Anda di halaman 1dari 16

Geertz dan Masalah Kesukuan*

Kemala Chandrakirana

Gagasan Geertz tentang politik primordial sebagai suatu sentimen yang tak rasional tampaknya lahir dari
pendekatan yang a-historis dan kurang tanggap terhadap dimensi struktural masyarakat. Kesukuan,
sebagaimana ditunjukkan dalam kasus gerakan pembentukan Negara Sumatera Timur, justeru adalah produk
dari proses-proses sosial, dengan dasar kepentingan politik dan ekonomi yang dapat diidentifikasi dan dijelaskan
secara rasional.

Pendahuluan
GEERTZ telah banyak memberikan sumbangan kepada penelaahan sistem
politik dan kebudayaan Indonesia. Konsep-konsep seperti involusi pertanian
dan aliran telah merangsang sejumlah perdebatan dan karya tulis oleh para
ilmuwan Indonesia maupun internasional.
Makalah ini adalah sebuah telaah lain lagi yang dirangsang oleh tulisan
Geertz, yakni yang berjudul The Integrative Revolution: Primordial Senti-
ments and Civil Politics in New States, 1 yang dibuatnya pada awal tahun
1960- an. Karya Geertz yang satu ini agaknya ditulis sebagai tanggapan
terhadap masa ketika gejolak politik dalam tahun lima puluhan melanda
bangsa-bangsa yang baru merdeka seperti Indonesia, Malaysia, Burma, India
maupun yang di Lebanon, Maroko dan Nigeria. Regionalisme, persekutuan
dan pertikaian antar suku bangsa, serta paham kedaerahan merupakan
masalah-masalah yang dihadapi negara-negara (nation-state) tersebut dalam
upaya mereka membangun bangsa (nation-building). Pertanyaan yang
menggelitik Geertz ialah, apakah ada suatu fenomen umum yang dapat
dirampatkan yang berlaku bagi masyarakat-masyarakat baru tersebut. Ia
menganggap ada dan mengkonseptualisasikannya sebagai suatu Revolusi Inte-

*) Kemala Chandrakirana, lahir di Jakarta, 1960; memperoleh pendidikan di Department


of Sosiology, Sophia University, Tokyo, Jepang (1983), meraih gelar MA dari Cornell
University, Ithaca, New York (1988) dengan judul tesis: Ethnic-based Political Movement in
North-Sumatra: The Role of Ethnicity in Politics". Tulisan ini diambil dari tesis Master
Kemala Chandrakirana
1
Clifford Geertz, The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil Politics in
the New State, dalam Clifford Geertz (ed.), The Interpretation of Cultures, Basic Books,
New York, 1973.
gratif. Dalam revOlusi integratif ini terdapat dua kekuatan utama yang berlaga,
yakni rasa primordial (primordial sentiment) dan kesadaran politik (civil
politics). Melalui pembahasan tentang revolusi integratifnya Geertz bermak-
sud menjelaskan sifat dasar dari perpolitikan di negara-negara yang baru mer-
deka tersebut.
Karena bagian terbesar dari karya Geertz ini membahas, sifat-sifat dasar
dari politik primordial di negara-negara baru itu, maka bahasannya membantu
mereka-mereka yang berminat memahami peranan unsur-unsur seperti kesu-
kuan dan ras dalam sistem politik dan perekonomian negara-n,egara non-
inclustri. Pandangan dan gagasan yang diajukan dalam telaah itu merangsang
ulasan dan penilaian lebih lanjut, terutama dengan acuan pada data historis.
Inilah yang menjadi tujuan penulisan makalah ini. Tulisan ini tidak akan
memberikan tanggapan terhadap konsep Revolusi Integratif dalam
keseluruhannya, melainkan hanya terhadap salah satu unsurnya yang penting,
yakni sifat dasar dari politik primordial. Guna memberikan alternatif yang
konstruktif kepada telaah politik primordial, pengkajian ulang atas karya
Geertz ini akan dilengkapi dengan sebuah studi sosial historis tentang
dinamika dari ikatan primordial dalam sistem ekonomi dan politik pada
masyarakat Sumatera Timur di masa kolonial.

Tentang Revolusi Integratif dan Ikatan Primordial


Konsep Revolusi Integratif mengacu kepada suatu masa dalam sejarah
segera setelah masyarakat-masyarakat jajahan merebut kemerdekaan
politiknya. Revolusi Integratif dirumuskan sebagai:
berhimpunnya kelompok-kelompok primordial yang tradisional dan selama ini berdiri
sendiri, ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar dan tersebar, yang kerangka
acuannya bukan lagi sebatas daerah lokal melainkan lingkup bangsa dalam
pengertian seluruh masyarakat di bawah pengayoman suatu pemerin.tahan baru. 2

Unsur utama dalam proses tersebut, yakni kelompok primordial, adalah se-
buah unit sosial yang hubungan antar anggotanya didasari oleh ikatan primor-
dial. Geertz memberikan batasan tentang ikatan primordial sebagai berikut:

Ikatan primordial diartikan sebagai sesuatu yang berakar pada hal-hal yang selalu ada
(givens) dalam kedirian masyarakat: rasa kesamaan dan hubungan kekerabatan terutama.
tetapi lebih dari itu, hal-hal yang bersumber pada lahirnya seseorang dalam komunitas
keagamaan tertentu; berbicara dalam satu bahasa, dan mentaati praktekpraktek sosial.
Kesamaan pertalian darah, cara bertutur, adat kebiasaan dan sebagainya, dianggap
mengandung daya paksa, yang timbul dari dalam keberadaannya sendiri, yang kuat dan

2
Clifford Geertz, The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil Politics in
the New State, dalam Clifford Geertz (ed.), The Interpretation of Cultures, Basic Books,
New York, 1973, hal. 106.
tak terperikan.3

