LANDASAN TEORI
B. Angkutan Umum
1. Pengertian Angkutan Umum
Angkutan umum adalah angkutan penumpang dengan
menggunakan kendaraan umum dan dilaksanakan dengan sistem sewa
atau bayar. Dalam hal angkutan umum, biaya angkutan menjadi beban
angkutan bersama, sehingga sistem angkutan umum menjadi efisien
karena biaya angkutan menjadi sangat murah. Selain itu, pengguanan
jalan pun relative efisien dalam m2/penumpangnya [Warpani,1990 :
170].
Daerah perkotaan yang berpenduduk satu jiwa atau lebih
sudah selayaknya memiliki pelayanan angkutan umum penumpang
atau angkutan umum massal. Manajemen perkotaan perlu melakukan
efisiensi dalam memanfaatkan prasarana perkotaan yang
mengandalkan mobilitasnya pada keberadaan angkutan umum.
Mereka adalah penduduk yang tidak mempunyai pilihan lain kecuali
menggunakan angkutan umum.
Pengoperasian sistem angkutan massal adalah salah satu upaya
menampung kepentingan mobilitas penduduk, terutama di daerah
perkotaan atau kota yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa.
Angkutan umum massal adalah salah satu upaya menampung
kepentingan mobilitas penduduk, terutama di daerah perkotaan atau
kota yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa.
Keberadaan angkutan umum, apalagi yang bersifat massal, berarti
pengurangan jumlah kendaraan yang lalu-lalang dijalan. Hal ini
sangat penting artinya berkaitan denan pengendalian lalu lintas.
Karena sifatnya yang massal, maka para penumpan harus
memiliki kesamaan dalam berbagai hal yakni asal, tujuan, lintasan dan
waktu. Berbagai kesamaan ini pada gilirannya menimbulkan masalah
keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan. Pelayanan
angkutan umum akan berjalan dengan baik apabila dapat tercipta
keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan
[Warpani,1990;171]. Adalah suatu upaya yang sulit (bahkan
cenderung tidak mungkin) dipenuhi bila tolok ukurnya adalah
permintaan pada masa sibuk atau masa puncak. Ketidakpastian itu
disebabkan oleh pola pergerakan penduduk yang tidak merata
sepanjang waktu, misalnya pada saat jam-jam sibuk permintaan
tinggi, dan pada saat sepi permintaan rendah.
Dalam hal kaitan ini Pemerintah perlu campur tangan dengan
tujuan antara lain :
a. Menjamin sistem operasi yang aman bagi kepentingan masyarakat
pengguna jasa angkutan, petugas pengelola angkutan, dan
pengusaha jasa angkutan;
b. Mengarahkan agar lingkungan tidak terlalu terganggu oleh
kegiatan angkutan;
c. Membantu perkembangan dan pembangunan nasional maupun
daerah dengan meningkatkan pelayanan jasa angkutan;
d. Menjamin pemerataan jasa angkutan sehingga tidak ada pihak
yang dirugikan;
e. Mengendalikan operasi pelayanan jasa angkutan (Stewart dan
David,1980).
E. Angkutan Perkotaan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1993 tentang
Angkutan Jalan dijelaskan angkutan adalah pemindahan orang dan atau
barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan.
Sedangkan kendaraan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang
disediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan dipungut bayaran.
Pengangkutan orang dengan kendaraan umum di lakukan dengan
menggunakan mobil bus atau mobil penumpang dilayani dengan trayek
tetap atau teratur dan tidak dalam trayek.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang angkutan jalan
pada Bab 1 ketentuan umum mendefinisikan :
1. Mobil penumpang adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi
sebanyak banyaknya 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat
duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan
pengangkutan bagasi.
2. Trayek adalah lintasan kendaraan umum untuk pelayanan jasa
angkutan orang dengan mobil bus, yang mempunyai asal dan tujuan
perjalanan tetap, lintasan tetap dan jadwal tetap maupun tidak
berjadwal.
Teori Atmodirono (1974), mengemukakan kegiatan manusia yang
berbagai macam menyebabkan mereka perlu saling berhubungan. Untuk
itu diperlukan alat penghubung, salah satu diantaranya dan yang paling
tua umurnya adalah angkutan. Jadi pengangkutan adalah bukan tujuan
akhir melainkan sekedar untuk melawan jarak.
PNP
LF 100 0 0 (1)
C
Keterangan :
LF : Faktor Muat (%)
PNP : Jumlah Penumpang yang diangkut pada suatu rute
C : Kapasitas
(Sumber : Dephub, 2002)
2. Waktu Perjalanan
Waktu perjalanan adalah waktu yang dibutuhkan oleh kendaraan
untuk melewati ruas jalan yang diamati, termasuk waktu berhenti
untuk menaikkan dan menurunkan penumang dan perlambatan karena
hambatan. Penumpang biasanya menginginkan pelayanan jumlah
total waktu tempuh yang sesingkat mungkin. Hal ini dibuktikan,
bahwa pada kenyataannya penumpang yang memiliki uang cukup
memilih perjalanannya dengan membayar tarif yang lebih tinggi
untuk melakukan perjalanannya dengan waktu tempuh yang lebih
cepat. Pihak pengguna dalam hal ini menghendaki pelayanan yang
cepat dengan frekuensi yang tinggi.
