan 7,0 % dari seluruh kesalahan aspek sintaksis maupun morfologi.
Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya
224

Berdasarkan jenis kata yang mengawali, sebuah kalimat dapat dibedakan atas dua
macam, yaitu ismiyyah dan filiyyah. Apabila yang mengawali suatu kalimat adalah ism
maka disebut jumlah ismiyyah, dan bila yang mengawalinya adalah fil maka disebut jumlah
filiyyah. Jumlah ismiyyah strukturnya terdiri dari mubtada dan khabar, sedangkan
filiyyah terdiri dari fil dan fil. Kedua struktur tersebut memiliki ketentuan yang sama
dalam hal kesesuaian nau, tetapi berbeda dalam kesesuaian adad. Antara fil (predikat)
dan fil (subyek) hanya dipersyaratkan adanya kesesuaian dalam nau (jenis).
Contoh (1) dan (2) sama-sama tidak memiliki kesesuaian nau antara fil dengan
fil-nya sebagaimana persyaratan dalam jumlah filiyyah. Pada contoh (1) kata ahad
sebagai fil menunjukkan jenis laki-laki, akan tetapi penutur menggunakan bentuk
muannats untuk fil-nya, tar. Kata tar adalah fil mudhri yang diawali dengan
huruf ta. Ta adalah hurf al-mudhraah sebagai penanda mudhri yang digunakan untuk
pelaku orang ke dua, atau orang ke tiga perempuan tunggal. Sedangkan untuk pelaku orang

ke tiga laki-laki adalah dengan huruf ya sehingga menjadi yar.


Pada contoh (2) kesesuaian nau tidak terdapat pada susunan ghba al-syams.
Kata al-syams termasuk muannats, sehingga fil-nya juga harus muannats. Kata ghba
adalah fil mdhi yang berjenis laki-laki. Untuk menunjukkan jenis perempuan agar sesuai
dengan fil-nya maka pada mdhi harus ditambahkan huruf ta sebagai penanda
muannats pada akhir mdhi. Ta tersebut adalah ta tants skinah untuk membedakan
dengan huruf ta lain yang juga dapat ditambahkan pada akhir mdhi, yaitu ta fil.
Kata ghba pun harus dirubah menjadi ghbat.

- Ketidaksesuaian antara nat dengan mant : terdapat kesalahan sebanyak 23


ungkapan, atau 7,2 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 5,2 %
dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun
morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

Apabila kita ingin memberikan sifat kepada sesuatu maka cukup dengan
menambahkan kata setelahnya. Kata inilah yang disebut dengan shifah atau nat, sedangkan
225

kata yang pertama disebut dengan mant, yang diberi sifat. Diantara keduanya diharuskan
adanya persesuaian dalam beberapa hal, salah satunya adalah nau. Apabila kata yang
disifati (kata pertama) berjeniskan mudzakkar maka kata sifat (kata berikutnya/yang ke dua)
juga harus mudzakkar, demikian pula jika kata pertamanya muannats, maka kata ke dua

juga harus muannats.


Pada contoh (1) kesesuaian tidak didapati antara kata al-usb dan
al-mdhiyah. Kata al-usb menunjukkan jenis mudzakkar, sedangkan al-mdhiyah
menujukkan bentuk muannats, padahal keduanya merupakan susunan nat dan mant yang
harus memiliki kesesuaian dalam nau. Secara leksikal (lafdziyyah) kata al-mdhiyah
menunjukkan muannats dari ciri adanya penambahan ta marbthah di akhir kata. Maka
supaya ada kesesuaian diantara keduanya, akhiran ta marbthah harus dihilangkan
sehingga menjadi al-mdhi. Penutur mungkin mengira bahwa kata al-usb adalah jam
taksr, sehingga dihukumkan sama dengan muannats mufrad. Karena secara maknawi
memiliki arti tujuh hari yang berarti menunjukkan jumlah lebih dari tiga. Dari makna inilah
penutur menyamakannya dengan muannats padahal sebenarnya dia adalah mudzakkar
karena secara lafdziyyah bentuknya adalah mufrad mudzakkar dan ia memiliki bentuk jam
taksr.
Kesalahan penutur dalam memastikan jenis suatu kata juga terjadi pada contoh (2).
Frasa al-wasikh al-maujdn menunjukkan hubungan nat-mant, namun ternyata
keduanya berbeda dalam jenis dan bilangan yang menjadi persyaratan susunan nat-mant.
Kata al-wsaikh merupakan jam ghair qil sehingga statusnya sama dengan muannats
mufrad. Karena itu kata setelahnya yang berfungsi sebagai mant seharusnya juga
muannats mufrad. Akan tetapi penutur membuat bentuk yang bukan muannats mufrad,
melainkan jam mudzakkar slim, yakni kata al-maujdn. Tanda jam mudzakkar slim
dapat diidentifikasi pada akhirannya yakni adanya tambahan wau dan nn. Seharusnya
penutur cukup dengan membuatnya dalam bentuk muannats mufrad saja. Karena untuk jam
ghair qil dapat diberikan nat dalam bentuk muannats mufrad.

- Ketidaksesuaian antara isyrah denggan musyr ilaih, terdapat kesalahan


sebanyak 20 ungkapan, atau 6,4 % dari kesalahan yang ada pada aspek
sintaksis, dan 4,5 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek
226

sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini


contohnya adalah :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

Konstruksi isyrah dan musyr ilaih juga mengharuskan adanya persesuaian dalam
nau. Konstruksi ini dapat terjadi melalui dua cara, yaitu berdiri sendiri dan bersambungan
dengan kata lain, yang berupa ism marifah dengan alif lam (). Pada saat berdiri sendiri
maupun bersambungan dengan ism marifah alif lam, isyrah dapat menempati dan
berkedudukan sebagaimana ism lain yang memiliki irb. Ketika pada posisi bersambungan
maka musyr ilaih berkedudukan sebagai badal. Dua contoh di atas menunjukkan macam
dua penggunaan tersebut. Sesuai dengan adanya persyaratan persesuaian dalam nau, maka
ism isyrah dibedakan atas jenis untuk kata-kata yang masuk dalam kelompok mudzakkar
dan untuk muannats.
Contoh (1) kesesuaian terkait dengan konstruksi mubtada khabar, di mana ism
isyrah berdiri sendiri sebagai mubtada. Ism isyrah yang digunakan oleh penutur
menunjukkan jenis mudzakkar, sedangkan khabar setelahnya menunjukkan muannats.
Dalam hal ini penutur harus jelas dan tepat, apakah ia akan menggunakan isyrah laki-laki
ataukah perempuan untuk mewakili ism dzhir yang sebelumnya sebagai musyr ilaih-nya.
Apabila yang dimaksud oleh penutur adalah ism dzhir berstatus mudzakkar maka penutur
sudah tepat dengan menggunakan hdz, dan yang salah adalah khabar-nya. Akan tetapi
apabila penutur bermaksud menggantikan kata berjenis muannats maka yang harus diganti
adalah isyrah-nya, dan khabar-nya sudah tepat.
Pada contoh (2) konstruksi isyrah dengan musyr ilaih-nya berupa badal dan
mubdal minhu, berbeda dengan contoh (1) sebelumnya yang berupa mubtada dan khabar.
Meskipun demikian, diantara keduanya sama-sama harus bersesuaian dalam nau. Kata
al-masalah yang berjenis muannats, oleh penutur diberikan isyrah hdz yang
sebenarnya untuk mudzakkar. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian dalam nau diantara
keduanya. Isyrah yang tepat adalah dalam bentuk muannats juga yaitu hdzih.
227

Seluruh ketidaksesuaian susunan-susunan di atas terkait dengan nau


(jenis). Nau menjadi permasalah tersendiri dalam belajar bahasa Arab sebagai B2

oleh pembelajar Indonesia. Dalam bahasa Arab, nau dapat diidentifikasi secara
gramatikal, artinya setiap kata dalam bahasa Arab dapat secara langsung
dikategorikan jenisnya, mudzakkar (laki laki) ataukah muannats (perempuan)
berdasarkan tulisan kata tersebut. Hal ini karena nau sudah inklusif dengan kata
tersebut melalui pengungkapan secara gramatikal, sehingga setiap kata, baik ism
(nomina) maupun fil (verba) pasti berjenis atau mengandung salah satu jenis
diantara mudzakkar dan muannats. Hal ini berbeda dengan bahasa Indonesia
sebagai B1 pembelajar Indonesia yang sebaliknya, di mana nau tidak inklusif

dalam kata. Untuk merujuk ke arah nau, maka dalam bahasa Indonesia harus
ditambahkan secara leksikal. Masing-masing bahasa memang memiliki
karakteristiknya sendiri, yang berbeda dengan bahasa lainnya. Dan hal ini bisa
menjadi salah satu permasalahan dalam pembelajaran B2 sehingga menyebabkan

jatuhnya pembelajar ke dalam kesalahan.


Belum lagi permasalahan yang terkait dengan dasar penentuan nau untuk
suatu kata, khususnya ism yang kadang tidak beraturan atau tidak konsisten.
Dalam bahasa Arab, secara umum terdapat tanda-tanda gramatikal yang
membedakan antara ism yang berjenis mudzakkar dan yang berjenis muannats,
seperti ta marbthah. Atau, dengan kata lain bahwa kata yang tidak memiliki
ta marbthah dikelompokkan ke dalam mudzakkar. Namun demikian, dalam
kenyataannya didapati pula ism yang tidak memiliki tanda ta marbuthah tetapi
digolongkan ke dalam kelompok muannats, seperti syams, dr, ain, dan
lain-lain. Hal-hal yang seperti ini juga dapat menimbulkan kesulitan, meski ada
yang disertai dengan kaidah-kaidah tertentu untuk pengelompokannya.
Hal berikutnya yang juga ikut menambah daftar kesulitan terkait dengan
nau ini adalah fungsi dan penggunaannya. Adanya penggolongan kata
228

berdasarkan nau ini sudah pasti memiliki tujuan penggunaan secara gramatikal,
seperti terkait dengan tujuan untuk menerangkan dua fenomena berbeda, yakni
acuan dhamr (kata ganti/pronomina) dan persesuaian shift (ajektifa). Bahkan ada
yang penerapannya tidak terbatas pada antara ism dan shift, melainkan juga
antara ism dan fil serta beberapa keterangan. Berbagai kesalahan yang ada di atas
menunjukkan beragamnya fungsi dan penggunaan yang timbul sebagai konsekuensi
dari adanya persesuaian nau.
Demikianlah, nau dalam bahasa Arab berimplikasi luas kepada
pemakaiannya secara sintaksis maupun morfologis. Adanya ketentuan persesuaian
nau dalam sintaksis mengakibatkan adanya proses morfologis kata untuk
penyesuaian dalam hal nau. Adanya persesuaian antara ism dengan fil
mengakibatkan fil berubah secara morfologis menyesuaikan jenisnya dengan ism
sebelumnya. Demikian pula persesuaian antara ism maushl dengan id
shilah-nya, antara fil dengan fil-nya, nat dengan mant, dan isyrah dengan
musyr ilaih. Semua konstruksi di atas mensyaratkan adanya persesuaian dalam
hal nau.
Kesemua hal di atas menunjukkan luasnya pengaruh adanya nau dalam
bahasa Arab yang berimplikasi terhadap sistem sintaksis maupun morfologisnya.
Pembelajar Indonesia yang tidak menemukan hal seperti ini dalam B1nya, sedikit

kerepotan untuk secara konsisten menguasainya dalam waktu singkat. Karena itu
diperlukan latihan-latihan dan perhatian yang lebih maksimal agar tidak sering
jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan. Beberapa contoh kesalahan di atas
menunjukkan bahwa memang adanya nau berpotensi menyebabkan kesalahan
karena berbedanya sistem B1 pembelajar dengan B2 yang sedang dipelajari.

Perbedaan ini harus disikapi secara bijaksana melalui upaya-upaya akademik


sehingga ditemukan jalan keluar yang maksimal untuk menghindarkan pembelajar
dari kesalahan-kesalahan seperti tersebut di atas.
229

Melihat kenyataan di atas, sebenarnya kesalahan yang terjadi banyak


disebabkan oleh kesalahan menghipotesiskan konsep. Bahasa Indonesia yang tidak
memiliki konsep nau sebenarnya ada positifnya, karena pembelajar menjadi tidak
terganggu dengan perbedaan konsep (seandainya ada dan kemudian berbeda) yang
ada diantara kedua bahasa. Akan tetapi mengingat beragam kaidah yang berlaku
dalam beberapa konstruksi yang timbul sebagai akibat adanya konsep nau ini,
menjadikan pembelajar lebih kompleks dalam memahaminya untuk kemudian
menerapkannya secara konsisten. Kesalahan akibat kekeliruan dalam
menghipotesiskan konsep, terjadi apabila pembelajar memiliki pemahaman yang
tidak lengkap terhadap pembedaan-pembedaan di dalam B2 yang dipelajarinya.

Kesalahan menghipotesiskan konsep ini berawal dari banyaknya


batasan-batasan yang dipakai dalam penggolongan kelompok mudzakkar dan
kelompok muannats. Belum lagi berbedanya penanda muannats untuk ism yang
berbeda dengan fil. Bahkan pada ism sendiri terdapat banyak penanda muannats
yang dapat dikenali untuk membedakannya dengan mudzakkar. Demikian juga,
masih banyak ditemukan aturan-aturan terkait dengan tata cara pembentukan
mudzakkar dan muannats sehingga pembelajar harus memaksimalkan memorinya
untuk secara konsisten menguasainya, seperti pembentukannya pada ism shift.
Adanya pengecualian-pengecualian juga berpotensi dan memberikan
kontribusi kepada munculnya kesalahan-kesalahan dalam menghipotesiskan
konsep. Sebagai contoh adalah penggolongan mudzakar dan muannats
berdasarkan penanda ta marbthah. Menurut ketentuan ini, bahwa kata yang
tidak memiliki tanda tersebut digolongkan muannats, akan tetapi dalam
kenyataannya dijumpai hal yang bertolak belakang, di mana kata yang tidak
memiliki ta marbthah ternyata dikelompokkan ke dalam muannats, seperti
syams, dr, dan lain-lain. Untuk itu diperlukan strategi-strategi yang lebih
tepat dalam pengajaran ataupun mempelajari bahasa Arab agar membantu dan
230

memudahkan dalam memahami konsep nau sehingga menjadi lebih sederhana dan
mudah diingat namun tetap dapat mencakup semua keberagaman
ketentuan-ketentuan di atas.

c. Persesuaian dalam tayn (tanda penjelas), jumlah kesalahan pada kelompok ini
sebanyak 13 ungkapan atau 4,2 % dari kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis
dan 2,9 % dari jumlah keseluruhan kesalahan yang terjadi. Kesalahan yang terkait
dengan persesuaian dalam hal tayn ini hanya terjadi pada penggunaan bentuk
nakirah pada mant yang nat-nya marifah. Sedangkan untuk yang sebaliknya,
yaitu penggunaan bentuk marifah pada mant yang nat-nya nakirah tidak
ditemukan adanya kesalahan.
Diantara kesalahan penggunaan mant berbentuk nakirah dan nat berbentuk
marifah, contohnya adalah :