Oleh karenanya, sesuatu yang "primordial" adalah suatu kenyataan sosial


yang terjadi secara alamiah, dan keterikatan' yang berasal daripadanya memi-
liki semacam kekuatan "tenaga dalam". Ciri-ciri utama dari keterikatan
primordial dapat kita simpulkan sebagai sesuatu yang bukan produk dari
proses sosial historis. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan Geertz sendiri bahwa
ikatan tersebut tampaknya mengalir lebih dari rasa keakraban alamiah ada
pihak yang mengatakan yang bersifat spiritual daripada dari interaksi
sosial.4 Kelompok primordial oleh karenanya adalah unit kehidupan bersama
di mana anggotanya memiliki hubungan alami dan kewajiban timbal balik
antara sesamanya balk atas dasar pertalian darah, kesamaan bahasa dan/atau
adat istiadat. Kawaan kegiatan politiknya, kata Geertz, terbatas pada tingkat
lokal. Dalam konteks kerangka teoritis ini, ikatan primordial diletakkan berla-
wanan dengan kesadaran kewarganegaraan (civic sense) yang pada gilirannya
dijelaczkar. Geertz:
Apa yang terkandung dalam kesadaran kelcarganeearaan (civic sense) lebih dari apa pun
adalah adanya suatu konsep yang pasti tentang publik sebagai suatu badan yang dan
jelas beserta gagasan tentang kepentingan umum .... yang berdiri semi dan kadang-
kadang bertolak belakang dengan kepentingan (interest) pribadi maupun dengan berbagai
macam kepentingan bersama.5

Atas dasar kesadaran kewarganegaraan (civic sense) ini berdirilah perilaku


politik yang lebih rasional dan moderen dan didasari perhitungan kepentingan.
Oleh karena itu, Revolusi Integratif adalah suatu proses di mana kelompok
primordial yang muncul secara alami menjadi kesatuan. politik yang lebih
besar dan bercabang (diffused) pengorganisasiannya. "Kerangka acuan" atau
wawasan kelompok-kelompok primordial ini juga lebih luas, dari lingkup
lokal ke lingkup negara (nation-state) yang supra-lokal yang baru terbentuk.
Ikatan primordial, dalam penuturan Geertz, dirampatkan dan diperluas ke
tingkat politik nasional. Apa yang sebelumnya merupakan suatu kesatuan yang
terdiri atas sekumpulan kesatuankesatuan politik yang berukuran kecil,
memiliki otonomi (relatif), dan bersifat primordial, kemudian dianggap
"terbaur" (integrated) ke dalam kesatuan politik yang tunggal. Ciri-ciri dari ke-
satuan politik baru ini ditandai oleh pemisahan antara bidang kepentingan
umum dan pribadi, yakni dilandasi politik kenegaraan (civil politics) ciri-
ciri yang bertolak belakang dengan politik primordial.
Oleh karena ciri-ciri yang bertentangan ini, maka sekali proses "integratif"
3
Ibid, hal. 259.
4
Ibid, hal. 260.
5
Ibid, hal. 309.
terjadi, ketegangan antara politik primordial dengan politik kenegaraan (civil
politics) akan mencapai puncaknya. Suatu ketegangan yang, dalam kata-kata
Geertz, terjadi antara "dua motivasi yang sama-sama kuat, sepenuhnya saling
bergantung satu sama lain, namun jelas batasan cirinya dan sering bertolak
belakang." Salah satu motivasinya adalah hasrat "untuk dike nali sebuah
pencarian identitas" sesuatu yang "tetap terikat pada realitas pertalian
darah, kesamaan asal-usul, bahasa, tempat tinggal, keyakinan agama dan/atau
tradisi." Motivasi lainnya adalah "tuntutan praktis akan kemajuan, untuk
menaikkan taraf kehidupan, orde politik yang lebih efektif, dan keadilan sosial
yang meningkat. 6 Motivasi pertama dipandang sebagai dilandasi ikatan
primordial, sedangkan yang kedua oleh kesadaran kewarganegaraan (civic
sense). Apabila muncul berbarengan, ketegangan ini menghasilkan masa
depan yang tidak menguntungkan dan suram. Sebab seperti yang dijelaskan
Geertz, sementara ia merupakan "salah satu kekuatan pendorong utama dari
perkembangan nasional dari negara-negara_muda itu," ia sekaligus juga
merupakan "salah satu hambatan terbesar dalam evolusi seperti itu.7
Geertz, beranggapan bahwa dalam negara-negara yang baru merdeka, pe-
nyelesaian ketegangan tersebut akan mendukung institusi yang lebih dikenal,
yaitu yang dibentuk oleh rasa primordial. Perwujudan dari dominasi politik
primordial menurut Geertz, berupa: pandangan, ekstrim kedaerahan,
rasialisme, dan komunalisme. Kemunculan sikap-sikap tersebut, tambah
Geertz, tidak mudah dihindari di dalam negara-negara yang baru merdeka.
Adalah proses pembentukan pemerintah sipil yang berdaulat itu sendiri yang antara lain
merangsang sentimeri.kedaerahan, paham komunal dan rasialisme, dan sebagainya, oleh
karena ia memasukkan ke dalam masyarakat, hadiah baru yang harus digeluti. 8
Negara yang berdaulat menjadi sekadar suatu arena baru, dengan "hadiah"
di mana pertentangan yang ada antara kelompok primordial dapat terus me-
nyatakan dirinya. Sebab munculnya dominasi ikatan primordial dalam kehi-
dupan politik, menurut Geertz, adalah karena dalam "masyarakat yang sedang
menjalani proses modernisasi, tradisi politik pemerintahan (civil politics)
adalah lemah dan persyaratan teknis bagi suatu pemerintah (welfare
government) yang efektif sangat kurang dipahami."98
Oleh karena kajian Geertz tentang sifat politik primordial menjadi perhatian
utama dalam makalah ini, marilah kita simak masalah ini secara lebih rinci.
Keterangan Geertz mengenai keunggulan ikatan primordial dalam kehidupan
politik di kalangan bangsa-bangsa yang baru merdeka, rupanya didasarkan

