Hiv Aids Dalam Kehamilan Penatalaksanaannya Who 2013
Hiv Aids Dalam Kehamilan Penatalaksanaannya Who 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA SEPTEMBER 2013
Oleh :
Indah Triayu Irianti
Pembimbing :
dr. Naomi Pongtasik
Supervisor :
dr. Eddy Tiro, Sp.OG (K)
1
HIV/AIDS DALAM KEHAMILAN
DAN PENATALAKSANAANNYA ( WHO 2013)
I. PENDAHULUAN
2
hari.3 Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi sampai kurang
dari 5% melalui kombinasi langkah-langkah pencegahan penularan dari ibu
ke anak atau yang dikenal dengan PMTCT (Prevention Mother to Child
Transmission), termasuk terapi ARV (antiretroviral) untuk ibu hamil dan anak
yang baru lahir. PMTCT dimulai selama ANC (antenatal care), ketika wanita
melakukan tes HIV dan menerima hasilnya bahwa dia positif HIV.
Rekomendasi di bagian sub-Sahara Afrika adalah terapi ARV diberikan pada
wanita selama kehamilan, saat persalinan, dan selama masa nifas atau
sementara pemberian ASI eksklusif. Bayi juga harus menjalani tes HIV
secara berkala dan minum obat untuk mencegah penularan virus sementara
ia disusui.2
PMTCT dapat mengurangi risiko penularan vertikal HIV menjadi
kurang dari 1%. Penularan HIV dari ibu ke bayi hampir lenyap di Amerika
Serikat dan Eropa, tetapi terus menjadi masalah besar yang tak terkendali di
negara-negara Afrika. Pemanfaatan PMTCT di sub-Sahara Afrika telah
meningkat secara signifikan selama dekade terakhir, tetapi masih jauh dari
yang diharapkan. Pada tahun 2003, hanya 3% dari ibu hamil yang HIV-positif
di wilayah ini dimanfaatkan untuk melakukan PMTCT. Persentase ini
meningkat drastis menjadi 33% pada tahun 2007 dan 53% pada tahun 2010.
Sayangnya, ini masih menyisakan sekitar setengah dari semua perempuan
hamil yang HIV-positif tidak memanfaatkan PMTCT, menempatkan mereka
pada risiko tinggi untuk menularkan virus kepada bayi mereka. 3
II. EPIDEMIOLOGI
3
Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS, misalnya
pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya, serta
narapidana.1
Namun infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan
masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika
pada awalnya, sebagian besar ODHA berasal dari kelompok homoseksual
maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara
heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi
yang telah terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih
lanjut dari tahap penularan heteroseksual.1
Sejak tahun 1985 sampai tahun 1996, kasus AIDS masih amat jarang
ditemukan di Indonesia. Sebagian besar ODHA pada pariode itu berasal dari
kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin
meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan
tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.
Sampai dengan terinfeksi HIV adalah pada akhir maret 2005 tercatat 6789
kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari
jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002
memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah
antara 90.000 sampai 130.000 orang.1
Sebuah survei yang dilakukan di Tanjung Balai Karimun menunjukkan
peningkatan jumlah pekerja seks komersil (PSK) yang terinfeksi HIV yaitu
dari 1% pada tahun 1995/1996 menjadi lebih dari 8,3% pada tahun 2000.
Sementara itu survei yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan angka
infeksi HIV yang cukup tinggi di lingkungan PSK di Merauke, yaitu 5-26,5%,
3,36% di Jakarta Utara, dan 5,5% di Jawa Barat.1
Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi
HIV yang semakin nyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian besar
4
ODHA yang merupakan pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa
muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pengguna narkotika suntik
mempunyai resiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV yang dapat menular
melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik secara
bersamaan dan berulang yang lazim dilakukan oleh pengguna narkotika.
Survei yang dilakukan di RS Ketergantungan Obat di Jakarta menunjukkan
peningkatan kasus infeksi HIV pada pengguna narkotika yang sedang
menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat menjadi
40,8 pada tahun 2000, dan 47,9 pada tahun 2001. Bahkan suatu survei di
sebuah kelurahan di Jakarta Pusat dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu
menunjukkan 93% pengguna narkotika terinfeksi HIV. 1
Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan
sebagai indikator untuk menggambarkan infeksi HIV/AIDS pada masyarakat
umum. Jika pada tahun 1990 belum ditemukan darah donor di Palang Merah
Indonesia (PMI) yang tercemar HIV, maka pada periode selanjutnya
ditemukan infeksi HIV yang jumlahnya makin lama makin meningkat.
Persentase kantung darah yang dinyatakan tercemar HIV adalah 0,002%
pada periode 1992/1993, 0,003% pada periode 1994/1995, 0,004% pada
periode 1998/1999 dan 0,016% pada tahun 2000. Survei yang dilakukan
pada tahun 1999-2000 pada beberapa klinik KB, puskesmas dan rumah sakit
di Jakarta yang dipilih secara acak menemukan bahwa 6 (1,12%) ibu hamil
dari 537 orang yang bersedia menjalani tes HIV ternyata terinfeksi HIV. 1
Mortalitas maternal pada penderita HIV/AIDS dihubungkan oleh
berbagai keadaan, yaitu hampir setengah dari 42 juta orang hidup dengan
HIV adalah wanita dengan usia reproduksi. Selain itu, lebih dari 2 juta yang
terinfeksi HIV adalah wanita hamil, lebih dari 90% dari mereka terdapat di
negara berkembang, sementara 600.000 wanita meninggal di awal tahun
karena komplikasi dari kehamilan dan persalinan. 4 Infeksi HIV pada wanita
5
hamil berkisar dibawah 1% sampai 40% pada negara-negara yang berbeda.
Peningkatan penderita AIDS yang tertinggi berada di negara afrika,
walaupun prevalensi di beberapa negara Asia patut dipertimbangkan.
Prevalensi angka kejadian telah menurun dibeberapa wilayah, seperti
Uganda dan diketahui bahwa penderita AIDS yaitu wanita yang mempunyai
usia yang lebih muda jumlahnya mulai menurun di negara Afrika Selatan,
tetapi prevalensi masih tinggi di wilayah lainnya. Terjadi peningkatan jumlah
wanita hamil yang terinfeksi oleh HIV dengan komplikasi yang berefek pada
angka mortalitas maternal.4
Saat ini terdapat 33 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS, 15 juta
diantaranya adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak dengan usia
kurang dari 15 tahun. Transmisi penularan HIV dari ibu ke anaknya dapat
dihitung dari besarnya infeksi yang didapat oleh anaknya sendiri. Penularan
dari ibu ke anak dapat terjadi melalui intrauterin, intrapartum dan selama
menyusui. Tanpa adanya pengobatan antiretroviral, faktor risiko infeksi pada
wanita yang dapat ditularkan ke anak berkisar antara 16 hingga 40%.
Menyusui merupakan faktor risiko penularan yang berperan hanya 10%.