Total waktu tempuh ditentukan oleh :
a. Mobilitas, yaitu kemudahan angkutan umum untuk bergerak.
Dipengaruhi oleh kecepatan pada jaringan jalan, kecepatan pada
setiap link yang dilalui, tundaan di setiap persimpangan dan pusat
keramaian.
b. Aksesibilitas, kemudahan untuk mencapai tujuan yang ditentukan
oleh lokasi tujuan pada jaringan jalan yang ada.
3. Kecepatan Kendaraan
Kecepatan adalah laju perjalanan yang biasanya dinyataan dalam
kilometer per jam (km/jam) dan umumnya dibagi menjadi tiga jenis
(Hobbs, 1995) :
1) Kecepatan setempat (spot speed)
2) Kecepatan bergerak (running speed)
3) Kecepatan perjalanan (journey speed)
Kecepatan setempat (spot speed) adalah kecepatan kendaraan
pada suatu saat diukur dari suatu tempat ditentukan. Kecepatan
bergerak (running speed) adalah kecepatan kendaraan rata-rata pada
saat kendaraan bergerak dan dapat didapat dengan membagi panjang
jalur dibagi dengan lama waktu kendaraaan bergerak menempuh jalur
tersebut. Kecepatan perjalanan (journey speed) adalah kecepatan
efektif kendaraan yang sedang dalam perjalanan antara dua tempat,
dan merupakan jarak antara dua tempat dibagi dengan lama waktu
bagi kendaraan untuk menyelesaikan perjalanan antara dua tempat
tersebut, dengan lama waktu ini mencakup setiap waktu berhenti yang
ditimbulkan oleh hambatan (penundaaan) lalu lintas. (Hobbs, 1995)
Dengan demikian kecepatan perjalanan dan kecepatan gerak
dapat didefinisikan sebagai berikut :
ht 60
W (3)
2 2f
Keterangan :
ht = selang keberangkatan (headway bis) menit/bis
W = waktu tunggu penumpang
(Sumber : Morlok, 1988)
5. Frekuensi Perjalanan
Sebagai periode manajemen angkutan untuk jumlah perjalanan
kendaraan dalam satuan waktu tertentu yang hal ini sangat
dipengaruhi oleh jumlah arus penumpang pada suatu periode.
Frekuensi mempengaruhi tingkat pemilihan moda pengguna jasa
angkutan kota. Frekuensi perjalanan suatu angkutan disesuaikan
dengan volume penumpang pada jam sibuk maupun tidak sibuk.
60
f (4)
h
Keterangan :
f = Frekuensi keberangkatan bis / angkutan untuk satu arah, bis/jam
F= Frekuensi minimum yang dapat diterima, bis/jam
H = Headway maksimum yang dapat diterima, jam/bis
(Sumber : Morlok, 1988)
6. Waktu Antara (Headway)
Dengan tingkat volume atau arus penumpang yang berbeda dalam
setiap periode maka mengakibatkan selang waktu keberangkatan yang
tidak seragam apabila pelayanan yang dibutuhkan lebih tinggi
daripada pelayanan dengan frekuensi minimum. Apabila selang
keberangkatan yang konstan dibutuhkan maka selang keberangkatan
disesuaikan dengan arus penumpang terbesar dalam setiap periode
yang lebih kecil daripada kapasitas kendaraan.
60
f (5)
h
Keterangan :
H = Headway (Menit)
f = Frekuensi Kendaraan (Kend/Jam)
(Sumber : Morlok, 1988)
Standar pelayanan adalah parameter yang digunakan dalam
menilai kualitas pelayanan angkutan umum baik secara keseluruhan
maupun pada trayek tertentu menurut UU no. 22 tahun 2009
sedangkan Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan
menetapkan standar pelayanan untuk angkutan umum sebagai berikut
:
Tabel 3. Indikator Standar Pelayanan Angkutan Umum
Nilai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1. >1 >1 <5 >15 >12 <13 <4 <82 >30 05-08
2. 0.8-1 0.7-1 5-10 10-15 6-12 13-15 4-6 82-100 20-30 05-20
3. <0.8 <0.7 >10 <10 <6 >15 >6 >100 <20 05-22
2 2
CTABA TAB TBA AB BA TTA TTB (6)
Dimana :
CTABA = waktu sirkulasi dari A ke B, kembali ke A
TAB = waktu perjalanan dari A ke B
TBA = waktu perjalanan dari B ke A
AB = deviasi waktu perjalanan dari A ke B
BA = deviasi waktu perjalanan dari B ke A
TTA = waktu henti kendaraan di A
TTB = waktu henti kendaraan di B
(Sumber : Dephub, 2002)
No Kriteria Ukuran
1 Waktu Tunggu
Rata rata 5-10 menit
Maksimum 10-20 menit