6
Ibid, hal. 258.
7
Ibid.
8
Ibid, hal. 270.
9
Ibid, hal. 260.
pada gagasan tentang kekuatan dari kontinuitas dan daya tahan solidaritas
tradisional yang disebut Geertz sebagai berlandaskan "kesadaran akan
kesamaan" (consciousness of kind) di tengah-tengah sistem politik baru yang
lebih "moderel)" dan "maju" bersamaan dengan terbentuknya negara (nation-
state). Rasa primordial (primordial sentiment) menurut Geertz, merentangkan
dirinya secara progresif melampaui konteks 1016.1 menuju kerangka acuan
yang lebih luas di dalam konteks masyarakat di tingkat nasional. Akibat dari
ini adalah munculnya suatu sistem nasional yang terdiri dari 'kubu-kubu
etnis.10 Kubu-kubu etnis pada gilirannya menegaskan kern- ball kekuatan
dari ikatan primordial yang ada.
Dengan merampatkan serta merentangkan azas-azas kesukuan, rasial, kebahasaan, dari
azas-azas lain dari solidaritas primordial, sistem "kubu etnis" seperti itu memungkinkan
dipupuknya "kesadaran akan kesamaan" (consciousness of kind) tersebut serta
menghubungkan kesadaran tersebut dengan tatanan masyarakat yang sedang ber-
kembang. Dengan itu, seseorang dapat terus meminta pengakuan umum atas keberada-
an dan makna dirinya melalui simbol-simbol yang telah dikenal tentang kekuasaan
kelompoknya.11
Sejalan dengan kekenyalan identitas primordial, ada juga kekenyalan pola
hubungan antar-kelompok primordial atau kubu antar-etnis, sebuah hubungan
yang oleh Geertz digambarkan sebagai suatu jaringan persekutuan dan per-
saingan, dilandasi sentimen seperti rasa bangga dan kecurigaan. Dalam kata-
kata Geertz:
Jaringan persekutuan dan persaingan primordial adalah pekat dan rumit,
namun diartikulasikan dengan cermat, dan merupakan produk dari
pengkristalisasian berangsur selama berabad-abad. Negara (nation-state)
yang acing dan baru dilahirkan kemarin sore dari ceceran sisa-sisa rejim
kolonial di ambang kematian, dipaksakan di atas "untaian" kebanggaan
dan kecurigaan yang terjalin halus dan dilestarikan dengan sepenuh hati,
dan harus diusahakan untuk "ditenun" menjadi "kain cita" sistem politik
moderen.12
Pemaksaan kehidupan politik pemerintahan (civil politics) "moderen"
terhadap politik primordial inilah yang merupakan sumber ketegangan yang
berkembang antara keduanya. Ketegangan antara sentimen primordial dan
kesadaran kewarganegaraan (civic sense) ini, sebagian dijelaskan oleh suatu
gagasan bahwa kedua kekuatan tersebut mengandung dua logika yang
bersaing, yaitu yang tak rasional dan yang rasional. Dalam satu nafas, Geertz
memberikan ciri kepada logika politik pemerintah (civil politics) sebagai
dilandasi perhitungan kepentingan (interest) dan pemisahan antara urusan

10
Ibid., hal. 307.
11
Ibid.
12
Ibid., hal. 268-269.
umum dan urusan pribadi. Tetapi dalam nafas lainnya, Geertz dengan
menggunakan katakata "kepedulian" (concern) dan "obsesif" (obsessive)
ketimbang misalnya, "kepentingan" (interest) dan "diperhitungkan"
(calculated) untuk menguraikan sifat politik primordial, mengungkapkan.
sifatnya yang tak rasional. Ia menyatakinnya sebagai berikut:
Oleh zkarena "rasa kesatuan" berdasarkan semangat primordial bagi kebanyakan orang
tetap merupakan Eons et origo kekuasaan yang sah banyak dari kepentingan
mengambil bentuk sikap kepedulian yang obsesif terhadap suku sendiri, daerah, sekte
atau apa pun, kepada pusat kekuasaan .... 13
Logika politik primordial dianggap tak rasional, terbentuk secara alami, dan
dalam dirinya mengandung struktur kewajiban dan keistimewaan (privilege)
yang bersifat memaksa. Cara seseorang individu mengukur kedudukannya
terhadap individu lainnya dalam struktur social. ini merupakan proses yang tak
rasional.
Kekuatan atribut yang "diwariskan" dalam hal tempat keberadaan, bahasa,
penampilan, dan gaya hidup dalam membentuk pemahaman seseorang
tentang siapa hakekatnya dia itu, dan dengan siapa is merasa tergabung,
adalah berAkar pada landasan kepribadian yang tak rasional.14
Tampaknya, faktor kepribadian memainkan peranan kunci dalam konsep
Geertz tentang politik primordial. Ketegangan antara politik primordial dan
politik kenegaraan (civil politics) disinggung dalam bentuk demikian:
"munculnya sistem 'kubu etnis" secara nasional yang terlibat dalam 'pola hu-
bungan total satu sal-11a lain,'" kata Geertz, "membuka arena untuk bentrokan
langsung antara identitas pribadi dan integritas politik di negara-negara yang
baru merdeka."1514 Namun, menurut Geertz, faktor kepribadian adalah lebih
dari sekadar sikap tingkah laku khas pada tingkat individu.
Dunia identitas pribadi yang secara kolektif disahkan dan dinyatakan di muka umum
adalah dunia yang teratur. Pola identifikasi primordial dan pemilahannya di negara baru
tidaklah berubah-ubah, bukan tanpa bentuk dan tidak beranekaragam tanpa batas
melainkan jelas batasbatasnya dan bervariasi secara sistematis."1615
Geertz selanjutnya menyatakan bahwa fenomen kepribadian kolektif
memang memiliki potensi untuk dijadikan landasan penggalangan politis. Atas
dasar ini, Geertz menyebutkan politik primordial sebagai "semacam parapoli-
tik dari bentrokan identitas publik dan percepatan aspirasi etnokratis."1716
Dalam kerangka konsep ini, penjelasan tentang pertentangan politik yang
13
Ibid., hal. 270.
14
Ibid., hal. 277.
15
Ibid., hal. 307.
16
Ibid., hal. 268.
17
Ibid., hal. 274.
melibatkan kelompok-kelompok primordial akan terbatas pada penjelasan
tentang pertentangan antara rasa "kebanggaan" (pride) dan "kecurigaan"
(suspicion) antara individu-individu dalam kelompok-kelompok primordial
yang saling bertengkar. Sentimen yang mengalami intensifikasi ini, pada
gilirannya akan dijelaskan sebagai akibat "kepedulian obsesif" (obsessive
concern) seseorang tentang kesejahteraan sesama anggota kelompok
primordialnya. Bahwa sentimen yang tak rasional semacam itu dapat
menghidupkan gerakan politik, akan dijelaskan hanya atas dasar
terkandungnya "tenaga dalam" dalam ikatan primordial.
Dengan mengangkat pengalaman-pengalaman negara-negara yang baru
merdeka, dapatkah kita membuktikan halhal berikut yang dikemukakan
Geertz: bahwa (1) ikatan primordial adalah peristiwa ahistoris yang terjadi
secara "alamiah", dan bahwa (2) politik primordial dilandasi sentimen tak
rasional yang bekerja pada tingkat kepribadian. Bagaimana hal-hal tersebut
dapat teruji terhadap fakta sejarah?
Pada saat ini akan baiklah untuk memasuki pembicaraan tentang sejarah so-
sial suatu daerah di Sumatera Utara yang semasa zaman kolonial disebut
Karesidenan Sumatera Timur. Fokus pengkajian akan diarahkan kepada telaah
tentang dinamika kesukuan. Karesidenan Sumatera Timur sangat menarik
untuk maksud menelaah kembali konsep Geertz karena dua alasan: pertama,
masyarakat di daerah itu mempunyai tingkat kemajemukan tinggi (secara etnis
dan rasial), dan kedua, sesaat setelah Indonesia memproklamasikan ke-
merdekaannya di sana muncul sebuah gerakan yang dapat diidentifikasikan se-
bagai gerakan yang dilandasi semangat primordial yang muncul pada tahun
1948 dan dikenal sebagai gerakan untuk mendirikan Negara Sumatera Timur
(NST).