Obat-obatan antivirus yang diberikan pada ibu hamil yang terinfeksi HIV dan
bayinya secara signifikan dapat mengurangi risiko penularan dari ibu ke
anak. Dengan pengobatan antriretroviral menyebabkan jumlah virus HIV
yang rendah, tidak menyusui dan operasi sesaria elektif, penularan HIV ke
anak dapat diturunkan sekitar 0 hingga 2%. 5
III. DEFINISI
6
termasuk pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat-obatan
intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya,
hubungan seksual dari individu yang terinfeksi HIV, dan bayi baru lahir dari
ibu yang terinfeksi virus tersebut. 6
IV. ETIOLOGI
7
tampaknya diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan
infekstivitas (daya tular) dan mungkin merupakan duplikasi dari protein lain,
Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan trasnkripsi virus. HIV-2 yang pertama kali
diketahui dalam serum ini para perempuan Afrika Barat (warga Senegal)
pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya kurang
patogenik dibandingkan dengan HIV-1.8
V. PATOGENESIS
Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.
Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif. Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut
Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4
dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen presenting cells
ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada
8
kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar
getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridasi in
situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari
setelah infeksi.1
Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah
bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26. Jumlah sel yang
mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat
dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respon imun spesifik.
Insiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8.
Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8
menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada
pada keadaan steady state beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini
bertahan relatif stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat
bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan
demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenitas
kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu.1
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus
telah menurun sampai ke level steady state. Walaupun antibodi ini
umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus,
namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari
netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada envelopnya,
termasuk kemampuannya mengubah situs glikosilasinya, akibatnya
konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantarai
antibodi tidak dapat terjadi.1
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala
tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut,
3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
9
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa
tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada
sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat
hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (non-
progressor). Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA
mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat
badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes.1
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak
menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang
terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala
klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Manifestasi awal dari
kerusakan kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar
getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat
dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi
di kelenjar getah bening, bukan diperedaran darah tepi. 1
10
6. RNA virus baru dan protein pindah ke permukaan sel yang baru dan
masih imatur, terbentuklah virus HIV baru.
7. Virus matang oleh enzim protease HIV dan melepaskan protein individu.
11
tinggi sepanjang infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi utama yang digunakan
dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah
infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV muncul
dalam 6 bulan setelah terinfeksi. 8
Produksi immunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4, dimana sel limfosit
T CD4 diaktifkan oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-2 yang membantu merangsang sel B untuk
membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel plasma ini kemudian
menghasilkan immunoglobulin yang spesifik untuk antigen yang
merangsangnya. Sitokin IL-2 penting dalam aktivitas intrasel. CD4 berfungsi
untuk mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses
misalnya produksi immunoglobulin dan pengaktifan sel T tambahan dan
makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan oleh limfosit ( CD4,IL-2 dan
interferon gamma berperan dalam imunitas seluler. Pada kondisi normal,
limfosit CD4 mengeluarkan interferon gamma yang menarik makrofag dan
mengintensifkan reaksi immun terhadap antigen. Namun apabila limfosit CD4
tidak berfungsi dengan benar maka produksi interferon gamma akan
menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel plasma
tetapi juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi limfosit
CD4. Limfosit CD4 tidak mampu membelah diri sehingga timbul fenomena
yang disebut anergi. 8
Teori lain menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium. Pada
pembentukan sinsitium, limfosit CD4 yang tidak terinfeksi berfusi dengan sel-
sel yang terinfeksi sehingga mengalami banyak sel yang tidak terinfeksi.
Akhirnya, menurunnya jumlah limfosit CD4 mungkin disebabkan oleh
terbentuknya virus-virus baru melalui proses pembentukan tunas, virus-virus
tersebut menyebabkan rupturnya membran limfosit CD4 yang secara efektif
mematikan sel tersebut. Apapun teori yang menjelaskan berkurangnya
12
limfosit CD4, gambaran utama pada infeksi HIV tetaplah deplesi sel-sel
tersebut. Deplesi limfosit CD4 tersebut bervariasi di antara para pengidap
infeksi HIV. Sebagian faktor yang mempengaruhinya adalah fungsi sistem
imun pejamu (misalnya : penyakit kongenital, metabolik, defisiensi gizi) atau
perbedaan strain virus.8
13
kurangnya manifestasi infeksi HIV-1 pada kelahiran dan temuan bahwa HLV-
1 terdeteksi pada minggu pertama kehidupan. Virus terdeteksi dalam waktu
48 jam setelah lahir, keadaan ini dianggap bayi telah terinfeksi selama
kehamilan. Sedangkan infeksi intrapartum diasumsikan jika studi virus negatif
selama minggu pertama kehidupan, namun akan menjadi positif antara 7 dan
90 hari kemudian. 11
Tabel 5.1 Faktor Yang Mempengaruhi Transmisi HIV dari Ibu ke Janin. 11
FETAL Prematuritas
BAYI Menyusui
Faktor traktus gastrointestinal
Sistem immun immature
1. FAKTOR VIRUS
14
pengukuran virus, seperti Polymerase kuantitatif Chain Reaction (PCR) DNA
dan RNA, telah terbukti bahwa adanya peningkatan viral load ibu dan risiko
penularan dari ibu ke anak. Lebih dari setengah perempuan dengan viral load
> 50 000 RNA/ml pada saat persalinan telah terbukti dapat menularkan virus.
Dalam sebuah studi Prancis, tingkat penularan meningkat dengan
meningkatnya viral load yaitu 12% pada mereka yang mempunyai jumlah
viral load kurang dari 1000 RNA/ ml dibandingkan dengan 29% pada mereka
dengan yang mempunyai jumlah viral load >10.000 RNA/ml. Viral load lokal
dalam sekresi cairan serviko-vaginal dan dalam ASI juga penting dalam
penentu risiko intrapartum dan menyusui.11
Adanya penyakit menular seksual, peradangan, kekurangan respon
imun lokal dapat mempengaruhi virus. Transmisi pasca kelahiran dikaitkan
dengan kehadiran virus HIV-1 yang terinfeksi dalam ASI. Pemberian ART
pada ibu selama kehamilan diperkirakan dapat mengurangi penularan virus,
ditandai dengan pengurangan viral load, meskipun mekanismenya mungkin
juga termasuk post-exposure prophylaxis pada anak setelah lahir, seperti
penggunaan AZT telah terbukti dapat mengurangi penularan. ART mungkin
lebih efektif dalam mencegah penularan.11
Sejumlah sub tipe HIV-1 atau kelompok clade telah di identifikasi,
dengan perbedaan distribusi geografis. Terdapat sedikit bukti tentang
pengaruh sub tipe pada infeksi atau transmisi, meskipun beberapa penelitian
telah menunjukkan peningkatan kemampuan in vitro dari sub tipe E untuk
menginfeksi sel epitel dari vagina dan leher rahim. Sub tipe dapat
mempengaruhi sel tropisme virus, dan pada gilirannya dapat mempengaruhi
infektifitas melalui rahim ataupun melalui infeksi genital atau dalam ASI.
