Anda di halaman 1dari 3

Fungsi lembaga keuangan adalah sebagai perantara keuangan yang menghubungkan

unit surplus (yang mengalami kelebihan likuiditas) dengan unit defisit (yang mengalami
kekurangan likuiditas). Hal ini berarti lembaga keuangan memungkinkan adanya aliran dana
(atau aliran likuiditas) dari pemberi pinjaman (lender) atau deposan (depositor) atau unit
surplus kepada peminjam (borrower) atau entrepreneur atau peminjam atau unit deposit.
Posisi yang berbeda antara pemberi pinjaman dan peminjam menyebabkan informasi yang
dimiliki masing-masing pihak juga tidak sama. Peminjam cenderung lebih memiliki
informasi tentang penggunaan pinjaman dan seluk-beluknya, karena memang dialah yang
mengelola dana tersebut untuk tujuan investasi atau konsumsi tertentu. Di sisi lain, pihak
pemberi pinjaman kurang memiliki informasi tentang kondisi penggunaan dana oleh
pinjaman. Unit defisit yang lebih mengetahui secara rinci efisiensi penggunaan dananya, arus
kas usahanya, besarnya laba atay rugi yang dihasilkan, masalah keuangan yang muncul, dan
juga termasuk penyimpangan penggunaan dana bila memang terjadi. Secara teoretis, kondisi
akses informasi yang tidak sama ini disebut dengan kondisi informasi asimetris (asymmetric
information).

Informasi asimetris (asymmetric information) membuka peluang bagi pihak yang lebih
banyak memiliki informasi untuk tidak mengungkapkan informasi tersebut dengan baik.
Peluang untuk tidak mengungkapkan informasi ini menjadi menarik karena tindakan tersebut
dapat membawa konsekuensi moneter yang menguntungkan. Sebagai contoh, informasi
tentang besarnya laba atau rugi yang dimiliki oleh meminjam dapat dijadikan landasan untuk
mengajukan penundaan pembayaran pengembalian pinjaman dan bunganya. apabila pihak
pengguna dana memandang bahwa memberikan informasi tabah yang lebih rendah akan
dapat meringankan kewajiban pembayaran pokok dan bunga kepada pihak pemberi pinjaman,
berarti pihak peminjam mendapatkan dorongan untuk memberikan informasi yang salah
kepada pemberi pinjaman. Pihak peminjam biasanya adalah pihak yang memiliki lebih
banyak informasi tentang penggunaan dana.

Secara umum, implikasi dari informasi asimetris (asymmetris information) berupa


pilihan untuk menyampaikan informasi tidak secara baik dalam rangka mendapatkan
Kuntungan moneter diebut dengan moral hazard. Dengan demikian secara spesifik, moral
hazard dalam hal ini berarti adalah risiko penyampaian informasi yang tidak sesuai dengan
kenyataan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman dengan tujuan untuk mendapatkan
manfaat moneter. Moral hazard ini adalah masalah riil yang terjadi dalam hubungan antara
peminjam dan pemberi pinjaman, bukan hanya ada dalam analisis teoretis. Dengan adanya
moral hazard, terbuka peluang munculnya inefisiensi di pasar uang karena informasi
asimetris.

Untuk menurunkan atom metal minimun kan dampak negatif dari informasi asimetris
dan moral Hazard ini berarti harus dilakukan tindakan tindakan tertentu. Permasalahan untuk
merumuskan tindakan tindakan tertentu agar pihak yang memiliki informasi lebih banyak
tidak menyalahgunakan keunggulan akses informasi nya disebut dengan masalah insentif.
Masalah insentif inilah yang kemudian menjadi masalah yang harus dipecahkan dalam
hubungan peminjam dan pemberi pinjaman. Masalahnya adalah mencari cara cara agar
pemberi pinjaman tidak memberikan informasi yang salah kepada pemberi pinjaman,
sehingga akhirnya informasi yang diterima oleh pemberi pinjaman adalah informasi yang
benar dan pemberi pinjaman tidak dirugikan. Dalam kondisi demikian, pasar menjadi efisien
karena sumber daya menjadi cenderung dikelola oleh pihak pihak yang juga efisien.