, seharusnya

Diantara konstruksi yang paling sering banyak dipakai adalah frasa nat (nat dan
mant). Musthaf al-Ghalayain menamakannya dengan tarkb washf dan merupakan bagian
dari tarkb bayn. Dalam konstruksi ini disyaratkan adanya kesesuaian dalam beberapa hal,
yaitu nau (mudzakkar-muannats), irb (marf, manshb, majrr), tayn (nakirah-marifah),
dan adad (mufrad, mutsann, jam). Terkait dengan persesuaian dalam tayn, frasa nat dapat
disusun dari dua kata yang sama-sama nakirah atau sama marifah-nya.
Pada contoh di atas, ketidaksesuaian terjadi antara kata asm dan al-husn. Kata
pertama berstatus nakirah, sedangkan kata ke dua marifah. Pola yang demikian ini biasanya
untuk frasa idhf, yang terdiri atas mudhf dan mudhf ilaih. Dalam bahasa Arab keduanya
memiliki perbedaan ketentuan dan juga pemaknaan. Susunan dua kata tersebut lebih tepat dibuat
dengan frasa nat dan bukan idhf meskipun sama-sama terdiri dari dua kata. Hal ini karena
frasa idhf sebenarnya menyimpan hurf al-jarr sebagai penafsiran susunan dua kata tersebut.
Sedangkan pada frasa nat tidak ada penafsiran menggunakan hurf al-jarr karena yang
dimaksudkan dengan susunan tersebut adalah hubungan ajektifa (keterangan). Karena itulah
231

keduanya harus memiliki kesesuaian dalam tayn dengan merubah kata pertama menjadi
marifah, al-asm.
Kesalahan-kesalahan yang muncul dalam susunan nat dengan mant semuanya berupa
ketidaksesuaian dalam tarf, yakni penutur membuat mant (kata pertama/yang diterangkan)
dalam bentuk nakirah sedangkan nat (kata kedua/yang menerangkan kata pertama) berbentuk
marifah, dan tidak ditemukan kesalahan yang bersusunan sebaliknya. Nampaknya hal ini lebih
dipengaruhi oleh susunan yang sama dalam B1 pembelajar, yakni bahasa Indonesia. Tidak

sedikit ungkapan bahasa Arab yang bersusunan frasa nat menjadi milik masyarakat Indonesia,
karena digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari. Namun demikian, ungkapan tersebut sudah
mengalami perubahan karena disesuaikan dengan struktur dan kemudahan pelafalan masyarakat
Indonesia, seperti penghilangan al tarf dalam berbagai ungkapan, contohnya al-akhlq
al-karmah, al-asm al-husn, menjadi akhlakul-karimah, asmaul-husna, dll. Hal yang
demikian ini kemudian memberikan pengaruh kepada pembelajar bahasa Arab yang kemudian
menerapkannya dalam susunan bahasa Arab yang sesungguhnya, sehingga kesalahan yang
muncul adalah penghilangan al pada kata pertama.

2. Irb, jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 101 ungkapan atau 32,3 %
dari kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis dan 22,9 % dari jumlah
keseluruhan kesalahan yang terjadi, yakni baik dalam aspek sintaksis maupun
morfologi. Kesalahan dalam irb ini terbagi atas dua kelompok, yakni irb pada
ism dan irb pada fil.
- Kesalahan dalam irb ism , yang dapat dibagi lagi menjadi kesalahan pada
irb rafa, nashab, dan jarr. Kesalahan pada irb rafa mencapai 18
ungkapan atau 5,8 % dari kesalahan pada aspek sintaksis dan 4,1 % dari
seluruh kesalahan sintaksis dan morfologi. Kesalahan pada irb nashab
mencapai 56 ungkapan atau 17,9 % dari kesalahan pada aspek sintaksis dan
12,7 % dari seluruh kesalahan sintaksis dan morfologi. Dan kesalahan pada
irb jarr mencapai 24 ungkapan atau 7,7 % dari kesalahan pada aspek
sintaksis dan 5,4 % dari seluruh kesalahan sintaksis dan morfologi.
Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi pada irb ini contohnya adalah :
232

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

(3) , seharusnya

(4) , seharusnya

Irb yang merupakan salah satu ciri khas pada bahasa Arab berupa perubahan
akhir kata disebabkan oleh adanya mil (sesuatu yang mempengaruhi struktur kalimat)
yang masuk/mendahului kata tersebut. Perubahan (irb) pada ism ada tiga macam, yaitu
rafa nashab, dan jarr. Contoh (1), (2), dan (3) irb berupa harakat, masing-masing rafa
dengan dlammah, nashab dengan fathah, dan jarr dengan kasrah. sedangkan pada contoh
(4) irb rafa berupa huruf, yaitu wau sebagai ganti dlammah.
Pada contoh (1) kata umm berkedudukan sebagai fil (subyek) sehingga harus
dibaca marf (diberi irb rafa) dengan tanda dlammah karena ia termasuk ism mufrad
(berbilangan tunggal). Tetapi penutur memberi tanda kasrah yang sebenarnya tanda tersebut
adalah untuk irb jarr. Karena itulah maka kesalahan ada pemberian tanda irb sehingga
harus diganti dengan dlammah. Pada contoh (2), kata al-afwa berkedudukan sebagai
mafl bih sehingga harus dibaca manshb dengan fathah, karena termasuk ism mufrad.
Pada contoh (3), kata ruyah berkedudukan sebagai mudhf ilaih sehingga harus dibaca
majrr dengan tanda kasrah karena ia termasuk ism mufrad. Sedangkan pada contoh (4),
pemberian irb tidak menggunakan harakah tetapi hurf. Kata akhn yang
berkedudukan sebagai fil seharusnya diberikan tanda irb huruf wau, karena huruf ya

adalah tanda irb jarr dan nashab.

- Kesalahan dalam irb fil, dalam hal ini terdapat kesalahan sebanyak 3
ungkapan, atau 1 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 0,7 %
dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun
morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi adalah :

(1) , seharusnya
233

(2) , seharusnya

Irb yang terdapat pada fil meliputi rafa, nashab, dan jazm. Namun, yang
berstatus murab hanyalah fil mudhri. Sedangkan mdhi dan amr statusnya mabn. Pada
dasarnya, mudhri selalu marf, kecuali jika ada mil yang menyebabkannya menjadi
manshb, atau majzm, sebagaimana contoh (1) dan (2). Pada contoh (1) mudhri menjadi
nashab karena didahului oleh nawshib (mil / huruf-huruf yang menyebabkan mudhri
menjadi manshb) yaitu hatt. Karena itulah yang asalnya marf (dengan tanda
dlammah) berubah menjadi manshb (ditandai dengan fathah). Sedangkan pada contoh (2)
menjadi majzm karena didahului oleh jawzim (mil / huruf-huruf yang menyebabkan
mudhri menjadi majzm) yaitu lam. Dengan demikian kata yunkiru seharusnya
diberikan tanda irb jazm yaitu sukun karena mudhri tersebut tidak termasuk kelompok
al-afl al-khamsah .
Sistem irb yang menimbulkan kesalahan sebagaimana contoh di atas, berlaku
untuk semua kata-kata dalam bahasa Arab, kecuali yang masuk kepada kelompok mabn.
Adanya irb berupa pemberian tanda pada akhir kata dengan harakah atau hurf termasuk
hal yang membuat rumit dalam penguasaan bahasa Arab, mengingat beragamnya tanda dan
amil yang menjadi penyebab perubahan irb tersebut. Belum lagi pengetahuan pembelajar
harus terbagi dengan mengingat dan memahami hal-hal yang terkait dengan mabn agar
tidak salah dalam menerapkan tanda irb dan tidak bercampur dalam penggunaan tanda
tersebut, karena mabn juga memiliki tanda tersendiri.
Perbedaan sistem B2 dengan B1 pembelajar yang tidak mengenal irb menambah

kesulitan dalam penguasaannya. Perubahan akhir suatu kata akibat perubahan fungsi atau
posisinya dalam kalimat baik melalui perubahan fonem (harakah) kata maupun perubahan
bentuk kata tidak dikenal oleh pembelajar dalam B1nya yakni bahasa Indonesia. Kata dalam

bahasa Indonesia selamanya akan tetap dalam bentuk penulisan dan pengucapannya
dimanapun dia berada. Hal ini berbeda dengan bahasa Arab di mana posisi suatu kata
mempengaruhi keadaan akhir kata tersebut. Karena itulah pada ism didapat tiga macam
keadaan yaitu marf, manshb, dan majrr. Demikan pula terdapat posisi-posisi kapan ism
harus dibaca marf, manshb, dan majrr sehingga muncul kelompok-kelompok marft
al-asm, manshbt al-asm dan majrrt al-asm. Belum lagi untuk kelompok fil
234

sehingga hal ini menambah panjang materi pengajaran yang harus dikuasai oleh pembelajar.

3. Kaidah khusus, yakni kesalahan yang terkait dengan tidak diketahuinya


kaidah-kaidah bahasa yang bersifat langka. Hal ini seperti kaidah dalam
penyusunan adad madd (bilangan dan benda terbilang). Jumlah kesalahan pada
kelompok ini sebanyak 11 ungkapan atau 3,5 % dari kesalahan yang terjadi pada
aspek sintaksis dan 2,5 % dari jumlah keseluruhan kesalahan yang terjadi.
Kesalahan yang terkait dengan kaidah khusus ini terbagi atas tiga macam, yaitu
kesalahan dalam konstruksi adad, kesalahan karena membuat dua atau lebih fil
untuk satu fil, dan kesalahan karena membuat mudhf dalam bentuk marifah.
- Kesalahan pada konstruksi adad, terdapat kesalahan sebanyak 3 ungkapan,
atau 1 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 0,7 % dari seluruh
kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara
kesalahan-kesalahan yang terjadi pada kelompok ini adalah :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

(3) , seharusnya

Adad-madd (bilangan dan benda yang terbilang) memiliki kaidah sendiri yang
terdiri dari beberapa macam susunan. Muminin menyimpulkan ada lima macam pola
susunan, yaitu adad mufrad, adad murakkab, adad mathf, adad mudhf, dan adad
uqd. Masing-masing pola penyusunan tersebut memiliki kaidah yang berbeda satu dengan
lainnya berdasarkan konstruksi yang digunakan. Dengan demikian penyusunan
masing-masing konstruksi harus memperhatikan ketentuan yang berlaku.
Kesalahan-kesalahan di atas memiliki konstruksi yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Pada kesalahan (1) pola susunannya mengikuti adad murakkab yang berlaku
235

untuk hitungan sebelas hingga sembilan belas. Pada pola ini madd harus diposisikan
sebagai tamyz dalam bentuk mufrad-nya. Namun penutur menggunakan bentuk jam taksr,
yakni masil, yang sebenarnya digunakan untuk adad mufrad, hitungan antara tiga
hingga sembilan, karena itu kata tersebut seharusnya dirubah menjadi mufrad manshb
dalam posisi tamyz, yakni masalah. Kesalahan juga ada pada nau adad yang dipakai,
yakni itsn asyara yang seharusnya mengikuti nau dari madd yang berbentuk
muannats karena masih dalam satuan antara satu hingga dua, sehingga adad tersebut diatas
harus dirubah menjadi itsnat asyarata.
Kesalahan (2) dan (3) termasuk ke dalam pola adad mufrad yang memiliki
ketentuan berkebalikan dalam hal nau antara adad dengan madd. Pada pola ini madd
didatangkan dalam bentuk jam, sesuai dengan ketentuan bentukannya, jam mudzakkar
slim, jam muannats slim, atau jam taksr. Pada ungkapan di atas, penutur sudah tepat
mendatangkan bentuk jam, akan tetapi kesalahan ada pada bentukan adad yang harus
berkebalikan dalam nau dengan madd. Artinya, bila madd berupa mudzakkar maka
adad harus muannats, dan sebaliknya. Maka pada no (2) kata bant yang muannats
seharusnya diberikan adad dalam bentuk mudzakkar yakni tsalts, bukan tsaltsah.
Pada kesalahan no (3) pola adad madd mengikuti susunan nat mant, yang
dengan demikian harus mengikuti ketentuan susunan tersebut, yakni kesesuaian dalam nau.
Penutur mendatangkan nat dalam bentuk mudzakkar, al-tsalatsah padahal mant yakni
al-martib adalah muannats. Sepintas hal ini memang kelihatan tepat, akan tetapi adad
yang mudzakkar berkebalikan dengan ciri muannats sebagaimana biasanya yang berakhiran
ta marbthah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa adad yang menunjukkan
bilangan di atas tiga untuk semua satuan tingkatan (belasan maupun puluhan) memiliki ciri
berkebalikan dalam nau. Karena itu penutur seharusnya menggunakan kata al-tsalts.

- Kesalahan dalam membuat dua fil atau lebih untuk satu fil, terdapat
kesalahan sebanyak 1 ungkapan, atau 0,3 % dari kesalahan yang ada pada
aspek sintaksis, dan 0,2 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek
sintaksis maupun morfologi. Kesalahan tersebut adalah :

, seharusnya
236

Konstruksi kalimat (jumlah/kalm) dalam bahasa Arab ada dua macam, pertama
dimulai dengan ism dan ke dua dimulai dengan fil. Yang pertama disebut dengan jumlah
ismiyyah dan yang ke dua disebut dengan jumlah filiyyah. Ismiyyah berupa susunan yang
berpola mubtada khabar. Khabar dapat berupa ism dan dapat pula berupa fil. Bila berupa
fil maka harus sesuai dengan mubtada dalam hal nau (jenis/mudzakkar-muannats) dan
adad (jumlah / mufrad, mutsann, jam). Sedangkan dalam pembentukan jumlah filiyyah
yang diawali dengan fil berlaku ketentuan persesuaian antara fil dengan fil dalam hal

nau saja, tidak dalam adad.


Penulis memasukkan kesalahan di atas pada kelompok kaidah khusus meskipun
bisa dimasukkan dalam kelompok kesalahan kesesuaian adad, karena penutur
menghadirkan fil (mudhri) mutsann untuk fil mutsann. Penulis menduga bahwa
sebenarnya penutur ingin menghadirkan dua subyek (fil) sehingga dibuatlah fil yang
mutsann. Akan tetapi penutur kurang tepat menggunakan konstruksi yang ingin dipakai,
jumlah ismiyyah ataukah filiyyah. Dugaan penulis, penutur ingin menggunakan filiyyah
karena dihadirkan fil mudhri yang mutsann. Karena itu susunan yang digunakan
semestinya fil mufrad dengan perubahan konstruksi sebagaimana tertulis dalam
pembetulan.
- Kesalahan dalam bab idhfah , yakni membuat mudhf dalam bentuk marifah
yang seharusnya berbentuk nakirah. Terdapat kesalahan sebanyak 7 ungkapan,
atau 2,2 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 1,6 % dari
seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi.
Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

Frasa idhf berupa gabungan dua kata ism yang memiliki hubungan atributif, yakni
kata ke dua merupakan atribut kata pertama (sebagai unsur pusat). Dalam bahasa Arab,
frasa terbagi atas beberapa macam fungsi, yakni fungsi atributif, koordinatif, dan apositif.
237

Frasa idhf memiliki ketentuan berupa kata pertama harus nakirah, sedangkan untuk kata
ke dua dapat berupa nakirah dan dapat pula marifah dengan alif lam ( ).
Dengan ketentuan tersebut maka contoh (1) pada kata haqquh yang marifah
harus dirubah menjadi nakirah yakni haqq. Kata haqquh sebenarnya merupakan frasa
idhfi antara ism haqq dengan dhamr muttashil h, sehingga menjadikannya marifah
dan tidak tepat digunakan untuk mudhf. Sedangkan pada contoh (2) meskipun sama
kesalahannya dengan contoh (1), yakni mudhf berupa marifah, akan tetapi berbeda dalam
pembentukan marifah-nya. Kata al-qiym (yang tepat adalah iqmah, bukan qiym, di
sini terdapat kesalahan isytiqq juga) sebagai mudhf dibentuk menjadi marifah dengan
penambahan alif lam di awalnya. Karena itu pembetulannya dengan cara menghilangkan
alif lam penanda marifah tersebut menjadi iqmah.