Kebanyakan penelitian tentang varian virus pada ibu dan anak-anak telah
menunjukkan bahwa strain di bayi adalah bagian dari virus ibu. Fenotip virus
yang berbeda menunjukkan perbedaan tropisme jaringan. Makrofag tropik
15
non syncytium inducing (NSI) muncul dan diwariskan kepada anak ataupun
cucu ketika strain ibu yang dominan adalah syncytium inducing. 11
2. FAKTOR MATERNAL
16
dapat mempengaruhi tingkat penularan intrapartum. Infeksi melalui menyusui
dikaitkan dengan kurangnya IgM dan IgA dalam ASI. 11
Serum vitamin A dengan ibu yang terinfeksi positif HIV-1 menunjukkan
adanya korelasi dengan risiko transmisi dalam studi Malawi. Rata-rata tingkat
vitamin A pada ibu yang menularkan virus ke anak-anak mereka secara
signifikan lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak tertular. Wanita yang
mempunyai kadar vitamin A yang rendah, yaitu 1,4 umol/l memiliki risiko
tinggi 4,4 kali lipat tertular. Dalam suatu studi AS menunjukkan terdapat
hubungan antara rendahnya kadar vitamin A dengan tingkat penularan,
sedangkan penelitian kohort lain memang menunjukkan adanya korelasi.
Mekanisme efek vitamin A belum diketahui secara pasti, tetapi terdapat
pengaruh vitamin A pada integritas mukosa vagina atau plasenta dan sifat
stimulasi kekebalan vitamin.11
Beberapa faktor perilaku telah dikaitkan dengan peningkatan penularan
dari ibu ke anak, termasuk merokok dan penggunaan obat-obatan. Hubungan
seks selama kehamilan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan
dari ibu ke anak. Penularan 30% ditunjukkan pada wanita yang memiliki lebih
dari 80 episode hubungan seks tanpa kondom selama kehamilan
dibandingkan dengan mereka yang terlindungi sebesar 9,1%. Hal ini mungkin
disebabkan oleh peningkatan konsentrasi atau keanekaragaman jenis virus
HIV-1, atau efek dari serviks atau peradangan vagina atau lecet. Peningkatan
terjadinya korioamnionitis sebelumnya telah dilaporkan terkait dengan
aktivitas seksual pada kehamilan. Adanya penyakit menular seksual selama
kehamilan telah berkorelasi dengan peningkatan risiko transmisi, dan PMS
telah terbukti meningkatkan pelepasan virus melalui sekresi cairan serviko-
vaginal.11
Faktor plasenta telah terlibat dalam penularan virus dari ibu ke anak.
Infeksi plasenta dengan HIV-1 ditandai dengan adanya sel Hofbauer, dan sel-
17
sel trofoblas yang mengekspresikan CD4 + yang rentan terhadap infeksi.
Sebuah asosiasi antara peningkatan transmisi dan adanya korioamnionitis
digambarkan di awal epidemi. Infeksi plasenta lain dan kondisi non-menular
seperti solusio plasenta juga telah terlibat. Merokok dan penggunaan narkoba
dapat meningkatkan transmisi melalui gangguan pada plasenta. Di daerah
tinggi prevalensi malaria, infeksi plasenta umum terjadi selama kehamilan. 11
3. FAKTOR OBSTETRI
Mayoritas penularan dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan, faktor
obstetrik merupakan penentu penting penularan. Mekanisme yang terjadi
pada saat intrapartum adalah kontak kulit secara langsung, yaitu kontak
antara selaput lendir bayi dan ibu melalui sekresi cairan serviko-vaginal
selama persalinan. HIV-1 yang terdapat dalam cairan sekresi serviko-vaginal
akan meningkat empat kali lipat selama kehamilan. Semakin tinggi tingkat
infeksi pada anak kembar sulung mungkin karena pemaparan yang lama oleh
sekresi cairan serviko-vaginal. Dalam penelitian kohort menyatakan bahwa
kelahiran prematur, perdarahan intrapartum dan prosedur persalinan terkait
dengan risiko penularan. Faktor-faktor lain seperti tindakan episiotomi dan
persalinan operatif telah terlibat dalam beberapa studi.11
Pecahnya ketuban dalam waktu yang lama telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko penularan pada sejumlah penelitian dan merupakan faktor
risiko yang penting. Dalam studi di Amerika, durasi pecahnya ketuban lebih
dari empat jam hampir dua kali lipat terjadinya risiko infeksi. Persalinan
melalui operasi sesaria elektif dapat menyebabkan tingkat transmisi kurang
dari 1%. 11
4. FAKTOR JANIN
18
CCR-5 delta 32 dan HLA kompatibilitas ibu dan bayi dalam penentuan risiko
penularan. Kesesuaian HLA antara bayi dan ibu telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko penularan. Telah dilaporkan bahwa bayi prematur
mempunyai tingkat penularan HIV-1 yang lebih tinggi. Wanita dengan jumlah
CD4 yang rendah lebih cenderung memiliki kelahiran prematur, yang
mungkin mempengaruhi temuan ini. Peningkatan infeksi terlihat pada anak
kembar sulung dan telah banyak dilaporkan sebagai bukti transmisi
penularan secara intrapartum. Faktor janin lain mungkin termasuk koinfeksi
dengan patogen lain, nutrisi janin dan status kekebalan janin. 11
5. FAKTOR BAYI
19
didiagnosis setelah usia enam bulan, tetapi mungkin telah terinfeksi
sebelumnya. 11
20
atau Infeksi primer HIV, ini merupakan respon alami tubuh terhadap infeksi
HIV. Selama infeksi primer HIV, terjadi peningkatan virus yang beredar dalam
darah, yang berarti bahwa orang dapat lebih mudah menularkan virus kepada
orang lain. Gejalanya bisa berupa :12
1. Demam
2. Ruam
3. Panas dingin
4. Ruam
5. Berkeringat di malam hari
6. Nyeri otot
7. Sakit tenggorokan
8. Kelelahan
9. Pembengkakan kelenjar getah bening
10. Ulkus di mulut
a. Infeksi Akut
21
memulai untuk membawa virus dalam tubuh kembali ke suatu tingkat yang
disebut set point virus , yang merupakan tingkat relatif stabil virus dalam
tubuh. Pada titik ini, jumlah CD4 mulai meningkat, tapi mungkin tidak kembali
ke tingkat pra-infeksi.12
22
dengan uji antibodi, dan jika hasil tes negatif atau tak tentu dan jika dicurigai
adanya infeksi HIV akut, lebih lanjut dilakukan tes RNA HIV. Pasien yang
didiagnosis dugaan dengan infeksi HIV akut harus memiliki pengujian
serologis diulang selama 3 sampai 6 bulan ke depan untuk mengetahui
adanya serokonversi.13
VII.3 Tanda dan Gejala Tahap Kronis atau Fase Laten Infeksi HIV
Setelah infeksi awal, virus menjadi kurang aktif dalam tubuh. Selama
periode ini , banyak orang tidak memiliki gejala infeksi HIV . Periode ini
