Anda di halaman 1dari 336

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 01/PJ/2016TENTANG

PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PENERIMAAN


DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Umum
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2016
A.tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu disusun Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak sebagai petunjuk teknis atas tata cara penerimaan dan pengolahan Surat
Pemberitahuan Tahunan.
Maksud dan Tujuan
Maksud
Ketentuan ini dimaksudkan sebagai acuan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan
1.
Pajak, Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan serta Unit Pengolahan Data dan
B. Dokumen Perpajakan dalam melakukan penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Tujuan
Ketentuan ini disusun dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi penerimaan dan pengolahan Surat
2.
Pemberitahuan Tahunan dan memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak sehubungan dengan
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ruang Lingkup
Ketentuan ini mengatur petunjuk teknis atas tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan
C. Tahunan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak yang meliputi SPT Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Orang Pribadi (SPT 1770, SPT 1770 S, SPT 1770 SS), SPT Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Badan (SPT 1771 dan SPT 1771/$), termasuk SPT Tahunan Pembetulan.
Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK.01/2007 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat
Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.01/2011 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
D.
Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan;
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan
Beserta Petunjuk Pengisiannya sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-36/PJ/2015 ;
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2015 tentang Surat Pemberitahuan
Elektronik;
7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2016 tentang Tata Cara Penerimaan dan
Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Materi
E.
I. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut dengan
Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disebut SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau
bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
3. Surat Pemberitahuan Tahunan yang selanjutnya disebut SPT Tahunan adalah Surat
Pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang meliputi SPT Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi (SPT 1770, SPT 1770 S, SPT 1770 SS), SPT
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (SPT 1771 dan SPT 1771/$), termasuk SPT
Tahunan Pembetulan.
4. SPT Tahunan Pembetulan adalah SPT Tahunan yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka
membetulkan SPT Tahunan yang telah disampaikan sebelumnya.
5. SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana yang
selanjutnya disebut SPT 1770 SS adalah SPT yang digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi
yang mempunyai penghasilan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan jumlah
penghasilan bruto tidak lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) setahun.
6. SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sederhana yang selanjutnya
disebut SPT 1770 S adalah SPT Tahunan yang digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi
yang mempunyai penghasilan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan jumlah
penghasilan bruto lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) setahun.
7. SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang selanjutnya disebut SPT
1770 adalah SPT Tahunan yang digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai
penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas, dari satu atau lebih pemberi kerja, yang dikenakan
Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat final, dan/atau dalam negeri lainnya/luar negeri.
8. SPT Tahunan Elektronik yang selanjutnya disebut e-SPT Tahunan adalah SPT Tahunan dalam
bentuk dokumen elektronik beserta lampiran-lampirannya yang dilaporkan dengan
menggunakan Media Penyimpanan Elektronik.
9. SPT Tahunan Lengkap adalah SPT Tahunan yang semua elemen SPT Tahunan Induk dan
lampirannya telah diisi dengan lengkap, dilengkapi lampiran khusus, keterangan dan/atau
dokumen yang disyaratkan, dan untuk e-SPT Tahunan dapat diproses dalam sistem informasi
pada Direktorat Jenderal Pajak.
10. Tempat Pelayanan Terpadu yang selanjutnya disebut dengan TPT adalah tempat pelayanan
perpajakan yang terintegrasi pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) termasuk Kantor Pelayanan,
Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP).
11. Media Penyimpanan Elektronik adalah sarana penyimpan data digital yang dapat dibaca oleh
sistem informasi pada Direktorat Jenderal Pajak, meliputi cakram padat, flash disk, dan media
penyimpanan elektronik lainnya.
12. Bukti Penerimaan SPT Tahunan adalah bukti penerimaan atas penyampaian SPT Tahunan
yang diberikan kepada Wajib Pajak.
13. Pengolahan SPT Tahunan adalah serangkaian kegiatan yang meliputi penelitian dan perekaman
SPT Tahunan.
14. Penelitian Penyampaian SPT Tahunan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memastikan SPT
Tahunan telah ditandatangani dan meneliti kelengkapan pengisian SPT Tahunan dan lampiran-
lampirannya serta kelengkapan lampiran yang disyaratkan sesuai ketentuan yang berlaku.
15. Pengecekan Validitas NPWP adalah kegiatan yang dilakukan untuk memastikan kesesuaian
NPWP yang tertera pada SPT Tahunan dengan data sistem informasi pada Direktorat Jenderal
Pajak.
16. Proses Validasi NPWP adalah kegiatan yang dilakukan untuk memproses NPWP tidak valid
sehingga menjadi valid.
17. Perekaman SPT Tahunan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengisikan
sebagian atau seluruh unsur SPT Tahunan ke dalam basis data perpajakan dengan cara antara
lain merekam, mengunggah data/informasi digital dari media elektronik/jaringan komunikasi
data ke sistem informasi pada Direktorat Jenderal Pajak, dan/atau memindai (scanning).
18. Unit Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan yang selanjutnya disebut UPDDP adalah unit
pelaksana teknis yang melaksanakan fungsi pengolahan data dan dokumen perpajakan,
meliputi Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (PPDDP) dan Kantor Pengolahan
Data dan Dokumen Perpajakan (KPDDP).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan:


Penerimaan SPT Tahunan
Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Tahunan secara langsung dengan menyerahkannya kepada
a. petugas penerima SPT Tahunan di TPT, pojok pajak, mobil pajak atau tempat khusus penerimaan
SPT Tahunan.
Dalam hal SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan:
1)SPT Tahunan Wajb Pajak Badan,
2)SPT 1770,
3)SPT Tahunan Pembetulan,
SPT 1770 S dan SPT 1770 SS yang:
b.
a) menyatakan lebih bayar;
b)disampaikan setelah batas waktu penyampaian SPT;
4)
c) disampaikan dalam bentuk e-SPT,
1.
maka SPT Tahunan tersebut harus disampaikan ke TPT KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
Apabila Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada huruf b selain ke
c. TPT KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, petugas penerima SPT menolak dan mengarahkan Wajib
Pajak untuk menyampaikan SPT Tahunan tersebut ke TPT KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
d.SPT Tahunan Pembetulan tidak dapat disampaikan ke TPT KP2KP.
II.
Dalam hal SPT Tahunan disampaikan melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir ke
e. KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, tanda bukti dan tanggal pengiriman surat dianggap sebagai
tanda bukti dan tanggal penerimaan SPT sepanjang SPT Tahunan tersebut telah lengkap.
Dalam penerimaan SPT di KP2KP (baik melalui TPT, Pojok Pajak, Mobil Pajak atau Tempat
Khusus Penerimaan SPT Tahunan yang dibuka oleh KP2KP), penyerahan SPT Tahunan kepada
f.
petugas pelayanan KPP atasan KP2KP dilakukan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak SPT
diterima.
Pengecekan Tempat Terdaftar Wajib Pajak dan Pengecekan Validitas NPWP
Terhadap SPT Tahunan yang disampaikan oleh Wajib Pajak dengan cara:
1)langsung;
2)dikirim melalui pos dengan bukti pengiriman surat ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; atau
a.
dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke KPP
3)tempat Wajib Pajak terdaftar, dilakukan pengecekan tempat terdaftar Wajib Pajak untuk
2.
memastikan bahwa SPT dapat disampaikan di KPP penerima dan Pengecekan Validitas NPWP.
Apabila berdasarkan pengecekan tempat terdaftar Wajib Pajak:
SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b disampaikan oleh Wajib Pajak yang
1)
b. terdaftar di KPP Penerima, maka SPT Tahunan dapat diterima;
SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b disampaikan oleh Wajib Pajak yang
2)
tidak terdaftar di KPP penerima, maka Wajib Pajak diarahkan untuk menyampaikan SPT
tersebut di KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
Selanjutnya, apabila berdasarkan Pengecekan Validitas NPWP:
NPWP berstatus valid, kemudian dilakukan proses Penelitian Penyampaian SPT Tahunan dan
1)
penelitian syarat penyampaian SPT Tahunan Pembetulan;
NPWP berstatus tidak valid
Wajib Pajak Orang Pribadi:
NPWP berstatus Non Efektif (NE) atau NPWP berstatus tidak valid tetapi datanya
terdapat dalam basis data Direktorat Jenderal Pajak, KPP dapat meminta data NIK,
2.a.1) nomor telepon/telepon seluler, dan alamat email untuk keperluan Proses Validasi NPWP
sesuai ketentuan yang berlaku. Selanjutnya, dilakukan proses Penelitian Penyampaian
c. SPT Tahunan dan penelitian syarat penyampaian SPT Tahunan Pembetulan.
a)
NPWP berstatus Delete (DE) atau tidak valid dan datanya tidak terdapat dalam basis
2)
data Direktorat Jenderal Pajak, setelah terlebih dahulu dilakukan penelusuran NPWP
berdasarkan nama, tanggal lahir, atau keterangan lainnya yang dapat membantu
2.b.1)
pencarian NPWP, maka dalam rangka Proses Validasi NPWP, Wajib Pajak diarahkan
untuk melakukan pendaftaran NPWP sesuai dengan KPP yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
Wajib Pajak Badan
b)Wajib Pajak diarahkan ke petugas registrasi untuk melakukan Proses Validasi NPWP terlebih
dahulu.
Penelitian SPT Tahunan
Seluruh SPT Tahunan yang diterima dilakukan Penelitian Penyampaian SPT dan diberikan lembar
a. penelitian sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran II butir II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
Dalam hal SPT Tahunan yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan SPT
Tahunan Pembetulan, terhadap SPT Tahunan Pembetulan tersebut dilakukan:
1)Penelitian Penyampaian SPT Tahunan; dan
penelitian syarat penyampaian SPT Tahunan Pembetulan sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat
b. (1), ayat (1a), dan ayat (6) Undang-Undang KUP serta ketentuan Pasal 5 ayat (1) Peraturan
2)
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
Perpajakan,

oleh Account Representative.


Berdasarkan penelitian SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada huruf a atau huruf b:
3. No. Kondisi Tindak Lanjut
Mencetak Bukti Penerimaan
1. SPT Tahunan Lengkap dan ditandatangani
SPT Tahunan
SPT Tahunan pembetulan lengkap, ditandatangani dan Mencetak Bukti Penerimaan
2.
memenuhi syarat penyampaian SPT Tahunan Pembetulan SPT Tahunan
Mengembalikan SPT beserta
c. 3. SPT Tahunan tidak lengkap dan/atau tidak ditandatangani lembar penelitian
SPT Tahunan pembetulan tidak lengkap, tidak ditandatangani
Mengembalikan SPT beserta
4. dan/atau tidak memenuhi syarat penyampaian SPT Tahunan
lembar penelitian
Pembetulan

Bukti Penerimaan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada Tabel pada huruf c angka 1 dan 2
diberikan kepada Wajib Pajak dan dicetak bersamaan dengan Lembar Pengawasan Arus Dokumen
yang selanjutnya disebut dengan LPAD.
d.Dalam hal SPT Tahunan disampaikan melalui pos/perusahaan jasa ekspedisi/jasa kurir:
1)Penelitian Penyampaian SPT Tahunan; dan
penelitian syarat penyampaian SPT Tahunan Pembetulan, dilakukan oleh KPP tempat Wajib
2)
Pajak terdaftar.
Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf d KPP harus diselesaikan dalam jangka waktu 1
e.
(satu) bulan setelah SPT Tahunan diterima.
Khusus SPT Tahunan Lebih Bayar, penelitian harus memperhatikan ketentuan jangka waktu
f.
penyelesaian SPT Tahunan Lebih Bayar yang berlaku.
Berdasarkan penelitian sebagaimana huruf d:
No. Kondisi Tindak Lanjut
KPP mengembalikan amplop beserta isinya
kepada Wajib Pajak disertai Surat
1. Amplop SPT berisi bukan SPT Tahunan Pemberitahuan Status Penyampaian SPT
Tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran III butir V huruf C
KPP mengembalikan SPT kepada Wajib Pajak
SPT tidak ditandatangani dan/atau tidak
disertai Surat Pemberitahuan SPT Dianggap
2. memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (7) huruf c
Tidak Disampaikan sebagaimana dimaksud
dan/atau huruf d UU KUP
dalam Lampiran III butir V huruf G
Bentuk SPT tidak memenuhi ketentuan Pasal
KPP mengembalikan SPT kepada Wajib Pajak
3 ayat (6) UU KUP (formulir SPT tidak
g. disertai Surat Pemberitahuan Status
3. sesuai dengan ketentuan yang berlaku, SPT
Penyampaian SPT Tahunan sebagaimana
tidak seharusnya disampaikan dalam bentuk
dimaksud dalam Lampiran III butir V huruf C
kertas)
KPP mengembalikan SPT kepada Wajib Pajak
disertai Surat Pemberitahuan Status
4. SPT disampaikan lebih dari satu kali
Penyampaian SPT Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran III butir V huruf C
SPT Pos Pembetulan tidak memenuhi syarat KPP mengembalikan SPT kepada Wajib Pajak
5.
penyampaian SPT Tahunan pembetulan disertai Surat Pemberitahuan Status
KPP mengirimkan Surat Permintaan
Kelengkapan SPT Tahunan kepada Wajib Pajak
6. SPT Pos Tidak Lengkap
sebagaimana dalam Lampiran III butir V huruf
D.1 sampai dengan D.5
Atas permintaan kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada huruf g angka 6 di atas, Wajib
Pajak menyampaikan kelengkapan SPT Tahunan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
h.diterbitkannya Surat Permintaan Kelengkapan SPT Tahunan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
Surat Permintaan Kelengkapan SPT Tahunan dikirimkan selambat-lambatnya 1 (satu) hari sejak
tanggal penerbitan surat.
Apabila sampai batas waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterbitkannya Surat Permintaan
Kelengkapan SPT Tahunan oleh KPP Wajib Pajak belum menyampaikan kelengkapan SPT, maka
SPT dianggap tidak disampaikan dan kepada Wajib Pajak dikirimkan Surat Pemberitahuan SPT
i.
Dianggap Tidak Disampaikan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III butir V huruf G yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini, paling lama 5 (lima)
hari setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terlampaui.
Apabila Surat Permintaan Kelengkapan SPT Tahunan diterima kembali dari pos atau perusahaan
jasa ekspedisi atau jasa kurir ke KPP (kempos), diterbitkan Surat Pemberitahuan SPT Dianggap
j.
Tidak Disampaikan dan atas daftar surat tersebut diumumkan pada papan pengumuman di TPT
KPP tempat Wajib Pajak terdaftar selama 30 (tiga puluh) hari.
4.Pengolahan dan Penyimpanan SPT Tahunan
Terhadap SPT Tahunan yang telah diterima lengkap sebagaimana dimaksud pada Tabel angka 3
a.
huruf c, dilakukan perekaman isi SPT.
Jangka waktu penyelesaian perekaman isi SPT ditetapkan 3 (tiga) bulan sejak SPT Kurang Bayar
b.(KB)/Nihil (N) diterima lengkap. Dalam hal SPT Lebih Bayar (LB), jangka waktu penyelesaian
perekaman adalah 1 (satu) bulan setelah SPT Tahunan diterima.
Dalam hal SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan SPT 1770 SS Tahun
Pajak 2014 dan setelahnya, maka terhadap SPT 1770 SS, baik yang disampaikan Wajib Pajak yang
c. terdaftar di KPP penerima SPT maupun Wajib Pajak yang tidak terdaftar di KPP penerima SPT,
dilakukan pengemasan dan selanjutnya diambil oleh atau dikirimkan ke UPDDP yang menjadi
mitra KPP penerima untuk dilakukan perekaman isi SPT.
Dalam hal SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan SPT 1770 S Tahun Pajak
2015 dan setelahnya, maka terhadap SPT 1770 S, baik yang disampaikan Wajib Pajak yang
d.terdaftar di KPP penerima SPT maupun Wajib Pajak yang tidak terdaftar di KPP penerima SPT,
dilakukan pengemasan dan selanjutnya diambil oleh atau dikirimkan ke UPDDP yang menjadi
mitra KPP penerima untuk dilakukan perekaman isi SPT.
Terhadap SPT Tahunan selain SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan d,
e. perekaman isi SPT Tahunan dilakukan oleh KPP atau UPDDP yang menjadi mitra KPP tempat
Wajib Pajak terdaftar.
Apabila di kemudian hari atas SPT Tahunan yang sudah diterbitkan Bukti Penerimaan SPT
Tahunan/LPAD diketahui bahwa:
1)SPT tidak ditandatangani oleh Wajib Pajak/Kuasa Wajib Pajak;
SPT Tahunan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan
2)setelah dimintakan Surat Permintaan Kelengkapan SPT Tahunan dan tidak direspon oleh Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf i dan j;
SPT Tahunan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah
f. 3)berakhirnya bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis;
atau
SPT Tahunan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau
4)
menerbitkan surat ketetapan pajak,

maka SPT Tahunan dianggap tidak disampaikan dan KPP mengirimkan Surat Pemberitahuan SPT
Dianggap Tidak Disampaikan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III butir V huruf G yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini, kepada Wajib Pajak.
Lain-lain
Ketentuan Penerimaan SPT Tahunan dalam keadaan darurat atau gangguan teknis
Dalam hal terjadi keadaan darurat atau gangguan teknis, KPP atau KP2KP dapat menempuh
1)prosedur yang berbeda dari prosedur sebagaimana dimaksud pada angka 2 sampai dengan angka
4 diatas.
Keadaan darurat atau gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada angka 1) adalah suatu
kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan diketahui secara luas, seperti perang,
kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran, dan bencana alam,
5. 2)atau keadaan dimana KPP atau KP2KP tidak memungkinkan untuk menjalankan prosedur kerja
a.
dan memenuhi jangka waktu penyelesaian yang disebabkan oleh sesuatu dan lain hal yang
berada di luar kuasa KPP atau KP2KP, seperti gangguan sistem informasi Direktorat Jenderal
Pajak, terputusnya jaringan internet, dan listrik padam.
Dalam hal keadaan darurat atau gangguan teknis penerimaan SPT Tahunan dilakukan secara
3)manual menggunakan Bukti Penerimaan SPT Tahunan yang penomorannya dilakukan secara
manual dengan mengikuti ketentuan yang berlaku.
Tata Cara Penerimaan SPT Tahunan dalam keadaan darurat atau gangguan teknis selanjutnya
4)
akan diuraikan dalam lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.
Penerimaan SPT Tahunan secara kolektif dan himbauan kepada pemberi kerja
Dalam rangka persiapan dalam penerimaan SPT Tahunan dan memberikan kemudahan bagi Wajib
Pajak untuk menyampaikan SPT Tahunan, KPP dapat memberikan himbauan dan menerima SPT
secara kolektif melalui pemberi kerja. KPP melakukan langkah-langkah penerimaan SPT Tahunan
yang disampaikan oleh Wajib Pajak secara kolektif dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
KPP melakukan himbauan kepada pemberi kerja yang kriterianya telah ditentukan oleh Kepala
1)KPP dengan template surat himbauan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III butir V huruf
I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
Pembuatan template surat himbauan kepada pemberi kerja tersebut dilakukan oleh Account
2)
Representative atas pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada butir 1.
b.
Batasan jumlah penyampaian SPT Tahunan secara kolektif ditentukan oleh masing-masing
3)
Kepala KPP dengan memperhatikan beban kerja dan kapasitas sumber daya yang tersedia.
KPP melakukan penerimaan SPT Tahunan secara kolektif melalui pemberi kerja sampai dengan
4)
tanggal 10 Maret.
Dalam hal SPT Tahunan disampaikan secara kolektif setelah tanggal 10 Maret, SPT Tahunan
kolektif tersebut tidak dapat diterima KPP dan Wajib Pajak diarahkan untuk menyampaikan SPT
5)
Tahunan baik secara langsung, pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir, maupun
saluran tertentu (e-Filing).
Dalam hal KPP menerima SPT Tahunan yang disampaikan secara kolektif sampai dengan batas
6)waktu sebagaimana dimaksud pada butir 2, maka KPP harus menerbitkan Bukti Penerimaan SPT
Tahunan paling lambat 31 Maret.
Ketentuan Pembentukan Satuan Tugas Penerimaan dan Pengolahan SPT Tahunan
Untuk mengantisipasi beban puncak, dengan mempertimbangkan beban kerja, Kepala KPP harus
membentuk satuan tugas penerimaan dan pengolahan SPT Tahunan (satgas) yang dapat
c. 1)
melibatkan seluruh pegawai dengan Surat Keputusan Kepala KPP, untuk setiap tahun
penerimaan SPT Tahunan.
2)Masa berlaku satgas ditetapkan sampai dengan tanggal 31 Juli.
Lampiran-Lampiran:

1. Penetapan Penomoran Bukti Penerimaan SPT Tahunan diatur sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
2. Tata cara penerimaan dan pengolahan SPT Tahunan diatur sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
3. Petunjuk penetapan satuan tugas (satgas) penerimaan dan pengolahan SPT Tahunan diatur
III. sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
4. Tata cara penerimaan SPT Tahunan dalam keadaan darurat/gangguan teknis diatur
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
5. Tata cara perekaman SPT Tahunan dalam Bentuk Kertas diatur sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

IV.Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
V. Nomor SE-43/PJ/2014 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat
Pemberitahuan Tahunan dinyatakan tidak berlaku.
Dalam rangka pelaksanaan Surat Edaran ini, diinstruksikan kepada Kepala Kantor Wilayah
untuk mengawasi pelaksanaan penerimaan dan pengolahan SPT Tahunan di lingkungan
wilayah kerja masing-masing.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Januari 2016
Plt. DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE 02/PJ/2016TENTANG

PEMBUATAN BENCHMARK BEHAVIORAL MODEL DAN TINDAK LANJUTNYA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

UMUM
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengawasan kepatuhan Wajib Pajak,
A.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengembangkan metodologi benchmarking melalui
penyusunan Benchmark Behavioral Model (BBM).
MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini diterbitkan sebagai pemutakhiran petunjuk
1.
pembuatan dan pemanfaatan BBM dalam rangka kegiatan peningkatan kepatuhan
B.
berbasis risiko dan penggalian potensi Wajib Pajak Badan.
Tujuan
2.Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini diterbitkan dengan tujuan memberikan
keseragaman pemahaman dalam pembuatan dan pemanfaatan BBM.
RUANG LINGKUP
C. Surat Edaran ini mengatur mengenai prinsip dasar BBM, pembuatan dan/atau
pemutakhiran BBM, tindak lanjut BBM dan pelaporan beserta tata caranya.
DASAR

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan


Tata Kerja Kementerian Keuangan.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206.2/PMK.01/2014 tentang Organisasi dan
D. Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak.
3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tanggal 5 Oktober
2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan Petunjuk Pemanfaatannya.
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-40/PJ/2012 tentang Pembuatan
Benchmark Behavioral Model dan Tindak Lanjutnya.

PRINSIP DASAR BBM


BBM merupakan salah satu alat bantu penggalian potensi Wajib Pajak melalui pemetaan
1.
risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak Badan yang terdaftar pada basis data DJP.
BBM disusun dengan membandingkan kinerja keuangan Wajib Pajak Badan dengan
kinerja keuangan kelompok Wajib Pajak Badan yang sejenis, yaitu Wajib Pajak Badan
2.
yang berada pada klasifikasi usaha yang sama, terdaftar pada wilayah yang sama serta
dalam rentang skala usaha yang sama.
Kinerja keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 2 disusun dalam rasio-rasio
E. keuangan yang bersumber dari Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Wajib Pajak Badan.
Rasio-rasio keuangan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Gross Profit Margin (GPM), yaitu rasio antara laba kotor terhadap penjualan;
3.
2. Operating Profit Margin (OPM), yaitu rasio antara laba bersih dari operasi
terhadap penjualan;
3. Pretax Profit Margin (PPM), yaitu rasio antara laba bersih sebelum dikenakan
Pajak Penghasilan terhadap penjualan;
4. Corporate Tax to Turn Over Ratio (CTTOR), yaitu rasio antara Pajak Penghasilan
terutang terhadap penjualan;
5. Net Profit Margin (NPM), yaitu rasio antara laba bersih setelah Pajak Penghasilan
terhadap penjualan;
6. Rasio biaya gaji terhadap penjualan;
7. Rasio biaya bunga terhadap penjualan;
8. Rasio biaya sewa terhadap penjualan;
9. Rasio biaya penyusutan terhadap penjualan;
10. Rasio input lainnya terhadap penjualan;
11. Rasio penghasilan luar usaha terhadap penjualan; dan
12. Rasio biaya luar usaha terhadap penjualan.

4.BBM tidak dapat digunakan secara langsung sebagai dasar penetapan pajak.
PEMBUATAN DAN/ATAU PEMUTAKHIRAN BBM
Kantor Wilayah (Kanwil) membuat dan/atau memutakhirkan BBM 1 (satu) kali setiap
1.
tahun, dengan jumlah paling sedikit 6 (enam) kelompok usaha.
Kanwil membuat dan/atau memutakhirkan BBM menggunakan data Wajib Pajak Badan
2.dengan kelompok usaha (KLU 5 digit) yang sama sebanyak paling sedikit 30 (tiga puluh)
SPT Tahunan.
Dalam hal jumlah data Wajib Pajak yang memiliki kelompok usaha (KLU 5 digit) tidak
3.mencukupi, Kanwil dapat menggunakan data Wajib Pajak dengan sub golongan usaha
(KLU 4 digit) yang sama.
Dalam hal jumlah data Wajib Pajak yang memiliki sub golongan usaha (KLU 4 digit)
yang sama masih belum mencukupi, Kanwil dapat menggunakan data sejenis dari
4.
Kanwil lain yang tersedia dengan pertimbangan kesamaan karakteristik usaha dan/atau
daerah.
Dalam hal terdapat Wajib Pajak yang telah dilakukan pemeriksaan, pembuatan model
F.
5.BBM dapat menggunakan data hasil pemeriksaan tersebut sepanjang telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht).
Proses pembuatan dan/atau pemutakhiran BBM terdiri dari langkah-langkah sebagai
berikut:
Penyiapan data, terdiri dari kegiatan:

6.a. 1. penyediaan data dan notifikasi data tidak wajar; serta


2. verifikasi data.

Pembuatan model benchmark dan penyampaian Daftar Nominatif Wajib Pajak Badan
b.
berisiko dan file Individual Assessment.
Tata cara proses pembuatan dan/atau pemutakhiran BBM sebagaimana angka 6 huruf a
7.dan huruf b di atas beserta format penyampaian/laporannya diatur sebagaimana Lampiran
I sampai dengan Lampiran III Surat Edaran ini.
TINDAK LANJUT

1. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melakukan tindak lanjut terhadap Wajib Pajak yang
terdapat pada Daftar Nominatif Wajib Pajak Badan berisiko hasil pembuatan BBM
oleh Kanwil sesuai langkah-langkah penggalian potensi dan peraturan yang
G.
berlaku.
2. Kanwil memberikan bimbingan dan melakukan pengawasan kepada KPP dalam
upaya tindak lanjut penggalian potensi terhadap Wajib Pajak Badan yang terdapat
pada Daftar Nominatif Wajib Pajak Badan berisiko, sehingga penggalian potensi
atas Wajib Pajak Badan berisiko tersebut dapat dilakukan secara optimal.
3. Kepala KPP melaporkan pelaksanaan tindak lanjut terhadap Wajib Pajak yang
terdapat pada Daftar Nominatif Wajib Pajak Badan berisiko kepada Kepala Kanwil.
4. Kepala Kanwil melaporkan hasil tindak lanjut KPP atas Wajib Pajak Badan yang
terdapat pada Daftar Nominatif Wajib Pajak Badan berisiko kepada Direktur
Jenderal Pajak u.p. Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan.
5. Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan melakukan evaluasi terhadap
pembuatan dan/atau pemutakhiran BBM beserta tindak lanjutnya dan melaporkan
hasil evaluasi tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak.
6. Tata cara tindak lanjut beserta format pelaporan tindak lanjut sebagaimana angka 1
s.d.4 di atas diatur sebagaimana lampiran IV dan lampiran V Surat Edaran ini.

BATAS WAKTU KEGIATAN DAN PELAPORAN


Penyiapan Data

1. Kanwil menyampaikan permintaan verifikasi data kepada KPP di mana Wajib


1. Pajak Badan tersebut terdaftar paling lambat tanggal 1 Februari.
2. KPP melakukan verifikasi data dan melaporkannya kepada Kanwil paling lambat
tanggal 1 Maret.

Pembuatan dan/atau pemutakhiran BBM oleh Kanwil

1. Kanwil melaporkan hasil pembuatan dan/atau pemutakhiran BBM kepada


Direktur Jenderal Pajak u.p. Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan; dan
2.
2. Kanwil menyampaikan Daftar Nominatif Wajib Pajak Badan berisiko serta file
Individual Assessment hasil pembuatan dan/atau pemutakhiran BBM kepada KPP
dimana Wajib Pajak Badan tersebut terdaftar paling lambat tanggal 31 Maret.
H.
Tindak lanjut

1. KPP melaporkan tindak lanjut atas Wajib Pajak Badan yang terdapat pada Daftar
Nominatif Wajib Pajak Badan berisiko kepada Kanwil sebanyak 2 (dua) tahap.
Tahap I paling lambat tanggal 1 Agustus dan Tahap II paling lambat tanggal 1
Desember.
2. Kanwil melakukan kompilasi atas laporan Tindak Lanjut KPP pada setiap
3. tahapan kemudian melakukan pelaporan kepada Direktur Jenderal Pajak u.p.
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan paling lambat tanggal 10 Agustus
dan 10 Desember.
3. Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan menyusun laporan evaluasi
pembuatan dan/atau pemutakhiran BBM beserta tindak lanjutnya dan
menyampaikannya kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 31
Desember.

LAIN-LAIN
Dalam proses pembuatan dan/atau pemutakhiran BBM, Kanwil agar mengacu pada
1.Modul Pembuatan dan/atau Pemutakhiran BBM yang disediakan oleh Direktorat Potensi,
Kepatuhan, dan Penerimaan.
I.
Kanwil DJP Jakarta Khusus dan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar tidak diwajibkan
membuat BBM sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini. Kanwil tersebut dapat
2.
mengembangkan metodologi benchmarking dan tindak lanjutnya yang lebih sesuai
dengan karakteristik Wajib Pajak yang terdaftar di lingkungan Kanwil dimaksud.
Dikecualikan dari pembuatan dan/atau pemutakhiran BBM adalah:

1. Wajib Pajak yang terdaftar dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir, yaitu
tahun pada saat pembuatan dan/atau pemutakhiran BBM dan tahun sebelum
3.
pembuatan dan/atau pemutakhiran BBM; serta
2. Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
kriteria usaha atau peredaran bruto tertentu.

Dengan pertimbangan tertentu, Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan, dan unit
4.kerja lain di Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pembuatan dan/atau
pemutakhiran BBM.
Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, Surat Edaran Direktur
5.Jenderal Nomor SE-40/PJ/2012 tentang Pembuatan Benchmark Behavioral Model dan
Tindak Lanjutnya dinyatakan tidak berlaku.
6.Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2016
Plt.DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

Tembusan:

1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak


2. Para Direktur di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
3. Para Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
4. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumentasi Perpajakan
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE 03/PJ/2016TENTANG

PETUNJUK KEGIATAN EKSTENSIFIKASI, PENDAFTARAN, PENDATAAN,


PENILAIAN,
DAN KEGIATAN PENDUKUNG LAINNYA TAHUN 2016

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Umum
Sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan di bidang ekstensifikasi perpajakan,
pendaftaran, pendataan dan pemetaan objek pajak dan/atau Wajib Pajak, penilaian dan
penetapan serta kegiatan pendukung lainnya yang selanjutnya disebut sebagai kegiatan
ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan kegiatan pendukung lainnya, dan
A.
dengan telah dialokasikannya anggaran untuk kegiatan tersebut pada Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BA 015 Tahun 2016 Kantor Wilayah DJP (Kanwil DJP),
Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan (KP2KP), maka perlu diatur petunjuk tentang kegiatan ekstensifikasi,
pendaftaran, pendataan, penilaian, dan kegiatan pendukung lainnya tahun 2016.
Maksud dan Tujuan
Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman
kebijakan bagi Kanwil DJP, KPP dan KP2KP dalam melaksanakan kegiatan
1.
ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan kegiatan pendukung lainnya, serta
memberikan petunjuk penggunaan anggaran kegiatan yang telah dialokasikan pada DIPA
BA 015 tahun 2016 di setiap Kanwil DJP, KPP dan KP2KP.
Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan untuk:
B.
1. Memberikan kesamaan pemahaman dan penafsiran atas kebijakan teknis kegiatan
ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan kegiatan pendukung
lainnya.
2.
2. Memberikan kejelasan dan kepastian dalam pelaksanaan penggunaan anggaran
kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan kegiatan
pendukung lainnya, dalam rangka mendukung pencapaian target Indikator
Kinerja Utama Kanwil DJP, KPP dan KP2KP yang terkait dengan kegiatan
tersebut.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi:

1. Ketentuan umum pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan,


penilaian, dan kegiatan pendukung lainnya.
C. 2. Ketentuan khusus pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan,
penilaian, dan kegiatan pendukung lainnya.
3. Ketentuan peralihan pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, penilaian,
dan kegiatan pendukung lainnya.
4. Penggunaan alokasi anggaran kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan,
penilaian, dan kegiatan pendukung lainnya pada DIPA BA 015 tahun anggaran
2016.

Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja
dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
9. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 4 Tahun 2015.
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas
Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap.
11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang Klasifikasi dan
Penetapan NJOP.
D.
12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206.2/PMK.01/2014 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak.
13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Pendaftaran dan Pendataan Objek dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak Pajak Bumi
dan Bangunan.
14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.02/2014 tentang Tata Cara Revisi
Anggaran Tahun 2015.
15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.02/2015 tentang Standar Biaya
Masukan Tahun Anggaran 2016.
16. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 143/PMK.02/2015 tentang Petunjuk
Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 196/PMK.02/2015.
17. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.03/2015 tentang Tata Cara
Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak,
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak.
18. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi Dan
Tata Kerja Kementerian Keuangan.
19. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KM.1/2015 tentang Uraian Jabatan
Struktural Instansi Vertikal dan Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak.
20. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2013 tentang Kegiatan
Ekstensifikasi Dalam Rangka Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan perubahannya.
21. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ/2015 tentang Pelaksanaan
Tugas dan Fungsi Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan.

Pengertian

1. Penguasaan Wilayah adalah penguasaan data dan informasi mengenai suatu


wilayah kerja yang terkait dengan Wajib Pajak dan/atau calon Wajib Pajak, antara
lain berupa identitas, lokasi, status, dan/atau aktivitas, dalam rangka penggalian
potensi perpajakan.
2. Peta Potensi Sasaran adalah peta yang menggambarkan lokasi zona di dalam
wilayah kerja KPP Pratama yang memiliki potensi pajak.
E.
3. Survei Lapangan adalah kegiatan peninjauan ke lokasi tempat
tinggal/kedudukan/usaha/aset Wajib Pajak untuk mengumpulkan data dan
informasi lapangan.
4. GeoTagging adalah salah satu kegiatan pemetaan untuk merekam data lokasi dan
data deskriptif dari Wajib Pajak Orang Pribadi dan/atau Badan serta Objek Pajak
PBB, termasuk di dalamnya menambahkan foto lokasi dan/atau foto aset serta data
pendukung lainnya.

Ketentuan Umum
Kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan kegiatan pendukung
1.
lainnya, dilakukan berbasis Penguasaan Wilayah.
Dalam rangka Penguasaan Wilayah yang lebih baik, tahap perencanaan ekstensifikasi
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-51/PJ/2013
2.
tanggal 24 Oktober 2013 tentang Tata Cara Ekstensifikasi harus didahului dengan
kegiatan persiapan ekstensifikasi.
Kegiatan persiapan ekstensifikasi meliputi:

1. Pembuatan Peta Potensi Sasaran;


2. Kegiatan survei lapangan dengan GeoTagging; dan
3.
3. Penyandingan data hasil kegiatan survei lapangan dengan data Master File
Wajib Pajak (MFWP) dan data lainnya, dan sortasi untuk menentukan data ber-
NPWP dan non-NPWP.
F.
Kegiatan persiapan ekstensifikasi dilakukan oleh Satuan Tugas yang ditunjuk oleh
Kepala KPP Pratama dengan melibatkan utamanya unsur Seksi Pengawasan dan
4.
Konsultasi, Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan, Seksi Pengolahan Data dan Informasi,
dan KP2KP.
Kegiatan persiapan ekstensifikasi sebagaimana tersebut di atas diselesaikan paling
5.
lambat tanggal 30 April 2016.
Pelaksanaan Ekstensifikasi dilakukan oleh Petugas Ekstensifikasi yang ditunjuk oleh
Kepala KPP Pratama dengan surat tugas, meliputi: Account Representative, pelaksana
6. KPP, Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan, Kepala KP2KP, dan pelaksana
KP2KP sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
51/PJ/2013 tanggal 24 Oktober 2013 tentang Tata Cara Ekstensifikasi.
Kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan kegiatan pendukung
lainnya di Kanwil DJP dapat berupa:
7.
Kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, dan penilaian:
a.
1)Koordinasi, pemantauan, dan bimbingan teknis pelaksanaan kegiatan:
Ekstensifikasi, antara lain:
ekstensifikasi dengan sasaran Wajib Pajak orang pribadi golongan pendapatan
(1)
tinggi dan menengah non karyawan serta sektor perdagangan;
a) (2)pengamatan dan/atau penyisiran lokasi-lokasi potensial ;
(3)pembinaan Wajib Pajak baru;
rapat koordinasi atau diklat/workshop baik yang diselenggarakan oleh Kantor
(4)
Pusat Direktorat Jenderal Pajak (KPDJP) ataupun oleh Kanwil DJP.
b)Pengawasan Wajib Pajak baru;
c) Penggalian potensi PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (PPN KMS);
Penggalian potensi PPh Pasal 4 ayat (2) atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
d)
Bangunan;
e) Penyuluhan dan edukasi perpajakan;
f) Pengamatan dan pencarian data potensi perpajakan;
Pendataan objek Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan,
g)
Pertambangan dan Sektor Lainnya (PBB P3L);
h)Pendataan dan/atau pemetaan Wajib Pajak; dan
i) Penilaian, termasuk penilaian untuk mendukung perpajakan lainnya.
Koordinasi, pelaksanaan kerjasama di bidang perpajakan, pencarian dan
2)pengumpulan data, dalam rangka pembentukan bank data perpajakan dan
ekstensifikasi perpajakan.
Pengadaan produk serta alat survei dan pemetaan untuk menunjang ekstensifikasi,
3)
pendaftaran, pendataan, pemetaan dan/atau penilaian.
Kegiatan pendukung lainnya:
Dukungan pengamanan penerimaan dan bantuan penugasan pengumandahan
1)
(detasering);
b.
2)Dukungan koordinasi dengan Instansi, Lembaga, Asosiasi dan Pihak lainnya;
3)Kegiatan lainnya yang menunjang penerimaan perpajakan;
4)Pengadaan produk dan/atau alat pendukung lainnya.
Kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan kegiatan pendukung
lainnya di KPP Pratama dapat berupa:
Kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, dan penilaian:
Ekstensifikasi Wajib Pajak, meliputi ekstensifikasi dengan sasaran Wajib Pajak
orang pribadi golongan berpendapatan tinggi dan menengah non karyawan serta
1)
sektor perdagangan, termasuk melalui pengamatan dan/atau penyisiran lokasi-
lokasi potensial;
2) Pendataan objek PBB P3L;
Pembentukan peta digital atau pemeliharaan basis data peta digital dan/atau
3)
Pendataan/Pemetaan Objek dan/atau Wajib Pajak melalui kegiatan GeoTagging;
Penilaian individu objek PBB P3L dan/atau penilaian untuk mendukung
8. 4)
perpajakan;
a.
5) Pembinaan, edukasi, pelayanan, dan penyuluhan, kepada Wajib Pajak baru;
6) Pengamatan dan pencarian data potensi perpajakan;
PPN KMS dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
7)
Bangunan;
Kegiatan koordinasi dengan Kanwil DJP, KPP lain dan/atau KP2KP dalam bentuk
8)
diklat, workshop atau rapat koordinasi;
Pengiriman dan/atau penyampaian surat imbauan, klarifikasi dan/atau surat lain
9)
serta kartu NPWP terkait ekstensifikasi, pendataan dan penilaian;
10)Pengadaan dan pemeliharaan perangkat kegiatan Triple One serta pulsa telepon;
11)Pengadaan produk serta alat survei dan pemetaan untuk menunjang ekstensifikasi,
pendaftaran, pendataan, pemetaan dan/atau penilaian; dan
12)Kegiatan lain terkait ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, dan penilaian.
Kegiatan pendukung lainnya, yaitu:
1)Dukungan pengamanan penerimaan;
b.2)Dukungan koordinasi dengan Instansi, Lembaga, Asosiasi dan Pihak lainnya;
3)Kegiatan lainnya yang menunjang penerimaan perpajakan;
4)Pengadaan produk dan/atau alat pendukung lainnya.
Kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, pemetaan, penilaian, dan kegiatan
pendukung lainnya di KP2KP dapat berupa:
Kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian:
a. 1)Kegiatan ekstensifikasi berbasis Penguasaan Wilayah;
9.
2)Kegiatan pengamatan dan pencarian data perpajakan;
Kegiatan pendukung lainnya:
b.1)Dukungan pengamanan penerimaan;
2)Kegiatan lainnya yang menunjang penerimaan perpajakan.
KPP Pratama menyusun rencana kerja kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan,
dan penilaian, untuk kegiatan:

1. Ekstensifikasi Wajib Pajak, termasuk ekstensifikasi dengan sasaran Wajib Pajak


orang pribadi golongan berpendapatan tinggi dan menengah non karyawan serta
sektor perdagangan;
10.
2. Pendataan objek PBB P3L dan/atau pembentukan peta digital atau pemeliharaan
basis data peta digital;
3. Penilaian Individu objek PBB P3L; dan
4. Penilaian dalam rangka penggalian potensi Pajak Penghasilan dan/atau Pajak
Pertambahan Nilai.

Atas pelaksanaan kegiatan pendukung lainnya, KPP Pratama tidak perlu menyusun
11.rencana kerja ataupun menyampaikan surat pemberitahuan pelaksanaan kegiatan kepada
Kanwil DJP.
Kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan dan penilaian dilaksanakan dengan
tahapan sebagai berikut:
KPP Pratama
menyusun rencana kerja yang ditandatangani Kepala KPP Pratama dan dalam hal
1)terjadi perubahan dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan agar dilakukan revisi
a. pada rencana kerja; dan
menyampaikan pemberitahuan rencana kerja beserta lampiran berupa Peta Potensi
2)Sasaran dan Daftar Sasaran Ekstensifikasi (DSE) ke Kanwil DJP untuk diketahui
12.
dan digunakan sebagai bahan pengawasan, monitoring dan evaluasi.
Kanwil DJP
Melakukan kompilasi atas rencana kerja KPP Pratama sebagai pelaksanaan fungsi
1)bimbingan teknis dan administratif ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, dan
b. penilaian; dan
menyampaikan rekapitulasi atas rencana kerja ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal
2)Pajak c.q. Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian sebagai bahan pengawasan,
monitoring dan evaluasi.
Dalam rangka evaluasi pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan,
penilaian, dan kegiatan pendukung lainnya, Kanwil DJP:
13.
1. mengoptimalkan fungsi pemantauan dan bimbingan teknis terhadap pelaksanaan
kegiatan untuk mendukung pencapaian rencana kerja;
2. melaksanakan monitoring dan evaluasi capaian kinerja KPP Pratama atas
pelaksanaan kegiatan secara periodik setiap bulan; dan
3. melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan hasil monitoring dan evaluasi
serta penggunaan alokasi anggaran secara periodik tiap bulan ke Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian paling
lambat minggu kedua bulan berikutnya.

Ketentuan Khusus

1. KPP selain KPP Pratama melaksanakan GeoTagging bersamaan dengan kegiatan


kunjungan lapangan terhadap Wajib Pajak yang menjadi tanggung jawabnya.
2. Objek GeoTagging sebagaimana dimaksud pada angka 1 meliputi lokasi
domisili/tempat kedudukan, lokasi usaha, maupun lokasi aset yang
dimiliki/dikuasai/dimanfaatkan oleh Wajib Pajak.
3. Kegiatan ekstensifikasi dan kegiatan lainnya yang memerlukan dukungan dari
Instansi, Lembaga, Asosiasi dan Pihak lainnya, dilakukan melalui koordinasi dan
kerja sama Kanwil DJP, KPP Pratama dan KP2KP dengan pihak eksternal, terkait
pencarian data dan informasi, keamanan, serta kelancaran pelaksanaan kegiatan
G.
perpajakan di wilayah kerja masing-masing, antara lain dengan Bintara Pembina
Desa (Babinsa), Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kelurahan,
Kecamatan dan lain-lain.
4. Dengan penambahan fungsi ekstensifikasi pada KP2KP sesuai dengan ketentuan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206.2/PMK.01/2014, maka rencana kerja
kegiatan ekstensifikasi mengikuti rencana kerja KPP Pratama yang membawahi
wilayah kerja KP2KP. Seluruh biaya yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan
ekstensifikasi agar dibebankan pada KP2KP dimaksud. Apabila biaya atas kegiatan
ekstensifikasi tidak mencukupi, maka dapat dibebankan kepada KPP Pratama yang
membawahi KP2KP tersebut.

Ketentuan Peralihan

1. Anggaran kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan dan penilaian pada


petunjuk operasional kegiatan DIPA BA 015 Tahun 2016 dialokasikan pada
keluaran Dukungan Layanan Perkantoran (1667.021) untuk Kanwil DJP dan
Database Perpajakan (1668.008) untuk KPP dan KP2KP, sehingga dalam
pembuatan rencana kerja agar menyesuaikan dengan alokasi yang tersedia, dengan
prioritas kegiatan sesuai detil kegiatan pada Petunjuk Operasional Kegiatan (POK).
2. Apabila terdapat perubahan alokasi anggaran kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran,
H.
pendataan, penilaian, dan kegiatan pendukung lainnya, pada DIPA petikan hasil
persetujuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun
2016, agar disesuaikan dan mengacu pada ketentuan umum Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini.
3. Apabila terdapat penyesuaian unit kerja Kanwil DJP dan/atau KPP Pratama, maka
seluruh biaya yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran,
pendataan, penilaian, dan kegiatan pendukung lainnya dapat dibebankan pada
Kanwil DJP dan/atau KPP Pratama induk.

Petunjuk Penggunaan Alokasi Anggaran


I.
1.Alokasi anggaran kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan kegiatan
pendukung lainnya adalah dana yang dialokasikan pada DIPA BA 015 tiap satuan kerja
Direktorat Jenderal Pajak.
Kanwil DJP atau KPP dapat menambahkan rincian jenis kegiatan dan satuan biaya yang
ada pada alokasi anggaran kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan
kegiatan pendukung lainnya, sepanjang secara nyata digunakan untuk mendukung
2.
pelaksanaan kegiatan dan dalam ruang lingkup satuan biaya yang dapat dibiayakan
dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 65/PMK.02/2015
dan perubahannya.
Alokasi anggaran kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan kegiatan
pendukung lainnya dapat direvisi melalui mekanisme relokasi dana antar satuan kerja
dalam hal ini dari Kanwil DJP ke Kanwil DJP lain serta dari KPP ke KPP lain sepanjang
3.
pengesahan atas revisi anggaran tersebut sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam PMK Nomor 257/PMK.02/2014 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun
Anggaran 2015 dan perubahannya.
Apabila terdapat kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan kegiatan
pendukung lainnya yang kurang dan/atau belum dialokasikan anggarannya pada tahun
2016, dengan urutan prioritas sebagai berikut:

1. pemetaan Objek dan/atau Wajib Pajak melalui GeoTagging yang belum


dimasukkan dalam rencana kerja;
2. kegiatan ekstensifikasi dengan menyasar Wajib Pajak orang pribadi golongan
berpendapatan tinggi dan menengah non karyawan serta pembinaan Wajib Pajak
baru yang belum dimasukkan dalam rencana kerja;
3. kegiatan ekstensifikasi perpajakan lain yang belum dimasukkan dalam rencana
4. kerja;
4. pendataan objek PBB P3L yang belum dimasukkan dalam rencana kerja;
5. pengadaan sarana dan prasarana kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan
dan penilaian yang belum dialokasikan anggarannya pada tahun 2016; dan
6. kegiatan lain sepanjang mendukung penerimaan (pengawasan, pemeriksaan
dan/atau penagihan),

Kepala Kanwil DJP dan/atau Kepala KPP Pratama agar mengoptimalkan alokasi dana
yang teralokasi dalam DIPA yang dikelola dengan melakukan revisi sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 257/PMK.02/2014 tentang Tata Cara
Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2015 dan perubahannya.
Alokasi anggaran kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan kegiatan
5.pendukung lainnya dapat digunakan untuk pelaksanaan kegiatan kunjungan kepada
Wajib Pajak sepanjang kunjungan tersebut disertai kegiatan GeoTagging.
Apabila terdapat kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan kegiatan
pendukung lainnya yang telah dialokasikan anggarannya, namun belum sesuai dengan
6.
ketentuan, maka Kepala Kanwil DJP dan/atau Kepala KPP dapat melakukan revisi
dengan berpedoman pada ketentuan tata cara revisi anggaran yang berlaku.
Dalam hal kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, dan penilaian diyakini akan
tercapai sesuai dengan rencana kerja, Kepala Kanwil DJP dan Kepala KPP Pratama dapat
7.mengoptimalkan alokasi anggaran dalam DIPA yang dikelola melalui revisi sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 257/PMK.02/2014 tentang
Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2015 dan perubahannya.
Hasil optimalisasi atau sisa alokasi anggaran dari hasil pelaksanaan kegiatan, dapat
8.digunakan untuk memenuhi kekurangan alokasi dana dalam menunjang kelancaran
operasional perkantoran ataupun kegiatan lain selama mendukung penerimaan
perpajakan.
Pengadaan barang dan jasa kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian,
dan kegiatan pendukung lainnya, berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
9.
2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 serta perubahannya.
Lampiran

1. Contoh format Peta Potensi Sasaran yaitu sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
2. Petunjuk Umum Persiapan Kegiatan Ekstensifikasi Berbasis Penguasaan Wilayah
yaitu sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IIA Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini.
3. Prosedur Persiapan Kegiatan Ekstensifikasi Berbasis Penguasaan Wilayah yaitu
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IIB Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
ini.
4. Petunjuk Penggunaan Alokasi Anggaran Kegiatan Ekstensifikasi, Pendaftaran,
Pendataan, Penilaian dan Pendukung Lainnya Tahun Anggaran 2016 yaitu
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
ini.
5. Rincian Anggaran Biaya Kegiatan Ekstensifikasi Berbasis Penguasaan Wilayah
Tahun Anggaran 2016 yaitu sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IVA Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
J.
6. Rincian Anggaran Biaya Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Sektor
Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan Sektor Lainnya Tahun Anggaran 2016
yaitu sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IVB Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini.
7. Rincian Anggaran Biaya Penilaian Individu Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Sektor PBB P3L dan Penilaian Properti untuk Penggalian Potensi Perpajakan
Tahun Anggaran 2016 yaitu sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IVC Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
8. Rincian Anggaran Biaya Penilaian Individu Objek Usaha dan Penilaian Aset Tidak
Berwujud untuk Penggalian Potensi PPh/PPN Tahun Anggaran 2016 yaitu
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IVD Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
ini.
9. Laporan Perkembangan Pelaksanaan dan Penggunaan Alokasi Anggaran Kegiatan
Ekstensifikasi, Pendaftaran, Pendataan, Penilaian dan Kegiatan Pendukung Lainnya
yaitu sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini.

Penutup

1. Ketentuan kegiatan ekstensifikasi, pendaftaran, pendataan, penilaian, dan


K. pendukung lainnya yang belum diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
ini akan diatur lebih lanjut dalam ketentuan tersendiri.
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini berlaku untuk tahun 2016.

Demikian disampaikan untuk menjadi perhatian dan agar dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 2016
Plt. DIREKTUR JENDERAL PAJAKttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

Tembusan:

1. Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak


2. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
3. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE 09/PJ/2016

TENTANG

PELAYANAN SEHUBUNGAN DENGAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN


TAHUNAN PAJAK
PENGHASILAN (SPT TAHUNAN PPh)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Umum
Dalam rangka mengoptimalkan pelayanan kepada Wajib Pajak guna mendukung
kelancaran penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2015, perlu dilakukan pengaturan
A.jam layanan pada Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan
Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), serta jam layanan
untuk berbicara dengan agen Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan Direktorat
Jenderal Pajak (KLIP DJP).
Maksud dan Tujuan
Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan sebagai pedoman pelaksanaan
1.
pelayanan perpajakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada seluruh masyarakat
sehubungan dengan batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2015.
B.
Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk menjamin terlaksananya pelayanan
2.perpajakan yang prima kepada masyarakat oleh setiap unit kerja DJP, khususnya
pelayanan sehubungan dengan batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak
2015.
Ruang Lingkup
Surat Edaran Direktur Jenderal ini ditujukan untuk Kepala Kanwil DJP, Kepala KPP,
Kepala KLIP dan Kepala KP2KP.
C. Ruang Lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini mengatur tentang jam layanan pada
TPT KPP dan KP2KP, serta jam layanan untuk berbicara dengan agen KLIP DJP dalam
pelaksanaan pelayanan perpajakan kepada masyarakat sehubungan dengan batas akhir
penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2015.
Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang


Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tanggal 25 Maret 2009; dan
D.
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2013 tanggal 6 Maret 2013
tentang Panduan Pelayanan Prima Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-84/PJ/2011 tanggal 15 November
2011 tentang Pelayanan Prima.

Ketentuan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 6
E. Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
1.
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, batas
waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi adalah paling lama 3
(tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak dan untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan
adalah paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
KPP dan KP2KP di seluruh Indonesia, serta KLIP DJP untuk tetap buka dan
memperpanjang jam layanan pada:
No. Hari Tanggal Jam Layanan (Waktu Setempat)
2.
1. Rabu 30 Maret 2016 08.00 19.00
2. Kamis 31 Maret 2016 08.00 19.00
3. Sabtu 30 April 2016 08.00 15.00
Jenis pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak selama penambahan jam layanan
sebagaimana dimaksud pada angka 2 adalah:

3. 1. Pelayanan konsultasi dan penyampaian SPT Tahunan PPh pada KPP dan
KP2KP;
2. Pelayanan untuk berbicara dengan agen pada KLIP DJP.

Apabila terjadi permasalahan teknis administratif terkait situasi dan kondisi di lapangan
4. maka dihimbau untuk bertindak antisipatif dengan selalu mengedepankan pelayanan
prima dan edukasi terhadap masyarakat.
Batas waktu sebagaimana pada angka 2 dapat diperpanjang sampai dengan pelayanan
5.
selesai.
Untuk melakukan tugas pada tanggal-tanggal tersebut dapat dibentuk Tim Khusus yang
6. bertugas secara bergantian. Pengaturan dan pengawasan pegawai merupakan tanggung
jawab masing-masing Kepala Kantor.
Kepala KPP dan/atau KP2KP wajib melaksanakan:

1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2016 tanggal 18 Januari


2016 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan
Tahunan;
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ/2016 tanggal 18 Januari
7. 2016 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat
Pemberitahuan Tahunan; dan
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ./2008 tanggal 20 Oktober
2008 tentang Pojok Pajak dan Mobil Pajak sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2009 tanggal 25 Februari
2009.

Kepala Kantor Wilayah agar melakukan bimbingan dan pengawasan atas pelayanan
8.
yang dilakukan oleh KPP dan KP2KP yang berada di wilayah kerjanya.
Kepala KPP dan/atau Kepala KP2KP dapat melakukan kerjasama dengan Kantor Pos
setempat untuk penempatan mobil pos keliling dalam penerimaan SPT Tahunan PPh
9.
sehingga akan memberikan alternatif pilihan penyampaian SPT Tahunan PPh kepada
Wajib Pajak.
Kepala KPP, Kepala KLIP dan Kepala KP2KP agar mengumumkan jadwal jam layanan
10.
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 kepada Wajib Pajak.
Kepala KPP, Kepala KLIP dan Kepala KP2KP agar mengumumkan kepada Wajib
Pajak bahwa selain penyampaian SPT Tahunan PPh secara langsung di KPP/KP2KP,
11.Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Tahunan PPh dengan cara:

1. dikirim melalui pos tercatat dengan bukti pengiriman surat ke KPP tempat
Wajib Pajak terdaftar;
2. dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti
pengiriman surat ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
3. e-filing melalui laman DJP Online (www.djponline.pajak.go.id) atau Penyedia
Layanan SPT Elektronik yang telah ditunjuk Direktorat Jenderal Pajak.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Maret 2016
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE 07/PJ/2016TENTANG

PENETAPAN TARGET DAN STRATEGI PENCAPAIAN RASIO KEPATUHAN WAJIB


PAJAK PADA TAHUN 2016

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Umum
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) sebagai bagian dari upaya
pengamanan penerimaan pajak dan mengacu kepada Rencana Strategis Direktorat Jenderal
A.Pajak (DJP) sebagaimana telah ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-95/PJ/2015 tentang Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2015-
2019, perlu ditetapkan target dan strategi pencapaian rasio kepatuhan Wajib Pajak pada
tahun 2016.
Maksud dan Tujuan
Maksud
Ketentuan ini dibuat untuk mendorong pencapaian target rasio kepatuhan penyampaian
1.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) dan meningkatkan
B.
kepatuhan material WP dalam melakukan pembayaran pajak pada tahun 2016.
Tujuan
2.Memberikan panduan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Wilayah
(Kanwil) DJP dalam meningkatkan kepatuhan WP.
Ruang Lingkup
C.
Dalam surat edaran ini, yang dimaksud dengan:
SPT adalah surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
1)pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
SPT Tahunan PPh adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun
Pajak, yang meliputi:
a. SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP Badan adalah SPT 1771 dan SPT 1771$;
SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP Orang Pribadi (OP) Karyawan adalah:
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana yang
selanjutnya disebut SPT 1770 SS adalah SPT Tahunan yang digunakan oleh WP OP
1)yang mempunyai penghasilan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan
jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
b.
2) setahun.
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sederhana yang
selanjutnya disebut SPT 1770 S adalah SPT Tahunan yang digunakan oleh WP OP
2)
yang mempunyai penghasilan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan
jumlah penghasilan bruto lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) setahun.
SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP OP Non Karyawan adalah SPT 1770 yang
digunakan oleh WP OP yang mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas, dari
c.
satu atau lebih pemberi kerja, yang dikenakan Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat
final, dan/atau dalam negeri lainnya/luar negeri.
WP Terdaftar Wajib SPT Tahunan PPh terdiri dari:

3) 1. WP Badan;
2. WP OP Karyawan dengan Kelompok Lapangan Usaha (KLU) 96301, 96302,
96303, 96304, dan 96305;
3. WP OP Non Karyawan dengan KLU selain dari KLU WP OP Karyawan;

dengan status domisili/pusat (kode status NPWP 000) yang mempunyai kewajiban
menyampaikan SPT Tahunan PPh, tidak termasuk bendahara, joint operation,
cabang/lokasi, WP Penghasilan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 18
ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 , WP Non Efektif,
dan sejenis lainnya yang dikecualikan atau tidak mempunyai kewajiban menyampaikan
SPT Tahunan PPh.
SPT Elektronik yang selanjutnya disingkat dengan e-SPT adalah SPT dalam bentuk
4)
dokumen elektronik.
E-FIN adalah nomor identitas yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada WP
5)
yang melakukan transaksi elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak.
SPT Tahunan PPh yang digunakan sebagai dasar penghitungan rasio kepatuhan adalah
keseluruhan SPT Tahunan PPh yang telah dilakukan perekaman Lembar Pengawasan Arus
6)
Dokumen (LPAD) atau dalam hal disampaikan secara elektronik, telah diterbitkan Bukti
Penerimaan Elektronik (BPE);
WP Bayar dan Lapor adalah WP Badan dan OP Non Karyawan yang melakukan
pembayaran atas:
a. PPh Pasal 25/29;
b.PPh Pasal 22;
PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas:
1)PPh Final PP 46;
c.
2)PPh Final Sewa atas Tanah dan Bangunan atas Orang Pribadi;
7)
3)PPh Final Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan; dan/atau
PPh Final Pasal 15 atas:
1)PPh Final Perwakilan Dagang Luar Negeri;
2)PPh Final Pelayaran/Penerbangan Asing;
d.
3)PPh Final Pelayaran Dalam Negeri;

dan menyampaikan SPT Tahunan PPh pada tahun 2016.


Definisi Rasio Kepatuhan WP pada Tahun 2016 sebagai berikut:
Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan PPh pada Tahun 2016 adalah perbandingan
antara jumlah seluruh SPT Tahunan PPh yang diterima selama tahun 2016 (tidak
a.
termasuk pembetulan SPT Tahunan PPh) dengan jumlah WP Terdaftar Wajib SPT
8) Tahunan PPh per 31 Desember 2015.
Rasio Kepatuhan Pembayaran WP Badan dan OP Non Karyawan pada Tahun 2016
adalah perbandingan antara jumlah WP Bayar dan Lapor sebagaimana dimaksud pada
b.
angka 7 dengan jumlah WP Terdaftar Wajib SPT Tahunan PPh Badan dan OP Non
Karyawan per 31 Desember 2015.

D. Dasar

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
1. Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan
2.
(SPT).
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2015 tentang Penyampaian Surat
3.
Pemberitahuan Elektronik.
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2013 tentang Tata Cara
Ekstensifikasi.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2016 tentang Tata Cara Penerimaan
5.
dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-41/PJ/2015 tentang Pengamanan Transaksi
6.
Elektronik Layanan Pajak Online.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2013 tentang Pedoman Penyuluhan
7.
Perpajakan.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ/2012 tentang Pengawasan
8.
Pembayaran Masa.
Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan
9. Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Oleh Aparatur Sipil
Negara/Anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia Melalui e-
Filing.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ/2015 tentang Pedoman
10.
Administrasi Pembangunan, Pemanfaatan, dan Pengawasan Data.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ/2016 tentang Petunjuk Teknis Tata
11.
Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan.

E. Target Rasio Kepatuhan Wajib Pajak

Target rasio kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh pada tahun 2016 sebesar 72,5%.
Target minimal masing-masing Kanwil DJP dan KPP ditetapkan sebagaimana dimaksud
1.
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini.
Target rasio kepatuhan pembayaran Wajib Pajak Badan dan OP Non Karyawan pada tahun
2016 sebesar 27,5%. Target minimal masing-masing Kanwil DJP dan KPP ditetapkan
2.
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
Penentuan target sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 telah
3.mempertimbangkan pencapaian target nasional, kondisi geografi, demografi, segmentasi
Subjek Pajak, dan pencapaian tahun-tahun sebelumnya.

F.Kriteria Penilaian Target Rasio Kepatuhan Wajib Pajak


Kriteria penilaian atas pencapaian target rasio kepatuhan Wajib Pajak sebagai berikut:

1. Kanwil DJP dinyatakan tercapai apabila telah mencapai target minimal rasio sesuai
kualifikasinya pada tabel dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
2. KPP dinyatakan tercapai apabila telah mencapai target minimal rasio sesuai
kualifikasinya pada tabel dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

G.Strategi Peningkatan Rasio Kepatuhan Wajib Pajak


KPP melakukan upaya peningkatan rasio kepatuhan dengan melakukan kegiatan sebagai
berikut:

Peningkatan Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan PPh


1. Strategi peningkatan rasio kepatuhan sebelum batas akhir penyampaian SPT Tahunan
a.
PPh Tahun 2016
WP Badan dan WP OP Non Karyawan
Melakukan koordinasi dan sosialisasi mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan
a) kepada asosiasi-asosiasi misalnya asosiasi pengusaha sektor jasa konstruksi,
pedagang eceran, dan sebagainya.
1)
Mengirimkan himbauan terhadap WP Badan dan OP Non Karyawan yang tidak
menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2014 dan tahun-tahun sebelumnya
b)
namun ada data transaksi melalui pemanfaatan data pada Aplikasi Portal DJP dan
Approweb.
WP OP karyawan
Melakukan pemetaan dan sosialisasi kepada pemberi kerja di kementerian, lembaga,
Satuan Kerja Perangkat Daerah, BUMN, BUMD dan instansi pemerintah lainnya di
daerah, serta perusahaan swasta yang memperkerjakan banyak karyawan terkait
kewajiban pemenuhan perpajakan dengan melaksanakan langkah-langkah kegiatan
sebagai berikut:
Untuk pemberi kerja yang membawahi WP OP Karyawan Aparatur Sipil
Negara/Anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia agar
dilakukan koordinasi dengan pemberi kerja agar pegawai menyampaikan SPT
2)
Tahunan PPh secara e-filing sesuai dengan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan
a)
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015
tentang Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Orang Pribadi Oleh Aparatur Sipil Negara/Anggota Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia Melalui e-filing.
Untuk pemberi kerja selain huruf a di atas, KPP melakukan prioritas terhadap
b)pemberi kerja dengan jumlah karyawan yang besar dan berkoordinasi dalam
sosialisasi e-filing serta membuat jadwal pelayanan penerimaan SPT Tahunan PPh.
c) Optimalisasi pemanfaatan data E-FIN per Pemberi Kerja pada Aplikasi Portal DJP.
Dalam hal metode perbandingan sebagaimana yang dimaksud pada angka 1) tidak
dapat dilakukan, penentuan nilai bumi per meter persegi Areal Produktif, areal belum
diolah pada Areal Belum Produktif, atau Areal Emplasemen dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
Mengumpulkan data NIR bumi per meter persegi Areal Produktif, areal belum diolah
pada Areal Belum Produktif, atau Areal Emplasemen objek pajak lain pada tahun
3)a) pajak yang sama dengan menggunakan Formulir Data Nilai Indikasi Rata-Rata Bumi
Per Meter Persegi Objek Pembanding dan Formulir Rekapitulasi Data Nilai Indikasi
Rata-Rata Bumi Per Meter Persegi Objek Pembanding;
Menentukan NIR bumi per meter persegi dengan melakukan penyesuaian terhadap
faktor kelas kesesuaian lahan, jenis tanah, kontur tanah, aksesibilitas, pabrik
b)
pengolahan, dan faktor lainnya atas NIR sebagaimana dimaksud pada huruf a) dengan
menggunakan Formulir Analisis Nilai Indikasi Rata-Rata Bumi Per Meter Persegi.
Strategi peningkatan rasio kepatuhan setelah batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh
Tahun 2016
Melakukan inventarisasi terhadap WP yang tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh
untuk Tahun Pajak 2014 dan tahun-tahun pajak sebelumnya. Kegiatan yang sama
1)dilakukan terhadap SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2015 setelah batas waktu
b. penyampaiannya berakhir. Selanjutnya, dilakukan pemetaan terhadap WP yang tidak
melaporkan SPT Tahunan PPh.
Menerbitkan dan mengirimkan himbauan/teguran/Surat Tagihan Pajak (STP) terhadap
2)
WP yang tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh.
Melakukan inventarisasi dan tindak lanjut surat himbauan/teguran/STP yang kembali
3)
pos.
Memanfaatkan data WP yang tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Tahun
Pajak 2014 dan tahun-tahun sebelumnya, namun melakukan pekerjaan (karyawan tetap
dan/atau pekerja bebas) dan kegiatan usaha di antaranya ekspor/impor (berdasarkan
data Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dan Pemberitahuan lmpor Barang (PIB)),
4)
penyerahan (berdasarkan data Faktur Pajak, dokumen PP FTZ-01, PP FTZ-02, PP FTZ-
03, Inward Manifest, Outward Manifest dan data lainnya), pembayaran pajak atau data
lainnya, baik sumbernya dari Aplikasi Portal DJP maupun dari sumber lain untuk
melakukan himbauan penyampaian SPT Tahunan PPh.
Menangani WP yang tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh namun ada data transaksi
melalui pemanfaatan data pada Aplikasi Portal DJP dan Approweb dan kemudian
5)menindaklanjutinya dengan cara visit untuk melakukan validasi data WP, serta
menerbitkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan, konseling,
dan/atau usulan pemeriksaan.
Melakukan koordinasi dan penyuluhan melalui konsultan pajak, akuntan publik, dan
6)asosiasi-asosiasi terhadap WP terutama WP yang tidak menyampaikan SPT Tahunan
PPh dalam rangka peningkatan kepatuhan.
7)Implementasi Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP) terkait pelayanan publik.
Peningkatan Rasio Kepatuhan Pembayaran Wajib Pajak Badan dan OP Non Karyawan
Merujuk pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ/2012 tentang
Pengawasan Pembayaran Masa, KPP diharapkan untuk melakukan pengawasan yang
intensif dan optimal terhadap pemenuhan kewajiban pembayaran dan pelaporan oleh WP,
a.
mencakup kegiatan penggalian potensi, pengawasan kepatuhan, bimbingan, himbauan,
konsultasi teknis perpajakan, rekonsiliasi data, dinamisasi, penerbitan STP, dan usulan
pemeriksaan.
Peningkatan kepatuhan material WP OP Non Karyawan dan Badan dengan
2. memanfaatkan data internal (Aplikasi Portal DJP dan Approweb) dan data eksternal (data
b.
yang berasal dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor PP 31 Tahun 2012 tentang
Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi).