Solusi utama dari informasi asimetris adalah pengawasan (monitoring) oleh pihak
deposan (depositor). Namun demikian, mengingat keterbatasan posisi deposan dalam
kaitannya dengan keberadaan lembaga keuangan sebagai perantara keuangan (financial
intermediary), pengawasan ini sulit sekali dilakukan secara langsung oleh deposan. Solusi
paling masuk akal, dengan demikian, adalah delegasi pengawasan atau intermediasi oleh
lembaga keuangan. Dengan adanya delegasi monitoring, diharapkan monitoring dilakukan
oleh lembaga atau pihak yang memang memiliki kemampuan dan spesialisasi dalam bidang
pengawasan, yaitu lembaga keuangan. Delegasi pengawasan diharapkan akan dapat
memberikan jawaban tepat bagi masalah insentif.

Apabila tidak dilakukan delegasi pengawasan atau tanpa intermediasi, ada dua
kemungkinan implikasi yang bisa muncul. Dalam kondisi masyarakat yang memungkinkan
informasi sebagai barang pribadi (private atau bukan barang publik), maka kegiatan
pengawasan akan dilakukan oleh semua pihak secara sendiri sendiri karena pengawasan yang
telah dilakukan atau dimiliki oleh seseorang tidak akan bisa dinikmati oleh orang lain,
padahal pihak pihak yang terkait dengan pasar uang semuanya memerlukan informasi hasil
pengawasan. Kegiatan duplikasi pengawasan ini menyebabkan kegiatan pengawasan menjadi
sangat mahal secara individual maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Disisi lain,
dalam kondisi masyarakat yang memungkinkan informasi sebagai barang publik, muncul
kemungkinan tidak ada pengawasan sama sekali. Karena tanpa campur tangan otoritas
moneter, informasi hasil pengawasan akan menjadi milik bersama atau informasinya banyak
dinikmati oleh penumpang gelap (free-rider), sehingga individu akan merasa rugi bila
melakukan kegiatan pengawasan. Individu tidak mendorong melakukan pengawasan karena
kegiatan pengawasan memerlukan pengurbanan sumber daya atau biaya, dan di sisi lain yang
akan menikmatinya adalah semua orang, sehingga individu yang melakukan pengawasan
akan merasa dirugikan. Kegiatan pengawasan, dalam kondisi demikian, hanya akan efektif
bila dilakukan oleh otoritas moneter dan hal ini sama saja dengan delegasi pengawasan.

Apabila delegasi pengawasan yang dipilih sebagai solusinya, selanjutnya yang perlu
dilakukan adalah menyadari bahwa delegasi pengawasan memerlukan biaya dan hal tersebut
dilakukan atas suatu tujuan tertentu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan suatu rate of
return tertentu hasil penyaluran dana. Menyadari hal tersebut, secara teoretis, permasalahan
ini dapat dimodelkan berupa minimisasi biaya delegasi pengawasan dan atau maksimisasi
tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of return) bagi perusahaan
(entrepeneur) dengan kendala tingkat pengembalian tertentu bagi peminjam. Pemodelan ini
tentu saja, cara individual, dipengaruhi oleh karakter masing masing pihak yang terlibat
dalam sistem lembaga keuangan. Karakter yang cenderung menghindari resiko (risk averse)
tentu saja akan berbeda dengan yang netral terhadap resiko (risk neutral). Mengingat
pemodelan ini biasanya lebih mudah untuk memasukkan ukuran-ukuran moneter, maka
sebenarnya modal akan menjadi lebih lengkap apabila juga mau masukan unsur-unsur
nonmoneter.
Keseluruhan kondisi dan permasalan yang terdapat dalam intermediasi dan pengawasan
diatas digambarkan secara sederhana dalam gambar tersebut. Hal yang perlu diperhatikan
adalah bawah industri tersebut hanyalah gambaran suatu model, sehingga isinya adalah
penyederhanaan dari kenyataan yang terjadi pada lembaga keuangan. Seperti permodalan
yang lain, kelemahan ilustrasi ini adalah bawa mudah tidak mampu memasukkan semua
unsur, terutama unsur-unsur yang relatif kurang besar pengaruhnya terhadap sistem. Namun
demikian, Tampa mudah kita sudah sekali untuk mendapatkan abstraksi atau gambaran jelas
dari kenyataan empiris tentang kondisi dan permasalahan lembaga keuangan. ilustrasi ini
menggambarkan permasalahan dalam lembaga keuangan yang diawali dengan hubungan
peminjam-pemberi pinjaman, munculnya informasi asimetris, munculnya moral Hazard,
adanya masalah insentif yang harus diselesaikan, perlunya delegasi pengawasan, konsekuensi
bila tidak ada delegasi pengawasan, pemodelan minimisasi biaya pengawasan, serta faktor-
faktor yang memengaruhi model.

Anda mungkin juga menyukai