disebut "periode kronis" atau "fase laten". Periode ini bisa bertahan
sampai 10 tahun kadang-kadang lebih lama. 12
Periode Laten terjadi setelah tahap akut infeksi HIV, penyakit
bergerak ke tahap yang disebut latency klinis . Periode ini kadang-kadang
disebut infeksi HIV tanpa gejala atau infeksi HIV kronis. Selama fase ini,
diproduksi virus HIV yang rendah, meskipun masih aktif. Seseorang dapat
bertahan dengan terdeteksinya viral load dan jumlah CD4 yang sehat tanpa
menggunakan obat selama tahun-tahun pada awal fase ini. Seseorang
mungkin tidak memiliki gejala atau infeksi oportunistik . Periode ini bisa
bertahan hingga 8 tahun atau lebih. Penting untuk diingat bahwa tubuh masih
bisa menularkan HIV kepada orang lain selama fase ini. Menjelang
pertengahan dan akhir periode ini, viral load mulai meningkat dan jumlah
CD4 mulai turun. Oleh karena itu tubuh akan mulai mengalami gejala
konstitusional HIV sebagai peningkatan virus dalam tubuh.12
VII.4 AIDS
23
terjadi ketika sistem kekebalan tubuh rusak parah dan tubuh akan menjadi
rentan terhadap infeksi oportunistik. Tanpa pengobatan, orang yang
didiagnosis dengan AIDS biasanya bertahan sekitar 3 tahun. Setelah
seseorang memiliki infeksi oportunistik yang berbahaya, harapan hidup jatuh
sekitar 1 tahun.12
VIII. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Tabel 8.1 Sistem Klasifikasi CDC pada Infeksi HIV pada Anak &
Remaja.14
A B* C#
Tanpa gejala, HIV Bergejala, tidak AIDS-sesuai
24
fase akut atau PGL termasuk kategori dengan
A atau C indikasi
(1) 500 cells/L A1 B1 C1
(2) 200-499 cells/L A2 B2 C2
(3) <200 cells/L A3 B3 C3
1. Kategori B Kondisi bergejala
1. Angiomatosis basiler
2. Candidiasis orofaring (thrush)
3. Candidiasis vulvovaginalis, persisten atau resisten
4. Pelvic inflammatory disease (PID)
5. Cervical dysplasia (sedang atau berat) atau (cervical carcinoma in situ)
6. Hairy leukoplakia oral
7. Herpes zoster, melibatkan dua atau lebih kekambuhan atau
setidaknya satu dermatom
8. Purpura Idiopathic thrombocytopenia
9. Constitutional symptoms, seperti demam (>38.5C) atau diare >1
bulan
10. Neuropati perifer
25
7. Cryptosporidiosis kronik intestinal (durasi >1 bulan)
8. Penyakit Cytomegalovirus
9. Ensefalopati, yang terkait HIV
10. Herpes simpleks: Ulkus kronik (durasi >1 bulan), atau bronkhitis,
pneumonitis, atau esophagitis
11. Histoplasmosis, yang telah menyebar atau terdapat diluar paru
12. Isosporiasis kronik intestinal (durasi >1 bulan)
13. Sarkoma Kaposi
14. Limfoma Burkitt, immunoblastik, atau primary central nervous system
15. Mycobacterium avium complex (MAC) atau Mycobacterium kansasii,
disseminated atau ekstrapulmoner
16. Mycobacterium tuberculosis, pulmonary or extrapulmonary
17. Pneumocystis jiroveci (formerly carinii) pneumonia (PCP)
18. Progressive multifokal leukoencephalopathy (PML)
19. Salmonella septicemia, rekuren (non tifoid)
20. Toxoplasmosis di otak
21. Wasting syndrome karena HIV (hilangnya berat badan >10 kg )
disertai dengan diare kronik
26
yang dimulai saat terjadi infeksi HIV primer. Dibawah ini adalah kondisi klinis
atau gejala dan tanda yang didapatkan pada pasien yang terinfeksi HIV.
Pada sistem stadium menurut WHO, remaja dan orang dewasa di definisikan
sebagai individu yang berusia lebih dari atau sama dengan usia 15 tahun.14
STADIUM KLINIS I
Asimptomatik
Limfadenopati Generalisata Persisten
STADIUM KLINIS II
27
bakteremia)
Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau
periodontitis
Anemia yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropenia
(<0.5 x 109/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50 x 10 9/l)
STADIUM KLINIS IV
Rekomendasi:
Tes laboratorium diagnostik HIV harus dilakukan secara lengkap.
Pengujian asam nukleat HIV (NAT) untuk mendeteksi RNA HIV atau DNA
HIV dianjurkan untuk menetapkan diagnosis infeksi pada bayi yang lahir dari
ibu yang terinfeksi HIV-1. Dokter harus menggunakan tes antibodi HIV
28
dengan konfirmasi Western blot atau uji imunofluoresensi secara tidak
langsung untuk menetapkan diagnosis infeksi HIV kronis. Tes skrining
antibodi HIV termasuk enzim immunoassay (ELISA/EIA), chemiluminescent
immunoassay (CIAS), dan Rapid tes.16
Pasien dengan hasil tes antibodi HIV negatif, harus melakukan
pengulangan tes selanjutnya pada 3 bulan kemudian. Bagi individu yang
pada tes HIV mempunyai hasil negatif pada 3 bulan tetapi terus terlibat dalam
perilaku risiko tinggi, maka dokter harus mendiskusikan strategi harm
reduction yang berorientasi pada tujuan, termasuk rujukan untuk layanan
konseling, dan pengulangan tes HIV setidaknya setiap 3 bulan. Dokter harus
mengevaluasi pasien infeksi HIV akut, terutama ketika mereka datang
dengan demam, flu, atau seperti penyakit yang tidak dapat dijelaskan.
Termasuk mereka yang datang dengan kriteria dibawah ini : 16
29
1. Deteksi HIV RNA atau tidak adanya antibodi HIV harus dianggap
sebagai hasil positif awal, tes HIV RNA dari spesimen baru harus
diulang segera untuk mengkonfirmasi adanya HIV RNA.
2. Tes HIV RNA harus diulang untuk menyingkirkan hasil positif palsu
ketika hasil kuantitatif memberikan hasil yang rendah (<5.000 kopi /
mL) dari tes HIV RNA dilaporkan tidak adanya bukti serologis infeksi
HIV.
Tes HIV serologis harus diulang 2 sampai 3 minggu setelah diagnosis.
Tes HIV RNA dilakukan untuk mengkonfirmasi infeksi. Namun, dokter tidak
harus menunggu hasil tes serologis untuk konfirmasi adanya infeksi HIV dan
untuk memulai terapi ARV. Ketika wanita hamil didiagnosis dengan infeksi
HIV akut melalui tes HIV RNA disarankan untuk segera memberikan terapi
ARV.16
Teknologi immunoassay HIV telah berkembang untuk memasukkan
antigen dalam meningkatkan deteksi varian virus, seperti deteksi HIV-1 dan
HIV-2. Penggunaan kombinasi HIV-1 atau HIV-2 melalui pemeriksaan enzim
immunoassay (EIA atau ELISA), chemiluminescent immunoassay (CIAS),
dan Rapid tes dapat mendeteksi jenis HIV-1 dan HIV-2. Ketika dicurigai
infeksi HIV akut, segera lakukan tes viral load HIV, diikuti oleh tes antibodi.