Kanwil DJP memberikan bimbingan dan asistensi kepada KPP di lingkungannya dalam
rangka pencapaian target yang telah ditetapkan termasuk dalam rangka pencarian data
transaksi yang terkait dengan WP sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-10/PJ/2015 tentang Pedoman Administrasi Pembangunan, Pemanfaatan, dan
Pengawasan Data.

H.Pemantauan Realisasi Penyampaian SPT Tahunan PPh


Pemantauan realisasi penyampaian SPT Tahunan PPh oleh Kanwil DJP dan KPP
menggunakan aplikasi Dashboard Kepatuhan yang tersedia di Portal DJP. I.

Lain-Lain

1. Pada saat jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan PPh, masing-masing KPP/Kanwil
DJP sebagaimana dimaksud dalam huruf E mencapai minimal 90% (sembilan puluh
persen) dari target rasio kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh agar dapat
dimanfaatkan untuk penggalian potensi.
2. Untuk penentuan jumlah WP Terdaftar Wajib SPT Tahunan PPh per 31 Desember
2015, Direktorat Potensi Kepatuhan dan Penerimaan akan menyampaikan jumlah WP
Terdaftar Wajib SPT Tahunan PPh kepada masing-masing KPP dan Kanwil DJP.
3. Surat edaran ini berlaku sejak 1 Januari 2016 sampai dengan 31 Desember 2016.
Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Februari 2016
Plt. DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

Tembusan:

1. Sekretaris Direktorat Jenderal;


2. Para Direktur;
3. Para Tenaga Pengkaji; dan
4. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak

Berikut link Lampiran SE 07/PJ/2016


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE 11/PJ/2016TENTANGPANDUAN TEKNIS PENERAPAN SISTEM
PEMBAYARAN PAJAK
SECARA ELEKTRONIK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Umum
Sehubungan dengan pengamanan penerimaan negara dari segi pembayaran pajak terkait
penutupan Modul Penerimaan Negara Generasi Pertama (MPN-G1) pada tahun 2016,
perkembangan kanal pembuatan dan pembayaran Kode Billing, dan untuk memberikan
A.
panduan implementasi Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang
Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik, maka perlu disusun Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak sebagai pedoman teknis penerapan sistem pembayaran pajak secara
elektronik.
Maksud dan Tujuan
Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan sebagai referensi teknis untuk penerapan
1.
sistem pembayaran pajak secara elektronik serta memberikan informasi mengenai kanal-
B. kanal pembuatan Kode Billing dan pembayarannya.
Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan panduan teknis tentang
2.
tugas dan kewajiban unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait
penerapan sistem pembayaran pajak secara elektronik.
Ruang Lingkup
Surat Edaran ini ditujukan untuk Para Direktur, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) DJP,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kepala Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan
(KLIP) DJP, dan Kepala Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan
C.
(KP2KP).
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini mengatur tentang teknis implementasi
sistem pembayaran pajak secara elektronik yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban
unit kerja di lingkungan DJP, serta panduan teknis pembayaran pajak secara elektronik.
Dasar
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
1.Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206.2/PMK.01/2014 tentang Organisasi dan Tata
D.2.
Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran
3.
dan Penyetoran Pajak;
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang Sistem Pembayaran
4.
Pajak secara Elektronik.
Ketentuan
Tugas dan kewajiban Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat
adalah:
E.
1.
1. menyiapkan strategi dan materi sosialisasi terkait penerapan sistem pembayaran
pajak secara elektronik (e-billing) kepada Wajib Pajak dan Fiskus; dan
2. melakukan koordinasi sosialisasi dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak.

Tugas dan kewajiban Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan adalah:

1. menyiapkan infrastruktur server billing pada unit kerja Direktorat Jenderal Pajak;
2. menyediakan aplikasi layanan pembuatan Kode Billing;
2. 3. menyediakan Call Center penerapan sistem pembayaran pajak secara elektronik
(e-billing) untuk Wajib Pajak, Bank/Pos Persepsi, dan Kantor Pelayanan Pajak;
4. menjalankan fungsi operator sistem dan pemeliharaan infrastruktur Modul
Penerimaan Negara.

Tugas dan kewajiban Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi


3.adalah melakukan pengembangan atas aplikasi billing dan melakukan penyesuaian
aplikasi yang dikembangkan dengan kebutuhan pengguna (user requirements).
Tugas dan kewajiban Direktorat Transformasi Proses Bisnis adalah memantau
4.pelaksanaan tugas dan kewajiban pihak-pihak pada Direktorat Jenderal Pajak dalam
penerapan sistem pembayaran pajak secara elektronik (e-billing).
Tugas dan kewajiban Kanwil DJP adalah:

1. melakukan sosialisasi kepada Kantor Pelayanan Pajak dalam rangka penyediaan


pelayanan asistensi pembuatan Kode Billing;
5.
2. melakukan sosialisasi kepada Wajib Pajak mengenai tata cara pembuatan Kode
Billing; dan
3. melakukan sosialisasi kepada Fiskus mengenai tata cara pembuatan Kode Billing.

Tugas dan kewajiban KPP dan KP2KP adalah:

1. menentukan layering Wajib Pajak untuk dilakukan sosialisasi dan penerapan


6. sistem pembayaran pajak secara elektronik (e-billing); dan
2. menyediakan counter pelayanan dan fasilitas jaringan intranet dan internet dalam
rangka pelayanan pembuatan Kode Billing.

Tugas dan kewajiban KLIP adalah melakukan diseminasi informasi mengenai teknis
7.
pembayaran pajak secara elektronik.
Panduan Teknis Pembayaran Pajak secara Elektronik:

1. Panduan teknis pembuatan Kode Billing adalah sebagaimana tercantum dalam


8. Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
2. Panduan teknis pembayaran pajak menggunakan Kode Billing adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Maret 2016
DIREKTUR JENDERAL,

ttd
KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE 12/PJ/2016TENTANG

PENEGASAN ATAS PELAKSANAAN PEMBAHASAN AKHIR HASIL PEMERIKSAAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Umum
Dalam rangka meningkatkan kualitas temuan hasil pemeriksaan dan menjamin
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dilaksanakan secara objektif sehingga menghasilkan
A.
surat ketetapan pajak yang dapat dipertanggungjawabkan, dipandang perlu untuk
menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang Penegasan atas Pelaksanaan
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Maksud dan Tujuan
Maksud
Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberikan acuan bagi Kepala Unit
1.
Pelaksana Pemeriksaan (UP2) dalam melaksanakan kegiatan Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan.
B.
Tujuan
Surat Edaran ini disusun dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas temuan hasil
2.pemeriksaan dan menjamin Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dilaksanakan secara
objektif sehingga menghasilkan surat ketetapan pajak yang dapat
dpertanggungjawabkan.
Ruang Lingkup
C. Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi penegasan pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan.
Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak
D. dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (PP Nomor 74 Tahun 2011);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara
Pemeriksaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 184/PMK.03/2015;
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan
Pemeriksaan.

Materi
Pemeriksa Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan
(SPHP) kepada Wajib Pajak dan memberikan hak hadir kepada Wajib Pajak dalam
1.rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat
(2) Undang-Undang KUP, dalam hal pemeriksaan yang dilakukan merupakan
E. pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Akibat hukum atas tidak dilaksanakannya kewajiban penyampaian SPHP dan
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas
2.permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP
dan aturan pelaksanaannya.
Penyampaian SPHP dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak
tidak berlaku atas pemeriksaan untuk tujuan lain karena pemeriksaan untuk tujuan lain
tidak dimaksudkan untuk menerbitkan ketetapan pajak (skp/stp). Pemeriksaan untuk
3.tujuan lain dilakukan untuk tujuan tertentu dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, seperti dalam rangka penghapusan NPWP,
pencabutan pengukuhan PKP, pemberian NPWP/pengukuhan PKP secara jabatan, dan
lain-lain.
Pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dilakukan dengan tata cara
sebagaimana diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 57 Peraturan Menteri Keuangan
4.
Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015.
Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan dalam rangka
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana
diatur dalam Pasal 15 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013
tentang Tata Cara Pemeriksaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
5.
Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 adalah batas waktu maksimal untuk melakukan
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Oleh karena itu, pelaksanaan Pembahasan Akhir
Hasil Pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat dari jangka waktu tersebut dengan tanpa
mengurangi hak Wajib Pajak dalam pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Dalam rangka menjamin Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dilaksanakan secara
objektif, pada saat pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan:

1. Pemeriksa Pajak harus melakukan perekaman (recording) dengan menggunakan


alat bantu perekaman (audio dan/atau visual) pada saat pelaksanaan Pembahasan
Akhir Hasil Pemeriksaan;
6.
2. Pemeriksa Pajak harus memberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa akan
dilakukan perekaman terhadap pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan; dan
3. Hasil perekaman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berita
acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

Dalam hal Wajib Pajak memberikan tanggapan atas temuan hasil pemeriksaan yang
didukung dengan bukti-bukti yang akurat, kompeten, dan memadai pada saat
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, tanggapan dari Wajib Pajak tersebut harus
7.
menjadi bahan pertimbangan Pemeriksa Pajak untuk memutuskan hasil pemeriksaan
yang terkait, sesuai dengan pertimbangan profesional (professional judgement) dari
Pemeriksa Pajak.
Pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan
8.dari pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016 tentang
Kebijakan Pemeriksaan.
Penutup
F.
Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Maret 2016
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE 19/PJ/2016

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN

KEGIATAN PERPAJAKAN INTERNASIONAL

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Umum
Sehubungan dengan telah dibentuknya Direktorat Perpajakan Internasional yang berperan
A.dalam merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
perpajakan internasional, maka perlu dibuat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sebagai
acuan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.
Maksud dan Tujuan
Maksud
Surat Edaran ini disusun sebagai pedoman bagi unit kerja di Direktorat Perpajakan
1.Internasional dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya. Penetapan Surat
Edaran ini dimaksudkan untuk memberikan petunjuk pelaksanaan kegiatan perpajakan
internasional.
B.
Tujuan
Surat Edaran ini bertujuan untuk memberikan tata kelola yang baik atas pelaksanaan
kegiatan perpajakan internasional sehingga diperoleh hasil dan hubungan kerja yang
2.
akuntabel, transparan dan berdaya guna antara unit kerja Direktorat Perpajakan
Internasional dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) di Direktorat Jenderal
Pajak dan pihak di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Ruang Lingkup
Surat Edaran ini merupakan pengaturan atas pelaksanaan kegiatan perpajakan internasional
yang di dalamnya mengatur hal-hal sebagai berikut:
C.
1. Kegiatan perpajakan internasional;
2. Tata cara pelaksanaan kegiatan unit kerja di Direktorat Perpajakan Internasional.

Dasar

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara


Pertukaran Informasi (Exchange of Information) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.010/2015;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
D. Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara
Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement);
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Keuangan.

Materi
E.
1.Kegiatan Perpajakan Internasional
Kegiatan perpajakan internasional adalah kegiatan Direktorat Jenderal Pajak dengan
pihak luar negeri baik negara lain atau organisasi internasional meliputi:
Kegiatan perjanjian perpajakan internasional termasuk Persetujuan Penghindaran
1)
Pajak Berganda (P3B) dan perjanjian internasional lainnya;
2)Kegiatan kerja sama perpajakan dan non perpajakan internasional;
a.
Kegiatan pencegahan dan penanganan sengketa perpajakan internasional (Prosedur
3)Persetujuan Bersama/Mutual Agreement Procedure dan Kesepakatan Harga
Transfer/Advance Pricing Agreement);
4)Kegiatan pertukaran informasi; dan
5)Kegiatan pertemuan internasional terkait perpajakan.
Kegiatan perpajakan internasional dapat dilakukan berdasarkan:
Kesepakatan internasional dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra atau organisasi
1)
internasional;
Permintaan terkait pengawasan kepatuhan perpajakan, pemeriksaan, pemeriksaan
2)bukti permulaan, penyidikan, keberatan dan banding, peninjauan kembali, dan
penagihan;
b.
3)Permintaan terkait pelaksanaan administrasi perpajakan;
4)Pelaksanaan ketentuan P3B dan perjanjian internasional di bidang perpajakan;
5)Management request dari pimpinan;
Permintaan dari Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra atau organisasi internasional;
6)
dan
7)Permintaan dari unit lainnya di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Kegiatan perjanjian perpajakan internasional meliputi kegiatan penyusunan draf
perjanjian internasional di bidang perpajakan; negosiasi pembentukan perjanjian
c. internasional; penyusunan kebijakan, peraturan, dan petunjuk pelaksanaan perjanjian
internasional di bidang perpajakan; pemberian bimbingan di bidang perpajakan
internasional; dan evaluasi pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Kegiatan perjanjian internasional meliputi kegiatan yang terkait dengan perjanjian
d.
selain P3B, baik perjanjian bilateral dan/atau multilateral yang terkait perpajakan.
Kegiatan kerja sama perpajakan dan non perpajakan internasional meliputi kerja sama
bilateral dan/atau multilateral seperti Study Group on Asian Tax Administration and
Research (SGATAR), Association of Tax Authorities of Islamic Countries (ATAIC),
e. ASEAN Forum on Taxation (AFT), Group of Twenty (G20), Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB) dan The Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD), termasuk koordinasi bantuan negara atau pihak donor serta kegiatan lainnya
yang berkaitan dengan negara lain atau organisasi internasional.
Kegiatan pencegahan dan penanganan sengketa perpajakan internasional meliputi
kegiatan penyusunan kebijakan, peraturan, dan petunjuk pelaksanaan serta pemberian
bimbingan terkait kebijakan penanganan Transfer Pricing dan penghindaran pajak
f.
lainnya; pembentukan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement/APA), pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement
Procedure/MAP), dan penyelesaian sengketa perpajakan internasional lainnya.
Kegiatan pertukaran informasi meliputi kegiatan penyusunan kebijakan, peraturan dan
petunjuk pelaksanaan terkait pertukaran informasi perpajakan internasional; pemberian
bimbingan terkait pertukaran informasi perpajakan internasional; pembentukan
dan/atau perubahan perjanjian internasional di bidang pertukaran informasi dan
g.
bantuan administratif lainnya di bidang perpajakan; dan pelaksanaan pertukaran
informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan sebagai
pelaksanaan dari P3B, Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan
Keperluan Perpajakan (Tax Information Exchange Agreement/TIEA), Konvensi
tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual
Administrative Assistance in Tax Matters/MAC), Persetujuan Pejabat yang Berwenang
yang Bersifat Multilateral atau Bilateral (Multilateral or Bilateral Competent Authority
Agreement), Persetujuan antar Pemerintah (Intergovernmental Agreement/IGA), atau
perjanjian bilateral atau multilateral lainnya. Kegiatan pertukaran informasi pada unit
kerja Direktorat Perpajakan Internasional termasuk pertukaran informasi berdasarkan
permintaan, pertukaran informasi secara spontan, pertukaran informasi secara otomatis,
tax examinations abroad, dan simultaneous tax examinations.
Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Perpajakan Internasional berkoordinasi
dengan:
1) Sekretariat Direktorat Jenderal Pajak;
2) Direktorat Peraturan Perpajakan I;
3) Direktorat Peraturan Perpajakan II;
4) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan;
5) Direktorat Penegakan Hukum;
6) Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian;
7) Direktorat Keberatan dan Banding;
8) Direktorat Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan;
9) Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat;
10)Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan;
11)Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur;
h.12)Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi;
13)Direktorat Transformasi Proses Bisnis;
14)Direktorat Intelijen Perpajakan;
15)Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan;
16)Kepala Kantor Wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
17)Kantor Pengolahan Data Eksternal;
18)Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
19)Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan;
20)Instansi lain di lingkungan Kementerian Keuangan;
21)Kementerian Luar Negeri;
22)Otoritas Jasa Keuangan;
23)Instansi atau lembaga lainnya;
24)Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan
25)Organisasi Internasional.
Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Unit Kerja di Direktorat Perpajakan Internasional
Pelaksanaan kegiatan unit kerja di Direktorat Perpajakan Internasional diatur dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Surat Edaran ini
dengan rincian sebagai berikut:
Tata Cara Penyusunan Draf Perjanjian Internasional di Bidang Perpajakan
a.
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I.
Tata Cara Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Perjanjian Internasional di Bidang
b.
2. Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II.
Tata Cara Evaluasi Pelaksanaan Perjanjian Internasional di Bidang Perpajakan
c.
sebagaimana diatur dalam Lampiran III.
Tata Cara Kerja Sama di Bidang Perpajakan dengan Pihak Asing sebagaimana diatur
d.
dalam Lampiran IV.
Tata Cara Pembentukan Tim Quality Assurance dalam Rangka Pelaksanaan Mutual
e. Agreement Procedure (MAP) dan Advance Pricing Agreement (APA) sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran V.
Tata Cara Permintaan Pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP) kepada
f. Competent Authority (CA) Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran VI.
Tata Cara Tindak Lanjut Permintaan Pelaksanaan Mutual Agreement Procedure
g. (MAP) Berdasarkan Permintaan Competent Authority (CA) Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra P3B sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VII.
Tata Cara Pembentukan Tim Pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP)
h.
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VIII.
Tata Cara Pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP) dan Penyusunan Naskah
i.
Posisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IX.
Tata Cara Pembentukan Delegasi Republik Indonesia untuk Melaksanakan
j. Perundingan dalam Rangka Pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP)
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran X.
Tata Cara Pelaksanaan Perundingan dalam Rangka Pelaksanaan Mutual Agreement
k. Procedure (MAP) dan Pembentukan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran XI.
Tata Cara Pelaksanaan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
l.
XII.
Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pembicaraan Awal dalam Rangka Permohonan
m.
Advance Pricing Agreement (APA) sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XIII.
Tata Cara Pembentukan Tim Pembahas APA dalam Rangka Pelaksanaan Advance
n.
Pricing Agreement (APA) sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XIV.
Tata Cara Pelaksanaan Pembahasan Advance Pricing Agreement (APA) sebagaimana
o.
dimaksud dalam Lampiran XV.
Tata Cara Tindak Lanjut Usulan Rekomendasi Advance Pricing Agreement (APA)
p.
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XVI.
Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Advance Pricing Agreement (APA) sebagaimana
q.
dimaksud dalam Lampiran XVII.
Tata Cara Penyusunan Analisis atas Pembentukan Perjanjian Internasional di Bidang
r.
Pertukaran Informasi Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XVIII.
Tata Cara Tindak Lanjut Pembentukan Perjanjian Internasional di Bidang Pertukaran
s.
Informasi Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XIX.
Tata Cara Permintaan Simultaneous Tax Examinations kepada Otoritas Pajak Negara
t.
Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XX.
Tata Cara Permintaan Tax Examinations Abroad kepada Otoritas Pajak Negara Mitra
u.
atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XXI.
Tata Cara Penelitian atas Permintaan Informasi dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau
v.
Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XXII.
Tata Cara Tindak Lanjut Permintaan Informasi dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau
w. Yurisdiksi Mitra oleh Direktorat/Kanwil DJP/KPP sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran XXIII.
Tata Cara Penerimaan dan Pemanfaatan Informasi atas Jawaban Permintaan Informasi
x. dari Otoritas Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran XXIV.
Tata Cara Permintaan Informasi dari Unit di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
y. kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran XXV.
Tata Cara Pertukaran Informasi Secara Otomatis kepada Otoritas Pajak Negara Mitra
z.
atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XXVI.
aa. Tata Cara Pertukaran Informasi Secara Otomatis dari Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XXVII.
Tata Cara Pertukaran Informasi Secara Spontan dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau
bb.
Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XXVIII.
Tata Cara Pertukaran Informasi Secara Spontan kepada Otoritas Pajak Negara Mitra
cc.
atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Lampiran XXIX.
Tata Cara Tindak Lanjut Permintaan Tax Examination Abroad yang Diajukan
dd.Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran XXX.
Tata Cara Tindak Lanjut Permintaan Simultaneous Tax Examinations yang Diajukan
ee. Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran XXXI.
Penutup
1.Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Tata cara pelaksanaan kegiatan perpajakan internasional yang diatur di dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-167/PJ/2015 tentang Standar Operasional Prosedur
Baru, Revisi, dan Hapus Semester I Tahun 2015 di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
sebagai berikut:

1. KPC30-0001 Tata Cara Pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP)


kepada Negara Mitra P3B Berdasarkan Permintaan Wajib Pajak Indonesia
2. KPC30-0003 Tata Cara Penyusunan Draft Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda
2. 3. KPC30-0004 Tata Cara Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Persetujuan
F.
Penghindaran Pajak Berganda.
4. KPC30-0005 Evaluasi Pelaksanaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
5. KPC34-0001 Tata Cara Kerja Sama di Bidang Perpajakan dengan Pihak Asing
6. KPC34-0003 Tata Cara Penerusan Permintaan Informasi dan Tindak Lanjutnya
dari Direktorat Jenderal Pajak kepada Negara Mitra P3B
7. KPC34-0004 Tata Cara Pertukaran Informasi dari Negara Mitra P3B

selanjutnya dilaksanakan berdasarkan tata cara pelaksanaan kegiatan perpajakan


internasional sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran ini.
Tata cara pelaksanaan kegiatan perpajakan internasional yang belum dijelaskan dalam
3.Surat Edaran ini agar dapat dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 2016
Plt. DIREKTUR JENDERAL PAJAK.

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________
_________________

26 Februari 2016

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 06/PJ/2016

TENTANG

KEBIJAKAN PEMERIKSAAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor


184/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
206.2/PMK.01/2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal
Pajak (DJP), serta menimbang putusan Mahkamah Agung Nomor 73/P/HUM/2013, serta
dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan kegiatan pemeriksaan agar dapat
menghasilkan volume hasil pemeriksaan yang tinggi dengan kualitas yang baik, sehingga
memberikan kontribusi penerimaan yang optimal dari hasil pemeriksaan dan peningkatan
kepatuhan Wajib Pajak, maka dipandang perlu dibuat kebijakan pemeriksaan.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Kebijakan pemeriksaan dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pemeriksaan dan


sebagai acuan dalam melakukan pemeriksaan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2).

2. Tujuan

Kebijakan pemeriksaan bertujuan :


a. tertib administrasi pemeriksaan;
b. meningkatkan audit coverage ratio (ACR); dan
c. meningkatkan penerimaan pajak dari kegiatan pemeriksaan.

C. Ruang Lingkup

Kebijakan pemeriksaan dalam Surat Edaran ini meliputi :


1. Revitalisasi kegiatan pemeriksaan;
2. Kebijakan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
3. Kebijakan pemeriksaan untuk tujuan lain.
D. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (PP Nomor 74 Tahun 2011);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat
Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2015;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206.2/PMK.01/2014 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan.

E. Revitalisasi Kegiatan Pemeriksaan

1. Revitalisasi Proses Bisnis Pemeriksaan

a. Proses bisnis pemeriksaan dapat digambarkan sebagai berikut:


PROSES BISNIS PEMERIKSAAN

b.Revitalisasi proses bisnis pemeriksaan ditujukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas
pemeriksaan sehingga kegiatan pemeriksaan mampu mendorong pertumbuhan penerimaan
pajak yang berkelanjutan.

c. Dalam rangka menjadikan kegiatan pemeriksaan sebagai instrumen untuk mendorong


pertumbuhan penerimaan pajak yang berkelanjutan, Kepala UP2 harus:

1) meningkatkan kualitas pemilihan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan;


2) melakukan pembinaan dan pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) Pemeriksa sehingga
menjadi pemeriksa yang handal (bangga dan berkarakter);
3) meningkatkan kemampuan SDM Pemeriksa dalam penerapan ketentuan di bidang
pemeriksaan khususnya dalam hal metode dan teknik pemeriksaan.

2. Peningkatan Kualitas Wajib Pajak yang diperiksa

a. Untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan dan menimbulkan efek jera, setiap Kepala UP2
harus menentukan prioritas Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Khusus, yaitu Wajib
Pajak yang memiliki potensi pajak besar dan ketidakpatuhan tinggi, penanggung pajak
diketahui keberadaannya serta masih memiliki kegiatan usaha aktif, dan memperhatikan
riwayat pemeriksaan (diprioritaskan Wajib Pajak yang belum pernah dilakukan
pemeriksaan);

b. Penentuan Wajib Pajak yang memiliki potensi pajak besar didasarkan pada data dan
informasi baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, antara lain berupa bukti potong,
alat keterangan, data Pajak Keluaran dan Pajak Masukan (PKPM), devisa hasil ekspor, hasil
visit, hasil pengamatan, dan data kepemilikan aset;

c. Penentuan prioritas Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan oleh Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala KPP, Kepala Seksi Pemeriksaan,
Supervisor Pemeriksa Pajak, dan Kepala Seksi yang melakukan pengawasan terhadap Wajib
Pajak;

d. Dalam hal Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan terdapat indikasi transaksi khusus
(transfer pricing, grup, sumber daya alam), pemilihan Wajib Pajak dikoordinasikan dengan
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP);

e. Dalam rangka menciptakan manajemen perencanaan pemeriksaan, Kepala KPP, Kepala


Seksi Pemeriksaan, dan Supervisor Pemeriksa Pajak harus:

1. menyiapkan Daftar Sasaran Pemeriksaan Wajib Pajak yang diprioritaskan untuk


dilakukan Pemeriksaan Khusus;
2. melakukan pengelolaan atas penyampaian usulan Pemeriksaan Khusus, dan
3. melakukan pengelolaan distribusi Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan Rutin
dan Pemeriksaan Khusus kepada Pemeriksa Pajak;

f. Dalam menentukan Wajib Pajak yang akan dilakukan Pemeriksaan Khusus, Kepala UP2
harus mempertimbangkan sebaran Wajib Pajak yang akan diperiksa untuk menciptakan
efektivitas efek jera.

3. Pembinaan dan Pengelolaan SDM di Bidang Pemeriksaan

a. Pembinaan dan Pengelolaan Fungsional Pemeriksa Pajak

1. Kepala UP2 harus melakukan alokasi Pemeriksa Pajak secara tepat untuk mencapai
pemeriksaan yang efektif sehingga dapat merealisasikan target
penerimaan dari kegiatan pemeriksaan;
2. Kepala UP2 harus melakukan pengawasan secara periodik terhadap progress
pemeriksaan untuk meningkatkan produktivitas Pemeriksa Pajak;
3. Kepala UP2 harus melakukan pengelolaan hubungan kerja antara Pemeriksa Pajak
yang berasal dari Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa Pajak sehingga
pelaksanaan kegiatan pemeriksaan dapat berjalan lebih efektif;
4. Dalam rangka meningkatkan efektivitas kinerja pemeriksaan, Kepala UP2 harus
melakukan analisis kebutuhan Pemeriksa Pajak untuk disampaikan kepada Kepala
Kanwil DJP dengan tembusan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan (P2)
setiap 6 (enam) bulan sekali, baik Pemeriksa Pajak yang berasal dari Fungsional
Pemeriksa Pajak maupun dari Petugas Pemeriksa Pajak;
5. Kepala UP2 harus melakukan evaluasi setiap 6 (enam) bulan sekali terhadap kinerja
Pemeriksa Pajak dan menyampaikannya kepada Direktur P2 dengan tembusan kepada
Kepala Kanwil DJP untuk digunakan sebagai pertimbangan dalam rangka melakukan
pembinaan kepada Pemeriksa Pajak,

b. Pembinaan dan Pengelolaan Petugas Pemeriksa Pajak

Dalam rangka meningkatkan efektivitas pemeriksaan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dan
untuk meningkatkan produktivitas pemeriksaan di KPP, ditegaskan hal-hal sebagai berikut:

1. Penunjukan Petugas Pemeriksa Pajak di setiap KPP dimaksudkan untuk


meningkatkan produktivitas pemeriksaan di KPP sehingga kebutuhan akan
pelaksanaan pemeriksaan oleh Petugas Pemeriksa Pajak sepenuhnya merupakan
kewenangan Kepala KPP;
2. Dalam hal Kepala KPP memandang perlu untuk menunjuk Petugas Pemeriksa Pajak
sebagai pelaksana pemeriksaan, Kepala KPP harus mengelola hubungan kerja antara
Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa Pajak sehingga produktivitas
pemeriksaan di KPP meningkat.

c. Keterlibatan Fungsional Penilai dalam kegiatan pemeriksaan

1. Dalam rangka meningkatkan efektivitas kegiatan pemeriksaan untuk sektor- sektor


tertentu, seperti sektor properti, pertambangan, perkebunan, kehutanan dan kelautan,
Kepala UP2 melibatkan Fungsional Penilai sebagai Tenaga Ahli dalam kegiatan
pemeriksaan;
2. Untuk kegiatan pemeriksaan selain sektor sebagaimana dimaksud pada angka 1),
apabila dipandang perlu Kepala UP2 dapat melibatkan Fungsional
Penilai dalam kegiatan pemeriksaan sebagai Tenaga Ahli;
3. Dalam hal tidak terdapat Fungsional Penilai pada UP2, Kepala UP2 dapat
mengajukan permintaan bantuan Fungsional Penilai kepada Kepala Kanwil DJP atau
Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian.

F. Kebijakan Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

1. Kebijakan Umum
a. Ruang Lingkup Pemeriksaan

1. Ruang lingkup pemeriksaan merupakan cakupan jenis pajak yang diperiksa dan
periode pencatatan atau pembukuan yang menjadi objek untuk dilakukan
pemeriksaan;
2. Ruang lingkup pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan meliputi:

a) Pemeriksaan Satu atau Beberapa Jenis Pajak, yaitu pemeriksaan yang cakupan jenis pajak
yang diperiksa meliputi satu jenis pajak atau
beberapa jenis pajak, untuk satu atau beberapa Masa Pajak, satu Bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak, baik tahun-tahun lalu maupun
tahun berjalan.

b) Pemeriksaan Seluruh Jenis Pajak (all taxes), yaitu pemeriksaan yang cakupan jenis pajak
yang diperiksa meliputi seluruh jenis pajak untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, baik
tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
b. Kriteria Pemeriksaan
Terdapat 2 (dua) kriteria yang merupakan alasan dilakukannya pemeriksaan, yaitu:

1. Pemeriksaan Rutin, merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan


pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, tanpa
memerlukan analisis risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak;
2. Pemeriksaan Khusus, meliputi:

a) Pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret, merupakan


pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib
Pajak yang berdasarkan keterangan lain berupa data konkret menunjukkan adanya indikasi
ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan; dan

b) Pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko (risk based audit), merupakan pemeriksaan
yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang
berdasarkan hasil analisis risiko menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan.

c. Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan melalui 2 (dua) jenis pemeriksaan, yang meliputi:

1. Pemeriksaan Lapangan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau


tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak;
atau
2. Pemeriksaan Kantor, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal
Pajak.

d. Perubahan Jenis Pemeriksaan

1. Dalam hal Pemeriksaan Kantor ditemukan indikasi transaksi yang terkait dengan
transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya
rekayasa transaksi keuangan, atau atas pertimbangan Kepala UP2, pelaksanaan
Pemeriksaan Kantor dapat diubah menjadi Pemeriksaan Lapangan;
2. Dalam hal Pemeriksaan Kantor diubah menjadi Pemeriksaan Lapangan, berlaku
ketentuan sebagai berikut:

a) Tim Pemeriksa Pajak melalui Kepala KPP mengajukan surat permohonan perubahan jenis
pemeriksaan dari Pemeriksaan Kantor menjadi Pemeriksaan Lapangan kepada Kepala
Kanwil DJP dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.1 Surat
Edaran ini;

b) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a), Kepala Kanwil DJP
melakukan penelitian dan evaluasi serta
menentukan apakah usulan perubahan jenis pemeriksaan disetujui atau ditolak;

c) Surat persetujuan perubahan jenis pemeriksaan diterbitkan oleh Kepala Kanwil DJP
dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh
dalam Lampiran I.2 Surat Edaran ini;
d) Surat penolakan perubahan jenis pemeriksaan diterbitkan oleh Kepala Kanwil DJP dengan
menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.3 Surat Edaran ini;

e) Setelah menerima surat persetujuan perubahan jenis pemeriksaan, Tim Pemeriksa Pajak
menyampaikan surat pemberitahuan kepada
Wajib Pajak mengenai perubahan jenis pemeriksaan dengan menggunakan formulir
sebagaimana contoh dalam Lampiran I.4 Surat
Edaran ini;

f) Berdasarkan surat persetujuan perubahan jenis pemeriksaan, Kepala Seksi Pemeriksaan


mengadministrasikan perubahan Kode Pemeriksaan pada aplikasi Sistem Informasi DJP
(SIDJP).

3) Jangka waktu pengujian terhadap pemeriksaan yang diubah dari Pemeriksaan Kantor
menjadi Pemeriksaan Lapangan, tetap dihitung sejak tanggal Wajib
Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari
Wajib Pajak, datang memenuhi Surat Panggilan Dalam
Rangka Pemeriksaan Kantor.

e. Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2)

1. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan


oleh Pemeriksa Pajak di UP2, yaitu KPP, Kanwil DJP, atau Direktorat P2;
2. KPP dapat bertindak sebagai UP2 Domisili atau UP2 Lokasi sesuai dengan wilayah
kerjanya;
3. Kanwil DJP dan Direktorat P2 bertindak sebagai UP2 Domisili;
4. UP2 Domisili adalah UP2 yang melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan domisili;
5. UP2 Lokasi adalah UP2 yang melakukan pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan
dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan lokasi dan/atau terhadap kegiatan usaha di lokasi selain domisili Wajib
Pajak;
6. Dalam hal UP2 bertindak sebagai UP2 Domisili, UP2 tersebut dapat melakukan
Pemeriksaan Seluruh Jenis Pajak atau Pemeriksaan Satu atau Beberapa Jenis Pajak;
7. Dalam hal UP2 bertindak sebagai UP2 Lokasi, UP2 tersebut hanya dapat melakukan
Pemeriksaan Satu atau Beberapa Jenis Pajak;
8. Dalam hal UP2 Lokasi sedang melakukan Pemeriksaan Lokasi sebagaimana
dimaksud pada angka 5), UP2 Lokasi berdasarkan permintaan UP2 Domisili juga
melakukan penghitungan besarnya peredaran usaha Wajib Pajak yang berada di
tempat kegiatan usaha Wajib Pajak di lokasi UP2 Lokasi, dan mengirimkan hasil
perhitungannya dalam bentuk Alat Keterangan kepada UP2 Domisili.

f. Pemeriksa Pajak

1) Pemeriksa Pajak pada UP2 terdiri dari:

a) Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak;


b) Petugas Pemeriksa Pajak yang diangkat oleh Kepala UP2; dan/atau
c) Tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) dan diberi tugas,
wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan.
2) Pemeriksa Pajak diberikan kartu tanda pengenal pemeriksa pajak.

3) Tim Pemeriksa Pajak dapat terdiri dari:

a) Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak;

b) Petugas Pemeriksa Pajak;

c) Gabungan antara Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa Pajak.

4) Petugas Pemeriksa Pajak

a) Petugas Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan DJP, selain
Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak, yang ditunjuk oleh Kepala KPP atau Kepala Kanwil
DJP, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab oleh Dirjen Pajak untuk
melaksanakan pemeriksaan.

b) Penunjukan Petugas Pemeriksa Pajak di KPP ditetapkan sebagai berikut:

i. Kepala Seksi Pemeriksaan dan Pelaksana pada Seksi Pemeriksaan di setiap KPP harus
ditunjuk sebagai Petugas Pemeriksa Pajak;

ii. Petugas Pemeriksa Pajak selain dimaksud pada huruf i ditunjuk sesuai dengan
pertimbangan Kepala KPP.

c) Penunjukan Petugas Pemeriksa Pajak di Kanwil DJP dilakukan sesuai dengan


pertimbangan Kepala Kanwil DJP.

d) Penunjukan Petugas Pemeriksa Pajak di KPP atau Kanwil DJP dilakukan dengan
menggunakan surat keputusan Kepala KPP atau Kepala Kanwil DJP.

e) Terhadap Petugas Pemeriksa Pajak yang ditunjuk harus diberikan pelatihan teknis
sehingga memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak.

f) Seluruh dokumentasi kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak
dilakukan di Seksi Pemeriksaan.

g) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ/2015 tentang Pemeriksaan oleh
Petugas Pemeriksa Pajak dinyatakan tidak berlaku.

g. Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) dan SP2 Perubahan

1) SP2 diterbitkan berdasarkan:

a) instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan dari Kepala Kanwil DJP atau Direktur P2;

b) persetujuan pemeriksaan dari Kepala KPP;

c) surat permintaan Pemeriksaan Lokasi oleh UP2 Domisili; atau


d) surat persetujuan pengalihan pemeriksaan.

2) Susunan tim Pemeriksa Pajak paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang, yaitu 1 (satu) orang
Supervisor dan 1 (satu) orang Ketua Tim yang merangkap sebagai Anggota Tim. Dalam hal
susunan tim Pemeriksa Pajak diubah, Kepala UP2 harus menerbitkan SP2 Perubahan.

3) Pemeriksa Pajak wajib memperlihatkan SP2 Perubahan kepada Wajib Pajak.

h. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dan Surat Panggilan Dalam Rangka


Pemeriksaan Kantor

1) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak dalam


jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal
SP2.

2) Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dikirimkan kepada Wajib Pajak
melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa
pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari
kerja setelah tanggal SP2.

i. Tenaga Ahli

1) Dalam hal Tim Pemeriksa Pajak dibantu oleh Tenaga Ahli, maka Tenaga Ahli tersebut
bertugas berdasarkan Surat Tugas Membantu Pelaksanaan Pemeriksaan yang diterbitkan oleh
Dirjen Pajak atau pejabat yang ditunjuk Dirjen Pajak.

2) Dalam hal Tenaga Ahli bukan pegawai DJP, maka Surat Tugas Membantu Pelaksanaan
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) diterbitkan oleh Dirjen Pajak.

3) Dalam hal Tenaga Ahli merupakan pegawai DJP maka Pejabat yang ditunjuk Dirjen Pajak
untuk menerbitkan Surat Tugas Membantu Pelaksanaan
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) adalah:

a) Kepala UP2, dalam hal Tenaga Ahli tersebut merupakan pegawai UP2 yang melaksanakan
pemeriksaan;

b) Kepala Kanwil DJP, dalam hal Tenaga Ahli tersebut merupakan pegawai di luar KPP yang
melaksanakan pemeriksaan tetapi masih dalam satu wilayah Kanwil DJP yang bersangkutan;
atau

c) Sekretaris DJP, dalam hal Tenaga Ahli tersebut merupakan pegawai selain huruf a) dan b).

4) Permintaan Tenaga Ahli ditujukan kepada:

a) Kepala Kanwil DJP dalam hal sebagaimana dimaksud angka 3) huruf b); atau

b) Direktur P2 dalam hal sebagaimana dimaksud angka 2) dan 3) huruf c), dengan
menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.5 Surat
Edaran ini.
5) Masa tugas Tenaga Ahli berlaku sampai dengan berakhirnya pemeriksaan.

j. Bimbingan Teknis (Bimtek) Pemeriksaan

1) Direktur P2 atau Kepala Kanwil DJP atasan KPP dapat melakukan Bimbingan Teknis
(Bimtek) Pemeriksaan baik dengan atau tanpa permintaan dari tim Pemeriksa Pajak.

2) Kepala KPP dapat menugaskan Fungsional Pemeriksa Pajak untuk melakukan Bimtek
Pemeriksaan terhadap pemeriksaan yang dilakukan oleh Petugas
Pemeriksa Pajak.

3) Bimtek Pemeriksaan merupakan asistensi teknis yang bersifat konsultatif dan tidak
mengikat tim Pemeriksa Pajak.

4) Bimtek Pemeriksaan dilakukan untuk:

a) pemeriksaan Wajib Pajak yang memerlukan keahlian khusus antara lain pemeriksaan
Wajib Pajak perbankan, pertambangan, dan Wajib Pajak yang terindikasi melakukan
transaksi yang terkait dengan transfer pricing; atau

b) pemeriksaan yang dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak.

5) Permintaan Bimtek Pemeriksaan oleh tim Pemeriksa Pajak dilakukan dengan


menyampaikan surat yang berisi permintaan Bimtek Pemeriksaan kepada Direktur P2 atau
Kepala Kanwil DJP melalui Kepala KPP.

6) Pelaksanaan Bimtek Pemeriksaan dituangkan dalam berita acara Bimtek Pemeriksaan yang
ditandatangani kedua belah pihak sebagaimana contoh
dalam Lampiran I.6 Surat Edaran ini.

k. Jangka Waktu Pengujian dan Perpanjangannya Dalam rangka meningkatkan produktivitas


pemeriksaan, perlu dilakukan percepatan penyelesaian pemeriksaan dengan menetapkan
jangka waktu pengujian pemeriksaan menjadi sebagai berikut:

1) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Khusus berdasarkan Keterangan Lain Berupa Data
Konkret paling lama 1 (satu) bulan dan tidak dapat diperpanjang.

2) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama
adalah:

a) Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan dan tidak dapat diperpanjang.

b) Untuk Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan dan tidak dapat diperpanjang.

3) Jangka waktu pengujian pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang terdaftar di KPP selain
KPP Pratama adalah:

a) Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang
paling lama 1 (satu) bulan dan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
b) Untuk Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang paling
lama 1 (satu) bulan dan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.

4) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Khusus Bea Meterai terhadap Wajib Pajak yang
mendapatkan izin pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi paling lama 2 (dua)
bulan dan tidak dapat diperpanjang.

5) Jangka waktu pemeriksaan terhadap objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor
Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (P-3) atas Wajib Pajak
yang tidak mengembalikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) sesuai dengan
ketentuan Tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian PBB.

6) Jangka waktu pemeriksaan selain pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1)


sampai dengan angka 4) sesuai dengan ketentuan Tata Cara
Pemeriksaan Pajak yang berlaku.

7) Jangka waktu pengujian untuk Pemeriksaan Lapangan yang terkait dengan:

a) Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi (KKKS Migas),

b) Wajib Pajak dalam satu grup, atau

c) Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi yang terkait dengan transfer pricing
dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan dapat
diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan dan paling banyak 2 (dua) kali.

8) Khusus untuk pemeriksaan dengan ruang lingkup pemeriksaan satu atau beberapa jenis
pajak, maka jangka waktu pengujian pemeriksaan paling lama
2 (dua) bulan dan tidak dapat diperpanjang.

9) Prosedur perpanjangan jangka waktu pengujian diatur sebagai berikut:

a) Pemeriksa Pajak harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pengujian


kepada Kepala UP2 dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.7
Surat Edaran ini.

b) Permohonan perpanjangan jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada huruf a)


harus disampaikan sebelum jangka waktu pengujian berakhir.

c) Persetujuan atau penolakan perpanjangan jangka waktu pengujian harus disampaikan oleh
Kepala UP2 kepada Pemeriksa Pajak sebelum jangka waktu pengujian berakhir dengan
menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.8 atau Lampiran I.9 Surat
Edaran ini.

d) Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu pengujian disetujui, Pemeriksa Pajak
harus menyampaikan pemberitahuan perpanjangan tersebut kepada Wajib Pajak dengan
menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.10 Surat Edaran ini.
e) Dalam hal perpanjangan jangka waktu pengujian terkait pemeriksaan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada angka 6), perpanjangan jangka waktu pengujian dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:

i. prosedur perpanjangan jangka waktu pengujian harus dilakukan setiap kali akan dilakukan
perpanjangan jangka waktu pengujian; dan

ii. dilakukan sebelum jangka waktu perpanjangan sebelumnya berakhir.

10) Dalam hal Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor dilakukan berdasarkan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, jangka
waktu pemeriksaan harus tetap memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU
KUP.

l. Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP)

1) Hasil pemeriksaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian SPHP
yang dilampiri dengan daftar temuan hasil pemeriksaan;

2) Dalam hal terdapat data baru atau data yang semula belum terungkap pada saat pengujian,
maka Pemeriksa Pajak dapat melakukan revisi atas SPHP
sepanjang:

a) data tersebut baru ditemukan setelah penyampaian SPHP, misalnya data hasil konfirmasi
dari pihak ketiga;

b) undangan pembahasan akhir belum dikirimkan kepada Wajib Pajak; dan

c) masih dalam jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan.

3) Revisi atas SPHP hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.

4) Dalam hal dilakukan revisi SPHP maka atas Wajib Pajak tetap diberikan hak untuk
menyampaikan tanggapan tertulis atas revisi SPHP tersebut, termasuk
perpanjangannya.

5) Format SPHP sekurang-kurangnya sesuai dengan contoh format dalam ketentuan Tata
Cara Pemeriksaan yang berlaku.

m. Penyelesaian Pemeriksaan

1) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Sumir


karena Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak memenuhi panggilan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2015, dilakukan dalam hal:

a) untuk Pemeriksaan Lapangan, dengan ketentuan:


i. yang dimaksud dengan Wajib Pajak tidak ditemukan adalah apabila Wajib Pajak atau
wakil/kuasa/pegawai/anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa
tidak ditemukan dalam jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada huruf k;

ii. Wajib Pajak tidak ditemukan sebagaimana dimaksud pada angka romawi i sekurang-
kurangnya dibuktikan dengan surat keterangan dari pejabat kelurahan/RT/RW setempat atau
dari pengelola tempat tinggal/tempat kedudukan/tempat kegiatan usaha Wajib Pajak;

iii. LHP Sumir dapat mulai dibuat setelah jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tim Pemeriksa
Pajak harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan; dan

iv. LHP Sumir harus dilampiri dengan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada angka
romawi ii.

b) untuk Pemeriksaan Kantor, dengan ketentuan:

i. yang dimaksud dengan Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan pemeriksaan adalah apabila
dalam jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada huruf k sejak Surat Panggilan
Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dikirimkan, Surat Panggilan tersebut dikembalikan oleh
pihak pos atau jasa pengiriman lainnya; dan

ii. LHP Sumir harus dilampiri dengan bukti pengembalian Surat Panggilan tersebut oleh
pihak pos atau jasa pengiriman lainnya.

c) fotokopi LHP Sumir sebagaimana dimaksud pada huruf a) atau huruf b) harus dikirimkan
kepada Seksi Pengawasan dan Konsultasi terkait atau Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir karena Wajib Pajak


memanfaatkan Pasal 8 ayat (3), Pasal 44B, atau diterbitkan SKPKB Pasal 13A UU KUP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2015 dilakukan dengan ketentuan:

a) LHP Sumir diselesaikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya
hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan

b) penyelesaian pemeriksaan tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah LHP Sumir diselesaikan.

3) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir karena Wajib Pajak


memanfaatkan Pasal 44B UU KUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015
dilakukan dengan ketentuan:

a) LHP Sumir diselesaikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah penyidikan
dihentikan; dan
b) penyelesaian pemeriksaan tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah LHP Sumir diselesaikan.

4) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir terkait dengan Pemeriksaan Ulang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 harus diberitahukan
secara tertulis kepada Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah LHP Sumir
diselesaikan.

5) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir karena pertimbangan Dirjen Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf e Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2015 dapat dilakukan terhadap instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan
yang telah diterbitkan SP2 namun telah daluwarsa penetapannya atau karena adanya
pertimbangan lain dari Dirjen Pajak.

6) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir karena pertimbangan Dirjen Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf e Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2015 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) penyelesaian pemeriksaan hanya dapat dilakukan setelah ada surat perintah Dirjen Pajak
kepada Kepala UP2 untuk menyelesaikan pemeriksaan dengan LHP Sumir; dan

b) penyelesaian pemeriksaan tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah LHP Sumir diselesaikan.

7) Terhadap pemeriksaan yang dihentikan dengan membuat LHP Sumir sebagaimana


dimaksud pada angka 1), angka 2) selain yang diterbitkan SKPKB
sesuai dengan Pasal 13A UU KUP, angka 3), dan angka 5), dapat dilakukan pemeriksaan
kembali di kemudian hari melalui prosedur Pemeriksaan Khusus
dan atas pemeriksaan dimaksud bukan merupakan Pemeriksaan Ulang.

8) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22


ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 dilakukan dengan
ketentuan:

a) Pemeriksaan Lapangan:

i. yang dimaksud dengan Wajib Pajak tidak ditemukan adalah apabila Wajib Pajak atau
wakil/kuasa/pegawai/anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa
tidak ditemukan dalam jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud dalam huruf k;

ii. Wajib Pajak tidak ditemukan sebagaimana dimaksud pada huruf i sekurang-kurangnya
dibuktikan dengan surat keterangan dari pejabat kelurahan/RT/RW setempat atau dari
pengelola tempat tinggal/tempat kedudukan/tempat kegiatan usaha Wajib Pajak; dan
iii. meskipun Wajib Pajak tidak ditemukan sebagaimana dimaksud pada huruf i, pemeriksaan
harus diselesaikan dengan membuat LHP sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak
(skp), dengan terlebih dahulu melakukan prosedur SPHP dan Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan;

b) Pemeriksaan Kantor:

i. yang dimaksud dengan Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan pemeriksaan adalah apabila
Wajib Pajak atau wakil/kuasa/ pegawai/anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak
yang diperiksa tidak datang dalam memenuhi surat panggilan dalam jangka waktu pengujian
sebagaimana dimaksud dalam huruf k; dan

ii. meskipun Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan pemeriksaan, pemeriksaan harus
diselesaikan dengan membuat LHP sebagai dasar penerbitan skp, dengan terlebih dahulu
melakukan prosedur SPHP dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;

9) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP karena Pemeriksaan Bukti Permulaan


dan Penyidikan tidak terbukti sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) huruf e dan huruf f Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015
dilakukan dengan ketentuan:

a) perpanjangan jangka waktu pengujian paling lama 2 (dua) bulan; dan

b) proses penyelesaian pemeriksaan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-


undangan.

10) Apabila Masa Pajak/Bagian Tahun Pajak/Tahun Pajak yang diperiksa telah daluwarsa
penetapannya, namun belum daluwarsa penuntutan dan ditemukan
adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, maka Pemeriksa Pajak dapat
mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

n. Perluasan Pemeriksaan

1) Pemeriksaan diperluas ke Tahun-Tahun Pajak atau Masa-Masa Pajak yang belum


dilakukan pemeriksaan, dalam hal:

a) Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh untuk Tahun-Tahun Pajak sebelumnya yang
menyatakan rugi; atau

b) SPT Masa PPN untuk Masa-Masa Pajak sebelumnya menyatakan lebih bayar yang
dikompensasikan (SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi).

2) Perluasan pemeriksaan yang disebabkan karena alasan sebagaimana dimaksud pada angka
1) huruf a) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) dalam hal Kepala KPP akan mengusulkan Pemeriksaan Rutin untuk satu atau seluruh jenis
pajak atas suatu Tahun Pajak maka:
i. sebelum usulan tersebut dilakukan, Kepala Seksi Pemeriksaan harus melakukan penelitian
terhadap SPT Tahunan PPh Tahun-Tahun Pajak sebelumnya;

ii. dalam hal berdasarkan hasil penelitian terdapat SPT yang menyatakan rugi untuk Tahun-
Tahun Pajak sebelumnya, terhadap SPT yang menyatakan rugi tersebut harus diusulkan untuk
dilakukan pemeriksaan sepanjang mempunyai pengaruh kompensasi; dan

iii. pengusulan harus dilakukan bersamaan dengan pengusulan Pemeriksaan Rutin untuk satu
atau seluruh jenis pajak dimaksud;

b) dalam hal Kepala UP2 menerima persetujuan/instruksi Pemeriksaan Khusus dari Kepala
Kanwil DJP atau instruksi Pemeriksaan Khusus dari Direktur P2 maka:

i. setelah menerima persetujuan atau instruksi tersebut, Kepala Seksi Pemeriksaan atau
Kepala Seksi Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan harus segera melakukan penelitian
terhadap SPT Tahunan PPh Tahun-Tahun Pajak sebelumnya;

ii. dalam hal berdasarkan hasil penelitian terdapat SPT yang menyatakan rugi untuk Tahun-
Tahun Pajak sebelumnya, terhadap SPT yang menyatakan rugi tersebut harus diusulkan untuk
dilakukan pemeriksaan sepanjang mempunyai pengaruh kompensasi; dan

iii. pengusulan perluasan pemeriksaan dilakukan melalui:

i) mekanisme pengusulan Pemeriksaan Rutin dalam hal Pemeriksaan Khusus sedang


dilakukan oleh KPP; atau

ii) mekanisme pengusulan Pemeriksaan Khusus dalam hal Pemeriksaan Khusus sedang
dilakukan oleh selain KPP.

c) pengusulan pemeriksaan terhadap SPT yang menyatakan Rugi dapat dilakukan dengan
prosedur Pemeriksaan Rutin dengan kode pemeriksaan SPT yang menyatakan rugi atau
Pemeriksaan Khusus.

3) Perluasan pemeriksaan karena alasan sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf b)


dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) dalam hal Kepala KPP akan mengusulkan Pemeriksaan Rutin atas suatu SPT Masa PPN
maka:

i. sebelum usulan tersebut dilakukan, Kepala Seksi Pemeriksaan harus melakukan penelitian
terhadap SPT Masa PPN Masa-Masa Pajak sebelumnya;

ii. dalam hal berdasarkan hasil penelitian terdapat SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi
untuk Masa-Masa Pajak sebelumnya, terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi
tersebut harus diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan; dan

iii. pengusulan perluasan pemeriksaan harus dilakukan bersamaan dengan pengusulan


Pemeriksaan Rutin;
b) Dalam hal Kepala UP2 menerima persetujuan/instruksi Pemeriksaan Khusus dari Kepala
Kanwil DJP atau instruksi Pemeriksaan Khusus dari Direktur P2 maka:

i. segera setelah menerima persetujuan atau instruksi tersebut, Kepala Seksi Pemeriksaan atau
Kepala Seksi Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan harus melakukan penelitian terhadap
SPT Masa PPN Masa-Masa Pajak sebelumnya;

ii. dalam hal berdasarkan penelitian terdapat SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi untuk
Masa-Masa Pajak sebelumnya, terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi tersebut
harus diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan sepanjang mempunyai pengaruh kompensasi;
dan

iii. pengusulan perluasan pemeriksaan dilakukan melalui pengusulan Pemeriksaan Rutin atau
Pemeriksaan Khusus untuk satu jenis pajak.

c) pengusulan perluasan pemeriksaan terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi
dilakukan dengan prosedur Pemeriksaan Rutin dengan kode pemeriksaan SPT Masa PPN
Lebih Bayar atau Pemeriksaan Khusus.

o. Pemeriksaan Lokasi

1) Pemeriksaan Lokasi adalah pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan dan/atau kegiatan


usaha di lokasi selain domisili Wajib Pajak.

2) Pemeriksaan Lokasi dilakukan oleh:

a) UP2 Lokasi; dan/atau

b) UP2 Domisili sesuai dengan kewenangan wilayah kerjanya.

3) UP2 Lokasi dapat melakukan Pemeriksaan Lokasi berdasarkan:

a) permintaan dari UP2 Domisili, atau

b) kriteria Pemeriksaan Rutin atau Pemeriksaan Khusus

4) Dalam hal UP2 Domisili melakukan Pemeriksaan Lapangan untuk seluruh jenis pajak
maka UP2 Domisili dapat melakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi dan permintaan
penghitungan peredaran usaha Wajib Pajak yang berada di tempat kegiatan Wajib Pajak di
lokasi kepada UP2 Lokasi yang telah
ditetapkan dalam Audit Plan.

5) Pemeriksaan Lokasi berdasarkan permintaan UP2 Domisili sebagaimana dimaksud pada


angka 4) dilakukan dengan mengacu pada kriteria pemeriksaan yang dilakukan oleh UP2
Domisili, yaitu Pemeriksaan Rutin atau Pemeriksaan Khusus.

6) SP2 untuk Pemeriksaan Lokasi berdasarkan permintaan UP2 Domisili sebagaimana


dimaksud pada angka 4) diterbitkan berdasarkan permintaan
Pemeriksaan Lokasi dari UP2 Domisili setelah Audit Plan dibuat.
7) Surat permintaan Pemeriksaan Lokasi sebagaimana dimaksud pada angka 4) harus dikirim
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan Lapangan disampaikan atau Surat Panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor
dikirim kepada Wajib Pajak Domisili (WP Domisili), dengan menggunakan formulir
sebagaimana contoh dalam Lampiran I.11 Surat Edaran ini.

8) Tanggal pengiriman Surat permintaan Pemeriksaan Lokasi sebagaimana dimaksud pada


angka 7) adalah tanggal pada cap pos atau tanggal terima
faksimili.

9) Surat permintaan Pemeriksaan Lokasi harus disertai dengan fotokopi Audit Plan, fotokopi
tanda terima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau
fotokopi bukti pengiriman Surat Panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor.

10) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lokasi paling lama 2 (dua) bulan dan tidak dapat
diperpanjang.

11) Setelah pemeriksaan oleh UP2 Lokasi selesai, Kepala UP2 Lokasi mengirimkan salinan
LHP dan/atau Alat Keterangan perihal besarnya peredaran usaha Wajib Pajak yang berada di
tempat kegiatan Wajib Pajak di lokasi kepada Kepala UP2 Domisili paling lambat 3 (tiga)
hari kerja setelah tanggal LHP.

12) Dalam hal terdapat permintaan Pemeriksaan Lokasi maka hasil pemeriksaan UP2
Domisili harus mencakup hasil pemeriksaan Lokasi, kecuali:

a) SPT Tahunan PPh WP Domisili menunjukan lebih bayar dan akan segera jatuh tempo; atau

b) Pemeriksaan Lokasi belum diselesaikan sampai dengan LHP UP2 Domisili dibuat.

13) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh UP2 Domisili yang wilayah kerjanya seluruh
Indonesia yaitu Direktorat P2, UP2 di lingkungan Kanwil DJP Wajib
Pajak Besar, dan UP2 di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, Pemeriksaan Lokasi dapat
dilakukan oleh:

a) UP2 Domisili tanpa melakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi kepada Kepala UP2
Lokasi; dan/atau

b) UP2 Lokasi berdasarkan permintaan Pemeriksaan Lokasi dari UP2 Domisili.

14) Dalam hal UP2 Domisili yang wilayah kerjanya seluruh Indonesia yaitu Direktorat P2,
UP2 di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, dan UP2
di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus melakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi
kepada Kepala UP2 Lokasi dan sampai dengan pemeriksaan UP2
Domisili akan selesai namun Pemeriksaan Lokasi belum diselesaikan, maka:

a) UP2 Domisili dapat membatalkan permintaan Pemeriksaan Lokasi;

b) UP2 Domisili melakukan pemeriksaan dan menghitung kewajiban perpajakan UP2 Lokasi
berdasarkan data yang ada; dan
c) UP2 Domisili mengirimkan LHP dan Nota Penghitungan (Nothit) kepada UP2 Lokasi.

15) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh UP2 Domisili yang wilayah kerjanya meliputi
satu Kanwil DJP, yaitu KPP Madya, Pemeriksaan Lokasi di dalam wilayah kerjanya dapat
dilakukan oleh:

a) UP2 Domisili tanpa melakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi kepada Kepala UP2
Lokasi; dan/atau

b) UP2 Lokasi berdasarkan permintaan Pemeriksaan Lokasi dari UP2 Domisili.

16) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh UP2 Domisili sebagaimana dimaksud pada angka
13) huruf a), angka 14, dan angka 15) huruf a), UP2 Domisili harus menyampaikan
pemberitahuan kepada UP2 Lokasi.

17) Dalam hal UP2 Lokasi sedang melakukan Pemeriksaan Lokasi berdasarkan permintaan
UP2 Domisili, Pemeriksa Pajak UP2 Domisili baik KPP Pratama atau KPP Madya yang WP
Lokasinya terdaftar di luar wilayah kerjanya dapat melakukan pemeriksaan di lokasi kegiatan
usaha Wajib Pajak tersebut dengan terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan
kepada Kepala UP2 Lokasi dan ditembuskan kepada Kepala Kanwil DJP atasannya dengan
menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.12 Surat Edaran ini.

18) Berdasarkan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada angka 17), Kepala UP2
Lokasi menerbitkan surat tugas pendampingan kepada tim
Pemeriksa Pajak Lokasi untuk mendampingi tim Pemeriksa Pajak UP2 Domisili dengan
menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.13 Surat Edaran ini.

19) Pemeriksaan oleh tim Pemeriksa Pajak UP2 Domisili sebagaimana dimaksud pada angka
17) harus dilakukan secara bersamaan dengan tim Pemeriksa Pajak UP2 Lokasi.

20) Dalam hal UP2 Domisili melakukan Pemeriksaan Lokasi maka UP2 Domisili harus
menyampaikan fotokopi LHP yang telah direkam pada aplikasi SIDJP
beserta Nota Penghitungan (Nothit) kepada Kepala UP2 Lokasi paling lambat 3 (tiga) hari
kerja setelah tanggal LHP.

p. Pengalihan Pemeriksaan

1) Pengalihan pemeriksaan dilakukan karena Wajib Pajak pindah tempat terdaftar (domisili)
dari satu KPP ke KPP lain sepanjang:

a) instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan telah diterbitkan; dan

b) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka


Pemeriksaan Kantor belum disampaikan kepada Wajib Pajak.

2) Pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) tidak dapat dilakukan


dalam hal pemeriksaan dalam rangka permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP yang batas
waktu penerbitan skp-nya kurang dari 6 (enam) bulan, dan
pemeriksaan tersebut harus diselesaikan oleh UP2 lama.
3) Pengalihan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang pindah domisili ke KPP lain tetapi
masih dalam wilayah kerja Kanwil DJP yang sama, dilakukan oleh:

a) Direktur P2 untuk pemeriksaan yang instruksi/persetujuannya diterbitkan oleh Dirjen Pajak


atau Direktur P2;

b) Kepala Kanwil DJP untuk pemeriksaan yang instruksi/persetujuan/ penugasannya


diterbitkan oleh Kepala Kanwil DJP; atau

c) Kepala Kanwil DJP atasan UP2 Lokasi untuk Pemeriksaan Lokasi karena adanya
permintaan dari UP2 Domisili.

4) Pengalihan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang pindah domisili ke KPP lain di luar
wilayah kerja Kanwil DJP atasan KPP lama, dilakukan oleh Direktur P2.

5) Usulan pengalihan pemeriksaan disampaikan oleh Kepala UP2 lama kepada Direktur P2
atau Kepala Kanwil DJP dengan menggunakan formulir
sebagaimana contoh dalam Lampiran I.14 Surat Edaran ini.

6) Dalam hal usulan pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 5) disetujui,
maka persetujuan disampaikan kepada Kepala UP2 baru
dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.15 Surat Edaran ini
dan ditembuskan kepada Kepala UP2 lama, Kepala Kanwil DJP
atasan UP2 baru dan/atau UP2 lama.

7) Dalam hal usulan pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 5) ditolak,
maka penolakan disampaikan kepada Kepala UP2 lama
dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.16 Surat Edaran ini
dan ditembuskan kepada Kepala KPP baru tempat Wajib Pajak
terdaftar.

8) Surat persetujuan pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 6)


digunakan sebagai dasar penerbitan SP2 pada UP2 baru.

9) Terhadap pemeriksaan yang ditolak pengalihan pemeriksaannya sebagaimana dimaksud


pada angka 7) atau tidak dapat dialihkan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:

a) pemeriksaan tetap diselesaikan oleh UP2 lama sampai dengan penerbitan Nothit;

b) LHP dan Nothit harus menggunakan identitas baru;

c) terhadap pemeriksaan yang terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan


pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B
UU KUP maka LHP dan Nothit sudah harus dikirim ke KPP baru tempat Wajib Pajak
terdaftar paling lambat 1 (satu) bulan sebelum jatuh tempo penyelesaian permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak; dan

d) terhadap pemeriksaan selain sebagaimana dimaksud pada huruf c, LHP dan Nothit harus
dikirim ke KPP baru tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah
tanggal LHP.
10) Terhadap pemeriksaan yang disetujui untuk dialihkan, UP2 lama yang pemeriksaannya
dialihkan berlaku ketentuan sebagai berikut:

a) tidak dibuatkan LHP Sumir; dan

b) dalam hal sudah dilakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi ke UP2 Lokasi, maka
berdasarkan tembusan surat persetujuan pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
angka 6), UP2 lama memberitahukan kepada seluruh UP2 Lokasi bahwa pemeriksaannya
sudah dialihkan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.17
Surat Edaran ini.

q. Pembatalan Penugasan Pemeriksaan

1) Pembatalan penugasan pemeriksaan dilakukan dengan alasan sebagai berikut:

a) terdapat kesalahan administrasi yang bersifat manusiawi (human error), seperti kesalahan:

i. nama Wajib Pajak;

ii. NPWP;

ii. Jenis Pajak;

iv. Masa Pajak;

v. Tahun Pajak;

vi. kode pemeriksaan;

vii. tujuan pemeriksaan; atau

viii. penunjukan UP2 sepanjang SPHP belum disampaikan kepada Wajib Pajak;

b) pemeriksaan belum dimulai dan Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT Lebih Bayar
menjadi selain SPT Lebih Bayar;

c) berdasarkan pertimbangan Dirjen Pajak.