Kesalahan-kesalahan yang terkait dengan kaidah khusus lebih disebabkan oleh


generalisasi yang salah. Dalam hal ini pembelajar berupaya menciptakan kaidah berdasarkan
pengalamannya mengenai struktur-struktur lain dalam B2. Penciptaan inilah yang pada akhirnya

memunculkan penyimpangan-penyimpangan melalui upaya generalisasi berupa penggunaan


strategi-strategi atau siasat-siasat yang telah tersedia sebelumnya di dalam situasi-situasi yang
baru. Melalui pengalamannya, pembelajar mengambil kesimpulan-kesimpulan dengan
melakukan generalisasi kaidah-kaidah yang telah diterimanya berdasarkan fakta-fakta yang telah
dipelajarinya. Namun pada kesempatan lain, upaya generalisasinya yang hanya mendasarkan
pada kesamaan-kesamaan aspek luar, berakibat menyesatkan dan tidak dapat diterapkan,
sehingga membawanya kepada berbuat penyimpangan-penyimpangan dalam berbahasa.
Pada jenis kesalahan pertama, kesalahan konstruksi adad, kesalahan disebabkan oleh
ketidaksesuaian nau antara adad dengan madd. Sebagaimana ism lainnya, adad juga ada
yang mudzakkar dan muannats, dari sinilah awal mula munculnya kesalahan. Dalam aturannya,
untuk madd mudzakkar digunakan adad mudzakkar yang memiliki tanda muannats yakni
ta marbthah, dan demikian pula sebaliknya. Hal yang demikian ini terkadang
membingungkan bagi pembelajar yang belum mantap pengetahuannya. Sehingga ketika
dihadapkan pada susunan adad madd terkadang tidak selalu dapat menerapkannya dengan
tepat.
Demikian pula pada jenis kesalahan ke dua, membuat dua fil atau lebih untuk satu
fil. Pembelajar membuat generalisasi yang salah untuk jumlah filiyyah, dengan mengambil
238

analogi dari jumlah ismiyyah. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam jumlah ismiyyah diharuskan

adanya kesesuaian dalam adad (selain dalam hal nau), pembelajar kemudian menganalogikan
hal ini ke dalam jumlah filiyyah yang sebenarnya hanya disyaratkan memiliki kesesuaian dalam
nau saja. Pembelajar melakukan kesalahan dengan membuat fil yang mengandung adad
sejumlah adad yang ada pada fil.
Pada jenis kesalahan ke tiga, yakni membuat mudhf dalam bentuk marifah yang
seharusnya berbentuk nakirah, pembelajar menganalogikan dengan frasa nati, susunan nat
mant yang memang dipersyaratkan adanya kesamaan dalam tayn, yakni kesesuaian dalam
marifah atau nakirah. Hal ini tidak berlaku intuk frasa idhf, susunan mudhf-mudhf ilaih, di
mana kata pertama harus nakirah. Pada kesalahan di atas, pembelajar menerapkan ketentuan
yang berlaku pada frasa nat kepada frasa idhf melalui generalisasi dengan menyamaratakan
ketentuan yang ada pada kedua frasa tersebut.

4. Struktur , jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 44 ungkapan atau 14,1 %
dari kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis dan 10 % dari jumlah keseluruhan
kesalahan yang terjadi. Kesalahan dalam struktur ini dapat berupa penambahan
kata, penghilangan kata, dan susunan yang lemah.
- Menambah kata dalam kalimat, terdapat kesalahan sebanyak 20 ungkapan, atau
6,4 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 4,5 % dari seluruh
kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara
kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

(3) , seharusnya

Pada contoh (1) terjadi penumpukan ism maushl yaitu al-ladz dan m. Dalam
bahasa Arab terdapat dua macam ism maushl, yang khsh (khusus) dan musytarak (umum).
Ism maushl yang khsh mengandung konsekuensi penyesuaian dalam nau dan adad
sesuai dengan yang diinginkan penggunanya. Sedangkan ism maushl yang musytarak
239

diberlakukan tanpa melihat nau dan adad. Pada contoh di atas, penutur menggunakan dua
macam ism maushl tersebut secara beriringan sehingga hal ini perlu dibuang salah satunya.
Membandingkan dua macam ism maushl yang digunakan tersebut, nampaknya yang harus
digunakan adalah ism maushl yang musytarak yakni m, karena ia mencakup kepada
semua hal yang terkait dengan pengertian sunnah sebagaimana diinginkan penutur.
Contoh (2) menunjukkan kekurangtepatan penutur dalam menggunakan ism
maushl yang seharusnya tidak disertakan. Kata aml yang nakirah tidak perlu
menggunakan ism maushl, dan cukup langsung bersambung dengan jumlah setelahnya,
sebagai nat. Karena dengan langsung ke jumlah setelahnya telah menunjukkan hubungan
keterangan, sehingga tidak perlu ditambahkan ism maushl yang juga menjadi penjelas
(keterangan). Sedangkan pada contoh (3) terdapat penambahan m maushl yang diikuti
dengan ism shifah (berupa ism fil). Seharusnya, penutur tidak perlu menambahkan m
karena ism shifah setelahnya sudah cukup memenuhi makna yang diinginkan oleh penutur.

- Menghilangkan kata dalam kalimat, terdapat kesalahan sebanyak 16 ungkapan,


atau 5,1 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 3,6 % dari
seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi.
Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

Contoh (1) penutur menghilangkan ism maushl yang seharusnya


dihadirkan setelah ism marifah. Sebagaimana tujuannya, ism maushl
dihadirkan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap ism yang telah
disebutkan sebelumnya melalui penambahan jumlah yang disebut dengan
shilah al-maushl. Sedangkan pada contoh (2) terjadi penghilangan huruf
nashab yakni an yang berfungsi mejadikan fil setelahnya berfungsi
sebagaimana bentuk mashdar-nya. Pada contoh (2) ini terdapat dzarf
240

(kata-kata yang digunakan untuk menunjukkan keterangan waktu ataupun


tempat) bada. Kata ini selalu dalam pola mudhf-mudhf ilaih, sehingga
kata setelahnya jika berupa fil harus di-tawl mashdar. Fil mudhri ath
dapat di-tawil mashdar dengan cara menambahkan huruf an mashdariyyah
yang berakibat menjadikan mudhri tersebut manshb.

- Struktur yang lemah, yakni kelemahan dalam uslb / rangkaian kata. Yang
dikategorikan dalam kesalahan ini adalah apabila ditemukan lebih dari satu
kesalahan struktur dalam satu kalimat. Dalam hal ini terdapat kesalahan
sebanyak 8 ungkapan, atau 2,6 % dari kesalahan yang ada pada aspek
sintaksis, dan 1,8 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek
sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi pada
kelompok ini contohnya adalah :

(1) , seharusnya

(2) , seharusnya

Pada dua contoh di atas, penutur membuat susunan yang tumpang


tindih dan tidak beraturan, karena menerapkan urutan yang ada pada B1nya.

Contoh (1) menujukkan bahwa sebenarnya penutur membuat jumlah ism


maushl dengan shilah-nya yang menggunakan jumlah ismiyyah. Shilah
dengan jumlah ismiyyah pada no (1) di atas sebenarnya dapat disederhanakan
dengan menggunakan filnya, sehingga menjadi lebih ringkas dan mudah
dipahami. Demikian juga pada contoh (2), terdapat banyak susunan yang tidak
tertib urutan. Kata awmir wa al-nawh min Allah dapat disederhanakan
241

menjadi awmir Allah wa nawhh. Struktur yang pertama tidak memenuhi


kaidah mudhf-mudhf ilaih dan penggunaan dhamr.

Kesalahan-kesalahan di atas termasuk dalam kategori strategi lahiriah/siasat


permukaan. Kesalahan dalam kelompok ini merupakan sisi pandang analisis
kesalahan dari prespektif perubahan-perubahan yang nampak pada struktur bahasa.
Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah cara-cara yang terjadi dan digunakan
oleh pembelajar dalam berbahasa. Cara-cara yang dimaksud tersebut dapat berupa
penghilangan, penambahan, salah formasi atau salah susun.
Kesalahan jenis pertama, menambah kata dalam kalimat, berupa munculnya
suatu butir yang seharusnya tidak ada dalam sebuah ungkapan. Kesalahan berupa
penambahan ini dapat dikatakan sebagai akibat dari pemakaian kaidah-kaidah
bahasa yang terlalu teliti, terlalu hati-hati, meski sebenarnya hal itu malah
menyebabkan penambahan butiran-butiran yang seharusnya tidak diperlukan
kehadirannya. Dari sini dapat diperkirakan bahwa kesalahan penambahan ini
banyak dilakukan oleh pembelajar B2 yang telah banyak menerima kaidah-kaidah

bahasa. Contoh-contoh kesalahan di atas menunjukkan adanya gejala tersebut, di


mana penutur pada contoh (1) meletakkan dua ism maushl yakni al-ladzi dan
m ; (2) menambahkan ism maushl ; dan (3) menambahkan m maushl.
Contoh-contoh tersebut sekaligus menunjukkan indikasi telah banyaknya kaidah
yang telah dipelajari oleh penutur.
Dugaan bahwa kesalahan-kesalahan yang ada pada jenis penambahan ini
terjadi pada pembelajar B2 yang telah banyak menerima kaidah bahasa, dapat

dilihat dari tipe-tipe kesalahan yang ada. Tarigan menyatakan bahwa dalam
kesalahan penambahan ini terdapat tiga tipe, yakni penandagandaan, regularisasi,
dan penambahan sederhana. Penandaan ganda, yang dimaksud adalah penambahan
yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai kegagalan menghilangkan beberapa
242

unsur, yang dalam sebuah konstruksi linguistik diperlukan, namun pada konstruksi
lain tidak perlu dihilangkan. Hal ini seperti terlihat pada contoh (1) di atas, di mana
penutur meletakkan al-ladz dan m, yang keduanya sama-sama ism maushl.

Kedua, regularisasi, berupa upaya pembelajar menerapkan aturan-aturan


tertentu yang sebenarnya menjadi sebuah ketentuan umum, akan tetapi pada
kenyataannya tidaklah selalu demikian. Ketika sebuah aturan berlaku untuk hampir
semua konstruksi linguistik, maka hal ini menjadi sebuah gejala regular yang
bersifat umum. Artinya, bahwa terdapat hal-hal yang tidak dapat diberlakukan
sebagaimana aturan-aturan yang sudah baku. Dalam posisi seperti ini, pembelajar
terkadang mengikuti begitu saja aturan regular ini sehingga menimbulkan
kesalahan berbahasa. Contoh (2) berupa menambahkan al-ladz setelah ism
nakirah yang sebenarnya hal ini tidak diperlukan karena telah tercukupi oleh fil
setelahnya.
Ketiga, penambahan sederhana, salah satu sub kategori kesalahan jenis
penambahan. Kelompok ini dapat dikatakan sebagai penampungan terhadap jenis
kesalahan-kesalahan yang tidak dimasukkan dalam kelompok penandaan ganda
maupun regularisasi. Maka dalam hal ini tidaklah dapat dikemukakan ciri-ciri
khusus sebagai penanda kelompok kesalahan ini, selain ciri secara umum yang
berupa penyimpangan atas penggunaan unsur yang tidak terdapat pada ujaran atau
ucapan yang benar. Contoh (3) menunjukkan gejala ini, di mana m maushl
yang ditambahkan mengiringi ism shifh menjadi tidak ada fungsinya.
Kesalahan kelompok kedua, menghilangkan kata dalam kalimat, adalah
apabila terdapat ketiadaan suatu butir yang seharusnya ada dalam sebuah ucapan.
Memang dapat dipahami bahwa setiap kata dalam suatu kalimat memiliki potensi
untuk penghilangan. Akan tetapi terdapat beberapa kata yang justeru lebih sering
dihilangkan daripada yang lainnya. Dalam praktiknya, pembelajar seringkali
243

menghilangkan unsur morfem gramatikal, kata tugas, dibandingkan morfem penuh.


Dalam bahasa Arab morfem gramatikal yang dimaksud adalah yang masuk
kelompok hurf, bukan ism maupun fil. Namun demikian terdapat juga ism yang
masuk dalam kelompok yang berpotensi kehilangan ini, seperti ism maushl pada
contoh (2) di atas. Penghilangan morfem gramatikal seperti hurf ini memang
sering kali tidak memberikan pengaruh dalam pemaknaan, namun demikian hal ini
akan dapat mengganggu harmonisasi kalimat apabila dipraktikkan dalam bahasa
tulis. Kesalahan berbahasa yang berwujud penghilangan ini sering kali terjadi pada
masa awal tahap pemerolehan B2.