Kemudian dilakukan konfirmasi 3 sampai 6 minggu. Kebanyakan tes HIV
RNA akan mendeteksi infeksi HIV akut 7 sampai 14 hari setelah terpapar
HIV. 16
30
Deteksi antibodi HIV adalah metode yang paling umum untuk
mendiagnosis infeksi HIV pada orang dewasa dan anak-anak yang berusia >
18 bulan. Antibodi ini biasanya terdeteksi dalam waktu 3 sampai 6 minggu
setelah infeksi, dan hampir semua individu serokonversi terjadi pada minggu
ke-12. Namun, dalam kasus yang jarang terjadi, antibodi mungkin tidak
terdeteksi selama berbulan-bulan. Jika keadaan ini terjadi, maka tes harus
ditindaklanjuti dengan tes antibodi HIV pada 3 bulan kemudian untuk
mengidentifikasi infeksi HIV pada individu dengan eksposur baru. 16
Pengujian serologis saat ini dilakukan dengan alat tes skrining yang
sangat sensitif (yaitu, ELISA / EIA, CIA, atau Rapid tes), dan spesimen positif
awal ditindaklanjuti dengan uji konfirmasi yang sangat spesifik (yaitu,
Western Blot). Tes antibodi juga dapat dilakukan pada cairan oral dan sampel
urin. Istilah "reaktif," "tidak reaktif," dan "tak tentu" digunakan untuk
menggambarkan hasil pemeriksaan dari tes konfirmasi. 16
31
keempat ini, ELISA menggabungkan deteksi antigen p24 HIV dan antibody
HIV-1 atau HIV-2. Karena antigen HIV p24 dihasilkan oleh virus, akan
mungkin terdeteksi sebelum seorang individu menghasilkan antibodi
terhadap HIV, waktu untuk deteksi HIV akan menurun dengan pengujian ini.
Alat tes skrining yang tersedia (yaitu, rapid tes, ELISA, dan CIAS) dengan
menggunakan antigen rekombinan dan telah nyata memperpendek jangka
waktu antara infeksi dan deteksi antibodi, deteksi antibodi terhadap infeksi
HIV-1 sekarang rata-rata 21 hari setelah terpapar, sekitar 1 minggu lebih
lama dari deteksi oleh NAT.16
Sampel yang reaktif dengan ELISA diuji lebih lanjut dengan alat yang
lebih spesifik untuk mengkonfirmasi infeksi. Sampel reaktif dengan ELISA
dilaporkan memberikan hasil negatif untuk HIV. Tidak ada pengujian lebih
lanjut untuk sampel dilaporkan sebagai hasil yang negatif. Antibodi terhadap
HIV-1 juga terdeteksi dalam urin. FDA berlisensi bahwa HIV-1 pada
pemeriksaan ELISA tersedia untuk mendeteksi antibodi, seperti pada tes
skrining antibodi, metode ini membutuhkan konfirmasi dengan WB. 16
32
tiga band utama. Spesimen yang reaktif dengan ELISA dan reaktif oleh uji
konfirmasi Western blot dilaporkan sebagai hasil yang positif yaitu terdapat
antibodi terhadap HIV-1. 16
Sampel yang berulang kali reaktif dengan ELISA tetapi tidak reaktif
dengan uji konfirmasi Western blot menandakan hasil yang negatif untuk
antibodi terhadap HIV-1. Untuk tindak lanjutnya jika hasil negatif adalah
mengulangi tes antibodi HIV dalam 1 bulan kemudian. 16
Rekomendasi:
Tes skrining antibodi HIV-2 dilakukan jika tes skrining kombinasi HIV-1
atau HIV-2 menghasilkan hasil reaktif dan tes Western Blot HIV-1
menghasilkan hasil yang tak tentu atau tidak reaktif, maka diperlukan
pengujian tambahan dengan ELISA untuk mendeteksi HIV-2. Spesimen yang
secara khusus reaktif untuk antibodi HIV-2 memerlukan tes konfirmasi HIV-
2.16
Rekomendasi:
Pemeriksaan PCR DNA digunakan hanya untuk mendeteksi infeksi
pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Semua PCR DNA dengan
hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes PCR DNA kedua pada spesimen
terpisah. Tes PCR DNA merupakan cara yang paling terkenal untuk
amplifikasi asam nukleat. Prosedur kualitatif ini sangat sensitif karena dapat
mendeteksi antara 1 dan 10 salinan provirus DNA HIV-1 per sampel. Karena
33
sensitivitas yang sangat tinggi dalam pengujian ini, sejumlah kecil masalah
noise dalam lingkungan atau kontaminasi selama proses di laboratorium
dapat menyebabkan amplifikasi produk yang dapat menghasilkan reaksi
positif palsu. Semua hasil awal PCR DNA yang bernilai positif memerlukan
konfirmasi dengan tes PCR DNA kedua pada spesimen terpisah. Saat ini,
penggunaan diagnostik PCR DNA HIV-1 hanya direkomendasikan untuk
mendeteksi infeksi pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1.16
Rekomendasi:
Merupakan tes viral load HIV yang harus digunakan bersamaan dengan
tes antibodi HIV-1, tes ini berguna untuk mendiagnosis infeksi HIV akut atau
primer. Riwayat alami terinfeksi HIV akut dapat beraneka ragam sehingga
antibodi mungkin tidak terbentuk pada saat timbulnya gejala (2 sampai 6
minggu setelah paparan). Tes antibodi dari pasien ini akan sering
memberikan hasil negatif lemah atau positif lemah pada pemeriksaan ELISA
dan negatif pada pemeriksaan Western Blot. Namun, tingkat viral load yang
sangat tinggi selama infeksi akut, biasanya mulai dari 100.000 sampai lebih
dari 10 juta kopi / mL, dan terdeteksi sekitar 2 minggu sebelum
serokonversi. 16
Penggunan kedua pemeriksaan yaitu HIV assay RNA plasma dan tes
antibodi digunakan untuk menegakkan diagnosis. Rendahnya tingkat virus
(cut off sering < 5000 kopi / mL) mungkin menunjukkan hasil positif palsu dan
tidak bisa dianggap terdiagnosis infeksi HIV primer. Tes antibodi standar
harus diulang dalam 3 sampai 6 minggu . Tingkat viral load HIV selama
serokonversi tidak terlihat berbeda secara signifikan pada pasien yang
memiliki gejala akut dibandingkan dengan mereka yang tidak menunjukkan
gejala. 16
34
X. PENATALAKSANAAN
35
virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+, dan genotip virus. Juga perlu
diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat antiretrovirus (ARV) atau
belum. Data tersebut kemudian dapat digunakan sebagai bahan informasi
kepada ibu tentang risiko penularan terhadap pasangan seks, bayi, serta
cara pencegahannya. Selanjutnya, ibu harus diberi penjelasan tentang faktor
risiko yang dapat mempertinggi penularan infeksi HIV-1 dari ibu ke bayi.17
Banyak ibu terinfeksi HIV hamil tanpa rencana. Ibu hamil sangat jarang
melakukan perawatan prenatal. Di samping itu, ibu-ibu ini sering terlambat
untuk melakukan perawatan prenatal. Kelompok ibu-ibu ini juga sangat
jarang melakukan konseling dan tes HIV pada waktu prenatal, sehingga
mereka tidak dapat dicatat dan dipantau dengan baik. Catatan medis yang
lengkap sangat perlu untuk ibu hamil terinfeksi HIV termasuk catatan tentang
kebiasaan yang meningkatkan risiko dan keadaan sosial yang lain,
pemeriksaan fisik yang lengkap, serta pemeriksaan laboratorium untuk
mengetahui status virologi dan imunologi. Pada saat penderita datang
pertama kali harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini
akan digunakan sebagai data dasar untuk bahan banding dalam melihat
perkembangan penyakit selanjutnya. Pemeriksaan tersebut adalah darah
lengkap, urinalisis, tes fungsi ginjal dan hati, amilase, lipase, gula darah
puasa, VDRL, gambaran serologis hepatitis B dan C, subset sel T , dan
jumlah salinan RNA HIV .17
Selanjutnya, ibu harus selalu dipantau. Cara pemantauan ibu hamil
terinfeksi HIV sama dengan pemantauan ibu terinfeksi HIV tidak hamil.