2) Dalam hal Wajib Pajak melakukan Pembetulan SPT selain sebagaimana dimaksud pada
angka 1) huruf b) sebelum Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Lapangan disampaikan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dikirimkan
oleh Pemeriksa Pajak, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan melakukan penyesuaian Audit
Plan.

3) Pembatalan penugasan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan


dengan ketentuan sebagai berikut:\

a) terhadap instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan yang diterbitkan oleh:

i. Dirjen Pajak, pembatalan penugasan pemeriksaannya dilakukan oleh Dirjen Pajak;


ii. Direktur P2, pembatalan penugasan pemeriksaannya dilakukan oleh Direktur P2; dan

iii. Kepala Kanwil DJP, pembatalan penugasan pemeriksaannya dilakukan oleh Kepala
Kanwil DJP;

iv. Kepala KPP, pembatalan penugasan pemeriksaannya dilakukan oleh Kepala KPP.

b) usulan pembatalan penugasan pemeriksaan oleh Kepala UP2 kepada Dirjen Pajak,
Direktur P2, Kepala Kanwil DJP, atau Kepala KPP dilakukan dengan menggunakan formulir
sebagaimana contoh dalam Lampiran I.18 Surat Edaran ini.

c) Dirjen Pajak, Direktur P2, Kepala Kanwil DJP, atau Kepala KPP memberikan persetujuan
atau penolakan atas usulan pembatalan penugasan pemeriksaan dengan menggunakan
formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.19 atau Lampiran I.20 Surat Edaran ini;

d) Direktur P2, Kepala Kanwil DJP, atau Kepala KPP selaku pihak yang menerbitkan
instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan, dapat melakukan pembatalan penugasan
pemeriksaan tanpa berdasarkan usulan dari Kepala UP2;

e) pembatalan penugasan pemeriksaan sebagaimana dimaksud padahuruf d) dilakukan


dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.21 Surat Edaran ini;

f) terhadap penugasan pemeriksaan yang dibatalkan, tidak dibuatkan LHP Sumir.

4) Pembatalan persetujuan atau instruksi Pemeriksaan Ulang dilakukan dengan ketentuan


sebagai berikut:

a) pembatalan dapat dilakukan sepanjang skp hasil pemeriksaan belum diterbitkan;

b) pembatalan dilakukan dengan menerbitkan surat Dirjen Pajak mengenai pembatalan


penugasan pemeriksaan;

c) pembatalan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

i. Dirjen Pajak memberikan perintah kepada Direktur P2 atau Kepala Kanwil DJP untuk
membatalkan penugasan pemeriksaan;

ii. Direktur P2 atau Kepala Kanwil DJP membuat konsep surat Dirjen Pajak tentang
Pembatalan Penugasan Pemeriksaan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh
dalam Lampiran I.22 Surat Edaran ini;

iii. Dirjen Pajak menandatangani surat Dirjen Pajak tentang Pembatalan Penugasan
Pemeriksaan dan disampaikan kepada Kepala UP2; dan

iv. terhadap penugasan pemeriksaan yang dibatalkan, tidak dibuat LHP Sumir.

5) Dalam hal pemeriksaan yang dibatalkan penugasannya sebagaimana dimaksud pada angka
3) atau angka 4) terdapat permintaan Pemeriksaan Lokasi, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) berdasarkan surat pembatalan penugasan pemeriksaan, Kepala UP2 Domisili mengirimkan
surat pemberitahuan pembatalan penugasan pemeriksaan kepada Kepala UP2 Lokasi dengan
menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.23 Surat Edaran ini;

b) berdasarkan surat pemberitahuan pembatalan penugasan pemeriksaan dari UP2 Domisili,


Kepala UP2 Lokasi mengajukan permohonan pembatalan penugasan pemeriksaan kepada
Kepala Kanwil DJP atasannya sepanjang UP2 Lokasi belum:

i. menyampaikan SPHP, terkait dengan pembatalan pemeriksaan pada angka 1) huruf a); atau

ii. menerbitkan skp, terkait dengan pembatalan pemeriksaan pada angka 1) huruf c), dengan
menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.24 Surat Edaran ini;

c) surat pembatalan penugasan pemeriksaan dari UP2 Lokasi sebagaimana dimaksud pada
huruf b), digunakan oleh Kepala Kanwil DJP atasan UP2 Lokasi untuk melakukan
pembatalan Nomor Pengawasan Pemeriksaan (NP2) dengan menggunakan formulir
sebagaimana contoh dalam Lampiran I.25 Surat Edaran ini.

6) Dalam hal Pemeriksaan Lokasi dibatalkan penugasannya, WP Lokasi tidak terdaftar di


wilayah kerja UP2 Lokasi dimaksud, atau terhadap WP Lokasi sudah pernah dilakukan
pemeriksaan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:

a) Permohonan pembatalan pemeriksaan Lokasi dilakukan Kepala UP2 Lokasi kepada


Kepala Kanwil DJP atasan UP2 Lokasi dengan mengirimkan surat permohonan sebagaimana
contoh dalam Lampiran I.26 Surat Edaran ini;

b) Berdasarkan surat Permohonan Pembatalan Pemeriksaan Lokasi, Kepala Kanwil DJP


atasan UP2 Lokasi membuat dan mengirimkan surat Persetujuan atau Penolakan Pembatalan
Pemeriksaan Lokasi kepada Kepala UP2 Lokasi sebagaimana contoh dalam Lampiran I.27
atau Lampiran I.28 Surat Edaran ini;

c) Dalam hal Kanwil DJP menyetujui Pembatalan Pemeriksaan Lokasi sebagaimana


dimaksud pada huruf b), Kepala UP2 Lokasi mengirimkan surat pemberitahuan kepada
Kepala UP2 Domisili yang menyatakan bahwa UP2 Lokasi tidak dapat melakukan
Pemeriksaan Lokasi dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran
I.29 Surat Edaran ini dan ditembuskan kepada Kepala Kanwil DJP atasan UP2 Lokasi dan
Kepala Kanwil DJP atasan UP2 Domisili;

d) dalam hal terhadap WP Lokasi sudah pernah dilakukan pemeriksaan maka bersamaan
dengan surat sebagaimana dimaksud pada huruf c) dilampirkan fotokopi LHP Lokasi;

e) surat permohonan pembatalan penugasan pemeriksaan dari UP2 Lokasi sebagaimana


dimaksud pada huruf a), digunakan oleh Kepala Kanwil DJP atasan UP2 Lokasi untuk
melakukan pembatalan NP2 dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam
Lampiran I.30 Surat Edaran ini.

7) Dalam hal dilakukan pembatalan penugasan pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan


Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor telah
disampaikan kepada Wajib Pajak, Kepala UP2 memberitahukan pembatalan penugasan
pemeriksaan tersebut kepada Wajib
Pajak dengan mengunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.31 Surat Edaran
ini.

r. Pembatalan Hasil Pemeriksaan

1) Pembatalan skp dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 ditindaklanjuti dengan pembatalan
LHP dan Nothit.

2) Pembatalan skp dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat
Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak.

3) Pembatalan LHP dan Nothit diatur sebagai berikut:

a) berdasarkan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Kepala UP2 membuat Nota
Dinas kepada Kepala Seksi Pemeriksaan untuk membatalkan LHP dan Nothit;

b) Kepala Seksi Pemeriksaan membuat berita acara pembatalan LHP dan Nothit dan
disampaikan kepada Direktur Teknologi dan Informasi
Perpajakan;

4) Terhadap pemeriksaan yang skp-nya dibatalkan sebagaimana dimaksud pada angka 1),
ditindaklanjuti dengan menyampaikan SPHP dan/atau melakukan
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

5) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada angka 4) dilakukan selambat- lambatnya 10


(sepuluh) hari kerja setelah Surat Keputusan Pelaksanaan Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak diterbitkan.

6) Jangka waktu pemeriksaan yang dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada angka 4) berlaku
ketentuan jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015.

7) dalam hal pemeriksaan yang dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada angka 4) terkait
dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) UU KUP, pemeriksaan dilanjutkan
dengan penerbitan:

a) skp sesuai dengan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan apabila jangka waktu 12 (dua
belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) UU KUP belum terlewati; atau

b) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sesuai dengan SPT apabila jangka waktu 12 (dua
belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) UU KUP terlewati.
8) Dalam hal susunan tim Pemeriksa Pajak untuk melanjutkan pemeriksaan berbeda dengan
susunan tim Pemeriksa Pajak sebelumnya, pemeriksaan
dilanjutkan setelah diterbitkan SP2 Perubahan kepada Pemeriksa Pajak yang ditunjuk.

s. Tim Quality Assurance (QA) Pemeriksaan

1) Tim QA Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 ditetapkan dengan Keputusan
Dirjen Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana
contoh dalam Lampiran I.32 Surat Edaran ini.

2) Tim QA Pemeriksaan ditetapkan pada setiap awal tahun.

3) Susunan Tim QA Pemeriksaan terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang sekretaris,
dan 3 (tiga) orang anggota.

4) Ketua Tim QA Pemeriksaan diisi oleh pejabat eselon III, dengan ketentuan:

a) pada Direktorat P2, dijabat oleh kepala subdirektorat di lingkungan Direktorat P2; dan

b) pada Kanwil DJP, dijabat oleh kepala bidang.

5) Sekretaris Tim QA Pemeriksaan diisi oleh pejabat eselon IV, dengan ketentuan:

a) pada Direktorat P2, dijabat oleh kepala seksi di lingkungan Direktorat P2; dan

b) pada Kanwil DJP, dijabat oleh kepala seksi di lingkungan Kanwil DJP.

6) Anggota Tim QA Pemeriksaan diisi oleh PNS di lingkungan DJP, dengan ketentuan:

a) pada Direktorat P2, diisi oleh:

i. kepala seksi di lingkungan Direktorat P2; dan/atau

ii. Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak di lingkungan Direktorat P2;

b) pada Kanwil DJP, diisi oleh:

i. kepala seksi di lingkungan Kanwil DJP; dan/atau

ii. Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak di lingkungan Kanwil DJP;

c) penunjukan Anggota Tim QA Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan kompetensi


pegawai yang bersangkutan; dan

d) dalam hal dipandang perlu Anggota Tim QA Pemeriksaan dapat diisi oleh kepala
seksi/Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak pada KPP di lingkungan Kanwil DJP.
7) Tim QA Pemeriksaan bertugas membahas perbedaan pendapat terkait dasar hukum koreksi
dan/atau penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan memberikan
simpulan serta keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa
Pajak.

8) Masa tugas Tim QA Pemeriksaan dimulai sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Dirjen
Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2) dan berakhir
pada tanggal 31 Desember untuk tahun yang bersangkutan.

9) Dalam hal dipandang perlu, Direktur P2 atau Kepala Kanwil DJP dapat mengubah susunan
Tim QA Pemeriksaan.

10) Pengadministrasian surat atau dokumen yang terkait dengan Tim QA Pemeriksaan
dilakukan oleh Seksi Pengendalian Mutu Pemeriksaan pada Direktorat P2 atau Seksi
Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan pada Kanwil DJP.

11) Pengadministrasian surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 10) dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:

a) dalam hal terdapat permohonan pembahasan dengan Tim QA Pemeriksaan maka Kepala
Seksi Pengendalian Mutu Pemeriksaan atau Kepala Seksi Administrasi Bimbingan
Pemeriksaan membuat undangan pembahasan dan menyampaikan undangan tersebut kepada
Wajib Pajak dan tim Pemeriksa Pajak, penyampaian undangan harus memperhatikan jangka
waktu dimulainya pembahasan oleh Tim QA Pemeriksaan;

b) Kepala Seksi Pengendalian Mutu Pemeriksaan atau Kepala Seksi Administrasi dan
Bimbingan Pemeriksaan membuat surat tugas yang ditandatangani oleh Direktur P2 atau
Kepala Kanwil DJP untuk menunjuk Tim QA Pemeriksaan yang ditugaskan untuk
melakukan pembahasan;

c) surat tugas diterbitkan dengan menggunakan format surat tugas sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pedoman tata naskah dinas; dan

d) setiap Risalah Tim QA Pemeriksaan yang dibuat oleh Tim QA Pemeriksaan


diadministrasikan pada Seksi Pengendalian Mutu Pemeriksaan atau Seksi Administrasi dan
Bimbingan Pemeriksaan.

12) Tim QA Pemeriksaan yang melakukan pembahasan adalah Tim QA Pemeriksaan yang di
dalamnya tidak terdapat Pejabat Fungsional Pemeriksa
Pajak yang melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mengajukan permohonan
pembahasan dengan Tim QA Pemeriksaan.

13) Pembahasan dengan Tim QA Pemeriksaan tidak dilakukan dalam hal jangka waktu
pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 telah berakhir.

14) Terkait dengan permohonan Wajib Pajak untuk dilakukan pembahasan dengan Tim QA
Pemeriksaan, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Pemeriksa Pajak harus segera menginformasikan kepada Kepala Subdirektorat Teknik dan
Pengendalian Pemeriksaan atau Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan
Penyidikan mengenai permohonan Wajib Pajak tersebut; dan

b) setelah mendapatkan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf

a), Kepala Subdirektorat Teknik dan Pengendalian Pemeriksaan atau Kepala Bidang
Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan harus memantau surat permohonan Wajib
Pajak tersebut untuk segera ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

t. Penetapan Untuk Masa Pajak Sebelum Wajib Pajak Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) Dalam hal Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan belum dikukuhkan sebagai PKP dan ditemukan potensi
PPN terutang, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:

1) Selain mengusulkan penerbitan skp dan/atau Surat Tagihan Pajak (STP) sesuai dengan
Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang sedang
dilakukan pemeriksaan, Pemeriksa Pajak:

a) harus mengusulkan pengukuhan PKP secara jabatan berdasarkan hasil pemeriksaan yang
sedang dilakukan; dan

b) mengusulkan pemeriksaan untuk Masa Pajak yang terdapat potensi PPN berdasarkan
analisis risiko.

2) Berdasarkan usulan Tim Pemeriksa Pajak, Kepala KPP melalui Kepala Seksi
Ekstensifikasi dan Penyuluhan mengukuhkan PKP secara jabatan.

3) Penetapan/penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)/STP untuk Masa


Pajak sebelum dikukuhkan sebagai PKP dilakukan dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a) UU KUP dan Pasal 24 PP Nomor 74 Tahun
2011.

4) Penetapan/penerbitan SKPKB/STP untuk Masa Pajak sebelum dikukuhkan sebagai PKP


juga dapat dilakukan apabila pengukuhan PKP dilakukan
berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2) UU KUP serta Pasal 24 PP Nomor 74 Tahun 2011.

u. Pemeriksaan Untuk Masa Pajak Sebelum PKP Melakukan Pemusatan Tempat Terutang
PPN

1) Terhadap kewajiban PPN untuk Masa Pajak sebelum dan Masa Pajak setelah PKP
melakukan pemusatan tempat terutang PPN dapat dilakukan pemeriksaan.

2) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan untuk Masa Pajak
sebelum PKP melakukan pemusatan tempat terutang PPN, pemeriksaan dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a) UP2 yang berwenang melakukan pemeriksaan adalah UP2 tempat pemusatan dilakukan
(UP2 baru);

b) dalam hal dilakukan pemeriksaan terhadap salah satu cabang yang dipusatkan, maka
terhadap kewajiban PPN dari seluruh cabang yang dipusatkan harus dilakukan pemeriksaan
secara bersamaan;

c) pengusulan dan penugasan pemeriksaan, penerbitan SP2, pembuatan Kertas Kerja


Pemeriksaan (KKP) dan LHP, penerbitan skp dan/atau STP, dan penerbitan dokumen
administratif lainnya dilakukan dengan menggunakan identitas PKP yang melakukan
pemusatan;

d) prosedur pengusulan pemeriksaan dilakukan dengan mekanisme Pemeriksaan Rutin atau


Pemeriksaan Khusus.

2. Pemeriksaan Rutin

a. Kebijakan Umum

1) Pemeriksaan Rutin merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang:

a) diwajibkan oleh UU KUP; atau

b) dapat dilakukan oleh Dirjen Pajak (berdasarkan skala prioritas), sehubungan dengan
pengujian pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

2) Dalam rangka menjamin terpenuhinya kewajiban pelaksanaan Pemeriksaan Rutin, Kepala


KPP melalui Kepala Seksi Pemeriksaan harus membuat daftar
persediaan Wajib Pajak yang akan dilakukan Pemeriksaan Rutin dengan menggunakan
formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.33 Surat Edaran ini dan memutakhirkan
daftar tersebut setiap awal bulan berikutnya.

3) Pemeriksaan Rutin dapat dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor atau Pemeriksaan
Lapangan.

4) Penerbitan penugasan Pemeriksaan Rutin harus dilakukan dengan memperhatikan jangka


waktu penyelesaian pemeriksaan, agar penyelesaian pemeriksaannya tidak melewati
daluwarsa penetapan.

5) Dapat dilakukan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak atau gabungan antara Pejabat
Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa Pajak.

b. Alasan Pemeriksaan Rutin

Pemeriksaan Rutin dilakukan dalam hal:

1) Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar restitusi
(SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam:

a) Pasal 17B UU KUP; atau


b) Pasal 17C UU KUP tetapi memilih untuk tidak dilakukan pengembalian dengan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) dan meminta untuk
direstitusikan, atau tidak dapat diberikan pengembalian dengan SKPPKP.

2) Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT
Masa PPN Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam:

a) Pasal 17B UU KUP;

b) Pasal 17C UU KUP tetapi memilih untuk dilakukan pengembalian melalui prosedur biasa,
atau tidak dapat diberikan pengembalian dengan SKPPKP; atau

c) Pasal 9 ayat (4c) UU PPN tetapi memilih untuk dilakukan pengembalian melalui prosedur
biasa, atau tidak dapat diberikan pengembalian dengan SKPPKP.

3) Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan
lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP;

4) Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi;

5) Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D
UU KUP serta Pasal 9 ayat (4c) UU PPN;

6) Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi;

7) Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran


usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi akan meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya; dan

8) Wajib Pajak melakukan:

a) perubahan tahun buku;

b) perubahan metode pembukuan; dan/atau

c) penilaian kembali aktiva tetap.

9) Wajib Pajak tidak mengembalikan SPOP PBB.

c. Pemeriksaan Rutin Terhadap SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi Pemeriksaan
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib;

2) memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan dan jangka waktu


penerbitan skp sebagaimana diatur dalam Pasal 17B UU KUP;
3) dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor apabila SPT Tahunan PPh Lebih Bayar
Restitusi disampaikan oleh:

a) Wajib Pajak badan yang pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh Otoritas
Jasa Keuangan (WP go public) dan menyampaikan SPT Tahunan PPh dengan dilampiri
laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29A UU KUP;

b) Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan:

i. laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh Akuntan
Publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum
Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh Akuntan Publik, dengan pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian; dan

ii. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan atau
penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir
tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;

c) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, atau
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tetapi memilih menghitung pajak terutang
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;

d) Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan selain Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada huruf a), b), dan c) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

i. surat yang dikirim ke alamat Wajib Pajak tidak pernah kembali pos (kempos);

ii. terdapat nomor telepon atau faksimili dan dapat dihubungi;

iii. pernah berkomunikasi atau konsultasi dengan pegawai yang melakukan fungsi
pengawasan terhadap Wajib Pajak;

iv. hasil kunjungan pegawai yang melakukan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak dapat
menggambarkan dengan jelas kegiatan usaha dan proses bisnis Wajib Pajak;

v. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh tepat waktu; atau

vi. hasil pemeriksaan pajak sebelumnya tidak mendapatkan koreksi atau mendapatkan
koreksi atas pos peredaran usaha dan/atau pembelian tetapi tidak bernilai material (koreksi di
bawah 5% dari peredaran usaha dan/atau pembelian);

e) Berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor, pemeriksaan atas Wajib Pajak sebagaimana


dimaksud pada huruf a) sampai dengan d) dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan
Lapangan.

4) Akuntan Publik sebagaimana yang dimaksud pada angka 3) huruf b) angka romawi i
adalah Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Akuntan Publik;
5) ruang lingkup pemeriksaan terhadap SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi dapat
meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak atau seluruh jenis pajak berdasarkan
pertimbangan Kepala KPP dengan memperhatikan potensi pajak, beban kerja pemeriksa, dan
jangka waktu pengujian;

6) dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan dilakukan Pemeriksaan
Kantor, maka pengujian dilakukan terhadap pos-pos yang sebagai berikut:

a) Penghasilan Bruto/Peredaran Usaha;

b) Kredit Pajak; dan

c) pos-pos lainnya tidak bersifat wajib, namun dapat dilakukan dalam hal Pemeriksa Pajak
memandang perlu untuk melakukan pengujian pos dimaksud yang memiliki potensi
ketidakpatuhan tinggi.

d. Pemeriksaan Rutin Terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi Pemeriksaan Rutin
atas SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi sebagaimana dimaksud
pada huruf b angka 2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib;

2) memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan dan jangka waktu


penerbitan skp sebagaimana diatur dalam Pasal 17B UU KUP;

3) dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor apabila SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi
disampaikan oleh:

a) Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan:

i. laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh Akuntan
Publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum
Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh Akuntan Publik, dengan pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian; dan

ii. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan atau
penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir
tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;

b) PKP selain sebagaimana dimaksud pada huruf a) dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:

i. surat yang dikirim ke alamat Wajib Pajak tidak pernah kempos;

ii. terdapat nomor telepon atau faksimili dan dapat dihubungi;

iii. pernah berkomunikasi atau konsultasi dengan pegawai yang melakukan fungsi
pengawasan terhadap Wajib Pajak;
iv. hasil kunjungan pegawai yang melakukan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak dapat
menggambarkan dengan jelas kegiatan usaha dan proses bisnis PKP;

v. PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN yang restitusi tepat waktu; dan/atau

vi. hasil pemeriksaan pajak sebelumnya tidak mendapatkan koreksi atau mendapatkan
koreksi atas Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tetapi tidak bernilai
material (koreksi di bawah 5% dari Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak);

c) Berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor, pemeriksaan atas Wajib Pajak sebagaimana


dimaksud pada huruf a) dan b) dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.

4) dalam hal pemeriksaan dilakukan terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi yang
terdapat kompensasi dari Masa-Masa Pajak sebelumnya, maka
pemeriksaan harus mencakup seluruh Masa Pajak yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi
tersebut dengan menerbitkan 2 (dua) SP2, yaitu 1 (satu)
SP2 untuk Masa Pajak yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi dan 1 (satu) SP2 untuk Masa
Pajak lainnya yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi;

5) dalam hal Masa Pajak lainnya yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi sebagaimana
dimaksud pada angka 4) mencakup lebih dari 1 (satu) Tahun
Pajak, maka SP2 yang diterbitkan adalah 1 (satu) SP2 untuk setiap Tahun Pajak;

6) mengingat hanya PKP tertentu saja yang dapat mengajukan restitusi pada setiap Masa
Pajak, maka pengusulan dan penugasan pemeriksaan harus
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4a) dan ayat (4b) UU
PPN;

7) ruang lingkup pemeriksaan meliputi satu jenis pajak yaitu PPN;

8) dalam hal terhadap PKP dilakukan Pemeriksaan Kantor, maka pengujian dilakukan
terhadap Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak,
dan Pajak yang dapat diperhitungkan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kebijakan
pemeriksaan atas SPT Masa PPN Lebih Bayar;

e. Pemeriksaan Rutin Terhadap SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan
lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP. Pemeriksaan dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:

1. pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib;


2. memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan;
3. penerbitan ketetapan pajak harus dilakukan sebelum daluwarsa penetapan;
4. dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan; dan uang lingkup pemeriksaan
meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak atau seluruh jenis pajak berdasarkan
pertimbangan Kepala KPP denganmemperhatikan potensi pajak, beban kerja
pemeriksa, dan jangka waktu pengujian.
f. Pemeriksaan Rutin Terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi Pemeriksaan
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1) pelaksanaan pemeriksaannya berdasarkan prioritas;

2) pelaksanaan pemeriksaan diprioritaskan terhadap SPT/PKP sebagai berikut:

a) terdapat data dan/atau informasi pada aplikasi SIDJP yang menunjukkan bahwa SPT yang
disampaikan oleh Wajib Pajak tidak benar;

b) PKP non Pedagang Eceran yang melakukan penyerahan dengan Faktur Pajak tidak
lengkap;

c) terdapat indikasi dan/atau pernah terbukti sebagai penerbit dan/atau pengguna Faktur Pajak
tidak sah;

d) memiliki susunan pengurus/direksi yang sama dengan PKP yang terdapat indikasi dan/atau
pernah terbukti sebagai penerbit dan/atau pengguna Faktur Pajak tidak sah; atau

e) PKP selain dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4b) UU PPN yang memiliki nilai kompensasi di
atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

3) penentuan pemeriksaan terhadap SPT/PKP sebagaimana dimaksud pada angka 2)


dilakukan oleh Kepala KPP dengan mempertimbangkan tingkat risiko ketidakpatuhan Wajib
Pajak dan beban kerja Pemeriksa Pajak;

4) pelaksanaan pemeriksaan terhadap SPT masa PPN Lebih Bayar Kompensasi selain
sebagaimana dimaksud pada angka 2), dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan Kepala
KPP;

5) dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor apabila SPT masa PPN Lebih Bayar
Kompensasi disampaikan oleh:

a) Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan:

i. laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh Akuntan
Publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum
Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh Akuntan Publik, dengan pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian; dan

ii. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan atau
penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir
tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;\

b) PKP selain sebagaimana dimaksud huruf a) dengan memperhatikan hal-hal sebagai


berikut, antara lain:

i. surat yang dikirim ke alamat Wajib Pajak tidak pernah kempos;

ii. terdapat nomor telepon atau faksimili dan dapat dihubungi;


iii. pernah berkomunikasi atau konsultasi dengan pegawai yang melakukan fungsi
pengawasan terhadap Wajib Pajak;

iv. hasil kunjungan pegawai yang melakukan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak dapat
menggambarkan dengan jelas kegiatan usaha dan proses bisnis Wajib Pajak;

v. PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN yang restitusi tepat waktu; dan

vi. hasil pemeriksaan pajak sebelumnya tidak mendapatkan koreksi atau mendapatkan
koreksi atas Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tetapi tidak bernilai
material (koreksi di bawah 5% dari Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak);

c) Berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor, pemeriksaan atas Wajib Pajak sebagaimana


dimaksud pada huruf a) dan b) dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.

6) dalam hal SPT Masa PPN yang diperiksa mencakup lebih dari 1 (satu) Tahun Pajak, maka
SP2 yang diterbitkan adalah 1 (satu) SP2 untuk tiap-tiap Tahun
Pajak;

7) ruang lingkup pemeriksaan meliputi satu jenis pajak yaitu PPN;

8) dalam hal pemeriksaan terhadap PKP dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor, maka
dilakukan pengujian terhadap Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan
Pajak yang dapat diperhitungkan.

g. Pemeriksaan Rutin Terhadap Wajib Pajak yang Telah Diberikan Pengembalian


Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 17C dan
Pasal 17D UU KUP serta Pasal 9 ayat (4c) UU PPN Pemeriksaan dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:

1) pelaksanaan pemeriksaannya berdasarkan prioritas;

2) pelaksanaan pemeriksaan diprioritaskan terhadap Wajib Pajak/PKP yang memiliki potensi


pajak signifikan;

3) penentuan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak/PKP sebagaimana dimaksud pada angka 2)


dilakukan oleh Kepala KPP dengan mempertimbangkan:

a) signifikansi nilai pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang telah


diberikan kepada Wajib Pajak/PKP; dan

b) tingkat risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak;

4) pelaksanaan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak/PKP selain sebagaimana dimaksud pada


angka 3), dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan Kepala
KPP;

5) pelaksanaan pemeriksaan harus memperhatikan beban kerja Pemeriksa Pajak;


6) pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan; dan

7) ruang lingkup pemeriksaan meliputi seluruh jenis pajak;

h. Pemeriksaan Rutin atas SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi Pemeriksaan dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:

1) SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi adalah SPT Tahunan PPh orang pribadi atau
SPT Tahunan PPh badan yang menunjukkan adanya kerugian fiskal pada bagian penghasilan
neto fiskal;

2) pelaksanaan pemeriksaannya berdasarkan prioritas;

3) pelaksanaan pemeriksaan diprioritaskan terhadap Wajib Pajak yang menyampaikan SPT


Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi yang:

a) kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto pada SPT Tahunan PPh
Tahun-Tahun Pajak berikutnya;

b) kerugiannya paling sedikit selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; atau

c) berdasarkan SPT Tahunan PPh yang menyatakan rugi tersebut terdapat transaksi signifikan
dengan pihak lain yang memiliki hubungan istimewa;

4) penentuan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3)


dilakukan oleh Kepala KPP dengan mempertimbangkan tingkat risiko ketidakpatuhan Wajib
Pajak dan beban kerja Pemeriksa Pajak,

5) pelaksanaan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak selain sebagaimana dimaksud pada angka
3), dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan Kepala KPP;

6) dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan; dan

7) ruang lingkup pemeriksaan dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak atau
seluruh jenis pajak berdasarkan pertimbangan Kepala KPP dengan
memperhatikan potensi pajak, beban kerja pemeriksa, dan jangka waktu pengujian.

i. Pemeriksaan Rutin Terhadap Wajib Pajak Badan yang Melakukan Penggabungan,


Peleburan, Pemekaran, Likuidasi atau Pembubaran Usaha, atau Wajib Pajak Orang Pribadi
Akan Meninggalkan Indonesia Untuk Selama-Lamanya Pemeriksaan dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:

1) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib;

2) dapat dilakukan berdasarkan informasi dari media massa/pihak lain atau karena
permohonan Wajib Pajak;

3) pemeriksaan terhadap Wajib Pajak badan yang melakukan penggabungan, peleburan,


pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha dapat dilakukan terhadap seluruh Wajib Pajak
yang terlibat, dengan prioritas pemeriksaan terhadap Wajib Pajak badan yang bertindak
sebagai entitas yang akan mengakhiri aktivitas bisnisnya;

4) pemeriksaan dilakukan untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak pada saat Wajib Pajak
badan melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha,
atau Wajib Pajak orang pribadi yang akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;

5) terhadap Tahun-Tahun Pajak sebelumnya dapat dilakukan pemeriksaan sepanjang:

a) terdapat potensi yang signifikan berdasarkan hasil analisis risiko Wajib Pajak; dan

b) Wajib Pajak belum pernah dilakukan pemeriksaan untuk Tahun-Tahun Pajak tersebut;

6) pemeriksaan terhadap Tahun-Tahun Pajak sebelumnya sebagaimana dimaksud pada angka


5) dilakukan dengan prosedur Pemeriksaan Khusus;

7) dalam hal dilakukan pemeriksaan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau


pemekaran, maka UP2 yang melaksanakan pemeriksaan tersebut harus mengirimkan LHP
kepada KPP tempat Wajib Pajak yang terlibat dalam aksi korporasi tersebut terdaftar;

8) dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan;

9) ruang lingkup pemeriksaan meliputi seluruh jenis pajak;

10) dalam hal pemeriksaan disertai dengan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan
pengukuhan PKP, maka Pemeriksa Pajak harus membuat usulan
tentang penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP dalam LHP;

11) dalam hal pemeriksaan terkait juga dengan permohonan penghapusan NPWP dan
pencabutan pengukuhan PKP, maka Pemeriksa Pajak harus memperhatikan jangka waktu
penyelesaian permohonan penghapusan dan/atau pencabutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (7) dan ayat (9) UU KUP; dan

12) berdasarkan LHP sebagaimana dimaksud pada angka 10), Pemeriksa Pajak harus
mengirimkan usulan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan
pengukuhan PKP kepada Kepala KPP c.q. Kepala Seksi Pelayanan dengan menggunakan
formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.34 Surat
Edaran ini.

j. Pemeriksaan Rutin atas Wajib Pajak yang Melakukan Perubahan Tahun Buku, Perubahan
Metode Pembukuan atau Melakukan Penilaian Kembali Aktiva Tetap Pemeriksaan dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:

1. pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib;


2. pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
3. dalam hal pemeriksaan dilakukan karena Wajib Pajak mengajukan permohonan
perubahan tahun buku, maka pemeriksaannya dilakukan atas Bagian Tahun Pajak
sampai dengan perubahan tahun buku dilakukan; misalnya: tahun buku Wajib Pajak
adalah Januari s.d Desember 2014 diubah menjadi Oktober 2014 s.d September 2015,
maka pemeriksaannya dilakukan untuk Bagian Tahun Pajak Januari s.d September
2014; dan
4. ruang lingkup pemeriksaan meliputi seluruh jenis pajak.

k. Pemeriksaan Rutin terhadap Wajib Pajak yang tidak mengembalikan SPOP PBB
Pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban PBB, dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:

1. dilakukan dalam hal Subjek Pajak atau Wajib Pajak tidak menyampaikan SPOP;
2. pelaksanaan pemeriksaannya bersifat prioritas sepanjang tidak terdapat keterangan
lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Tata Cara
Pemeriksaan dan Penelitian PBB;
3. pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
4. ruang lingkup pemeriksaan meliputi satu jenis pajak; dan
5. dilakukan sesuai dengan ketentuan Tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian PBB.

l. Petunjuk Pelaksanaan Pengusulan Pemeriksaan Rutin

1) Pemeriksaan Rutin diusulkan oleh Kepala KPP kepada Kepala Kanwil DJP atasannya.

2) Pengusulan Pemeriksaan Rutin dilakukan dengan menggunakan Daftar Nominatif Wajib


Pajak yang Akan Diperiksa (Daftar Nominatif), yang dibuat dengan menggunakan formulir
sebagaimana contoh dalam Lampiran I.35 dan Lampiran I.36 Surat Edaran ini.

3) Daftar Nominatif dibuat berdasarkan daftar persediaan Wajib Pajak yang akan dilakukan
Pemeriksaan Rutin sebagaimana dimaksud pada angka 2).

4) Daftar Nominatif dikirimkan kepada Kepala Kanwil DJP atasannya paling lambat tanggal
10 bulan berikutnya.

5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4), terhadap:

a) SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi;

b) SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi; atau

c) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf i angka 10). Daftar Nominatif dapat dibuat
dan dikirimkan kepada Kepala Kanwil DJP atasannya setiap saat.

6) Kepala Seksi Pemeriksaan melakukan pengecekan terhadap SPT Tahunan PPh Lebih
Bayar dan/atau SPT Masa PPN Lebih Bayar dengan menggunakan formulir sebagaimana
contoh dalam Lampiran I.37 Surat Edaran ini.

7) Pengusulan Daftar Nominatif ke Kepala Kanwil DJP dilakukan setelah SPT Tahunan PPh
atau SPT Masa PPN direkam pada aplikasi SIDJP.

8) Terhadap Wajib Pajak yang diusulkan untuk diperiksa, yang ruang lingkup
pemeriksaannya melebihi 1 (satu) Tahun Pajak, maka usulan tersebut harus diperinci per
Tahun Pajak.
9) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi terdapat
kompensasi dari Masa-Masa Pajak sebelumnya maka dalam Daftar
Nominatif harus diperinci menjadi 2 (dua) usulan, yaitu;

a) 1 (satu) usulan untuk Masa Pajak yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi; dan

b) 1 (satu) usulan untuk Masa Pajak lainnya yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi.

m. Petunjuk Pelaksanaan Penugasan Pemeriksaan Rutin

1) Penugasan Pemeriksaan Rutin merupakan kewenangan Kepala Kanwil DJP berdasarkan


usulan dari Kepala KPP.

2) Berdasarkan Daftar Nominatif dari Kepala KPP, Kepala Kanwil DJP membuat dan
mengirimkan Surat Penugasan Pemeriksaan Rutin dan mengirimkan surat penugasan tersebut
kepada Kepala KPP yang bersangkutan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh
dalam Lampiran I.38 dan Lampiran I.39 Surat Edaran ini.

3) Apabila dalam Daftar Nominatif yang disampaikan oleh Kepala KPP terdapat usulan yang
tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan Pemeriksaan Rutin,
Kepala Kanwil DJP membuat dan mengirimkan Surat Penolakan Pemeriksaan Rutin
menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.40 dan
Lampiran I.41 Surat Edaran ini.

4) Surat Penugasan Pemeriksaan Rutin atau Surat Penolakan Pemeriksaan Rutin harus
dikirimkan oleh Kepala Kanwil DJP paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal
diterimanya Daftar Nominatif dari Kepala KPP.

5) Kepala Kanwil DJP dapat memberikan penugasan Pemeriksaan Rutin secara langsung
tanpa melalui Daftar Nominatif dalam hal Kepala Kanwil DJP
memperoleh informasi mengenai:

a) Wajib Pajak badan yang melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau
pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi yang akan meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya; dan/atau

b) Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku, perubahan metode pembukuan atau
melakukan penilaian kembali aktiva tetap.

3. Pemeriksaan Khusus

a. Pemeriksaan Khusus dapat dilakukan berdasarkan:

1) Keterangan lain berupa data konkret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015;
atau
2) Analisis risiko (risk based audit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h
dan huruf i Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015.

b. Keterangan lain berupa data konkret sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1) adalah
data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, berupa:

1. hasil klarifikasi/konfirmasi Faktur Pajak;


2. bukti pemotongan Pajak Penghasilan
3. data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) UU KUP
dan setelah ditegur secara tertulis Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT pada
waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran; atau
4. bukti transaksi atau data yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban
perpajakan Wajib Pajak.

c. Dalam hal terdapat data konkret tersebut di atas yang belum ditindaklanjuti oleh Wajib
Pajak dengan membetulkan SPT-nya, maka data tersebut dapat ditindaklanjuti sebagai
berikut:

1. Kepala Seksi yang memperoleh data konkret melakukan pembahasan dengan Kepala
KPP dan Kepala Seksi Pemeriksaan untuk menentukan tindaklanjutnya, yaitu atas
data konkret dilakukan Pemeriksaan Khusus hanya terbatas pada data tersebut, atau
diperluas menjadi Pemeriksaan Khusus untuk beberapa atau seluruh jenis pajak
dengan mempertimbangkan beban kerja Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak dan
efisiensi penyelesaian Pemeriksaan Khusus.
2. Dalam hal data konkret tersebut akan diperiksa dengan memperluas ruang lingkup
pemeriksaan menjadi beberapa atau seluruh jenis pajak maka data konkret tersebut
harus ditindaklanjuti dengan membuat analisis risiko.

d. Analisis risiko sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2) adalah kegiatan yang
dilakukan untuk menilai tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak yang berisiko menimbulkan
hilangnya potensi penerimaan pajak. Analisis risiko dilakukan berdasarkan profil Wajib
Pajak dan/atau pemanfaatan data internal dan eksternal baik secara manual maupun
komputerisasi.

e. Kebijakan Pemeriksaan Khusus Berdasarkan Keterangan Lain Berupa Data Konkret

1. Ruang lingkup Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret
baik untuk UP2 Domisili maupun UP2 Lokasi hanya meliputi satu jenis pajak.
2. Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret dilakukan oleh
Petugas Pemeriksa Pajak melalui Pemeriksaan Kantor yang
penerbitan persetujuan pemeriksaannya harus dilakukan dengan memperhatikan
jangka waktu penyelesaian pemeriksaan, agar penyelesaian
pemeriksaannya tidak melewati daluwarsa penetapan.
3. Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa data
konkret adalah sebagai berikut:

a) Usulan dibuat oleh:


i. Account Representative (AR) yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan
disetujui oleh Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi atasannya; atau

ii. Pelaksana yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan disetujui oleh Kepala
Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan
atasannya. untuk selanjutnya disampaikan kepada Kepala Seksi Pemeriksaan.

b) Usulan dibuat dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.42
Surat Edaran ini;

c) Berdasarkan usulan tersebut dan hasil pembahasan sebelumnya yang telah dilakukan
dengan Kepala KPP serta Kepala Seksi yang memperoleh data konkret, Kepala Seksi
Pemeriksaan membuat konsep Nota Dinas Persetujuan Pemeriksaan Khusus berdasarkan
keterangan lain berupa data konkret.

d) Kepala KPP menyetujui usulan konsep Nota Dinas Persetujuan sebagaimana dimaksud
pada huruf c) dengan menandatangani Nota Dinas tersebut. Nota Dinas persetujuan tersebut
sebagai dasar penerbitan Nomor Pengawasan Pemeriksaan (NP2).

e) Kepala KPP menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Khusus berdasarkan


keterangan lain berupa data konkret kepada Kepala Kanwil DJP sesuai dengan contoh
formulir dalam Lampiran I.43 Surat Edaran ini.

f) Berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada huruf d) selanjutnya Kepala Seksi


Pemeriksaan membuat konsep SP2.

g) Administrasi sehubungan dengan Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa


data konkret dilakukan oleh Kepala Seksi Pemeriksaan.

h) Pemeriksaan Khusus Berdasarkan Keterangan Lain Berupa Data Konkret dilakukan


dengan menguji dan melakukan klarifikasi atas data yang dimiliki, sehingga tidak perlu
membuat audit plan dan melakukan peminjaman dokumen.

i) Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas Pemeriksaan Khusus Berdasarkan
Keterangan Lain Berupa Data Konkret paling lama 10 (sepuluh) hari dan tidak ada
pembahasan dengan Tim Quality Assurance.

j) Jika ditemukan data lain di luar data konkret yang sudah diterbitkan skp untuk Masa Pajak
dan jenis pajak yang sama, maka diusulkan Pemeriksaan Ulang.

f. Kebijakan Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko

1) Pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko dilakukan melalui mekanisme bottom-up


maupun top-down secara terukur.

2) Parameter terukur dalam hal ini adalah Wajib Pajak yang akan dilakukan pemeriksaan
harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a) memiliki potensi pajak yang dapat diidentifikasi;


b) Penanggung Pajak diketahui keberadaannya; dan

c) masih memiliki kegiatan usaha yang aktif.

3) Identifikasi potensi pajak harus didukung dengan data dan/atau informasi yang bersifat
kuantitatif dan/atau kualitatif, antara lain alat keterangan, bukti
pemotongan/pemungutan PPh, data PKPM, devisa hasil ekspor, kepemilikan aset, hasil visit
pegawai yang menjalankan tugas dan fungsi pengawasan
terhadap Wajib Pajak, dan hasil pengamatan.

4) Penanggung Pajak diketahui keberadaannya berdasarkan informasi yang diberikan oleh


pegawai yang menjalankan tugas dan fungsi pengawasan
terhadap Wajib Pajak atau oleh Tim Pemeriksa.

5) Ruang lingkup Pemeriksaan Khusus berdasarkan analisis risiko untuk UP2 Domisili
dilakukan melalui Pemeriksaan Seluruh Jenis Pajak atau Pemeriksaan Satu atau Beberapa
Jenis Pajak.

6) Ruang lingkup Pemeriksaan Khusus berdasarkan analisis risiko untuk UP2 Lokasi
dilakukan melalui Pemeriksaan Satu atau Beberapa Jenis Pajak.

7) Pemeriksaan Khusus dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, yang penerbitan


instruksi/persetujuan pemeriksaannya harus dilakukan dengan
memperhatikan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan, agar penyelesaian pemeriksaannya
tidak melewati daluwarsa penetapan.

8) Pemeriksaan dilakukan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak atau gabungan antara
Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak dengan Petugas Pemeriksa Pajak.

9) Alasan Pemeriksaan Khusus berdasarkan analisis risiko Pemeriksaan dilakukan


berdasarkan:

a) Persetujuan Kepala Kanwil DJP, dengan ketentuan sebagai berikut

i. bersifat bottom-up, yaitu usulan dari Kepala KPP kepada Kepala Kanwil DJP; dan

ii. didasarkan pada analisis risiko secara manual yang dibuat oleh pegawai yang
melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak, atau oleh Pejabat
Fungsional Pemeriksa Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam
Lampiran I.44 Surat Edaran ini.

b) Instruksi Kepala Kanwil DJP, dengan ketentuan sebagai berikut:

i. bersifat top-down, yaitu tanpa adanya usulan dari Kepala KPP; dan

ii. didasarkan pada analisis risiko atau hasil pengembangan dan analisis atas informasi, data,
laporan, dan pengaduan (IDLP) yang dibuat oleh Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan,
Intelijen dan Penyidikan di Kanwil DJP secara manual.

c) Instruksi Direktur P2, dengan ketentuan sebagai berikut:


i. bersifat top-down, yaitu tanpa adanya usulan dari UP2; dan

ii. didasarkan pada analisis risiko secara manual yang dibuat oleh pegawai Direktorat P2,
rekomendasi Direktur yang berwenang atas hasil pengembangan dan analisis atas IDLP yang
dilakukan oleh Direktur yang berwenang, atau analisis risiko secara komputerisasi, termasuk
hasil analisis dari Compliance Risk Management (CRM).

10) Petunjuk Pelaksanaan Pengusulan Pemeriksaan Khusus Bottom-Up

a) Usulan dibuat oleh:

i. AR yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan disetujui oleh Kepala Seksi
Pengawasan dan Konsultasi
atasannya;

ii. Pelaksana yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan disetujui oleh Kepala
Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan
atasannya; atau

iii. Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak, untuk selanjutnya disampaikan kepada Kepala KPP.

b) Usulan dibuat dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.45
Surat Edaran ini; dan didasarkan pada analisis risiko secara manual.

c) Kepala KPP selanjutnya menugaskan Kepala Seksi Pemeriksaan membuat nota dinas
tentang Pembentukan Tim Pembahas Analisis Risiko.

d) Tim Pembahas Analisis Risiko membahas dan menentukan kelayakan analisis risiko untuk
diusulkan Pemeriksaan Khusus.

e) Tim Pembahas Analisis Risiko diketuai oleh Kepala Seksi Pemeriksaan dengan
beranggotakan:

i. dalam hal pengusul Pemeriksaan dari AR:

i) AR dan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi pengusul; dan

ii) 1 (satu) tim Pemeriksa Pajak.

ii. dalam hal pengusul Pemeriksaan Khusus dari pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan
Penyuluhan yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan:

i) pelaksana dan Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan pengusul; dan

ii) 1 (satu) tim Pemeriksa Pajak.

iii. dalam hal pengusul Pemeriksaan Khusus dari Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak:

i) tim Pemeriksa Pajak pengusul; dan


ii) AR dan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi atau pelaksana dan Kepala Seksi
Ekstensifikasi dan Penyuluhan yang memiliki kewenangan atas Wajib Pajak yang diusulkan
Pemeriksaan Khusus.

f) Hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Analisis Risiko dituangkan dalam Risalah Hasil
Pembahasan Analisis Risiko yang ditandatangani oleh Tim
Pembahas dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.46 Surat
Edaran ini.

g) Hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Analisis Risiko ditindaklanjuti sebagai berikut:

i. dalam hal usulan Pemeriksaan Khusus disetujui, usulan Pemeriksaan Khusus disampaikan
kepada Kepala Kanwil DJP dan dilampiri dengan Risalah Hasil Pembahasan Analisis Risiko;

ii. dalam hal usulan Pemeriksaan Khusus tidak disetujui, AR, pelaksana yang melaksanakan
tugas dan fungsi pengawasan, atau tim Pemeriksa Pajak dapat mengusulkan kembali usulan
Pemeriksaan Khusus tersebut dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari Tim
Pembahas Analisis Risiko; atau

iii. dalam hal terdapat indikasi tindak pidana perpajakan maka data analisis risiko dan Risalah
Hasil Pembahasan Analisis Risiko disampaikan kepada Kepala Kanwil DJP untuk
ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

11) Petunjuk Pelaksanaan Persetujuan Pemeriksaan Khusus Bottom-Up

a) Persetujuan Pemeriksaan Khusus diberikan oleh Kepala Kanwil DJP berdasarkan usulan
Pemeriksaan Khusus dari Kepala KPP.

b) Pengusulan Pemeriksaan Khusus dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak yang belum
dilakukan aktivitas himbauan.

c) Sebelum memberikan persetujuan, Kepala Kanwil DJP harus melakukan penelitian,


evaluasi, dan seleksi atas usulan Pemeriksaan Khusus terutama menyangkut hal-hal sebagai
berikut:

i. penelitian atas persyaratan formal usulan pemeriksaan seperti:

i) ada atau tidaknya analisis risiko yang menunjukkan potensi pajak;

ii) ada atau tidaknya Risalah Hasil Pembahasan Analisis Risiko; dan

iii) kesesuaian Kode Pemeriksaan dengan alasan pemeriksaan dan ruang lingkup
pemeriksaan;

ii. evaluasi terhadap potensi penerimaan yang ada dalam analisis risiko;

iii. penelitian atas riwayat pemeriksaan; dan

iv. penelitian terhadap hal-hal lainnya yang terdapat dalam analisis risiko.
d) Hasil penelitian dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada huruf c) dituangkan dalam
Lembar Hasil Penelitian dan Evaluasi Analisis Risiko
dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.47 Surat Edaran ini.

e) Berdasarkan hasil penelitian dan evaluasi pada huruf c), Kepala Kanwil DJP menentukan
apakah usulan Pemeriksaan Khusus disetujui atau ditolak dan memberikan persetujuan atau
penolakan usulan Pemeriksaan Khusus tersebut paling lambat 1 (satu) bulan sejak pengusulan
tersebut diterima.

f) Apabila diketahui bahwa persetujuan Pemeriksaan Khusus diterbitkan terhadap Wajib


Pajak yang tergabung dalam suatu grup yang sedang dilakukan pemeriksaan berdasarkan
instruksi Direktur P2 maka sebelum diterbitkan agar dikoordinasikan dengan Direktur P2.

g) Persetujuan atas usulan Pemeriksaan Khusus diterbitkan dengan menggunakan formulir


sebagaimana contoh dalam Lampiran I.48 Surat Edaran ini.

h) Penolakan atas usulan Pemeriksaan Khusus diterbitkan dengan menggunakan formulir


sebagaimana contoh dalam Lampiran I.49 Surat Edaran ini.

12) Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Pemeriksaan Khusus Top-Down

a) Instruksi Pemeriksaan Khusus dapat diterbitkan oleh Direktur P2 atau Kepala Kanwil DJP.

b) Instruksi Pemeriksaan Khusus yang dibuat oleh Direktorat P2 diterbitkan berdasarkan

i. analisis risiko secara manual dari usulan kepala subdirektorat di lingkungan Direktorat P2
atau instruksi Direktur P2;

ii. hasil analisis dan pengembangan atas IDLP yang dilakukan oleh Direktur yang berwenang;
atau

iii. analisis risiko secara komputerisasi, termasuk hasil analisis dari CRM.

c) Instruksi Pemeriksaan Khusus yang dibuat oleh Kanwil DJP diterbitkan berdasarkan:

i. analisis risiko secara manual yang dibuat oleh Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan,
Intelijen, dan Penyidikan, atau

ii. hasil analisis dan pengembangan atas IDLP yang dilakukan oleh Kepala Bidang
Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan.

iii. Apabila diketahui bahwa instruksi Pemeriksaan Khusus diterbitkan terhadap Wajib Pajak
yang tergabung dalam suatu grup yang sedang dilakukan pemeriksaan berdasarkan instruksi
Direktur P2 maka sebelum diterbitkan agar dikoordinasikan dengan Direktur P2.

d) Instruksi Pemeriksaan Khusus dari Direktur P2 atau Kepala Kanwil DJP dengan alasan:

i. analisis risiko yang dibuat secara manual; atau


ii. hasil analisis dan pengembangan atas IDLP; dilakukan dengan menggunakan formulir
sebagaimana ditetapkan pada contoh dalam Lampiran I.50 dan Lampiran I.51 Surat Edaran
ini.

e) Instruksi Pemeriksaan Khusus dari Direktur P2 berdasarkan analisis risiko secara


komputerisasi dilakukan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran
I.52 dan Lampiran I.53 Surat Edaran ini.

13) Prosedur Administrasi Pemeriksaan Khusus di lingkungan Kanwil DJP sebagai UP2

a) Pemeriksaan Khusus pada Kanwil DJP dilaksanakan berdasarkan instruksi Pemeriksaan


Khusus dari Kantor Pusat DJP, instruksiPemeriksaan Khusus dari Kanwil DJP berdasarkan
usulan dari Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan (Kabid P2IP)
dan/atau persetujuan Pemeriksaan Khusus dari Kanwil DJP berdasarkan usulan dari KPP
(bottom-up).

b) Kepala Kanwil DJP melakukan manajemen pemeriksaan antara pelaksanaan Pemeriksaan


Khusus dan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam rangka optimalisasi Fungsional Pemeriksa
di Kanwil DJP baik yang telah berstatus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
maupun yang belum.

c) Setiap usulan Pemeriksaan Khusus yang dilakukan berdasarkan analisisrisiko dari


Fungsional Pemeriksa Pajak di lingkungan Kanwil DJP diajukan kepada Kepala Kanwil DJP
dengan disertai analisis risiko mengenai ketidakpatuhan Wajib Pajak.

d) Dalam hal Kepala Kanwil DJP menyetujui usulan Pemeriksaan Khusus sebagaimana
dimaksud pada angka 2, Kepala Kanwil DJP kemudian mendisposisikan usulan
Pemeriksaan Khusus beserta kelengkapannya kepada Kabid P2IP untuk ditindaklanjuti sesuai
dengan prosedur yang berlaku. Namun, dalam hal usulan ditolak oleh Kepala Kanwil DJP,
maka usulan tersebut dikembalikan kepada Fungsional Pemeriksa Pajak pengusul untuk
ditindaklanjuti sesuai dengan disposisi Kepala Kanwil DJP.

e) Setelah menerima disposisi Kepala Kanwil DJP beserta usulan Pemeriksaan Khusus
sebagaimana dimaksud pada huruf c), Kabid P2IP selanjutnya menindaklanjuti usulan
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Instruksi pemeriksaan
dan NP2 diterbitkan secara sistem melalui menu pemeriksaan pada SIDJP Instruksi
pemeriksaan yang telah ditandatangani Kepala Kanwil DJP selanjutnya disampaikan kepada
Kabid P2IP.

f) Berdasarkan instruksi pemeriksaan yang diterima, Kabid P2IP:

i. Melakukan peminjaman berkas yang diperlukan dalam penyusunan Rencana Pemeriksaan


ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.

ii. Membuat Nota Dinas penunjukan Supervisor dilampiri dengan Daftar Berkas Wajib Pajak
yang Dipinjamkan dalam rangka Pemeriksaan.

g) Setelah menerima Nota Dinas penunjukan Supervisor, Supervisor menyusun usulan


Rencana Pemeriksaan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak yang mengatur
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) untuk Menguji Kepatuhan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan dan Rencana Program Pemeriksaan sesuai dengan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak yang mengatur tentang Pedoman Penyusunan Program
Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Dalam
penyusunan usulan Rencana Pemeriksaan dan Rencana Program Pemeriksaan, Supervisor
agar memanfaatkan data/informasi melalui aplikasi yang dapat diakses, misalnya SIDJP,
Appportal, Approweb, dan internet.

h) Kepala Kanwil DJP menelaah Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) dan Rencana Program
Pemeriksaan. Selama proses penelaahan Rencana
Pemeriksaan (Audit Plan) dan Rencana Program Pemeriksaan, Kepala Kanwil DJP dapat
meminta penjelasan dan melakukan pembahasan dengan Supervisor.

i) Dalam hal Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) dan Rencana Program Pemeriksaan telah
memadai, Kepala Kanwil DJP menandatangani Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) dan
Rencana Program Pemeriksaan. Kepala Kanwil DJP kemudian mendisposisikan Rencana
Pemeriksaan (Audit Plan) dan Rencana Program Pemeriksaan yang telah ditandatangani
kepada Kabid P2IP.

j) Setelah menerima Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) dan Rencana Program Pemeriksaan
yang telah ditandatangani oleh Kepala Kanwil DJP, Kabid P2IP:

i. Menyusun Nota Dinas untuk menyampaikan kembali Rencana Pemeriksaan (Audit Plan)
dan Rencana Program Pemeriksaan kepada Supervisor.

ii. Menugaskan kepada Kepala Seksi Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan untuk:

i) meng-input susunan Tim Pemeriksa Pajak sesuai Rencana Pemeriksaan dalam menu
pemeriksaan pada SIDJP.

ii) Menerbitkan SP2 melalui menu pemeriksaan pada SIDJP kemudian menyampaikannya
kepada Kepala Kanwil DJP untuk ditandatangani.

k) Berkas SP2 dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan yang telah ditandatangani
oleh Kepala Kanwil DJP selanjutnya disampaikan kepada Supervisor yang bersangkutan.

l) Berdasarkan hasil pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Tim Pemeriksa Pajak menyusun
LHP dilampiri dengan berkas Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Nota Penghitungan
(Nothit), lalu menyampaikannya kepada Kepala Kanwil DJP untuk dilakukan proses
penelitian.

m) Dalam hal masih diperlukan perbaikan atas LHP, berkas pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, dan Nothit, Kepala Kanwil DJP mengembalikan berkas- berkas tersebut kepada
Supervisor untuk diperbaiki dan/atau dilengkapi.

n) Dalam hal LHP, berkas pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Nothit telah dapat
disetujui, Kepala Kanwil DJP menandatangani LHP dan berkas pembahasan akhir hasil
pemeriksaan. Kepala Kanwil DJP kemudian mendisposisikan LHP, berkas pembahasan akhir
hasil pemeriksaan, dan nothit kepada Kabid P2IP.
o) Setelah menerima LHP, berkas pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan nothit, Kabid
P2IP menugaskan kepada Kepala Seksi Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan :

i. Meng-input LHP dalam menu pemeriksaan pada SIDJP.

ii. Menyusun Nota Dinas penyampaian kembali LHP, berkas pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, dan Nothit kepada Tim Pemeriksa Pajak untuk ditindaklanjuti sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

p) Setelah menerima Nota Dinas dari Kabid P2IP, Tim Pemeriksa Pajak:

i. Melengkapi halaman judul LHP dengan nomor LHP yang dihasilkan dari SIDJP.

ii. Merekam Nothit ke dalam menu perekaman Nothit pada SIDJP.

iii. Menyampaikan LHP dan softcopy hasil scan LHP, KKP, dan Nothit kepada Kepala Seksi
Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan untuk diadministrasikan. Nothit yang dikirimkan
kepada Kepala Seksi Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan harus dilengkapi dengan
nomor sementara yang diperoleh dari SIDJP.

q) Setelah menerima berkas LHP, KKP, dan Nothit, Kepala Seksi Administrasi dan
Bimbingan Pemeriksaan kemudian:

i. Menindaklanjutinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

ii. Mengirimkan berkas LHP dan Nothit kepada KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.

iii. Mengirimkan data dan alat keterangan ke KPP tujuan.

iv. Mengunggah softcopy hasil scan LHP ke server pada Direktorat Pemeriksaan dan
Penagihan.

r) SP2 hanya dapat diterbitkan berdasarkan pada instruksi pemeriksaan dan NP2, dan
dilakukan secara sistem melalui menu pemeriksaan pada SIDJP.

s) Penomoran SPHP dan LHP harus dilakukan melalui SIDJP.

t) Kepala Kanwil DJP menandatangani dokumen-dokumen pemeriksaan yang disampaikan


kepada Wajib Pajak dan pihak eksternal lainnya. Dokumen-dokumen terkait pemeriksaan
lainnya ditandatangani oleh Kabid P2IP atas nama Kepala Kanwil DJP.

u) Administrasi sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak pada


Kanwil DJP berada pada Seksi Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan.

g. Dalam hal UP2 Lokasi mengusulkan Pemeriksaan Khusus, Kepala UP2 Lokasi harus
mengirimkan fotokopi data dan/atau informasi yang menjadi dasar pengusulan Pemeriksaan
Khusus tersebut kepada Kepala UP2 Domisili.

h. Dalam hal UP2 Domisili menerima data dan/atau informasi dari UP2 Lokasi sebagaimana
dimaksud pada huruf g, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. apabila data dan/atau informasi yang diterima merupakan data dan/atau informasi untuk
Tahun Pajak berjalan maka tindak lanjutnya ditentukan sebagai berikut:

a) data dan/atau informasi tersebut harus disimpan (sebagai bahan masukan untuk profil
Wajib Pajak) sampai dengan Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Tahun
Pajak yang terkait dengan data dan/atau informasi dimaksud;

b) setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak dimaksud,
Kepala UP2 Domisili harus melakukan penelitian atas data/informasi tersebut dan SPT
Tahunan PPh Wajib Pajak; dan

c) dalam hal berdasarkan penelitian tersebut terdapat potensi pajak maka terhadap Wajib
Pajak dibuat analisis risiko untuk selanjutnya ditindaklanjuti dengan ketentuan yang diatur
dalam Surat Edaran ini;

2) apabila data dan/atau informasi yang diterima merupakan data dan/atau informasi untuk
Tahun-Tahun Pajak sebelumnya maka tindak lanjutnya ditentukan sebagai berikut:

a) Kepala UP2 Domisili harus melakukan penelitian atas data/informasi tersebut dan SPT
Tahunan PPh Wajib Pajak; dan

b) dalam hal berdasarkan penelitian tersebut terdapat potensi pajak maka terhadap Wajib
Pajak dibuat analisis risiko untuk selanjutnya ditindak lanjuti dengan ketentuan yang diatur
dalam Surat Edaran ini;

3) dalam hal UP2 Domisili melakukan Pemeriksaan Khusus untuk seluruh jenis pajak terkait
dengan adanya data dan/atau informasi dari UP2 Lokasi
sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan huruf b), Kepala UP2 Domisili harus meminta
kepada Kepala UP2 Lokasi untuk melakukan Pemeriksaan Lokasi
sepanjang UP2 Lokasi belum melakukan Pemeriksaan.

i. Pemeriksaan Ulang

1) Pemeriksaan Ulang hanya dapat dilakukan berdasarkan:\

a) instruksi Dirjen Pajak (bersifat top-down); atau

b) persetujuan Dirjen Pajak (bersifat bottom-up).

2) Wewenang menerbitkan Instruksi/Persetujuan Pemeriksaan Ulang telah dilimpahkan


kepada Direktur P2 dan Kepala Kanwil DJP sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-127/PJ/2015 tentang Perubahan Kedua Belas atas
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-297/PJ/2002 tentang Pelimpahan Wewenang
Direktur Jenderal Pajak Kepada Para Pejabat di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

3) Instruksi/Persetujuan Pemeriksaan Ulang diterbitkan oleh Direktur P2 dalam hal


pemeriksaan dalam rangka penerbitan skp sebelumnya dilakukan oleh
Kanwil DJP atau Direktorat P2. Sedangkan Instruksi/Persetujuan Pemeriksaan Ulang
diterbitkan oleh Kepala Kanwil DJP dalam hal pemeriksaan dalam rangka penerbitan skp
sebelumnya dilakukan oleh KPP.
4) Pemeriksaan Ulang dapat dilakukan sepanjang dipenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) terdapat data baru, termasuk data yang semula belum terungkap atau berdasarkan
keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri;
b) pernah diterbitkan skp untuk jenis pajak dan Masa Pajak/Bagian Tahun Pajak/Tahun Pajak
yang sama; dan
c) penerbitan skp sebagaimana dimaksud pada huruf b) dilakukan dengan mekanisme
pemeriksaan.

5) Ruang lingkup Pemeriksaan Ulang dapat meliputi Pemeriksaan Seluruh Jenis Pajak atau
Pemeriksaan Satu atau Beberapa Jenis Pajak.

6) Petunjuk Pelaksanaan pengusulan Pemeriksaan Ulang pada KPP adalah sebagai berikut:

a) usul Pemeriksaan Ulang dibuat dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam
Lampiran I.54 Surat Edaran ini, dan didasarkan pada analisis alasan Pemeriksaan Ulang yang
dibuat berdasarkan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.55 Surat Edaran ini;

b) analisis alasan Pemeriksaan Ulang dapat dibuat dan diusulkan oleh:

i. AR dan disetujui oleh Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi;

ii. Pelaksana yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan disetujui oleh Kepala
Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan;

iii. Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak dan disetujui oleh Supervisor, selanjutnya
disampaikan kepada Kepala KPP;

c) Kepala KPP selanjutnya menugaskan Kepala Seksi Pemeriksaan membuat Nota Dinas
tentang Pembentukan Tim Pembahas Usulan Pemeriksaan Ulang;

d) Tim Pembahas Usulan Pemeriksaan Ulang membahas dan menentukan ada atau tidaknya
data baru, termasuk data yang semula belum terungkap;

e) Tim Pembahas Usulan Pemeriksaan Ulang diketuai oleh Kepala KPP dan beranggotakan:

i. AR, Pelaksana yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan atau Pejabat Fungsional
Pemeriksa Pajak yang mengusulkan pemeriksaan ulang;

ii. Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi yang merupakan atasan AR yang menangani
Wajib Pajak yang bersangkutan atau Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan merupakan
atasan pelaksana yang menangani Wajib Pajak yang bersangkutan;

iii. Kepala Seksi Pemeriksaan; dan

iv. tim Pemeriksa Pajak yang akan diusulkan untuk melakukan Pemeriksaan Ulang;

f) Tim Pembahas Usulan Pemeriksaan Ulang membuat Risalah Hasil Pembahasan Usulan
Pemeriksaan Ulang yang ditandatangani oleh Tim Pembahas Usulan Pemeriksaan Ulang
dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.56 Surat Edaran ini;
g) Hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Usulan Pemeriksaan Ulang ditindaklanjuti sebagai
berikut:

i. dalam hal usulan Pemeriksaan Ulang disetujui, Kepala KPP menyampaikan surat usulan
Pemeriksaan Ulang kepada Kepala Kanwil DJP yang dilampiri dengan data baru, termasuk
data yang belum terungkap, dan Risalah Hasil Pembahasan Usulan Pemeriksaan Ulang;\

ii. dalam hal usulan Pemeriksaan Ulang tidak disetujui, Risalah Hasil Pembahasan Usulan
Pemeriksaan Ulang diadministrasikan oleh Seksi Pemeriksaan.