Yang ketiga adalah adalah salah formasi atau salah susun. Sebagaimana
penamaannya, salah susun merupakan salah letak, ditandai oleh penempatan yang

tidak benar bagi suatu kata atau susunan kata (frasa/klausa) dalam suatu kalimat.
Dengan demikian salah susun adalah kesalahan letak, atau penempatan sebuah kata

atau kelompok kata yang tidak tepat. Salah letak ini berupa pertukaran tempat
yang semestinya di belakang ternyata diletakkan di depan, dan sebaliknya. Kedua
contoh di atas, pada kelompok kesalahan struktur yang lemah, memperlihatkan
jenis kesalahan salah susun ini di mana penutur pada contoh (1) membuat frasa
shilah maushl dalam bentuk jumlah ismiyyah dengan pengulangan kata
sebelumnya yang menjadikannya tidak efisien, sehingga perlu dirubah ke bentuk
jumlah filiyyah. Demikian juga pada contoh (2) pembentukan jrr majrr yang
dapat disingkat melalui frasa idhf. Pembentukan frasa idhf dirasakan lebih tepat
dibandingkan dengan pola jrr majrr.

d. Penyebab Kesalahan Sintaksis


Salah satu tahapan yang terpenting dalam prosedur analisis kesalahan adalah
melakukan pemeringkatan kesalahan, dengan cara mengurutkan atau membuat
prosentase berdasarkan frekuensi terjadinya kesalahan-kesalahan. Tahapan ini penting
244

untuk mengetahui kesalahan pada aspek apa saja yang memiliki frekuensi paling sering
terjadi. Dari sini pula nantinya dapat diidentifikasi penyebab kesalahan yang terjadi
pada aspek sintaksis. Karena itu pembahasannya meliputi frekuensi kesalahan dan
faktor-faktor yang menjadi penyebab kesalahan.
3. Frekuensi Kesalahan Sintaksis
Data rekaman kegiatan belajar mahasiswa yang berupa diskusi mata kuliah
ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu agama merupakan jawaban atas masalah-masalah
dalam penelitian ini. Hasilnya berupa kalimat-kalimat yang memberikan gambaran
tentang kesalahan berbicara dan penguasaan bahasa Arab mereka, khususnya
penguasaan sintaksis (nahw). Data lengkap kesalahan baik dalam rangkuman
prosentase maupun transkrip kalimat disajikan dalam lampiran II.
Berdasarkan lampiran I yang memuat prosentase kesalahan gramatika dalam
bahasa tutur mahasiswa, diketahui bahwa dalam berbahasa tutur yang berupa kegiatan
diskusi selama berlangsungnya perkuliahan, mahasiswa membuat kesalahan-kesalahan
dalam aspek sintaksis sebagai berikut :
Jumlah seluruh kesalahan sintaksis adalah sebanyak 313 dari total seluruh
kesalahan yang ada, atau sebesar 71 %, yang terdiri atas :
(1) Kesalahan dalam persesuaian adad : 17 (5,4 % kesalahan sintaksis, atau 3,9 %
total kesalahan)
(2) Kesalahan dalam persesuaian nau : 127 (40,6 % kesalahan sintaksis, atau 29,9 %
total kesalahan)
(3) Kesalahan dalam persesuaian tayn : 13 (4,2 % kesalahan sintaksis, atau 2,9 %
total kesalahan)
(4) Kesalahan dalam hal irb : 101 (32,3 % kesalahan sintaksis, atau 22,9 % total
kesalahan)
(5) Kesalahan yang terkait dengan kaidah khusus : 11 (3,5 % kesalahan sintaksis, atau
2,5 % total kesalahan)
245

(6) Kesalahan dalam hal struktur kalimat : 44 (14,1 % kesalahan sintaksis, atau 10 %
total kesalahan)
Dari perincian di atas, dapat diketahui bahwa kesalahan-kesalahan berbahasa
dalam berbicara mahasiswa pada aspek sintaksis terbagi atas enam jenis yakni
kesalahan persesuaian dalam hal adad, kesalahan persesuaian dalam hal nau,
kesalahan persesuaian dalam hal tayn, kesalahan irb, kesalahan yang terkait dengan
kaidah khusus, dan kesalahan dalam hal struktur kalimat.
Dari enam jenis tersebut, kesalahan yang paling banyak dibuat oleh
mahasiswa pada aspek sintaksis ialah kesalahan dalam tawfuq nau, yakni sebanyak
127 kesalahan atau 40,6 % dari seluruh kesalahan sintaksis. Pada jenis kesalahan ini,
sebenarnya masih terbagi atas beberapa sub jenis kesalahan sebagai wujud adanya
beberapa konstruksi (pola susunan) yang terdapat pada ungkapan bahasa Arab.
Sub-sub tersebut, sebagaimana dapat dilihat pada lampiran, adalah kesalahan dalam
persesuaian antara ism dengan fil, antara ism dengan dhamr, antara maushl dengan
id shilah, antara fil dengan fil, antara nat dengan mant, dan antara isyrah
dengan musyr ilaih.
Tawfuq nau menduduki kesalahan yang paling banyak dilakukan oleh
mahasiswa dalam berbahasa tuturnya, yakni 135 kesalahan atau 42,7 % kesalahan
morfologi, dan 29,9 % kesalahan keseluruhan, yang hal ini menunjukkan bahwa
pembelajar masih belum memiliki kemantapan kaidah dalam pengungkapan secara lisan
untuk pola-pola susunan yang diharuskan memenuhi persyaratan persesuaian ini.
Melihat banyaknya sub jenis kesalahan yang tidak sedikit (6 sub jenis kesalahan) hal ini
juga menunjukkan dominannya peran sistem nau dalam konstruksi kalimat bahasa
Arab.
4. Faktor Penyebab Kesalahan Sintaksis
Dari uraian deskripsi dan frekuensi kesalahan sebelumnya, maka dapat
diketahui faktor-faktor yang menjadi penyebab kesalahan. Diantara
246

kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pembelajar B2, secara keseluruhan penyebabnya

dapat dikelompokkan atas dua macam, yaitu kesalahan antarbahasa (interferensi) dan
kesalahan intrabahasa. Kedua kesalahan tersebut merefleksikan peristiwa-peristiwa
yang mengiringi proses pembelajaran B2 pada seorang pembelajar. Artinya, bahwa hal

itu menunjukkan tingkat perkembangan B2 pembelajar.

Peristiwa-peristiwa yang dimaksud adalah, bahwa seorang pembelajar B2

dalam upaya membangun kesempurnaan aspek-aspek linguistik B2nya tidak dapat

melepaskan pengaruh B1 yang telah dimilikinya, maka terjadilah transfer negatif

(interferensi) dan menimbulkan kesalahan interferensi atau interlingual (antarbahasa).


Selain itu, masih dalam upaya menyempurnakan pengetahuan linguistiknya, seorang
pembelajar berupaya membangun kemampuannya dengan mendasarkan kepada
pengetahuan B2 sebatas yang telah dikuasainya, hasil dari pembelajaran B2

sebelumnya dan yang sedang berlangsung, maka muncullah kesalahan-kesalahan


intrabahasa.

c. Kesalahan Antarbahasa (Interferensi)


Kesalahan antarbahasa merupakan kesalahan yang timbul akibat pembelajar
B2 yang secara otomatis mengambil dan menggunakan sistem B1 yang telah

dimilikinya pada saat menggunakan B2nya, melalui tulisan ataupun lisan. Transfer

bahasa bagi pembelajar B2 yang telah memiliki B1 merupakan suatu keniscayaan yang

sulit dihindari. Analisis kontrastif telah membuktikan adanya peristiwa transfer bahasa
tersebut. Hipotesis analisis ini menyatakan bahwa adanya perbedaan-perbedaan yang
terdapat pada bahasa sumber (B1) dan bahasa sasaran (B2) dapat menimbulkan

masalah-masalah dan kesulitan dalam performansi. Maka kesalahan-kesalahan yang


dibuat oleh pembelajar merupakan cerminan kesalahan-kesalahan yang strukturnya
247

adalah sama dengan B1 pembelajar. Beberapa kesalahan yang dapat dikelompokkan

dalam kategori ini adalah yang terkait dengan persoalan tawfuq, baik dalam adad,
nau maupun tayn.
Persoalan persesuaian ini tidak dijumpai dalam B1 pembelajar karena itu

kesalahan dalam jenis ini termasuk yang paling banyak dilakukan, yakni masing-masing
adad, nau maupun tayn adalah 3,9 %, 28,8 % dan 2,9 % dari seluruh kesalahan.
Tingginya frekuensi kesalahan pada persesuaian ini karena banyaknya konstruksi yang
mensyaratkan persesuaian-persesuaian, sehingga mengharuskan pembelajar B2

benar-benar memahaminya dengan tuntas agar tidak selalu jatuh pada kesalahan karena
hal ini tidak ditemukan dalam B1 mereka. Akibatnya mereka membawa kaidah B1

yang tidak memiliki persamaan ini ke dalam B2 mereka pada saat membuat ungkapan

bahasa Arab.
Konsep adad terkait dengan ism maupun fil dan melekat pada kedua
macam kata tersebut, artinya setiap kali menyebutkan ism maupun fil maka kata itu
selalu diikuti dengan adad. Berikut ini adalah contoh kesalahan sebagaimana yang

dimaksud, , di mana fil yang diucapkan oleh penutur tidak

menunjukkan bilangan jam padahal dari konteks ungkapan, dapat dipahami bahwa
yang dimaksudkannya adalah untuk bilangan yang lebih dari dua. Maka seharusnya fil
(kata bergaris bawah) seharusnya dibuat dalam bentuk jam (plural), bukan mufrad
(tunggal) sebagaimana contoh di atas. Nampaknya, penutur mentransfer begitu saja
pola yang ada dalam B1nya, yakni bahasa Indonesia yang tidak mengenal konsep

kesesuaian adad.

Demikian juga yang terjadi pada ism, misalnya contoh berikut, .

Pada ungkapan tersebut seharusnya kata bergaris bawah dihadirkan dalam bentuk jam
sesuai dengan persyaratan kesesuaian adad dalam konstruksi jumlah ismiyyah, yakni
248

antara mubtada (subyek) dengan khabar (predikat). Dhamr hum sebagai subyek
menunjukkan bilangan jam karena itu kata setelahnya sebagai predikat harus sesuai
dengan subyek dalam adad, sehingga harus dibentuk jam pula. Hal ini membuktikan
bahwa nampaknya penutur melakukan transfer pola dalam B1nya yang tidak mengenal

kesesuaian antara subyek dengan predikat dalam hal bilangan, sehingga mengucapkan
predikat apa adanya (bentuk mufrad-nya) tanpa merubah menjadi bentuk jam.
Tawfuq nau juga demikian halnya, dipergunakan dalam banyak konstruksi,
bahkan mungkin lebih banyak lagi konstruksi yang mengharuskan adanya persesuaian
dalam nau dibandingkan dengan adad. Terbukti bahwa tawfuq nau ini menduduki
kesalahan yang paling banyak dilakukan oleh mahasiswa dalam bahasa tuturnya, yakni
127 kesalahan atau 40,6 % dalam kesalahan morfologi, dan 28,8 % dalam keseluruhan
kesalahan. Artinya, hal ini menunjukkan bahwa banyak konstruksi dalam bahasa Arab
yang menjadikan persesuaian nau ini sebagai salah satu persyaratan. Hal ini juga dapat
dilihat pada banyaknya sub jenis kesalahan (yakni macam-macam konstruksi) yang
terjadi. Diantara contoh kesalahan-kesalahan dalam tawfuq nau ini, misalnya (1)

, (2) , dan (3)

, kesemua konstruksi tersebut sama-sama tidak memiliki persesuaian dalam nau

meskipun berbeda dalam konstruksi. Konstruksi pertama dan kedua berupa tarkb
isnd , yang pertama dalam pola jumlah ismiyyah yang terdiri dari mubtada dan
khabar, dan yang ke dua dalam pola jumlah ismiyyah yang terdiri dari fil dan fail,
sedangkan konstruksi ke tiga berupa tarkb washf yang terdiri dari mant dan nat.
Adapun tawfuq tayn memang tidak dipergunakan pada banyak konstruksi
sebagaimana tawfuq adad dan nau. Hal ini juga terbukti dari frekuensi kesalahan
yang terjadi pada bahasa tutur mahasiswa, yakni sebanyak 13 kesalahan, atau 4,2 %
kesalahan sintaksis dan 2,9 % kesalahan secara keseluruhan. Kesalahan sebanyak 14
kali itu pun hanya pada satu macam saja, yakni mant berbentuk nakirah sedangkan
249

nat berbentuk marifah. Untuk kesalahan yang berpola sebaliknya, yakni mant
berbentuk marifah dan nat berbentuk nakirah ternyata tidak ada. Diantara

kesalahan-kesalahan sebagaimana yang dimaksud adalah seperti

dan juga . Kedua contoh tersebut berupa

tarkb washf yang menuntut kesamaan tayn antara mant dengan nat. Dalam
bahasa Indonesia sebagai B1 pembelajar, untuk konstruksi seperti itu tidak dikenal

adanya aturan kesesuaian, apalagi dalam B1 mereka juga tidak dikenal konsep tayn

secara khusus, maksudnya bahwa rujukan tayn dengan menggunakan penambahan


leksikal seperti ini, itu, tersebut, dan lain sebagainya. Karena itulah penutur
mengambil dan mentransfer pola yang ada pada B1nya sehingga menghasilkan

ungkapan yang mengandung kesalahan sebagaimana kedua contoh di atas.


Hal lain yang juga menyebabkan kesalahan karena pengaruh B1 pembelajar

adalah terkait dengan struktur atau pola susunan kalimat. Dalam bahasa Arab banyak
dijumpai susunan baik pada tingkat frasa maupun klausa. Belum lagi pola-pola itu
memiliki perbedaan dengan pola yang ada dalam B1 pembelajar. Diantara pola yang

paling menyolok perbedaannya adalah adanya susunan jumlah filiyyah, di mana pada
pola ini yang menjadi awal kalimat adalah fil (kata kerja/verba/predikat) baru
kemudian fil (subyek), meskipun tidak ditemukan kesalahan yang banyak untuk pola

ini. Kesalahan pada pola ini seperti , di mana penutur membuat

bentuk mutsann pada fil, padahal seharusnya cukup dengan bentuk mufrad-nya
meskipun fil menunjukkan mutsann atau jam .

Pola lain yang berbeda adalah seperti ungkapan . Dalam bahasa

Arab dikenal pola frasa mashdar muawwal yang terdiri dari an dan fil. B1

pembelajar tidak memiliki pola seperti ini sehingga pada susunan di atas penutur
250

langsung saja menghadirkan fil mudhri setelah qabla yang seharusnya didahului

dengan huruf an. Demikian pula halnya yang terjadi pada contoh berikut ini,

, di mana terjadi penambahan kata al-ladzi yang

sebenarnya tidak perlu. Juga dapat dilihat pada ungkapan yang berikut ini,

. Shilah pada ungkapan tersebut

dapat lebih disederhanakan dengan menggantinya dalam bentuk jumlah filiyyah


dibandingkan dengan menggunakan jumlah ismiyyah sebagaimana contoh.
Keseluruhan contoh tersebut menunjukkan adanya pengaruh B1 pembelajar dalam

membuat ungkapan-ungkapan dalam B2nya. Kesalahan yang ada terkait dengan salah

susun atau penambahan dan penghilangan ini mencapai 44 kali, atau 10 % dari total
kesalahan keseluruhan.
Itulah antara lain contoh-contoh yang menunjukkan adanya transfer negatif
atau interferensi akibat penggunaan kaidah atau pola B1 pembelajar pada saat

menggunakan B2nya. Kesalahan interferensi atau antarbahasa dalam proses belajar B2

ini menunjukkan belum sempurnanya penguasaan kaidah-kaidah B2 pembelajar

sehingga pada saat tertentu ia masih memanggil dan merujuk kaidah B1nya dan

menggunakannya dalam pengungkapan B2nya. Inilah yang dikenal dengan istilah

dwibahasawan yang tidak seimbang, karena memang masih dalam tahap belajar dan
penyempurnaan kaidah-kaidah B2.

d. Kesalahan Intrabahasa
Kelompok kesalahan ini, yakni intrabahasa, berupa kesalahan-kesalahan yang
merefleksikan ciri-ciri umum kaidah B2 yang sedang dipelajari oleh pembelajar. Dalam
251

hal ini pembelajar B2 melakukan kesalahan-kesalahan yang bukan merupakan refleksi

dari struktur dan kaidah B1 yang telah dimilikinya. Akan tetapi melakukan

kesalahan-kesalahan yang mencerminkan struktur B2 yang sedang dipelajarinya.

Karena itulah dari sini muncul istilah intrabahasa, intralingual dan bukan antarbahasa
atau interlingual/interferensi. Dalam kesalahan intrabahasa, Richards (1971) dan Fisiak
(1985) menyatakan bahwa penyebab kesalahan meliputi penyamarataan yang
berlebihan (over generalization), ketidaktahuan pembatasan kaidah (ignorance of rule
restrictions), penerapan kaidah yang tidak sempurna (incomplete application of rules),
dan salah menghipotesiskan konsep (false concepts hypothesized).
Data yang diperoleh dari kegiatan diskusi mahasiswa memang tidak
seluruhnya menunjukkan adanya kesalahan akibat pengaruh B1 atau interferensi.