Pemeriksaan jumlah sel T CD4+ dan kadar RNA HIV -1 harus dilakukan
36
setiap trimester (yaitu,setiap 3-4 bulan) yang berguna untuk menentukan
pemberian ARV dalam pengobatan penyakit HIV pada ibu. Bila fasilitas
pemeriksaan sel T CD4+ dan kadar HIV-1 tidak ada maka dapat ditentukan
berdasarkan kriteria gejala klinis yang muncul.17
Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi maka ibu hamil
terinfeksi HIV harus mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus
(ARV). Tujuan pemberian ARV pada ibu hamil, di samping untuk mengobati
ibu, juga untuk mengurangi risiko penularan perinatal kepada janin atau
neonatus. Ternyata ibu dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma (<1000
salinan RNA/ml), akan menularkan HIV ke bayi hanya 22%, sedangkan ibu
dengan jumlah muatan virus banyak menularkan infeksi HIV pada bayi
sebanyak 60%. Jumlah virus dalam plasma ibu masih merupakan faktor
prediktor bebas yang paling kuat terjadinya penularan perinatal. Karena itu,
semua wanita hamil yang terinfeksi HIV harus diberi pengobatan
antiretrovirus (ARV) untuk mengurangi jumlah muatan virus.17
Pemilihan antiretrovirus untuk ibu hamil terinfeksi HIV sama dengan ibu
yang tidak hamil. Yang harus diketahui dari ibu hamil terinfeksi HIV adalah
status penyakit HIV (beratnya penyakit AIDS ditentukan berdasarkan
perhitungan sel T CD4+, perkembangan infeksi ditentukan berdasarkan
jumlah muatan virus, antigen p24 atau RNA/DNA HIV di dalam plasma),
riwayat pengobatan antiretrovirus saat ini dan sebelumnya, usia kehamilan,
dan perawatan penunjang yang diperlukan seperti perawatan psikiater,
37
nutrisi, aktivitas seksual harus memakai kondom, dan lain-lain. ARV cukup
aman diberikan kepada ibu hamil. Obat ini tidak bersifat teratogenik pada
manusia, dan tidak bersifat lebih toksik pada ibu hamil dibandingkan dengan
ibu tidak hamil. Walaupun demikian, pemantauan jangka pendek dan jangka
panjang tentang toksisitas dari paparan sampai penggunaan kombinasi ARV
untuk janin di dalam kandungan dan pada bayi adalah sangat penting, karena
keterbatasan informasi, dan data yang ada sering tidak sesuai.17
Indikasi pemberian antiretrovirus pada wanita hamil sama dengan pada
wanita tidak hamil. Untuk wanita hamil yang sudah mendapat pengobatan
antiretrovirus, keputusan untuk mengganti obat adalah sama dengan wanita
tidak hamil. Rejimen kemoprofilaksis ZDV diberikan tunggal atau bersama
dengan antiretrovirus lain, mulai diberikan pada usia kehamilan 14 minggu
dan jangan ditunda. Karena dengan menunda maka efektivitasnya akan
menurun. Hal ini harus didiskusikan dan ditawarkan kepada seluruh ibu hamil
yang terinfeksi agar risiko penularan HIV perinatal berkurang.17
Walaupun keputusan pemilihan dan penggunaan ARV berbeda-beda,
umumnya keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan : 1) risiko penyakit
berkembang pada ibu bila tanpa pengobatan, 2) manfaat untuk menurunkan
jumlah virus, agar risiko penularan perinatal berkurang, 3) kemungkinan
terjadi toksisitas obat, 4) kemungkinan ada infeksi oleh virus yang sudah
resisten obat, dan 5) efek paparan obat jangka panjang pada bayi dalam
kandungan.17
38
bentuk DNA. Obat dalam golongan ini yang disetujui di AS dan masih dibuat
adalah :18
1. Lamivudine (3TC)
2. Abacavir (ABC)
3. Zidovudine (AZT/ZDV)
4. Stavudine (D4T)
5. Didanosine (Ddl)
6. Emtricitabine (FTC)
7. Tenofovir (TDF)
Golongan obat kedua menghambat langkah yang sama dalam siklus
hidup HIV, tetapi dengan cara lain. Obat ini disebut nonnucleoside reverse
transcriptase inhibitor atau NNRTI, diantaranya adalah : 18
1. Delaviridine (DLV)
2. Evavirens (EFV)
3. Etravirine (ETV)
4. Nevirapine (NVP)
5. Rilpivirine (RPV)
Golongan ketiga ARV adalah protease inhibitor (PI). Obat golongan
ini menghambat pematangan virus. Obat golongan PI yang disetujui dan
masih dibuat di AS:18
1. Atazanavir (ATV)
2. Darunavir (DRV)
3. Fosamprenavir (FPV)
4. Indinavir (IDV)
5. opinavir (LPV)
6. Nelfinavir (NFV)
7. Ritonavir (RTV)
8. Saquinavir (SQV)
39
9. Tipranavir (TPV)
Golongan ARV keempat adalah fusion inhibitor. Obat golongan ini
mencegah pengikatan HIV pada sel. Dua obat golongan ini sudah disetujui di
AS:18
1. Enfuvirtide (T-20)
2. Maraviroc (MVC)
Golongan ARV terbaru adalah integrase inhibitor (INI). Obat golongan
ini mencegah pemaduan kode genetik HIV dengan kode genetik pada sel.