7) Petunjuk Pelaksanaan Usulan Pemeriksaan Ulang pada Kanwil DJP adalah sebagai
berikut:

a) setelah menerima usulan Pemeriksaan Ulang dari Kepala KPP, Kepala Kanwil DJP
selanjutnya menugaskan Kepala Bidang Pemeriksaan,
Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan membuat Nota Dinas tentang Pembentukan Tim
Pembahas usulan Pemeriksaan Ulang;

b) Tim Pembahas usulan Pemeriksaan Ulang diketuai oleh Kepala Bidang Pemeriksaan,
Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan dan beranggotakan:

i. Kepala Seksi Bimbingan Pemeriksaan;

ii. Kepala Seksi Administrasi Penyidikan; dan

iii. 1 (satu) atau lebih Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak di Kanwil DJP;

c) pembahasan yang dilakukan oleh Tim Pembahas usulan Pemeriksaan Ulang terutama
dilakukan untuk melakukan penelitian sebagai berikut:

i. penelitian atas persyaratan formal usulan Pemeriksaan Ulang seperti:

i) kebenaran bahwa Wajib Pajak sudah pernah diterbitkan skp melalui pemeriksaan untuk
Masa Pajak, Tahun Pajak dan jenis pajak yang akan dilakukan
Pemeriksaan Ulang;

ii) kelengkapan bukti pendukung dari data baru termasuk data yang semula belum terungkap
serta ringkasan hasil pemeriksaan sebelumnya; dan

iii) kesesuaian Kode Pemeriksaan dengan alasan pemeriksaan dan ruang lingkup
pemeriksaan;

ii. evaluasi terhadap potensi penerimaan; dan

iii. penelitian atas riwayat pemeriksaan;

d) hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Usulan Pemeriksaan Ulang pada Kanwil DJP
dituangkan dalam Risalah Hasil Pembahasan Usulan Pemeriksaan Ulang dengan
menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.57 Surat Edaran ini;
e) apabila berdasarkan risalah hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Usulan Pemeriksaan
Ulang pada Kanwil DJP menunjukkan bahwa usulan Pemeriksaan Ulang dari Kepala KPP:

i. memenuhi persyaratan untuk dilakukan Pemeriksaan Ulang maka Kepala Kanwil DJP
meneruskan usulan tersebut kepada Direktur P2 dalam hal sebelumnya pemeriksaan
dilakukan oleh Kantor Pusat DJP dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam
Lampiran I.58 Surat Edaran ini,
dan dilampiri dengan analisis alasan Pemeriksaan Ulang dari KPP, Risalah Hasil Pembahasan
Usulan Pemeriksaan Ulang KPP, dan Risalah Hasil Pembahasan Usulan Pemeriksaan Ulang
Kanwil DJP;

ii. dalam hal sebelumnya pemeriksaan dilakukan oleh KPP atau Kanwil DJP dan memenuhi
persyaratan untuk dilakukan Pemeriksaan Ulang maka Kepala Kanwil DJP menerbitkan
Persetujuan untuk melakukan Pemeriksaan Ulang menggunakan formulir sebagaimana
contoh dalam Lampiran I.59 Surat Edaran ini.

iii. tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan Pemeriksaan Ulang maka Kepala Kanwil
DJP menyampaikan surat penolakan untuk meneruskan usulan tersebut kepada Kepala KPP
pengusul dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.60 Surat
Edaran ini.

iv. Instruksi Pemeriksaan Ulang diterbitkan oleh Kepala Kanwil DJP dengan menggunakan
formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.61 Surat Edaran ini.

8) Petunjuk Pelaksanaan Usulan Pemeriksaan Ulang pada Direktorat P2 adalah sebagai


berikut:

a) setelah menerima usulan Pemeriksaan Ulang dari Kepala Kanwil DJP, Direktur P2
menugaskan Kepala Subdirektorat Perencanaan Pemeriksaan membuat Nota Dinas tentang
Pembentukan Tim Pembahas usulan Pemeriksaan Ulang pada Direktorat P2 untuk melakukan
pembahasan;

b) Tim Pembahas Usulan Pemeriksaan Ulang diketuai oleh Kepala Subdirektorat


Perencanaan Pemeriksaan dan beranggotakan:

i. Kepala Seksi Perencanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Orang Pribadi;

ii. Kepala Seksi Perencanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Badan; dan

iii. Kepala Seksi Strategi Pemeriksaan;

c) pembahasan yang dilakukan oleh Tim Pembahas Usulan Pemeriksaan Ulang terutama
dilakukan untuk melakukan penelitian sebagai berikut:

i. penelitian atas persyaratan formal usulan Pemeriksaan Ulang seperti:

i) kebenaran bahwa Wajib Pajak sudah pernah diterbitkan skp melalui pemeriksaan untuk
Masa Pajak, Tahun Pajak dan jenis pajak yang akan dilakukan Pemeriksaan Ulang;
ii) kelengkapan bukti pendukung dari data baru termasuk data yang semula belum terungkap
serta ringkasan hasil pemeriksaan sebelumnya; dan

iii) kesesuaian kode pemeriksaan dengan alasan pemeriksaan dan ruang lingkup pemeriksaan;

ii. evaluasi terhadap potensi penerimaan;

iii. penelitian atas tunggakan pemeriksaan; dan

iv. penelitian atas riwayat pemeriksaan;

d) dalam hal dipandang perlu Tim Pembahas Usulan Pemeriksaan Ulang dapat mengundang
unit pengusul;

e) hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Usulan Pemeriksaan Ulang pada Direktorat P2
dituangkan dalam Risalah Hasil Pembahasan Usulan Pemeriksaan Ulang sebagaimana contoh
dalam Lampiran I.62 Surat Edaran ini;

f) apabila berdasarkan risalah hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Usulan Pemeriksaan
Ulang di Direktorat P2 menunjukkan bahwa usulan Pemeriksaan Ulang dari Kepala Kanwil
DJP:

i. memenuhi persyaratan untuk dilakukan Pemeriksaan Ulang maka Direktur P2 menerbitkan


persetujuan Pemeriksaan Ulang; atau

ii. tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan Pemeriksaan Ulang maka Direktur P2
menyampaikan surat penolakan usulan tersebut dengan menggunakan formulir sebagaimana
contoh dalam Lampiran I.63 Surat Edaran ini.

9) Persetujuan untuk melakukan Pemeriksaan Ulang oleh Direktur P2 dilakukan


menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran I.64 Surat
Edaran ini.

10) Instruksi Pemeriksaan Ulang diterbitkan oleh Direktur P2 dengan menggunakan formulir
sebagaimana contoh dalam Lampiran I.65 Surat Edaran ini.

4. Pemeriksaan yang Ditangguhkan Karena Bukti Permulaan Dalam hal pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan diusulkan menjadi Pemeriksaan Bukti
Permulaan, berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2015.

b. Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan setelah tim Pemeriksa Pajak meyakini
bahwa Wajib Pajak diduga telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

c. Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus memperhatikan jangka waktu pengujian,


perpanjangan jangka waktu pengujian, jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan
dan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP.

d. Penangguhan pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 64 Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 17/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 184/PMK.03/2015 dilakukan terhadap satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak untuk
satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang dilakukan
pemeriksaan.

Contoh:

Dalam hal Wajib Pajak badan yang dilakukan pemeriksaan untuk seluruh jenis pajak karena
menyampaikan SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi disetujui untuk dilakukan
Pemeriksaan Bukti Permulaan, maka pemeriksaan yang ditangguhkan adalah untuk jenis
pajak yang diusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Terhadap jenis pajak yang tidak
diusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan diterbitkan skp sesuai dengan ketentuan berdasarkan
laporan kemajuan hasil pemeriksaan yang ditangguhkan.

e. Dalam hal usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan disetujui, tim Pemeriksa Pajak harus
membuat laporan kemajuan pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana contoh dalam
Lampiran I.66 Surat Edaran ini.

f. Laporan kemajuan pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud huruf e


diselesaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal persetujuan usulan
Pemeriksaan Bukti Permulaan.

g. Tim Pemeriksa Pajak memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai penangguhan


pemeriksaan sebagaimana contoh dalam Lampiran I.67 Surat Edaran ini.

h. Penyerahan fotokopi Berita Acara Penyerahan Dokumen sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 64 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 dilakukan paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal berita acara.

G. Kebijakan Pemeriksaan Tujuan Lain

1. Kebijakan Umum
a. Ruang Lingkup Pemeriksaan
Ruang lingkup pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau
pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan.

b. Kriteria Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan dilakukan dengan kriteria antara lain sebagai berikut:

1. penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan PKP secara jabatan;


2. penghapusan NPWP, baik atas permohonan Wajib Pajak maupun secara jabatan;
3. pencabutan pengukuhan PKP, baik atas permohonan Wajib Pajak maupun secara
jabatan;
4. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
5. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
(NPPN);
6. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
7. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
8. penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN;
9. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
10. penentuan saat produksi dimulai;
11. penentuan perpanjangan jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan
pemberian fasilitas perpajakan;
12. memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B);
13. pemeriksaan dalam rangka Mutual Agreement Procedures (MAP); dan
14. pemeriksaan dalam rangka Advanced Pricing Agreement (APA)

c. UP2
Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak di UP2 yaitu KPP, Kanwil DJP, atau
Direktorat P2.

d. SP2 dan SP2 Perubahan

1) SP2 diterbitkan berdasarkan instruksi pemeriksaan dari Direktur P2, instruksi/ penugasan
pemeriksaan dari Kepala Kanwil DJP, atau persetujuan dari Kepala KPP;
2) Kepala UP2 harus menerbitkan SP2 Perubahan dalam hal susunan tim Pemeriksa Pajak
diubah;
3) Pemeriksa Pajak harus menyerahkan atau mengirimkan tembusan SP2 Perubahan kepada
Wajib Pajak.

e. Tindak lanjut Data dan/atau Informasi yang ditemukan dalam pemeriksaan Apabila pada
saat melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain ditemukan adanya data dan/atau informasi
sehubungan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak baik untuk Tahun Pajak berjalan maupun Tahun Pajak sebelumnya,
yang mengindikasikan adanya ketidakpatuhan Wajib Pajak, maka data dan/atau informasi
tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk mengusulkan Pemeriksaan Khusus dan berlaku
ketentuan sebagai berikut:

1. dalam hal usulan Pemeriksaan Khusus yang disetujui adalah untuk Tahun Pajak yang
sama dengan Tahun Pajak pemeriksaan untuk tujuan lain dengan kriteria penghapusan
NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP, maka pemeriksaan untuk tujuan lain
tersebut diselesaikan dengan hasil menolak permohonan penghapusan NPWP
dan/atau pencabutan pengukuhan PKP;
2. Pemeriksaan Khusus sebagaimana dimaksud pada angka 1) harus membuat
kesimpulan berupa keputusan atas permohonan Wajib Pajak untuk penghapusan
NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP.

f. Pembatalan Penugasan Pemeriksaan

Pembatalan pemeriksaan untuk tujuan lain pada prinsipnya dilakukan karena terdapat
kesalahan administrasi yang bersifat manusiawi (human error) seperti
kesalahan Tahun Pajak, kesalahan nama Wajib Pajak yang akan diperiksa, atau kesalahan
administrasi lainnya.

Pembatalan pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) terhadap instruksi pemeriksaan yang diterbitkan oleh Direktur P2, pembatalan


pemeriksaannya harus dilakukan oleh Direktur P2;

b) terhadap instruksi/persetujuan pemeriksaan yang diterbitkan oleh Kepala Kanwil DJP,


pembatalan penugasan pemeriksaannya harus dilakukan oleh Kepala Kanwil DJP;

c) terhadap persetujuan pemeriksaan yang diterbitkan oleh Kepala KPP, pembatalan


penugasan pemeriksaannya harus dilakukan oleh Kepala KPP;

d) usul pembatalan pemeriksaan oleh Kepala UP2 kepada Kepala Kanwil DJP atau Direktur
P2 dilakukan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran II.1 Surat
Edaran ini; dan

e) persetujuan atau penolakan pembatalan pemeriksaan atas usulan sebagaimana dimaksud


pada huruf c) disampaikan oleh Kepala Kanwil DJP atau Direktur P2 kepada Kepala UP2
dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran II.2 atau Lampiran II.3
Surat Edaran ini.

g. Pengalihan Pemeriksaan

Pengalihan pemeriksaan untuk tujuan lain pada prinsipnya dilakukan karena Wajib Pajak
pindah tempat terdaftar (domisili) dari satu KPP ke KPP lain
sepanjang instruksi/penugasan/persetujuan telah diterbitkan dan SP2 belum diterbitkan atau
SP2 telah diterbitkan tetapi pemberitahuan pemeriksaan atau
panggilan dalam rangka pemeriksaan belum disampaikan kepada Wajib Pajak.

1. Pengalihan pemeriksaan untuk tujuan lain terhadap Wajib Pajak yang pindah domisili
ke KPP lain tetapi masih dalam wilayah kerja Kanwil DJP yang sama, dilakukan oleh:
a) Kepala Kanwil DJP untuk pemeriksaan yang penugasan/persetujuannya diterbitkan
oleh Kepala Kanwil DJP; atau
b) Direktur P2 untuk pemeriksaan yang instruksinya diterbitkan oleh Direktur P2.
2. Pengalihan pemeriksaan untuk tujuan lain terhadap Wajib Pajak yang pindah domisili
ke KPP lain di luar wilayah kerja Kanwil DJP atasan KPP lama,
dilakukan oleh Direktur P2.
3. Usul pengalihan pemeriksaan untuk tujuan lain disampaikan oleh Kepala KPP lama
kepada Kepala Kanwil DJP atasannya atau Direktur P2 dengan menggunakan
formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran II.4 Surat Edaran ini.
4. Persetujuan pengalihan pemeriksaan untuk tujuan lain diberikan oleh Kepala Kanwil
DJP terkait atau Direktur P2 kepada Kepala UP2 yang baru apabila
disetujui pengalihan pemeriksaannya, atau kepada Kepala UP2 yang lama apabila
ditolak pengalihan pemeriksaannya dengan menggunakan formulir sebagaimana
contoh dalam Lampiran II.5 atau Lampiran II.6 Surat Edaran ini.
5. Terhadap pemeriksaan yang tidak disetujui untuk dialihkan, maka berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a) Pemeriksaan diselesaikan oleh UP2 yang lama sampai dengan penerbitan LHP;
b) LHP harus menggunakan identitas baru; dan
c) LHP harus dikirimkan kepada Kepala UP2 yang baru dan pihak yang
berkepentingan dengan LHP, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

h. Penghentian Pemeriksaan

1. Pemeriksaan untuk tujuan lain dapat dihentikan apabila pemeriksaan dilakukan dalam
rangka penerbitan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan dan Wajib Pajak
yang diperiksa atau Wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 UU
KUP ternyata tidak ditemukan berdasarkan surat keterangan dari pejabat
kelurahan/RT/RW/pengelola gedung setempat.
2. Dalam hal pemeriksaan dihentikan karena kondisi sebagaimana dimaksud pada angka
1), tim Pemeriksa Pajak membuat LHP Sumir dan melakukan
perekaman LHP tersebut ke Modul/Menu pemeriksaan pada SIDJP.
3. Berdasarkan LHP Sumir, tim Pemeriksa Pajak mengirimkan fotokopi LHP Sumir
kepada Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi terkait untuk ditindaklanjuti sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Mengirimkan fotokopi LHP Sumir tersebut kepada yang menerbitkan instruksi
pemeriksaan atau mengunggah LHP dalam ALPP.

2. Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan untuk Tujuan Lain

a. Pemeriksaan untuk Tujuan Lain Dalam Rangka Penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan
PKP Secara Jabatan Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. dilakukan terbatas pada penentuan terpenuhinya syarat-syarat pemberian NPWP


dan/atau pengukuhan PKP dan penghitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25; dan
2. dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan dan dapat dilakukan oleh Fungsional
Pemeriksa Pajak, Petugas Pemeriksa Pajak, atau gabungan antara
Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa Pajak.
3. Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan mengusulkan pemeriksaan untuk tujuan
lain dalam rangka Penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan PKP secara Jabatan
kepada Kepala Seksi Pemeriksaan. Pengusulan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam
rangka penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan/atau Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak (PKP) secara jabatan dapat dilakukan dengan menggunakan
daftar nominatif yang dibuat dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh
dalam Lampiran II.7 Surat Edaran ini, sehingga satu usulan dapat berisi lebih dari satu
Wajib Pajak.
4. Kepala Seksi Pemeriksaan mengusulkan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka
Penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan PKP secara Jabatan kepadaKepala KPP;
5. Kepala KPP menyetujui usulan sebagaimana dimaksud pada angka 4) dengan
menerbitkan Nota Dinas sebagai dasar penerbitan NP2.
6. Kepala KPP menyampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan untuk tujuan lain
dalam rangka Penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan PKP secara Jabatan kepada
Kepala Kanwil DJP sesuai dengan contoh formulir dalam Lampiran II.8 Surat Edaran
ini.
7. Berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada angka 5) selanjutnya Kepala
Seksi Pemeriksaan menerbitkan SP2. Satu SP2 dapat diterbitkan untuk lebih dari satu
Wajib Pajak sesuai dengan contoh formulir dalam Lampiran II.9 Surat Edaran ini.
8. Administrasi sehubungan dengan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka
Penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan PKP secara Jabatan dilakukan oleh Kepala
Seksi Pemeriksaan.

b. Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP, baik atas permohonan Wajib
Pajak maupun secara jabatan Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. dilakukan dengan memperhatikan jangka waktu penyelesaian sebagaimana diatur


dalam Pasal 2 ayat (7) dan ayat (9) UU KUP dalam hal penghapusan
NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan permohonan Wajib Pajak
dan/atau PKP.
2. dapat dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor atau Pemeriksaan Lapangan
berdasarkan pertimbangan Kepala KPP.
3. dapat dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak, Petugas Pemeriksa Pajak, atau
gabungan antara Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa Pajak
berdasarkan pertimbangan Kepala KPP.
4. Kepala Seksi Pemeriksaan menerima usulan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam
rangka penghapusan NPWP dan/atau pencabutan Pengukuhan PKP, baik atas
permohonan Wajib Pajak maupun secara jabatan. Usulan pemeriksaan untuk tujuan
lain dalam rangka penghapusan NPWP dan/atau pencabutan Pengukuhan PKP secara
jabatan dilakukan berdasarkan data dan/atau informasi yang diterima oleh KPP dan
menunjukkan Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif.
Pengusulan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka penghapusan NPWP
dan/atau pencabutan Pengukuhan PKP secara jabatan dapat dilakukan dengan
menggunakan daftar nominatif yang dibuat dengan menggunakan formulir
sebagaimana contoh dalam Lampiran II.10 Surat Edaran ini, sehingga satu usulan
dapat berisi lebih dari satu Wajib Pajak.
5. Kepala Seksi Pemeriksaan mengusulkan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka
Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP atas
permohonan, baik atas permohonan Wajib Pajak maupun secara jabatan kepada
Kepala KPP.
6. Kepala KPP menyetujui usulan sebagaimana dimaksud pada angka 4) dengan
menerbitkan Nota Dinas sebagai dasar penerbitan NP2.
7. Kepala KPP menyampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan untuk tujuan lain
dalam rangka Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP, baik atas
permohonan Wajib Pajak maupun secara jabatan kepada Kepala Kanwil DJP sesuai
dengan contoh formulir dalam Lampiran II.11 Surat Edaran ini.
8. Berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada angka 6) selanjutnya Kepala
Seksi Pemeriksaan menerbitkan SP2. Satu SP2 dapat diterbitkan untuk lebih dari satu
Wajib Pajak sesuai dengan contoh formulir dalam Lampiran II.12 Surat Edaran ini.
9. dalam hal Wajib Pajak badan yang melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, likuidasi/penutupan, atau pengambilalihan usaha
maka pemeriksaan dalam rangka permohonan penghapusan NPWP dan/atau
pencabutan pengukuhan PKP melalui Pemeriksaan Rutin.
10. dalam hal permohonan pencabutan pengukuhan PKP tidak diikuti dengan
permohonan penghapusan NPWP yang diajukan oleh Wajib Pajak badan maka
pencabutan pengukuhan PKP tersebut dilakukan melalui pemeriksaan untuk tujuan
lain.
11. Administrasi sehubungan dengan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka
penghapusan NPWP dan/atau pencabutan Pengukuhan PKP secara Jabatan dilakukan
oleh Kepala Seksi Pemeriksaan.

c. Pemeriksaan Dalam Rangka Wajib Pajak Mengajukan Keberatan Pemeriksaan dilakukan


dengan ketentuan sebagai berikut:

1. dapat dilakukan apabila terdapat perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan DJP
sehubungan dengan fakta dan data serta penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang memerlukan pengecekan lapangan;
2. dilakukan terbatas pada hal-hal atau materi sengketa yang diminta oleh unit yang
memproses penyelesaian keberatan Wajib Pajak;
3. dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa
Pajak;
4. UP2 pemeriksaan dalam rangka keberatan adalah Kanwil DJP;
5. Instruksi pemeriksaan diterbitkan oleh Kepala Kanwil DJP berdasarkan permintaan
dari Direktur Keberatan dan Banding atau Kepala Bidang Keberatan
dan Banding Kanwil DJP;
6. permintaan pemeriksaan dalam rangka keberatan harus disampaikan paling lambat 6
(enam) bulan sebelum berakhirnya jatuh tempo penyelesaian
keberatan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran II.13
Surat Edaran ini;
7. hasil pemeriksaan dituangkan dalam LHP dan harus mengungkapkan pendapat tim
Pemeriksa Pajak tentang hal-hal atau materi sengketa yang diminta oleh unit yang
memproses keberatan. LHP dikirim kepada pihak yang meminta untuk dilakukan
pemeriksaan dalam rangka keberatan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum
berakhirnya jatuh tempo penyelesaian keberatan; dan
8. hasil pemeriksaan bersifat sebagai bahan pembanding (second opinion) atau bahan
pertimbangan.

d. Pemeriksaan Dalam Rangka Pengumpulan Bahan Guna Penyusunan NPPN Pemeriksaan


dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;


2. dilakukan berdasarkan instruksi dari Direktur P2 terkait dengan adanya permintaan
atau rekomendasi dari Ketua Tim Penyusunan NPPN yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Dirjen Pajak;
3. dalam hal data untuk penyusunan norma dimaksud sudah ada atau tersedia dalam
jumlah yang cukup dari LHP yang sudah ada, permintaan dapat tidak
dilakukan;
4. instruksi pemeriksaan dikirimkan langsung kepada Kepala UP2 oleh Direktur P2; dan
5. fotokopi LHP dikirimkan langsung kepada Ketua Tim Penyusunan NPPN.

e. Pemeriksaan Dalam Rangka Penentuan Wajib Pajak Berlokasi di Daerah Terpencil


Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa


Pajak;
2. dilakukan berdasarkan instruksi Kepala Kanwil DJP;
3. dilakukan apabila ada permohonan tertulis dari Wajib Pajak untuk penetapan lokasi
usaha Wajib Pajak sebagai daerah terpencil.
4. dapat dilakukan oleh KPP tempat Wajib Pajak terdaftar (KPP Domisili) atau oleh
KPP yang wilayah kerjanya meliputi lokasi usaha tersebut (KPP Lokasi).
5. apabila pemeriksaan dalam rangka penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah
terpencil akan dilakukan oleh KPP Lokasi sebagaimana dimaksud pada
angka 2), maka Kepala Kanwil DJP atasan KPP Domisili harus menyampaikan
permintaan dilakukan pemeriksaan kepada Kepala Kanwil DJP atasan KPP Lokasi;
dan
6. mengingat LHP akan digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan Keputusan Dirjen
Pajak tentang penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil, maka LHP
tersebut harus dikirimkan langsung kepada Kepala Kanwil DJP tempat Wajib Pajak
mengajukan permohonan penetapan daerah terpencil paling lambat 1 (satu) hari sejak
tanggal LHP.

f. Pemeriksaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan


sebagai berikut:

1. dilakukan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan:


a) identitas Wajib Pajak/Penanggung Pajak pada saat pemeriksaan dilakukan;
b) harta yang dimiliki Wajib Pajak/Penanggung Pajak pada saat pemeriksaan
dilakukan; dan
c) upaya hukum dari Wajib Pajak/Penanggung Pajak dalam hal Wajib Pajak sudah
mempunyai hutang pajak sebelumnya;
2. dapat dilakukan secara bersama-sama dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan atau hanya melalui pemeriksaan untuk tujuan lain;
3. dilakukan berdasarkan usulan Kepala Seksi Penagihan kepada Kepala Seksi
Pemeriksaan;
4. berdasarkan usulan dari Kepala Seksi Penagihan, Kepala Seksi Pemeriksaan membuat
Daftar Nominatif dalam rangka penagihan pajak untuk dimintakan persetujuan dari
Kepala KPP;
5. dalam hal pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak dilakukan secara bersama-sama
dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan, maka pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak yang sama
dengan Pemeriksa Pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan Jurusita Pajak yang ditunjuk oleh Kepala KPP yang
dicantumkan dalam SP2 untuk Tujuan Lain;
6. dalam hal pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak dilakukan hanya melalui
pemeriksaan untuk tujuan lain, maka Pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak
dan Jurusita Pajak yang ditunjuk oleh Kepala KPP;
7. dalam pelaksanaan pemeriksaan, tim Pemeriksa Pajak agar melakukan antara lain hal-
hal sebagai berikut:
a) mencari alamat tempat/gudang penyimpanan harta Wajib Pajak/ Penanggung
Pajak;
b) meminjam bukti kepemilikan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
c) membuat daftar harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang sesuai dengan kondisi
terkini;
d) mencari informasi perihal wakil dari Penanggung Pajak, antara lain keluarga,
direksi, komisaris dan pemegang saham mayoritas, beserta alamat sesuai dengan bukti
identitas terakhir; dan
e) melalui Kepala UP2, Pemeriksa Pajak melakukan konfirmasi dan permintaan
keterangan serta bukti tentang identitas harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak
berdasarkan Pasal 35 UU KUP antara lain kepada: Notaris/PPAT, Badan Pertanahan
Nasional (BPN), Pemerintah Daerah, Bank, Kepolisian, dan Konsultan Pajak;
8. LHP untuk tujuan penagihan pajak dibuat tersendiri dan harus mencakup hal-hal
sebagai berikut:
a) identifikasi Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
b) penugasan pemeriksaan;
c) dasar (tujuan) pemeriksaan;
d) daftar harta kekayaan Wajib Pajak;
e) daftar bukti kepemilikan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
f) daftar lampiran;
g) uraian hasil pemeriksaan; dan
h) simpulan dan usulan pemeriksa;
9. Kepala Seksi Pemeriksaan harus menyampaikan fotokopi LHP untuk tujuan
penagihan pajak kepada Kepala Seksi Penagihan; dan
10. dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.

g. Pemeriksaan Dalam Rangka Penentuan Saat Produksi Dimulai atau Memperpanjang


Jangka Waktu Kompensasi Kerugian Sehubungan Dengan Pemberian Fasilitas Perpajakan
Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan dan dilakukan oleh Pejabat Fungsional
Pemeriksa Pajak.
2. dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak kepada Dirjen Pajak melalui
Direktur P2 yang telah mendapat Keputusan Dirjen Pajak atas nama Menteri
Keuangan tentang Persetujuan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan;
3. dilakukan berdasarkan instruksi pemeriksaan dari Direktur P2;
4. harus diselesaikan sesuai jangka waktu yang ditentukan dalam instruksi pemeriksaan;
5. LHP harus dikirim kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 1
(satu) hari setelah tanggal LHP; dan
6. harus memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah yang
mengatur tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-
bidang Usaha Tertentu dan/atau Daerah-daerah Tertentu beserta aturan
pelaksanaannya.

h. Pemeriksaan Dalam Rangka Memenuhi Permintaan Informasi dari Negara Mitra P3B
Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa


Pajak;
2. dilakukan berdasarkan instruksi pemeriksaan dari Direktur P2 sehubungan dengan
adanya permintaan informasi dari negara mitra P3B terkait dengan
Wajib Pajak tertentu dan memerlukan pemeriksaan pajak; dan
3. LHP dikirimkan kepada Direktur P2 untuk ditindaklanjuti dalam rangka memenuhi
permintaan informasi dari negara mitra P3B.

i. Pemeriksaan Dalam Rangka Menetapkan Besarnya Biaya Pada Tahapan Eksplorasi


Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. penetapan besarnya biaya pada tahapan eksplorasi di bidang usaha hulu minyak bumi
dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
PP Nomor 79 Tahun 2010 dilakukan dengan Pemeriksaan Tujuan Lain;
2. dilakukan untuk Tahun Pajak yang sudah daluwarsa penetapannya. Dalam hal belum
daluwarsa penetapannya maka dilakukan dengan Pemeriksaan Khusus;
3. dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari Badan Pelaksana;
4. dilakukan berdasarkan Instruksi Pemeriksaan dari Direktur P2; dan
5. dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa
Pajak.

j. Pemeriksaan Dalam Rangka MAP atau APA Pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:

1. dilakukan berdasarkan Instruksi Pemeriksaan dari Direktur P2 sehubungan dengan


adanya permintaan informasi terkait dengan MAP atau APA;
2. dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan dan dilakukan oleh Pejabat
Fungsional Pemeriksa Pajak atau gabungan antara Fungsional Pemeriksa Pajak dan
Petugas Pemeriksa Pajak berdasarkan pertimbangan Kepala KPP; dan
3. LHP dikirimkan kepada Direktur P2 untuk ditindaklanjuti dalam rangka memenuhi
permintaan informasi terkait dengan MAP atau APA.

3. Prosedur Usulan dan Penugasan/Instruksi Pemeriksaan untuk Tujuan Lain


a. Daftar Nominatif dan Penugasan Pemeriksaan

1. Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa untuk Tujuan Lain (Daftar
Nominatif Pemeriksaan Tujuan Lain) dibuat oleh Kepala KPP dengan menggunakan
formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran II.14 dan Lampiran II.15 Surat Edaran
ini, apabila pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam rangka penagihan pajak;
2. Daftar Nominatif Pemeriksaan Tujuan Lain oleh Kepala KPP kepada Kepala Kanwil
DJP atasannya tanpa tembusan kepada Direktur P2;
3. Daftar Nominatif Pemeriksaan Tujuan Lain harus dilengkapi dengan data atau
informasi pendukung sesuai dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan; dan
4. berdasarkan Daftar Nominatif Pemeriksaan Tujuan Lain, Kepala Kanwil DJP
membuat Surat Penugasan Pemeriksaan dan mengirimkannya kepada Kepala KPP
dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran II.16 dan
Lampiran II.17 Surat Edaran ini.

b. Instruksi Pemeriksaan

1. Instruksi pemeriksaan untuk tujuan lain dapat diterbitkan oleh Direktur P2 atau
Kepala Kanwil DJP dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam
Lampiran II.18 Surat Edaran ini, berdasarkan surat permohonan atau surat
permintaan.
2. Instruksi pemeriksaan untuk tujuan lain diterbitkan apabila terdapat permohonan atau
permintaan yang terkait dengan:
a) Wajib Pajak mengajukan keberatan;
b) pengumpulan bahan guna penyusunan NPPN;
c) penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
d) penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN;
e) penagihan pajak;
f) penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi
kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan;
g) memenuhi permintaan informasi dari negara mitra P3B;
h) menetapkan besarnya biaya pada tahapan eksplorasi; atau
i) dalam rangka MAP atau APA.

4. Dalam hal saat dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak orang pribadi ditemukan
potensi pajak, tim Pemeriksa Pajak harus mengusulkan Pemeriksaan Khusus.

H. Nomor Pengawasan Pemeriksaan (NP2) dan Kode Pemeriksaan

1. NP2
a. NP2 adalah nomor yang dihasilkan oleh aplikasi SIDJP secara otomatis sebagai sarana
untuk melakukan pengawasan administrasi pemeriksaan.

b. Untuk kepentingan pengawasan pemeriksaan, setiap SP2 baik untuk seluruh jenis pajak
maupun untuk satu atau beberapa jenis pajak harus memiliki NP2.

c. SP2 yang tidak harus memiliki NP2 hanya meliputi SP2 atas Wajib Pajak yang belum
memiliki NPWP.

d. NP2 terdiri atas 18 (Delapan belas) digit yang terbagi dalam 5 (lima) bagian dengan
struktur sebagai berikut:
-
XXX 000 BBTT 0000 0000
-
A B C D E
-

Keterangan:
A : 3 (tiga) digit pertama adalah kode unit yang memberikan persetujuan/ instruksi/penugasan
pemeriksaan, yakni Kantor Pusat (kode 000), Kanwil
DJP, atau KPP;
B : 3 (tiga) digit kedua adalah kode UP2;
C : 4 (tiga) digit ketiga terdiri atas 2 (dua) digit bulan dan 2 (dua) tahun diterbitkannya NP2;
D : 4 (empat) digit keempat adalah Kode Pemeriksaan;
E : 4 (empat) digit terakhir adalah nomor urut dari NP2 di UP2 yang bersangkutan dalam satu
tahun.

2. Kode Pemeriksaan
a. Kode Pemeriksaan mencerminkan alasan dilakukannya pemeriksaan dan harus
dicantumkan dalam setiap penugasan/persetujuan/instruksi pemeriksaan.

b. Struktur Kode Pemeriksaan terdiri dari 4 (empat) digit dengan pengelompokan sebagai
berikut:

1. Digit pertama menunjukkan Jenis Pajak/Ruang Lingkup Pemeriksaan;


2. Digit kedua menunjukkan Kriteria dan Jenis Pemeriksaan;
3. Digit ketiga menunjukkan Alasan Pemeriksaan;dan
4. Digit keempat menunjukkan Jenis Wajib Pajak yang diperiksa;
c. Digit pertama menunjukkan Jenis Pajak/Ruang Lingkup Pemeriksaan terdiri dari:
1 -> Seluruh jenis pajak
2 -> PPN
3 -> P2PPh
4 -> PPhOP/Badan
5 -> Administrasi (Untuk Pemeriksaan Tujuan Lain)
6 -> WP Lokasi
7 -> PPh Pasal 21/26
8 -> PPh Pasal 23/26
9 -> PPh Final
0 -> Beberapa jenis pajak (kode ini digunakan jika yang diperiksa adalah PPN dan P2PPh
secara sekaligus atau seluruh kewajiban perpajakan cabang dilakukan pemeriksaan)
A -> Bea Meteraid. Digit kedua menunjukkan Kriteria dan Jenis Pemeriksaan terdiri dari:

0 -> Pemeriksaan Rutin dengan Jenis Pemeriksaan Kantor oleh Pejabat Fungsional
Pemeriksa Pajak atau Gabungan antara Pejabat Fungsional Pajak dengan Petugas Pemeriksa
Pajak

1 -> Pemeriksaan Rutin dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan oleh Pejabat Fungsional
Pemeriksa Pajak atau Gabungan antara Pejabat Fungsional Pajak dengan Petugas Pemeriksa
Pajak

2 -> Pemeriksaan Tujuan Lain dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan
Kantor oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa pajak atau Gabungan antara Pejabat Fungsional
Pajak dengan Petugas Pemeriksa Pajak

3 -> Pemeriksaan Tujuan Lain dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan
Kantor oleh Petugas Pemeriksa Pajak

4 -> Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Komputerisasi dengan Jenis
Pemeriksaan Lapangan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak atau Gabungan antara
Pejabat Fungsional Pajak dengan Petugas Pemeriksa Pajak

8 -> Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret dengan Jenis
Pemeriksaan Kantor oleh Petugas Pemeriksa Pajak.

9 -> Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Manual dengan Jenis
Pemeriksaan Lapangan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak atau Gabungan antara
Pejabat Fungsional Pajak dengan Petugas Pemeriksa Pajak

e. Digit ketiga menunjukkan Alasan Pemeriksaan yang meliputi:

1) Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Rutin dengan
Jenis Pemeriksaan Kantor oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak atau Gabungan antara
Pejabat Fungsional Pajak dengan Petugas Pemeriksa Pajak (0), maka kode untuk digit ketiga
ditentukan sebagai berikut:

1 -> Perubahan Tahun Buku atau Metode Pembukuan oleh WP Go Public

2 -> Likuidasi atau Penutupan Usaha oleh WP Go Public


3 -> Penggabungan Usaha, Peleburan Usaha atau Pengambilalihan usaha oleh WP Go
Public

5 -> Pemecahan Usaha atau Pemekaran Usaha oleh WP Go Public

7 -> SPT Tahunan PPh yang menyatakan rugi oleh WP Go Public

6 -> SPT Lebih Bayar (LB) Restitusi/Kompensasi

7 -> Revaluasi Aktiva Tetap oleh WP Go Public

2) Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Rutin dengan
Jenis Pemeriksaan Lapangan oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak atau Gabungan antara
Pejabat Fungsional Pajak dengan Petugas Pemeriksa Pajak (1), maka kode untuk digit ketiga
ditentukan sebagai berikut:

1 -> Perubahan Tahun Buku atau Metode Pembukuan

2 -> Likuidasi, Penutupan Usaha, atau Akan Meninggalkan Indonesia Selama-lamanya

3 -> Penggabungan Usaha

4 -> Peleburan Usaha atau Pengambilalihan usaha

5 -> Pemecahan Usaha atau Pemekaran Usaha

6 -> Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D UU KUP

7 -> SPT Tahunan PPh yang menyatakan rugi

8 -> SPT Lebih Bayar (LB) Restitusi/Kompensasi

9 -> Revaluasi Aktiva Tetap

3) Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Khusus
berdasarkan Analisis Risiko Secara Komputerisasi dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan oleh
Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak atau Gabungan antara Pejabat Fungsional Pajak dengan
Petugas Pemeriksa Pajak (4), kode digit ketiga ditentukan sebagai berikut:

1 -> Wajib Pajak di lingkungan Kantor Wilayah DJP WP Besar dan Khusus

2 -> Wajib Pajak di KPP Madya

3 -> Wajib Pajak di KPP Pratama

4) Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Khusus
berdasarkan Analisis Risiko Secara Manual dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan oleh Pejabat
Fungsional Pemeriksa Pajak atau Gabungan antara Pejabat Fungsional Pajak dengan Petugas
Pemeriksa Pajak (9) atau Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa data
konkret dengan Jenis Pemeriksaan Kantor oleh Petugas Pemeriksa Pajak (8), maka kode digit
ketiga ditentukan:

1 -> Analisis risiko secara manual oleh Kantor Wilayah DJP (bottom up)

2 -> analisis risiko manual hasil analisis kantor pusat (top down)

3 -> laporan dan/atau pengaduan masyarakat hasil analisis Direktorat yang berwenang (top
down)

4 -> analisis risiko manual hasil analisis Kanwil DJP (top down)

5 -> laporan dan/atau pengaduan masyarakat hasil analisis Kantor Wilayah DJP (top down)

6 -> Terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan ketidakpatuhan WP
(bottom-up)

9 -> Pemeriksaan Khusus dalam rangka Pemeriksaan Ulang.

5) Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Tujuan Lain
dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor oleh Pejabat Fungsional
Pemeriksa Pajak atau Gabungan antara Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak dengan Petugas
Pemeriksa Pajak (2) atau Pemeriksaan Tujuan Lain dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan atau
Pemeriksaan Kantor oleh Petugas Pemeriksa Pajak (3), maka kode digit ketiga ditentukan:

1 -> Penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan PKP secara jabatan

2 -> Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP berdasarkan permohonan


WP

3 -> penentuan saat produksi dimulai

4 -> Penentuan Wajib Pajak Berlokasi di Daerah Terpencil

5 -> Penetapan Besarnya Biaya Pada Tahapan Eksplorasi

6 -> Penagihan Pajak

7 -> Keberatan

8 -> Pengumpulan Bahan Guna Penyusunan NPPN

9 -> Pemeriksaan Dalam Rangka Memenuhi Permintaan Informasi dari Negara Mitra P3B

0 -> Permintaan lainnya

A -> Perpanjangan Jangka Waktu Kompensasi Kerugian Sehubungan dengan Pemberian


Fasilitas Perpajakan

B -> MAP
C -> APA

D -> Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP secara jabatan

f. Digit keempat menunjukkan Jenis Wajib Pajak yang meliputi:

1 -> Orang Pribadi

2 -> Badan

g. Berdasarkan struktur tersebut di atas, Kode Pemeriksaan untuk masing-masing


Kriteria dan Jenis Pemeriksaan ditentukan sebagai berikut:

1) Kode Pemeriksaan Rutin

Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan Pemeriksa
No. Alasan Pemeriksaan Pemeriksa
Kantor Lapangan
OP Badan OP Ba
1 Perubahan Tahun Buku/Perubahan Metode Pembukuan Fungsional/Gabungan 1012 1111 111
2 Meninggalkan Indonesia Selama-lamanya Fungsional/Gabungan 1121
Likuidasi atau Penutupan Usaha:
Fungsional/Gabungan 1022 1121 112
3 a. Domisili
b. Cabang Fungsional/Gabungan 0022 0121 012
4 Penggabungan Usaha Fungsional/Gabungan 1032 1131 113
5 Peleburan Usaha atau Pengambilalihan usaha Fungsional/Gabungan 1042 1141 114
6 Pemecahan Usaha atau Pemekaran Usaha Fungsional/Gabungan 1052 1151 115
Wajib Pajak Yang Telah Diberikan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Sebagaimana
Dimaksud Dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang- Fungsional/Gabungan 1161 116
7
Undang KUP
a. Seluruh jenis pajak
b. PPN Fungsional/Gabungan 2161 216
SPT Tahunan PPh Rugi: Fungsional/Gabungan 4171 417
a. PPh OP/Badan (satu jenis pajak)
8 Fungsional/Gabungan 0171 017
b. Beberapa Jenis Pajak
c. Seluruh Jenis Pajak Fungsional/Gabungan 1171 117
SPT Lebih Bayar: Fungsional/Gabungan 2181 218
a. Masa PPN Fungsional/Gabungan 1181 118
9
b. PPh OP/Badan (semua jenis pajak)
c. PPh OP/Badan (satu jenis pajak) Fungsional/Gabungan 4181 418
10 Revaluasi Aktiva Tetap Fungsional/Gabungan 1191 119

2) Kode Pemeriksaan Khusus Berdasarkan Keterangan Lain Berupa Data Konkret dan
Berdasarkan Analisis Risiko Manual

Jenis Pemeriksaan
No. Kriteria Pemeriksaan Pemeriksa
Pemeriksaan Pemer
Kantor Lapang
OP Badan OP B
Terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan 2861 2862
ketidakpatuhan WP 3861 3862
a. PPN 4861 4862
b. P2PPh Petugas 7861 7862
1 c. PPh Pasal 25/29 Pemeriksa
8861 8862
d. PPh Pasal 21/26 Pajak
e. PPh Pasal 23/26 9861 9862
f. PPh Final A861 A862
g. Bea Meterai
Analisis Risiko secara Manual Kantor Wilayah DJP (bottom-up) 1911 1
a. Seluruh jenis pajak 2911 2
b. PPN 3911 3
c. P2PPh 4911 4
d. PPh Pasal 25/29 Fungsional/
2 7911 7
e. PPh Pasal 21/26 Gabungan
f. PPh Pasal 23/26 8911 8
g. PPh Final 9911 9
h. Beberapa Jenis Pajak 0911 0
i. Bea Meterai A911 A
Analisis Risiko Secara Manual hasil analisis Kantor Pusat (top-down): 1921 1
a. Seluruh jenis pajak 2921 2
b. PPN 3921 3
c. P2PPh 4921 4
d. PPh Pasal 25/29 Fungsional/
3 7921 7
e. PPh Pasal 21/26 Gabungan
f. PPh Pasal 23/26 8921 8
g. PPh Final 9921 9
h. Beberapa Jenis Pajak 0921 0
i. Bea Meterai A921 A
Analisis Risiko Secara Manual Kanwil DJP (top-down): 1941 1
a. Seluruh jenis pajak 2941 2
b. PPN 3941 3
c. P2PPh 4941 4
d. PPh Pasal 25/29 Fungsional/
4 7941 7
e. PPh Pasal 21/26 Gabungan
f. PPh Pasal 23/26 8941 8
g. PPh Final 9941 9
h. Beberapa Jenis Pajak 0941 0
i. Bea Meterai A941 A
Laporan dan Pengaduan Masyarakat Hasil Analisis Direktorat yang 1931 1
berwenang (top- down): 2931 2
a. Seluruh jenis pajak 3931 3
Fungsional/
5 b. PPN 4931 4
Gabungan
c. P2PPh 7931 7
d. PPh Pasal 25/29 8931 8
e. PPh Pasal 21/26 9931 9
f. PPh Pasal 23/26 0931 0
g. PPh Final
h. Beberapa Jenis Pajak A931 A
i. Bea Meterai
Laporan dan Pengaduan Masyarakat Hasil Analisis Kanwil DJP (top- 1951 1
down): 2951 2
a. Seluruh jenis pajak 3951 3
b. PPN 4951 4
c. P2PPh
Fungsional/ 7951 7
6 d. PPh Pasal 25/29
Gabungan 8951 8
e. PPh Pasal 21/26
f. PPh Pasal 23/26 9951 9
g. PPh Final 0951 0
h. Beberapa Jenis Pajak
A951 A
i. Bea Meterai
Pemeriksaan Khusus dalam rangka Pemeriksaan Ulang 1991 1
a. Seluruh jenis pajak 2991 2
b. PPN 3991 3
c. P2PPh 4991 4
d. PPh Pasal 25/29 Fungsional/
7 7991 7
e. PPh Pasal 21/26 Gabungan
f. PPh Pasal 23/26 8991 8
g. PPh Final 9991 9
h. Beberapa Jenis Pajak 0991 0
i. Bea Meterai A991 A

3) Kode Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Komputerisasi

Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan P
No. Kriteria Pemeriksaan Pemeriksa
Kantor L
OP Badan O
WP di lingkungan Kanwil DJP WP Besar dan Khusus 1
a. Seluruh jenis pajak 2
b. PPN 3
c. P2PPh 4
d. PPh Pasal 25/29 Fungsional/
1 7
e. PPh Pasal 21/26 Gabungan
f. PPh Pasal 23/26 8
g. PPh Final 9
h. Beberapa Jenis Pajak 0
i. Bea Meterai A
WP di KPP Madya 1
a. Seluruh jenis pajak 2
b. PPN Fungsional/ 3
2
c. P2PPh Gabungan 4
d. PPh Pasal 25/29 7
e. PPh Pasal 21/26 8
f. PPh Pasal 23/26 9
g. PPh Final 0
h. Beberapa Jenis Pajak
i. Bea Meterai A
WP di KPP Pratama 1
a. Seluruh jenis pajak 2
b. PPN 3
c. P2PPh 4
d. PPh Pasal 25/29 Fungsional/
3 7
e. PPh Pasal 21/26 Gabungan
f. PPh Pasal 23/26 8
g. PPh Final 9
h. Beberapa Jenis Pajak 0
i. Bea Meterai A

4) Kode Pemeriksaan Tujuan Lain

Jenis Pemeriksa
Pemeriksaan Pe
No. Alasan Pemeriksaan Pemeriksa
Kantor La
OP Badan OP
Petugas 53
1 Penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan PKP Secara Jabatan
Fungsional/Gabungan 52
Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP Petugas 5321 5322 53
2
berdasarkan permohonan WP Fungsional/Gabungan 5221 5222 52
Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP Petugas 53D1 53D2 53
3
secara jabatan Fungsional/Gabungan 52D1 52D2 52
4 Penentuan Saat Produksi Dimulai Fungsional/Gabungan 52
5 Penentuan Wajib Pajak Berlokasi di Daerah Terpencil Fungsional/Gabungan 52
6 Penetapan Besarnya Biaya Pada Tahapan Eksplorasi Fungsional/Gabungan 52
7 Penagihan Pajak Fungsional/Gabungan 52
8 Keberatan Fungsional/Gabungan 52
Pengumpulan Bahan Guna Penyusunan Norma Penghitungan
9 Fungsional/Gabungan 52
Penghasilan Neto
Pemeriksaan Dalam Rangka Memenuhi Permintaan Informasi dari
10 Fungsional/Gabungan 52
Negara Mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Perpanjangan Jangka Waktu Kompensasi Kerugian Sehubungan
11 Fungsional/Gabungan 52
dengan Pemberian Fasilitas Perpajakan
12 Mutual Agreement Procedure (MAP) Fungsional/Gabungan 52
13 Advanced Pricing Agreement (APA) Fungsional/Gabungan 52
13 Permintaan Lainnya Fungsional/Gabungan 52

I. Ketentuan Peralihan

1. Terhadap SP2 yang diterbitkan sebelum berlakunya Surat Edaran ini dan pemeriksaan
belum selesai, proses penyelesaian selanjutnya dilakukan berdasarkan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini.
2. Terhadap pemeriksaan untuk menguji kepatuhan yang ditindaklanjuti dengan
Pemeriksaan Bukti Permulaan dan telah dibuat LHP Sumir, Pemeriksaan tersebut
dapat dilanjutkan dengan meneruskan SP2 sebelumnya atau membuat SP2 Perubahan
sepanjang hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan menyatakan bahwa tidak terdapat
indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, dengan ketentuan usulan Pemeriksaan
dilakukan dengan prosedur Pemeriksaan Khusus bottom-up sebagaimana diatur dalam
Surat Edaran ini.

J. Ketentuan Penutup

Dengan berlakunya Surat Edaran ini, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-28/PJ/2013
tentang Kebijakan Pemeriksaan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Februari 2016
Plt. DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 19571108198408100
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

___________________________________________________________________________
_________________

21 April 2016

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 20/PJ/2016

TENTANG

KODE NOTA PENGHITUNGAN DAN KODE KETETAPAN PER JENIS PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan diberlakukannya beberapa peraturan terkait pemeriksaan, penelitian, dan


Pajak Bumi dan Bangunan, maka perlu dilakukan penyempurnaan Kode Nota Penghitungan
dan Kode Ketetapan Per Jenis Pajak dalam rangka tertib administrasi.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan petunjuk
dalam rangka pemberian kode nota penghitungan dan kode ketetapan per jenis pajak.

2. Tujuan

Tujuan Surat Edaran Direktur Jenderal ini adalah memberikan kepastian hukum dan tertib
administrasi dalam penerbitan nota penghitungan dan ketetapan pajak dalam rangka
memudahkan pengawasan.

C. Ruang Lingkup

1. Pengaturan mengenai Kode Nota Penghitungan terkait kegiatan pemeriksaan,


penelitian, dan pemeriksaaan bukti permulaan.
2. Pengaturan mengenai Kode Ketetapan Per Jenis Pajak yang diklasifikasikan sebagai
berikut:

a. Pajak umum yang terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) umum, Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bunga/Denda Penagihan, PPh Final, PPN
Membangun Sendiri, Pajak Penjualan Batubara, Pajak yang seharusnya tidak terutang,
Pengembalian PPN kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri, dan Bea Meterai; dan

b. Pajak Bumi dan Bangunan.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2011 tentang Permohonan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan
Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak sebagaimana diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang Klasifikasi dan
Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi Dan
Bangunan;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi Dan Bangunan;
8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2012 Tentang Bentuk dan Isi
Nota Penghitungan, Bentuk dan Isi Surat Ketetapan Pajak serta Bentuk dan Isi Surat
Tagihan Pajak sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-33/PJ/2015;
9. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-37/PJ/2015 tentang Pengawasan
Wajib Pajak Baru;
10. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-74/PJ/2015 tentang Pelaksanaan
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73P/Hum/2013 Tentang Uji
Materiil Terhadap Pasal-Pasal Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;
11. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan
Pemeriksaan.

E. Materi

1. Kode Nota Penghitungan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Surat


Edaran Direktur Jenderal ini.
2. Kode Ketetapan per Jenis Pajak adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran II
Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

F. Penutup

Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan dengan berlakunya Surat Edaran ini,
maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-61/PJ/2013 tanggal 24 Desember
2013 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 21 April 2016

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI

NIP 195711081984081001
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE 24/PJ/2016
TENTANG
JAM PELAYANAN DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
SELAMA BULAN RAMADHAN 1437 HIJRIYAH
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Umum
Sehubungan dengan bulan Ramadhan 1437 Hijriyah, perlu dilakukan pengaturan dan
penyesuaian jam pelayanan pada Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) Kantor Pelayanan
A.
Pajak (KPP) dan Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), serta
jam pelayanan untuk berbicara dengan agen Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan
Direktorat Jenderal Pajak (KLIP DJP) selama bulan Ramadhan 1437 Hijriyah.
Maksud dan Tujuan
Maksud
1.Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan standar jam
pelayanan oleh KPP, KP2KP dan KLIP DJP selama bulan Ramadhan 1437 Hijriyah.
B. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk menjaga terlaksananya pelayanan
2.perpajakan yang prima kepada masyarakat serta memberikan waktu kepada pegawai di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak untuk menjalani ibadah puasa pada bulan
Ramadhan 1437 Hijriyah.
Ruang Lingkup
Surat Edaran Direktur Jenderal ini ditujukan untuk Kepala KPP, Kepala KLIP dan Kepala
KP2KP.
C.
Surat Edaran Direktur Jenderal ini mengatur tentang jam pelayanan pada TPT KPP dan
KP2KP, serta jam pelayanan untuk berbicara dengan agen KLIP DJP selama bulan
Ramadhan 1437 Hijriyah.
Dasar Hukum

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 211/PMK.01/2014 tanggal 13 November 2014


tentang Hari dan Jam Kerja di lingkungan Kementerian Keuangan;
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2014 tanggal 25 Juli 2014
tentang Penyelenggaraan Pelayanan pada Kantor Layanan Informasi dan
Pengaduan Direktorat Jenderal Pajak;
D.
3. Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor 15/MK.1/2016 tanggal 3 Juni 2016 tentang
Jam Kerja di lingkungan Kementerian Keuangan Selama Bulan Ramadhan 1437 H;
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2013 tanggal 6 Maret 2013
tentang Panduan Pelayanan Prima Direktorat Jenderal Pajak; dan
5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-84/PJ/2011 tanggal 15 November
2011 tentang Pelayanan Prima.

Ketentuan
Jam pelayanan pada bulan Ramadhan 1437 Hijriyah adalah pukul 08.00 sampai dengan
15.00 waktu setempat. Selisih waktu antara jam kerja dengan jam pelayanan digunakan
untuk persiapan dalam memberikan pelayanan (doa dan semangat pagi, pengarahan,
1.
E. merapikan tata ruang dan administrasi serta persiapan bagi petugas TPT dan agen KLIP
DJP) dan persiapan tutup layanan (melakukan evaluasi layanan yang telah diberikan,
merapikan dan menyelesaikan administrasi layanan pada hari tersebut).
Pada jam istirahat (termasuk hari Jumat), pelayanan tetap diberikan dengan cara
2.
mengatur secara bergiliran petugas yang beristirahat dan menambah jumlah petugas jika
terjadi antrian yang panjang.
Kepala KPP, Kepala KP2KP dan Kepala KLIP DJP diharapkan tetap menjaga
terlaksananya pelayanan perpajakan yang prima kepada masyarakat selama bulan
Ramadhan 1437 Hijriyah dengan berpedoman pada ketentuan dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal ini dan juga ketentuan dalam:

1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-84/PJ/2011 tentang Pelayanan


3. Prima;
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2013 tentang Panduan
Pelayanan Prima Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ/2014 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan pada Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan
Direktorat Jenderal Pajak.

Kepala KPP, Kepala KP2KP dan Kepala KLIP DJP agar menyebarluaskan informasi
mengenai perubahan jam pelayanan selama bulan Ramadhan 1437 Hijriyah sesuai Surat
4.
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini kepada masyarakat dan Wajib Pajak dalam wilayah
kerjanya.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 06 Juni 2016
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 21/PJ/2016

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN KEGIATAN INTELIJEN PERPAJAKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan telah dibentuknya Direktorat Intelijen Perpajakan sebagaimana


dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Keuangan dan dalam rangka memberikan pedoman pelaksanaan
kegiatan intelijen di Direktorat
Intelijen Perpajakan, perlu menerbitkan Surat Edaran tentang Tata Cara Pelaksanaan
Kegiatan Intelijen Perpajakan.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran ini disusun sebagai pedoman bagi Unit Kerja di Lingkungan Direktorat Intelijen
Perpajakan dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya. Penetapan Surat Edaran
ini dimaksudkan untuk memberikan petunjuk pelaksanaan kegiatan intelijen perpajakan.

2. Tujuan

Surat Edaran ini bertujuan untuk menciptakan tata kelola yang baik atas pelaksanaan kegiatan
intelijen perpajakan sehingga diperoleh hubungan kerja dan hasil yang akuntabel, transparan,
dan berdaya guna antara Unit Kerja di Lingkungan Direktorat Intelijen Perpajakan dengan
para pemangku kepentingan (stakeholder) di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan pihak
luar di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi:

1. Pengertian umum;
2. Kegiatan intelijen perpajakan;
3. Tata cara pelaksanaan kegiatan intelijen perpajakan pada Unit Kerja di Lingkungan
Direktorat Intelijen Perpajakan.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4999);
2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 234/PMK.01/2015 tanggal
21 Desember 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan;
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-3/PJ/2011 tanggal 19 Januari 2011
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengembangan dan Analisis Informasi, Data, Laporan,
dan Pengaduan Melalui Pengamatan atau Kegiatan Intelijen Perpajakan;
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2014 tanggal 2 Juli 2014 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan dan Analisis Informasi, Data, Laporan, dan
Pengaduan;
5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ/2016 tanggal 26 Februari 2016
tentang Penerapan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan;
6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2015 tanggal 30 September
2015 tentang Pelaksanaan Operasional Tim Pusat Analisis Perpajakan (Center for Tax
Analysis).

E. Materi

1. Pengertian

Dalam Surat Edaran ini, yang dimaksud dengan:

a. Kegiatan Intelijen Perpajakan adalah serangkaian kegiatan dalam siklus intelijen yang
dilakukan oleh Petugas Intelijen Perpajakan yang meliputi perencanaan, pengumpulan,
pengolahan, dan penyajian data dan/atau informasi sehingga diperoleh suatu produk intelijen
yang berisi data dan/atau informasi terkait Wajib Pajak sehubungan dengan terjadinya suatu
transaksi, peristiwa, dan/atau keadaan yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan/atau indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.

b. Petugas Intelijen Perpajakan adalah Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan


Direktorat Jenderal Pajak yang ditugaskan untuk melakukan kegiatan intelijen perpajakan.

2. Kegiatan Intelijen Perpajakan

a. Kegiatan intelijen perpajakan dilakukan berdasarkan:

1) Permintaan dari pihak manajemen Direktorat Jenderal Pajak;


2) Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan (IDLP);
3) Hasil pengembangan data dan/atau informasi yang dilakukan oleh fungsi pengawasan
maupun penegakan hukum;
4) Rencana kegiatan intelijen perpajakan.

b. Kegiatan Intelijen Perpajakan meliputi:

1) Kegiatan Intelijen Stratejik;


2) Kegiatan Intelijen Penggalian Potensi;
3) Kegiatan Intelijen Penegakan Hukum;
4) Kegiatan Operasi Intelijen.
c. Kegiatan Intelijen Perpajakan dilaksanakan oleh Petugas Intelijen Perpajakan.

d. Kegiatan Intelijen Perpajakan dilakukan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan,


distribusi, dan pemantauan pemanfaatan hasil kegiatan intelijen perpajakan.

e. Hasil dari kegiatan intelijen perpajakan berupa data dan/atau informasi yang dapat
digunakan untuk kepentingan perpajakan.

f. Berdasarkan hasil kegiatan intelijen perpajakan, Petugas Intelijen Perpajakan menyusun


laporan hasil kegiatan intelijen perpajakan, antara lain berupa:

1) Laporan Data dan/atau Informasi;


2) Laporan Intelijen Lapangan;
3) Laporan Hasil Intelijen Perpajakan;
4) Lembar Informasi;
5) Laporan Atensi.

g. Berdasarkan laporan hasil kegiatan intelijen perpajakan, Direktur Intelijen Perpajakan


dapat mendistribusikan informasi intelijen perpajakan kepada pihak-pihak terkait sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Intelijen Perpajakan pada Unit Kerja di Lingkungan
Direktorat Intelijen Perpajakan

a. Kegiatan Intelijen Stratejik

1) Kegiatan Intelijen Stratejik meliputi:


a) Penyusunan kajian intelijen stratejik;
b) Penerimaan, identifikasi, dan distribusi IDLP;
c) Pengumpulan, pengolahan, dan diseminasi intelijen;
d) Pengembangan dan pemeliharaan aplikasi pendukung kegiatan intelijen;
e) Pengawasan dan pemeliharaan alat khusus intelijen;
f) Pengamanan dan penggalangan;
g) Kerjasama dan koordinasi intelijen terhadap pihak eksternal dan internal serta
pembentukan dan pembinaan jaringan.

2) Kegiatan Intelijen Stratejik memiliki input antara lain:

a) Nota Dinas Rahasia dari pihak manajemen DJP;


b) Rencana Pengumpulan Data dan/atau lnformasi (Renpuldatin) kegiatan intelijen stratejik;
c) Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan (IDLP);
d) Data dan/atau informasi yang dihasilkan oleh Kegiatan Intelijen Penggalian Potensi,
Kegiatan Intelijen Penegakan Hukum, dan Kegiatan Operasi Intelijen;
e) Data dan/atau informasi yang berasal dari internal maupun eksternal DJP.

3) Berdasarkan hasil penelitian dan/atau identifikasi, input dari hasil kegiatan sebagaimana
dimaksud pada angka 2) huruf a) dan c) yang diterima oleh
Subdirektorat Intelijen Stratejik sebagai administrator utama dalam kegiatan intelijen di
Direktorat Intelijen Perpajakan dapat ditindaklanjuti oleh Subdirektorat Intelijen Stratejik
atau dapat didistribusikan kepada:
a) Subdirektorat Intelijen Penggalian Potensi dalam hal data dan/atau informasi yang
didistribusikan tersebut tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau
terdapat data dan/atau informasi terkait potensi pajak;
b) Subdirektorat Intelijen Penegakan Hukum dalam hal data dan/atau informasi yang
didistribusikan tersebut terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan;
c) Subdirektorat Operasi Intelijen dalam hal data dan/atau informasi tersebut berupa
permintaan bantuan operasional kegiatan intelijen di lapangan.

4) kegiatan intelijen Stratejik memiliki output antara lain:

a) Rencana Pengumpulan Data dan/atau Informasi (Renpuldatin) kegiatan intelijen stratejik;


b) Laporan Hasil Intelijen Perpajakan (LHIP) Stratejik;
c) Laporan Atensi (LA);
d) Formulir Penerimaan IDLP;
e) IDLP yang telah diidentifikasi menggunakan Lembar Identifikasi IDLP;
f) Laporan Pengamanan dan/atau Penggalangan;
g) Nota Dinas Rahasia penyampaian permintaan kegiatan intelijen lapangan;
h) Nota Dinas Rahasia penyampaian informasi kepada pihak terkait.

5) Administrator sebagaimana dimaksud pada angka 2) huruf c), dilaksanakan oleh Seksi
Penerimaan, Identifikasi, dan Distribusi IDLP.

6) Administrator sebagaimana dimaksud pada selain angka 2) huruf c), dilaksanakan oleh
Seksi Pengumpulan, Pengolahan, dan Diseminasi Intelijen.

7) Kegiatan intelijen stratejik dapat dilakukan di dalam kantor maupun di lapangan.

8) Kegiatan intelijen stratejik dilakukan di kantor untuk kepentingan pendeteksian dan


peringatan dini dalam rangka perumusan kebijakan, strategi dan
pengambilan keputusan Direktur Jenderal Pajak.

9) Kegiatan intelijen stratejik dilakukan di lapangan untuk kepentingan pengamanan dan


penggalangan dalam rangka pengamanan VVIP,
pengamanan kegiatan, pengamanan fisik kantor, dan melakukan kerjasama dan koordinasi
dengan pihak eksternal dan internal DJP, serta pembentukan
dan pembinaan jaringan. Seluruh hasil analisis dari Subdirektorat Intelijen Penggalian Potensi
dan Subdirektorat Intelijen Penegakan Hukum serta hasil
operasi intelijen dari Subdirektorat Operasi Intelijen disampaikan ke Subdirektorat Intelijen
Stratejik pada Seksi Pengumpulan, Pengolahan, dan Diseminasi Intelijen kecuali permintaan
dan hasil kegiatan intelijen perpajakan dari unit kerja lain yang bersifat rahasia.

b. Kegiatan Intelijen Penggalian Potensi

1) Kegiatan Intelijen Penggalian Potensi meliputi:

a) Pelaksanaan analisis ekonomi, proses bisnis, dan modus ketidakpatuhan Wajib Pajak;
b) Distribusi data kepada Unit Vertikal Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka pemanfaatan
data penggalian potensi Wajib Pajak;
c) Pemantauan pemanfaatan data dalam rangka penggalian potensi Wajib Pajak;
d) Evaluasi kegiatan analisis ekonomi, proses bisnis, dan modus ketidakpatuhan Wajib Pajak
serta pemanfaatan data.

2) Kegiatan Intelijen Penggalian Potensi memiliki input antara lain:

a) IDLP yang telah diidentifikasi Subdirektorat Intelijen Stratejik tidak mengandung unsur
tindak pidana perpajakan;
b) Nota Dinas Rahasia permintaan kegiatan intelijen penggalian potensi dari Subdirektorat
Intelijen Stratejik;
c) Nota Dinas penerusan dari Subdirektorat Intelijen Penegakan Hukum dalam hal
berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Subdirektorat Intelijen Penegakan Hukum
diketahui tidak terdapat unsur tindak pidana di bidang perpajakan;
d) Nota Dinas Rahasia penyampaian data dan/atau informasi lapangan dari Subdirektorat
Operasi Intelijen;
e) Data dan/atau informasi tambahan dari Operasi Intelijen berdasarkan permintaan bantuan
pelaksanaan Kegiatan Intelijen Perpajakan di lapangan yang diusulkan oleh Petugas Intelijen
Perpajakan dalam hal dibutuhkan data dan informasi tambahan;
f) Rencana Pengumpulan Data dan/atau Informasi (Renpuldatin) kegiatan intelijen
penggalian potensi pajak;
g) Data dan/atau informasi dari sumber-sumber lain yang mendukung pelaksanaan kegiatan
intelijen penggalian potensi baik yang berasal
dari internal maupun eksternal DJP.