Dalam kenyataannya ditemui juga adanya kesalahan yang bukan disebabkan oleh
faktor B1nya akan tetapi karena belum lengkapnya kaidah, atau sudah memiliki kaidah

akan tetapi belum sampai pada tahap stabilisasi sehingga terkadang masih melakukan
kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan merupakan hal yang wajar
dalam proses penguasaan B2 karena hal itu sekaligus menunjukkan perkembangan

penguasaan B2nya. Beberapa kesalahan yang dapat dikelompokkan dalam kategori ini

misalnya yang terkait dengan irb dan juga pembentukan pola atau susunan tertentu.
Kesalahan pada irb terjadi karena B1 pembelajar sama sekali tidak

mengenal konsep itu. Irb bukan sekedar menjadi penanda akhir sebuah kata, akan
tetapi juga menunjukkan posisi dan kedudukan kata tersebut. Dengan tiadanya konsep
irb pada B1 pembelajar, maka tidak dapat dikatakan bahwa kesalahan pada

penandaan irb merupakan pengaruh B1. Pembelajar tidak akan melakukan transfer

negatif kalau pada B1nya tidak dikenal konsep yang sama. Dengan demikian kesalahan

yang terjadi pada masalah ini semata-mata merupakan kesalahan pembelajar dalam
252

menduga atau menciptakan kreasi berdasarkan pengalaman B2 yang telah dipelajari

sebelumnya, untuk menyesuaikan dengan kaidah yang sebenarnya.

Diantara contoh-contoh kesalahan dalam irb adalah : (1) (2)

, (3) . Ketiga contoh tersebut

menunjukkan bahwa penutur masih terpengaruh dengan pola jumlah ismiyyah di mana
ism pertamanya dibaca rafa. Penutur belum mengetahui (atau mungkin sudah
mengetahui akan tetapi kurang sempurna pemahamannya) adanya kaidah yang
menyebabkan suatu kata dibaca rafa, nashab, atau jarr. Akan tetapi, dalam kasus
tersebut dia tidak tepat dalam memberikan irb, sehingga bergaris bawah yang
seharusnya dibaca berbeda (tidak dalam keadaan rafa sebagaimana ism pertama
jumlah ismiyyah) ternyata diberikan penanda irb yang sama, yakni rafa (dengan
harakah dlammah). Nampaknya penutur mengambil kaidah mubtada, di mana ism
yang ada pada permulaan kata harus dibaca rafa.

Demikian juga yang terjadi pada contoh berikut, , di

mana kesalahan yang dibuat oleh penutur merupakan pengaruh dari kaidah B2 yang

telah dipelajarinya, yakni hukum kna wa akhawtuh. Pada pola yang normal ism
kna terletak setelahnya, akan tetapi pada ungkapan di atas terletak setelah khabar
yang mendahuluinya. Karena itulah penutur mentransfer pola normal dengan
melakukan generalisasi sehingga mengakibatkan adanya kesalahan. Hal yang demikian
ini wajar terjadi, yakni pembelajar mentransfer dan menggunakan kaidah B2 yang telah

diperolehnya untuk digunakan pada pola-pola baru yang berbeda.


Kesalahan intrabahasa juga terjadi pada struktur-struktur atau susunan yang
dalam bahasa Arab memang banyak macamnya, salah satunya adalah tarkb idhf.
Pola ini memiliki kemiripan dengan tarkb washf, karena itulah kedua pola ini memiliki
problema tersendiri terkait dengan pembentukannya. Berikut ini contoh kesalahan
253

yang dimaksud, yakni , dan . Kesalahan

keduanya sama-sama pada pembentukan mudhf (kata pertama) berupa marifah,


padahal seharusnya nakirah. Susunan keduanya (mudhf dan mudhf ilaih) yang
sama-sama marifah (dengan alf lam/al) memiliki kesamaan dengan
pembentukan pada tarkb washf yang mensyaratkan sama-sama marifah atau
sama-sama nakirah. Diduga, bahwa penutur menyamakannya dengan tarkb washf
yang secara fisik dan leksikal memang memiliki kesamaan. Kesalahan pada kedua
ungkapan di atas bukan merupakan akibat pengaruh B1 pembelajar, karena seandainya

merupakan transfer B1 maka justru akan mengakibatkan penutur mengungkapkannya

secara benar, karena dia akan memindah kata qiym/iqmah atau ahruf begitu
saja, tanpa perlu menambahkan awalan alif lam. Penalaran yang demikian lebih
mendekati kepada penyebab kesalahan yang sebenarnya dibandingkan mengkaitkannya
dengan pengaruh B1 pembelajar.

Contoh kesalahan tarkb idhf berikut ini ikut memperkuat dugaan tersebut,

. Penutur memberikan awalan alif lam pada kata yang

sebenarnya telah menunjukkan tarkb idhf. Penambahan ini dipengaruhi oleh


bentukan ism marifah yang biasanya sering dipakai pada banyak susunan. Karena
itulah penutur ikut menggunakannya pada kata yang seharusnya tidak perlu. Dalam hal
ini penutur melakukan over generalisiasi, dengan menambahkan alif lam / al
pada kata yang seharusnya tidak perlu. Penutur menduga bahwa dengan penambahan
yang dilakukannya akan menjadikan benar akan tetapi malah menjatuhkannya pada
kesalahan.
Struktur lain yang berpeluang membuka terjadinya kesalahan adalah pada pola
adad dan madd. Bahkan untuk mengungkapkan adad dan madd ini saja didapati
lebih dari satu pola. Contoh-contoh berikut ini menunjukkan beragamnya pola yang
254

harus digunakan untuk menyatakan susunan adad dan madd, yaitu

dan . contoh pertama menunjukkan pola

yang harus digunakan untuk merujuk kepada angka 3 hingga 10. sedangkan contoh ke
dua menunjukkan pola yang harus digunakan untuk merujuk kepada angka belasan.
Dan masing-masing pola memiliki aturan tersendiri yang berbeda-beda. B1 pembelajar

tidak mengenal pola susunan yang berbeda dengan aturan-aturan tersendiri sehingga
terkesan rumit. B1 pembelajar tidak memiliki pola adad madd yang diatur-atur

sehingga terkesan rumit. Pada contoh di atas, pola yang digunakan tidak ada yang
mirip atau sama dengan pola pada B1 pembelajar. Karena itulah dalam hal ini tidak

ditemukan pemindahan atau transfer negatif B1 pembelajar ke B2nya.

Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa kesalahan gramatika


disebabkan oleh belum mantapnya pemahaman kaidah tata bahasa. Kesalahan ini
terkait dengan karakteristik linguistik pada bahasa Arab yang bisa saja ternyata
berbeda antara bahasa Arab dengan dengan B1 pembelajar, dalam hal ini adalah bahasa

Indonesia. Diantara karakteristik bahasa Arab ada yang memang tidak dimiliki oleh
bahasa Indonesia, namun ada juga yang dimiliki oleh bahasa Indonesia akan tetapi
memiliki perbedaan. Karakteristik inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya
kesalahan berbahasa dalam aspek sintaksis.
Hasil verifikasi data kesalahan berbahasa menunjukkan bahwa
kesalahan-kesalahan gramatikal mahasiswa memang terkait dengan karakteristik
bahasa Arab baik yang berhubungan dengan sintaksis. Karakteristik tersebut ada yang
ditemui juga dalam B1 pembelajar, dan ada juga yang memang tidak dimiliki.

Beberapa karakteristik bahasa Arab dalam aspek sintaksis yang menimbulkan


kesalahan tersebut adalah :
255

g. Konsep irb , yang berupa perubahan akhir suatu kata dari satu bentuk ke bentuk
yang lain, baik berubah dalam fonem (harakah) maupun penambahan atau
perubahan huruf pada akhir kata. Perubahan tersebut terkait dengan perubahan
fungsi atau posisinya dalam sebuah susunan kalimat. Irb dengan segala macam
jenis dan tandanya memberikan implikasi yang tidak sedikit bagi terjadinya
kesalahan pada pembelajar. Data menunjukkan bahwa kesalahan irb pada
mahasiswa subyek penelitian mencapai 101 dari 313 kesalahan sintaksis, atau
mencapai 32,3 %-nya, dan 22,9 % dari seluruh kesalahan morfologi dan sintaksis
yang berjumlah 441. Yang juga menjadi catatan adalah kesalahan terbanyak ada
pada irb ism, mencapai 98 dari 101 kesalahan irb. Hal ini karena pada
umumnya fil bersifat mabni, berbeda dengan ism yang pada umumnya murab.
Hal yang demikian ini berbeda dengan B1 pembelajar yang tidak memiliki konsep

tentang irb ini, sehingga membuat pembelajar harus memahami dengan


sebaik-baiknya agar tidak melakukan kesalahan, terutama yang terkait dengan
irb pada ism.
h. Konsep tawfuq, hubungan bentuk-bentuk atau persesuaian yang meliputi
persesuaian dalam adad, nau dan tayn. Persesuaian yang dimaksud adalah
bahwa kalimat yang merupakan susunan yang terdiri dari kata-kata memiliki sistem
yang mengharuskan antara satu dengan kata lain sesuai dalam adad. Susunan
jumlah ismiyyah misalnya, yang terdiri dari mubtada dan khabar, maka keduanya
harus sesuai dalam adad, artinya apabila kata pertama, mubtada menunjukkan
mufrad maka kata berikutnya yang menjadi khabar harus menunjukkan mufrad
pula. Demikian juga untuk mubtada yang menunjukkan mutsann dan jam.
Persesuaian dalam nau juga diberlakukan dalam susunan bahasa Arab
sebagaimana persesuaian dalam adad. Bilamana mubtada menunjukkan
muannats maka khabar juga harus muannats, demikian juga untuk mudzakkar.
Pada susunan jumlah filiyyah juga disyaratkan adanya persesuaian nau ini.
256

Apabila fil mudzakkar maka fiil yang digunakan juga harus mudzakkar, dan
demikian pula untuk muannats. Sedangkan persesuaian dalam tayn misalnya pada
tarkb washf, yakni susunan nat mant. Bila kata pertama (mant) berbentuk
marifah maka nat juga harus marifah, dan demikian pula untuk sebaliknya.
Persesuaian semacam ini tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia sebagai B1

pembelajar, karena konsep ketiganya, yakni adad, nau, dan tayn yang melekat
pada ism ataupun fil tidak ditemukan pada bahasa Indonesia sebagaimana yang
ada pada bahasa Arab. Persesuaian yang melibatkan tiga konsep tersebut
menjadikan problema tersendiri bagi pembelajar bahasa Arab. Terbukti pada data
kesalahan berbahasa yang menunjukkan frekuensi kesalahan tawafuq menduduki
posisi yang paling tinggi. Gabungan kesalahan pada tiga macam tawafuq tersebut
mencapai 157 dari 313 kesalahan sintaksis, atau 50,2 %-nya, dan 35,6 % kesalahan
keseluruhan sintaksis dan morfologi yang berjumlah 441 kesalahan.
i. Beragamnya pola tarkb (susunan). Susunan dalam bahasa Arab memiliki banyak
ragam pola yang bervariasi. Susunan dalam tingkat frasa, klausa maupun kalimat
dalam bahasa Arab memang menunjukkan keragaman dan kekayaan, namun
demikian hal ini sekaligus menimbulkan kerumitan bagi pembelajar asing, apalagi
yang tidak memiliki kesamaan dalam B1nya. Diantara pola yang biasa digunakan

saja, seperti tarkb isnd, terdapat dua macam pola, yakni pola yang diawali
dengan ism, disebut dengan jumlah ismiyyah, dan pola yang diawali dengan fil,
disebut dengan jumlah filiyyah. Dua jumlah yang masih dalam satu jenis tarkb ini
dapat menimbulkan kerumitan karena yang dikenal oleh pembelajar dalam sistem
B1nya, hanyalah pada jenis pertama yakni jumlah ismiyyah. Hal ini terbukti masih

adanya kesalahan dalam pembentukan fiil yang seharusnya mufrad ternyata


dibentuk mutsann pada jumlah filiyyah, padahal ketentuan yang berlaku untuk
pola ini adalah berapapun jumlah fil maka fiil tetap dalam bentuk mufrad. Ini
yang disebut dengan kesalahan membuat dua atau lebih fil untuk satu fiil.
257

Kesalahan ini memang tidak banyak akan tetapi tetap menunjukkan perbedaan
sistem B1 dengan B2 mengakibatkan adanya kesalahan. Atau sedikitnya kesalahan

pada jenis ini disebabkan oleh tingkat pengetahuan pembelajar subyek penelitian
yang memang termasuk kategori lanjutan, sesuai dengan karakteristik data yang
telah penulis sebutkan pada bab sebelumnya. Tarkb lain yang juga rentan
menimbulkan kesalahan adalah idhf. Tarkb ini memiliki kemiripan dengan
washf. Terbukti kesalahan yang dibuat mahasiswa subyek penelitian pada tarkb
idhf ini kesemuanya adalah membuat marifah pada mudhf yang seharusnya
nakirah. Dengan membuat mudhf dalam bentuk marifah yang mudhf ilaihnya
juga marifah maka hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku pada tarkb washf
yang mensyaratkan adanya persesuaian dalam tayn. Kesalahan dalam jenis ini
mencapai 7 kali atau 2,2 % kesalahan sintaksis dan 1,6 % kesalahan keseluruhan
sintaksis dan morfologi. Kesalahan akibat beragamnya tarkb ini juga didukung
oleh kesalahan yang terjadi pada pola adad dan madd. Pola adad madd
yang memiliki banyak macam ini berbeda dengan pola serupa yang ada pada B1
pembelajar. Pada pola ini terjadi kesalahan sebanyak 3 kali, atau 1 % kesalahan
morfologi, dan 0,7 % kesalahan keseluruhan.
Dari uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa faktor penyebab
timbulnya kesalahan-kesalahan berbicara dalam bahasa Arab pada aspek sintaksis oleh
mahasiswa subyek penelitian dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, terdapat
kecenderungan mahasiswa mengalihkan pola-pola kalimat B1 mereka yakni bahasa

Indonesia ke dalam bahasa Arab sehingga hasil ketika mereka berbicara dalam konteks
presentasi dan diskusi perkuliahan masih kelihatan adanya pengaruh bahasa Indonesia
terhadap bahasa Arab. Pengaruh-pengaruh ini seperti kesalahan yang terkait dengan
persoalan tawfuq, baik dalam adad, nau maupun tayn. Kesalahan yang semacam
ini disebut dengan kesalahan interlingual/antarbahasa.
258

Di samping itu, ada kesalahan yang disebabkan oleh faktor kesulitan dalam
bahasa Arab itu sendiri, misalnya adanya perbedaan pada unsur-unsur bahasa antara
bahasa Indonesia dengan Arab seperti di atas. Beberapa kesalahan yang dapat
dikelompokkan dalam kategori ini misalnya yang terkait dengan irb dan juga
pembentukan pola atau susunan tertentu, seperti tarkb washf dan idhaf. Hal-hal
inilah yang menimbulkan kesalahan dalam berbahasa tutur oleh mahassiswa MAHAT
pada saat kegiatan diskusi pelajaran di kelasnya. Kesalahan semacam ini disebut
dengan kesalahan intralingual atau intrabahasa.

e. Upaya Mengatasi Kesalahan


Kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar bahasa asing merupakan umpan
balik yang bagus bagi guru, pembelajar dan juga peneliti. Bagi guru kesalahan yang
muncul akan memberikan petunjuk atas seberapa jauh penguasaan pembelajar atas
materi yang telah diberikan dan juga seberapa jauh kemajuan mereka. Guru juga akan
mengetahui efektivitas teknik dan metode pengajaran yang digunakannya. Selaini itu,
adanya kesalahan tersebut juga merupakan informasi dalam usaha merencanakan
silabus dan program pengulangan pengajaran (remedial). Sedangkan bagi pembelajar,
kesalahan itu sendiri merupakan refleksi atas kemampuan mereka selama ini.
Pembelajar akan tahu bagian-bagian mana saja yang masih menyisakan problem
penguasaan pada B2 mereka. Dan bagi peneliti, kesalahan tersebut merupakan

petunjuk bagaimana bahasa seharusnya dipelajari, strategi dan prosedur apa yang
digunakan dan seharusnya dikembangkan dalam rangaka penguasaan bahasa asing.
Terkait dengan hal di atas maka hal yang penting dilakukan setelah
diketahuinya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar, dan setelah
kesalahan-kesalahan berbahasa dalam berbicara dapat diidentifikasi, diklasifikasikan,
dan dicari faktor-faktor penyebabnya, maka selanjutnya adalah bagaimana membuat
259

agar kesalahan tidak lagi terjadi melalui upaya-upaya seperti strategi pembetulan
kesalahan, pemberian latihan-latihan, dan penyusunan materi bahan ajar bahasa Arab.