Contoh dua obat ini adalah :18
1. Raltegravir (RGV)
2. Elvitegravir (EGV)
40
Rekomendasi Terbaru
1. Semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV harus memulai triple
ARV yang harus dipertahankan selaa terdapat risiko penularan dari ibu ke
anak. Wanita yang memenuhi kriteria diatas dan mendapatkan
pengobatan ARV harus dilanjutkan seumur hidup.15
2. Untuk alasan program dan operasional, semua wanita hamil dan
menyusui dengan HIV harus memulai ARV sebagai pengobatan seumur
hidup. 15
3. Di beberapa negara, pada wanita yang tidak memenuhi syarat untuk
pemberian ARV disarankan untuk menghentikan rejimen ARV selama
risiko penularan dari ibu ke anak risiko telah berhenti.15
41
Tabel 10.2 Pilihan Pemberian Terapi ARV
42
Latar Belakang
Obat ARV yang digunakan untuk wanita hamil dan menyusui dengan
HIV bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan mencegah anak terinfeksi.
Manfaat lainnya untuk mencegah penularan HIV secara seksual. Pedoman
WHO PMTCT 2010 merekomendasikan penggunaan ARV seumur hidup
untuk perempuan yang memenuhi syarat dalam pengobatan (berdasarkan
kriteria kelayakan 2010, yaitu jumlah CD4 350 sel/mm3 atau berdasarkan
WHO stadium klinis penyakit 3 atau 4 ) dan pemberian ARV profilaksis untuk
PMTCT bagi wanita dengan HIV yang tidak memenuhi syarat untuk
mendapatkan pengobatan. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat untuk
43
dua rejimen profilaksis yang direkomendasikan adalah Opsi A, yaitu AZT
untuk ibu selama kehamilan, dan dosis tunggal NVP ditambah AZT dan 3TC
untuk ibu saat melahirkan dan dilanjutkan selama seminggu postpartum, dan
"Opsi B" yaitu (triple obat ARV) bagi ibu selama kehamilan dan selama
menyusui. Profilaksis direkomendasikan untuk dimulai sedini mungkin, yaitu
pada usia kehamilan 14 minggu, dan pilihan penggunaan profilaksis
dilakukan selama empat sampai enam minggu peripartum, yaitu diberikan
obat NVP atau AZT untuk bayi, terlepas dari apakah ibu sedang menyusui. 15
Pada tahun 2011, di Malawi dilaksanakan program pendekatan terbaru
untuk terapi ARV, yaitu pemberian terapi ARV seumur hidup bagi semua ibu
hamil dan menyusui dengan HIV tanpa melihat jumlah CD4 atau status klinis,
program tersebut dimasukkan dalam "Opsi B+". Pedoman 2013
merekomendasikan terapi ARV (triple ARV) untuk semua ibu hamil dan
menyusui dengan HIV selama periode risiko penularan dari ibu ke bayi dan
terapi ARV digunakan seumur hidup. Opsi A tidak lagi dianjurkan.15
Lini Pertama Pemberian ART Untuk Ibu Hamil dan Menyusui dan Obat
ARV Pada Bayi
Rekomendasi Terbaru
1. Dosis tetap kombinasi dari TDF + 3TC (atau FTC) + EFV yang
direkomendasikan sebagai lini pertama ART pada wanita hamil dan
menyusui adalah diberikan sekali sehari, termasuk wanita hamil pada
trimester pertama kehamilan dan wanita usia reproduksi. Rekomendasi ini
berlaku untuk pengobatan seumur hidup dan pemberian ART untuk
PMTCT dan kemudian dihentikan.15
2. Bayi dari ibu yang mendapatkan ART dan sedang menyusui harus
mendapatkan terapi profilaksis dengan NVP harian selama enam minggu.
44
Jika bayi menerima makanan pengganti, mereka harus diberikan terapi
profilaksis harian selama empat sampai enam minggu dengan NVP harian
(atau AZT dua kali sehari). Profilaksis pada bayi harus dimulai pada saat
lahir atau ketika didapatkan HIV saat postpartum.15
Tabel 10.2 Pemberian Lini Pertama ART untuk Remaja, Dewasa, Ibu
Hamil dan Menyusui dan Anak-anak.15
45
Latar Belakang
46
Berdasarkan pedoman WHO tahun 2010 pada PMTCT direkomendasikan
bahwa terdapat empat pilihan rejimen yang berbeda untuk wanita hamil dan
menyusui dengan HIV, yaitu : AZT + 3TC atau TDF + 3TC (atau FTC)
ditambah NVP atau EFV. Pemberian obat NVP dikhawatirkan karena dapat
memberikan efek toksik pada wanita hamil, maka rejimen yang dianjurkan
adalah triple ARV pada PMTCT yaitu : AZT + 3TC atau TDF + 3TC (atau
FTC) + EFV sebagai rejimen NNRTI. Rejimen alternatif adalah AZT + 3TC
ditambah LPV/r atau ABC.15
Berdasarkan pedoman WHO 2010 direkomendasikan bahwa pemberian
profilaksis yaitu NVP (atau AZT) selama empat sampai enam minggu sebagai
post exposure profilaksis diberikan kepada semua bayi baru lahir dari ibu
yang menerima rejimen triple ARV bertujuan untuk keperluan pengobatan
dan pencegahan. Pemberian profilaksis NVP harian pada bayi baru lahir dan
selama menyusui direkomendasikan jika ibu tidak menerima pengobatan
triple ARV.15
Rejimen lini pertama yang ideal untuk wanita hamil dan menyusui dengan
HIV yaitu tersedia sebagai kombinasi dosis tetap, aman bagi wanita hamil
dan menyusui dan pada bayi mereka. Rejimen TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
tersedia sebagai kombinasi dosis tetap sekali sehari dan merupakan
rekomendasi rejimen lini pertama untuk orang dewasa karena mudah
terjangkau. Keselamatan pada bayi merupakan isu penting untuk wanita
hamil dan menyusui dan pada bayi mereka serta wanita yang akan hamil.
Meskipun data menyebutkan bahwa pemberian EFV dan TDF digunakan
terbatas pada ibu hamil, lebih banyak data telah tersedia sejak tahun 2010
dan memberikan peningkatan jaminan untuk merekomendasikan TDF + 3TC
47
(atau FTC) + EFV sebagai lini pertama rejimen ARV untuk wanita hamil dan
menyusui.15
48
Tidak ada data baru menginformasikan perubahan dalam rekomendasi
pada profilaksis pada bayi. Untuk bayi menyusui, dianjurkan pemberian NVP
selama enam minggu, karena bayi menerima makanan pengganti empat
sampai enam minggu, pemberian NVP atau AZT tetap direkomendasikan.