3) Kegiatan intelijen Penggalian Potensi memiliki output antara lain:

a) Rencana Pengumpulan Data dan/atau Informasi (Renpuldatin) kegiatan intelijen


penggalian potensi;
b) Nota Dinas Rahasia penyampaian data dan/atau informasi ke Subdirektorat Intelijen
Penegakan Hukum apabila dalam proses analisis ditemukan adanya indikasi tindak pidana di
bidang perpajakan;
c) Nota Dinas Rahasia ke Subdirektorat Intelijen Stratejik apabila dalam proses analisis
ditemukan adanya data dan/atau informasi yang dapat
menjadi bahan analisis deteksi dan/atau peringatan dini untuk kepentingan Direktur Jenderal
Pajak;
d) Nota Dinas Permintaan Bantuan Pelaksanaan Kegiatan Intelijen Lapangan ke
Subdirektorat Operasi Intelijen dalam hal dibutuhkan data dan informasi tambahan;
e) Laporan Hasil Intelijen Perpajakan (LHIP) Penggalian Potensi;
f) Lembar Informasi (LI).

4) Dalam melakukan kegiatan intelijen penggalian potensi, Subdirektorat Intelijen Penggalian


Potensi dapat berkoordinasi dengan Subdirektorat Intelijen
Stratejik, Subdirektorat Intelijen Penegakan Hukum, maupun Subdirektorat Operasi Intelijen.

c. Kegiatan Intelijen Penegakan Hukum

1) Kegiatan Intelijen Penegakan Hukum meliputi:

a) Pelaksanaan pengembangan dan analisis IDLP di bidang penegakan hukum perpajakan;


b) Distribusi hasil pengembangan dan analisis IDLP di bidang penegakan hukum perpajakan
kepada Direktorat Penegakan Hukum dalam rangka tindak lanjut terkait adanya tindak pidana
di bidang perpajakan;
c) Evaluasi pelaksanaan pengembangan dan analisis IDLP di bidang penegakan hukum
perpajakan.

2) Kegiatan intelijen Penegakan Hukum memiliki input antara lain:

a) IDLP dari Seksi Penerimaan, Identifikasi, dan Distribusi IDLP, Subdirektorat Intelijen
Stratejik;
b) Nota Dinas Rahasia permintaan kegiatan intelijen penegakan hukum dari Subdirektorat
Intelijen Stratejik;
c) Nota Dinas Penerusan dari Subdirektorat Intelijen Penggalian Potensi dalam hal
berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Subdirektorat Intelijen Penggalian Potensi
diketahui terdapat unsur tindak pidana di bidang perpajakan;
d) Nota Dinas Rahasia penyampaian data dan/atau informasi lapangan dari Subdirektorat
Operasi Intelijen;
e) Data dan/atau informasi tambahan dari Operasi Intelijen berdasarkan permintaan bantuan
pelaksanaan Kegiatan Intelijen Perpajakan
di lapangan yang diusulkan oleh Petugas Intelijen Perpajakan dalam hal dibutuhkan data dan
informasi tambahan;
f) Rencana Pengumpulan Data dan/atau Informasi (Renpuldatin) kegiatan intelijen penegakan
hukum;
g) Data dan/atau informasi dari sumber-sumber lain yang mendukung pelaksanaan Kegiatan
Intelijen Penegakan Hukum baik itu yang
berasal dari internal maupun eksternal DJP.

3) Kegiatan intelijen Penegakan Hukum memiliki output antara lain:

a) Rencana Pengumpulan Data dan/atau Informasi (Renpuldatin) dalam hal usulan kegiatan
intelijen penegakan hukum berasal dari luar
Subdirektorat Intelijen Penegakan Hukum;
b) Nota Dinas Rahasia ke Subdirektorat Intelijen Stratejik apabila dalam proses analisis
ditemukan adanya data dan/atau informasi yang dapat
menjadi bahan analisis deteksi dan/atau peringatan dini untuk kepentingan Direktur Jenderal
Pajak;
c) Nota Dinas Rahasia penyampaian data dan/atau informasi ke Subdirektorat Intelijen
Penggalian Potensi apabila dalam proses analisis tidak ditemukan adanya indikasi tindak
pidana di bidang perpajakan dan/atau terdapat data dan/atau informasi terkait potensi pajak;
d) Nota Dinas Rahasia Permintaan Bantuan Kegiatan Operasi Intelijen dalam hal pelaksanaan
pengembangan dan analisis IDLP membutuhkan
data dan/atau informasi tambahan;
e) Laporan Hasil Intelijen Perpajakan (LHIP) Penegakan Hukum;
f) Lembar Informasi (LI).

4) Dalam melakukan kegiatan intelijen penegakan hukum, Subdirektorat Intelijen Penegakan


Hukum dapat berkoordinasi dengan Subdirektorat Intelijen Stratejik, Subdirektorat Intelijen
Penggalian Potensi, maupun Subdirektorat Operasi Intelijen.

d. Kegiatan Operasi Intelijen

1) Kegiatan Operasi Intelijen meliputi:


a) Pengusulan kegiatan operasi intelijen perpajakan;
b) Perencanaan kegiatan operasi intelijen perpajakan;
c) Pengumpulan dan pengolahan data dan/atau informasi dalam rangka kegiatan operasi
intelijen perpajakan;
d) Analisis dan pelaporan data dan/atau informasi dalam kegiatan operasi intelijen
perpajakan;
e) Pemantauan dan evaluasi kegiatan operasi intelijen perpajakan.

2) Kegiatan Operasi Intelijen memiliki input antara lain:


a) Rencana Pengumpulan Data dan/atau Informasi (Renpuldatin) kegiatan operasi intelijen;
b) Nota Dinas Rahasia permintaan kegiatan operasi intelijen dari Subdirektorat Intelijen
Stratejik, Subdirektorat Intelijen Penggalian Potensi, dan Subdirektorat Intelijen Penegakan
Hukum;
c) Data dan/atau informasi yang berasal dari internal maupun eksternal DJP;
d) Permintaan dari manajemen DJP.

3) Kegiatan Operasi Intelijen memiliki output antara lain:


a) Rencana Pengumpulan Data dan/atau Informasi (Renpuldatin) kegiatan operasi intelijen;
b) Surat penugasan operasi intelijen;
c) Laporan Data dan/atau Informasi;
d) Laporan Intelijen Lapangan untuk kegiatan intelijen yang permintaannya berasal dari
Subdirektorat Intelijen Stratejik, Subdirektorat Intelijen Penggalian Potensi, Subdirektorat
Intelijen Penegakan Hukum;
e) Laporan Hasil Intelijen Perpajakan (LHIP) Operasi Intelijen;
f) Lembar Informasi (LI);
g) Nota Dinas pengiriman Laporan Intelijen Lapangan.

4) Dalam melakukan kegiatan operasi intelijen, Subdirektorat Operasi Intelijen dapat


berkoordinasi dengan Subdirektorat Intelijen Stratejik, Subdirektorat
Intelijen Penggalian Potensi, maupun Subdirektorat Intelijen Penegakan Hukum.

e. Tata Cara Kegiatan intelijen

Tata cara pelaksanaan kegiatan intelijen sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini, dengan rincian sebagai
berikut:

1) Tata Cara Penerimaan, Identifikasi, dan Distribusi IDLP di Direktorat Intelijen Perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1.1;
2) Tata Cara Pengumpulan, Pengolahan, dan Diseminasi Intelijen Perpajakan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 1.2;
3) Tata Cara Kerja Sama dan Koordinasi Intelijen Perpajakan dengan Pihak Eksternal
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1.3;
4) Tata Cara Pelaksanaan Analisis Ekonomidi Direktorat Intelijen Perpajakan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 1.4;
5) Tata Cara Pengembangan dan Analisis IDLP di Direktorat Intelijen Perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1.5;
6) Tata Cara Penugasan Pelaksanaan Kegiatan Intelijen Perpajakan sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 1.6;
7) Tata Cara Pengusulan Kegiatan Intelijen Perpajakan di Direktorat Intelijen Perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I. 7;
8) Tata Cara Perencanaan Kegiatan Intelijen Perpajakan di Direktorat Intelijen Perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1.8;
9) Tata Cara Pengumpulan dan Pengolahan Data dan/atau Informasi dalam Kegiatan Operasi
Intelijen Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran 1.9;
10) Tata Cara Analisis dan Pelaporan Data dan/atau Informasi dalam Kegiatan Operasi
Intelijen Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1.1;
11) Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan Intelijen Perpajakan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 1.11;
12) Tata Cara Kerja Sama Komunitas Intelijen sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1.12;
13) Tata Cara Kegiatan Intelijen Penegakan Hukum dalam Rangka Pengembangan dan
Analisis IDLP di Direktorat Intelijen Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
1.13;

F. Penutup

1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
2. SOP terkait kegiatan intelijen yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-167/PJ/2015 tentang Standar Operasional Prosedur Baru, Revisi, dan Hapus Semester I
Tahun 2015 di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II Surat Edaran ini selanjutnya dilaksanakan berdasarkan tata cara pelaksanaan
kegiatan intelijen sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran ini.
3. Tata cara pelaksanaan kegiatan intelijen perpajakan yang belum diatur dalam Surat Edaran
ini, pelaksanaan kegiatan intelijen dimaksud mengacu pada ketentuan peraturan yang berlaku.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 21 April 2016

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


___________________________________________________________________________
_________________

31 Maret 2016

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 13/PJ/2016

TENTANG

PROSEDUR PELAKSANAAN PEREKAMAN

DAN TRANSFER DATA DI KANTOR

PENGOLAHAN DATA DAN DOKUMEN PERPAJAKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Dalam rangka melaksanakan kegiatan perekaman dan transfer data di Kantor Pengolahan
Data dan Dokumen Perpajakan (KPDDP) sehubungan dengan perubahan tugas, fungsi, dan
tata kerja KPDDP untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi, dan kecepatan pengolahan SPT
di KPDDP, serta mendukung fungsi pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum di bidang
perpajakan perlu disusun prosedur mengenai pelaksanaan perekaman dan transfer data di
KPDDP.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk digunakan sebagai prosedur
pelaksanaan perekaman dan transfer data di KPDDP sehubungan dengan perubahan tugas,
fungsi, dan tata kerja KPDDP.

2. Tujuan

Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan agar perekaman dan transfer data di KPDDP
dilaksanakan sesuai prosedur untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi, dan kecepatan
pengolahan SPT di KPDDP, serta mendukung fungsi pelayanan, pengawasan, dan penegakan
hukum di bidang perpajakan.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:


1. Prosedur Completion di KPDDP;
2. Prosedur Supervisi Perekaman di KPDDP;
3. Prosedur Penanganan Data SPT Suspend di KPDDP;
4. Prosedur Quality Assurance (QA) SPT Unbalance di KPDDP;
5. Prosedur Quality Assurance (QA) SPT Balance di KPDDP;
6. Prosedur Transfer Data ke Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan di KPDDP;
7. Prosedur Pengawasan Pegawai Outsource di KPDDP;
8. Hal-hal lain terkait pelaksanaan perekaman data dan transfer data di KPDDP.

D. Dasar

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.01/2011 tentang Organisasi dan Tata


Kerja Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/PMK.01/2012;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.01/2014 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Keuangan;
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2015 tentang Perubahan Tugas,
Fungsi, dan Tata Kerja KPDDP.

E. Ketentuan

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:

1. Unit Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan yang selanjutnya disingkat UPDDP
adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang pengolahan data dan dokumen
perpajakan yang meliputi unit organisasi Pusat Pengolahan Data dan Dokumen
Perpajakan (PPDDP) dan Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan
(KPDDP).
2. Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disebut SPT adalah SPT yang dikelola oleh
UPDDP.
3. Proses Pemindaian merupakan proses pemindaian SPT atas SPT yang telah dilakukan
pemilahan dan menghasilkan image SPT.
4. Recognition adalah kegiatan yang dilakukan oleh sistem komputer dalam mengenali
huruf dan angka pada setiap field dalam SPT yang berasal dari sebuah pencetak
(printer atau mesin ketik) maupun tulisan tangan dengan cara membandingkan ciri-
ciri huruf dan angka yang diperoleh dengan ciri-ciri huruf dan angka yang ada pada
database.
5. Completion adalah kegiatan pengecekan dan perekaman data SPT hasil Recognition
oleh sistem yang tidak dikenali secara sempurna dengan image SPT.
6. Petugas Completion atau Petugas Supervisor adalah petugas perekaman data yang
berasal dari Penyedia Jasa Pihak Ketiga atau Pelaksana Seksi Pemeliharaan dan
Pelayanan Dokumen.
7. Kegiatan Supervisi Perekaman adalah kegiatan memeriksa kembali hasil perekaman
data SPT pada tahap Completion dan mengoreksinya bila terdapat hasil perekaman
data SPT yang tidak sesuai dengan image SPT.
8. Quality Assurance selanjutnya disingkat QA adalah kegiatan penjaminan kualitas data
SPT hasil perekaman dengan cara mencocokkan hasil perekaman data dengan image
SPT. QA terdiri dari QA SPT Unbalance dan QA SPT Balance.
9. Petugas Quality Assurance yang selanjutnya disingkat Petugas QA adalah Pelaksana
Seksi Pemeliharaan dan Pelayanan Dokumen.
10. Transfer Data ke Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan adalah kegiatan transfer
data digital SPT hasil pengolahan KPDDP dari basis data KPDDP ke basis data
perpajakan Direktorat Jenderal Pajak di Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan.
11. Document Management System yang selanjutnya disingkat DMS adalah aplikasi
berbasis Web yang digunakan untuk melihat image SPT hasil proses pemindaian SPT
di UPDDP.

F. Materi

1. Ruang lingkup pelaksanaan perekaman dan transfer data di KPDDP yaitu:


a. Recognition;
b. Perekaman Data;
c. Release Image dan Data;
d. Quality Assurance; dan
e. Transfer Data.

2. Image SPT hasil pemindaian yang telah ditinjau kembali (review) guna menjamin kualitas
image SPT, dilakukan Recognition oleh sistem untuk mengenali huruf dan angka pada SPT.

3. Apabila kualitas image SPT hasil pemindaian tidak standar (poor image), maka proses
Completion tidak dapat diselesaikan, sehingga data image SPT tersebut di-suspend untuk
selanjutnya dilakukan proses pemindaian ulang.

4. Apabila image SPT hasil pemindaian sudah standar tetapi tidak dapat dikenali oleh sistem
(proses recognition gagal), maka dilakukan proses perekaman data dengan menginput data
SPT berdasarkan image SPT hasil pemindaian.

5. Proses perekaman data terdiri atas proses proses Completion dan Supervisi Perekaman.

6. Apabila proses perekaman data telah dilakukan, maka petugas perekaman meninjau
kembali (me-review) data hasil perekaman apakah telah sesuai dengan data yang tercantum
pada image SPT.

7. Apabila Petugas Perekaman menemukan hal yang meragukan atau terdapat data SPT yang
salah sehingga membutuhkan informasi lebih lanjut dari Petugas Supervisor Perekaman atas
data tersebut, maka dilakukan proses Supervisi Perekaman.

8. Data SPT hasil perekaman disimpan sementara dalam database KPDDP, sedangkan image
SPT disimpan dalam DMS.

9. Untuk menjamin kualitas perekaman, maka KPDDP melakukan proses QA yang terdiri
atas QA Unbalance dan QA Balance.

10. QA Unbalance adalah kegiatan penjaminan kualitas terhadap SPT Unbalance dengan cara
mencocokkan hasil perekaman data dengan image SPT pada DMS.

11. QA Balance adalah kegiatan penjaminan kualitas output SPT yang telah diolah (image
dan data digital) sesuai dengan dokumen fisik SPT.
12. Dalam hal terdapat data SPT bermasalah (data tidak valid), maka dilakukan proses
Suspend atas data SPT tersebut.

13. Proses Recognition, Perekaman Data, Release Image dan Data dan Quality Assurance
dilakukan di Seksi Pemeliharaan dan Pelayanan Dokumen.

14. Data hasil perekaman yang telah dilakukan proses QA dikirim ke Direktorat Teknologi
Informasi Perpajakan (Dit. TIP) melalui sistem.

15. Proses Transfer Data ke Dit. TIP di KPDDP dilakukan oleh Seksi Verifikasi Dokumen.

16. Dalam hal terdapat permasalahan pelaksanaan fungsi perekaman data, KPDDP dapat
berkoordinasi dengan PPDDP atau Dit. TIP selaku pembina teknis fungsional UPDDP.

G. Prosedur Prosedur Completion di PPDDP sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang


merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini;

1. Prosedur Supervisi Perekaman di KPDDP sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II


yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini;
2. Prosedur Penanganan Data SPT Suspend di KPDDP sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur
Jenderal ini;
3. Prosedur Quality Assurance (QA) SPT Unbalance di KPDDP sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Direktur Jenderal ini;
4. Prosedur Quality Assurance (QA) SPT Balance di KPDDP sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Direktur Jenderal ini;
5. Prosedur Pengiriman Data ke Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini;
6. Prosedur Pengawasan Pegawai Outsource di KPDDP sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur
Jenderal ini.

H. Lain-Lain

1. Apabila terdapat perubahan dalam pengaturan organisasi dan tata kerja instansi
vertikal Direktorat Jenderal Pajak, maka nomenklatur jabatan dan unit kerja yang
dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini adalah jabatan dan unit kerja
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perubahan organisasi dan tata kerja instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak.
2. Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Demikian disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Maret 2016


DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

KEN DWIJUGIASTEADI
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 30/PJ/2016

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMPUNAN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Umum
Sehubungan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang
A.
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan
Pajak, perlu dibuat petunjuk pelaksanaan Pengampunan Pajak.
Maksud dan Tujuan
Maksud
1.Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan sebagai acuan prosedur
B. pelaksanaan Pengampunan Pajak.
Tujuan
2.Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan untuk tertib administrasi dalam
pelaksanaan Pengampunan Pajak.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi:
1.Kegiatan Persiapan Pelaksanaan Pengampunan Pajak
Tata Cara Pelaksanaan Pengampunan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor
C. 2.
Wilayah DJP
3.Tata Cara Pelaksanaan Pengampunan Pajak di Tempat Tertentu
4.Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Lainnya Sehubungan dengan Pengampunan Pajak
5.Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Pengampunan Pajak
Dasar
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
1.
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4999);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
D. Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
2.Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Lembaran Negara
3.Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5899);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Peraturan Pelaksanaan
4.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.
Materi
I. Kegiatan Persiapan Pelaksanaan Pengampunan Pajak
E.
Pembentukan Tim Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk
1.
Pengampunan Pajak
Penerimaan dan tindak lanjut pengajuan Surat Pernyataan Harta untuk
Pengampunan Pajak dilaksanakan oleh Tim Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat
a. Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak di masing-masing Kantor Pelayanan
Pajak, dan Tim Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk
Pengampunan Pajak di Kantor Wilayah DJP.
Pembentukan tim ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP dengan
b.menggunakan petunjuk sebagaimana Lampiran 1 Surat Edaran Direktur Jenderal
ini.
2. Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak
Orang Pribadi atau Badan yang akan menyampaikan Surat Pernyataan Harta
a. untuk Pengampunan Pajak (selanjutnya disebut Surat Pernyataan) harus memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Dalam hal Orang Pribadi atau Badan yang akan menyampaikan Surat Pernyataan
belum memiliki NPWP, Orang Pribadi atau Badan tersebut wajib mendaftarkan
b.
diri pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau kedudukan Orang Pribadi atau Badan.
Dalam hal status Wajib Pajak tersebut adalah Hapus (DE), Wajib Pajak tersebut
c.
wajib mengaktifkan kembali NPWP-nya.
Dalam hal status Wajib Pajak tersebut adalah Non Efektif (NE), Kantor Pelayanan
d.
Pajak wajib mengaktifkan kembali NPWP-nya.
Seksi Pelayanan di Kantor Pelayanan Pajak menindaklanjuti pendaftaran
sebagaimana huruf b atau pengaktifan kembali NPWP sebagaimana huruf c dan
e.
huruf d dengan menggunakan prosedur yang mengatur tentang Tata Cara
Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak.
Dalam hal Orang Pribadi atau Badan mendaftarkan NPWP ke tempat tertentu di
dalam negeri, maka Petugas Pajak dapat memberikan NPWP bagi Wajib Pajak
f.
yang belum memiliki NPWP atau mengaktifkan kembali NPWP bagi Wajib Pajak
yang berstatus DE atau NE.
Pemutakhiran Daftar Wajib Pajak yang Sedang Dilakukan Pemeriksaan Bukti
3.
Permulaan atau Penyidikan
Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan/Penyidikan membuat dan
menyampaikan Daftar Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti
Permulaan atau Penyidikan:
Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan dilakukan oleh Unit
Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan/Penyidikan di Kantor Wilayah DJP,
maka Kantor Wilayah DJP wajib membuat dan menyampaikan Daftar Wajib
Pajak yang Sedang Dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan
atau yang berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap pada saat:
Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada
a)
1) Wajib Pajak;
a.
b)Surat Perintah Penyidikan diterbitkan; atau
Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan Perkara Pidana yang Dinyatakan
c)
Lengkap diterbitkan oleh Kejaksaan.

melalui surat elektronik (email)/faksimile/media lainnya kepada Direktorat


Penegakan Hukum.
Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan dilakukan oleh Unit
Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan/Penyidikan di Direktorat Penegakan
2)
Hukum, maka Direktorat Penegakan Hukum membuat Daftar Wajib Pajak yang
Sedang Dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau Penyidikan, atau yang
berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap.
Daftar Wajib Pajak sebagaimana angka 1) dan 2) dibuat dengan dibuat dengan
3)menggunakan contoh format sebagaimana Lampiran 20 Surat Edaran Direktur
Jenderal ini.
Direktorat Penegakan Hukum wajib merekam atau memutakhirkan yang Sedang
Dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau Penyidikan, atau yang berkas
b.
penyidikannya telah dinyatakan lengkap yang dibuat oleh Direktorat Penegakan
Hukum atau yang disampaikan oleh Kantor Wilayah DJP pada aplikasi.
4. Pemutakhiran Status Tindakan Penagihan dan Pemutakhiran Data Tunggakan
Pemutakhiran Status Tindakan Penagihan
Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan wajib menyampaikan Daftar Wajib
Pajak/Penanggung Pajak yang sedang dilakukan tindakan penagihan kepada
Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi (TTKI) pada
saat:
1) Surat Keputusan Menteri Keuangan Pencegahan Bepergian Ke Luar Negeri
a) atau Surat Keputusan Menteri Keuangan Pencabutan Pencegahan Bepergian
a. Ke Luar Negeri diterbitkan; atau
Surat Perintah Penyanderaan atau Surat Perintah Penghentian Penyanderaan
b)
diterbitkan.
Daftar Wajib Pajak/Penanggung Pajak sebagaimana huruf a dibuat dengan
2)menggunakan contoh format sebagaimana Lampiran 21 Surat Edaran Direktur
Jenderal ini.
Direktorat TTKI wajib merekam atau memutakhirkan Daftar Wajib
3)
Pajak/Penanggung Pajak yang sedang dilakukan tindakan penagihan,
Pemutakhiran Data Tunggakan
b.Seksi Penagihan pada KPP wajib melakukan update data tunggakan pajak pada
Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Tata Cara Pelaksanaan Pengampunan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor
Wilayah DJP
II.
Pelaksanaan Pengampunan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor Wilayah DJP
meliputi tata cara sebagai berikut:
Tata Cara Penerimaan Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak
1.
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2 Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Penelitian Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak
2.
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3 Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak di
3. Kantor Wilayah DJP sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 4 Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Penyimpanan dan Pengiriman Berkas Surat Pernyataan Harta untuk
4. Pengampunan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran 5 Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Pembetulan Surat Keterangan Pengampunan Pajak sebagaimana
5.
dimaksud dalam Lampiran 6 Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Pelaksanaan Pengampunan Pajak di Tempat Tertentu
III. Pelaksanaan pengampunan pajak di tempat tertentu dilakukan dengan tata cara
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 7 Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Lainnya Sehubungan dengan Pengampunan Pajak
IV. Pelaksanaan kegiatan lainnya sehubungan dengan pengampunan pajak meliputi tata
cara sebagai berikut:
1. Tata Cara Penangguhan dan Penghentian Pemeriksaan sehubungan dengan
Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 8 Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Penangguhan dan Penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan
2. sehubungan dengan Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 9
Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Penangguhan dan Penghentian Penyidikan sehubungan dengan
3. Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 10 Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Penyelesaian Pencabutan Pemohonan dan/atau Pengajuan Kelebihan
4. Pembayaran Pajak dan/atau Upaya Hukum oleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 11 Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Penyelesaian Pencabutan Permohonan Peninjauan Kembali Atas Putusan
5. Pengadilan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran 12 Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Penyelesaian Permintaan Informasi Pajak Yang Tidak atau Kurang
Dibayar atau Yang Tidak Seharusnya Dikembalikan untuk Wajib Pajak yang
6.
Sedang Dilakukan Pemeriksaaan Bukti Permulaan atau Penyidikan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 13 Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Penghapusan Sanksi Administrasi secara Jabatan Sehubungan dengan
7. Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 14 Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Pembatalan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
8.
Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan yang Terbit Setelah Surat
Pernyataan diterima oleh KPP sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 15 Surat
Edaran Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Tindak Lanjut Penyelesaian Putusan Pengadilan yang Diterima setelah
9. Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak disampaikan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 16 Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Pemindahbukuan sehubungan dengan Pengampunan Pajak sebagaimana
10.
dimaksud dalam Lampiran 17 Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
Tata Cara Penyelesaian Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Harta Tidak Bergerak Berupa Tanah dan/atau
11.
Bangunan dan Harta Berupa Saham Sehubungan dengan Pengampunan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 18 Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
V. Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Pengampunan Pajak
Pimpinan DJP memantau kegiatan penerimaan dan tindak lanjut pengajuan Surat
1.
Pernyataan Harta melalui aplikasi dashboard.
Kepala Kantor Wilayah DJP dan Kepala KPP melakukan monitoring dan
pengendalian internal atas kegiatan penerimaan dan tindak lanjut pengajuan Surat
2.
Pernyataan Harta di Kanwil DJP dan KPP dalam lingkungan kerjanya
menggunakan aplikasi monitoring.
Sehubungan dengan penangguhan dan penghentian pemeriksaan, pemeriksaan bukti
3.
permulaan, dan penyidikan:
a. Kepala Seksi Pemeriksaan di KPP;
Kepala Seksi Administrasi Bukti Permulaan dan Penyidikan di Bidang
b.
Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen dan Penyidikan di Kanwil DJP;
Kepala Seksi yang mengadministrasikan pemeriksaaan di Direktorat Pemeriksaan
c.
dan Penagihan,
Kepala Seksi di Subdirektorat Pemeriksaaan Bukti Permulaan, Direktorat
d.
Penegakan Hukum;
e. Kepala Seksi di Subdirektorat Penyidikan, Direktorat Penegakan Hukum
wajib memantau informasi Wajib Pajak yang mengajukan Surat Pernyataan dan
Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang telah diterbitkan pada aplikasi
monitoring setiap hari.
Sehubungan dengan penyelesaian pencabutan permohonan peninjauan kembali atas
putusan pengadilan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak, Kepala Seksi Peninjauan
4. Kembali di Direktorat Keberatan dan Banding wajib memantau informasi Wajib
Pajak yang mengajukan Surat Pernyataan dan Surat Keterangan Pengampunan
Pajak yang telah diterbitkan pada aplikasi monitoring setiap hari.
Sehubungan dengan pengusulan penghapusan sanksi administrasi ke Kanwil DJP,
5. Kepala Seksi Penagihan di KPP wajib memantau Surat Keterangan Pengampunan
Pajak yang telah diterbitkan pada aplikasi monitoring setiap hari.
Sehubungan dengan pengusulan pembatalan keputusan dan ketetapan yang terbit
6.
setelah Surat Pernyataan disampaikan Wajib Pajak:
Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I/II/III/IV di KPP wajib memantau
a. Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan pada aplikasi monitoring
setelah menerima tembusan Surat Ketetapan Pajak dari Seksi Pelayanan.
Kepala Seksi di Bidang Keberatan, Banding dan Pengurangan, Kanwil DJP wajib
b.memantau Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan pada aplikasi
monitoring.
Sehubungan dengan tindak lanjut putusan pengadilan yang diterima setelah Surat
7.
Pernyataan disampaikan Wajib Pajak:
a. Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I di KPP;
b.Kepala Seksi di Bidang Keberatan, Banding dan Pengurangan, Kanwil DJP; dan
c. Kepala Seksi di Direktorat Keberatan dan Banding
yang bertugas menindaklanjuti putusan pengadilan berupa Banding, Gugatan dan
Peninjauan Kembali, wajib memantau Wajib Pajak yang menyampaikan Surat
Pernyataan pada saat memproses tindak lanjut putusan pengadilan.
VI. Lain-lain
Seluruh Tim Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk
Pengampunan Pajak dan Pejabat yang memiliki akses monitoring pengampunan
1.
pajak wajib menjaga kerahasiaan data dan informasi Wajib Pajak yang
menyampaikan Surat Pernyataan.
Seluruh Tim Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk
Pengampunan Pajak di KPP dan Kanwil DJP tidak boleh membawa alat
komunikasi (misalnya: handphone berkamera), perekam, kamera atau media
lainnya, dan dilarang merekam atau mengambil gambar/foto dokumen dengan
2.
media elektronik apapun, atau mengunggah foto dokumen di media sosial apapun
selain pada sistem aplikasi Direktorat Jenderal Pajak dalam menjalankan tugas
terkait penerimaan dan tindak lanjut Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan
Pajak.
Seluruh Tim Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk
Pengampunan Pajak di KPP dan Kanwil DJP, yang diutamakan Ketua Subtim dan
3. Anggota Tim yang berhadapan langsung dengan Wajib Pajak menggunakan
seragam tertentu dalam menjalankan tugas terkait penerimaan dan tindak lanjut
Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak.
Kepala KPP dihimbau untuk menyediakan ruangan khusus atau tempat
4.
penyimpanan khusus dalam rangka penelitian dan penyimpanan Surat Pernyataan
sesuai dengan kondisi Kantor Pelayanan Pajak masing-masing.
Dalam hal terjadi keadaan darurat atau gangguan teknis, Kantor Pelayanan Pajak
tetap dapat melakukan layanan penerimaan Surat Pernyataan. Tata Cara Penerimaan
5. Surat Pernyataan Harta Untuk Pengampunan Pajak dalam Keadaan Darurat atau
Gangguan Teknis adalah sebagaimana dimaksud di dalam Lampiran 19 dalam Surat
Edaran Direktur Jenderal ini.
Kepala KPP memberikan pemahaman kebijakan Pengampunan Pajak kepada
6.
seluruh pegawai di lingkungan KPP yang bersangkutan.
Kepala KPP bertanggungjawab atas penyimpanan berkas Surat Pernyataan Harta
7.
sebelum dikirim ke KPDDP Makassar.
Penutup
VII.
Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan
Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Juli 2016
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________
_________________

18 Juli 2016

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE 33/PJ/2016

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN KONFIRMASI STATUS WAJIB PAJAK ATAS


LAYANAN PUBLIK TERTENTU PADA INSTANSI PEMERINTAH

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan pelaksanaan Konfirmasi Status Wajib Pajak dalam rangka pemberian
layanan publik tertentu, perlu disusun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara
Pelaksanaan Konfirmasi Status Wajib Pajak.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi Direktorat Jenderal Pajak dalam
pelaksanaan Konfirmasi Status Wajib Pajak.

2. Tujuan

Surat Edaran ini bertujuan memberikan acuan dan prosedur standar dalam pelaksanaan
Konfirmasi Status Wajib Pajak sehingga terdapat keseragaman dalam pemahaman dan
pelaksanaan prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:

1. tahapan persiapan Konfirmasi Status Wajib Pajak;


2. tahapan pelaksanaan Konfirmasi Status Wajib Pajak; dan
3. tahapan pemanfaatan data Konfirmasi Status Wajib Pajak.

D. Dasar

1. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi Tahun 2015.
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2015 tentang Tata Cara
Penerbitan Keterangan Status Wajib Pajak dalam Rangka Pelaksanaan Konfirmasi
Status Wajib Pajak atas Layanan Publik Tertentu pada Instansi Pemerintah yang
selanjutnya disebut dengan PER-43/PJ/2015.

E. Materi

1. Pengertian

a. Konfirmasi Status Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat KSWP adalah kegiatan yang
dilakukan oleh Instansi Pemerintah sebelum memberikan layanan publik tertentu untuk
memperoleh Keterangan Status Wajib Pajak.

b. Keterangan Status Wajib Pajak adalah informasi yang diberikan oleh Direktur Jenderal
Pajak dalam rangka pelaksanaan Konfirmasi Status Wajib Pajak atas layanan publik tertentu
pada Instansi Pemerintah.

c. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, yang selanjutnya disebut Kanwil DJP, adalah
instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Direktur Jenderal Pajak.

d. Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disingkat KPP, adalah instansi vertikal
Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Kepala Kanwil DJP.

e. Kantor Penyuluhan Pelayanan dan Konsultasi Perpajakan, yang selanjutnya disingkat


KP2KP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Kepala KPP Pratama.

f. Instansi Pemerintah adalah kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah


provinsi, pemerintah kabupaten/kota, Badan Hukum Milik Negara atau Badan Usaha Milik
Negara dan instansi lainnya yang memberikan layanan publik tertentu.

g. Instansi Pemerintah Tertentu adalah Instansi Pemerintah pusat yang memiliki unit vertikal
di daerah yang berkoordinasi dengan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.

2. Gambaran Umum

a. Instansi Pemerintah melaksanakan KSWP sebelum memberikan layanan publik tertentu.

b. Layanan publik tertentu yang melalui prosedur KSWP adalah layanan publik berdasarkan
peraturan yang diterbitkan oleh Instansi Pemerintah terkait.

c. Konfirmasi Status Wajib Pajak oleh Instansi Pemerintah dalam rangka memberikan
layanan publik tertentu dilakukan dengan menggunakan:
1) sistem informasi pada Instansi Pemerintah yang terhubung dengan sistem informasi pada
Direktorat Jenderal Pajak;atau
2) aplikasi yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

d. Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan Keterangan Status Wajib Pajak atas KSWP
yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah.
e. Keterangan Status Wajib Pajak memuat status valid atau tidak valid.

f. Keterangan status valid dapat diberikan dalam hal Wajib Pajak memenuhi ketentuan:
1) nama Wajib Pajak dan NPWP sesuai dengan data dalam sistem informasi Direktorat
Jenderal Pajak;dan
2) telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua)
Tahun Pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

g. Wajib Pajak mengajukan permohonan Keterangan Status Wajib Pajak ke KPP atau KP2KP
dalam hal:
1) sistem informasi atau aplikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c memuat Keterangan
Status Wajib Pajak dengan status tidak valid, atau
2) KSWP oleh Instansi Pemerintah tidak dapat dilakukan, dengan contoh format surat
permohonan Keterangan Status Wajib Pajak sebagaimana tercantum dalam Lampiran I PER-
43/PJ/2015.

h. Kantor Pelayanan Pajak atau KP2KP memberikan Keterangan Status Wajib Pajak yang
memuat status valid paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima lengkap.

i. Layanan publik tertentu pada Instansi Pemerintah dapat diberikan dalam hal:
1) sistem informasi atau aplikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c, atau
2) Keterangan Status Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf h, memuat Keterangan
Status Wajib Pajak dengan status valid.

F. Tahapan Konfirmasi Status Wajib Pajak

1. Kegiatan KSWP terdiri dari 3 (tiga) tahapan yang perlu dilaksanakan yaitu:
a. tahapan persiapan KSWP;
b. tahapan pelaksanaan KSWP; dan
c. tahapan pemanfaatan data KSWP.
2. Tahapan Persiapan KSWP adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
3. Tahapan Pelaksanaan KSWP adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
4. Tahapan Pemanfaatan Data KSWP adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
G. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian disampaikan untuk diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan dilaksanakan


dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Juli 2016
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

KEN DWIJUGIASTEADI

NIP 195711081984081001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________
_________________

01 Agustus 2016

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE 35/PJ/2016

TENTANG

PETUNJUK TERKAIT PENGEMASAN DAN PENYAMPAIAN DOKUMEN


PENGAMPUNAN PAJAK KE KANTOR PENGOLAHAN DATA DAN DOKUMEN

PERPAJAKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, perlu
dibuat petunjuk terkait pengemasan dokumen pengampunan pajak di Kantor Pelayanan
Pajak, Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak, dan Tempat Tertentu, serta penyampaian dokumen pengampunan pajak ke
Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk dapat digunakan sebagai acuan
dalam proses pengemasan dokumen pengampunan pajak di Kantor Pelayanan Pajak, Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dan Tempat Tertentu, serta penyampaian dokumen
pengampunan pajak ke Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.

2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan untuk memberikan kejelasan dan
keseragaman pelaksanaan pengemasan dokumen pengampunan pajak di Kantor Pelayanan
Pajak, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dan Tempat Tertentu, serta penyampaian
dokumen pengampunan pajak ke Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi:

1. Penyimpanan Sementara dan Pengemasan Dokumen Pengampunan Pajak di Kantor


Pelayanan Pajak.
2. Penyimpanan Sementara dan Pengemasan Dokumen Pengampunan Pajak di Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
3. Penyimpanan Sementara dan Pengemasan Dokumen Pengampunan Pajak di Tempat
Tertentu.
4. Penyampaian Dokumen Pengampunan Pajak ke Kantor Pengolahan Data dan
Dokumen Perpajakan.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5899);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 1043);
3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2016 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengampunan Pajak.

E. Materi

1. Ketentuan Umum Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:

a. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disebut KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak di
seluruh Indonesia tanpa melihat cakupan wilayah kerja Kantor Pengolahan Data dan
Dokumen Perpajakan.

b. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut Kanwil DJP adalah
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang menerbitkan Surat Keterangan Pengampunan
Pajak atas Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan
Pajak di tempat tertentu.

c. Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Makassar yang selanjutnya disebut
KPDDP Makassar adalah unit pelaksana teknis yang melaksanakan penyimpanan dokumen
pengampunan pajak.

d. Tempat Tertentu adalah tempat yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk menunjang kelancaran pelaksanaan
Undang-Undang Pengampunan Pajak.

e. Dokumen Pengampunan Pajak adalah berkas Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan
Pajak meliputi antara lain Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak dan lampiran,
Lembar Penelitian Surat Pernyataan dan lampiran, Surat Keterangan Pengampunan Pajak,
Lembar Penelitian Pembetulan atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak, Surat Pembetulan
atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak, Checklist Kelengkapan Berkas Surat Pernyataan,
dan dokumen lain yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pengampunan Pajak.

f. Logistik Pengemasan adalah segala kebutuhan berkenaan dengan proses pengemasan dan
penyerahan Dokumen Pengampunan Pajak yang meliputi antara lain boks kemasan, plastik
kemasan, label barcode kemasan, dan segel (seal).
g. Petugas Pengantar adalah petugas yang bertanggung jawab untuk menyampaikan secara
langsung kemasan Dokumen Pengampunan Pajak ke KPDDP, yang terdiri atas:

1) Subtim Pemberkasan di KPP atau Tim Penelaah di Kanwil DJP;

2) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu; atau

3) Pegawai KPP yang ditunjuk oleh Ketua Tim Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat
Pernyataan Harta di KPP.

h. Aplikasi Pengemasan adalah aplikasi yang digunakan dalam pelaksanaan pengemasan


Dokumen Pengampunan Pajak.

2. Penyimpanan Sementara dan Pengemasan Dokumen Pengampunan Pajak di Kantor


Pelayanan Pajak

a. Kepala KPP (Ketua Tim Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk
Pengampunan Pajak di KPP) menerima rangkap Surat Keterangan Pengampunan Pajak/ Surat
Pembetulan atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak, dan menyampaikannya kepada Ketua
Subtim Peneliti.

b. Ketua Subtim Peneliti menyerahkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak/Surat


Pembetulan atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak kepada Subtim Peneliti untuk
ditindaklanjuti.

c. Subtim Peneliti menyatukan Surat Keterangan Pengampunan Pajak/Surat Pembetulan atas


Surat Keterangan Pengampunan Pajak dengan seluruh Dokumen Pengampunan Pajak ke
dalam amplop yang sudah diberikan barcode.

d. Dalam hal Subtim Peneliti menerima Surat Pembetulan Atas Surat Keterangan
Pengampunan Pajak dan Dokumen Pengampunan Pajak sudah disampaikan ke KPDDP
Makassar, Subtim Peneliti membuat barcode dalam dua rangkap, kemudian menempelkan
barcode pada berkas Surat Pembetulan Atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak dan pada
amplop. Selanjutnya, berkas Surat Pembetulan Atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak
dimasukkan ke dalam amplop yang sudah diberikan barcode.

e. Subtim Peneliti membuat Berita Acara Serah Terima Dokumen Pengampunan Pajak
dengan menggunakan contoh format sebagaimana Lampiran 1 Surat Edaran Direktur Jenderal
ini.

f. Ketua Subtim Peneliti menandatangani Berita Acara Serah Terima Dokumen Pengampunan
Pajak, dan menyampaikannya beserta Dokumen Pengampunan Pajak kepada Ketua Subtim
Pemberkasan Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak (selanjutnya disebut Subtim
Pemberkasan).

g. Ketua Subtim Pemberkasan menerima Dokumen Pengampunan Pajak dan menandatangani


Berita Acara Serah Terima Dokumen Pengampunan Pajak, serta menyerahkan kepada Subtim
Pemberkasan untuk ditindaklanjuti.
h. Subtim Pemberkasan mengecek kelengkapan Dokumen Pengampunan Pajak dan membuat
Checklist Kelengkapan Dokumen Pengampunan Pajak dengan menggunakan contoh format
sebagaimana Lampiran 2 Surat Edaran Direktur Jenderal ini, kemudian memasukkan kembali
seluruh Dokumen Pengampunan Pajak ke dalam amplop bersegel.

i. Subtim Pemberkasan menyimpan Dokumen Pengampunan Pajak ke dalam lemari atau


tempat penyimpanan khusus di ruangan khusus untuk sementara.

j. Setelah Dokumen Pengampunan Pajak dalam tempat penyimpanan khusus siap untuk
dikemas, Subtim Pemberkasan membuka Aplikasi Pengemasan, dan memindai barcode
dokumen yang akan dimasukkan ke dalam kemasan.

k. Subtim Pemberkasan memasukkan Dokumen Pengampunan Pajak yang sudah dipindai ke


dalam kemasan.

l. Subtim Pemberkasan menutup dan menyegel kemasan yang disaksikan oleh Petugas
Pengantar dan Ketua Subtim Pemberkasan.

m. Subtim Pemberkasan menempelkan barcode kemasan, dan kemudian memindai barcode


tersebut.

n. Subtim Pemberkasan mencetak dan menandatangani Daftar Isi Kemasan dengan


menggunakan contoh format sebagaimana Lampiran 3 pada Surat Edaran Direktur Jenderal
ini, kemudian menyerahkannya kepada Ketua Subtim Pemberkasan dan Petugas Pengantar
untuk ditandatangani.

o. Subtim Pemberkasan tidak boleh menuliskan atau menambahkan penamaan/atribut apapun


terkait Pengampunan Pajak pada kemasan, dan tidak boleh menempelkan Daftar Isi Kemasan
pada kemasan.

3. Penyimpanan Sementara dan Pengemasan Dokumen Pengampunan Pajak di Kanwil DJP

a. Dokumen Pengampunan Pajak yang disimpan sementara dan dikemas di Kanwil DJP
yaitu:

1) Surat Keterangan Pengampunan Pajak; dan

2) Surat Pembetulan atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak, atas Surat Pernyataan Harta
untuk Pengampunan Pajak yang diterima di tempat tertentu.

b. Setelah Surat Keterangan Pengampunan Pajak/Surat Pembetulan atas Surat Keterangan


Pengampunan Pajak diterbitkan, Tim Penelaah memasukkan rangkap Surat Keterangan
Pengampunan Pajak/Surat Pembetulan atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak ke dalam
amplop, kemudian mencetak barcode yang ditempelkan pada amplop.

c. Tim Penelaah menyimpan Dokumen Pengampunan Pajak yang berisi Surat Keterangan
Pengampunan Pajak/Surat Pembetulan atas Surat Keterangan Pengampunan Pajak ke dalam
lemari atau tempat penyimpanan khusus di ruangan khusus untuk sementara.
d. Setelah Dokumen Pengampunan Pajak dalam tempat penyimpanan khusus siap untuk
dikemas, Tim Penelaah membuka Aplikasi Pengemasan, dan memindai barcode dokumen
yang akan dimasukkan ke dalam kemasan.

e. Tim Penelaah memasukkan Dokumen Pengampunan Pajak yang sudah dipindai ke dalam
kemasan.

f. Tim Penelaah menutup dan menyegel kemasan yang disaksikan oleh Petugas Pengantar
dan Ketua Tim Penelaah.

g. Tim Penelaah menempelkan barcode pada kemasan, dan kemudian memindai barcode
tersebut.

h. Tim Penelaah mencetak dan menandatangai Daftar Isi Kemasan dengan menggunakan
contoh format sebagaimana Lampiran 3 pada Surat Edaran Direktur Jenderal ini, kemudian
menyerahkannya kepada Ketua Tim Penelaah dan Petugas Pengantar untuk ditandatangani.

i. Tim Penelaah tidak boleh menuliskan atau menambahkan penamaan/atribut apapun terkait
Pengampunan Pajak pada kemasan, dan tidak boleh menempelkan Daftar Isi Kemasan pada
kemasan.

4. Penyimpanan Sementara dan Pengemasan Dokumen Pengampunan Pajak di Tempat


Tertentu

a. Tempat Tertentu di Dalam Negeri

1) Dokumen Pengampunan Pajak dibawa oleh Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat
Tertentu ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Subtim Penerima dan
Peneliti bertugas pada hari yang sama setelah berakhirnya jam layanan penerimaan dan
penelitian Surat Pernyataan di Tempat Tertentu.

2) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu mengecek kelengkapan Dokumen


Pengampunan Pajak dan membuat Checklist Kelengkapan Dokumen
Pengampunan Pajak dengan menggunakan contoh format sebagaimana Lampiran 2 Surat
Edaran Direktur Jenderal ini, kemudian memasukkan
kembali seluruh Dokumen Pengampunan Pajak ke dalam amplop bersegel yang sudah
diberikan barcode.

3) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu menyimpan Dokumen Pengampunan


Pajak ke dalam lemari atau tempat penyimpanan khusus di
ruangan khusus untuk sementara di Kantor Pelayanan Pajak tempat Subtim Penerima dan
Peneliti bertugas.

4) Setelah Dokumen Pengampunan Pajak dalam tempat penyimpanan khusus siap untuk
dikemas, Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu
membuka Aplikasi Pengemasan, dan memindai barcode dokumen yang akan dimasukkan ke
dalam kemasan.

5) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu memasukkan Dokumen Pengampunan


Pajak yang sudah dipindai ke dalam kemasan.
6) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu menutup dan menyegel kemasan yang
disaksikan oleh Ketua Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat
Tertentu.

7) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu menempelkan barcode kemasan, dan
kemudian memindai barcode tersebut.

8) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu mencetak dan menandatangani Daftar Isi
Kemasan sebagaimana contoh format dalam Lampiran 3 pada Surat Edaran Direktur Jenderal
ini, kemudian menyerahkannya kepada Ketua Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat
Tertentu untuk ditandatangani.

9) Subtim Penerima dan Peneliti tidak boleh menuliskan atau menambahkan


penamaan/atribut apapun terkait Pengampunan Pajak pada kemasan, dan tidak boleh
menempelkan Daftar Isi Kemasan pada kemasan.

b. Tempat Tertentu di Luar Negeri

1) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu mengecek kelengkapan Dokumen


Pengampunan Pajak dan membuat Checklist Kelengkapan Dokumen
Pengampunan Pajak dengan menggunakan contoh format sebagaimana Lampiran 2 Surat
Edaran Direktur Jenderal ini, kemudian memasukkan kembali seluruh Dokumen
Pengampunan Pajak ke dalam amplop bersegel yang sudah diberikan barcode.

2) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu menyimpan Dokumen Pengampunan


Pajak ke dalam lemari atau tempat penyimpanan khusus di
ruangan khusus untuk sementara.

3) Setelah Dokumen Pengampunan Pajak dalam tempat penyimpanan khusus siap untuk
dikemas, Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu membuka Aplikasi Pengemasan,
dan memindai barcode dokumen yang akan dimasukkan ke dalam kemasan.

4) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu memasukkan Dokumen Pengampunan


Pajak yang sudah dipindai ke dalam kemasan.

5) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu menutup dan menyegel kemasan yang
disaksikan oleh Ketua Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat
Tertentu. Selanjutnya, menempelkan barcode kemasan, dan kemudian memindai barcode
tersebut.

6) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu mencetak dan menandatangani Daftar Isi
Kemasan dengan menggunakan contoh format sebagaimana
Lampiran 3 pada Surat Edaran Direktur Jenderal ini, kemudian menyerahkannya kepada
Ketua Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu untuk
ditandatangani.

7) Subtim Penerima dan Peneliti tidak boleh menuliskan atau menambahkan


penamaan/atribut apapun terkait Pengampunan Pajak pada kemasan, dan tidak boleh
menempelkan Daftar Isi Kemasan pada kemasan.
8) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu membawa Dokumen Pengampunan
Pajak ke Negara Republik Indonesia dengan menggunakan
fasilitas diplomatik pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Konsulat Jenderal
Republik Indonesia.

5. Penyampaian Dokumen Pengampunan Pajak ke KPDDP Makassar

a. KPDDP Makassar membuat jadwal penyampaian Dokumen Pengampunan Pajak secara


periodik berdasarkan data monitoring pada Aplikasi Pengemasan di KPP atau Kanwil DJP
atau Tempat Tertentu, dan mengirimkan jadwal tersebut kepada Ketua Tim Penerimaan dan
Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak di KPP, Ketua Subtim
Penelaah di Kanwil DJP, dan Ketua Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu.

b. Petugas Pengantar menerima jadwal penyampaian Dokumen Pengampunan Pajak,


merekam Surat Tugas Penyampaian Dokumen Pengampunan Pajak dalam aplikasi, dan
membuat Berita Acara Penyerahan Dokumen Pengampunan Pajak dengan menggunakan
contoh format sebagaimana Lampiran 4 pada Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

c. Petugas Pengantar menyampaikan secara langsung Dokumen Pengampunan Pajak ke


KPDDP Makassar.

d. Petugas Pengantar wajib menjaga keamanan dan kerahasiaan Dokumen Pengampunan


Pajak dalam penyampaian Dokumen Pengampunan Pajak ke KPDDP Makassar.

F. Lain-lain

1. Amplop yang digunakan adalah amplop tertutup sebagaimana digunakan dalam


penyampaian naskah dinas Direktorat Jenderal Pajak dengan ukuran sebagai berikut:

a. Amplop ukuran folio, dalam hal jumlah Dokumen Pengampunan Pajak masih
memungkinkan untuk dimasukkan ke dalam amplop tanpa merusak amplop maupun
Dokumen Pengampunan Pajak;atau
b. Amplop ukuran A3, dalam hal jumlah Dokumen Pengampunan Pajak cukup banyak
sehingga tidak memungkinkan untuk dimasukkan ke dalam amplop ukuran folio agar tidak
merusak amplop maupun Dokumen Pengampunan Pajak.

2. Teknis penyegelan amplop untuk Dokumen Pengampunan Pajak dilakukan sebagaimana


diatur dalam Lampiran 5 pada Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

3. Segel dan label barcode yang ditempelkan pada kemasan Dokumen Pengampunan Pajak
menggunakan segel dan label barcode yang sama dengan pengemasan Surat Pemberitahuan
(SPT).
G. Penutup

1. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, Tata Cara Penyimpanan dan
Pengiriman Berkas Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak di Kantor
Pelayanan Pajak sebagaimana diatur dalam Lampiran 5 Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengampunan
Pajak dinyatakan dicabut dan tidak berlaku, dan untuk selanjutnya mengikuti
ketentuan sesuai dengan petunjuk yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal
ini.
2. Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2016
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________
_________________

18 Juli 2016

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE 32/PJ/2016

TENTANG

PROSEDUR PELAKSANAAN DAN ADMINISTRASI PEMBERIAN FASILITAS


DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS IMPOR
DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT
STRATEGIS

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 268/PMK.03/2015


tanggal 31 Desember 2015 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Dibebaskan dan Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang
Bersifat Strategis dan Tata Cara Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Barang Kena Pajak
Tertentu yang Bersifat Strategis yang Telah Dibebaskan serta Pengenaan Sanksi, perlu
diberikan petunjuk pelaksanaan dan pengadministrasian pemberian fasilitas dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak
tertentu yang bersifat strategis

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) dalam pelaksanaan dan pengadministrasian pemberian fasilitas
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas impor dan/atau penyerahan Barang
Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis (BKP strategis)

2. Tujuan

Memberikan penjelasan dan keseragaman prosedur, meliputi:


a. penyelesaian permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai atas impor
dan/atau penyerahan BKP strategis (SKB PPN BKP strategis).
b. penyelesaian permohonan pembatalan SKB PPN BKP strategis; dan
c. pembatalan SKB PPN BKP strategis secara Jabatan.

C. Ruang Lingkup
Ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:
1. prosedur penyelesaian permohonan SKB PPN BKP strategis;
2. prosedur penyelesalan permohonan pembatalan SKB PPN BKP strategis; dan
3. prosedur pembatalan SKB PPN BKP strategis secara jabatan.

D. Dasar

1. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015 tentang Impor dan/atau Penyerahan


Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 268/PMK.03/2015 tanggal 31 Desember 2015
tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat
Strategis dan Tata Cara Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Barang Kena Pajak
Tertentu yang Bersifat Strategis yang telah Dibebaskan serta Pengenaan Sanksi.

E. Materi

1. Pengertian

a. SKB PPN BKP strategis adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Pengusaha Kena
Pajak (PKP) memperoleh fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN atas impor dan/atau
penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis, yang diterbitkan oleh Kepala KPP tempat
PKP terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak.

b. Permohonan pembatalan SKB PPN BKP strategis adalah permohonan yang diajukan oleh
PKP untuk membatalkan SKB PPN BKP strategis dalam hal ditemukan kesalahan tulis
dan/atau kesalahan hitung di dalam SKB PPN BKP strategis yang telah diterbitkan.

c. Pembatalan SKB PPN BKP strategis secara jabatan adalah pembatalan SKB PPN BKP
strategis oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang
menunjukkan bahwa PKP tidak berhak memperoleh SKB PPN BKP strategis.

2. PKP yang dapat diberikan fasilitas dibebaskan dan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
adalah:

a. PKP yang melakukan impor atas mesin dan peralatan pabrik yang merupakan satu
kesatuan, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, yang digunakan secara langsung
dalam proses menghasilkan BKP oleh PKP yang menghasilkan BKP tersebut, tidak termasuk
suku cadang;dan/atau

b. PKP yang menerima penyerahan atas mesin dan peralatan pabrik yang merupakan satu
kesatuan, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, yang digunakan secara langsung
dalam proses menghasilkan BKP oleh PKP yang menghasilkan BKP tersebut, tidak termasuk
suku cadang.

3. Pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai bagi PKP
sebagaimana dimaksud pada angka 2, diberikan dengan menggunakan SKB PPN BKP
strategis untuk setiap kali impor dan/atau menerima penyerahan dan harus dimiliki oleh PKP
sebelum melakukan impor dan/atau menerima penyerahan.
4. Untuk memperoleh SKB PPN BKP strategis, PKP harus mengajukan secara langsung
permohonan SKB PPN BKP strategis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP
tempat PKP terdaftar.

5. Atas permohonan SKB PPN BKP strategis sebagaimana dimaksud pada angka 4, Kepala
KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan paling lama 5 (lima) hari
kerja setelah permohonan SKB PPN BKP strategis diterima lengkap.

6. Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat membatalkan SKB PPN BKP
strategis dalam hal:

a. terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dalam penerbitannya; atau

b. diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa PKP tidak berhak
memperoleh SKB PPN BKP strategis.

7. Dalam hal terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dalam penerbitan SKB PPN
BKP strategis sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf a, PKP dapat mengajukan
permohonan:

a. pembatalan SKB PPN BKP strategis, dan

b. penerbitan SKB PPN BKP strategis baru, disertai dengan alasan tertulis dilakukannya
pembatalan dengan dilampiri asli SKB PPN BKP strategis yang telah diterbitkan.

8. Kepala KPP menerbitkan Surat Keterangan Pembatalan SKB PPN BKP strategis dan SKB
PPN BKP strategis baru sebagaimana dimaksud pada angka 7 paling lama 2 (dua) hari kerja
setelah permohonan diterima lengkap.

9. Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa PKP tidak berhak
memperoleh SKB PPN BKP strategis sebagaimana dimaksud pada angka 6 huruf b, Kepala
KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Keterangan Pembatalan
SKB PPN BKP strategis secara jabatan.

10. Prosedur

a. Prosedur penyelesaian permohonan SKB PPN BKP strategis dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran ini.

b. Prosedur penyelesaian permohonan pembatalan SKB PPN BKP strategis dilaksanakan


sesuai dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini

c. Prosedur pembatalan SKB PPN BKP strategis secara jabatan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran ini.

11. Dokumen
a. Contoh format Permohonan Pernbatalan SKB PPN BKP strategis tercantum dalam
Lampiran II.1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

b. Contoh format Uraian Penelitian Permohonan Penerbitan SKB PPN BKP strategis
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
ini.

c. Contoh format Surat Penolakan Permohonan Penerbitan SKB PPN BKP strategis atau
Surat Penolakan Permohonan Pembatalan SKB PPN BKP strategis tercantum dalam
Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

d. Contoh format Uraian Penelitian Pembatalan SKB PPN BKP strategis secara jabatan
tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dan Surat Edaran ini

e. Contoh checklist persyaratan permohonan SKB PPN BKP strategis tercantum dalam
Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

f. Contoh checklist persyaratan permohonan pembatalan SKB PPN BKP strategis tercantum
dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

F. Ketentuan Lain-Lain

1. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak agar melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan Surat Edaran ini.
2. Para Kepala KPP agar melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait atas
pelaksanaan Surat Edaran ini serta melakukan sosialisasi dan pengawasan
pelaksanaannya.
3. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Juli 2016
DIREKTUR JENDERAL PAJAK.

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________
_________________

01 Juli 2016

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE 29/PJ/2016

TENTANG

PENEGASAN MENGENAI PEJABAT YANG DITUNJUK OLEH DIREKTUR


JENDERAL PAJAK UNTUK MEMBERIKAN INFORMASI TERTULIS DALAM
RANGKA PENGHENTIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG
PERPAJAKAN UNTUK KEPENTINGAN PENERIMAAN NEGARA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
55/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di
Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara, dipandang perlu untuk
menetapkan Surat Edaran yang memberikan penegasan mengenai pejabat yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan informasi tertulis dalam rangka penghentian
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk kepentingan penerimaan negara.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran ini disusun untuk memberikan penegasan mengenai pejabat yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan informasi tertulis dalam rangka penghentian
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk kepentingan penerimaan negara.

2. Tujuan

Untuk memberikan keseragaman dan pemahaman yang sama dalam melaksanakan ketentuan
dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 tentang Tata
Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk
Kepentingan Penerimaan Negara.

C. Ruang Lingkup

Surat Edaran ini memberikan penegasan mengenai pejabat yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak sehubungan dengan penanganan tindak lanjut atas permintaan informasi
secara tertulis dari Wajib Pajak mengenai besarnya jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan sanksi administrasi yang diajukan
Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat
(2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan
Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan
Negara.

D. Dasar

1. Pasal 448 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 TAHUN 2009;
2. Pasal 62 dan Pasal 63 Peraturan Pemerintah Nomor 74 TAHUN 2011 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Keuangan;
4. Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 tentang Tata
Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk
Kepentingan Penerimaan Negara;
5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ/2016 tentang Penerapan
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Keuangan.

E. Materi

1. Untuk mengetahui besarnya jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak
seharusnya dikembalikan dan sanksi administrasi dalam rangka pengajuan permohonan
penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk kepentingan penerimaan
negara, Wajib Pajak harus meminta informasi secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.

2. Atas permintaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1, Direktur Jenderal
Pajak atau pejabat yang ditunjuk harus memberikan informasi tertulismengenai besarnya
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan
sanksi administrasi.

3. Yang dimaksud dengan pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada angka 2 adalah:

a. Pembentukan Tim Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk
Pengampunan Pajak
b. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dalam hal penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.

F. Penutup

1. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


2. Dengan berlakunya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-20/PJ/2013 tentang Penegasan Mengenai Pejabat yang Ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak dalam Rangka Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di
Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara dinyatakan dicabut dan
tidak berlaku lagi.
Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Juli 2016
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 19571108198408100
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________
_________________

1 Agustus 2016

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE 34/PJ/2016

TENTANG

PETUNJUK PENERIMAAN DAN TINDAK LANJUT SURAT


PERNYATAAN HARTA UNTUK PENGAMPUNAN PAJAK DI
TEMPAT TERTENTU

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, perlu
dibuat petunjuk penerimaan dan tindak lanjut Surat Pernyataan Harta Untuk Pengampunan
Pajak di tempat tertentu.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan sebagai acuan prosedur penerimaan
dan tindak lanjut Surat Pernyataan Harta Untuk Pengampunan Pajak di tempat tertentu.

2. Tujuan

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan untuk tertib administrasi dalam
penerimaan dan tindak lanjut Surat Pernyataan Harta Untuk Pengampunan Pajak di tempat
tertentu.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi:

1. Kegiatan Persiapan Pelaksanaan Pengampunan Pajak di Tempat Tertentu.


2. Tata Cara Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta Untuk Pengampunan
Pajak Yang Diterima di Tempat Tertentu.

D. Dasar

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4999);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5899);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 1043).

E. Materi

I. Ketentuan Umum

1. Tempat Tertentu adalah tempat yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk menunjang kelancaran
pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak.
2. Tempat Tertentu meliputi Tempat Tertentu di dalam negeri dan Tempat Tertentu di
luar negeri.
3. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disebut KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar.
4. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah
DJP adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang menerbitkan Surat
Keterangan Pengampunan Pajak atas Wajib Pajak yang menyampaikan Surat
Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak di Tempat Tertentu.

II. Kegiatan Persiapan Pelaksanaan Pengampunan Pajak di Tempat Tertentu

1. Tim Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak di
Tempat Tertentu

a. Penerimaan dan tindak lanjut Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak di Tempat
Tertentu dilaksanakan oleh:

1. Tim Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan
Pajak di Tempat Tertentu; dan
2. Tim Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan
Pajak di masing-masing Kantor Pelayanan Pajak, dan Tim Penerimaan dan Tindak
Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak di Kantor Wilayah DJP.

b. Pembentukan tim sebagaimana huruf a angka 1 ditetapkan melalui Keputusan Direktur


Jenderal Pajak.
2. Pendaftaran dan Pemberian serta Pengaktifan Kembali Nomor Pokok Wajib Pajak
Pendaftaran dan Pemberian serta Pengaktifan kembali Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
bagi Wajib Pajak yang akan menyampaikan Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan
Pajak di Tempat Tertentu dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi, prosedur pendaftaran dan pengaktifan kembali
NPWP dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur
tentang Pendaftaran dan Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Orang Pribadi Melalui Tempat
Tertentu Dalam Rangka Pengampunan Pajak.

b. dalam hal Wajib Pajak Badan, prosedur pendaftaran dan pemberian serta pengaktifan
kembali NPWP harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
mengatur tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak,
Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib
Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Perubahan Data dan
Pemindahan Wajib Pajak.

III. Tata Cara Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan
Pajak di Tempat Tertentu Penerimaan dan Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk
Pengampunan Pajak di Tempat Tertentu meliputi tata cara sebagai berikut:

1. Tata Cara Penerimaan dan Penelitian Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan
Pajak di Tempat Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.
2. Tata Cara Tindak Lanjut Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak di Kantor
Wilayah DJP sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2 Surat Edaran Direktur
Jenderal ini.
3. Tata Cara Pembetulan Surat Keterangan Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 3 Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
4. Tata Cara Penerimaan Surat Pernyataan Harta Untuk Pengampunan Pajak di Tempat
Tertentu Dalam Keadaan Darurat atau Gangguan Teknis sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 4 Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

IV. Penutup

1. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, Tata Cara Pelaksanaan
Pengampunan Pajak di Tempat Tertentu dalam Lampiran 7 Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengampunan
Pajak dinyatakan dicabut dan tidak berlaku, dan untuk selanjutnya mengikuti
ketentuan sesuai dengan petunjuk yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal
ini.
2. Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2016
DIREKTUR JENDERAL PAJAK.
ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 31/PJ/2016

TENTANG

PEMBERITAHUAN BERLAKUNYA PERSETUJUAN

ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK


INDIA

MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN


PENGELAKAN PAJAK

YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAJAK-PAJAK ATAS PENGHASILAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan telah selesainya prosedur ratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia
dan Pemerintah Republik India atas Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Republik India mengenai Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan
Pengelakan Pajak yang Berhubungan dengan Pajak-pajak atas Penghasilan (P3B Indonesia-
India) dan juga prosedur pemberitahuan sebagaimana yang dipersyaratkan, perlu diterbitkan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sebagai pemberitahuan saat berlaku dan berlaku
efektifnya P3B Indonesia-India.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberitahukan seluruh jajaran Direktorat Jenderal
Pajak mengenai saat berlaku dan berlaku efektifnya P3B Indonesia-India.

2. Tujuan

Surat Edaran ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam P3B
Indonesia-India dapat berjalan sebagaimana mestinya.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi proses ratifikasi P3B Indonesia-India, proses
pemberitahuan mengenai telah selesainya prosedur internal masing-masing pihak dalam
rangka pemberlakuan P3B Indonesia-India, saat berlaku dan berlaku efektifnya P3B
Indonesia-India, serta hal-hal pokok yang diatur di dalam P3B Indonesia-India.

D. Dasar
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India
mengenai Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak yang
Berhubungan dengan Pajak-pajak atas Penghasilan (Agreement between the
Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of
India for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with
Respect to Taxes on Income) beserta Protokolnya.
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pengesahan
Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India
mengenai Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak yang
Berhubungan dengan Pajak-pajak atas Penghasilan (Agreement between the
Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of
India for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with
Respect to Taxes on Income) beserta Protokolnya.