Sejarah MasyaraKat Kolonial di Sumatera Timur


Sebelum kedatangan para pengusana perkebunan Eropa, penduduk
Sumatera Timur terdiri dari tiga kelompok budaya pribumi asli, yakni Melayu
Pesisir, Batak Simalungun dan Batak Karo. Suku-suku tersebut masing-
masing diperintah oleh Sultan Melayu, raja Batak iTmalungun dan pemuka
suku Batak Karo. Hubungan atara ketiga golongan penduduk dari kesatuan
politik yang berbeda itu sangat sedikit, umumnya terbatas pada hubungan
saling membela dan saling membantu dalam peperangan atau transaksi
perdagangan.
Ketika para pengusaha perkebunan Eropa mulai berdatangan untuk mem-
buka usaha perkebunan sekitar paruh kedua tahun 1800-an, segera tampak
oleh mereka bahwa mereka tidak bisa mengandalkan penduduk setempat se-
bagai sumber tenagakerja untuk perkebunan mereka. Selain jumlahnya tidak
banyak, kebanyakan penduduk asli Sumatera Timur tidak tertarik untuk
bekerja sebagai "kuli kebun". Para pemilik perkebunan itu pun terpaksa
mencari dan mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah, seperti dari Penang,
Singapura, dan kemudian juga dari Cina. Anthony Reid mencatat bahwa
dalam tahun 1888 para pengusaha perkebunan tembakau Deli mulai
memasukkan 7000 sampai akhirnya mencapai 40.000 kuli Cina setiap tahun ke
daerah ini. 18 17 Kemudian karena semakin sukar mencari tenaga kerja di
daratan Cina, para pengusaha kebun mengarahkan usaha pencariannya ke
pulau Jawa. Pada tahun 1916, terdapat sebanyak 150.392 "kuli kontrak" dari
Jawa menjual tenaga di perkebunanperkebunan Sumatera Timur. 19 18 Ber-
samaan dengan semakin berkembangnya perekonomian perkebunan, pekerja
kebun pun menjadi golongan penduduk terkwsar di daerah itu. Menurut sensus
penduduk tahun 1930, di berbagai distrik Langkat Hulu dan Langkat Hilir,
Deli bagian hulu dan hilir, Serdang, Asahan dan Simalungun, antara 31%
sampai 46% dari jumlah penduduk setempat di setiap distrik tersebut hidup di
dalam kawasan perkebunan. 20 19 Di kalangan penduduk kota Medan pada
tahun 1930, orang Jawa dan Cina merupakan mayoritas, masing-masing
dengan 46,21% dan 35,63%, sedangkan penduduk ash Melayunya hanya
13,10% dari seluruh jumlah penduduk.21 2
Kelompok budaya lain pun mulai masuk ke daerah itu pada kurun waktu
tersebut karena dorongan pemerintah jajahan. Ketika pemerintah kolonial
mulai memasuki daerah itu, ditemukan kenyataan bahwa masyarakat iokal
tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan daerah itu. Penduduk Sumatera
Timur semakin lama semakin dipenuhi oleh pekerja kebun yang memproduksi
hasil tanaman untuk pasaran internasional ketimbang untuk kebutuhan bahan
pangan lokal dan di mana sebagian besar lahan garapan diolah menjadi per-
kebunan. Sementara kebiasaan masyarakat setempat untuk bercocok tanam
secara perladangan berpindah (slash and burn) tidak cukup produktif guna
memberi makan seluruh penduduk Sumatera Timur yang sementara itu terus
bertambah.
Untuk menanggulangi masalah kekurangan pangan, pemerintah jajahan
mendorong datangnya para petani persawahan yang mampu menghasilkan
lebih banyak beras dibanding melalui sistem ladang. Petani-petani ini adalah
suku Batak Toba dari daerah Tapanuli. Pada tahun 1912, ada 1.760 orang