4. Strategi Pembetulan Kesalahan


Tarigan menyatakan bahwa pembetulan kesalahan dapat dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung. Pembetulan secara langsung ini dengan cara
pengajar menunjukkan kesalahan itu dan bagaimana cara membetulkannya, sedangkan
siswa bertugas merekonstruksi pernyataannya yang salah dengan pernyataan baru yang
benar. Sedangkan pembetulan secara tidak langsung adalah dengan cara yang tidak
disadari oleh pembelajar kalau dirinya sedang dibetulkan oleh pengajarnya. Tentu saja
hal ini harus memperhatikan berbagai kondisi yang sesuai dengan kegiatan
belajar-mengajar.
Dinyatakan juga oleh Chaudron sebagaimana dikutip oleh Suwarna, bahwa
pembetulan kesalahan akan efektif jika (1) dilakukan pada saat yang tepat (2) aktifitas
merupakan instruksional formal atau bertujuan pembelajaran, dan (3) mendasarkan
pada prinsip pedagogis. Dengan demikian, maka seharusnya upaya pembetulan
kesalahan bersifat selektif dan dilakukan pada saat aktifitas kegiatan pembelajaran
berlangsung. Selain itu pembetulan juga dilakukan apabila pembelajar belum mampu
membetulkan sendiri terhadap kesalahan yang telah dilakukannya.
Dengan memperhatikan jenis kesalahan yang terjadi pada data kesalahan
berbahasa pembelajar mahasiswa subyek penelitian, dan data sosiolinguistik mahasiswa
yang kesemuanya merupakan lulusan pesantren maka teknik yang dikemukakan oleh
Long dan Choudron (dalam Ellis) dapat dijadikan rujukan. Teknik pembetulan yang
dimaksud adalah (1) pengajar mengulang kesalahan yang dibuat oleh pembelajar dan
kemudian memberikan pembetulannya; (2) mengatur perlakuan yang mengarah kepada
pembelajar untuk berusaha melakukan koreksi sendiri; (3) strategi yang mengarah
kepada pemancingan respon yang benar dari pembelajar; (4) dengan melakukan reaksi
260

apapun yang mengarah kepada upaya pembetulan; (5) penguatan positif dan negatif
yang melibatkan persepsi setuju atau tidak setuju. Persepsi setuju dan tidak setuju
dapat dilakukan melalui upaya kinesik, paralinguistik, ekspresi wajah, anggota badan,
dan lain sebagainya.
Dengan cara pembetulan yang secara tidak langsung maka akan memberikan
kesempatan kepada pembelajar untuk ikut serta berperan aktif dan kreatif karena akan
berusaha membetulkan kesalahannya sendiri. Pembelajar juga merasa dihargai
kemampuannya untuk membetulkan sendiri sehingga tidak terasa menyakitkan
terhadap pembetulan kesalahan yang dilakukannya. Selain itu hal ini juga akan
memberikan efektivitas dan efisiensi dalam pembelajaran karena tidak setiap kesalahan
harus dibetulkan oleh pengajar.
Berdasarkan pengamatan penulis, dan pengecekan data rekaman menunjukkan
bahwa peran pengajar dalam pembetulan kesalahan belum ditemukan. Nampaknya
para pengajar belum merasa perlu untuk melakukan pembetulan-pembetulan di saat
pengajaran mata kuliah mereka. Bisa saja hal ini disebabkan oleh waktu yang tersita
lebih banyak untuk pembahasan materi kuliah yang bersangkutan, sehingga waktu
digunakan habis untuk menerangkan atau mengulang pembahasan yang telah
disampaikan oleh mahasiswa melalui media diskusi kelas. Dengan adanya hasil
penelitian ini tentu saja diharapkan pembetulan kesalahan bukan hanya merupakan
tanggung jawab pengajar materi bahasa Arab, atau hanya terjadi pada saat mata kuliah
yang terkait dengan bahasa Arab saja. Peran pengajar secara keseluruhan, yang selain
kompeten dalam bidang keilmuan masing-masing juga cakap dalam kemampuan
berbahasa Arab aktif, merupakan kebutuhan mutlak dalam rangka ikut membantu
meminimalkan kesalahan mahasiswa dalam berbahasa lisan.

5. Latihan Materi Kebahasaan


261

Di samping teori yang terkait dengan materi kebahasaan, dalam aspek


morfologi maupun sintaksis, latihan juga perlu diberikan terutama untuk
kesalahan-kesalahan yang paling banyak dibuat oleh mahasiswa. Latihan-latihan
tersebut perlu diintensifkan dan dikembangkan sehingga kesalahan-kesalahan yang
sama diharapkan tidak terulang lagi. Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang terjadi
pada aspek sintaksis, maka yang perlu mendapatkan porsi latihan adalah sebagai
berikut :
c. Latihan mengenai tawfuq, baik dalam hal nau, adad, maupun tayn.
Kesalahan dalam kelompok ini menempati posisi kesalahan yang paling tinggi
diantara kesalahan lain, terutama tawfuq yang terkait dengan nau, yakni 28,8 %.
Sedangkan dua tawfuq lainnya masing-masing adad sebesar 3,9 %, dan tayn
2,9 %. Dalam usaha pemberian latihan ini harus diperhatikan agar materi latihan
benar-benar yang terkait dengan kesalahan yang telah terjadi. Dengan demikian
materi latihan harus benar-benar mencerminkan upaya pelatihan menuju
kesempurnaan penguasaan hal-hal yang terkait dengan tawfuq.
d. Latihan mengenai irb.
Kesalahan yang dilakukan mahasiswa sebagai subyek penelitian dalam hal irb
mencapai 101 kesalahan, atau 22,9 % dari seluruh kesalahan gramatika. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam hal irb masih sering terjadi kesalahan, karena itu
latihan yang terkait dengan irb sudah semestinya menjadi bagian yang
diutamakan. Meskipun dalam keterampilan berbicara terdapat kecenderungan
untuk meniadakan huruf akhir dalam harakah (bunyi), namun kenyataanya data
penelitian menunjukkan masih tingginya kesalahan dalam hal irb ini.
e. Latihan tentang susunan kata, terutama dalam hal tarkb washf, idhf, dan adad.
Secara khusus memang tidak diketahui berapa prosentase kesalahan pembelajar
dalam macam-macam tarkb di atas. Akan tetapi, dengan melihat kesalahan yang
terkait tawfuq dan kaidah khusus, maka dapat diprediksi susunan mana saja yang
262

harus dilatihkan untuk menghindarkan kesalahan pembelajar. Latihan yang dapat


diberikan dalam jenis ini dapat berupa memberikan kesempatan kepada pembelajar
untuk memperbanyak membaca dan latihan secara intensif. Teks-teks yang
disediakan harus mencakup aspek-aspek yang terkait dengan beragam susunan
dalam bahasa Arab. Dengan demikian pembelajar akan lebih mengenal dan terbiasa
dengan macam-macam pola dan susunan dalam bahasa Arab.
Metode-metode yang digunakan dalam latihan dapat merujuk kepada strategi
pengajaran bahasa Arab. Metode latihan yang dimaksud tentu saja yang sesuai dengan
aspek gramatika, dalam hal ini adalah sintaksis (nahw). Metode latihan yang
berkembang belakangan menunjukkan ke arah perlunya penyajian gramatika fungsional
(al-nahw al-wadzf). Dalam hal ini ada berbagai macam latihan yakni latihan mekanis,
bermakna, dan komunikatif. Masing-masing latihan ini memiliki teknik-teknik yang
disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan tingkatan materi yang diajarkan.

6. Prioritas Materi Pengajaran


Kesalahan berbahasa yang sepintas menunjukkan suatu hal yang menyakitkan
ternyata dapat memberikan manfaat yang besar bagi keberhasilan pengajaran bahasa.
Sebagai suatu keniscayaan maka kesalahan tidak dapat ditolak keberadaanya. Namun
berawal dari munculnya kesalahan inilah pada akhirnya ditemukan manfaat linguistis
maupun pedagogis dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa asing. Dari sinilah
kemudian muncul analisis kontrastif yang kemudian disempurnakan dengan analisis
kesalahan.
Analisis kesalahan akan memberikan umpan balik yang sangat berharga bagi
pengevalusian dan perencanaan pengajaran, terutama terkait dengan penyusunan
materi dan strategi pengajaran, meskipun pada kenyataanya pada hal pertamalah yang
lebih banyak diarahkan, yakni tersusunnya suatu materi pengajaran yang lebih mengena
dan sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sidhar (dalam Tarigan) menyatakan bahwa
263

analisis kesalahan ditujukan untuk menentukan urutan penyajian butir-butir pengajaran


di kelas dan buku teks, misalnya dari hal yang mudah ke sukar. Selain itu juga
menentukan urutan jenjang relatif penekanan, penjelasan, dan latihan bahan
pengajaran, serta merencanakan latihan dan pengajaran remedial beserta memilih
butir-butir bagi pengujian kemahiran siswa.
Berdasarkan pemaparan data kesalahan mahasiswa subyek penelitian pada
bagian sebelumnya, maka pengajar dapat menentukan urutan bahan pengajaran
berdasarkan besaran kesalahan yang dibuat oleh pembelajar. Besaran kesalahan yang
dibuat oleh pembelajar selain menunjukkan kemampuan penguasaan bahasa mereka,
juga menunjukkan problematika materi pengajaran, artinya terdapat bahan-bahan ajar
yang memang berpotensi menimbulkan kesalahan karena sulitnya materi tersebut.
Untuk itulah diperlukan prioritas penyajian materi pengajaran yang dianggap
berpeluang menimbulkan kesalahan.
Untuk itu, dalam memberikan materi kuliah bahasa Arab, yang terkait dengan
aspek sintaksis, maka perlu penekanan baik dalam hal pemberian teori maupun dalam
latihan-latihan, yang terkait dengan bidang kesalahan mahasiswa. Dengan melihat mata
kuliah yang diberikan kepada mahasiswa, sebenarnya penguasaan aspek sintaksis
seharusnya telah dapat meminimalkan atau menghilangkan kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh mereka. Sebagai lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa Arab
dalam perkuliahannya, Mahad l dianggap cukup dalam memberikan porsi bahasa
Arab. Namun dengan adanya penemuan kesalahan-kesalahan berbicara mahasiswanya,
hal ini dapat dipakai sebagai refleksi dalam urutan penyajian bahan perkuliahan bahasa
Arab yang terkait dengan aspek sintaksis. Urutan penyajian materi tersebut dapat
disusun dengan memperhatikan besaran kesalahan yang dibuat oleh mahasiswa, yakni
mendahulukan hal-hal yang terkait dengan tawfuq, kemudian irb, dan hal-hal yang
terkait dengan kaidah khusus. Dalam hal ini penyajian materi dapat disampaikan dalam
bentuk pengajaran remedial, kalau memang dipandang lebih sesuai dengan cara
264

tersebut. Hal ini berdasarkan pertimbangan silabus materi bahasa Arab yang mungkin
saja telah dibakukan sejak awal. Alternatif lain adalah pengajaran tetap berjalan sesuai
dengan kurikulum dan urutan silabi yang telah ada, namun dengan penguatan dan
latihan-latihan yang lebih intensif pada bagian-bagian yang sering menimbulkan
kesalahan.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis terhadap data kesalahan gramatika mahasiswa
Mahad Aly Hasyim Asyari Tebuireng Jombang (selanjutnya disingkat MAHAT)
dalam bahasa tutur, maka dapat disimpulkan bahwa kesalahan gramatika yang
dilakukan oleh mahasiswa MAHAT memperlihatkan dua sumber/penyebab kesalahan
berbahasa, yakni kesalahan antarbahasa atau interferensi, dan kesalahan intrabahasa.
Kesalahan antarbahasa bersumber pada pengaruh sistem bahasa ibu pembelajar, dalam
hal ini adalah bahasa Indonesia. Pemelajar (dalam hal ini adalah mahasiswa MAHAT)
membuat peralihan-peralihan sistem B1 ke dalam sistem B2 sehingga terjadilah

kesalahan-kesalahan berbahasa. Pemelajar melakukan transfer bahasa dalam konteks


negatif yang mengakibatkan interfernsi B1 kepada B2, dan menimbulkan kesalahan.

Kesalahan kedua, intrabahasa, berupa kesalahan-kesalahan yang diakibatkan


oleh ketidaktersediaan kaidah B2 pada B1 pembelajar. Kemudian pembelajar

menerapkan B2 yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kesalahan. Kesalahan

intrabahasa merupakan kesalahan yang mencerminkan ciri-ciri umum belajar


gramatika, seperti kesalahan melakukan overgeneralisasi, penerapan kaidah yang tidak
sempurna, kesalahan menghipotesiskan konsep, dan ketidaktahuan akan pembatasan
kaidah. Hal ini kemudian menimbulkan apa yang disebut dengan bahasa khas
pembelajar, karena merupakan upaya pembelajar dalam membangun kesempurnaan
kaidah B2nya berdasarkan kaidah-kaidah yang telah diterimanya. Slinker menyebutnya

dengan istilah interlanguage, Namser menamakannya approximative system, dan


Corder mengistilahkannya dengan idiosyncratic dialects. Kesalahan seperti ini
266

merupakan hal yang wajar karena menunjukkan arah perkembangan pembelajar


menuju tahap stabilisasi.
Temuan lain, terkait dengan aspek gramatika, bahwa persoalan tawfuq
merupakan kesalahan yang paling banyak dilakukan, terutama pada nau. Kemudian
berturut-turut persoalan tentang irb, isytiqq, struktur, dan pola mutaadd-lzim
dengan hurf jarr. Besaran kesalahan tersebut sekaligus menunjukkan frekuensi
penggunaan pola yang dimaksud, sekaligus problematika kompleksitas sistem B2 yang

tidak sama atau tidak dimiliki pada sistem B1 pembelajar. Pola dan problematika

kompleksitas yang dimaksud adalah terkait dengan konsep isytiqq, mutaadd-lazm,


tayn, zamn, adad, nau, irb, tawfuq, dan tarkb.