E. Materi dan Penjelasan

1. P3B Indonesia-India ditandatangani di New Delhi pada tanggal 27 Juli 2012 dan telah
diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Republik India mengenai Penghindaran Pajak Berganda dan
Pencegahan Pengelakan Pajak yang Berhubungan dengan Pajak-pajak atas Penghasilan
(Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of
the Republic of India for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal
Evasion with Respect to Taxes on Income) beserta Protokolnya;

2. Pada tanggal 22 Juni 2015, Pemerintah Republik India melalui Kedutaan Besar Republik
India memberitahukan Pemerintah Republik Indonesia bahwa Pemerintah Republik India
telah memenuhi persyaratan internalnya dalam rangka pemberlakuan P3B Indonesia-India. Di
lain pihak, Pemerintah Republik Indonesia juga telah mengirimkan pemberitahuan kepada
Pemerintah Republik India melalui nota diplomatik tanggal 5 Februari 2016 mengenai telah
selesainya prosedur internal yang diperlukan dalam rangka pemberlakuan P3B Indonesia-
India. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 30 ayat 2 P3B Indonesia-India, maka saat mulai
berlaku (entry into force) adalah sejak tanggal terakhir pemberitahuan tertulis, yaitu 5
Februari 2016.

3. Berdasarkan Pasal 30 ayat 3 P3B Indonesia-India, maka ketentuan-ketentuan dalam P3B


tersebut berlaku efektif sebagai berikut:

Di Indonesia:

1) sehubungan dengan pajak yang dipotong pada sumbernya: untuk jumlah yang dibayarkan
atau dikreditkan pada atau setelah tanggal 1 Januari 2017;

2) sehubungan dengan pajak-pajak lainnya: untuk setiap tahun pajak yang dimulai pada atau
setelah tanggal 1 Januari 2017; dan
Di India:

sehubungan dengan penghasilan yang diperoleh pada tahun pajak, yang dimulai pada atau
setelah tanggal 1 April 2017.

4. Pada saat P3B Indonesia-India ini berlaku efektif sebagaimana yang dimaksud pada butir 3
di atas, maka P3B Indonesia-India sebelumnya yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 7
Agustus 1987 menjadi tidak berlaku.

5. Hal-hal pokok yang diatur dalam P3B Indonesia-India antara lain adalah hak pemajakan
bagi Indonesia sebagai berikut:

a. laba yang bersumber dari Indonesia yang diperoleh penduduk India dari pengoperasian
kapal laut di jalur lalu lintas internasional dapat dikenai pajak di Indonesia, tetapi pajak yang
dikenakan dikurangi 50% (lima puluh persen);

b. tarif 10% dari jumlah bruto penghasilan berupa dividen jika diterima atau diperoleh
pemilik manfaat sebenarnya (beneficial ownel);

c. tarif 10% dari jumlah bruto penghasilan berupa bunga jika diterima atau diperoleh pemilik
manfaat sebenarnya (beneficial owner);

d. tarif 10% dari jumlah bruto penghasilan berupa royalti atau imbalan jasa teknik (fees for
technical services) yang diterima atau diperoleh pemilik manfaat sebenarnya (beneficial
owner); dan

e. tarif 15% dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha
Tetap (branch profit tax).

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 18 Juli 2016

DIREKTUR JENDEuraRAL PAJAK.

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI

NIP 195711081984081001

Tembusan:

1. Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan


2. Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan
3. Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan
4. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian
Keuangan
31 Januari 2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 02/PJ/2017

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN

NOMOR 229/PMK.03/2014 TENTANG PERSYARATAN SERTA

PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN SEORANG KUASA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia


Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
Seorang Kuasa, perlu diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sebagai acuan yang
dapat memberikan kemudahan, kejelasan dan kepastian hukum mengenai persyaratan serta
pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran ini disusun sebagai pedoman bagi seluruh unit di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak dalam menerapkan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang
kuasa.

2. Tujuan
Surat Edaran ini bertujuan untuk memberikan kemudahan, kejelasan dan kepastian hukum
dalam menerapkan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa sehingga
terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya oleh seluruh unit di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak.

C. Ruang Lingkup

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini memberikan penegasan mengenai:

1. ruang lingkup pemberian kuasa;


2. saat penyampaian surat kuasa khusus;
3. pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan setelah dikuasakan;
4. para pihak yang dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan
tertentu dari Wajib Pajak tanpa perlu adanya surat kuasa khusus karena bertindak
sebagai wakil Wajib Pajak;
5. pemberian 1 (satu) surat kuasa hanya dapat ditujukan terhadap pelaksanaan hak
dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang berkaitan dengan 1
(satu) jenis pajak untuk 1 (satu) Tahun Pajak, atau 1 (satu) Bagian Tahun Pajak, atau
1 (satu)/beberapa Masa Pajak, kecuali pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan
kewajiban perpajakan tersebut dilakukan untuk beberapa jenis pajak sebagai satu
kesatuan;
6. pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang dapat
dilakukan oleh karyawan atau pihak lain tanpa memerlukan surat kuasa khusus; dan
7. pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan yang tidak dapat
dikuasakan kepada pihak lain sehingga hanya dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
wakil Wajib Pajak itu sendiri.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 untuk selanjutnya disebut Undang-Undang KUP.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 229/PMK.03/2014 tentang
Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa.

E. Materi

1. Ruang lingkup pemberian kuasa:

a. Peraturan Menteri keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 pada prinsipnya mengatur


mengenai ketentuan pemberian kuasa dengan menggunakan surat kuasa khusus dari Wajib
Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu.

b. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu tersebut di atas,


berupa:

1. pengisian, penandatanganan, dan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) dan/atau


SPT pembetulan yang tidak melalui sistem administrasi yang terintegrasi dengan
sistem di Direktorat Jenderal Pajak (e-SPT);
2. permohonan pengangsuran pembayaran pajak dan/atau proses penyelesaiannya;
3. permohonan penundaan pembayaran pajak dan/atau proses penyelesaiannya;
4. permohonan pemindahbukuan dan/atau proses penyelesaiannya;
5. permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak bagi Wajib Pajak usaha
kecil atau Wajib Pajak di daerah tertentu dan/atau proses penyelesaiannya;
6. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan/atau proses
penyelesaiannya;
7. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak kriteria
tertentu atau Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu dan/atau proses
penyelesaiannya;
8. permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang dan/atau proses penyelesaiannya;
9. pelaksanaan pemeriksaan;
10. permohonan pembetulan dan/atau proses penyelesaiannya;
11. pengajuan keberatan dan/atau proses penyelesaiannya;
12. permintaan penjelasan untuk pengajuan keberatan dan/atau banding;
13. permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan/atau proses
penyelesaiannya, termasuk terhadap sanksi administrasi atas surat ketetapan pajak
Pajak Bumi (PBB) dan Surat Tagihan Pajak (STP) PBB;
14. permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar
dan/atau proses penyelesaiannya;
15. permohonan pengurangan atau pembatalan STP yang tidak benar dan/atau proses
penyelesaiannya;
16. permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Surat
Tagihan Pajak (STP) PBB, yang tidak benar dan/atau proses penyelesaiannya;
17. permohonan pengurangan PBB terutang dan/atau proses penyelesaiannya;
18. permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan dan/atau proses
penyelesaiannya;
19. pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka;
20. permohonan untuk memperoleh fasilitas perpajakan dan/atau proses penyelesaiannya;
21. permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement
Procedure);
22. permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) dan/atau
proses penyelesaiannya;
23. permohonan kode aktivasi dan password dalam rangka permintaan nomor seri Faktur
Pajak;
24. pemberian tanggapan Wajib Pajak terhadap permintaan penjelasan atas data dan/atau
keterangan;
25. menerima pemberitahuan Surat Paksa; dan
26. pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu lainnya yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat dikuasakan.

2. Saat penyampaian surat kuasa khusus:

a. Penyampaian surat kuasa khusus dilakukan:


1) sebelum pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang
dikuasakan; atau

2) bersamaan dengan pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu


yang dikuasakan.

b. Dalam hal surat kuasa khusus tidak disampaikan pada waktu sebagaimana tersebut di atas,
seseorang yang diberikan kuasa oleh Wajib Pajak dianggap bukan sebagai seorang kuasa dan
tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib
Pajak pemberi kuasa.

3. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan setelah dikuasakan:

a. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang telah dikuasakan
oleh Wajib Pajak kepada seorang kuasa dilakukan oleh seorang kuasa tersebut.
b. Dalam hal Wajib Pajak berkehendak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi
kewajiban perpajakannya sendiri maka Wajib Pajak harus mencabut terlebih dahulu kuasa
yang telah diberikan kepada seorang kuasa.

c. Pencabutan kuasa yang telah diberikan kepada seorang kuasa harus dilakukan dengan
menyampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum pelaksanaan hak
dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakannya dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak.

d. Pencabutan kuasa berlaku sejak tanggal surat pencabutan kuasa diterima oleh Direktur
Jenderal Pajak dan tidak berlaku surut.

4. Para pihak yang dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan
tertentu dari Wajib Pajak tanpa perlu adanya surat kuasa khusus karena bertindak sebagai
wakil Wajib Pajak adalah sebagai berikut:
a. Pengurus untuk Wajib Pajak Badan Pengurus merupakan orang yang bertanggung jawab
penuh atas kepengurusan badan untuk kepentingan badan dan sesuai maksud dan tujuan
badan, serta dapat mewakili badan baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang dibuktikan
dengan dokumen berupa akta pendirian dan/atau dokumen lain yang dipersamakan.
Termasuk dalam pengertian pengurus untuk Wajib Pajak Badan adalah orang yang terbukti
nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil
keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan serta orang yang diberi wewenang
untuk menjalankan pengurusan perusahaan untuk kepentingan perusahaan sesuai dengan
maksud dan tujuan perusahaan, di mana kedua hal tersebut dibuktikan dengan surat
keterangan dari pimpinan yang berwenang yang menjelaskan keadaan demikian. Dalam hal
ini, tidak diperlukan adanya surat kuasa khusus dalam rangka melaksanakan hak dan/atau
memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak Badan tersebut. Orang yang
termasuk dalam pengertian pengurus tersebut dapat menjabat sebagai komisaris, pemegang
saham mayoritas atau pengendali, pemegang saham, karyawan Wajib Pajak Badan, atau
pihak lain, sepanjang terbukti bahwa orang tersebut nyata-nyata mempunyai wewenang
dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan
kegiatan perusahaan.

Contoh:

1) Sdr.A merupakan direktur atas Wajib Pajak PT B, oleh karena itu sebagai pengurus PT B,
dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak PT B, Sdr.A
tidak memerlukan surat kuasa.

2) Sdr.C merupakan pengurus Koperasi D, oleh karena itu sebagai pengurus Koperasi D,
dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Koperasi D, Sdr.C tidak
memerlukan surat kuasa.

3) Sdr.E berkedudukan sebagai pembina Yayasan F dan berdasarkan keputusan rapat


pembina, Sdr.G diangkat sebagai pengurus Yayasan F. Oleh karena itu, dalam melaksanakan
hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Yayasan F, baik Sdr.E maupun Sdr.G tidak
memerlukan surat kuasa.

4) Sdr.H merupakan pemegang saham di Wajib Pajak PT I dengan saham sebesar 51% akan
tetapi terbukti secara nyata bahwa pemegang saham tersebut tidak memiliki wewenang dalam
menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan
kegiatan perusahaan. Oleh karena itu, pemegang saham H tersebut tidak termasuk dalam
pengurus dan apabila pemegang saham H berkehendak untuk melaksanakan hak dan/atau
memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak PT I maka pemegang saham H tersebut harus
memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagai seorang kuasa dan terhadapnya harus diberikan
surat kuasa khusus oleh Wajib Pajak PT I.

5) Terdapat seorang manajer keuangan dari Wajib Pajak PT J yang terbukti sebagai
orang/pihak yang mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk membuat
perjanjian dengan rekanan/pihak ketiga, menandatangani cek, serta hal-hal lain yang
membuktikan bahwa manajer keuangan tersebut secara nyata memiliki wewenang dalam
menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan
kegiatan PT J. Hal tersebut juga dibuktikan dengan surat keterangan dari pimpinan yang
berwenang yang menjelaskan keadaan demikian. Dalam keadaan demikian, manajer
keuangan tersebut termasuk dalam pengertian pengurus dan apabila manajer keuangan
tersebut berkehendak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan
Wajib Pajak PT J maka manajer keuangan tersebut tidak perlu diberikan surat kuasa khusus
oleh Wajib Pajak PT J.

6) Terdapat seorang manajer operasional PT K yang terbukti sebagai pihak yang diberikan
tugas oleh Direktur Utama dari PT K untuk membuat dan menandatangani perjanjian dengan
rekanan/pihak ketiga dari Wajib Pajak PT K. Meskipun manajer operasional bertugas untuk
membuat dan menandatangani perjanjian dengan rekanan/pihak ketiga, namun manajer
operasional tersebut nyata-nyata terbukti bukan sebagai orang/pihak yang mempunyai
wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan. Pembuatan dan
penandatanganan perjanjian yang dilakukan oleh manajer operasional tersebut hanya sebagai
bentuk pelaksanaan tugas. Oleh karena itu, manajer operasional PT K tersebut tidak termasuk
dalam pengertian pengurus dan apabila manajer operasional PT K berkehendak untuk
melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak PT K maka
manajer operasional PT K tersebut harus memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagai
seorang kuasa dan terhadapnya harus diberikan surat kuasa khusus oleh Wajib Pajak PT K.

7) Sdr.L dan Sdr.N berkedudukan sebagai Direktur Utama dan pemegang saham atas Wajib
Pajak PT M. Kemudian Sdr.L dan Sdr.N mengadakan perjanjian (otentik maupun di bawah
tangan) dengan Sdr.O yang merupakan pihak lain di luar struktur organisasi PT M di mana
namanya tidak tercantum dalam akta pendirian perusahaan maupun daftar pemegang saham.
Dalam kenyataan sehari-hari, Sdr.O memiliki tugas, wewenang, dan tanggung jawab dalam
menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan
kegiatan perusahaan, menandatangani kontrak dengan pihak rekanan/pihak ketiga, dan
menandatangani cek. Dalam hal ini Sdr.O termasuk dalam pengertian pengurus dan apabila
Sdr.O tersebut berkehendak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban
perpajakan Wajib Pajak PT M maka Sdr.O tidak perlu diberikan surat kuasa khusus oleh
Wajib Pajak PT M.

8) Tn.P merupakan seseorang berkewarganegaraan Arab yang ingin berinvestasi di Indonesia


yang kepengurusannya dilakukan melalui sistem pelayanan terpadu satu pintu pada badan
yang bertugas melakukan koordinasi penanaman modal di Indonesia, Pendaftaran NPWP
dilakukan oleh Tn.P yang merupakan seseorang yang berwewenang dalam menentukan
kebijaksanaan pada saat pendaftaran tersebut. Dalam hal ini, Tn.P merupakan wakil Wajib
Pajak sehingga dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban pendaftaran tidak
memerlukan surat kuasa khusus.
9) Tn.Q merupakan seseorang berkewarganegaraan India yang bertempat tinggal di India.
Dalam hal ini, Tn.Q tidak memiliki NPWP, namun Tn. Q merupakan salah satu direksi atas
Wajib Pajak PT ABC. Dalam keadaan demikian, Tn.Q merupakan wakil Wajib Pajak
sehingga dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan PT ABC, tidak
memerlukan surat kuasa khusus. Dalam hal pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban
perpajakan yang memerlukan pengisian NPWP, maka kolom pengisian NPWP dapat diisi
dengan 00.000.000.0-000.000.

b. Kepala perwakilan, kepala cabang, dan penanggung jawab untuk Bentuk Usaha Tetap
(BUT) Terhadap BUT, pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu
dapat diwakili oleh kepala perwakilan, kepala cabang, dan/atau penanggung jawab dari BUT
tersebut yang terbukti nyata-nyata menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan
dalam rangka menjalankan kegiatan BUT di Indonesia, Sehingga kepala perwakilan, kepala
cabang, dan/atau penanggung jawab dari BUT tersebut tidak memerlukan adanya suatu surat
kuasa khusus.

Contoh:
Terdapat perusahaan pelayaran luar negeri yang berstatus Wajib Pajak BUT di Indonesia dan
sesuai ketentuan yang mengatur mengenai usaha pelayaran di Indonesia, perusahaan
pelayaran luar negeri tersebut wajib diwakili oleh perusahaan yang merupakan badan hukum
di Indonesia atau perusahaan pelayaran luar negeri tersebut wajib mendirikan perwakilannya
di Indonesia. Dalam hal ini, perusahaan pelayaran luar negeri tersebut telah menunjuk salah
satu pengurus PT Q selaku perwakilan dari perusahaan pelayaran luar negeri tersebut.
Sehingga salah satu pengurus PT Q tersebut dapat dikategorikan sebagai penanggung jawab
dari Wajib Pajak BUT perusahaan pelayaran luar negeri tersebut. Oleh karena itu, dalam
rangka melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib
Pajak BUT tersebut, salah satu pengurus PT Q yang ditunjuk tersebut tidak memerlukan
adanya suatu surat kuasa khusus. Penunjukan orang atau badan dalam negeri sebagai wakil
BUT, dibuktikan dengan dokumen yang diterbitkan oleh perusahaan luar negeri dan/atau
instansi yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Kurator untuk Wajib Pajak yang dinyatakan pailit

Contoh:
PT R dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga, kemudian pengadilan niaga
menunjuk dan mengangkat Sdr.S sebagai kurator untuk melakukan pengurusan dan
pemberesan harta debitur pailit (PT R). Dalam hal ini, Sdr.S selaku kurator PT R merupakan
wakil Wajib Pajak Badan sehingga tidak membutuhkan surat kuasa khusus dalam
pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan PT R.

d. Orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan untuk Wajib Pajak Badan
dalam hal pembubaran

Contoh:
Terdapat sebuah Wajib Pajak Badan dalam proses pembubaran berdasarkan penetapan
pengadilan negeri, kemudian pengadilan negeri menunjuk dan mengangkat Sdr.T untuk
melakukan pengurusan dan pemberesan harta Wajib Pajak Badan tersebut hingga selesainya
proses pembubaran. Dalam hal ini, Sdr.T merupakan wakil Wajib Pajak Badan sehingga
tidak membutuhkan surat kuasa khusus dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak Badan tersebut.
e. Likuidator untuk Wajib Pajak Badan dalam likuidasi

Contoh:
PT U merupakan perusahaan dalam proses likuidasi berdasarkan penetapan pengadilan
negeri, kemudian pengadilan negeri menunjuk dan mengangkat Sdr.V sebagai likuidator PT
U hingga selesainya proses likuidasi. Dalam hal ini, Sdr.V selaku likuidator PT U,
merupakan wakil Wajib Pajak Badan sehingga tidak membutuhkan surat kuasa khusus dalam
pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan PT U.

f. Salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalan untuk
suatu warisan yang belum terbagi

Contoh:
Sdr.W meninggal dunia pada tahun 2011 meninggalkan penghasilan pasif berupa deviden
yang berhak diterimanya setiap tahun. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban
perpajakan atas deviden tersebut dapat dilakukan oleh ahli warisnya tanpa menggunakan
surat kuasa khusus.

g. Wali untuk anak yang belum dewasa

Contoh:
Sdr.X merupakan seorang anak berumur 12 tahun yang memiliki penghasilan sebesar
Rp500.000.000,00 per tahun. Sdr.Y merupakan bapak kandung dari Sdr.X. Oleh karena itu,
pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan Sdr.X dapat dilakukan oleh
Sdr.Y tanpa membutuhkan surat kuasa khusus.

h. Pengampu untuk orang yang berada dalam pengampuan Pengampu bagi Wajib Pajak
Orang Pribadi yang tidak cakap hukum dilakukan berdasarkan penetapan dari pengadilan
negeri.

Contoh:
Sdr.Z merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak cakap hukum, atas hal tersebut
pengadilan negeri telah menetapkan Sdr.AB sebagai pengampu. Sdr.AB dapat melaksanakan
hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Sdr.Z tanpa membutuhkan surat kuasa khusus.

5. Pemberian 1 (satu) surat kuasa hanya dapat ditujukan terhadap pelaksanaan hak dan/atau
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang berkaitan dengan 1 (satu) jenis pajak
untuk 1 (satu) Tahun Pajak, atau 1 (satu) Bagian Tahun Pajak, atau 1 (satu)/beberapa Masa
Pajak, kecuali pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut dilakukan
untuk beberapa jenis pajak sebagai satu kesatuan.

Contoh:
a. Tindakan pemberian kuasa atas pengisian, penandatanganan, dan penyampaian SPT.
1) atas 1 (satu) atau beberapa SPT Masa dalam satu Tahun Pajak dengan 1 (satu) jenis pajak
yang sama dapat dilakukan dengan 1 (satu) surat kuasa khusus. Mekanisme penyampaian
surat kuasa dalam hal surat kuasa yang ditujukan terhadap pelaksanaan hak dan/atau
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang berkaitan dengan beberapa Masa Pajak
dalam 1 (satu) Tahun Pajak dilakukan dengan melampirkan asli surat kuasa pada penyerahan
pertama SPT masa dan untuk penyerahan selanjutnya dengan melampirkan fotokopi surat
kuasa.
Contoh:
a) PT X menggunakan tahun buku 1 Januari 2015 s.d. 31 Desember 2015, sehingga Tahun
Pajak 2015 mencakup 1 Januari 2015 s.d. 31 Desember 2015. Direktur PT X memberikan
kuasa kepada Sdr.Y untuk melakukan tindakan pengisian, penandatanganan, dan
penyampaian SPT PPN Masa Pajak Januari s.d. Desember 2015. Pemberian kuasa tersebut
dapat dilakukan dengan satu surat kuasa khusus. Penyampaian dilakukan dengan
melampirkan asli surat kuasa pada penyerahan pertama SPT masa dan untuk penyerahan
selanjutnya dengan melampirkan fotokopi surat kuasa. Apabila SPT Masa PPN untuk Masa
April 2015 disampaikan pertama kali, maka SPT Masa April 2015 harus dilampirkan dengan
surat kuasa asli dan SPT Masa Januari 2015 s.d. Maret 2016 dan Mei 2015 s.d. Desember
2015 cukup dilampirkan dengan fotokopi surat kuasa.

b) PT A menggunakan tahun buku 1 Oktober 2015 s.d. 30 September 2016 yang sudah
disetujui Direktur Jenderal Pajak, sehingga Tahun Pajak 2016 mencakup 1 Oktober 2015 s.d.
30 September 2016. Direktur PT A memberikan kuasa kepada Sdr.B untuk melakukan
tindakan pengisian, penandatanganan, dan penyampaian SPT PPN Masa Pajak Oktober 2015
s.d. September 2016. Pemberian kuasa tersebut dapat dilakukan dengan satu surat kuasa
khusus. Penyampaian dilakukan dengan melampirkan asli surat kuasa pada penyerahan
pertama SPT masa dan untuk penyerahan selanjutnya dengan melampirkan fotokopi surat
kuasa. Apabila SPT Masa PPN untuk Masa Oktober 2015 disampaikan pertama kali, maka
SPT Masa Oktober 2015 harus dilampirkan dengan surat kuasa asli dan SPT Masa November
2015 s.d. September 2016 cukup dilampirkan dengan fotokopi surat kuasa.

2) atas beberapa SPT Masa dalam 1 (satu) Tahun Pajak dengan beberapa jenis pajak yang
berbeda dilakukan dengan beberapa surat kuasa khusus yang berbeda.

Contoh:
Direktur PT X memberikan kuasa kepada Sdr.Y untuk melakukan tindakan pengisian,
penandatanganan, dan penyampaian SPT PPN Masa Pajak Desember 2015 dan SPT PPh
Pasal 23 Masa Pajak Desember 2015. Pemberian kuasa tersebut dilakukan dengan 2 (dua)
surat kuasa khusus yang berbeda.

3) atas SPT tahunan dalam 1 (satu) Tahun Pajak tertentu dilakukan dengan 1 (satu) surat
kuasa khusus.

Contoh:
a) Direktur PT X memberikan kuasa kepada Sdr.Y untuk melakukan tindakan pengisian,
penandatanganan, dan penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2015. Pemberian kuasa
tersebut dapat dilakukan dengan 1 (satu) surat kuasa khusus.

b) Apabila Direktur PT X ingin menguasakan pelaksanaan pengisian, penandatanganan, dan


penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2016 kepada Sdr.Y maka harus disertakan
dengan surat kuasa khusus baru yang berbeda dengan surat kuasa khusus pada contoh 3a di
atas.

b. Tindakan pemberian kuasa atas permohonan pemindahbukuan dan/atau proses


penyelesaiannya.

Contoh:
Direktur PT X memberikan kuasa kepada Y untuk mengajukan permohonan
pemindahbukuan PPh Pasal 23 ke SKPKB PPN Nomor 00001/207/15/XXX/16 hingga proses
penyelesaiannya. Pemberian kuasa atas permohonan pemindahbukuan hingga proses
penyelesaiannya dilakukan dengan 1 (satu) surat kuasa khusus untuk 1 (satu) permohonan.

c. Tindakan pemberian kuasa atas pemeriksaan beberapa jenis pajak.

Contoh:
1) Direktur PT X memberikan kuasa kepada Sdr.Y dalam pelaksanaan pemeriksaan seluruh
jenis pajak (all taxes) atas Tahun Pajak 2015 (Masa Pajak Januari s.d. Desember 2015)
dengan 1 (satu) Surat Perintah Pemeriksaan. Pemberian kuasa tersebut dilakukan dengan 1
(satu) surat kuasa khusus.

2) Direktur PT X memberikan kuasa kepada Sdr.Y dalam pelaksanaan pemeriksaan seluruh


jenis pajak (all taxes) atas 2 (dua) Tahun Pajak yaitu Tahun Pajak 2015 (Masa Pajak Januari
s.d. Desember 2015) dan Tahun Pajak 2016 (Masa Pajak Januari s.d. Desember 2016) dengan
2 (dua) Surat Perintah Pemeriksaan. Pemberian kuasa tersebut dilakukan dengan 2 (dua) surat
kuasa khusus yang berbeda.

d. Tindakan pemberian kuasa atas pengajuan keberatan dan/atau proses penyelesaiannya


dilakukan dengan 1 (satu) surat kuasa khusus untuk 1 (satu) surat keberatan.

Contoh:
Atas tindakan pemeriksaan tersebut Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan 5 (lima) buah
SKPKB, yaitu:
1) SKPKB Nomor 00002/207/15/XXX/16 untuk PPN Masa Pajak Januari s.d. Desember
2015;

2) SKPKB Nomor 00003/206/15/XXX/16 untuk PPh Pasal 25/29 Badan Tahun Pajak 2015;

3) SKPKB Nomor 00004/201/15/XXX/16 untuk PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari s.d.
Desember 2015;

4) SKPKB Nomor 00005/203/15/XXX/16 untuk PPh Pasal 23 Masa Pajak Januari s.d.
Desember 2015; dan

5) SKPKB Nomor 00006/204/15/XXX/16 untuk PPh Pasal 26 Masa Pajak Januari s.d.
Desember 2015.

Atas penerbitan 5 (lima) buah SKPKB tersebut, Direktur PT X berencana mengajukan


keberatan atas masing-masing SKPKB. Direktur PT X memberikan kuasa kepada Sdr.Y
untuk melakukan pengajuan keberatan atas 5 (lima) SKPKB tersebut sampai dengan proses
penyelesaiannya. Pemberian kuasa atas pengajuan 5 (lima) surat keberatan tersebut dilakukan
dengan menggunakan 5 (lima) surat kuasa khusus yang berbeda, di mana masing-masing
surat kuasa khusus digunakan untuk satu surat keberatan.

6. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang dapat
dilakukan oleh karyawan atau pihak lain tanpa memerlukan surat kuasa khusus tetapi
memerlukan surat penunjukan yang menjelaskan bahwa dirinya merupakan karyawan atau
pihak lain yang ditunjuk oleh Wajib Pajak atau seorang kuasa dengan menyesuaikan pada
format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
Seorang Kuasa:

penyampaian dan/atau penerimaan secara langsung dokumen perpajakan tertentu yang


diperlukan kepada dan/atau dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak, antara lain dokumen
bukti pembukuan untuk keperluan pemeriksaan; dan penyerahan SPT secara langsung
melalui tempat pelayanan terpadu.

Dalam hal penunjukan dilakukan oleh Wajib Pajak terhadap karyawannya, surat penunjukan
dapat diganti dengan kartu identitas yang menjelaskan bahwa dirinya merupakan karyawan
dari Wajib Pajak tersebut.

7. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan yang tidak memerlukan surat
kuasa khusus maupun surat penunjukan, tetapi memerlukan surat pemberitahuan PKP atau
Penunjukan Pejabat/Pegawai yang Berwenang Menandatangani Faktur Pajak:
Penandatanganan faktur pajak berbentuk hardcopy yang tidak dilakukan sendiri oleh Wajib
Pajak yang bersangkutan.

8. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan yang tidak memerlukan surat
kuasa khusus maupun surat penunjukan dan surat pemberitahuan:

penyetoran dan penandatanganan surat setoran pajak oleh orang yang bertindak sebagai
penyetor dan bertandatangan di surat setoran pajak; dan penyerahan dokumen lainnya selain
SPT, yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
dilakukan melalui tempat pelayanan terpadu.

9. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan yang tidak dapat dikuasakan
kepada pihak lain sehingga hanya dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak
itu sendiri:

a. kewajiban mendaftarkan diri bagi Wajib Pajak orang pribadi untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak dan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;

b. permintaan dan/atau pencabutan Sertifikat Elektronik;

c. permohonan aktivasi EFIN;

d. penyampaian pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


8 ayat (3) Undang-Undang KUP dan/atau proses penyelesaiannya;

e. permohonan untuk dapat dimintakan penghentian penyidikan untuk kepentingan


penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP dan/atau
proses penyelesaiannya; dan

f. pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu lainnya yang


berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dapat dikuasakan.

F. Ketentuan Lain-Lain
1. Pada saat Surat Edaran ini mulai berlaku, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-16/PJ./2008 tentang Penegasan sehubungan dengan Penunjukan Seorang
Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Januari 2017
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

http://www.peraturanpajak.com
31 Januari 2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 03/PJ/2017

TENTANG

SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL (SPI)

TERHADAP PENATAUSAHAAN PIUTANGPAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan kebutuhan akan penyajian nilai piutang pajak yang akurat, lengkap, tepat
waktu, dan dapat diandalkan untuk keperluan pengambilan keputusan baik oleh pihak internal
maupun eksternal, perlu disusun Sistem Pengendalian Internal (SPI) terhadap Penatausahaan
Piutang Pajak dalam Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP).

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan
pedoman dalam rangka melaksanakan pengendalian terhadap penatausahaan piutang pajak.

2. Tujuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) dapat menyajikan nilai piutang pajak yang akurat, lengkap, tepat waktu, dan dapat
diandalkan.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi:

1. Prosedur Pengendalian Pembentukan Saldo Piutang Pajak.

2. Prosedur Pengendalian Penetapan Piutang Pajak:


a. Prosedur Pengendalian Penetapan Piutang Pajak Non-Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);

b. Prosedur Pengendalian Penetapan Piutang Pajak PBB.

3. Prosedur Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak:


a. Prosedur Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak Non-PBB;

b. Prosedur Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak PBB.

4. Prosedur Pengendalian Pelunasan Piutang Pajak.

5. Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi Sistem Pengendalian Internal terhadap Penatausahaan


Piutang Pajak.
D. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 225/KMK.1/2016 tentang Uraian jabatan
Struktural di Lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KM.1/2015 tentang Uraian Jabatan
Struktural Instansi Vertikal dan Unit Pelaksana teknis di Lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak.

E. Materi

1. Ketentuan Umum
a. Sistem Pengendalian Internal (SPI) Penatausahaan Piutang Pajak adalah suatu prosedur
penatausahaan piutang pajak yang didesain secara terintegrasi dan saling berhubungan yang
dilaksanakan dengan tujuan memberikan keyakinan yang memadai terkait nilai piutang pajak
yang tersaji.

b. Saldo Awal Piutang Pajak adalah saldo akhir piutang pajak tahun anggaran sebelumnya
yang telah dilakukan pemeriksaan (audit) dan telah diterbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) yang
bersumber dari SIDJP.

c. Saldo Piutang Pajak Tahun Berjalan adalah saldo piutang pajak yang bersumber dari
penetapan, penyesuaian, dan penyelesaian suatu ketetapan yang terdapat dalam SIDJP.

d. Seksi terkait pemilik dokumen sumber adalah unit penerbit dokumen sumber yang menjadi
patokan dalam pembentukan saldo piutang pajak.

e. Pemindaian dokumen piutang pajak adalah sebuah proses untuk melakukan backup oleh
pemilik dokumen sumber terhadap dokumen piutang pajak secara digital.

f. Pengarsipan dokumen piutang pajak adalah penyimpanan dokumen fisik piutang pajak oleh
pemilik dokumen sumber dan seksi terkait.

2. Prosedur Pengendalian Pembentukan Saldo Piutang Pajak


a. Pembentukan saldo piutang pajak dilakukan secara berjenjang mulai dari:
1) Pembentukan saldo piutang pajak tingkat Kantor Pelayanan Pajak (KPP);
2) Pembentukan saldo piutang pajak tingkat Kantor Wilayah DJP; dan
3) Pembentukan saldo piutang pajak di Kantor Pusat DJP.

b. Saldo piutang pajak terbentuk berdasarkan penetapan suatu produk hukum, adanya
penyesuaian atas produk hukum, dan penyelesaian dari produk hukum tersebut. Saldo piutang
pajak terdapat dalam menu piutang pajak akrual pada informasi dan monitoring SIDJP.

c. Data saldo piutang pajak disampaikan ke SubBagian Umum dan Kepatuhan Internal oleh
Seksi Penagihan setiap semester untuk dilakukan perekaman pada aplikasi e-rekon untuk
membentuk Laporan Keuangan KPP

d. Prosedur Pengendalian Pembentukan Saldo Piutang Pajak sebagaimana dimaksud dalam


Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

3. Prosedur Pengendalian Penetapan Piutang Pajak


a. Penetapan Piutang Pajak Non-PBB
1) Administrasi penetapan piutang pajak adalah suatu proses untuk menetapkan jumlah utang
pajak Wajib Pajak yang sudah dapat diakui sebagai piutang pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan mencatatnya dengan sistematis.

2) Proses penetapan piutang pajak Non-PBB dimulai dengan perekaman data


ketetapan pajak yang diterbitkan oleh KPP, yang meliputi:
a) Penetapan surat ketetapan pajak (SKP);
b) Penetapan Surat Tagihan Pajak (STP).

3) Prosedur Pengendalian Penetapan Piutang Pajak Non-PBB sebagaimana


dimaksud dalam Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

b. Penetapan Piutang Pajak PBB


1) Proses penetapan piutang pajak PBB dimulai dari perekaman data ketetapan
yang diterbitkan oleh KPP, yang meliputi:
a) Penetapan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT);
b) Penetapan Surat Ketetapan Pajak (SKP) PBB;
c) Penetapan Surat Tagihan Pajak (STP) PBB.

2) Prosedur Pengendalian Penetapan Piutang Pajak PBB sebagaimana dimaksud


dalam Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

4. Prosedur Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak


a. Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak Non-PBB

1) Proses penyesuaian piutang pajak Non-PBB meliputi:


a) Surat Keputusan Keberatan;
b) Surat Pelaksanaan Putusan Gugatan/Banding/Peninjauan Kembali;
c) Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan dan Penghapusan Sanksi
Administrasi serta Surat Keputusan Pengurangan dan/atau Pembatalan Ketetapan Pajak;
d) Penghapusan Sanksi Administrasi Dalam Rangka Pengampunan Pajak.
2) Prosedur Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak Non-PBB sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran IV Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
b. Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak PBB

1. Proses penyesuaian piutang pajak PBB meliputi:


a) Surat Keputusan Pembetulan PBB (Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP));
b) Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi Pasal 19/20 Undang-Undang
PBB;
c) Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi/ Pembatalan
SKP PBB/STP PBB (Pasal 36 ayat (1) UU KUP);
d) Surat Keputusan Keberatan PBB;
e) Surat Pelaksanaan Putusan Gugatan/Banding/Peninjauan Kembali PBB.
2. Prosedur pengendalian penyesuaian piutang pajak PBB sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

5. Prosedur Pengendalian Pelunasan Piutang Pajak


a. Pengendalian Pelunasan Piutang Pajak meliputi:
1) Pembayaran Seluruh atau Sebagian;
2) Pemindahbukuan Non-PBB;
3) Pembayaran PBB Minyak Gas dan Panas Bumi dengan Pemindahbukuan;
4) Kompensasi Utang Pajak;
5) Penghapusan Piutang Pajak;
6) Penatausahaan Piutang Pajak Lainnya.

b Prosedur Pengendalian Pelunasan Piutang Pajak dilakukan sesuai dengan tata cara yang
diatur dalam Lampiran VI Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

6. Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi Sistem Pengendalian Internal terhadap Penatausahaan


Piutang Pajak
a. Kegiatan pemantauan dan evaluasi SPI terhadap Penatausahaan Piutang Pajak diatur oleh
Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) yang
dilaksanakan setiap bulan melalui kegiatan pemantauan berdasarkan Rencana Pemantauan
Tahunan;

b. Berdasarkan pemantauan dan evaluasi SPI, Unit Kepatuhan Internal KPP, Kantor Wilayah
DJP, dan Direktorat KITSDA memberikan keyakinan yang memadai mengenai ketaatan
prosedur pelaksanaan Penatausahaan Piutang pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

c. Unit Kepatuhan Internal membuat laporan pemantauan dan evaluasi atas SPI terhadap
Penatausahaan Piutang Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara berjenjang;

d. Direktorat KITSDA melakukan tindak lanjut laporan pemantauan dan evaluasi atas SPI
terhadap Penatausahaan Piutang pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

F. Lain-Lain

1. Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah DJP, dan Kantor Pusat DJP melakukan
pengendalian terkait piutang pajak berdasarkan tugas, pokok, dan fungsi masing-
masing.
2. Surat Edaran Direktur Jenderal ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Januari 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

http://www.peraturanpajak.com
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


____________________________________________________________________

6 Februari 2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 04/PJ/2017

TENTANG

PENENTUAN BENTUK USAHA TETAP BAGI SUBJEK PAJAK LUAR

NEGERI YANG MENYEDIAKAN LAYANAN APLIKASI DAN/ATAU

LAYANAN KONTEN MELALUI INTERNET

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Dalam rangka memberikan keseragaman dan petunjuk pelaksanaan terkait penentuan Bentuk
Usaha Tetap (BUT) bagi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang menyediakan layanan
aplikasi dan/atau layanan konten melalui internet (Layanan Over-The-Top/OTT), maka
diperlukan penegasan mengenai penentuan BUT dimaksud dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini disusun untuk memberikan panduan dan keseragaman
dalam penentuan keberadaan BUT terhadap SPLN yang menyediakan Layanan OTT di
Indonesia.

2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan petunjuk pelaksanaan kepada
unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengenai penentuan BUT bagi
SPLN yang menyediakan Layanan OTT di Indonesia.

C. Ruang Lingkup

Ruang Lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini adalah:

1. definisi
2. penentuan BUT menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berkaitan dengan
Layanan OTT;
3. penentuan BUT menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berkaitan
dengan Layanan OTT; dan
4. BUT bagi SPLN yang menyediakan Layanan OTT.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
(Undang-Undang PPh);
3. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra (P3B); dan
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
Berjalan.

E. Materi

1. Definisi
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :
a. Layanan Over-The-Top yang selanjutnya disebut Layanan OTT meliputi Layanan
Aplikasi melalui Internet dan/atau Layanan Konten melalui Internet.

b. Layanan Aplikasi melalui Internet adalah penggunaan perangkat lunak yang


memungkinkan terjadinya layanan komunikasi dalam bentuk pesan singkat, panggilan suara,
panggilan video, surat elektronik, dan percakapan daring (chatting/instant messaging), serta
layanan transaksi finansial, transaksi komersial, penyimpanan dan pengambilan data, mesin
pencari, permainan (game), jejaring dan media sosial, termasuk turunannya dengan
memanfaatkan jasa akses internet melalui penyelenggara jaringan telekomunikasi.

c. Layanan Konten melalui Internet adalah penyediaan informasi digital yang dapat berbentuk
tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, permainan (game) atau kombinasi dari
sebagian dan/atau semuanya, termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming) atau diunduh
(download) dengan memanfaatkan jasa akses internet melalui penyelenggara jaringan
telekomunikasi.

2. Penentuan BUT menurut Undang-Undang PPh yang berkaitan dengan Layanan OTT
antara lain:
a. BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.

b. BUT sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat berupa:


1) tempat tetap seperti:
a) tempat kedudukan manajemen;
b) cabang perusahaan;
c) kantor perwakilan;
d) gedung kantor;
e) bengkel atau workshop;
f) gudang;
g) ruang untuk promosi dan penjualan;
h) komputer termasuk server dan pusat data;
i) agen elektronik,
j) peralatan otomatis lainnya, yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh SPLN untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia;

2) pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan (BUT
Jasa); dan

3) orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
(BUT Agen).

c. Agen elektronik sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1) adalah peralatan yang di
dalamnya terdapat program komputer yang dapat melakukan tindakan atau respon atas input
secara otomatis.

d. BUT berupa tempat tetap sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1) dapat juga
mencakup tempat lain sepanjang memenuhi ketentuan sebagai BUT sebagaimana dimaksud
pada huruf a dengan syarat tempat lain tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari SPLN.

e. BUT Jasa sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) dan BUT Agen sebagaimana
dimaksud pada huruf b angka 3) tidak mensyaratkan adanya tempat usaha yang bersifat
permanen.

f. Dalam hal terdapat BUT di Indonesia, perlakuan Pajak Penghasilan terhadap BUT
tersebut dipersamakan dengan Subjek Pajak badan dalam negeri.

g. Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (2a) Undang-Undang PPh dapat dilakukan tanpa memperhatikan keberadaan BUT SPLN
di Indonesia.

3. Penentuan BUT menurut P3B yang berkaitan dengan Layanan OTT antara lain:
a. Berdasarkan P3B, secara umum penentuan hak pemajakan atas laba usaha SPLN yang
berasal dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B adalah berdasarkan keberadaan BUT.
Laba usaha yang diterima atau diperoleh dari usaha atau kegiatan oleh SPLN hanya dapat
dikenai pajak di Indonesia sepanjang usaha atau kegiatan SPLN tersebut dilakukan melalui
BUT di Indonesia.

b. BUT adalah suatu tempat usaha tetap dimana seluruh atau sebagian usaha dari suatu
perusahaan dijalankan. Definisi ini mengandung adanya persyaratan:
1) keberadaan suatu tempat usaha (place of business) yang dapat berbentuk
tempat (premises), fasilitas (facilities), atau instalasi (installation);
2) keberadaan suatu tempat usaha tersebut bersifat tetap (fixed) atau permanen
yaitu diselenggarakan di suatu tempat tertentu yang tidak bersifat sementara; dan
3) tempat usaha yang bersifat tetap (fixed place of business) tersebut digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

c. Penentuan BUT dalam bentuk server yang berada di Indonesia dapat dilakukan
sepanjang SPLN menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui server tersebut.

d. BUT dapat berupa pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain
di Indonesia, sepanjang memenuhi ketentuan tentang time test dalam P3B antara Indonesia
dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra, atau adanya agen yang kedudukannya tidak bebas
di Indonesia yang mempunyai kewenangan atau melakukan kegiatan sebagaimana diatur
dalam P3B.

e. Penentuan keberadaan suatu BUT di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan


bahwa usaha atau kegiatan yang dilakukan SPLN tersebut tidak bersifat persiapan
(preparatory) atau penunjang (auxiliary).

4. BUT bagi SPLN yang menyediakan Layanan OTT dapat berupa:


a. tempat tetap yang dimiliki, disewa, atau dikuasai oleh SPLN atau pihak lain yang berada di
Indonesia, seperti tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan,
gedung kantor, bengkel atau workshop, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan,
komputer, server, pusat data, agen elektronik dan peralatan otomatis lainnya, yang digunakan
oleh SPLN yang menyediakan Layanan OTT untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia; atau

b. keberadaan pegawai SPLN atau pihak lain yang bertindak untuk atau atas nama SPLN
yang menyediakan Layanan OTT untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka
3

F. Penutup

Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, diminta agar seluruh unit kerja di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pengawasan sehubungan dengan
pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal ini di wilayah kerja masing-masing.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Februari 2017
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

http://www.peraturanpajak.com
SURAT EDARAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 24 TAHUN 2017

TENTANG

PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI BAGI


APARATUR

SIPIL NEGARA, PRAJURIT TNI DAN ANGGOTA POLRI TAHUN PAJAK 2016
MELALUI

E- FILING DAN HIMBAUAN MENGIKUTI AMNESTI PAJAK

Diberitahukan dengan hormat bahwa dalam rangka meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak
Orang Pribadi, terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
sebagaimana surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan reformasi Birokrasi
Nomor 02/M.PAN/3/2009 dan Nomor 8 Tahun 2015 serta dengan memperhatikan surat
Menteri Keuangan Nomor S-139/MK.03/2017, tanggal 21 Februari 2017, agar Aparatur Sipil
Negara, Prajurit TNI dan Anggota Polri memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Aparatur Sipil Negara, Prajurit TNI dan Anggota Polri wajib menaati dan mematuhi
peraturan perundang-undangan perpajakan, salah satunya menyampaikan SPT
Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun 2016 melalui e-filing.
2. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memberikan kemudahan pelaporan
e-filing secara gratis melalui situs http://djponline.pajak.go.id.
3. Aparatur Sipil Negara, Prajurit TNI dan Anggota Polri yang memiliki penghasilan
lain berupa usaha atau lebih dari 1(satu) pemberi kerja dan jumlah bruto > Rp.
60.000.000,- (enam puluh juta) agar menggunakan form 1770s. Sedangkan bagi yang
tidak memiliki penghasilan lain dan bruto menggunakan form 1770SS.
4. Menghimbau kepada Aparatur Sipil Negara, Prajurit TNI dan Anggota Polri untuk
memanfaatkan Amnesti Pajak yang akan berakhir per-31 Maret 2017.
5. Dengan ketaatan dan kepatuhan Aparatur Sipil Negara, Prajurit TNI dan Anggota
Polri sebagaimana tersebut di atas, diharapkan kiranya dapat menjadi contoh teladan
bagi masyarakat.

Atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan terima kasih.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Maret 2016
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi,

ttd

Asman Abnur
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN

NOMOR 8/SEOJK.04/2017

TENTANG

TATA CARA PERHITUNGAN MODAL KERJA BERSIH DISESUAIKAN BAGI

PERANTARA PEDAGANG EFEK YANG DITUNJUK SEBAGAI GATEWAY YANG

MELAKUKAN TRANSAKSI EFEK UNTUK KEPENTINGAN NASABAH DALAM

RANGKA PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

PENGAMPUNAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Dalam rangka mendukung tugas Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk sebagai gateway
dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5899), perlu diatur secara khusus mengenai tata cara
perhitungan Modal Kerja Bersih Disesuaikan pada akun Utang Lembaga Kliring Penjaminan
dan akun Utang Nasabah Pemilik Rekening yang timbul sebagai akibat transaksi nasabah
Perantara Pedagang Efek Gateway, dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai
berikut:

I. KETENTUAN UMUM

Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan:

a. Modal Kerja Bersih Disesuaikan yang selanjutnya disingkat MKBD adalah jumlah aset
lancar Perusahaan Efek dikurangi dengan seluruh liabilitas Perusahaan Efek dan ranking
liabilities, ditambah dengan utang sub ordinasi, serta dilakukan penyesuaian lainnya.

b. Perantara Pedagang Efek Gateway yang selanjutnya disebut PPE Gateway adalah
Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai
gateway untuk penempatan dan pengelolaan dana Wajib Pajak pada instrumen investasi
dalam rangka pelaksanaan Pengampunan Pajak.

c. Sistem Pusat Pelaporan MKBD yang selanjutnya disingkat SPP-MKBD adalah sistem yang
dikelola oleh PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia yang digunakan untuk menyampaikan
laporan MKBD oleh Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Nomor
Kep-22/BL/2012 tanggal 30 Januari 2012 tentang Penunjukan PT Kliring Penjaminan Efek
Indonesia sebagai Penerima Laporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan.

II. TATA CARA PERHITUNGAN MKBD TERKAIT TRANSAKSI NASABAH DALAM


RANGKA PELAKSANAAN PENGAMPUNAN PAJAK
a. Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah wajib memiliki MKBD paling sedikit sebesar
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau 6,25% (enam koma dua lima
persen) dari total liabilitas tanpa utang sub ordinasi dan utang dalam rangka penawaran
umum/penawaran terbatas ditambah ranking liabilities, mana yang lebih tinggi.

b. Ketentuan tata cara perhitungan MKBD berdasarkan Surat Edaran Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor SE-07/BL/2011 tentang Pedoman Penyusunan
Formulir-Formulir Modal Kerja Bersih Disesuaikan tetap berlaku bagi PPE Gateway
sepanjang tidak diatur lain dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.

c. Sub Akun Utang Transaksi Bursa dari Akun Utang Lembaga Kliring dan Penjaminan
(Baris 129) dan Sub-Sub Akun Transaksi Jual Efek dari Sub Akun Utang Nasabah Pemilik
Rekening Efek (Baris 133) sebagaimana dimaksud dalam Formulir V.D.5-2 tentang Laporan
Neraca Percobaan Harian Liabilitas dan Ekuitas yang merupakan lampiran dari Surat
Edaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor SE-07/BL/2011
tentang Pedoman Penyusunan Formulir-Formulir Modal Kerja Bersih Disesuaikan yang
timbul sebagai akibat transaksi nasabah PPE Gateway, tidak diperhitungkan dalam
perhitungan 6,25% (enam koma dua lima persen) dari total liabilitas tanpa utang sub ordinasi
dan utang dalam rangka penawaran umum/penawaran terbatas ditambah ranking liabilities
PPE Gateway pada saat verifikasi atas MKBD PPE Gateway.

d. Ketentuan dalam angka 3 di atas hanya berlaku jika dana dan/atau Efek nasabah PPE
Gateway dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak yang digunakan sebagai jaminan
penyelesaian transaksi nasabah tersebut disimpan di dalam sub rekening Efek dan/atau
rekening dana nasabah yang berada dalam pengendalian PPE Gateway.

III. VALIDASI DAN VERIFIKASI PELAPORAN MKBD PPE GATEWAY

Dalam hal validasi oleh SPP-MKBD atas laporan MKBD PPE Gateway sebagaimana
dimaksud dalam Surat Edaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
02/BL/2012 tentang Penjelasan Tambahan atas SE Nomor 07/BL/2011 dan Validasi
Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan menunjukan ketidakcukupan nilai MKBD yang
dilaporkan terhadap nilai MKBD yang dipersyaratkan dalam angka II angka 1, PPE Gateway
wajib menyampaikan kepada Bursa Efek dan pengelola SPP-MKBD, dokumen dan catatan
perhitungan yang menunjukkan besaran nilai kewajiban (liabilitas) serta didukung dengan
rincian transaksi atas nilai liabilitas tersebut yang terjadi karena transaksi nasabah PPE
Gateway dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak dengan memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam angka II angka 3.

Penyampaian dokumen dan catatan perhitungan atas ketidakcukupan nilai MKBD


sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. PPE Gateway melaporkan dokumen dan catatan perhitungan yang menunjukkan


besaran nilai kewajiban (liabilitas) nasabah PPE Gateway dalam rangka pelaksanaan
pengampunan pajak, yang didukung dengan rincian transaksi yang dilakukan oleh
nasabah atas nilai liabilitas tersebut kepada Bursa Efek dan pengelola SPP-MKBD
sesuai dengan batas waktu pelaporan MKBD sebagaimana diatur dalam Peraturan
Nomor V.D.5, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-566/BL/2011 tanggal 31 Oktober 2011 tentang
Pemeliharaan dan Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan.
2. Pengelola SPP-MKBD wajib melakukan verifikasi atas laporan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan berkoordinasi dengan Bursa Efek terhadap nilai
minimum MKBD PPE Gateway yang disebabkan oleh transaksi nasabah PPE
Gateway dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak.
3. Dalam hal nilai MKBD dari PPE Gateway yang telah dilakukan verifikasi
berdasarkan laporan dokumen dan catatan atas total liabilitas yang dilakukan nasabah
dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak tersebut masih di bawah nilai
minimum MKBD yang dipersyaratkan, maka PPE Gateway dimaksud dilarang
melakukan transaksi bursa oleh Bursa Efek sebagaimana diatur dalam ketentuan
angka 4 huruf d Peraturan Nomor V.D.5, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-566/BL/2011 tanggal 31 Oktober
2011 tentang Pemeliharaan Dan Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan.
4. Dalam hal PPE Gateway tidak menyampaikan dokumen dan catatan perhitungan total
liabilitas terkait transaksi nasabah dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak
sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perhitungan nilai
MKBD harian PPE Gateway sesuai dengan validasi SPP-MKBD.

IV. PENUTUP
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Februari 2017
KEPALA EKSEKUTIF
PENGAWAS PASAR MODAL,

ttd

NURHAIDA
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


_____________________________________________________________________

03 Maret 2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 05/PJ/2017

TENTANG

PEMBERITAHUAN BERLAKUNYA PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH


REPUBLIK

INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT LAOS


MENGENAI

PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK


YANG

BERHUBUNGAN DENGAN PAJAK-PAJAK ATAS PENGHASILAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan telah selesainya prosedur ratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia
dan Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Laos atas Persetujuan antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Laos mengenai
Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak yang Berhubungan dengan
Pajak-pajak atas Penghasilan (P3B Indonesia-Laos) dan juga prosedur pemberitahuan
sebagaimana yang dipersyaratkan, perlu diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
sebagai pemberitahuan saat berlaku dan berlaku efektifnya P3B Indonesia-Laos.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberitahukan seluruh jajaran Direktorat Jenderal
Pajak mengenai saat berlaku dan berlaku efektifnya P3B Indonesia-Laos.

2. Tujuan

Surat Edaran ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam P3B
Indonesia-Laos dapat berjalan sebagaimana mestinya.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi proses ratifikasi P3B Indonesia-Laos, proses
pemberitahuan mengenai telah selesainya prosedur internal masing-masing pihak dalam
rangka pemberlakuan P3B Indonesia-Laos, saat berlaku dan berlaku efektifnya P3B
Indonesia-Laos, dan hal-hal pokok yang diatur di dalam P3B Indonesia-Laos.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah


beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik
Demokrasi Rakyat Laos mengenai Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan
Pengelakan Pajak yang Berhubungan dengan Pajak-pajak atas Penghasilan
(Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
Government of the Lao Peoples Democratic Republic for the Avoidance of Double
Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income).
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2016 tentang Pengesahan
Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik
Demokrasi Rakyat Laos mengenai Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan
Pengelakan Pajak yang Berhubungan dengan Pajak-pajak atas Penghasilan
(Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
Government of the Lao Peoples Democratic Republic for the Avoidance of Double
Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income).

E. Materi dan Penjelasan

1. P3B Indonesia-Laos ditandatangani di Vientiane pada tanggal 8 September 2011 dan


telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Laos
mengenai Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak yang
Berhubungan dengan Pajak-pajak atas Penghasilan (Agreement between the
Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Lao Peoples
Democratic Republic for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of
Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income).
2. Pada tanggal 2 Oktober 2016, Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Laos melalui
Kedutaan Besar Republik Demokrasi Rakyat Laos memberitahukan Pemerintah
Republik Indonesia bahwa Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Laos telah
memenuhi persyaratan internalnya dalam rangka pemberlakuan P3B Indonesia-Laos.
Di lain pihak, Pemerintah Republik Indonesia juga telah mengirimkan pemberitahuan
kepada Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Laos melalui nota diplomatik tanggal
11 Oktober 2016 mengenai telah selesainya prosedur internal yang diperlukan dalam
rangka pemberlakuan P3B Indonesia-Laos. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 29
P3B Indonesia-Laos, saat mulai berlaku (entry into force) P3B Indonesia-Laos adalah
sejak tanggal terakhir pemberitahuan tertulis, yaitu tanggal 11 Oktober 2016.
3. Berdasarkan Pasal 29 P3B Indonesia-Laos, ketentuan-ketentuan dalam P3B tersebut
berlaku efektif sebagai berikut:
a. di Indonesia:
1) sehubungan dengan pajak yang dipotong pada sumbernya, atas penghasilan yang diperoleh
pada atau setelah tanggal 1 Januari 2017; dan

2) sehubungan dengan pajak-pajak lainnya, atas pajak yang dapat dikenakan di tiap tahun
pajak yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2018 dan
tahun-tahun pajak berikutnya; dan

b. di Laos:
1) sehubungan dengan pajak yang dipotong pada sumbernya, atas penghasilan yang diperoleh
pada atau setelah tanggal 1 Januari 2017; dan

2) sehubungan dengan pajak-pajak lainnya, atas pajak yang dapat dikenakan di tiap tahun
pajak yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2018 dan tahun-tahun pajak berikutnya.

4. Hal-hal pokok yang diatur dalam P3B Indonesia-Laos antara lain adalah hak pemajakan
bagi Indonesia sebagai berikut:
a. penghasilan berupa dividen:
1) tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto penghasilan berupa dividen jika
diterima/diperoleh oleh pemilik manfaat sebenarnya (beneficial owner) yang merupakan
perusahaan (selain persekutuan atau partnership) yang memiliki secara langsung paling
sedikit 10% (sepuluh persen) dari modal perusahaan yang membayar dividen; atau

2) tarif 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto penghasilan berupa dividen untuk kasus
atau keadaan selain pada butir 1);

b. tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto penghasilan berupa bunga jika diterima atau
diperoleh pemilik manfaat sebenarnya (beneficial owner)

c. tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto penghasilan berupa royalti yang diterima atau
diperoleh pemilik manfaat sebenarnya (beneficial owner); dan

d. tarif 10% (sepuluh persen) dari Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak dari suatu
Bentuk Usaha Tetap (branch profit tax).

5. Tarif branch profit tax sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf d tidak mempengaruhi
ketentuan yang terdapat dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) sektor
minyak dan gas, dan kontrak karya di bidang pertambangan lainnya, yang dibuat oleh Negara
pihak pada P3B Indonesia-Laos, perusahaan minyak dan gas milik negara atau badan-badan
lainnya dengan orang atau badan yang merupakan penduduk dari Negara pihak lainnya pada
P3B Indonesia-Laos.

6. Penduduk yang dapat memanfaatkan P3B Indonesia-Laos adalah penduduk dari Republik
Indonesia atau Republik Demokrasi Rakyat Laos yang dibuktikan dengan Surat Keterangan
Domisili sesuai ketentuan yang berlaku.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Maret 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001
Tembusan :

1. Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan


2. Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan
3. Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan
4. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian
Keuangan

http://www.peraturanpajak.com
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 09/PJ/2017

TENTANG

TATA CARA PENERIMAAN DAN PENATAUSAHAAN LAPORAN WAJIB PAJAK

DALAM RANGKA PENGAMPUNAN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Wajib Pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan Pengampunan Pajak memiliki
kewajiban untuk menyampaikan:

1. Laporan Pengalihan dan Realisasi Investasi Harta Tambahan; dan


2. Laporan Penempatan Harta Tambahan yang Berada di dalam Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Berkenaan dengan hal tersebut, perlu diatur lebih lanjut tentang tata cara penerimaan dan
penatausahaan laporan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan sebagai pedoman penerimaan dan
penatausahaan laporan yang disampaikan Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar dalam rangka Pengampunan Pajak.

2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan keseragaman dan tertib
administrasi dalam menerima dan menatausahakan laporan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:

1. Pengertian;
2. Ketentuan umum;
3. Penerimaan dan penatausahaan laporan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan
Pajak di Kantor Pelayanan Pajak; dan
4. Pengemasan dan penyampaian laporan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan
Pajak ke Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.


2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2016.
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2017 tentang Tata Cara
Pelaporan dan Pengawasan Harta Tambahan Dalam Rangka Pengampunan Pajak.

E. Materi

1. Pengertian
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:

Kantor Pelayanan Pajak Tempat Wajib Pajak Terdaftar yang selanjutnya disebut KPP
Tempat Wajib Pajak Terdaftar adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
memenuhi kewajiban perpajakan Pajak Penghasilan Sadan atau Pajak Penghasilan
Orang Pribadi.
Laporan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut
Laporan Wajib Pajak adalah laporan yang disampaikan oleh Wajib Pajak ke KPP
Tempat Wajib Pajak Terdaftar yang terdiri dari Laporan Penempatan Harta Tambahan
yang Berada di dalam Wilayah NKRI dan Laporan Pengalihan dan Realisasi lnvestasi
Harta Tambahan.
Laporan Pengalihan dan Realisasi Investasi Harta Tambahan adalah laporan yang
disampaikan oleh Wajib Pajak dengan contoh format sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2017.
Laporan Penempatan Harta Tambahan yang Berada di dalam Wilayah NKRI adalah
laporan yang disampaikan oleh Wajib Pajak dengan contoh format sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
03/PJ/2017.
Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Makassar yang selanjutnya
disebut KPDDP Makassar adalah unit pelaksana teknis yang melaksanakan
penyimpanan dokumen Pengampunan Pajak.

2. Ketentuan Umum
a. Laporan Wajib Pajak disampaikan dalam bentuk:
1) formulir kertas (hardcopy) dan salinan digital (softcopy), dalam hal disampaikan ke KPP
Tempat Wajib Pajak Terdaftar secara langsung; atau
2) dokumen elektronik, dalam hal disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi.

b. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan paling lambat pada saat
berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan:
1) Tahun Pajak 2017, untuk laporan yang disampaikan pertama kali; dan
2) Tahun Pajak 2018 dan seterusnya, untuk penyampaian laporan tahun kedua dan
seterusnya.

3. Penerimaan dan Penatausahaan Laporan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak di
Kantor Pelayanan Pajak

a.) Petugas Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar menerima
Laporan Wajib Pajak yang disampaikan secara langsung oleh Wajib Pajak atau kuasanya.
b.) Kuasa Wajib Pajak yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
harus melampirkan surat kuasa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
Pengampunan Pajak.

c.) Atas setiap laporan yang diterima, Petugas TPT melakukan penelitian kesesuaian antara
formulir kertas (hardcopy) dengan salinan digital (softcopy).

d.) Dalam hal berdasarkan penelitian ditemukan bahwa Laporan Wajib Pajak yang
disampaikan tidak sesuai dengan ketentuan atau terdapat ketidaksesuaian pengisian antara
formulir kertas (hardcopy) dengan salinan digital (softcopy), laporan tersebut dikembalikan
kepada Wajib Pajak atau kuasanya.

e.) Petugas TPT mencetak tanda terima laporan melalui Aplikasi Pengampunan Pajak dan
menyerahkannya kepada Wajib Pajak atau kuasanya.

f.) Laporan Wajib Pajak yang telah diterbitkan tanda terima, diserahkan kepada Seksi
Pengolahan Data dan Informasi (POI) untuk ditatausahakan hingga siap untuk dikemas dan
dikirim ke KPDDP Makassar.

g.) Tata cara penerimaan dan penatausahaan Laporan Wajib Pajak dalam rangka
Pengampunan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal ini.

4. Pengemasan dan Penyampaian Laporan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak ke
Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan

a.) Seksi PDI menerima berkas Laporan Wajib Pajak yang telah diterbitkan tanda terima
untuk dikemas dan dikirim ke KPDDP Makassar.

b.) KPDDP Makassar membuat jadwal penyampaian Laporan Wajib Pajak secara periodik
berdasarkan data monitoring pada Aplikasi Pengemasan di KPP Tempat Wajib Pajak
Terdaftar, dan mengirimkan jadwal tersebut kepada Kepala KPP Tempat Wajib Pajak
Terdaftar.

c.) Kepala KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar menugaskan petugas pengantar untuk
menyampaikan berkas Laporan Wajib Pajak ke KPDDP Makassar.

d.) Petugas pengantar menyampaikan secara langsung Laporan Wajib Pajak ke KPDDP
Makassar dan wajib menjaga keamanan dan kerahasiaan laporan dimaksud.

e.) Tata cara pengemasan dan Penyampaian Laporan Wajib Pajak ke KPDDP Makassar
adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

F. Ketentuan Lain-lain

1. Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi dan Direktorat


Teknologi lnformasi Perpajakan berwenang menentukan kebijakan teknis terkait
sistem teknologi informasi dalam rangka mendukung pelaksanaan penerimaan dan
penatausahaan Laporan Wajib Pajak.
2. Terhadap Laporan Wajib Pajak yang disampaikan sebelum berlakunya Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2017, dilakukan pengemasan dan
disampaikan ke KPDDP Makassar dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.
3. Berkas Laporan Wajib Pajak yang diterima oleh KPDDP Makassar ditindaklanjuti
sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-36/PJ/2016 tentang
Petunjuk Pengelolaan Dokumen Pengampunan Pajak di Kantor Pengolahan Data dan
Dokumen Perpajakan.
4. Kepala KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar menunjuk pegawai sebagai petugas
pengantar yang bertanggung jawab untuk menyampaikan kemasan Laporan Wajib
Pajak secara langsung.
5. Formulir yang digunakan dalam rangka penerimaan dan penatausahaan Laporan
Wajib Pajak adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
6. Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk dilaksanakan sebagaimana
mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

http://www.peraturanpajak.com
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 10/PJ/2017

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN LAPANGAN

DALAM RANGKA PEMERIKSAAN UNTUK MENGUJI KEPATUHAN PEMENUHAN

KEWAJIBAN PERPAJAKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Salah satu ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang
Tata Cara Pemeriksaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 184/PMK.03/2015 adalah mengenai Pemeriksaan Lapangan, yaitu Pemeriksaan yang
dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa
Pajak.

Dalam rangka meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak terhadap institusi Direktorat Jenderal
Pajak sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, menjaga integritas dan
profesionalisme Pemeriksa Pajak sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan,
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan, serta untuk
meningkatkan kualitas temuan hasil pemeriksaan sehingga menghasilkan surat ketetapan
pajak yang dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan petunjuk teknis atas ketentuan yang
mengatur mengenai prosedur Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Penguatan proses persiapan pemeriksaan, prosedur pemanggilan Wajib Pajak sebagai awal
dimulainya pemeriksaan, optimalisasi hak Wajib Pajak untuk mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan dan melembagakan proses pembahasan
internal draft temuan sementara sebelum pemberitahuan ke Wajib Pajak merupakan prosedur
baru yang ditekankan untuk mencapai tujuan tersebut di atas. Oleh karena itu diperlukan
penjabaran lebih lanjut dari ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan dan kebijakan
pemeriksaan serta ketentuan pelaksanaan pemeriksaan lainnya agar prosedur tersebut dapat
dilaksanakan. Untuk keperluan ini, dipandang perlu untuk menerbitkan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan
untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberikan petunjuk teknis bagi Pemeriksa Pajak
dalam melakukan kegiatan Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan baik yang dilaksanakan di tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak,
dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak.