18
Anthony Reid, The Blood of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in
North Sumatra, Oxford University Press, Kuala lumpur, 1979, hal. 40.
19
18 Ibid.
20
Karl Pelzer, Planter and Peasant: Colonial Policy and Agrarian Struggle in East Sumatra,
1863-1947, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde,
No. 84, Leiden: 's-Gravenhage-Martinus Nijhoff, 1978, hal. 64.
21
Berdasarkan catatan Kantor Perhitungan Penduduk, 1930.
Batak Toba di Simalungun (Liddle), dan sampai tahun 1930 jumlahnya
menjadi 45.603 atau 17,64% dari seluruh penduduk.22
Arus pendatang yang memasuki daerah, khususnya pusat-pusat perkotaan
bukan hanya terdorong oleh kebijaksanaan pemerintah tetapi sebagian juga
atas inisiatif sendiri sebagai tanggapan spontan dari mereka yang ingin
berusaha dan tertarik oleh peluang lapangan kerja yang dijanjikan daerah-
daerah perkotaan yang terus berkembang.
Adalah menarik untuk memperhatikan komposisi masyarakat Sumatera
Timur sebagaimana ditunjukkan oleh sensus tahun 1930, yang memperlihat-
kan sejauh mana Sumatera Timur telah menjadi masyarakat yang bukan saja
majemuk (multi-etnik dan multi-ras), namun secara mendasar berubah menjadi
masyarakat yang mayoritas terdiri dari kaum pendatang. Suku-suku asli
Melayu Pesisir, Batak Karo dan Batak Simalungun masing-masing hanya
15%, 9% dan 6,3% dari seluruh penduduk. Sebaliknya di kalangan kaum
pendatang, suku Jawa menduduki tempat teratas dengan 42,8%, golongan
Cina 10,5%, Toba Batak 4,9%, Batak Mandailing 2,3%, sedangkan suku
Minangkabau, Banjar dan lainnya 0,7% dari seluruh penduduk.
Hubungan antar-suku pada dasarnya hanya dalam bidang pertukaran
barang, jasa dan tenaga kerja yang umumnya berlangsung di pasar-pasar dan
pusat-pusat kegiatan kota. Bersamaan dengan semakin meningkatnya
hubungan antar suku-suku asli dan kaum pendatang maupun antara kaum
pendatang sendiri, maka perbedaan asal-usul keturunan dan budaya menjadi
semakin penting sebagai dasar inenentukan identitas. Pada tahap ini, kesukuan
mencuat sebagai dasar penentuan dan pembedaan identitas sosial seseorang.
Menurut pendapat saya, sesungguhnya munculnya kesukuan sebagai dasar me-
nentukan identitas sosial terjadi di kala suatu masyarakat mencapai tingkat
kemajemukan budaya yang baru. Da- lam masyarakat kolonial di Sumatera
Timur, tingkat heterogenitas hudava itu seperti dituliskan di atas terjadi
semasa kejayaan ekonomi perkebunan menjelang tahun-tahun terakhir abad
ke-19 serta awal abad ke-20. Berbeda dengan apa yang dikemukakan Geertz,
kesukuan tidak timbul dengan sendirinya dalam keadaan kehidupan
masyarakat yang vakum sejarah. Sebaliknya, hal tersebut merupakan moat
suatu proses sosial yang dapat diidentifikasi.
Untuk melakukan pembahasan lebih lanjut, perlulah kita mengajukan perta-
nyaan berikut ini dengan acuan pada sejarah Sumatera Timur: Apakah ke-
giatan-kegiatan atau tindakan-tindakan politik dengan dasar kesukuan merupa-
kan suatu fenomen yang tidak rasional, yang beroperasi pada tingkat
kepribadian seseorang?

22
Ibid.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu merigkaji apakah memang
ada hubungan antara kesukuan dengan struktur politik dan ekonomi yang lebih
luas dalam masyarakat. Di sini asumsinya ialah bahwa sesuatu tindakan politik
yang rasional, apapun bentuk manifestasinya, merupakan cerminan dari
pertimbangan kepentingan (interest) politik dan ekonomi yang sudah
diperhitungkan (calculated). Oleh karena itu, sekiranya ditemukan hubungan
atau secara lebih khusus, tumpang tindih antara kesukuan dengan
struktur politik dan ekonomi yang lebih luas, maka penggalangan kekuatan
politik yang didasarkan pada kesukuan dapat dianggap rasional. Saya ingin
menunjukkan di sini, bahwa dalam masyarakat kolonial Sumatera Timur,
memang ada tumpang tindih antara kesukuan dan struktur politik dan ekonomi
tersebut.
Faktor kunci dalam mencapai kesimpulan ini terletak pada soal metodologi
penelaahan yang pada dasarnya merupakan sebuah telaah sejarah yang men-
coba untuk tanggap terhadap dimensi struktural suatu masyarakat. Pendekatan
historis dan struktural terhadap masalah kesukuan mengandung pengakuan
bahwa perbedaan etnis atau ihwal asal budaya mencerminkan lebih dari seka-
dar perbedaan dalam identitas kekerabatan, adat istiadat atau asal daerah,
melainkan pula perbedaan sejarah dan pola hubungan sosial yang mengikat
para anggota kelompok etnis tersebut. Pendekatan struktural historis juga
berarti memberikan perhatian tentang penyandang kekuasaan atau penguasa
dalam masyarakat. Oleh karena seperti yang dikemukakan Frederick Barth,
batas sosial dari kelompok budaya yang berbeda adalah suatu hal yang terjadi,
baik karena anggapan sendiri atau ang- gapan pihak lain.23 22 "Pihak lain" itu
dapat berarti selain anggota masyarakat lainnya tetapi juga penyandang
kekuasaan seperti negara (state).
Dalam keresidenan Sumatera Timur, pemerintah jajahanlah (colonial state)
yang berperan utama dalam menumbuhkan nilai politik dan ekonomi pada
identitas sosial berdasarkan kesukuan dan ras. Ada dua cara yang ditempuh
Pemerintah kolonial untuk mencapai hal tersebut. Yang pertama melaluisuatu
sistem penggolongan sosial dan yang kedua, melalui penggarisan kewenangan
(yurisdiksi) politik untuk kesatuan-kesatuan politik yang ada di Hindia
Belanda.
Pemerintah koloriial membedakan masyarakat Hindia Belanda ke dalam
tiga golongan rasial, yakni golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi (In-
Ilanders). Apabila disimak lebih dalam, unsur rasial dari penggolongan
masyarakat ini ternyata hanya sebutan nominal belaka. Sebagian besar mereka
yang diidentifikasikan sebagai. golongan Eropa adalah orang Belanda dan