B. Saran
Berdasarkan temuan-temuan pada kesimpulan di atas, penulis memberikan
saran-saran sebagai berikut :
Perlunya dilakukan treatment terkait dengan jenis-jenis kesalahan berbahasa
tutur tersebut. Dalam hal ini dapat diwujudkan melalui strategi pembetulan kesalahan,
dan pemberian latihan-latihan terutama terkait dengan jenis-jenis kesalahan yang dibuat
oleh mahasiswa MAHAT.
Juga, keterlibatan semua tenaga pengajar yang notabene memiliki
keterampilan bahasa yang bagus dapat dimaksimalkan dalam setiap aktivitas
pengajaran. Bahwa kesalahan berbahasa bukanlah tanggungjawab tenaga pengajar
bidang studi bahasa saja, akan tetapi semua pihak yang menjadi bagian dari lembaga
penyelenggara pengajaran di MAHAT.
Selain itu dapat dipertimbangkan juga perlunya restrukturisasi bahan
pengajaran terutama dalam aspek gramatika, nahw dan sharf. Hal ini penting
mengingat gramatika merupakan unsur utama dalam semua aspek keterampilan
267

berbahasa, tidak terkecuali keterampilan berbicara yang menjadi salah satu core
keterampilan yang harus dikuasai oleh mahasiswa MAHAT.
Terkait dengan kelanjutan penelitian, bahwa penelitian ini baru sebatas
permulaan yang selanjutnya dapat dilakukan dengan lebih intens dan menyeluruh.
Keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini menyisakan masalah-masalah yang
dapat ditindaklanjuti penelitiannya. Hal-hal sebagaimana dimaksud adalah seperti
jenis-jenis keterampilan berbahasa tutur lainnya selain diskusi; penelusuran unsur-unsur
yang terkait dengan bahasa tutur seperti nabr, tanghm, saktah, dan lain sebagainya;
dan juga variabel penelitian selain morfologi dan sintaksis seperti kosa kata,
semantik, atau penggunaan preposisi, dan juga terutama yang terkait dengan berbahasa
tutur seperti fonologi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Suparman Ibrahim dkk, Mahad Aly Profil Pendidikan Tinggi Pondok
Pesantren di Indonesia, Yogyakarta: RDI Indonesia, 2001.
Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Abdul Hamied, Fuad, Proses Belajar Mengajar Bahasa, Jakarta: Ditjen Dikti,
Depdikbud, 1987.
Abdul Massh, Mujam Qawid al-Lughah al-Arabiyyah, Beirut: Maktabah Lubnn,
1987.
Abdul Muin, Analisis Kontrastif Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia; Telaah
terhadap Fonetik dan Morfologi, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004.
Abdul Muin, Interferensi Gramatika antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab, Tesis,
PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003.
Abdul Wahab, Muhbib, Ragam Bentuk, Makna, dan Aplikasi Mashdar dalam Bahasa
Arab. Makalah dalam Jurnal al-Turats, Vo. 13 No. 1 Januari 2007.
Afghani, Said, al-, F Ushl al-Nahw, Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1987.
Ainin, Moh, Tahapan Perkembangan Bahasantara dan Implikasinya. Makalah dalam
Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 22 No. 1 Pebruari 1994, FPBS IKIP, Malang.
________Menyoal Penyelenggaraan Tes Kemampuan Berbicara, di MA. Makalah
dalam al-Hadlarah, Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab, Tahun I No.I
2001, IMLA.
Ali, Muhammad, Penilaian Kependidikan Prosedur dan Strategi, Bandung: Angkasa,
1982.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 1998.
Arsyad, Maidar G, Mukti US, Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia,
Jakarta: Erlangga, 1988.
Askar, Abu Hilal, al-, al-Furq al-Lughawiyyah, Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah,
tt.
Aslinda, Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, Bandung: Refika Aditama, 2007.
Asrori, Imam, Generalisasi Konstruksi Mafl Fih Makalah pada Jurnal Bahasa
dan Seni, Vol.XXI No.2 1993, FPBS IKIP Malang.
________, Sintaksis Bahasa Arab; Frasa-Klausa-Kalimat, Misykat, Malang, 2004
Aziez, Furqanul, A.Chaedar alwasilah, Pengajaran Bahasa Komunikatif; Teori dan
Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.
337

Baradja, MF, Peranan Analisis Kontrastif, Jakarta: Penlok, Depdikbud, 1981


________, "Peranan Analisis Kontrastif dan Analisis Kesalahan dalam Pengajaran
Bahasa". Makalah dalam Bahasa dan Sastra, Th.VI No.6,1980, Pusat
Pembinaan Pengembangan Bahasa, Jakarta.
________, Kapita Selekta Pengajaran Bahasa, IKIP Malang, 1990.
Basyar, Kaml, Ilm al-Ashwt, Kairo: Dr Gharb, 2000.
Basyr, Ahmad Abdullh al-, al-Akhth al-Tahrriyyah, Dirsah f dhau al-tahll
al-Taqbul, Jakarta: LIPIA, 1985.
Bek, Hifni, dkk, Qawid al-Lughah al-Arabiyyah, alih bahasa Chatibul Umam dkk,
Jakarta: Darul Ulum Press, 2002
Brooks, Nelson, Language and Language Learning: Theori dan Practice, New York:
Harcourt Brace, 1964.
Broto, A.S, Pengajaran Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Ke dua di SD
Berdasarkan Pendekatan Linguistik Kontrastif, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Brown, Douglas, Principles of Language Learning and Teaching, Longman, San
Francisco State University, 1987.
Cowan, David, An Introduction to Modern Literacy Arabic, Cambridge University
Press, 1958.
Danny D, Introduction to Psycholigusitics, London: Longman, 1993.
Depdikbud, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Dhaif, Syauq, Tajdd al-Nahw, Kairo: Dar al-Maarif, tt.
Dulay, Heidy, Language Two, New York: Oxford University, 1982
Effendi, Ahmad Fuad, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang: Misykat, 2005.
Ellis, Rod, Second Language Acquisition, Oxford University, 2003
________, The Study of Second Language Acquisition, New York: Oxford University
Press, 2002.
Emzir, Interferensi Bahasa Indonesia dalam Bahasa Arab Tulis Mahasiswa, dalam
al-Hadharah, Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab, Tahun I No. I,
Januari 2001, Fak.Sastra UGM Yogyakarta
Fachrurrozi, Aziz, Pembelajaran Gramatika sebagai Ilmu Bantu Memahami Teks.
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Model Pengembangan
Pembelajaran Bahasa Arab, UIN Jakarta, 24 Mei 2007.
338

Farkhan, Muhammad, An Introduction to Linguistics, Jakarta: UIN Press, 2006.


Fauzi, Muslihah, Konsep Madrasah Terpadu. Makalah dalam Conciencia, Jurnal
Pendidikan Islam, No.1 Vol IV Juni 2004, PPS IAIN 'Raden Fatah
Palembang.
Ghalayain, Musthofa, al-, Jmi' al-Durs al-'Arabiyyah, Beirut: Maktabah Ashriyyah,
2005.
Hadi, Amirul, Metodologi Penelitian Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Haidar, Farida Abu, A Study of The Spoken Arabic of Baskinta, E.J Brill / Leiden &
London, 1979.
Hamied, Fuad Abdul, Proses Belajar Mengajar Bahasa, Jakarta: Ditjen Dikti,
Depdikbud, 1987.
Hammsah, Abdul Latf, Muh., dkk, al-Nahw al-Ass, Madnah Nasr: Dr al-Fikr
al-Arabi, 1997.
________, Bin al-Jumlah al-Arabiyyah, Kairo: Dr Gharb, 2003.
Hasan, Imam, Proses Morfologi dalam Bahasa Arab. Makalah dalam Jurnal Bahasa
dan Seni, Tahun 29, No. 2, Agustus 2001, FPBS, UM, Malang.
Hassn, Tammm, Al Lughh Al-Arabiyyat Manh Wa Mabnh, Kairo: lam
al-kitab, 1998.
________, al-Khulshah al-Nahwiyyah, Kairo: lam al-Kutub, 2000.
________, Manhij al-Bahts f al-Lughah, Dr al-Tsaqfah, 1979.
Hastuti, Sri, Sekitar Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia, Yogyakarta: Mitra
Gama, 1989.
Hidayat, H.D, al-Lughah al-Manthqah wa Khalq al-Bah. Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Model Pengembangan Pembelajaran Bahasa Arab,
UIN Jakarta, 24 Mei 2007.
________, Mencairkan Kebekuan Komunikasi Dalam Bahasa Arab. Makalah,
disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Nasional Bahasa Arab III, Jakarta 4-6
September 2003.
________, Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia; Masalah dan Cara Mengatasinya.
Makalah disampaikan pada Seminar LPBA as-Sud di Jakarta, 1-3
September 1986
Hijz, Mahmd Fahm, Madkhal Il Ilm al-Lughah, Kairo: Dr al-Tsaqfah, 1978.
Ibnu Mlik, Nadzm al-Alfiyah f al-Nahw wa al-Sharf, Bandung: al-Marif, tt.
339

IM, Thoyib,Pengajaran Bahasa Arab dan Politik Bahasa Nasional. Makalah


dipresentasikan pada PINBA III Jakarta, 4-6 September 2003.
Januar, Kesalahan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN Sultan Thaha
Saifuddin Jambi dalam Pembelajaran Insya', Tesis, PPs UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2006.
Jawa Pos Senin 23 Juli 2007.
Khasairi, Moh., Aspek Gramatikal dalam Bahasa Arab Lisan Pebelajar. Makalah
dalam Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 26, No. 2 Agustus 1998, FPBS IKIP
Malang.
_______, Kesilapan Penggunaan Preposisi dalam Bahasa Arab . Makalah dalam
Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 30 No. 1 Perbuari 2002, FPBS UM Malang.
Kholisin, Genus dan Peranannya dalam Gramatika. Makalah dalam Jurnal Bahasa
dan Seni, Tahun 27 No. 2, Agustus 1999, Fak. Sastra UM, Malang.
Kushartanti dkk, Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Madkr, Al Ahmad, Tadrs Funn al-Lughah al-Arabiyyah, Kairo: Dr al-Fikr
al-Arab, 2000.
Mastna, Moch, HS. Orientasi Pemikiran Semantik al-Zamakhsyary, Jakarta: Anglo
Media, 2006.
________, HS. dkk, Interferensi Dalam Kesalahan Berbahasa Mahasiswa Program
Bahasa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Laporan Penelitian, Jakarta :
Lembaga Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak dipublikasikan,
2001.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, Cet. 15,
2001.
MS, Mahsun, Metode Penelitian Bahasa, Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2005.
Muminin, Iman Saiful, Kamus Ilmu Nahwu dan Sharf, Jakarta: Amzah, 2008
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989.
Muhammad, Abu Bakar, Metode Praktis Tashrif, Surabaya: Karya Abditama, 2000.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir; Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: PP
A-Munawwir, 1984.
Nababan, Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia, 1984.
340

Nimah, Fud, Mulakhash Qawid al-Lughah al-Arabiyyah, Beirut: Dr


al-Tsaqfah, tt.
Nunan, David, Research Methods in Language Learning, Cambridge University
Press, 1992.
Nurhadi - Roekhan, Dimensi-dimensi dalam Belajar Bahasa Ke Dua, Bandung: Sinar
Baru, 1990.
Parera, Jos Daniel, Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa, Jakarta: Gramedia, 1993.
________, Linguistik Edukasional, Metodologi Pembelajaran Bahasa, Analisis
Kontrastif Antar Bahasa, Analisis Kesalahan Berbahasa, Jakarta: Erlangga,
cet. 2,1997.
________, Sintaksis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Edisi Kedua, 1991.
Pateda, Mansoer, Analisis Kesalahan, Flores NTT: Nusa Indah, 1989.
________, Linguistik Terapan, Flores: Nusa Indah, 1991.
Poerwadarminto WJS, Bahasa Indonesia Untuk Karang-Mengarang, Jakarta: UP
Indonesia, 1984.
Raharjo, Mudjia, Pengantar Penelitian Bahasa, Malang: Cendekia Paramulya, 2002.
Richards, Jack C, Error Analysis, Perspectives on Second Language Acquisition,
London: Longman, 1973.
Rombepajung, JP, Pengajaran dan pembelajaran Bahasa Asing, Jakarta: Depdikbud,
1988.
Samsunuwiyati, Psikolinguistik, Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, 2005.
Samsuri, Analisis Bahasa;Memahami Bahasa Secara Ilmiah, Jakarta: Erlangga, 1987.
Sevilla, Consuelo G, An Introduction to Research Methods, alih bahasa Alimuddin
Tuwu, Jakarta: UI Press, 1993.
Shn, Mahmd Isml, Al-Amin, M.Ishaq, al-Taqbul al-Lughaw wa Tahlil
al-Akhth', Riydh: Jmiah Malik al-Su'd, 1982.
Soekemi, Kem, dkk, Metodologi Penelitian Bahasa, Surabaya: Unesa University
Press, 2000.
Subyakto Sri Utari, Nababan, Metodologi Pengajaran Bahasa, Jakarta: Gramedia,
1993.
Stenberg, D, Psycholinguistics : Language Mind, and World, Longman Linguistic
Library, 2001.
341

Stevick, Earl W Teaching and Learning Languages, Cambridge University Press,


1982.
Sudjai, M. dkk, Pemakaian Bahasa Indonesia di Lingkungan Masyarakat Tionghoa
Jawa Timur, Jakarta: Pusat Pengembangan-Pembinaan Bahasa, Depdikbud,
1986.
Sugiyono, Pedoman Penelitian Bahasa Lisan: Fonetik, Jakarta: Pusat Bahasa,
Depdiknas, 2003.
Sugono, Dendy, Berbahasa Indonesia dengan Benar, Jakarta: Kilat Grafika, 1986.

Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Rosdakarya,


2005.
Suprayogo, Imam, Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung:
Rosdakarya, Cet.II, 2003.
Suwarna, Pembetulan Kesalahan dalam Pengajaran Bahasa Ke Dua. Makalah pada
Jurnal Cakrawala Pendidikan, Nomor 2 Tahun XI, Juni 1992, Pusat
Pengabdian pada Masyarakat, IKIP Yogyakarta.
Suwendi, Restrukturisasi MAK, Studi Kebijakan Penyelenggaraan Program Tafaqquh
fid din Era UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Makalah dalam Edukasi,
Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 4 No. 4 Oktober
Desember 2006, Puslitbang Depag.
Syadzali, Munawir, MAPK : Eksperimen itu Ternyata Berhasil. Makalah dalam
Madrasah, Jurnal Komunikasi Dunia Perguruan, Vo. 1 N0. 4 1998, PPIM
IAIN Jakarta.
Syhin, Taufq M, Tanmiyah al-Lughah al-Arabiyyah, Kairo: Maktabah Wahbah,
1980.
Syamsuddin AR, Damaianti, Vismaia, Metodologi Penelitian Pendidikan Bahasa,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Tadjudin, M, dkk, Pemerolehan Bahasa Asing, Jakarta: Depdikbud, 1999.
Tarigan, Henry Guntur; Djago Tarigan, Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa,
Bandung: Angkasa, 1988.
________, Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa, 1990.
Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran Kompetensi Bahasa, Bandung: Angkasa, 1990.
________, Pengajaran Pemerolehan Bahasa, Bandung: Angkasa, 1988.
________, Pengajaran Remedi Bahasa, Bandung: Angkasa, 1990.
342

________, Prinsip-prinsip Dasar Metode Riset Pengajaran dan Pembelajaran


Bahasa, Bandung: Angkasa, 1993.
________, Psikolinguistik, Bandung: Angkasa, 1984.
Thuaimah, Rusyd Ahmad, Talm al-Arabiyyah li Ghair al-Nthiqna bih;
Manhijuh wa Aslbuh, Rabath: Isesco, 1989.
Tim, Model KTSP MA, Dit Pend. Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam, Depag, 2007.
Tim, Standar Isi Bahasa Arab, Standar Isi Madrasah Aliyah, Ditjen Pendidikan Islam
Departemen Agama, 2006.
Ubdah, Muhammad Ibrhm, al-Jumlah al-Arabiyyah; Mukawwantuh,
Anwuh, Tahlluh, Kairo: Maktabah al-Adab, 2001.
Usth, Abdullah Muhammad, Al-, Al Tarf Fi Ilm Al-Tashrf; Dirsah Sharfiyyah
Tathbqiyyah, Troplis: Kulliyyah Al Dawah Al Islmiyyah, 1982.
Univ.Al-Azhar Indonesia, Hasil Survey Kemampuan Membaca Bahasa Arab Siswa
MA di Indonesia. Kerja sama Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan
Depag-Fakultas Sastra Univ.Al-Azhar Indonesia, 2007.
Verhar, J.W.M, Pengantar Linguistik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1992.
Walcott, William H, Knowledge, Competence, and Communication, London: Black
Rose Books, 2007.
Widiatmoko, Sumbangan Kompetensi Gramatikal terhadap Keterampilan Berbicara.
Makalah pada Jurnal Lingua, Vol.3 No.1 Maret 2004, LIA Jakarta.
Zamzami, Kajian Kegramatikalan Kalimat dalam Penerapan EYD dalam Tesis
Berbahasa Indonesia Mahasiswa IKIP Yogyakarta, 1985, Disertasi, tidak
diterbitkan.
LAMPIRAN
344

Lampiran II : Data Kesalahan Gramatika (Morfologi dan Sintaksis) Mahasiswa


Mahad Aly Hasyim Asyari PP Tebuireng Jombang dalam Berbahasa
Tutur (Diskusi)

I. Kesalahan dalam Aspek Morfologi (Sharf)

1. Kesalahan Marifah Nakirah


No.
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.

6 1

6 2

11 3
14 / 4
16 .. 5 ..

19 6
22 7
23 8
24 9
24 10
25 11

11 JUMLAH

Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah :


a. Membuat marifah pada kata yang seharusnya nakirah, berjumlah 9 ungkapan, yakni
nomor 1,2,4,5,6,7,8,9,11.
b. Membuat nakirah pada kata yang seharusnya marifah, berjumlah 2 ungkapan, yaitu
nomor 3,dan 10.

2. Kesalahan Mutaadd-Lzim

No.
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.

168
345

1 1
1 2
1 3
1 4
2 5
2 6
2 7
3 8

3 9

3 10

5 11
6 12
/
8 13

7 14
9 15
12 16
12 17
12 18
14 19

15 20

16 21

16 22

18 23

169
346

18 24
18 25
19 26
19 27
21 28
22 29
22 30
23 31
23 32
23 33
23 34
25 35
25 36
25 37

37 JUMLAH

Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah :


a. Membuat mutaadd pada kata yang seharusnya lzim, berjumlah 6 ungkapan, yaitu
nomor 11,14,21,22,29,30.
b. Membuat lzim pada kata yang seharusnya mutaadd, berjumlah 31 ungkapan, yaitu
nomor 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,12,13,15,16,17,18,19,20,23,24,25,26,27,28,31,32,33,34,35,
36,dan 37.

3. Kesalahan dalam isytiqq (derivasi)

No.
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.

1 1
2 2
2 3
2 4
2 5
170
347

3 6
3 7
4 8
4 9
:
4 10

5 11
5 12
5 13
5 14
5 15
6 16
6 17
6 18
6 19
7 7 20
7 21

8 22

8 23
8 24
9 25
10 26
11 27
11 28
12 29
12 30
13 31

171
348

14 32
14 33
14 34
14 35
14 36
14 37

14 38

14 39
14 40
15 41
15 42
15 43
15 44
15 45
16 46
16 47
16 48
17 49
17 50

..
17 51

18 52

18 53

19 54

172
349

19 55

19,19 56

19 57
21 58
21 59
22 60
22 61
22 62
22 63
22 64
22 65

22 66

22 67
23 68
23 69
23 70
24 71
24 72
24 73
25 74
25 75
77 JUMLAH

Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini dikelompokkan sebagai berikut :
a. Kesalahan isytiqq pada ism berjumlah 32, terdiri dari :
- Pembentukan adad, berjumlah 1 ungkapan, yaitu nomor 72.
- Pembentukan jam taksr, berjumlah 4 ungkapan, yaitu nomor 6,16,30,dan 67.

173
350

- Pembentukan mashdar, berjumlah 17 ungkapan, yaitu nomor


13,17,21,22,23,29,35,37,41,45,48,55,56,59,62,73,dan 75.
- Pembentukan mansb, berjumlah 3 ungkapan, yaitu nomor 3,7, dan 32.
- Pembentukan shifah, berjumlah 7 ungkapan, yaitu nomor 2,24,26,42,61,69, dan 71.

b. Kesalahan isytiqq pada fiil, berjumlah 45 ungkapan, terdiri dari :


- Pembentukan adad, berjumlah 2 ungkapan, yaitu nomor 1 dan 4.
- Pembentukan hurf mudhraah, berjumlah 7 ungkapan, yaitu nomor
5,20,25,31,33,39,dan 40
- Pembentukan fil malm, berjumlah 8 ungkapan, yaitu nomor
8,12,14,15,19,51,58,dan 74.
- Pembentukan fil majhl, berjumlah 13 ungkapan, yaitu nomor 9,10,11,18,36,43,
46,50,52,54,56,66, dan 70.
- Pembentukan mujarrad-mazd, berjumlah 15 ungkapan, yaitu nomor
20,27,28,34,38,44,47,49,53,57,60,63,64,65,dan 68.

4. Kesalahan dalam Zamn (kala/tense)

No.
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.

3 1

7 2
14 3
4 JUMLAH

Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah :


a. Fil mdhi digunakan untuk menunjukkan waktu sekarang, akan datang, atau kebiasaan,
hanya ada satu ungkapan kesalahan, yaitu pada nomor 1.
b. Fil mudhri digunakan untuk seharusnya menggunakan fil mdhi, berjumlah 2
ungkapan, yaitu pada No.2 dan 3.

II. Kesalahan dalam Aspek Sintaksis (Nahw)

1. Kesalahan dalam persesuaian (Tawfuq / Agreement)


a. Persesuaian dalam hal adad (bilangan)

No. Seharusnya Ungkapan Yang Salah No

174
351

Resp.

2 1
2 2
3 3

3 4

6 5
6 6
7 7
7 8
8 9
8 10

10 11

11 12
12 13
16 14
17 15
18 16
25 17
17 JUMLAH

Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah :


a. Tidak adanya kesesuaian antara ism dengan fil, berjumlah 12 ungkapan, yaitu pada
nomor 1,2,3,5,7,8,9,10,11,14,15,dan 16.
b. Tidak adanya kesesuaian antara ism dengan dhamr, berjumlah 5 ungkapan, yaitu pada
nomor 4,6,12,13, dan 17.

b. Persesuaian dalam hal nau(penanda gender)

175
352

No.
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.

1 1
1 2
1 3
1 4
1 5
1 6
1 7
1 8
1 9
1 10
1 11
2 12
2 13
2 14
2 15

2 16

2 17
2 18
2 19
2 20
2 21
2 22
2 23
2 24
2 25

176
353

2 26
2 27
3 28
3 29
3 30

3 31

3 32
3 33
3 34
3 35

3 36

3 37

3 38

3 39

6 40

6 41
6 42
7 43
7 44
7 45
7 46
7 47
8 48

177
354

8 49

8 50
8 51

8 52

8 53

8 54
10 55
10 56
10 ...... 57
11 58
11 59
11 60
11 61
11 62
11 11 63

11 64
...

11 65

11 66
12 67
12 68
" "
12 69

12 70

178
355

12 71
12 72
13 73
14 74
14 75
14 / 76
14 77

15 78

15 79
15 80
15 81
15 ......... 82
16 83
16 84

16 85

16 86 .....

16 87

16 88

17 89

17
90

18 91

18 92

179
356

18 93
19 94
"......." "......."
19 95

19 96
19 97
20 98
20 99
20 100
20 101
21 102
21 103
21 104
21 105
22 106

22 107

22 108
22 109
22 110
22 111
22 112
23 113
23 114
23 115
23 116
24 117
24 118

180
357

24 119
24 120
24 24 121
24 24 122
25 123
25 124
127 JUMLAH
Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah :
a. Tidak adanya kesesuaian antara ism dengan fil, berjumlah 28 ungkapan, yaitu pada
nomor 1,2,6, 8,9,10,15,16,25,26,27,
33,39,44,59,61,62,69,71,72,75,87,89,90,98,108,121,dan 124.
b. Tidak adanya kesesuaian antara ism dengan dhamr, berjumlah 19 ungkapan, yaitu pada
nomor 3,5,23,28,29,31,34,35,45,57,68,77,78,82,99,101,106,114 dan 117.
c. Tidak adanya kesesuaian antara ism maushl dengan id shilah, berjumlah 6 ungkapan,
yaitu pada nomor 37,38,52,53,65,dan 121.
d. Tidak adanya kesesuaian antara fil dengan fil, berjumlah 31 ungkapan, pada nomor
11,13,21,22,30,32,46,49,54,60,66,79,80,81,83,86,91,96,97,100,107,109,110,111,112,1
13,118,119,120,dan 122(2x).
e. Tidak adanya kesesuaian antara nat dengan mant, berjumlah 23 ??ungkapan, yaitu
pada nomor 17,18,19,20,24,42,43,47,48,55,56,58,63,73,74,76, 84,88,93,105,115,116,
dan 123.
f. Tidak adanya kesesuaian antara isyrah dengan musyr ilaih, berjumlah 20 ungkapan,
yaitu pada nomor 4,7,12,14,36,40,41,50,51,63,64,67,70,85,92,94,95,102,103,dan 104.

c. Persesuaian dalam hal tayn (tanda penjelas)

No
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.

1 1

1 2

1 3
8 4
9 5
10 6

181
358

14 7
14 8
17 9
18 10
19 11
23 12
24 13
13 JUMLAH

Semua kesalahan yang ada berupa manut dalam bentuk nakirah, naat berbentuk marifah

2. Kesalahan dalam irb dan tandanya

No
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.

1 1
1 2
1 3
1 4
1 5
2 6
2 7
2 8

2 9

2 10
2 11
3 12
3 13
3 14
3 15

182
359

3 16
3 17
4 18
4 19
4 20
4 21
4 22
4 23
4 24
4 25
4 26
5 27
5 28
5 29
5 30
5 31
5 32
5 33
7 34
7 35
7 36
7 .... 37
7 38
7 39
9 40
10 41
11 42
11 43

183
360

12 44
12 45
12 46
13 47
13 48
13 49
13 50
13 51

13 52

14 53
14 54
14 55
15 56
15 57
16 58
16 59
16 60
16 61
16 62
17 63
17 64

18 65

18 66

18 67

18 68

184
361

18 69
18 70
18 71

19 72

19 73
19 74

19 75

19 76
19 77
19 78
19 79
19 80
20 81
20 82
20 83
21 / 84
21 85
21 86
21 87
21 88
22 89

22 90

22 91
22 92
22 93

185
362

23 94
24 95
24 96
24 97
24 98
25 99
25 100
25 101

101 JUMLAH

Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah :


a. Kesalahan pada irb ism berjumlah 98 ungkapan, terdiri dari :
- Kesalahan irb rafa : 18 ungkapan, yaitu nomor
8,17,23,27,28,38,41,47,48,59,74,75,82,89,96,98,99,dan 101.
- Kesalahan irb nashab : 56 ungkapan, yaitu nomor 1,2,5,6,9,10,11,13,14,15,18,19,
20,21,22,29,32,34,35,37,42,43,44,45,46,49,53,55,56,57,58,60,61,62,63,65,66,68,69
,70,71,73,76,78,80,81,83,84,86,87,88,91,93,94,95, dan 97.
- Kesalahan irb jarr : 24 ungkapan, yaitu nomor
3,7,12,16,24,26,30,31,33,36,39,40,50,51,52,54,64,67,72,77,79,85,90,dan 92.
b. Sedangkan kesalahan pada irb fil, hanya berjumlah 3 ungkapan, yaitu pada nomor
4,25,dan 100.
3. Kesalahan karena tidak mengetahui kaidah khusus

No
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.

1 1
1 2
/
2 3

6 4
7 5
11 6
13 7

186
363

13 8
15 9

22 10

24 11

11 JUMLAH

Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah :


a. Kesalahan pada bab adad, terdapat pada 3 ungkapan, yaitu nomor 1,2,dan 11.
b. Kesalahan membuat dua fil atau lebih untuk satu fil, yaitu pada nomor 3 saja.
c. Kesalahan membuat marifah pada mudhf, terdapat pada 7 ungkapan, yaitu nomor
4,5,6,7,8,9 dan 10.

4. Kesalahan dalam struktur kalimat

No
Seharusnya Ungkapan Yang Salah No
Resp.

1 1
1 2
2 3
2 4
2 5

3 6

3 7
3 8
6 9

6 10

6 11

187
364

7 12
7 13
7 14
8 15

8 16

8 17
8 18
11 19
12 20
13 21
14 22
14 23
14 24
14 25
14 26
14 27
14 28
14 29
16 30
16 31
16 32
17 33

17 34

17 35
...
17 36
..

188
365

18 37

18 38

19 39

19 40
22 41
22 42
25 43
25 44

44 JUMLAH

Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah :


a. Penambahan kata, terdapat pada 20 ungkapan, yaitu nomor 1,3,6,8,9,10, 11,13, 14, 18,
20,21,24,26, 30,34,37,41,43, dan 44
b. Penghilangan kata, terdapat pada 16 ungkapan, yaitu pada nomor 2,4,5,7,
12,15,17,19,23,25,29,32,33,35,40, dan 42.
c. Struktur yang lemah, terdapat 8 ungkapan, yaitu pada nomor 16,22,27,28,31,36,38,dan
39.

189

Anda mungkin juga menyukai