2. Tujuan
Surat Edaran ini disusun dengan tujuan:

meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak terhadap institusi Direktorat Jenderal Pajak


dalam pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan;
menjaga integritas dan profesionalisme Pemeriksa Pajak dalam melaksanakan
kegiatan Pemeriksaan Lapangan;
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan;
mengoptimalkan Pemeriksaan melalui kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang didapatkan melalui Pemeriksaan Lapangan; dan
meningkatkan kualitas temuan hasil pemeriksaan sehingga menghasilkan surat
ketetapan pajak yang dapat dipertanggungjawabkan.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi petunjuk teknis kegiatan Pemeriksaan Lapangan
dalam rangka Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
yang terdiri dari:

Penegasan Dasar Hukum;


Persiapan Pemeriksaan;
Pemanggilan dan Pertemuan dengan Wajib Pajak di Kantor Direktorat Jenderal Pajak;
Permintaan Tertulis kepada Pihak Ketiga;
Pelaksanaan Pengujian di Tempat Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan Lapangan;
Perolehan Data dalam Bentuk Elektronik;
Penyegelan;
Tindak Lanjut Pemeriksaan Setelah Pengujian di Tempat Wajib Pajak; dan
Pembahasan Temuan Sementara Hasil Pemeriksaan.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2015;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Permintaan
Keterangan atau Bukti dari Pihak-Pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
235/PMK.03/2016;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 12/KMK.03/2017 tentang Penetapan Aplikasi,
Prosedur Pengajuan, Tata Naskah Dinas Elektronik, dan Kode Khusus Naskah Dinas,
Usulan pembukaan Rahasia Bank Secara Elektronik.
7. PER-07/PJ/2017 tentang Pedoman Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan
untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

E. Materi

Prosedur Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan


pemenuhan kewajiban perpajakan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 (selanjutnya disebut PMK Nomor
17/PMK.03/2013 stdd PMK Nomor 184/PMK.03/2015), ketentuan yang mengatur mengenai
Kebijakan Pemeriksaan, dan ketentuan pelaksanaan Pemeriksaan lainnya.

Dalam pelaksanaannya, diperlukan beberapa penegasan dan penguatan atas prosedur


Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan sebagai bentuk penjabaran lebih lanjut dari PMK Nomor
17/PMK.03/2013 stdd PMK Nomor 184/PMK.03/2015 sebagai berikut:

1. Penegasan Dasar Hukum


a. Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut Undang-Undang KUP) mengatur bahwa
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

b. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Wajib Pajak yang diperiksa
wajib:
1) memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

2) memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau

3) memberikan keterangan lain yang diperlukan.

c. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang KUP mengatur bahwa apabila dalam mengungkapkan
pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat
oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu
ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.

d. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak
berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak
dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasai 29 ayat (3) huruf b.
e. Pasal 11 huruf a PMK Nomor 17/PMK.03/2013 stdd PMK Nomor 184/PMK.03/2015
mengatur bahwa dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan, Pemeriksa Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis
Pemeriksaan Lapangan.

f Pasal 27 ayat (1) PMK Nomor 17/PMK.03/2013 stdd PMK Nomor 184/PMK.03/2015
mengatur bahwa dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan, Pemeriksa Pajak wajib melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak.

g Pasal 1 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-07/PJ/2017 tentang
Pedoman Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan mengatur bahwa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Lapangan disampaikan melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa
pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.

2. Persiapan Pemeriksaan
Sesuai standar pelaksanaan pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan harus didahului dengan persiapan yang baik sesuai dengan
tujuan pemeriksaan. Dalam rangka peningkatan efektivitas dan efisiensi Pemeriksaan,
tahapan persiapan pemeriksaan yang dilakukan antara lain:

a. Pemeriksa Pajak mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak yang dilakukan di
kantor, antara lain melalui kegiatan:
1) wawancara dengan Account Representative yang melakukan pengawasan terhadap Wajib
Pajak yang akan dilakukan pemeriksaan dalam hal diperlukan, untuk mengetahui profil Wajib
Pajak, proses bisnis Wajib Pajak, laporan keuangan, data Surat Pemberitahuan (SPT),
Laporan Hasil Pemeriksaan tahun sebelumnya, dan data lain yang diperlukan. Hasil
wawancara dengan Account Representative dituangkan dalam Berita Acara Hasil Wawancara
sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

2) pengumpulan data baik internal maupun eksternal dan informasi lainnya mengenai Wajib
Pajak, antara lain:
a) data kependudukan;
b) data dari internet;
c) data validasi alamat melalui 108; dan/atau
d) data bidang usaha dan contact person dari database B2B, Orbis, OSIRIS/ORIANA.

b. Pemeriksa Pajak mengumpulkan data dan informasi di lapangan melalui kegiatan observasi
lapangan.

Dalam rangka mengoptimalkan perolehan data, dokumen, dan informasi, Pemeriksa Pajak
dapat melakukan observasi lapangan antara lain mengenai:
1) keberadaan orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Lapangan dan pihak
terkait;

2) keberadaan dokumen atau data, termasuk penyimpanan dokumen, kapasitas kegiatan


usaha, data pemasok dan pelanggan, dokumen-dokumen yang digunakan oleh Wajib Pajak;
3) situasi dan kondisi di lokasi yang akan dilakukan Pemeriksaan Lapangan;

4) alat/sarana yang diperlukan dalam Pemeriksaan Lapangan;

5) kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) yang diperlukan untuk membantu pelaksanaan
Pemeriksaan Lapangan;

6) kebutuhan bantuan pengamanan dari aparat yang berwenang, dan

7) modus penyelewengan atau penghindaran pajak yang mungkin dilakukan oleh Wajib
Pajak.

c. Pemeriksa Pajak menyusun rencana pemeriksaan (audit plan) dan program pemeriksaan
(audit program) sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai rencana pemeriksaan dan
program pemeriksaan berdasarkan hasil kegiatan pengumpulan data dan informasi
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b.

d. Pemeriksa Pajak menyiapkan sarana dan prasarana sebelum Pemeriksaan dimulai.


Penyiapan sarana dan prasarana sebelum Pemeriksaan dimulai meliputi hal-halsebagai
berikut:
1) Melakukan inventarisir dan memastikan berkas Wajib Pajak yang akan dilakukan
Pemeriksaan telah lengkap. Dalam hal berkas Wajib Pajak belum lengkap, Pemeriksa Pajak
dapat melakukan peminjaman berkas kepada Unit kerja terkait di lingkungan DJP;

2) Kelengkapan berkas Wajib Pajak sebagaimana angka 1) harus menyesuaikan dengan risiko
yang telah diidentifikasi pada Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) dan memperhatikan Teknik
Pemeriksaan minimal yang akan dilakukan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak nomor SE-04/PJ/2012 tentang Pedoman Penyusunan Program Pemeriksaan
untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;

3) Mempersiapkan sarana Pemeriksaan antara lain kartu tanda pengenal Pemeriksa Pajak,
formulir-formulir yang diperlukan dalam proses pemeriksaan lapangan termasuk pakta
integritas, tanda segel; dan

4) Menyiapkan sarana dan prasarana pendukung Pemeriksaan (audit tools) dalam hal
diperlukan, seperti:
a) Permintaan tenaga ahli yang dibutuhkan, seperti tenaga ahli bahasa, penilai, ahli IT, ahli
Transfer Pricing;

b) Aplikasi pendukung pemeriksaan dan/atau peralatan yang dibutuhkan;

c) Data pembanding transaksi.

3. Pemanggilan dari Pertemuan dengan Wajib Pajak di Kantor Direktorat Jenderal Pajak
a. Penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan
1) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan melalui faksimili, pos dengan
bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan DirekturJenderal Pajak nomor PER-07/PJ/2017.
2) Dengan disampaikannya Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana
dimaksud pada angka 1), Wajib Pajak tidak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang
telah disampaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang KUP.

3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan bersamaan dengan surat


panggilan kepada Wajib Pajak.

4) Untuk memastikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dan surat panggilan


sebagaimana dimaksud pada angka 3) diterima oleh Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak
melakukan konfirmasi kepada Wajib Pajak melalui telepon, email atau Saluran komunikasi
lainnya,

b. Pemanggilan Wajib Pajak yang diperiksa ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak


1) Surat panggilan kepada Wajib Pajak merupakan surat yang digunakan Pemeriksa Pajak
untuk memanggil Wajib Pajak ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai prosedur
awal Pemeriksaan Lapangan.

2) Surat panggilan kepada Wajib Pajak berisi:


a) waktu, tempat, dan maksud dilaksanakannya pertemuan antara Pemeriksa Pajak dengan
Wajib Pajak; dan

b) buku, catatan, dan dokumen yang harus dibawa oleh Wajib Pajak.

3) Waktu dilaksanakannya pertemuan sehubungan dengan surat panggilan sebagaimana


dimaksud pada angka 2) huruf a) ditentukan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
diterbitkannya Surat Panggilan, dengan mempertimbangkan lokasi Wajib Pajak.

4) Tempat dilaksanakannya pertemuan sehubungan dengan surat pemanggilan Sebagaimana


dimaksud pada angka 2) huruf a) di kantor Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2) atau di kantor
DJP selain kantor UP2 dengan mempertimbangkan lokasi Wajib Pajak.

Contoh I
Wajib Pajak terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar Satu namun lokasi Wajib Pajak terdapat di
Medan. Pemanggilan dan pertemuan dengan Wajib Pajak dapat dilakukan di salah satu
Kantor DJP yang berlokasi di Medan, seperti KPP Madya Medan, Kanwil DJP Sumatera
Utara I, atau kantor DJP lainnya yang berlokasi di Medan.

Contoh II
Wajib Pajak terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar Satu namun lokasi Wajib Pajak berada di
daerah Soroako, Sulawesi Selatan. Pemanggilan dan pertemuan dengan Wajib Pajak dapat
dilakukan di kantor DJP yang terdekat dengan lokasi Wajib Pajak, seperti di KP2KP Malili.

5) Jenis buku, catatan, dan dokumen yang harus dibawa oleh Wajib Pajak menyesuaikan
dengan risiko yang telah diidentifikasi pada Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) dan
memperhatikan Teknik Pemeriksaan minimal yang akan dilakukan sebagaimana diatur dalam
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-04/PJ/2012 tentang Pedoman Penyusunan
Program Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Contoh I
Dalam hal pemeriksaan dilakukan atas SPT Tahunan PPh Badan/Orang Pribadi dengan risiko
terdapat penghasilan yang belum sebenarnya dilaporkan, maka sesuai dengan Teknik
Pemeriksaan minimal yang harus dilakukan, Pemeriksa Pajak harus meminta Wajib Pajak
membawa dokumen terkait pencatatan uang kas dan/atau seluruh rekening koran Wajib Pajak
untuk dapat dilakukan pengujian arus uang dan dokumen terkait pencatatan penjualan dan
piutang serta seluruh rekening koran Wajib Pajak untuk dapat dilakukan pengujian arus
piutang.

Contoh II
Dalam hal pemeriksaan dilakukan atas SPT Masa PPN dengan risiko terdapat penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) yang belum sebenarnya dilaporkan, maka sesuai dengan Teknik
Pemeriksaan minimal yang harus dilakukan, Pemeriksa Pajak harus meminta Wajib Pajak
membawa dokumen terkait seluruh penyerahan BKP, seluruh Faktur Pajak Keluaran yang
diterbitkan pada masa pajak yang diperiksa dan/atau seluruh rekening koran Wajib Pajak
untuk dapat dilakukan pengujian penelusuran bukti dan dokumen terkait dengan peredaran
usaha yang terjadi pada masa pajak yang diperiksa untuk dapat dilakukan pengujian
ekualisasi atau rekonsiliasi antara peredaran usaha dengan penyerahan BKP.

c. Pertemuan dan Permintaan Keterangan kepada Wajib Pajak yang diperiksa


1) Pertemuan dengan Wajib Pajak harus dilakukan pada waktu dan tempat sesuai dengan
Surat Panggilan dan dilakukan di ruangan khusus yang memiliki alat perekam suara (audio)
dan gambar (visual).

2) Dalam melaksanakan pertemuan dengan Wajib Pajak, harus dihadiri oleh:


a) wakil Wajib Pajak sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang KUP, untuk Wajib
Pajak Badan;

b) orang pribadi yang bersangkutan, untuk Wajib Pajak Orang Pribadi;

c) salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalan, untuk
warisan yang belum terbagi; atau

d) wali atau pengampunya, untuk anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam
pengampuan.

3) Wajib Pajak yang menghadiri pertemuan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dapat
didampingi oleh pihak lain.

4) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada angka 3) antara lain pegawai atau konsultan pajak
yang memahami kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak.

5) Dalam melaksanakan pertemuan sebagaimana dimaksud pada angka 1), Wajib Pajak harus
memenuhi permintaan buku, catatan, dan dokumen yang diperlukan Pemeriksa Pajak
sebagaimana tercantum dalam Surat Panggilan.

6) Dalam hal Wajib Pajak hadir sesuai dengan surat panggilan, Pemeriksa Pajak melakukan
hal-hal sebagai berikut:

a) melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dengan memperlihatkan Tanda Pengenal


Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) kepada Wajib Pajak pada waktu
melakukan Pemeriksaan;
b) memberikan penjelasan mengenai:

alasan dan tujuan Pemeriksaan;


hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim
Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas
pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan
Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk
Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret yang dilakukan dengan jenis
Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a PMK
Nomor 17/PMK.03/2013 stdd PMK Nomor 184/PMK.03/2015; dan
kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya,
yang dipinjam dari Wajib Pajak.

dan menuangkannya dalam Berita Acara Pertemuan dengan Wajib Pajak.

c) menandatangani dokumen pakta integritas yang ditandatangani bernama antara Pemeriksa


Pajak dan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan serta diketahui oleh Kepala UP2.

d) melakukan permintaan keterangan kepada Wajib Pajak yang diperiksa sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf c Undang-Undang KUP, yang
paling sedikit harus meminta penjelasan atas hal-hal sebagai berikut:

Identitas Wajib Pajak yang dimintai keterangan;


Proses bisnis Wajib Pajak;
Pembukuan atau pencatatan yang dilakukan Wajib Pajak termasuk dokumentasinya;
Informasi mengenai pelanggan dan supplier utama Wajib Pajak;
Transaksi-transaksi yang bersifat khusus; atau
Klarifikasi terhadap data yang ditemukan Pemeriksa Pajak dengan data pada SPT.

dan menuangkannya dalam Berita Acara Pemberian Keterangan.

7) Dalam hal Wajib Pajak hadir namun menolak membantu kelancaran Pemeriksaan,
Pemeriksa Pajak membuat catatan penolakan tersebut dalam Berita Acara Pemberian
Keterangan.

8) Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir, Pemeriksa Pajak:


a) membuat Berita Acara Ketidakhadiran yang ditandatangani oleh Tim Pemeriksa Pajak; dan

b) melanjutkan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan di tempat Wajib Pajak yang didahului


dengan melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf c angka 6).

9) Setelah dilakukan pemanggilan dan pertemuan dengan Wajib Pajak di kantor DJP,
Pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk di dalamnya adalah
ketentuan bahwa Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus
untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai
persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa.
4. Permintaan Tertulis kepada Pihak Ketiga
a. Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang KUP jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
87/PMK.03/2013, Pemeriksa pajak berwenang untuk meminta keterangan tertulis dari pihak
ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan.

b. Pada prinsipnya terkait dengan permasalahan kerahasiaan terdapat dua kelompok pihak
ketiga yaitu:
1) Bank yang kerahasiaannya ditiadakan dalam hal terdapat ijin dari Otoritas Jasa Keuangan
berdasarkan permintaan tertulis dari Menteri Keuangan; dan
2) Pihak ketiga lainnya seperti pemasok (supplier), pelanggan, akuntan publik, notaris,
konsultan pajak, kantor administrasi, yang kerahasiaannya ditiadakan berdasarkan permintaan
Direktur Jenderal Pajak yang telah dilimpahkan kepada Kepala UP2.

c. Dalam hal persyaratan untuk melakukan permintaan keterangan secara tertulis telah
berhasil dikumpulkan dan diperoleh, maka Pemeriksa Pajak harus segera melakukan prosedur
permintaan keterangan secara tertulis kepada pihak ketiga yarig terkait dengan Wajib Pajak
yang dilakukan Pemeriksaan.

d. Termasuk ke dalam permintaan keterangan secara tertulis adalah pembukaan rahasia


nasabah penyimpan yang dilakukan secara elektronik melalui Aplikasi Buka Rahasia
(AKASIA) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.03/2016 tentang Tata
Cara Permintaan Keterangan atau Bukti dari Pihak-Pihak Terkait oleh Kewajiban
Merahasiakan.

e. Permintaan keterangan secara tertulis kepada Bank melajui pembukaan rahasia nasabah
penyimpan pada saat pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dalam hal Wajib Pajak tidak
memberikan surat kuasa dari Wajib Pajak kepada Pemeriksa Pajak untuk meminta keterangan
atau bukti dari bank tentang keadaan keuangan nasabah penyimpan pada bank yang
bersangkutan atau berdasarkan pertimbangan Pemeriksa Pajak diperlukan permintaan
pembukaan rahasia nasabah penyimpan.

5. Pelaksanaan Pengujian di Tempat Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan Lapangan


a. Berita Acara Pemberian Keterangan dalam pertemuan dengan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada angka 3 huruf c angka 6) huruf d) menjadi dasar bagi Pemeriksa Pajak untuk
dapat melakukan pengujian di tempat Wajib Pajak.

b. Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf c angka 8)


huruf b) harus dilanjutkan dengan melakukan pengujian ditempat Wajib Pajak.

c. Pengujian di tempat Wajib Pajak dapat dilakukan pada hari yang sama atau berbeda sejak
pertemuan dengan Wajib Pajak di kantor DJP dengan mempertimbangkan risiko Wajib Pajak,
lokasi Wajib Pajak, dan SDM yang dibutuhkan.

d. Pengujian di tempat Wajib Pajak dilakukan secara mendadak dan dilaksanakan dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak pertemuan dengan Wajib Pajak, serta dapat
dilakukan lebih dari satu kali dalam hal diperlukan data atau informasi tambahan.

e. Pelaksanaan pengujian di tempat Wajib Pajak dilakukan oleh Tim Pemeriksa Pajak. Dalam
hal diperlukan, Pemeriksa Pajak dapat dibantu oleh Pegawai DJP lainnya yang ditunjuk
melalui Surat Tugas dari Kepala UP2 atau oleh Tenaga Ahli yang ditunjuk melalui Surat
Tugas Tenaga Ahli dengan ketentuan bahwa segala tindakan dan/atau kegiatan yang
dilakukan oleh Pegawai DJP lainnya atau Tenaga Ahli tersebut berada di bawah kendali Tim
Pemeriksa Pajak.

f. Pada saat melakukan pengujian di tempat Wajib Pajak, Tim Pemeriksa Pajak didampingi
oleh petugas yang ditunjuk oleh Kepala UP2 melalui Surat Tugas untuk melakukan
pendampingan pengujian di tempat Wajib Pajak, yang bertugas untuk:
1) memastikan tata cara pemeriksaan telah dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

2) memastikan Wajib Pajak dapat melaksanakan hak-haknya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;

3) memastikan Pemeriksaan terselenggara sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik;
dan

4) setelah melakukan tugas pendampingan, petugas yang ditunjuk menyusun dan


menyampaikan laporan kepada Kepala UP2.

g. Saat melakukan pengujian di tempat Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak harus melakukan hal-
hal, antara lain:

1) meminjam pada saat itu juga data yang diperlukan dan ditemukan/diperoleh di lapangan
dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan, seperti:

a) data lawan transaksi (data pelanggan, data pemasok, dll) beserta dokumen pendukungnya
yang berhubungan dengan penjualan barang dan Harga Pokok Penjualan atau Harga Pokok
Produksi;

b) buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan,
dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

c) rekening Koran Wajib Pajak; dan/atau

d) data lainnya.

2) Termasuk data lainnya sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf d) adalah:


a) surat kuasa dari Wajib Pajak kepada Pemeriksa Pajak untuk meminta keterangan atau bukti
dari bank tentang keadaan keuangan nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan sesuai
dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IIA atau Lampiran IIB yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini; dan/atau

b) surat kuasa yang memberikan akses kepada Pemeriksa Pajak untuk melihat dokumen
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dalam hal Wajib Pajak yang
sedang dilakukan pemeriksaan adalah penyelenggara negara sesuai dengan contoh format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran ini.
c) dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak memberikan surat
kuasa sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan/atau huruf b), Pemeriksa Pajak
menindaklanjuti dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

membuat berita acara penolakan memberikan surat kuasa yang ditandatangani oleh
Tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak dengan menggunakan format berita acara
sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
dalam hal Wajib Pajak menolak untuk menandatangani berita acara sebagaimana
dimaksud pada butir i, Pemeriksa Pajak membuat catatan penolakan tersebut dalam
berita acara dimaksud.
melakukan permintaan membuka rahasia bank sesuai dengan ketentuan yang
mengatur mengenai permintaan membuka rahasia bank dan/atau melanjutkan
Pemeriksaan berdasarkan data yang ada.

3) memperhatikan rekening koran Wajib Pajak yang bersifat transitory account, yakni akun
rekening koran yang memiliki saldo awal dan/atau saldo akhir nihil akan tetapi sepanjang
periode tersebut terdapat transaksi bank. Dalam hal diketahui adanya transitory account baik
atas nama Wajib Pajak maupun atas nama pihak lain, Pemeriksa Pajak melakukan
peminjaman dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 1) atau melakukan pembukaan
rahasia nasabah penyimpan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf d.

4) meminta keterangan tertulis maupun lisan dari Wajib Pajak, wakil, kuasa Wajib Pajak,
pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak dan harus dituangkan
dalam Berita Acara Pemberian Keterangan Wajib Pajak yang ditandatangani oleh tim
Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai atau anggota
keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

Contoh keterangan tertulis misalnya:


a) surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;

b) keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya;

c) surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau

d) surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup.

Contoh keterangan lisan misalnya:


a) wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak;

b) wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak;

c) wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang bersifat khusus; atau

d) klarifikasi terhadap data yang ditemukan Pemeriksa Pajak dengan data pada SPT.

5) Melakukan inspeksi untuk menguji eksistensi dan pengecekan fisik antara lain:

a) proses produksi dan alur kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
b) kapasitas produksi, produk yang dihasilkan, jumlah karyawan, modal sendiri atau
pinjaman yang dibutuhkan oleh Wajib Pajak dalam menjalankan kegiatannya; dan/atau

c) harta berupa uang, persediaan, peralatan, aktiva tetap dan/atau harta Wajib Pajak lainnya.

h. Pemeriksa Pajak harus mengoptimalkan pelaksanaan pengujian di tempat Wajib Pajak


untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan pemeriksaan.

i. Setiap pengujian di tempat Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak harus membuat Berita Acara
Pelaksanaan Pengujian di Tempat Wajib Pajak dengan menggunakan format berita acara
sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

j. Terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pengujian di tempat Wajib Pajak, berlaku
ketentuan sebagai berikut:

1) Dalam hal Wajib Pajak bersikap kooperatif, yaitu memenuhi ketentuan mengenai
kewajiban Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4) Undang-
Undang KUP, Pemeriksa Pajak melanjutkan pengujian pemeriksaan sesuai dengan ruang
lingkup pemeriksaan dan auditplan.

2) Dalam hal Wajib Pajak bersikap tidak kooperatif, yaitu tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud daiam Pasal 29 ayat (3) huruf b Undang-Undang KUP, berupa tidak
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 29
ayat (3) huruf a Undang-Undang KUP, Pemeriksa Pajak dapat melakukan penyegelan
sebagaimana tata cara penyegelan yang diatur dalam PMK Nomor 17/PMK.03/2013 stdd
PMK Nomor 184/PMK.03/2015, dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Dalam hal setelah dilakukan Penyegelan Wajib Pajak menjadi kooperatif, Pemeriksa Pajak
melanjutkan pengujian pemeriksaan sesuai dengan ruang lingkup pemeriksaan dan audit plan.

b) Dalam hal setelah dilakukan Penyegelan Wajib Pajak tetap tidak kooperatif yang
ditunjukkan dengan melakukan pembatasan pemeriksaan sehingga tidak memenuhi ketentuan
mengenai kewajiban Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan yat (4)
Undang-Undang KUP atau Wajib Pajak menyatakan menolak tempat Wajib Pajak,
berdasarkan pertimbangan profesional (professional judgement) Pemeriksa Pajak dan Kepala
UP2, Pemeriksa Pajak harus menentukan apakah akan menghitung besarnya penghasilan
kena pajak secara jabatan atau mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagai tindak
lanjut Pemeriksaan, yang dituangkan di dalam Kertas Kerja Pemeriksaan.

6. Perolehan Data dalam Bentuk Elektronik


a. Dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan secara elektronik, Pemeriksa Pajak
harus memperoleh data yang diperlukan dalam bentuk elektronik dan menyimpan data
tersebut menggunakan media penyimpanan elektronik yang tidak dapat diubah, melakukan
imaging file-file yang diunduh, melakukan hashing file image tersebut, serta membuat Berita
Acara Perolehan Data, Catatan dan/atau Dokumen yang Dikelola Secara Elektronik dengan
merinci nama file, ukuran file, dan hash value file image tersebut.
b. Perolehan data elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut:
1) Melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang memahami sistem informasi yang
digunakan oleh orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Lapangan dan
menuangkannya dalam Formulir Kuesioner Gambaran Umum Sistem Informasi sesuai
dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini;

2) Meminta ijin untuk mengakses dan/atau mengunduh data elektronik yang dikelola oleh
Wajib Pajak yang dibuktikan dengan Wajib Pajak menandatangani Surat Pernyataan sesuai
dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

3) Melakukan pengunduhan Data Elektronik dari perangkat yang diduga sebagai penyimpan
dokumen. Prosedur melakukan imaging file yang dipinjam dan melakukan hashing file Image
terdapat dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
ini;

4) Membuat Berita Acara Perolehan Data, Catatan dan/atau Dokumen yang Dikelola Secara
Elektronik sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX dan
dilampiri dengan Lampiran Rincian Perolehan Data, Catatan dan/atau Dokumen yang
Dikelola Secara Elektronik sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini; dan

5) Mendokumentasikan seluruh proses Perolehan Data Elektronik.


c. Pemeriksa Pajak dapat meminta bantuan tenaga e-auditor dalam hal terdapat kendala untuk
memperoleh data secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.

d. Dalam hal Pemeriksa Pajak tidak dapat melakukan peminjaman data dalam bentuk
elektronik sebagaimana dimaksud pada huruf a dikarenakan Wajib Pajak tidak
menyelenggarakan pembukuan secara elektronik, atau Pemeriksa Pajak tidak dapat
melakukan pengolahan data karena keterbatasan database pengolahan data yang dimiliki, atau
karena alasan lain yang menyebabkan Pemeriksa Pajak melakukan peminjaman buku,
catatan, atau dokumen non elektronik, Pemeriksa Pajak menuangkannya dalam Berita Acara
Pelaksanaan Peminjaman Buku, Catatan dan Dokumen Non Elektronik sesuai dengan contoh
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Surat Edaran ini.

e. Pemeriksa Pajak di Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar,
Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan di Kantor Pelayanan
Pajak Madya, harus melaksanakan e-audit dalam pelaksanaan pemeriksaannya sesuai dengan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-25/PJ/2013 tentang pedoman e-audit.

7. Penyegelan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rangka melakukan penyegelan sebagaimana dimaksud
pada angka 5 huruf j butir 2) antara lain:

a. Penyegelan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2


(dua) orang yang telah dewasa selain anggota tim Pemeriksa Pajak yang dapat merupakan
pegawai Direktorat Jenderal Pajak, pegawai Wajib Pajak, atau pihak ketiga lainnya.
b. Penyegelan juga dilakukan terhadap data yang dikelola secara elektronik untuk
mengamankan data tersebut agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah,
dirusak, ditukar atau dipalsukan, baik secara fisik maupun melalui jaringan.

8. Tindak Lanjut Pemeriksaan Setelah Pengujian di Tempat Wajib Pajak


Setelah jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada angka 5 huruf d telah
berakhir, berdasarkan pertimbangan profesional (prafessional judgement) Pemeriksa Pajak
dan Kepala UP2, Pemeriksa Pajak harus menentukan tindak lanjut pemeriksaan, yang
dituangkan di dalam Kertas Kerja Pemeriksaan dan didukung dengan Berita Acara
Pemenuhan Dokumen, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Dalam hal Wajib Pajak bersikap kooperatif sebagaimana dimaksud dalam angka 5 huruf j
angka 1) dan angka 2) butir a), Pemeriksa Pajak melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) melanjutkan pengujian dengan menggunakan metode dan teknik pemeriksaan sesuai
dengan rencana pemeriksaan (audit plan) dan program pemeriksaan (audit program) yang
telah disusun.

2) Dalam hal Pemeriksa Pajak menemukan kondisi yang berbeda antara audit plan dengan
pelaksanaan pengujian di tempat Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak dapat melakukan perubahan
rencana pemeriksaan (audit plan).

3) Dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak selesainya pengujian di tempat Wajib
Pajak, Pemeriksa Pajak harus memutuskan untuk menyampaikan kepada Wajib Pajak bahwa
Wajib Pajak memiliki hak untuk mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP atau mengusulkan Pemeriksaan Bukti
Permulaan.

b. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal Pemeriksa Pajak memutuskan Untuk
menyampaikan kepada Wajib Pajak bahwa Wajib Pajak memiliki hak untuk mengungkapkan
dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP sebagaimana
dimaksud pada huruf a angka 3) adalah sebagai berikut:

1. Dalam hal Wajib Pajak terbukti tidak melaporkan peredaran usaha maupun biaya-
biaya yang sebenarnya atau terdapat temuan-temuan yang bersifat material dalam
Surat Pemberitahuan yang sedang dilakukan pemeriksaan, Pemeriksa Pajak dapat
menyampaikan kepada Wajib Pajak bahwa Wajib Pajak memiliki hak untuk
mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan yang telah disampaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4)
Undang-Undang KUP.
2. Temuan-temuan sebagaimana dimaksud pada angka 1) harus didukung dengan Berita
Acara Permintaan Keterangan kepada Wajib Pajak.
3. Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1) bermaksud untuk
memanfaatkan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP, maka Wajib Pajak, wakil atau
kuasa membuat Surat Pernyataan akan memanfaatkan Pasal 8 ayat (4) Undang-
Undang KUP dengan menggunakan format surat pernyataan sesuai dengan contoh
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran ini.
4. Dalam hal Wajib Pajak tidak memanfaatkan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP,
Pemeriksa Pajak dapat mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
5. Dalam hal Wajib Pajak tidak memanfaatkan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP
dan tidak dilakukan pengusulan Pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Pemeriksa Pajak
menyelesaikan pemeriksaan dengan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan sebagai
dasar penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

c. Dalam hal Wajib Pajak bersikap tidak kooperatif sebagaimana dimaksud dalam angka 5
huruf j angka 2) butir b), Pemeriksa Pajak harus menentukan apakah akan menghitung
besarnya penghasilan kena pajak secara jabatan dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto atau mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

9. Pembahasan Temuan Sementara Hasil Pemeriksaan

Temuan pemeriksaan harus mencerminkan hasil pengujian sesuai dengan data, dokumen, dan
informasi yang relevan atas pos-pos yang diperiksa.
Sebelum penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan, berdasarkan pertimbangan
Kepala UP2 atau berdasarkan usulan Tim Pemeriksa Pajak dilakukan pembahasan temuan
sementara hasil pemeriksaan.

Pembahasan temuan sementara sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan bersama


antara Tim Pemeriksa Pajak dengan Kepala UP2 dan tim yang dibentuk oleh Kepala UP2.
Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf c dituangkan dalam risalah rapat yang
menjadi pertimbangan bagi Tim Pemeriksa Pajak untuk menghasilkan temuan yang lebih
objektif dan berkualitas.

F. Ketentuan Lain-Lain

Surat Edaran ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan Pemeriksaan dan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-12/PJ/2016 tentang Penegasan atas Pelaksanaan
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2017
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 11/PJ/2017

TENTANG

RENCANA, STRATEGI, DAN PENGUKURAN KINERJA PEMERIKSAAN TAHUN


2017

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum
Tahun 2017 merupakan bagian dari tahun pelaksanaan Pengampunan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dan
Tahun Rekonsiliasi sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
95/PJ/2015 tentang Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2015-2019.

Pada masa pelaksanaan Pengampunan Pajak, kegiatan pemeriksaan dilakukan untuk


mendorong masyarakat mengikuti Pengampunan Pajak, sedangkan setelah masa
Pengampunan Pajak berakhir, pengujian kepatuhan Wajib Pajak yang dilakukan melalui
kegiatan pemeriksaan diprioritaskan kepada Wajib Pajak yang tidak mengikuti program
Pengampunan Pajak selama masa Pengampunan Pajak berlangsung.

Penyusunan dan penetapan Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan untuk menyiapkan bahan
baku pemeriksaan, manajemen penyelesaian Pemeriksaan SPT Lebih Bayar Restitusi,
optimalisasi Petugas Pemeriksa Pajak, pemeriksaan khusus paska Pengampunan Pajak dan
pemeriksaan tematik secara nasional dan regional adalah beberapa hal yang menjadi pokok
strategi pemeriksaan yang dibutuhkan dalam rangka mengamankan target extra effort
pemeriksaan dan penagihan pada tahun 2017.

Untuk mengakomodir pelaksanaan beberapa hal di atas, Direktur Jenderal Pajak perlu
menetapkan Surat Edaran tentang Rencana, Strategi dan Pengukuran Kinerja Pemeriksaan
Tahun 2017 untuk meningkatkan pemeriksaan yang efektif dan kepatuhan Wajib Pajak yang
berkelanjutan dalam rangka menyukseskan pelaksanaan Pengampunan Pajak dan
pengamanan penerimaan Tahun 2017.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Maksud diterbitkan Surat Edaran ini adalah untuk meningkatkan pemeriksaan yang efektif
melalui suatu rencana, strategi, dan pengukuran kinerja pemeriksaan sehingga dapat
meningkatkan penerimaan dari pemeriksaan dan memberikan efek penggentar (deterrent
effect) dalam rangka mewujudkan kepatuhan Wajib Pajak secara berkelanjutan.

2. Tujuan
Surat Edaran ini diterbitkan sebagai pedoman untuk:

meningkatkan pemeriksaan yang efektif guna mewujudkan kepatuhan Wajib Pajak


secara berkelanjutan;
mengukur kinerja pemeriksaan;
mendukung dan menindaklanjuti pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pengampunan Pajak; dan
memperkuat fungsi pemeriksaan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan
kepercayaan Wajib Pajak terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam Surat Edaran ini meliputi:

Rencana Pemeriksaan;
Strategi Pemeriksaan;
Pengukuran Kinerja Pemeriksaan; dan
Pemantauan, Pengendalian, Evaluasi, dan Tindak Lanjut.

D. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP).
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
(Undang-Undang PPh) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
(Undang-Undang PPN).
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Undang-
Undang Pengampunan Pajak).
4. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2015.
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206.2/PMK.01/2014 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak.
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan.
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2016.
10. Keputusan DirekturJenderal Pajak Nomor KEP-95/PJ/2015 tentang Rencana Strategis
Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2015-2019.
11. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan
Pemeriksaan.

E. Materi
1. Rencana Pemeriksaan
a. Target Pemeriksaan
1) Target Extra Effort
Target extra effort Pemeriksaan dan Penagihan adalah komponen dari target pemeriksaan dan
penagihan yang harus dicapai oleh setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang
dikoordinasikan serta dikendalikan oleh Kantor Wilayah (Kanwil) DJP dan Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan. Realisasi penerimaan extra effort hasil pemeriksaan dan
penagihan adalah jumlah penerimaan pajak yang dapat dicairkan (direalisasikan) yang berasal
dari pembayaran atau pelunasan atas SKPKB/SKPKBT/STP yang terbit pada tahun 2017,
serta pembayaran atau pelunasan atas SKPKB/SKPKBT/STP yang terbit pada tahun 2016
dan tahun-tahun sebelumnya.

Target extra effort hasil pemeriksaan dan penagihan untuk tahun 2017 ditetapkan dengan
Surat Direktur Jenderal Pajak.

2) Target Audit Coverage Ratio (ACR)


Target ACR ditetapkan untuk mengetahui cakupan pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh
tiap-tiap Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2) terhadap Wajib Pajak terdaftar yang wajib Surat
Pemberitahuan (SPT). Cakupan pemeriksaan yang dimaksud adalah pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan (pemeriksaan khusus dan rutin), tidak termasuk pemeriksaan tujuan lain
dan lokasi.

ACR merupakan salah satu Indikator Kinerja Utama (IKU) yang ditetapkan dengan ketentuan
sebagai berikut:

a) ACR adalah besarnya cakupan pemeriksaan yang dihitung berdasarkan hasil pembagian
antara Wajib Pajak yang diperiksa dengan jumlah Wajib Pajak terdaftar yang wajib SPT; dan

b) target ACR dan distribusi target ACR pada setiap Kanwil DJP dan KPP ditetapkan melalui
surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.

3) Rencana Penyelesaian Pemeriksaan Rencana Penyelesaian Pemeriksaan terdiri dari


penyelesaian tunggakan pemeriksaan dan target penyelesaian pemeriksaan per UP2 dengan
ketentuan sebagai berikut:

a) Penyelesaian tunggakan:

terhadap tunggakan dari instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan yang terbit sebelum


tahun 2017 yang belum diselesaikan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Edaran ini
harus diselesaikan paling lambat tanggal 31 Mei 2017; dan penyelesaian tunggakan tersebut
tetap memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan sebagaimana diatur
dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan
Pemeriksaan (SE-06/PJ/2016) dan memperhatikan surat Direktur Peraturan Perpajakan I
Nomor S-02/PJ.02/2017 tentang Penegasan terkait Penerbitan Ketetapan Pajak Hasil
Pemeriksaan yang Terdapat Masa Pajak yang Sudah Daluwarsa.

b) Target Penyelesaian Per Pemeriksa Pajak:

target penyelesaian yang menjadi ukuran kinerja per Pemeriksa Pajak adalah Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) konversi;
standar penyelesaian LHP Konversi Pemeriksa Pajak ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
Lampiran I.1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini;

Laporan Penghentian Pemeriksaan (LPP) Dalam Rangka Pengampunan Pajak dihitung


sebagai kinerja pemeriksaan tim Pemeriksa Pajak dengan perhitungan bobot konversi laporan
sebesar 100% dari bobot konversi LHP sesuai dengan DIKTUM KEDELAPAN Instruksi
Direktur Jenderal Pajak Nomor INS-12/PJ/2016 tentang Kebijakan Penerbitan
Instruksi/Persetujuan/Penugasan dan Pelaksanaan Pemeriksaan Selama Periode
Pengampunan Pajak.

bobot konversi LHP sebagaimana diatur dalam Lampiran I.2 yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran ini.

b. Fokus Pemeriksaan

1) fokus pemeriksaan ditetapkan untuk periode pemeriksaan yang dilakukan pada masa
berlakunya Pengampunan Pajak yaitu sampai dengan 31 Maret 2017 dan periode setelah
berakhirnya Pengampunan Pajak;

2) fokus pemeriksaan terdiri dari Fokus Pemeriksaan Nasional, Fokus Pemeriksaan Kanwil
DJP, dan Fokus Pemeriksaan KPP, dan

3) penetapan fokus pemeriksaan ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I.3 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

c. Rencana Usul Pemeriksaan Bukti Permulaan dari Kegiatan Pemeriksaan

Dalam rangka mendukung kontinuitas pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan yang


berasal dari kegiatan pemeriksaan maka diperlukan penetapan target pengusulan pemeriksaan
bukti permulaan dari kegiatan pemeriksaan, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) setiap KPP mengusulkan minimal satu usulan pemeriksaan bukti permulaan yang berasal
dari kegiatan pemeriksaan; dan
2) pengusulan pemeriksaan bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata
Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan aturan
pelaksanaannya.

2. Strategi Pemeriksaan
Untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas pemeriksaan yang efektif guna mencapai
kepatuhan Wajib Pajak yang berkelanjutan diperlukan adanya strategi yang meliputi:
a. Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan (DSPP)
1) Dalam rangka memastikan pencapaian target pencairan Surat Ketetapan Pajak (SKP) tahun
2017 yang telah ditetapkan, Kepala KPP wajib menyusun DSPP sesuai dengan rencana fokus
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf E angka 1 huruf b sesuai dengan contoh
format dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

2) DSPP sebagaimana dimaksud pada angka 1) dibahas dan ditetapkan secara bersama-sama
oleh Kepala KPP dan Kepala Kanwil DJP serta disampaikan kepada Direktur Pemeriksaan
dan Penagihan.
3) Dalam melakukan pembahasan dan penetapan DSPP, Kepala KPP dan Kepala Kanwil DJP
harus meyakini bahwa terdapat data yang menunjukkan adanya potensi pajak yang belum
dilaporkan dengan benar oleh Wajib Pajak yang diusulkan dalam DSPP.

4) Penerbitan instruksi pemeriksaan khusus atas Wajib Pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada angka 2) dilakukan dengan ketentuan:
a) apabila penerbitan instruksi dilakukan sebelum 1 April 2017 maka penerbitannya
dilakukan sesuai dengan Instruksi Direktur Jenderal Pajak Nomor INS-12/PJ/2016; dan
b) apabila penerbitan instruksi dilakukan setelah 31 Maret 2017 maka penerbitannya
dilakukan sesuai dengan SE-06/PJ/2016.

b. Manajemen Penyelesaian SPT Lebih Bayar Restitusi Manajemen Penyelesaian SPT Lebih
Bayar Restitusi dilakukan dengan cara:

1) Kepala KPP mengefektifkan pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan


Pembayaran Pajak terhadap:
a) Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu (Pasal 17C Undang-Undang KUP) sesuai ketentuan
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan
Dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak;

b) Wajib Pajak dengan Persyaratan Tertentu (Pasal 17D Undang-Undang KUP) sesuai
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2013 tentang
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak yang Memenuhi
Persyaratan Tertentu; dan

c) Pengusaha Kena Pajak (PKP) Berisiko Rendah (Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN)
sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010 tentang
Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan Pajak.

2) Untuk mengefektifkan pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran


Pajak, Kepala KPP memastikan bahwa Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada angka 1) diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

3) Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana


dimaksud pada angka 1) dan 2) harus dilaksanakan sesuai dengan:
a) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-62/PJ/2012 tanggal 28 Desember 2012
Tentang Tata Cara Penetapan Dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria
Tertentu Dan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak untuk Wajib Pajak
Kriteria tertentu (Pasal 17C Undang-Undang KUP);

b) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-12/PJ/2014 tanggal 13 Maret 2014 tentang
Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Bagi Wajib Pajak Yang
Memenuhi Persyaratan Tertentu untuk Wajib Pajak Persyaratan Tertentu (Pasal 17D Undang-
Undang KUP); dan

c) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-144/PJ/2010 tanggal 22 Desember 2010
Tentang Penegasan Tata Cara Penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah Dan Tata
Cara Pengembalian Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak Berisiko
Rendah untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) Berisiko Rendah (Pasal 9 ayat (4c) Undang-
Undang PPN).

4) Dalam hal pemeriksaan dilakukan terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar (LB) Restitusi
yang terdapat kompensasi dari masa-masa pajak sebelumnya dan atas masa pajak yang
menyatakan LB kompensasi tersebut juga sedang dilakukan pemeriksaan, maka penyelesaian
pemeriksaan LB kompensasi tersebut diselesaikan sebelum penyelesaian pemeriksaan LB
restitusi.

5) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap SPT Masa PPN, Pemeriksa Pajak harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) melaksanakan teknik-teknik pemeriksaan yang dipandang perlu sesuai rencana
pemeriksaan (audit plan) dan program pemeriksaan (audit program) untuk meyakini
kebenaran penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, perolehan
Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan kredit pajak yang dilaporkan
PKP dalam SPT Masa PPN;

b) melakukan pengujian untuk membuktikan kebenaran formal dan material Faktur Pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (9) Undang- Undang PPN dan penjelasannya;

c) dalam hal Faktur Pajak diterbitkan dengan menggunakan aplikasi e-Faktur, pemeriksa
tidak perlu melakukan pengujian persyaratan formal Faktur Pajak karena persyaratan formal
tersebut telah divalidasi melalui aplikasi e-Faktur, namun demikian perlu dilakukan
pengujian saat pembuatan Faktur Pajak dibandingkan dengan saat terjadinya penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Sedangkan terhadap Faktur Pajak yang tidak
diterbitkan melalui aplikasi e-Faktur, pengujian persyaratan formal Faktur Pajak dilakukan
sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang PPN dan aturan pelaksanaannya;

d) berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang PPN, Faktur Pajak atau
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi
persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Dengan demikian,
walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar PPN-nya, apabila
keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya atau
sesungguhnya, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material;

e) untuk menguji persyaratan material Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d)
Pemeriksa Pajak minimal menguji:

1. kebenaran jenis dan jumlah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
diserahkan;
2. kesesuaian jenis Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan kegiatan usaha
Wajib Pajak;
3. kebenaran harga jual atau nilai penggantian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak; dan
4. kebenaran PKP penjual dan pembeli,
5. sebagaimana tercantum dalam Faktur Pajak dan tidak hanya mendasarkan pada
jawaban konfirmasi;

f) Pemeriksa Pajak melakukan pengujian atas Pajak Masukan untuk memastikan bahwa Pajak
Masukan yang dikreditkan adalah sesuai dengan persyaratan formal dan material Faktur
Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak serta
memastikan bahwa Pajak Masukan yang dikreditkan bukan merupakan Pajak Masukan yang
tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN
dan penjelasannya;

g) terhadap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dan/atau impor Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas, Pemeriksa Pajak harus melakukan pengujian
mengenai persyaratan formal dan material Faktur Pajak serta pemenuhan syarat subjektif dan
objektif dari pemanfaatan fasilitas PPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

h) terhadap Faktur Pajak yang tidak memenuhi syarat formal dan/atau material ditindaklanjuti
dengan:

i. bagi PKP penjual,


(1) PPN yang telah dipungut dan disetor tidak dapat dilakukan koreksi negatif;
(2) dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP;
dan/atau
(3) apabila terdapat indikasi PKP penjual menerbitkan Faktur Pajak tidak berdasarkan
transaksi sebenarnya dan terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan maka
ditindaklanjuti dengan usulan pemeriksaan bukti permulaan; dan

ii. bagi PKP pembeli, Faktur Pajak tersebut tidak dapat dikreditkan sesuai Pasal 9 ayat (8)
Undang-Undang PPN.

i) melakukan pengujian eksistensi kegiatan ekspor Barang Kena Pajak dengan cara Pemeriksa
Pajak melakukan pengujian kebenaran kontainer maupun sarana pengangkut melalui
Container tracking maupun vessel tracking baik menggunakan situs resmi perusahaan
pengangkut atau pengelola terminal petikemas maupun menggunakan database komersial.

6) prosedur pemeriksaan terhadap hal sebagaimana dimaksud pada angka 5), dilakukan sesuai
dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-06/PJ/2006 tentang Kebijakan
Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Lebih Bayar; dan

7) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan dan/atau Kanwil DJP melakukan Reviu


(Penelaahan) khusus terhadap pemeriksaan LB (PPN dan/atau PPh Badan) dengan nilai
restitusi yang dipandang signifikan sesuai Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-83/PJ/2009
tentang Reviu (Penelaahan) dan Penelaahan Sejawat (Peer Review).

c. Pemeriksaan Serentak dan Tematik


Dalam rangka menciptakan efek penggentar (deterrent effect) bagi industri tertentu
(menciptakan kepatuhan sektoral), dilakukan Pemeriksaan dari hulu ke hilir secara serentak
dan tematik untuk industri-industri tertentu yang dominan. Pemeriksaan serentak dan tematik
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Pemeriksaan Serentak dan Tematik yang bersifat Nasional


a) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, setelah berkoordinasi dengan Direktorat Potensi,
Kepatuhan dan Penerimaan, Direktorat Intelijen, Direktorat Penegakan Hukum serta
Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian, menetapkan fokus dan tema industri yang akan
dilakukan pemeriksaan secara serentak dan bersifat Nasional;

b) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menentukan daftar Wajib Pajak yang akan diperiksa
secara serentak dan bersifat Nasional;

c) penerbitan instruksi pemeriksaan dalam rangka pemeriksaan secara serentak yang bersifat
Nasional dilakukan sesuai dengan SE-06/PJ/2016; dan

d) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan melakukan pengawasan dan reviu terhadap


pelaksanaan pemeriksaan secara serentak yang bersifat Nasional sehingga terdapat
keseragaman perlakuan dalam pelaksanaan pemeriksaan.

2) Pemeriksaan Serentak dan Tematik yang bersifat Regional


a) Kepala Kanwil DJP dan Kepala KPP menetapkan fokus dan tema industri yang akan
dilakukan pemeriksaan secara serentak di setiap Kanwil DJP;

b) Kepala Kanwil DJP dan Kepala KPP menentukan daftar Wajib Pajak yang akan diperiksa
secara serentak oleh UP2 Kanwil dan seluruh KPP;

c) penerbitan instruksi pemeriksaan dalam rangka pemeriksaan secara serentak dan tematik
dilakukan sesuai dengan SE-06/PJ/2016; dan

d) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan dan/atau Kanwil DJP melakukan pengawasan dan
reviu terhadap pelaksanaan pemeriksaan secara serentak sehingga terdapat keseragaman
perlakuan dalam pelaksanaan pemeriksaan.

d. Strategi pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak dan Wajib
Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak.
1) Setelah berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak, maka perlu dibedakan antara
kebijakan dan strategi pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah mengikuti Pengampunan
Pajak maupun Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak.

2) Prioritas pemeriksaan Wajib Pajak pasca periode Pengampunan Pajak dilakukan terlebih
dahulu terhadap Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak.

3) Kebijakan dan strategi pemeriksaan untuk Wajib Pajak yang tidak mengikuti
Pengampunan Pajak adalah sebagai berikut:
a) Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak dapat dilakukan pemeriksaan pajak
untuk masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang belum daluwarsa penetapan;

b) dalam hal Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak sedang dilakukan
pemeriksaan maka pemeriksa pajak sekaligus melakukan penelusuran harta (asset tracing)
untuk menemukan harta Wajib Pajak yang belum dilaporkan pada SPT Tahunan PPh dalam
rangka pelaksanaan Pasal 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak;

c) penelusuran harta sebagaimana dimaksud pada huruf b) dapat menggunakan data dan/atau
informasi yang berasal dari Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak maupun berdasarkan
kondisi lapangan, yang menunjukkan Wajib Pajak mempunyai harta yang belum dilaporkan
dalam SPT Tahunan PPh;

d) apabila pada saat pemeriksaan diperoleh data dan/atau informasi berupa harta yang belum
dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh maka Pemeriksa Pajak harus memproduksi data tentang
harta yang belum dilaporkan tersebut dan dikirimkan kepada Direktorat Potensi, Kepatuhan,
dan Penerimaan; dan

e) apabila KPP memperoleh data dan/atau informasi berupa harta yang belum dilaporkan
dalam SPT Tahunan PPh baik yang berasal Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak
maupun berdasarkan kondisi lapangan maka data dan/atau informasi berupa harta tersebut
setelah dilakukan penelitian, digunakan sebagai dasar untuk mengusulkan pemeriksaan
khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta Bersih sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pengampunan Pajak dan aturan pelaksanaannya.

4) Kebijakan dan strategi pemeriksaan untuk Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan
Pajak adalah sebagai berikut:
a) Wajib Pajak yang telah mengikuti Pengampunan Pajak tidak dapat dilakukan pemeriksaan
untuk kewajiban perpajakan PPh, PPN dan PPnBM untuk masa pajak, bagian tahun pajak,
dan tahun pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pengampunan Pajak.

b) Namun demikian, Kepala KPP dapat melakukan penelusuran harta (asset tracing) yang
belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan untuk harta yang diperoleh pada
tahun 2015 dan sebelumnya serta dapat melakukan pemeriksaan atas kewajiban perpajakan
untuk jenis pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan/atau Bea Meterai (BM) untuk masa
pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang belum daluwarsa penetapan.

c) Termasuk harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan
sebagaimana dimaksud pada huruf b) adalah:

i. Harta Bersih tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang
Pengampunan Pajak.

ii. Harta Bersih dalam SPT PPh Terakhir yang disampaikan setelah berlakunya Undang-
Undang Pengampunan Pajak oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh Pengampunan Pajak,
namun tidak mencerminkan:

(1) Harta Bersih yang telah dilaporkan dalam SPT PPh yang disampaikan sebelum SPT PPh
Terakhir dan Undang- Undang Pengampunan Pajak berlaku;
(2) Harta Bersih yang bersumber dari penghasilan yang diperoleh pada Tahun Pajak Terakhir;
dan
(3) Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari pemilik atau pemegang saham pada
Tahun Pajak Terakhir.
iii. Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat penyesuaian nilai Harta
berdasarkan Surat Pembetulan Atas Surat Keterangan.

d) Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi harta sebagaimana dimaksud pada huruf b)
atau huruf c) maka KPP setelah melakukan penelitian harus menindaklanjuti data tersebut
dengan melakukan pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta Bersih
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak dan aturan
pelaksanaannya.

e) Terhadap Wajib Pajak yang telah mengikuti Pengampunan Pajak berlaku kebijakan
pemeriksaan sebagai berikut:

i. Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan untuk masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun
pajak setelah akhir tahun pajak terakhir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pengampunan Pajak.
ii. Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka i, dilakukan sesuai dengan
tata cara pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang di bidang perpajakan dan
aturan pelaksanaannya.
iii. Dalam pelaksanaan pemeriksaan, selain memperhatikan ketentuan pada butir ii, pemeriksa
pajak juga harus memperhatikan antara lain:

(1) Pasal 14 Undang-Undang Pengampunan Pajak jo Pasal 45 Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 118/PMK.03/2016 terkait pengaturan mengenai perlakuan penyusutan atau amortisasi
atas harta tambahan dan perlakuan pembukuan atas saldo laba ditahan;

(2) Pasal 15 Undang-Undang Pengampunan Pajak jo Pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 118/PMK.03/2016 terkait pengaturan mengenai perlakuan pembebasan PPh final atas
pengalihan harta tambahan sampai dengan tanggal 31 Desember 2017;

(3) Pasal 16 Undang-Undang Pengampunan Pajak jo Pasal 35 Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 118/PMK.03/2016 terkait pengaturan mengenai:

(a) perlakuan kompensasi rugi fiskal dalam SPT untuk bagian tahun pajak atau tahun pajak
sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir ke bagian tahun pajak atau tahun pajak
berikutnya;

(b) perlakuan kompensasi kelebihan pembayaran pajak dalam SPT Masa PPN untuk masa
pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir ke masa pajak berikutnya; dan/atau

(c) perlakuan atas pembetulan SPT untuk masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak
sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir yang dilakukan setelah Undang-Undang
Pengampunan Pajak berlaku.

(4) Pasal 17 Undang-Undang Pengampunan Pajak jo Pasal 27 Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 118/PMK.03/2016 terkait pengaturan mengenai kedudukan surat ketetapan pajak,
surat keputusan, dan putusan yang terbit sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat
Pernyataan maupun yang terbit setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan;

(5) Kesesuaian antara nilai harta bersih yang diungkapkan dengan tambahan atas saldo laba
ditahan dalam neraca bagi Wajib Pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan;
(6) Kesesuaian antara penghasilan yang dilaporkan dalam SPT setelah SPT tahun terakhir
dengan tambahan harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan yang berpotensi menjadi
sumber penghasilan atau menjadi sumber biaya.

5) Petunjuk pelaksanaan pemeriksaan khusus atas Harta Bersih yang diperlakukan atau
dianggap sebagai penghasilan adalah sebagai berikut:

a) pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta Bersih sebagaimana
dimaksud pada angka 3) huruf e) dan angka 4) huruf d) diperlakukan sebagai pemeriksaan
khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret dengan tata cara sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Perubahan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan.

b) Ruang lingkup pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf a) meliputi satu
jenis pajak.

c) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf a) dilakukan oleh Fungsional


Pemeriksa Pajak, Petugas Pemeriksa Pajak, atau gabungan antara Fungsional Pemeriksa
Pajak dengan Petugas Pemeriksa Pajak sesuai dengan pertimbangan Kepala KPP.

d) Prosedur usul, penerbitan persetujuan pemeriksaan, dan penerbitan Surat Perintah


Pemeriksaan:

i. Terhadap data dan/atau informasi berupa harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan
PPh atau harta yang belum/kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan yang diperoleh KPP
diusulkan Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta Bersih dengan
menggunakan Lembar Pengawasan Wajib Pajak Dalam Rangka Pengampunan Pajak.

ii. Berdasarkan Lembar Pengawasan Wajib Pajak Dalam Rangka Pengampunan Pajak
sebagaimana dimaksud pada butir i, Kepala Seksi Pemeriksaan membuat konsep Nota Dinas
Persetujuan Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta Bersih untuk
ditandatangani oleh Kepala KPP sebagai dasar penerbitan Nomor Pengawasan Pemeriksaan
(NP2).

iii. Kode Pemeriksaan untuk Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa data
Harta Bersih adalah B711 atau B721 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan B712 atau B722
untuk Wajib Pajak Badan, dengan penjelasan:

(1) Digit pertama menunjukkan jenis pajak/ruang lingkup pemeriksaan yaitu B (Pajak PPh
Final terkait Harta Bersih sesuai dengan Undang-Undang Pengampunan Pajak).

(2) Digit kedua menunjukkan kriteria dan jenis pemeriksaannya yaitu 7 (Pemeriksaan Khusus
berdasarkan Keterangan Lain Berupa Harta Bersih oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak,
Petugas Pemeriksa Pajak, atau Gabungan antara Pejabat Fungsional Pajak dengan Petugas
Pemeriksa Pajak). Petugas..

(3) Digit ketiga menunjukkan alasan pemeriksaan, yaitu:


1 > Ditemukan Harta Bersih terkait Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan
Pajak; atau
2 > Ditemukan Harta Bersih terkait Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak.
(4) Digit keempat menunjukkan jenis Wajib Pajak, yaitu 1 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
atau 2 untuk Wajib Pajak Badan.

iv. Kepala KPP menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah NP2 terbit dan pemeriksa pajak tidak perlu membuat rencana audit (audit plan).

v. Saat SP2 diterbitkan merupakan saat Direktorat Jenderal Pajak menemukan harta yang
belum/kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan atau belum dilaporkan dalam SPT
Tahunan PPh sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Pengampunan Pajak dan
petunjuk pelaksanaannya.

vi. Kepala KPP melakukan manajemen penerbitan SP2 agar tidak terdapat penerbitan SP2
lebih dari satu kali untuk masa pajak dan Wajib Pajak yang sama. Data dan/atau informasi
Harta Bersih yang diperoleh lebih dari satu kali di masa pajak yang sama, dikumpulkan untuk
diusulkan pemeriksaan khusus pada masa pajak berikutnya.

e) Prosedur pengujian dalam pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data
Harta Bersih,

i. Pada saat pelaksanaan pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta
Bersih, pemeriksa pajak melakukan pengujian untuk membuktikan hal-hal sebagai berikut:

(1) kebenaran bahwa Harta Bersih tersebut belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh
sebelum SP2 terbit atau tidak diungkap dalam Surat Pernyataan yang disampaikan Wajib
Pajak;

(2) kebenaran bahwa harta bersih tersebut adalah harta Wajib Pajak atau dalam hal Wajib
Pajak Orang Pribadi termasuk harta anggota keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang PPh, yang masih ada pada akhir Tahun Pajak Terakhir
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak. Termasuk juga dalam
pengertian harta Wajib Pajak adalah harta yang bukti kepemilikan formalnya bukan atas
nama Wajib Pajak namun Pemeriksa Pajak dapat membuktikan bahwa harta tersebut
sebenarnya merupakan Harta Wajib Pajak;

(3) kebenaran bahwa Wajib Pajak tidak termasuk dalam kriteria yang dimaksud dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016; dan

(4) kebenaran tahun perolehan harta sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 Undang-
Undang Pengampunan Pajak.

ii. Dalam rangka mengumpulkan bukti dan melakukan pengujian, Pemeriksa Pajak dapat:

(1) melakukan peminjaman buku/catatan, dokumen dan/atau meminta keterangan


sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang KUP terkait dengan harta bersih;

(2) meminta keterangan tertulis kepada pihak ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 35
Undang-Undang KUP terkait dengan harta bersih;

(3) melakukan pengujian keberadaan harta; dan


(4) meminta bantuan Tenaga Ahli untuk menentukan nilai harta sebagai dasar perhitungan
pajak terutang.

iii. Jangka waktu pengujian pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data
Harta Bersih paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dan tidak dapat diperpanjang.

iv. Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas Pemeriksaan Khusus
berdasarkan keterangan lain berupa data Harta Bersih paling lama 5 (lima) hari kerja dan
tidak ada pembahasan dengan Tim Quality Assurance.

v. Tindak lanjut hasil pengujian yang telah dilakukan dalam pelaksanaan pemeriksaan adalah
sebagai berikut:

(1) dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan hal-hal sebagaimana dimaksud pada angka i
terbukti, Pemeriksa Pajak menyelesaikan pemeriksaan dengan menerbitkan SKPKB sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;

(2) dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan hal-hal sebagaimana dimaksud pada angka i
tidak terbukti, pemeriksaan dihentikan dengan membuat LHP Sumir;

(3) dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terbukti bahwa harta tersebut adalah harta Wajib
Pajak lain, selain membuat LHP Sumir, Pemeriksa Pajak memproduksi data tentang harta
tersebut untuk ditindaklanjuti; dan

(4) dalam hal hasil pengujian ditindaklanjuti dengan LHP Sumir, Kepala KPP menyampaikan
Surat Pemberitahuan Penghentian Pemeriksaan dengan LHP Sumir kepada Wajib Pajak.

vi. Format LHP untuk pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta
Bersih adalah sesuai dengan contoh pada Lampiran III.1 atau Lampiran III.2 yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

vii. Dalam melaksanakan pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta
Bersih, Pemeriksa Pajak harus memperhatikan ketentuan mengenai tatacara perhitungan,
tarif, penentuan dasar perhitungan pajak, dan saat terutang sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Pengampunan Pajak, Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan
pelaksanaannya.

viii. Prosedur pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa harta bersih
diberlakukan sama dengan prosedur pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa
data konkret sepanjang tidak diatur khusus dalam surat edaran ini.

e. Revitalisasi kegiatan pemeriksaan pada KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar,
KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya di seluruh Indonesia.

1) Sebagai KPP penentu penerimaan secara nasional, kegiatan pemeriksaan pada KPP
tersebut perlu direvitalisasi dalam rangka optimalisasi penyelesaian pemeriksaan restitusi
PPN, penyelesaian pemeriksaan rutin seluruh jenis pajak, pemeriksaan khusus berdasarkan
analisis risiko, dan pemeriksaan oleh Petugas Pemeriksa Pajak.
2) Dalam rangka optimalisasi kinerja Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak untuk melakukan
penggalian potensi pada KPP penentu penerimaan tersebut, Kepala KPP perlu melakukan
reformulasi tugas Fungsional Pemeriksa Pajak menjadi sebagai berikut:

a) pembentukan Satuan Tugas (Satgas) pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar dengan
penekanan output pada refund discrepancy, dan

b) pembentukan Satuan Tugas (Satgas) pemeriksaan dalam rangka penggalian potensi


melalui pemeriksaan rutin seluruh jenis pajak dan/atau pemeriksaan khusus berdasarkan
analisis risiko.

3) Satgas Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar

a) Kepala KPP harus membentuk Satgas Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar yang
tugas utamanya adalah melakukan pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar baik restitusi
maupun kompensasi melalui Keputusan Kepala KPP.

b) Keputusan Kepala KPP tersebut harus disampaikan kepada Direktur Pemeriksaan dan
Penagihan dan ditembuskan kepada Kepala Kanwil atasannya paling lambat 31 Mei 2017.

c) Jumlah Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak yang ditunjuk sebagai anggota Satgas
Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar ditetapkan oleh Kepala KPP dengan
mempertimbangkan beban kerja riil pemeriksaan restitusi PPN.

d) Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar yang telah diberikan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C, Pasal
17D Undang-Undang KUP dan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN dilakukan oleh satgas
pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar.

e) Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar harus dilakukan dengan memperhatikan
prosedur dan melakukan pengujian pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar sebagaimana
diuraikan pada angka 2 huruf b angka 5) dan angka 2 huruf b angka 6) di atas.

f) Kinerja Satgas Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar diukur dari refund discrepancy
yang diperoleh pada saat pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar Resititusi dan ukuran
kinerja lain yang telah ditetapkan dalam Surat Edaran ini.

4) Satgas Pemeriksaan dalam rangka penggalian potensi.


a) Kepala KPP harus membentuk Satgas Pemeriksaan dalam rangka penggalian potensi yang
tugas utamanya adalah melakukan pemeriksaan untuk penggalian potensi melalui
pemeriksaan rutin seluruh jenis pajak dan/atau pemeriksaan khusus seluruh jenis pajak.

b) Keputusan Kepala KPP tersebut harus disampaikan kepada Direktur Pemeriksaan dan
Penagihan dan ditembuskan kepada Kepala Kanwil atasannya paling lambat 31 Mei 2017.

c) Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak yang tidak termasuk dalam Satgas Pemeriksaan SPT
Masa PPN Lebih Bayar harus menjadi anggota Satgas Pemeriksaan dalam rangka penggalian
potensi.
d) Pemeriksaan rutin SPT Tahunan PPh Lebih Bayar dan SPT Tahunan PPh Rugi harus
dilakukan dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak.

e) Pemeriksaan khusus yang dilakukan oleh Satgas Pemeriksaan dalam rangka penggalian
potensi harus dilakukan dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak.

f) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf e) diprioritaskan untuk Wajib


Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak.

g) Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak dapat dilakukan pemeriksaan khusus
untuk tahun pajak setelah tahun pajak terakhir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pengampunan Pajak dalam hal terdapat data konkret, hasil analisis dan pengembangan
Informasi Data Laporan dan Pengaduan (IDLP), atau terdapat hasil analisis risiko yang
menunjukkan adanya potensi pajak yang tinggi.

h) Kinerja Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak yang melakukan pemeriksaan dalam rangka
penggalian potensi diukur dari realisasi pencairan surat ketetapan pajak dan ukuran kinerja
lain yang telah ditetapkan dalam Surat Edaran ini.