23
22 Freederick Barth (ed.), Ethnic Group and Boundaries, Little Group and Companies,
Boston, 1969.
orang barat bukan Belanda lainnya; mereka yang dimasukkan ke dalam
kategori Timur Asing adalah orang Asia, sedangkan Pribumi adalah semua
orang Indonesia. Untuk memahami kekuatan azasi yang terkandung dalam
sistem pembagian golongan masyarakat ini, sebaiknya kita perhatikan salah
satu pengecualian yang dikenakan pada salah satu kategori ini. Kategori orang
Eropa misalnya, diberlakukan juga kepada sebagian keel orang bukan Eropa.
Furnival mencatat,
"Orang Eropa" umumnya terdiri dari mereka yang memiliki status htikum
sebagai orang Eropa, termasuk orang Amerika dan orang Asia tertentu;
dalam tahun 1930 mereka yang diakui sebagai golongan Eropa adalah
7.195 orang Jepang, 130 orang Turki, 232 orang Filipina dan 8.948 orang
"inlanders".2423
Tampaknya identitas rasial dianggap sebagai dasar yang memadai bagi
penggolongan masyarakat, hanya sejauh identitas rasial seseorang dapat men-
jadi penunjuk kedudukan politik dan ekonomi si pemegang identitas. Begitu
identitas berdasarkan ras ini tidak lagi dapat dijadikan penunjuk yang tepat
dari kedudukan politik serta ekonomi seseorang, maka hal itu dilepaskan. Kita
dapat menyimpulkan bahwa sistem penggolongan masyarakat dari pemerintah
jajahan itu digunakan sebagai cara untuk menentukan dan menggariskan hak
dan keistimewaan (privilage) daripada cerminan tentang formasi kepen-
dudukan berdasarkan ras sebagaimana adanya di Hindia Belanda. Oleh sebab
itu, jelaslah bahwa ada bobot politik dan ekonomi yang diberikan kepada
identitas kesukuan dan ras penduduk.
Cara kedua pemerintah jajahan dalam memberikan nilai politik dan eko-
nomi kepada identitas-identitas sosial tersebut adalah dengan menggariskan
pembedaan hak-hak dan kewajiban atas dasar-dasar jurisdiksi politik yang
terpisah: pertama, jurisdiksi politik pemerintah kolonia: Belanda dan yang
kedua, yurisdiksi politik pemerintahan pribumi (Native States) yang semi-
otonom. Yurisdiksi politik pemerintahan pribumi (Native States) melingkupi
masyarakat tradisional kerajaan dan dianggap berada di bawah perintah tak
langsung dari pemerintah kolonial. Pembagian yurisdiksi kedua
lembaganegara (State) tersebut lebih banyak. bersifat sosial politik daripada
teritorial. Amry Vandenbosch menjelaskannya dengan mengemukakan batas-
batas yurisdiksi pemerintahan pribumi.
Dikeeualikan dari kekuasaan pemerintahan pribumi adalah: (1) Orang Eropa dan mereka
yang dipersamakan, (2) orang Asia bukan pribumi, (3) pegawai bangsa Indonesia pada
Pemerintah Pusat, (4) semua orang yang menjadi penghuni daerah-daerah yang
diserahkan atau dikuasai Pemerintah Pusat, (5) orang Indonesia dari luar daerah yang
tinggal sementara di daerah yurisdiksi pemerintahan pribumi (Native States), (6) orang

24
23 J. Furnivall, Nederland Indies, Cambridge University Press, 1944, hal. 347.
Indonesia yang mengikat kontrak kerja "kuli kontrak" dan buruh bebas.25
Jelaslah bahwa yang disebutkan di atas adalah golongan-golongan masya-
rakat yang merupakan tumpuan sistem kolonial untuk melaksanakan kepen-
tingannya: yakni aparatur pemerintahan kolonial dan golongan masyarakat
yang tenaganya merupakan unsur vital bagi kelangsungan perekonomian kolo-
nial. Tercatat bahwa jumlah warga masyarakat yang berada di luar yurisdiksi
politik penguasa pribumi adalah dua kali lipat daripada yang takluk kepada
kekuasaannya.2625
Dalam kasus Karesidenan Sumatera Timur, kuli kontrak suku Jawa, pega-
wai kantor suku Toba Batak, pedagang suku Minangkabau misalnya, hidup,
dengan hak-hak serta kewajiban yang berbeda dengan hak-hak dan kewajiban
penduduk asli Melayu, Batak Simalungun dan Batak Karo, meskipun mereka
tinggal dalam daerah yang sama. Contohnya, penduduk pendatang tidak boleh
dikenakan pajak oleh, penguasa pribumi. Mereka juga tidak berada di bawah
kontrol politik para bangsawan setempat. Sebaliknya, mereka yang berada di
bawah yurisdiksi kesultanan/kerajaan setempat memiliki hak untuk
mempertahankan hukum adat mereka. Orang-orang ini yang kadangkala dise-
but penduduk ash, juga mempunyai hak-hak yang tidak dimiliki para pen-
datang, yakni hak untuk menerima sebidang tanah (jaluran) dari perkebunan,
serta hak untuk dibebaskan dari Poenale Sanctie yang berlaku bagi para kuli
ko ntrak.2726
Jadi, dengan menggunakan ciri etnis dan rasial sebagai dasar suatu sistem
penggolongan masyarakat serta penentuan yurisdiksi politik, pemerintah
jajahan telah menciptakan kaitan langsung antara identitas etnis dan rasial
seseorang dengan hak-hak politik, ekonomi dan hukum, keistimewaan (privi-
leke) dan kewajibannya. Singkat kata, identitas etnis seseorang mengandung
konsekuensi politik dan ekonomi yang jelas bagi penyandangnya.
Di sinilah kita dapat mengajuk adanya bobot politik dan ekonomi dalam
hubungan etnik di Sumatera Timur. Bukan hanya perekonomian perkebunan
yang telah menciptakan sistem stratifikasi sosial di mana pembagiannya
tumpang tindih dengan pembagian etnis dan rasial, namun pemerintah kolonial
pun menciptakan kondisi di mana identitas etnis dan rasial memang secara
garis besar menentukan status politik dan ekonomi seseorang. Oleh karenanya,
identitas etnis dan rasial berfungsi sebagai penunjuk atau indikator dari
peluang dan kendala yang bakal dihadapinya dalam sistem ekonomi kolonial.