Jika terjadi efek toksisitas dari NVP pada bayi maka harus dilakukan
penghentian obat, obat tersebut dapat digantikan dengan 3TC. Beberapa
studi telah aman digunakan profilaksis bayi selama menyusui dengan 3TC. 15
Aturan pengobatan Alternatif: toksisitas, intoleransi atau kurangnya
ketersediaan rejimen yang direkomendasikan. 15
49
Tabel 10.6 Perbedaan Pemberian ARV Profilaksis Pada Ibu dan Bayi
Berdasarkan Skenario Klinik.15
50
Tabel 10.7 Algoritma Rekomendasi untuk Wanita Hamil dan Menyusui
Menurut WHO 2013. 15
51
Tabel 10.8 Algoritma Rekomendasi untuk Wanita Hamil dan Menyusui
Menurut WHO 2013. 15
52
10.9 Algoritma Rekomendasi 2013 Penatalaksanaan HIV pada Remaja
dan Dewasa.15
53
XI. PERAWATAN
54
XI.1 Perawatan Sebelum Kehamilan
Namun, sangat jelas bahwa obat HIV tertentu, seperti AZT (ZDV atau
AZT) dan obat lain yang melewati plasenta, secara signifikan dapat
mengurangi risiko bahwa bayi akan terinfeksi HIV ketika obat tersebut
diminum selama kehamilan dan persalinan, dan kemudian diberikan kepada
bayi setelah melahirkan. Itulah sebabnya pedoman pengobatan HIV sangat
merekomendasikan kombinasi obat untuk mencegah penularan HIV kepada
bayi yang baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV. Umumnya, AZT diberikan
dengan obat lain sebagai bagian dari rejimen tiga jenis obat. Beberapa obat-
obatan HIV, seperti efavirenz, tidak boleh digunakan pada wanita yang
sedang merencanakan kehamilan. Bicarakan dengan dokter anda tentang
risiko dan manfaat dari penggunaan obat HIV selama kehamilan. 19
55
Perempuan dengan HIV biasanya membutuhkan bantuan dari
beberapa penyedia layanan kesehatan selama kehamilan, termasuk seorang
spesialis HIV, penyedia layanan kesehatan primer, dan penyedia perawatan
kebidanan. Evaluasi awal setelah kehamilan dikonfirmasi, pasien harus
bertemu dengan spesialis HIV dan dokter kandungan dan selama kunjungan
tersebut akan membahas bagaimana mengatasi HIV selama kehamilan dan
mengurangi risiko penularan HIV ke bayi .19
Selama pemeriksaan awal, akan dilakukan tes darah untuk menentukan
jumlah virus HIV dalam darah (misalnya, viral load HIV) dan kekuatan sistem
kekebalan tubuh (misalnya, jumlah sel T CD4 ). Selain itu, juga dilakukan tes
darah lain untuk mengevaluasi kesehatan umum dan untuk memantau efek
samping obat. Selama kehamilan, kebanyakan wanita dengan HIV
disarankan untuk mengambil rejimen antiretroviral dengan menggunakan tiga
obat HIV. Bila mungkin, zidovudine (AZT) disertakan karena telah terbukti
secara signifikan mengurangi risiko penularan HIV ke bayi dan dianggap
aman untuk dikonsumsi selama kehamilan. Studi menunjukkan bahwa wanita
yang memulai pengobatan HIV pada awal kehamilan lebih mungkin untuk
memiliki jumlah virus yang rendah dalam darah. Namun, beberapa wanita
mungkin lebih suka untuk memulai setelah trimester pertama kehamilan
untuk menghindari paparan obat yang tidak perlu pada bayi. Pengobatan HIV
terus berlanjut sepanjang kehamilan untuk mencegah penularan HIV ke
bayi.19
Bahkan jika AZT tidak digunakan selama kehamilan, masih dianjurkan
bagi beberapa wanita selama proses melahirkan dan bayi yang baru lahir
selama enam minggu setelah kelahiran. Ada beberapa obat HIV yang tidak
boleh digunakan dalam kehamilan: meliputi kombinasi stavudine (d4T) dan
ddI (ddI) digunakan bersama-sama. Nevirapine umumnya tidak dimulai pada
perempuan dengan jumlah CD4 > 250/mm3. Efavirenz tidak harus dimulai
56
selama trimester pertama kehamilan. Namun, wanita yang hamil selama
memakai efavirenz dapat melanjutkan pengobatan itu. Penggunaan USG
biasanya dianjurkan pada kehamilan 18 sampai 20 minggu untuk
mengevaluasi pertumbuhan janin. Tindak lanjut USG sering dianjurkan
selama trimester kedua atau ketiga untuk memonitor pertumbuhan janin. 19
Obat HIV yaitu AZT diberikan selama persalinan ketika seorang
wanita tidak memiliki jumlah HIV yang rendah dalam darah dan telah
mendekati waktu persalinan, AZT membantu mengurangi risiko penularan
HIV. Wanita yang mengkonsumsi kombinasi obat HIV harus dilakukan terus
menerus mengikuti jadwal selama persalinan dimulai atau sebelum operasi
sesaria, hal ini membantu untuk memberikan perlindungan maksimal kepada
ibu dan bayi dan untuk meminimalkan risiko terjadinya resistensi obat.19
Cara paling aman untuk perempuan dengan HIV untuk melahirkan bayi
(yaitu dengan operasi sesaria elektif), dan tergantung pada viral load HIV
selama kehamilan. Manfaat dari kelahiran sesaria yang dijadwalkan adalah
dapat meminimalkan paparan bayi dari darah ibu dan cairan vagina di jalan
lahir. Risikonya bahwa kelahiran dengan sesaria dapat mengakibatkan
komplikasi pada ibu (perdarahan, infeksi, dll), dan mungkin lebih sulit untuk
pulih setelah operasi sesaria dibandingkan dengan persalinan normal. Wanita
hamil dengan HIV yang telah mengkonsumsi obat HIV selama kehamilan dan
memiliki viral load yang tidak terdeteksi pada 34-36 minggu kehamilan dapat
memilih untuk melakukan persalinan normal. 19
Wanita hamil dengan HIV yang telah mengkonsumsi obat HIV selama
kehamilan, tetapi memiliki viral load di atas 1.000/ mL pada 34-36 minggu
kehamilan biasanya disarankan untuk melakukan kelahiran dengan operasi
sesaria daripada persalinan pervaginam. Dalam situasi ini, operasi sesaria
biasanya dijadwalkan pada 38 minggu kehamilan. Wanita dengan viral load
antara 0 dan 1000 kopi / mL yang telah mengkonsumsi obat HIV selama
57
kehamilan dapat memilih antara persalinan normal atau operasi sesaria.
Tidak ada informasi yang cukup dari studi untuk mengetahui apakah
persalinan sesaria mengurangi risiko penularan HIV ke bayi yang baru lahir.19
58
tidak berarti bahwa bayi tentu memiliki infeksi HIV.Untuk alasan ini, tes
khusus yang secara langsung mengukur virus itu sendiri dilakukan pada bayi
untuk melihat apakah mereka terinfeksi yaitu tes virus khusus,tes PCR
(disebut PCR tes HIV) , jika hasilnya adalah negatif, maka bayi tidak
terinfeksi HIV.19
Studi pada bayi yang terkena AZT dan tidak terinfeksi HIV belum
menunjukkan peningkatan risiko masalah serius dengan pertumbuhan,
sistem kekebalan tubuh, fungsi otak, kanker, atau masalah lain untuk hingga
enam tahun. Namun, data jangka panjang mengenai keamanan obat HIV
selama kehamilan, terutama rejimen kombinasi, tidak tersedia. Akibatnya,
bayi dan anak-anak yang terkena obat antiretroviral selama kehamilan ibu
mereka harus dipantau selama hidupnya.19
59
60