25
24 Amry Vosoliembesch, The Dutch East Indies: Its Government, Pn-AnTems, and
Politics, California University Press Bc-keiey. 1944, hal. 153.
26
25 Ibid.
27
26 Mohammad Said, Koeli Kontrak Tempo Doeloe: Dengan Derita dan Kemarahannya,
Percetakan Waspada, Medan, 1977, hal. 60.
Jika ada konsekuensi politik dan ekonomi dari_ identitas etnis, masih- kah
kita dapat mengatakan dengan pasti tanpa meneliti lebih lanjut bahwa
apabila rakyat menggalang dirinya berdasarkan identitas etnis, mereka
melakukannya semata-mata karena mereka mempunyai "identitas publik yang
bentrok" dengan kelompok etnis lain, atau bahwa hal itu adalah pantulan dari
"suatu percepatan aspirasi kesukuan"2827 Masih dapatkah kita berkata bahwa
kepentingan atau "kepedulian" para pemeran politik ini bersifat "obsesif" atau
dengan kata lain, tidak rasional?
Marilah kita arahkan perhatian kepada gerakan pembentukan Negara Su-
matera Timur (NST) pada tahun 1948 di bekas karesidenan ini untuk memberi
kesempatan. kepada sejarah untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Gerakan untuk mendirikan negara otonom dengan nama Negara Sumatera
Timur menginginkan kembalinya pemerintahan kolonial di daerah Karesi-
denan Sumatera Timur. Pimpinan gerakan ini berada di tangan para bang-
sawan .tradisional daerah itu yang mencari dukungan politik terutama dari
kalangan penduduk pribumi yang disebut '"orang ash".. Salah satu faktor yang
memicu kemunculan gerakan ini adalah semakin meluasnya peranan kaum
pendatang, terutama dalam masalah penguasaan tanah.
Di masa penjajahan, pemerintah kolonial memberikan kepada penduduk
asli Sumatera. Timur, hak untuk menerima sebidang tanah yang disebut
"jaluran" dari perkebunan. Ini adalah suatu ketentuan yang menguntungkan
karena banyak penduduk ash menyewakan tanahnya kepada kaum imigran.
Ketika kekuasaan kolonial runtuh, maka dasar hukum yang melandasi
peraturan itu pun ikut ambruk. Dengan ditinggalkannya perkebunan-
perkebunan oleh para pemiliknya, kaum pendatang di Sumatera Timur,
khususnya bekas kuli kontrak orang Jawa mulai mencampakkan peraturan
lama dan mengambil alih tanah-tanah lahan di kawasan perkebunan yang telah
banyak ditutup. Berdasarkan hal ini, dapatlah dikemukakan bahwa gerakan
untuk mendirikan Negara Sumatera Timur (NST) mendapat dukungan dari
kalangan "orang ash" karena adanya keuntungan ekonomis yang diperoleh
kelompok etnis ini dengan diberikannya privilese oleh pemerintah jajahan
berupa hak atas tanah, yang kini dirasakan terancam hilang oleh kelompok
etnis lain. Singkatnya, dukungan mayoritas "orang asli" terhadap gagasan
pembentukan NST mengandung alasan ekonomi. Dukungan politik tersebut
bukan sematamata untuk mewujudkan "aspirasi kesukuan" (untuk meminjam
istilah Geertz), melainkan untuk mempertahankan kepentingan ekonomis.
Dalam kajian lebih lanjut, muncul suatu aspek baru dalam dinamika politik
etnis. Kita pertama-tama harus menanyakan identitas pemimpin gerakan
tersebut clan segi sosial ekonominya. Sebagaimana sudah dikatakan di muka,

28
27 Geertz, op. cit., hal. 274.
mereka adalah kaum bangsawan yang banyak menerima keistimewaan
(privilege) dalam sistem kolonial. Mereka itulah yang mengaku mempunyai
hak untuk melepaskan tanah di kawasan mereka kepada para pengusaha Ero-
pa. Sebagai imbalannya para penguasa tradisional ini menerima pembayaran
sewa tanah dari mereka untuk lahanlahan yang diusahakan menjadi perke-
bunan tembakau dan karet. Sesungguhnya, hasil pemasukan dari sewa tanah
tersebut merupakan salah satu sumber dana untuk menopang gaya hidup
bermewah-mewah di kalangan loanyak kaum bangsawan pribumi. Jadi,
gerakan untuk mendirikan Negara Sumatera Timur di bawah naungan Belanda
dapat dipandang secara sosiologis sebagai perjuangan kaum bangsawan
tradisional untuk mempertahankan kepentingan ekonomi yang semasa kolonial
dilindungi tetapi di zaman republik terancam hilang.
Dalam pembicaraan tentang kedudukan mereka yang dikatakannya ter-
ancam, kaum bangsawan Sumatera Timur tersebut menyebut diri mereka
dengan istilah etnis, yakni "orang asli", daripada dengan istilah sosial politik
.nya, sebagai golongan elit pribumi. Dalam hal ini. kaum bangsawan terse- but
menggunakan kesukuan, baik dari segi subyektif sebagai dasar identitas sosial
(sebab memang mereka itu golongan penduduk asli), maupun dalam arti
politik sebagai satu faktor yang dapat dimanipulasikan guna menggalang
dukungan dari kalangan "orang asli".
Gerakan untuk mendirikan NST pada dasarnya adalah suatu gerakan dari
para bangsawan tradisional untuk merebut kembali orde politik dan ekonomi
kolonial di mana mereka menduduki tingkat tertinggi, sederajad dengan para
pengtiasa Belanda dan para pemilik perkebunan bangsa Eropa. Kesukuan
digunakan oleh para pendukung pembentukan NST itu sebagai retorik politik
dengan sebutan "kami" bagi "orang asli" yang menghendaki kernbalinya
kekuasaan kolonial dan "mereka" bagi kaum imigran yang menginginkan
kehancuran orde kolonial tersebut. Faktor yang membedakan "kami" dengan
"mereka" dalam hal ini, sesungguhnya bukan apakah seseorang itu termasuk
"orang asli" atau bukan, melainkan apakah seseorang merasa kepentingan
politik dan ekonominya terancam hilang dengan runtuhnya kekuasaan
Belanda. Jadi sebenarnya kesukuan itu sekadar suatu hal yang dijadikan alat
manipulasi alat untuk penggalangan politik guna memenuhi kepentingan
politik dan ekonomi. Atas dasar itu, maka dapat dike mukakan bahwa apabila
ditilik secara historis dan struktural, maka politik berlandaskan kesukuan dapat
dipandang sebagai rasional yakni, motif untuk membentuk kekuatan massa
berdasarkan kesukuan dapat dilandasi kepentingan yang diperiii-nmgkan dan
pertimbangan rasionaL
Dari telaah historis tentang kemunculan kesukuan serta peranannya di
bidang politik di masa kolonial di karesidenan Sumatera Thur, dapatlah disim-
pulkan bahwa, beriawanPn dengan konsep Geertz. (1) keszLiman adalah
sebuah fenomen histons. produk dari proses- proses sosial yang dapat
diidentifikasi, yang "keitimtannya" bersumber dari implikasi poll dan
ekonominya bagi masyarakat, dan (2) bahwa politik berdasarkan kesukuan
dapat merupakan sebuah fenomen rasional apabila ditelaah secara historis dan
struktural. Apa maknanya bagi konsep Revolusi Integratif? Tampaknya
daripada dikatakan bahwa Revolusi Integratif sebagai peristiwa "kelompok
primordial tradisional" memasuki arena politik pada tingkat nasional, lebih
tepat untuk dikatakan bahwa kelompok-kelompok lokal, dengan kepentingan
(interest) politik dan ekonomi yang jelas, yang memasuki kancah politik di
tingkat nasional.
Kita mungkin bertanya, bagaimana kita dapat menjelaskan kelemahan dari
teori Geertz?

Kritik Terhadap Pendekatan Konseptual Geertz


Tulisan Geertz tentang Revolusi Integratif, sedikit banyak merupakan pro-
duk zamannya. Makalah ini ditulis pada awal tahun 1960-an ketika paradigma
dalam pembicaraan tentang pembangunan dan 'proses nation building yang
diterima secara luas adalah teori modernisasi. Konsep pengembangan sosial
politik di negara-negara sedang berkembang, menurut teori ini, adalah sebagai
berikut:
suatu transformasi total dari, masyarakat tradisional dan pra-moderen ke
dalam bentuk. organisasi sosial yang bertumpu pada teknologi yang
bercirikan "kemajuan", kemakmuran ekonomi dan kestabilan politik
sebagaimana di dunia Barat.2928
Teori ini mengandaikan adanya pemisahan yang jelas antara "moderen" dan
"tradisional" dan bahwa yang "tradisional" akan harus menjadi "moderen".
Proses terjadinya tansformasi total ini dilukiskan sebagai lambat, bertahap,
berkesinambungan dan intrinsik dalam diri masyarakat yang sedang berubah
itu.3029 Salah satu "model" perubahan sosial dalam rangka paradigma ini yang
dikembangkan Neil Smesler, memperlihatkan dua tahapan utama dari
perubahan tersebut. Tahap pertama, "diferensiasi struktural" terjadi karena
pembentukan kesatuan-kesatuan sosial dengan tingkat spesialisasi dan
otonomi yang semakin tinggi. Tahap berikutnya adalah proses "integrasi" dari
struktur diferensiasi terse- but di bawah suatu landasan baru. Norman Long
menjelaskannya sebagai berikut:

29
28 Norman Long, Introduction to the Sociology of Rural Development, Westview
Press, Boulder, 1977, hal. 9.
30
29 Reinhardt Bendix, "Tradition and Modernity Reconsidered", dalam Comparative
Studies in Society and History, vol. 9, No. 3, 1967, hal. 292346.
Ini menunjukkan, misalnya, peralihan dari struktur politik pra-moderen di mana integrasi
politik berkaitan erat dengan status kekeluargaan, keanggotaan suku, dan penguasaan
atas sumber-sumber ekonomi yang pokok dan sanksi mistik, kepada jenis "moderen"
bercirikan hidupnya partaipartai politik, kelompok penekanb dan birokrasi negara (state
bureaucracy).313
Smelser menambahkan bahwa melengkapi proses diferensiasi dan integrasi
tersebut, juga "sekali-sekali terjadi gejolak sosial . . . . yang mencerminkan
tingkat perubahan yang tidak sama."3231
Tampaknya jelas bahwa dalam menyusun konsep Revolusi Integratif,
Geertz menerapkan asumsi dan kerangka konsep dari paradigma modernisasi
ini. Sejalan dengan teori modernisasi, Geertz mengasumsikan.bahwa titik
akhir pembangunan telah ditentukan sebelumnya, yakni masyarakat yang
"moderen" dan "maju". Geertz juga jelas menggunakan peristilahan dan
kerangka pemikiran dari "integrasi sosial" dalam menyusun teori Revolusi
Integratifnya. Dan politik primordial sebagai cara berpolitik tradisional, di-
pandang akhirnya akan takluk atau digantikan oleh politik pemerintahan (civil
politics) yang lebih moderen.
Namun, ada kelemahan pokok dalam kerangka teori Geertz untuk menjelas-
kan dinamika dari politik primordial di negara-negara baru merdeka yang tak
dapat dikaitkan atau ditudingkan kepada paradigma yang mempengaruhinya.
Menurut saya, kelemahan ini terletak dalam tiga faktor: (1) bahwa pendekat-
annya adalah a-historis dan tak tanggap terhadap dimensi struktural masyara-
kat, (2) bahwa analisanya terbatas pada tingkat psiko-kultural, dan (3) bahwa
ia memperlakukan sebagai identik, dua unsur yang secara analitis terpisah.
Yang satu adalah identitas primordial sebagai bagian dari sistem hubungan
sosial, dan yang lainnya adalah identitas primordial sebagai alat penggalangan
politik. Kalau yang pertama menunjuk pada fenomena budaya dan pemolaan
tradisional dari hubungan sosial, yang kedua menunjuk pada fenomena politik.
Sebab, sekali ikatan kesukuan mendapat peranan di bidang politik, ia menjadi
simbol-simbol budaya yang potensial untuk dimanipulasikan. Di sini, unsur
primordial bukan lagi sekadar sebuah fenomen budaya, melainkan menjadi
sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik. Geertz jelas menanggapi potensi
politik dari unsur tersebut ketika dia memutuskan untuk menulis tentang
masalah Mi. Sayangnya, pemikiran konseptualnya tentang sosok primordial
dalam politik di masyarakat non-industri, tak dapat menjelaskan sebab utama
mengapa sosok tersebut secara politis sangat penting; bahwa dalam keadaan
gejolak politik dan ekonomi yang nyata, ia merupakan sebuah alat mobilisasi
politik.

31
30 Long, op. cit., hal. 11.
32
31 Ibid.

Anda mungkin juga menyukai