5) Dalam rangka optimalisasi peran Petugas Pemeriksa Pajak, dilakukan reformulasi kegiatan
pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak sebagai berikut:
a) Kepala KPP harus mengangkat Kepala Seksi Pemeriksaan dan pelaksananya serta Kepala
Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, III, dan IV dan Account Representative-nya sebagai
Petugas Pemeriksa Pajak dengan menggunakan Surat Ketetapan Kepala Kantor sesuai dengan
contoh format pada Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat
Edaran ini.

b) Pemeriksaan khusus data konkret harus dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi
Pengawasan dan Konsultasi II, III, dan IV sesuai dengan Wajib Pajak yang
diadministrasikannya.

c) Pemeriksaan khusus selain sebagaimana dimaksud pada huruf b) yang memenuhi kriteria:

1. ruang lingkup pemeriksaan untuk satu jenis pajak atau beberapa jenis pajak selain
jenis pajak PPh Wajib Pajak Badan atau PPh Wajib Pajak Orang Pribadi; dan
2. merupakan hasil analisis risiko manual bottom up,
3. harus dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi Pengawasan dan Konsultasi
II, III, dan IV sesuai dengan Wajib Pajak yang diadministrasikannya.

d) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud huruf b) dan huruf c) merupakan kinerja


Petugas Pemeriksa Pajak yang melakukan pemeriksaan.

e) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak yang berasal dari Seksi
Pengawasan dan Konsultasi II, III dan IV sebagaimana dimaksud huruf b) dan huruf c) maka
susunan Tim Pemeriksa ditetapkan sebagai berikut:

1. yang bertindak sebagai Supervisor adalah Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
II, III atau IV; dan
2. yang bertindak sebagai Ketua Tim merangkap Anggota Tim adalah Account
Representative yang menangani Wajib Pajak yang diperiksa.
f) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf c) adalah pemeriksaan dengan
kode pemeriksaan sesuai dengan SE-06/PJ/2016 yang diawali dengan 291, 391, 791, 891,
991, 091 dan A91.

g) Pemeriksaan Tujuan Lain dalam rangka penerbitan NPWP dan/atau pengukuhan PKP
secara jabatan atau dalam rangka penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan
PKP, baik atas permohonan Wajib Pajak maupun secara jabatan, harus dilakukan oleh
Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi Pemeriksaan.

6) Data dan/atau informasi yang menunjukkan ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban


perpajakan jenis PPh Wajib Pajak Badan atau PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang
ditindaklanjuti dengan kegiatan pemeriksaan harus dilakukan dengan ruang lingkup
pemeriksaan seluruh jenis pajak dan dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak yang
menjadi anggota Satgas Pemeriksaan SPT dalam rangka penggalian potensi.

7) Dalam hal terdapat pemeriksaan dengan ruang lingkup pemeriksaan selain sebagaimana
telah diatur dalam angka 3), 4), 5), dan 6) pemeriksaannya harus dilakukan oleh Fungsional
Pemeriksa Pajak yang menjadi anggota Satgas Pemeriksaan SPT dalam rangka penggalian
potensi atau gabungan antara Fungsional Pemeriksa Pajak tersebut dengan Petugas Pemeriksa
Pajak dari Seksi Pemeriksaan.

8) Dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas pemeriksaan, Kepala UP2 menunjuk
tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari dua orang yaitu satu orang Supervisor dan satu orang
Ketua Tim merangkap Anggota Tim kecuali atas pertimbangan untuk pemeriksaan Wajib
Pajak tertentu, Kepala UP2 dapat menambah anggota tim.

9) Dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas pemeriksaan, pelaksanaan


pemeriksaan pada KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, KPP di lingkungan
Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya di seluruh Indonesia harus:

1. menggunakan Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK) atau e-Audit,


2. menyampaikan permintaan pembukaan rekening bank Wajib Pajak secara elektronik
dengan menggunakan aplikasi buka rahasia bank (AKASIA) berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan
Keterangan atau Bukti dari Pihak-Pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan;
dan
3. melaksanakan pengujian di tempat Wajib Pajak sesuai dengan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak nomor SE-10/PJ/2017 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Lapangan
Dalam Rangka Menguji Kepatuhan.

f. Pemeriksaan pada KPP Pratama di seluruh Indonesia


Dengan ciri khas wilayah yang luas dan didominasi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, maka
manajemen kegiatan pemeriksaan di KPP Pratama perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1) Manajemen pemeriksaan rutin.
a) Pemeriksaan rutin atas SPT Lebih Bayar Restitusi dilakukan sesuai dengan Manajemen
Penyelesaian SPT Lebih Bayar Restitusi sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b.

b) Pemeriksaan rutin SPT PPh Lebih Bayar dan SPT PPh Rugi harus dilakukan dengan ruang
lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak.
c) Pemeriksaan rutin atas SPT Masa PPN Lebih Bayar dilakukan oleh gabungan antara
Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa Pajak di Seksi Pemeriksaan.

d) Pemeriksaan Rutin selain SPT Masa PPN Lebih Bayar yang ruang lingkup
pemeriksaannya meliputi seluruh jenis pajak dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak.

e) Dalam hal terdapat pemeriksaan rutin selain huruf c) dan huruf d), pemeriksaannya harus
dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak atau gabungan antara Fungsional Pemeriksa
Pajak dengan Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi Pemeriksaan.

f) Pemeriksaan rutin selain SPT Lebih Bayar Restitusi harus dikelola dengan memperhatikan
skala prioritas dan beban kerja sehingga di setiap KPP harus tetap ada alokasi Pejabat
Fungsional Pemeriksa Pajak untuk Pemeriksaan Khusus berdasarkan analisis risiko.

2) Manajemen pemeriksaan khusus.


Pemeriksaan khusus pada KPP Pratama dilakukan dengan strategi sebagai berikut:
a) Pemeriksaan khusus diprioritaskan terhadap Wajib Pajak yang tidak mengikuti
Pengampunan Pajak.

b) Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak, dapat dilakukan pemeriksaan khusus
untuk tahun pajak setelah tahun pajak terakhir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pengampunan Pajak dalam hal terdapat data konkret, hasil analisis dan pengembangan
Informasi Data Laporan dan Pengaduan (IDLP), atau terdapat hasil analisis risiko yang
menunjukkan adanya potensi pajak yang tinggi.

c) Wajib Pajak yang diprioritaskan untuk dilakukan pemeriksaan khusus adalah Wajib Pajak
sebagaimana terdapat dalam DSPP yang telah ditetapkan oleh Kepala KPP dan Kepala
Kanwil DJP atasannya dengan memperhatikan besaran potensi pajaknya.

d) Pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko diprioritaskan dengan ruang lingkup


seluruh jenis pajak.

3) Optimalisasi peran Petugas Pemeriksa Pajak dengan melakukan reformulasi kegiatan


pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak sebagai berikut:
a) Kepala KPP harus mengangkat Kepala Seksi Pemeriksaan beserta pelaksananya, Kepala
Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, III dan IV beserta Account Representative-nya, dan
Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan beserta Account Representative dan/atau
pelaksananya sebagai Petugas Pemeriksa Pajak dengan menggunakan Surat Ketetapan
Kepala Kantor sesuai dengan contoh format pada Lampiran IV yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

b) Penunjukkan Petugas Pemeriksa Pajak selain dimaksud pada huruf a) dilakukan sesuai
dengan pertimbangan Kepala KPP.

c) Pemeriksaan khusus data konkret harus dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi
Pengawasan dan Konsultasi II, III dan IV atau Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi
Ekstensifikasi dan Penyuluhan, sesuai dengan Wajib Pajak yang diadministrasikannya.

d) Pemeriksaan khusus selain sebagaimana dimaksud pada huruf c) yang memenuhi kriteria:
1. ruang lingkup pemeriksaan untuk satu jenis pajak atau beberapa jenis pajak selain
jenis pajak PPh Wajib Pajak Badan atau PPh Wajib Pajak Orang Pribadi; dan
2. merupakan hasil analisis risiko manual bottom up,
3. harus dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi Pengawasan dan Konsultasi
II, III, dan IV atau Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan,
sesuai dengan Wajib Pajak yang diadministrasikannya.

e) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud huruf c) dan huruf d) merupakan kinerja


Petugas Pemeriksa Pajak yang melakukan pemeriksaan.

f) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak yang berasal dari Seksi
Pengawasan dan Konsultasi II, III dan IV atau Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan
sebagaimana dimaksud huruf c) dan huruf d) maka susunan Tim Pemeriksa ditetapkan
sebagai berikut:

1. yang bertindak sebagai Supervisor adalah Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
II,
2. III atau IV atau Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan; dan
3. yang bertindak sebagai Ketua Tim merangkap Anggota Tim adalah Account
Representative atau pelaksana yang menangani Wajib Pajak yang diperiksa.

g) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf d) adalah pemeriksaan dengan


kode pemeriksaan sesuai dengan SE-06/PJ/2016 yang diawali dengan 291, 391, 791, 891,
991, 091 dan A91.

h) Pemeriksaan Tujuan Lain harus dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak selain dari Seksi
Pengawasan dan Konsultasi.

4) Data dan/atau informasi yang menunjukkan ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban


perpajakan jenis PPh Wajib Pajak Badan atau PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang
ditindaklanjuti dengan kegiatan pemeriksaan harus dilakukan dengan ruang lingkup
pemeriksaan seluruh jenis pajak dan dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak.

5) Dalam hal terdapat pemeriksaan dengan ruang lingkup pemeriksaan selain sebagaimana
telah diatur dalam angka 1), 3), dan 4) pemeriksaannya harus dilakukan oleh Fungsional
Pemeriksa Pajak atau gabungan antara Fungsional Pemeriksa Pajak tersebut dengan Petugas
Pemeriksa Pajak dari Seksi Pemeriksaan.

6) Dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas pemeriksaan, Kepala UP2 menunjuk
tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari dua orang yaitu satu orang Supervisor dan satu orang
Ketua Tim merangkap Anggota Tim kecuali atas pertimbangan untuk pemeriksaan Wajib
Pajak tertentu, Kepala UP2 dapat menambah anggota tim.

g. Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) di Bidang Pemeriksaan.


Untuk meningkatkan kualitas SDM Pemeriksaan diperlukan strategi pengelolaan SDM
Pemeriksaan melalui:

1) alokasi Fungsional Pemeriksa Pajak berdasarkan Analisis Beban Kerja;


2) desentralisasi peningkatan kompetensi pemeriksa (secara terarah, tepat sasaran, sesuai
kebutuhan, dan terdokumentasi);
3) sinkronisasi peran dan jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak;
4) optimalisasi Petugas Pemeriksa Pajak;
5) optimalisasi Fungsional Penilai dalam kegiatan pemeriksaan;
6) peningkatan kompetensi manajemen dan administrasi pemeriksaan;
7) pemberian Penghargaan terhadap Pemeriksa yang berkinerja baik, sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

h. Revitalisasi Metode dan Teknik Pemeriksaan


Penggunaan metode dan teknik pemeriksaan mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak nomor SE-65/PJ/2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan.
Penggunaan metode dan teknik pemeriksaan tersebut disesuaikan dengan kegiatan
pemeriksaan yang dilakukan, misalnya pemeriksaan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi atau
Badan yang termasuk kategori dikenakan PPh Final berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh
Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, metode dan teknik pemeriksaan yang
digunakan terfokus pada pengujian peredaran usaha. Revitalisasi Metode dan Teknik
Pemeriksaan dilakukan melalui:

1) optimalisasi pemanfaatan Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK);

2) pelaksanaan teknik pemeriksaan dengan penelusuran harta (asset tracing) sebagai tindak
lanjut pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak dilakukan melalui koordinasi
dengan Seksi Intelijen di Kanwil DJP masing-masing dan/atau Direktorat Intelijen
Perpajakan; dan

3) optimalisasi pemanfaatan pembukaan data nasabah penyimpan menggunakan Aplikasi


Buka Rahasia (AKASIA) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
235/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti dari Pihak-Pihak
yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan.

i. Optimalisasi perangkat pendukung pemeriksaan


Optimalisasi perangkat pendukung pemeriksaan dapat dilakukan dengan memanfaatkan:
1) aplikasi pendukung pemeriksaan, misalnya Case Management pada Sistem Informasi
Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) dan Aplikasi Laporan Pemeriksaan Pajak (ALPP);

2) perangkat lunak pemeriksaan, misalnya aplikasi add in e-audit utilities pada Microsoft
Excel, Audit Command Language (ACL), dan SESAM ESCORT;

3) perangkat lunak penyedia data untuk keperluan pemeriksaan, misalnya OSIRIS/ORIANA,


Orbis, dan B2B;

4) modul jenis usaha atau industri tertentu yang dapat diakses pada Aplikasi Pendukung
Desentralisasi Pelatihan Pemeriksa (ANTARIKSA).

j. Optimalisasi Pemanfaatan Data


Optimalisasi pemanfaatan data dalam Pemeriksaan dilakukan melalui:
1) pemanfaatan data internal dalam proses pemeriksaan berupa data yang terdapat dalam
SPT, Surat Setoran Pajak (SSP), Faktur Pajak, Bukti Pemotongan/Pemungutan (Pot/Put),
LHP sebelumnya, dan lain-lain;
2) pemanfatan data dan informasi eksternal untuk penguatan basis data dalam mendukung
kegiatan pemeriksaan diantaranya data Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak
Lain (ILAP), data Devisa Hasil Ekspor (DHE), data Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB),
dan lain-lain;

3) produksi data oleh Pemeriksa Pajak yang dapat dimanfaatkan untuk pengawasan
kepatuhan Wajib Pajak yang terkait dengan Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan;

4) pembuatan data harta yang dapat dijadikan obyek sita yang dimiliki Wajib Pajak pada saat
pemeriksaan dilakukan (bukan data harta pada tahun pajak yang diperiksa); dan

5) pemutakhiran data Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak dalam hal diketahui
terdapat perbedaan antara KLU yang sebenarnya dengan KLU yang terdapat di masterfile
Wajib Pajak.

k. Optimalisasi Kerja Sama Dalam Rangka Pemeriksaan


Kerja sama dalam rangka pemeriksaan dilakukan bersama dengan pihak eksternal sebagai
berikut:

1) pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (TOPN);


2) joint audit antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
3) joint audit antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
4) joint audit antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK);
5) Tim Gabungan antara DJP dengan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
6) pemeriksa dapat meminta bantuan tenaga ahli yang memiliki keahlian tertentu, yang
berasal dari pihak di luar Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak, sebagai tenaga ahli seperti penerjemah bahasa, ahli di bidang teknologi informasi, dan
pengacara; dan
7) kerjasama dalam rangka pemeriksaan dengan pihak lainnya.

3. Pengukuran Kinerja Pemeriksaan


Pengukuran kinerja pemeriksaan dilakukan berdasarkan aspek-aspek pengukuran kinerja
sebagai berikut:

1. persentase realisasi penerimaan extra effort pemeriksaan dan penagihan;


2. persentase realisasi pencairan SKP;
3. persentase realisasi penyelesaian pemeriksaan;
4. audit coverage ratio (ACR);
5. persentase SKP yang tidak diajukan keberatan;
6. persentase refund discrepancy;
7. persentase penyelesaian analisis bahan pemeriksaan berbasis risiko;
8. persentase penyampaian produksi data; dan
9. persentase penyelesaian pemeriksaan tepat waktu untuk SP2 pemeriksaan khusus,

sebagaimana dimaksud pada Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran ini.
4. Pemantauan, Pengendalian, Evaluasi, dan Tindak Lanjut
a. Pemantauan

Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP melakukan pemantauan
terhadap:
1) realisasi penerimaan dari pemeriksaan;
2) pelaksanaan pemeriksaan lebih bayar restitusi;
3) penyelesaian pemeriksaan secara tepat waktu;
4) pemeriksaan oleh Petugas Pemeriksa Pajak (PPP);
5) tunggakan pemeriksaan;
6) hasil pemeriksaan yang diajukan upaya hukum;
7) pelaksanaan strategi dan realisasi rencana pemeriksaan, termasuk ukuran-ukuran kinerja
pemeriksaan.

b. Pengendalian
1) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP melakukan pengendalian
terhadap kinerja pemeriksaan.
2) Pengendalian dilakukan melalui:

a) Pembentukan tim bimbingan teknis, reviu, dan penelaahan sejawat oleh Direktur
Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kanwil DJP.

b) Bimbingan teknis dilakukan sesuai dengan SE-06/PJ/2016.

c) Reviu dilakukan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
83/PJ/2009 tentang Reviu (Penelaahan) dan Penelaahan Sejawat (Peer Review).

d) Ruang lingkup materi reviu mengacu pada rencana pemeriksaan (audit plan) yang telah
disetujui oleh Kepala UP2.

e) Penelaahan sejawat (Peer Review) dilakukan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak nomor SE-49/PJ/2012 tentang Penelaahan Sejawat (Peer Review) Pemeriksaan.

3) Pengendalian dilakukan mulai pada tahap persiapan (penyusunan rencana


pemeriksaan/audit plan dan program pemeriksaan/audit program), pelaksanaan, dan
pelaporan pemeriksaan.

c. Evaluasi dan Tindak Lanjut


1) Evaluasi
a) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP melakukan evaluasi secara
intensif terhadap pelaksanaan strategi dan realisasi rencana pemeriksaan, termasuk ukuran-
ukuran kinerja pemeriksaan;

b) Kepala Kanwil DJP melaporkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada huruf a)
kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan setiap semester sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

c) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan berkoordinasi dengan Direktur Keberatan dan


Banding untuk melakukan evaluasi atas hasil keberatan, banding, gugatan, peninjauan
kembali, dan/atau Pasal 36 Undang-Undang KUP dalam rangka penyempurnaan regulasi,
metode, dan teknik pemeriksaan.

2) Tindak Lanjut
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP melakukan tindak lanjut
terhadap hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada angka 1), dengan cara mengambil
langkah strategis yang perlu dilakukan sesuai kewenangannya masing-masing dalam rangka
memastikan terlaksananya strategi dan tercapainya rencana pemeriksaan.

F. Penutup

Kebijakan pemeriksaan yang tidak diatur secara khusus dalam Surat Edaran ini tetap
mengacu pada kebijakan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 April 2017
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

Berikut Link Lampiran SE 11-PJ-2017


SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN

NOMOR 16/SEOJK.03/2017

TENTANG

PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN

DALAM RANGKA PERTUKARAN INFORMASI SECARA OTOMATIS

ANTARNEGARA DENGAN MENGGUNAKAN STANDAR PELAPORAN BERSAMA

(COMMON REPORTING STANDARD)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25/POJK.03/2015 tentang


Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan kepada Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 291, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5773) selanjutnya disebut POJK Penyampaian
Informasi Nasabah Asing, dan Competent Authority Agreement (CAA) yang ditandatangani
oleh Pemerintah Indonesia, baik secara bilateral maupun multilateral, dan dalam rangka
penerapan pertukaran informasi secara otomatis antarnegara (Automatic Exchange of
Information/AEOI) dengan menggunakan Common Reporting Standard, perlu untuk
mengatur pelaksanaan mengenai penyampaian informasi nasabah asing terkait perpajakan
dalam rangka pertukaran informasi secara otomatis antarnegara dengan menggunakan
Common Reporting Standard dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:

I. KETENTUAN UMUM

1. Common Reporting Standard yang selanjutnya disingkat CRS adalah standar pertukaran
informasi keuangan secara otomatis untuk kepentingan perpajakan termasuk penjelasan
(commentaries) yang disusun oleh Organisation for Economic Cooperation and Development
(OECD) bersama dengan negara anggota Kelompok 20 (Group of Twenty atau G20).

2. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah LJK sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

3. LJK Pelapor adalah LJK yang memiliki kewajiban pelaporan informasi Nasabah Asing
terkait perpajakan kepada otoritas pajak Indonesia, sesuai dengan kriteria sebagaimana
dimaksud dalam CAA CRS.

4. LJK Bukan Pelapor adalah LJK yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan informasi
Nasabah Asing terkait perpajakan kepada otoritas pajak Indonesia, sesuai dengan kriteria
sebagaimana dimaksud dalam CAA CRS.
5. Participating Jurisdiction adalah suatu negara mitra atau yurisdiksi mitra yang
dipublikasikan dalam suatu daftar yang diterbitkan oleh otoritas pajak Indonesia dan akan
memberikan informasi Nasabah Asing terkait perpajakan.

6. Reportable Jurisdiction adalah suatu negara mitra atau yurisdiksi mitra yang dipublikasikan
dalam suatu daftar yang diterbitkan oleh otoritas pajak Indonesia dan memiliki kewajiban
untuk saling memberikan informasi Nasabah Asing terkait perpajakan.

7. Participating Jurisdiction Indicia adalah indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi


bahwa Nasabah Asing berasal dari Participating Jurisdiction.

8. Controlling Person adalah pemilik manfaat (beneficial owner) sebagaimana dimaksud


dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi sektor jasa keuangan.

9. Reportable Person yang selanjutnya disebut sebagai Pihak yang Dilaporkan adalah
Nasabah Asing dan/atau Controlling Person yang berasal dari Reportable Jurisdiction.

10. Reportable Account yang selanjutnya disebut sebagai Rekening yang Wajib Dilaporkan
adalah:
a. rekening pada Bank;

b. polis asuransi pada Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah;
dan/atau

c. nomor sub rekening efek pada Perusahan Efek dan Bank Kustodian;
yang dimiliki satu atau lebih Pihak yang Dilaporkan.

11. Determination Date yang selanjutnya disebut sebagai Tanggal Penentuan adalah tanggal
sebagaimana ditentukan dalam CAA CRS sebagai acuan bagi LJK Pelapor untuk
mengklasifikasikan nasabah dalam rangka mengidentifikasi dan melaporkan Rekening yang
Wajib Dilaporkan, yaitu tanggal 1 Juli 2017, atau tanggal lain yang akan disepakati oleh
Indonesia dan negara mitra atau yurisdiksi mitra yang merujuk pada suatu daftar
Determination Date yang dipublikasikan oleh otoritas pajak Indonesia.

II. LJK PELAPOR

LJK Pelapor terdiri atas:

1. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah;

2. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
3. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah mendapat persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan sebagai Bank Kustodian; dan

4. Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan
asuransi yang menyelenggarakan usaha asuransi jiwa atau usaha asuransi jiwa syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

III. NASABAH ASING

1. Kriteria Nasabah Asing berdasarkan LJK Pelapor:


a. bagi Bank Umum, yaitu nasabah perorangan atau perusahaan yang berasal dari
Participating Jurisdiction dan memenuhi kriteria Nasabah Asing yang memiliki rekening
dan/atau menggunakan jasa di Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Romawi II sampai
dengan Romawi V Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini;

b. bagi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha:


1) sebagai Penjamin Emisi Efek, adalah Nasabah Asing yang berasal dari Participating
Jurisdiction, baik perorangan maupun perusahaan, yang menggunakan jasa Penjamin Emisi
Efek;

2) sebagai Perantara Pedagang Efek, adalah Nasabah Asing yang berasal dari Participating
Jurisdiction, baik perorangan maupun perusahaan, yang menggunakan jasa Perantara
Pedagang Efek; dan/ atau

3) sebagai Manajer Investasi, adalah Nasabah Asing yang berasal dari Participating
Jurisdiction, baik perorangan maupun perusahaan, yang berinvestasi pada produk investasi
yang dikelola oleh Manajer Investasi;

sebagaimana dimaksud dalam Romawi II sampai dengan Romawi V Lampiran I yang


merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini;

c. bagi Bank Kustodian, adalah Nasabah Asing yang berasal dari Participating Jurisdiction,
baik perorangan maupun perusahaan, yang menginvestasikan dana dan/atau Efeknya untuk
dikelola oleh Manajer Investasi untuk kepentingan nasabah secara individual yang
merupakan nasabah langsung Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Romawi II
sampai dengan Romawi V Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; dan/atau

d. bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, adalah Nasabah
Asing yang berasal dari Participating Jurisdiction, baik perorangan maupun perusahaan, yang
menjadi pemegang polis atau peserta sebagaimana dimaksud dalam Romawi II sampai
dengan Romawi V Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini.

2. Identifikasi terhadap Nasabah LJK Pelapor


Proses identifikasi untuk Nasabah LJK Pelapor dilakukan dengan mengacu pada Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
3. Pernyataan Persetujuan, Instruksi atau Pemberian Kuasa
Dalam hal Nasabah Asing setuju untuk memberikan informasi terkait perpajakan kepada
otoritas pajak Indonesia untuk disampaikan kepada otoritas pajak Participating Jurisdiction,
Nasabah Asing menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa secara
tertulis dan sukarela kepada LJK Pelapor, yang paling sedikit memuat:

a. Bagi Nasabah Asing Perorangan:


1) Nama nasabah;
2) Jenis dan nomor dokumen identitas antara lain berupa paspor, Kartu Izin Tinggal Terbatas
(KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP);
3) Tempat dan tanggal lahir nasabah;
4) Alamat domisili dan/atau alamat korespondensi nasabah;
5) Negara mitra atau yurisdiksi mitra domisili nasabah;
6) Persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela terhadap
pembukaan dan/atau penyerahan data dan informasi termasuk data dan informasi terkait
perpajakan yang bersangkutan kepada otoritas pajak Indonesia untuk dapat disampaikan
kepada otoritas pajak Participating Jurisdiction sesuai CAA CRS;
7) Tempat dan tanggal penandatanganan pernyataan persetujuan;
8) Tanda tangan nasabah; dan
9) Tax Identification Number (TIN) nasabah, jika ada.

b. Bagi Nasabah Asing Perusahaan:


1) Nama perusahaan sesuai anggaran dasar;
2) Anggaran dasar perusahaan dan nomor tanda daftar perusahaan atau surat domisili
perusahaan;
3) Alamat domisili dan/atau alamat korespondensi perusahaan;
4) Negara mitra atau yurisdiksi mitra domisili nasabah untuk kepentingan perpajakan;
5) Nama Controlling Person perusahaan;
6) Jenis dan nomor identitas Controlling Person;
7) Tempat dan tanggal lahir Controlling Person;
8) Alamat domisili dan/atau alamat korespondensi Controlling Person;
9) Negara mitra atau yurisdiksi mitra domisili Controlling Person untuk kepentingan
perpajakan Controlling Person;
10) Persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela terhadap
pembukaan dan/atau penyerahan data dan informasi termasuk data dan informasi terkait
perpajakan yang bersangkutan kepada otoritas pajak Indonesia untuk dapat disampaikan
kepada otoritas pajak Participating Jurisdiction berdasarkan CAA CRS;
11) Tempat dan tanggal penandatanganan pernyataan persetujuan;
12) Tanda tangan nasabah; dan
13) TIN nasabah dan/atau Controlling Person, jika ada.

4. Penjelasan Konsekuensi kepada Nasabah oleh LJK Pelapor


a. Berdasarkan Pasal 5 POJK Penyampaian Informasi Nasabah Asing, dalam hal Nasabah
Asing tidak bersedia menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa
secara tertulis dan sukarela, LJK wajib:

1) menjelaskan konsekuensi bagi Nasabah Asing apabila tidak bersedia memberikan


informasi sesuai Perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis;
2) meminta Nasabah Asing menyampaikan pernyataan keberatan secara tertulis; dan
3) tidak melayani transaksi baru terkait rekening atau polis Nasabah Asing tersebut.
b. LJK memastikan bahwa Nasabah Asing telah memahami penjelasan mengenai
konsekuensi apabila tidak bersedia menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi atau
pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela.

c. Penyampaian penjelasan mengenai konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam huruf b


dilakukan sesuai dengan prosedur intern LJK.

5. Pernyataan Keberatan
Dalam hal Nasabah Asing tidak bersedia memberikan pernyataan persetujuan, instruksi, atau
pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela sebagaimana dimaksud pada angka 4, LJK
Pelapor meminta pernyataan keberatan kepada nasabah, yang paling sedikit memuat:
a. Bagi Nasabah Asing Perorangan:
1) Nama nasabah;
2) Nomor rekening/nomor sub rekening efek/nomor polis;
3) Klausul bahwa yang bertanda tangan dalam pernyataan keberatan telah memahami
konsekuensi atas ketidaksediaan yang bersangkutan untuk memberikan data dan informasi
terkait perpajakan kepada otoritas;
4) Tempat dan tanggal penandatanganan pernyataan keberatan; dan
5) Tanda tangan nasabah.

b. Bagi Nasabah Asing Perusahaan:


1) Nama perusahaan sesuai anggaran dasar;
2) Nomor rekening/nomor sub rekening efek/nomor polis;
3) Klausul bahwa yang bertanda tangan dalam pernyataan keberatan telah memahami
konsekuensi atas ketidaksediaan yang bersangkutan untuk memberikan data dan informasi
terkait perpajakan kepada otoritas;
4) Tempat dan tanggal penandatanganan pernyataan keberatan; dan
5) Tanda tangan nasabah.

IV. PELAPORAN

1. Pelaksanaan Pelaporan Rekening yang Wajib Dilaporkan


a. LJK Pelapor melaporkan Rekening yang Wajib Dilaporkan pada tahun-tahun berikutnya
sepanjang Nasabah Asing merupakan Pihak yang Dilaporkan.

b. LJK Pelapor menyampaikan informasi Pihak yang Dilaporkan melalui sistem penyampaian
informasi nasabah asing Otoritas Jasa Keuangan setelah mendapatkan pernyataan
persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela dari Pihak yang
Dilaporkan.

c. Informasi yang disampaikan adalah:


1) Informasi LJK Pelapor yang paling sedikit memuat nama dan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) LJK Pelapor;

2) Informasi Nasabah Asing yang paling sedikit memuat:


a) Bagi Nasabah Perorangan:
i. Nama nasabah;
ii. Tempat dan tanggal lahir nasabah;
iii. Alamat domisili dan/atau alamat korespondensi nasabah;
iv. Negara mitra atau yurisdiksi mitra domisili nasabah untuk kepentingan perpajakan; dan
v. TIN nasabah, jika ada.

b) Bagi Nasabah Perusahaan:


i. Nama perusahaan sesuai anggaran dasar;
ii. Alamat domisili dan/atau alamat korespondensi perusahaan;
iii. Negara mitra atau yurisdiksi mitra domisili perusahaan untuk kepentingan perpajakan;
iv. Nama Controlling Person;
v. Tempat dan tanggal lahir Controlling Person;
vi. Alamat domisili dan/atau alamat korespondensi Controlling Person;
vii. Negara mitra atau yurisdiksi mitra domisili Controlling Person untuk kepentingan
perpajakan; dan
viii. TIN nasabah dan/atau Controlling Person, jika ada.

3) Informasi keuangan Nasabah Asing yang dilaporkan paling sedikit memuat:


a) nomor Rekening yang Wajib Dilaporkan;

b) saldo atau nilai rekening dalam hal kontrak asuransi termasuk nilai tunai kontrak asuransi,
nilai anuitas atau surrender value pada akhir tahun kalender;

c) penghasilan dalam Rekening yang Wajib Dilaporkan berupa:

i. untuk rekening efek, yaitu:


(a) jumlah bunga, dividen dan/atau penghasilan lainnya yang dihasilkan oleh aset yang
berada dalam rekening efek yang dibayarkan atau dikreditkan ke dalam rekening selama
tahun kalender; dan/atau
(b) jumlah yang diperoleh dari penjualan atau penjualan kembali (redemption) atas efek yang
dibayarkan atau dikreditkan ke rekening selama tahun kalender dalam hal LJK bertindak
sebagai kustodian, broker, nominee, atau agen bagi nasabah.

ii. untuk rekening simpanan, yaitu jumlah bunga yang dibayarkan atau dikreditkan ke
rekening simpanan selama tahun kalender;

d) total jumlah yang dibayarkan atau dikreditkan kepada Nasabah Asing, untuk jenis
Rekening yang Wajib Dilaporkan selain yang dimaksud dalam huruf b); dan

e) informasi Rekening yang Wajib Dilaporkan yang telah ditutup sebelum akhir periode
laporan, dilaporkan dengan saldo nihil dan keterangan tutup.

d. LJK Pelapor harus menginformasikan keterangan mengenai jenis mata uang yang
digunakan untuk setiap nominal yang dilaporkan.

e. Dalam hal LJK Pelapor tidak memiliki informasi TIN atau tanggal lahir dari Pihak yang
Dilaporkan sebelum Tanggal Penentuan, LJK Pelapor tetap mengupayakan pengumpulan
informasi tersebut selama 2 (dua) tahun setelah teridentifikasi sebagai Pihak yang
Dilaporkan.

2. Pelaksanaan Pelaporan Rekening Tak Terdokumentasi (Undocumented Account)


a. LJK Pelapor melaporkan rekening tak terdokumentasi (undocumented account) pada
tahun-tahun berikutnya sepanjang Nasabah Asing merupakan Pihak yang Dilaporkan.

b. LJK Pelapor menyampaikan informasi Pihak yang Dilaporkan melalui sistem penyampaian
informasi nasabah asing Otoritas Jasa Keuangan setelah mendapatkan pernyataan
persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela dari Pihak yang
Dilaporkan.

3. Pelaksanaan Pelaporan oleh LJK Pelapor yang Menjadi Selling Agent dan/atau Kustodian
a. Sesuai dengan Pasal 9 POJK Penyampaian Informasi Nasabah Asing, LJK dapat
mendelegasikan pelaksanaan kewajiban pelaporan kepada LJK lain yang menjadi selling
agent dan/atau kustodian.

b. Dalam hal selling agent dan/atau kustodian yang menerima pendelegasian merupakan LJK
Pelapor, selain memenuhi kewajiban sebagai LJK Pelapor, juga harus melaporkan informasi
terkait perpajakan dari nasabah LJK yang mendelegasikan kewajiban pelaporan.

4. Mekanisme dan Waktu Pelaporan


a. Informasi Pihak yang Dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam Romawi IV angka 1 huruf
c disampaikan oleh LJK Pelapor kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui sistem penyampaian
informasi nasabah asing.

b. Pelaporan informasi keuangan dalam sistem penyampaian informasi nasabah asing


dilakukan untuk setiap rekening yang dimiliki oleh Pihak yang Dilaporkan.

c. Berdasarkan CAA CRS multilateral, penyampaian Informasi Pihak yang Dilaporkan


sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan paling lambat tanggal 1 Agustus setiap
tahun, untuk posisi akhir bulan Desember tahun sebelumnya.

d. Berdasarkan CAA bilateral, penyampaian Informasi Pihak yang Dilaporkan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a untuk posisi akhir bulan Desember, dilakukan pada tiap tahun
berikutnya paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum batas waktu pelaporan yang
disepakati dalam CAA bilateral.

e. Jika batas waktu pelaporan Informasi Pihak yang Dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam
huruf c dan huruf d jatuh pada hari libur maka pelaporan dilakukan pada hari kerja
berikutnya.

f. Pelaporan informasi Pihak yang Dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a oleh
LJK Pelapor dilakukan untuk pertama kali pada tahun 2018 berdasarkan CAA multilateral,
atau pada tahun tertentu yang disepakati dalam CAA bilateral.

5. Laporan Nihil
Dalam hal pada tahun berjalan LJK Pelapor tidak memiliki Rekening yang Wajib Dilaporkan,
LJK Pelapor menyampaikan laporan nihil melalui sistem informasi penyampaian nasabah
asing.

6. Pejabat Penanggung Jawab dan Petugas Pelaksana Pelaporan


a. LJK Pelapor menunjuk pejabat penanggung jawab dengan tingkatan jabatan yang
disesuaikan dengan ketentuan intern dan kompleksitas usaha LJK Pelapor.
b. Pejabat penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat dirangkap oleh
pejabat yang membawahkan fungsi lain di LJK Pelapor sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan yang mengatur mengenai larangan rangkap jabatan.

c. Pejabat penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat menunjuk petugas
pelaksana pelaporan.

d. Sebelum akun sistem penyampaian informasi nasabah asing dapat diaktivasi, LJK Pelapor
menyampaikan informasi mengenai identitas pejabat penanggung jawab dan/ atau petugas
pelaksana pelaporan kepada:

1) Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan c.q. Direktorat Informasi Perbankan,


dalam hal LJK Pelapor berbentuk Bank Umum;
2) Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) 1B c.q. Direktorat Statistik
dan Informasi IKNB, dalam hal LJK Pelapor berbentuk Perusahaan Asuransi Jiwa atau
Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah; atau
3) Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A c.q. Direktorat Pengelolaan Investasi, dalam hal
LJK Pelapor berbentuk Perusahaan Efek atau Bank Kustodian.

e. Dalam hal terjadi penggantian pejabat penanggung jawab dan/atau petugas pelaksana
pelaporan, LJK Pelapor harus menyampaikan informasi mengenai identitas pejabat
penanggung jawab dan/atau petugas pelaksana pelaporan yang baru.

V. PENUTUP

Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 April 2017
KEPALA EKSEKUTIF
PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN,

ttd

NELSON TAMPUBOLON

Berikut Link Lampiran SE OJK 16-SEOJK.03-2017


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 16/PJ/2017

TENTANG

PERMINTAAN INFORMASI DAN/ATAU BUKTI ATAU KETERANGAN TERKAIT


AKSES

INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2017 tentang


Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan
untuk Kepentingan Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017, Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses
informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari Lembaga Jasa Keuangan (LJK), LJK
Lainnya, dan/atau Entitas Lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian internasional, yang meliputi
penyampaian laporan yang berisi informasi keuangan secara otomatis dan pemberian
Informasi dan/atau Bukti atau Keterangan (IBK) berdasarkan permintaan.

Pada tahap awal pelaksanaan kewenangan dimaksud dan untuk menjaga efektifitas
pengawasan atas pemanfaatan akses informasi keuangan yang diberikan oleh LJK, LJK
Lainnya, dan/atau Entitas Lain, diperlukan pengaturan lebih lanjut khususnya terkait
permintaan IBK kepada LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan
mempertimbangkan skala prioritas pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan khususnya dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan, penagihan pajak, pemeriksaan
bukti permulaan, penyidikan pajak, pelaksanaan perjanjian internasional, serta penyelesaian
proses Prosedur Persetujuan Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP) dan
Kesepakatan Harga Transfer/Advance Pricing Agreement (APA). Oleh karena itu, perlu
disusun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang Permintaan Informasi dan/atau Bukti
atau Keterangan Terkait Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran ini dimaksudkan untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan permintaan IBK
terkait akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

2. Tujuan
Surat Edaran ini disusun dengan tujuan agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat:
a. memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi
keuangan berkenaan dengan keperluan perpajakan sesuai dengan perjanjian internasional di
bidang perpajakan; dan
b. menjalankan administrasi perpajakan secara efektif dan efisien karena didukung oleh
ketersediaan informasi keuangan yang akurat dan dapat diandalkan.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi:

1. Ketentuan Umum;
2. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pelaksanaan Perjanjian Internasional;
3. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan;
4. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Penagihan Pajak;
5. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan dan
Penyidikan Pajak;
6. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Penyelesaian Proses Prosedur Persetujuan
Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP) dan Kesepakatan Harga
Transfer/Advance Pricing Agreement (APA);
7. Prosedur Penerimaan IBK;
8. Prosedur Pengawasan Pemberian IBK;
9. Prosedur Pengawasan atas Pemanfaatan Permintaan IBK; dan
10. Ketentuan Lain.

D. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994;
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai;
6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak;
7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000;
8. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan;
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis
Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017.

E. Ketentuan Umum

1. Dalam rangka akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, Direktur Jenderal
Pajak berwenang meminta IBK dari LJK, LJK Lainnya, dan/atau EntitasLain.

2. Dengan mempertimbangkan tahap awal pelaksanaan kewenangan atas akses informasi


keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1, lingkup permintaan IBK yang diatur dalam
Surat Edaran Direktur Jenderal ini adalah:
a. pelaksanaan perjanjian internasional;
b. pemeriksaan;
c. penagihan pajak;
d. pemeriksaan bukti permulaan;
e. penyidikan pajak; dan
f. penyelesaian proses Prosedur Persetujuan Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP)
dan Kesepakatan Harga Transfer/Advance Pricing Agreement (APA).

3. Permintaan IBK dilakukan oleh:


a. Direktur Jenderal Pajak;
b. Pejabat setingkat Eselon II pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (KPDJP);
c. Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) atas nama Direktur Jenderal Pajak;
atau
d. Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atas nama Direktur Jenderal Pajak.

4. Kewenangan permintaan IBK diatur sebagai berikut:


a. Direktur Perpajakan Internasional berwenang melakukan permintaan IBK dalam rangka
pelaksanaan perjanjian internasional dan penyelesaian proses Prosedur Persetujuan
Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP) dan Kesepakatan Harga Transfer/Advance
Pricing Agreement (APA);
b. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan berwenang melakukan permintaan IBK dalam rangka
pemeriksaan yang dilakukan di Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan;
c. Direktur Penegakan Hukum berwenang melakukan permintaan IBK dalam rangka
pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan pajak yang dilakukan di Direktorat
Penegakan Hukum;
d. Kepala Kanwil DJP berwenang melakukan permintaan IBK dalam rangka pemeriksaan,
pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan pajak yang dilakukan di Kanwil DJP;
e. Kepala KPP, yang dilakukan melalui Kepala Kanwil DJP yang membawahi KPP tersebut,
berwenang melakukan permintaan IBK dalam rangka pemeriksaan yang dilakukan di KPP;
f. Kepala KPP berwenang melakukan permintaan IBK dalam rangka penagihan pajak.

5. Ketentuan terkait permintaan IBK:


a. untuk permintaan IBK dalam rangka kegiatan sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) permintaan disampaikan kepada kantor pusat atau unit pada LJK, LJK Lainnya dan/atau
Entitas Lain yang bertanggung jawab untuk memberikan IBK dimaksud, baik terhadap
Pemegang Rekening Keuangan yang telah diketahui atau belum diketahui nomor rekening
keuangannya; dan
2) dalam hal jawaban terkait permintaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) menyatakan
IBK tidak tersedia pada kantor pusat atau unit pada LJK, LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain
yang bertanggung jawab untuk memberikan IBK dimaksud namun tersedia pada unit vertikal
LJK, LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain, maka disampaikan permintaan baru yangditujukan
kepada unit vertikal dimaksud.

b. untuk permintaan Informasi berupa informasi keuangan dalam rangka kegiatan penagihan
pajak sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf f disampaikan kepada:
1) kantor pusat atau unit pada LJK, LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain yang bertanggung
jawab untuk memberikan IBK dimaksud; atau
2) unit vertikal pada LJK, LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain yang mengelola rekening
keuangan atas nama Pemegang Rekening Keuangan.

6. Permintaan IBK paling sedikit memuat informasi sebagai berikut:


a. IBK yang diminta;
b. format dan cara pemberian IBK yang diminta;
c. alasan dilakukannya permintaan tersebut; dan
d. pegawai atau pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang menangani permintaan IBK
dimaksud.

7. Permintaan IBK untuk pemeriksaan yang dilakukan di KPP dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Permintaan disampaikan Kepala KPP kepada LJK, LJK Lainnya, atau Entitas Lain melalui
Kepala Kanwil DJP yang membawahi KPP tersebut;
b. Kepala Kanwil DJP menindaklanjuti permintaan Kepala KPP dengan menyampaikan
permintaan IBK tersebut menggunakan surat pengantar permintaan IBK secara periodik
paling lama setiap dua minggu kepada LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain;
c. Surat pengantar permintaan IBK dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.

8. Informasi yang diminta sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah informasi keuangan
terkait rekening keuangan, antara lain berupa nomor rekening, subrekening, saldo atau nilai,
mutasi transaksi, yang dikelola oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain yang dibuat
dengan menggunakan contoh format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

9. Unit Eselon II pada KPDJP, Kanwil DJP, dan KPP yang menerima IBK berdasarkan
permintaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 menerbitkan Tanda Terima IBK kepada
LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain tersebut yang dibuat dengan menggunakan contoh
format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

10. Terhadap permintaan IBK kepada LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dilakukan
pengawasan atas pemenuhan kewajiban pemberian IBK dan dapat ditindaklanjuti dengan
penerbitan klarifikasi, teguran tertulis, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan pajak
sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang
mengatur mengenai petunjuk teknis mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan.

11. Terhadap IBK yang telah disampaikan oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain
dilakukan pengawasan atas pemanfaatan IBK dimaksud.

12. Permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan melalui AKASIA.
Namun demikian saat ini AKASIA sedang dilakukan penyesuaian untuk dapat mendukung
pelaksanaan permintaan IBK sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Oleh karena
itu, penerbitan surat permintaan tersebut dilakukan secara manual dan surat permintaan
tersebut diarsipkan.
F. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pelaksanaan Perjanjian Internasional

1. Permintaan IBK dilakukan oleh Direktur Perpajakan Internasional.


2. Permintaan IBK dilakukan dalam rangka pelaksanaan perjanjian internasional berupa
pelaksanaan pertukaran informasi berdasarkan permintaan Pejabat yang Berwenang di
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
3. Atas IBK yang diberikan oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, Direktur
Perpajakan Internasional menyampaikan IBK dimaksud kepada Pejabat yang
Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai tata cara
pertukaran informasi berdasarkan perjanjian internasional.
4. Administrasi penerbitan permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1
dilakukan oleh SubDirektorat Pertukaran Informasi.
5. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pelaksanaan Perjanjian Internasional adalah
sebagaimana diatur dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

G. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan


1. Permintaan IBK dilakukan oleh:
a. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan untuk pemeriksaan yang dilaksanakan di KPDJP;
b. Kepala Kanwil DJP untuk pemeriksaan yang dilaksanakan di Kanwil DJP; dan
c. Kepala KPP melalui Kepala Kanwil DJP, untuk pemeriksaan yang dilaksanakan di KPP.

2. Permintaan IBK dilakukan untuk keperluan:


a. pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
b. pemeriksaan untuk tujuan lain, kecuali:
1) penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak (PKP) secara jabatan;
2) Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan permohonan
Wajib Pajak; dan
3) pengumpulan bahan guna penyusunan norma perhitungan penghasilan neto.

3. Untuk tahun 2017, permintaan IBK diprioritaskan terhadap Wajib Pajak yang masuk dalam
Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan (DSPP).

4. Permintaan IBK hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak yang tercantum dalam Surat
Perintah Pemeriksaan (SP2).

5. Administrasi penerbitan permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a


dilakukan oleh SubDirektorat Teknik dan Pengendalian Pemeriksaan.

6. Administrasi penerbitan permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b dan
huruf c dilakukan oleh Seksi Administrasi Bukti Permulaan dan Penyidikan, Bidang
Pemeriksaan Penyidikan Intelijen dan Penyidikan.

7. Prosedur terkait permintaan IBK meliputi:


a. Prosedur Pengusulan Permintaan IBK dalam rangka Pemeriksaan di KPP;
b. Prosedur Pengusulan Permintaan IBK dalam rangka Pemeriksaan di Kanwil DJP;
c. Prosedur Penyelesaian Usul Permintaan IBK dalam rangka Pemeriksaan di Kanwil DJP;
d. Prosedur Pengusulan Permintaan IBK dalam rangka Pemeriksaan di KPDJP; dan
e. Prosedur Penyelesaian Usul Permintaan IBK dalam rangka Pemeriksaan di KPDJP,
adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

H. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Penagihan Pajak


1. Permintaan IBK dilakukan oleh Kepala KPP.

2. Permintaan IBK dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:


a. Untuk permintaan yang dilakukan kepada LJK sektor perbankan dan sektor pasar modal:
1) bagi Penanggung Pajak yang belum diketahui nomor rekening keuangannya pada LJK
sektor perbankan:
a) dilakukan pemblokiran melalui kantor pusat bank sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai penagihan pajak;
b) pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a) dilakukan oleh Kepala KPP tanpa perlu
meminta informasi keuangan terlebih dahulu kepada LJK sektor perbankan.

2) bagi Penanggung Pajak yang telah diketahui nomor rekening keuangannya pada LJK
sektor perbankan, dilakukan pemblokiran kepada bank pengelola simpanan Penanggung
Pajak.

3) dalam hal Penanggung Pajak menolak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank untuk memberitahukan saldo harta kekayaannya yang tersimpan pada bank
kepada Jurusita Pajak, dilakukan permintaan informasi keuangan kepada bank pengelola
simpanan Penanggung Pajak.

4) bagi Penanggung Pajak, baik yang telah diketahui maupun belum diketahui nomor
rekening keuangannya pada LJK sektor pasar modal, dilakukan pemblokiran terhadap
rekening efek Penanggung Pajak melalui kustodian sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai penagihan pajak,

b. Untuk permintaan yang dilakukan kepada LJK selain sektor perbankan dan sektor pasar
modal, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain:

1) bagi penanggung pajak yang belum diketahui nomor rekening keuangannya:


a) Kepala KPP meminta informasi nomor rekening keuangannya terlebih dahulu kepada
kantor pusat LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain atau unit pada LJK, LJK Lainnya
dan/atau Entitas Lain yangbertanggung jawab untuk pemberian informasi keuangan
dimaksud,

b) Setelah diketahui informasi nomor rekening keuangannya, atas rekening keuangan


penanggung pajak dimaksud dilakukan penyitaan sesuai dengan ketentuan di bidang
penagihan pajak.

2) bagi penanggung pajak yang telah diketahui nomor rekening keuangannya, dilakukan
penyitaan sesuai dengan ketentuan di bidang penagihan pajak.

3. Administrasi penerbitan permintaan IBK dilakukan oleh Seksi Penagihan di KPP.


4. Prosedur Permintaan IBK dalam rangka Penagihan Pajak di KPP adalah sebagaimana
diatur dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.
I. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan
Pajak
1. Permintaan IBK dilakukan oleh:
a. Direktur Penegakan Hukum untuk pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak
yang dilaksanakan di KPDJP; atau
b. Kepala Kanwil DJP untuk pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak yang
dilaksanakan di Kanwil DJP.

2. Permintaan IBK dilakukan untuk pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka maupun
tertutup, serta penyidikan pajak dilakukan untuk penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan maupun penyidikan tindak pidana pencucian uang.

3. Permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan terhadap:


a. Terperiksa sesuai dengan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan (SPPBP), dalam hal
permintaan IBK dalam rangka pemeriksaan bukti permulaan;
b. Tersangka sesuai dengan Surat Perintah Penyidikan dalam hal permintaan IBK, dalam
rangka penyidikan pajak; dan
c. pihak terkait berdasarkan pertimbangan Direktur Penegakan Hukum atau Kepala Kanwil
DJP, baik permintaan IBK dalam rangka pemeriksaan bukti permulaan maupun penyidikan
pajak.

4. Administrasi penerbitan permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a


dilakukan oleh Seksi Barang Bukti dan Tahanan, SubDirektorat Forensik dan Barang Bukti.

5. Administrasi penerbitan permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b


dilakukan oleh Seksi Administrasi Bukti Permulaan dan Penyidikan, Bidang Pemeriksaan
Penyidikan Intelijen dan Penyidikan.

6. Prosedur terkait permintaan IBK meliputi:


a. Prosedur Pengusulan Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan dan
Penyidikan Pajak di Kanwil DJP;
b. Prosedur Penyelesaian Usul Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan
dan Penyidikan Pajak di Kanwil DJP;
c. Prosedur Pengusulan Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan dan
Penyidikan Pajak di KPDJP; dan
d. Prosedur Penyelesaian Usul Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan
dan Penyidikan Pajak di KPDJP,
adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

J. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Penyelesaian Proses Prosedur Persetujuan


Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP) dan Kesepakatan Harga Transfer/Advance
Pricing Agreement (APA)

1. Permintaan IBK dilakukan oleh Direktur Perpajakan Internasional.


2. Permintaan IBK dilakukan terhadap Wajib Pajak atau pihak yang terkait dengan
penyelesaian proses Prosedur Persetujuan Bersama/Mutual Agreement Procedures
(MAP) dan Kesepakatan Harga Transfer/Advance Pricing Agreement (APA).
3. Administrasi penerbitan permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1
dilakukan oleh SubDirektorat Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan
Internasional.
4. Prosedur Permintaan IBK dalam rangka penyelesaian proses Prosedur Persetujuan
Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP) dan Kesepakatan Harga
Transfer/Advance Pricing Agreement (APA) adalah sebagaimana diatur dalam
Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur
Jenderal ini.

K. Prosedur Penerimaan IBK

1. Direktorat Perpajakan Internasional menerima IBK dalam hal permintaan IBK dilakukan
oleh Direktur Perpajakan Internasional dalam rangka pelaksanaan:
a. perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf F angka 1; dan
b. Prosedur Persetujuan Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP) dan Kesepakatan
Harga Transfer/Advance Pricing Agreement (APA) sebagaimana dimaksud dalam huruf J
angka 1.

2. Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan menerima IBK dalam hal permintaan IBK
dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dalam rangka pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf G angka 1 huruf a.

3. Direktorat Penegakan Hukum menerima IBK dalam hal permintaan IBK dilakukan oleh
Direktur Penegakan Hukum dalam rangka pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan
pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf I angka 1 huruf a.

4. Kanwil DJP menerima IBK dalam hal permintaan IBK dilakukan oleh Kepala Kanwil DJP
dalam rangka:
a. pemeriksaan yang dilaksanakan di Kanwil DJP sebagaimana dimaksud dalam huruf G
angka 1 huruf b; dan
b. pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak yang dilaksanakan oleh Kanwil DJP
sebagaimana dimaksud dalam huruf I angka 1 huruf b.

5. KPP menerima IBK dalam hal permintaan IBK dilakukan oleh Kepala KPP dalam rangka:
a. pemeriksaan yang dilaksanakan oleh KPP sebagaimana dimaksud dalam huruf G angka 1
huruf c; dan
b. penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf H angka 1.

6. Penerima IBK menindaklanjuti pemanfaatan IBK sesuai dengan tujuan permintaan IBK
dan melakukan pengarsipan atas:
a. media penyimpanan elektronik yang berisi Informasi; dan/atau
b. Bukti dan/atau Keterangan,
baik yang disampaikan secara langsung maupun melalui pos, jasa ekspedisi, jasa kurir dengan
bukti penerimaan surat, oleh pegawai atau pejabat yang memanfaatkan Bukti dan/atau
Keterangan dimaksud dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.

7. Prosedur terkait penerimaan IBK, meliputi:


a. Prosedur Penerimaan IBK di KPP;
b. Prosedur Penerimaan IBK di Kanwil DJP;
c. Prosedur Penerimaan IBK di KPDJP,
adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

L. Prosedur Pengawasan Pemberian IBK Berdasarkan Permintaan

1. Pengawasan pemberian IBK dari LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dilakukan
oleh pihak yang melakukan permintaan IBK.
2. Pihak yang melakukan permintaan IBK menerbitkan Surat Permintaan Klarifikasi
dalam hal terdapat dugaan pelanggaran berupa pembuatan pernyataan palsu atau
penyembunyian atau pengurangan informasi yang sebenarnya dari IBK yang
diberikan oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain.
3. Pihak yang melakukan permintaan IBK menerbitkan Surat Teguran dalam hal:
a. sampai dengan batas waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak diterimanya
permintaan klarifikasi LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain:
1) tidak memberikan klarifikasi; atau
2) menyampaikan klarifikasi, namun penyampaian klarifikasi dimaksud belum
sepenuhnya menjawab permintaan klarifikasi.
b. tidak memenuhi kewajiban pemberian IBK sebagaimana diatur dalam Pasal 15 dan
Pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk
Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
73/PMK.03/2017.
4. Pihak yang melakukan permintaan IBK mengajukan usulan pemeriksaan bukti
permulaan apabila sampai dengan batas waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak
diterimanya teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 3, LJK, LJK Lainnya,
dan/atau Entitas Lain;
a. diduga masih melakukan pelanggaran berupa pembuatan pernyataan palsu atau
penyembunyian atau pengurangan informasi yang sebenarnya dari IBK yang
diberikan oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain;
b. tidak memenuhi kewajiban pemberian IBK sebagaimana diatur dalam Pasal 15 dan
Pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk
Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
73/PMK.03/2017.
5. Prosedur terkait pengawasan pemberian IBK berdasarkan permintaan meliputi:
a. Prosedur Penerbitan Surat Permintaan Klarifikasi/Surat Teguran di KPP;
b. Prosedur Penerbitan Surat Permintaan Klarifikasi/Surat Teguran di Kanwil DJP;
c. Prosedur Penerbitan Surat Permintaan Klarifikasi/Surat Teguran di KPDJP,
adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

M. Prosedur Pengawasan atas Pemanfaatan Permintaan IBK

1. Pihak yang melakukan permintaan IBK menyusun Laporan Pengawasan atas


Pemanfaatan IBK yang berisi:
a. permintaan IBK yang telah disampaikan kepada LJK, LJK Lainnya, dan Entitas
Lain;
b. IBK yang disampaikan oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain;
c. tindak lanjut atas pemanfaatan IBK yang telah disampaikan oleh LJK, LJK
Lainnya, dan/atau Entitas Lain, yaitu:
1) telah ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku; atau
2) tidak ditindaklanjuti.
2. Laporan Pengawasan atas Pemanfaatan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1
disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan tembusan kepada Direktur
Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur dan Direktur Teknologi
Informasi Perpajakan.
3. Laporan Pengawasan atas Pemanfaatan IBK disusun dengan menggunakan contoh
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
4. Prosedur Pengawasan Pemanfaatan Data atas Tindak Lanjut Permintaan IBK adalah
sebagaimana diatur dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

N. Ketentuan Lain

1. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini:


a. permintaan IBK sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai tata cara permintaan
keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan,
yang telah diajukan melalui aplikasi AKASIA namun belum diberikan izin tertulis
oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, permintaan IBK dimaksud
tidak berlaku dan dilakukan permintaan IBK kembali sesuai dengan Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.
b. permintaan IBK yang dilakukan oleh Kepala KPP dan telah disampaikan kepada
LJK, LJK lainnya, dan/atau Entitas Lain dalam rangka kegiatan selain penagihan
pajak sebelum diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal ini dan belum diberikan
IBK oleh LJK, LJK lainnya, dan/atau Entitas Lain, agar diproses kembali sesuai
dengan Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
2. Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan dan Direktorat Transformasi Teknologi
Komunikasi dan Informasi berwenang menentukan kebijakan teknis terkait teknologi
informasi dalam rangka mendukung pelaksanaan permintaan IBK terkait akses
informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
3. Terhadap permintaan IBK untuk kepentingan perpajakan selain yang diatur
sebagaimana dimaksud pada huruf E angka 2 di atas, dilaksanakan dengan
berpedoman pada Surat Edaran Direktur Jenderal yang akan ditetapkan kemudian.

O. Penutup

Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Juli 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd. KEN DWIJUGIASTEADI


NIP 195711081984081001
31 Januari 2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 02/PJ/2017

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN

NOMOR 229/PMK.03/2014 TENTANG PERSYARATAN SERTA

PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN SEORANG KUASA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia


Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
Seorang Kuasa, perlu diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sebagai acuan yang
dapat memberikan kemudahan, kejelasan dan kepastian hukum mengenai persyaratan serta
pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran ini disusun sebagai pedoman bagi seluruh unit di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak dalam menerapkan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang
kuasa.

2. Tujuan
Surat Edaran ini bertujuan untuk memberikan kemudahan, kejelasan dan kepastian hukum
dalam menerapkan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa sehingga
terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya oleh seluruh unit di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak.

C. Ruang Lingkup

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini memberikan penegasan mengenai:

8. ruang lingkup pemberian kuasa;


9. saat penyampaian surat kuasa khusus;
10. pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan setelah dikuasakan;
11. para pihak yang dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan
tertentu dari Wajib Pajak tanpa perlu adanya surat kuasa khusus karena bertindak
sebagai wakil Wajib Pajak;
12. pemberian 1 (satu) surat kuasa hanya dapat ditujukan terhadap pelaksanaan hak
dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang berkaitan dengan 1
(satu) jenis pajak untuk 1 (satu) Tahun Pajak, atau 1 (satu) Bagian Tahun Pajak, atau
1 (satu)/beberapa Masa Pajak, kecuali pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan
kewajiban perpajakan tersebut dilakukan untuk beberapa jenis pajak sebagai satu
kesatuan;
13. pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang dapat
dilakukan oleh karyawan atau pihak lain tanpa memerlukan surat kuasa khusus; dan
14. pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan yang tidak dapat
dikuasakan kepada pihak lain sehingga hanya dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
wakil Wajib Pajak itu sendiri.

D. Dasar

4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 untuk selanjutnya disebut Undang-Undang KUP.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 229/PMK.03/2014 tentang
Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa.

E. Materi

1. Ruang lingkup pemberian kuasa:

a. Peraturan Menteri keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 pada prinsipnya mengatur


mengenai ketentuan pemberian kuasa dengan menggunakan surat kuasa khusus dari Wajib
Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu.

b. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu tersebut di atas,


berupa:

27. pengisian, penandatanganan, dan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) dan/atau


SPT pembetulan yang tidak melalui sistem administrasi yang terintegrasi dengan
sistem di Direktorat Jenderal Pajak (e-SPT);
28. permohonan pengangsuran pembayaran pajak dan/atau proses penyelesaiannya;
29. permohonan penundaan pembayaran pajak dan/atau proses penyelesaiannya;
30. permohonan pemindahbukuan dan/atau proses penyelesaiannya;
31. permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak bagi Wajib Pajak usaha
kecil atau Wajib Pajak di daerah tertentu dan/atau proses penyelesaiannya;
32. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan/atau proses
penyelesaiannya;
33. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak kriteria
tertentu atau Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu dan/atau proses
penyelesaiannya;
34. permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang dan/atau proses penyelesaiannya;
35. pelaksanaan pemeriksaan;
36. permohonan pembetulan dan/atau proses penyelesaiannya;
37. pengajuan keberatan dan/atau proses penyelesaiannya;
38. permintaan penjelasan untuk pengajuan keberatan dan/atau banding;
39. permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan/atau proses
penyelesaiannya, termasuk terhadap sanksi administrasi atas surat ketetapan pajak
Pajak Bumi (PBB) dan Surat Tagihan Pajak (STP) PBB;
40. permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar
dan/atau proses penyelesaiannya;
41. permohonan pengurangan atau pembatalan STP yang tidak benar dan/atau proses
penyelesaiannya;
42. permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Surat
Tagihan Pajak (STP) PBB, yang tidak benar dan/atau proses penyelesaiannya;
43. permohonan pengurangan PBB terutang dan/atau proses penyelesaiannya;
44. permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan dan/atau proses
penyelesaiannya;
45. pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka;
46. permohonan untuk memperoleh fasilitas perpajakan dan/atau proses penyelesaiannya;
47. permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement
Procedure);
48. permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) dan/atau
proses penyelesaiannya;
49. permohonan kode aktivasi dan password dalam rangka permintaan nomor seri Faktur
Pajak;
50. pemberian tanggapan Wajib Pajak terhadap permintaan penjelasan atas data dan/atau
keterangan;
51. menerima pemberitahuan Surat Paksa; dan
52. pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu lainnya yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat dikuasakan.

2. Saat penyampaian surat kuasa khusus:

a. Penyampaian surat kuasa khusus dilakukan:


1) sebelum pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang
dikuasakan; atau

2) bersamaan dengan pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu


yang dikuasakan.

b. Dalam hal surat kuasa khusus tidak disampaikan pada waktu sebagaimana tersebut di atas,
seseorang yang diberikan kuasa oleh Wajib Pajak dianggap bukan sebagai seorang kuasa dan
tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib
Pajak pemberi kuasa.

3. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan setelah dikuasakan:

a. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang telah dikuasakan
oleh Wajib Pajak kepada seorang kuasa dilakukan oleh seorang kuasa tersebut.
b. Dalam hal Wajib Pajak berkehendak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi
kewajiban perpajakannya sendiri maka Wajib Pajak harus mencabut terlebih dahulu kuasa
yang telah diberikan kepada seorang kuasa.

c. Pencabutan kuasa yang telah diberikan kepada seorang kuasa harus dilakukan dengan
menyampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum pelaksanaan hak
dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakannya dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak.

d. Pencabutan kuasa berlaku sejak tanggal surat pencabutan kuasa diterima oleh Direktur
Jenderal Pajak dan tidak berlaku surut.

4. Para pihak yang dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan
tertentu dari Wajib Pajak tanpa perlu adanya surat kuasa khusus karena bertindak sebagai
wakil Wajib Pajak adalah sebagai berikut:
a. Pengurus untuk Wajib Pajak Badan Pengurus merupakan orang yang bertanggung jawab
penuh atas kepengurusan badan untuk kepentingan badan dan sesuai maksud dan tujuan
badan, serta dapat mewakili badan baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang dibuktikan
dengan dokumen berupa akta pendirian dan/atau dokumen lain yang dipersamakan.
Termasuk dalam pengertian pengurus untuk Wajib Pajak Badan adalah orang yang terbukti
nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil
keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan serta orang yang diberi wewenang
untuk menjalankan pengurusan perusahaan untuk kepentingan perusahaan sesuai dengan
maksud dan tujuan perusahaan, di mana kedua hal tersebut dibuktikan dengan surat
keterangan dari pimpinan yang berwenang yang menjelaskan keadaan demikian. Dalam hal
ini, tidak diperlukan adanya surat kuasa khusus dalam rangka melaksanakan hak dan/atau
memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak Badan tersebut. Orang yang
termasuk dalam pengertian pengurus tersebut dapat menjabat sebagai komisaris, pemegang
saham mayoritas atau pengendali, pemegang saham, karyawan Wajib Pajak Badan, atau
pihak lain, sepanjang terbukti bahwa orang tersebut nyata-nyata mempunyai wewenang
dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan
kegiatan perusahaan.

Contoh:

1) Sdr.A merupakan direktur atas Wajib Pajak PT B, oleh karena itu sebagai pengurus PT B,
dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak PT B, Sdr.A
tidak memerlukan surat kuasa.

2) Sdr.C merupakan pengurus Koperasi D, oleh karena itu sebagai pengurus Koperasi D,
dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Koperasi D, Sdr.C tidak
memerlukan surat kuasa.

3) Sdr.E berkedudukan sebagai pembina Yayasan F dan berdasarkan keputusan rapat


pembina, Sdr.G diangkat sebagai pengurus Yayasan F. Oleh karena itu, dalam melaksanakan
hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Yayasan F, baik Sdr.E maupun Sdr.G tidak
memerlukan surat kuasa.

4) Sdr.H merupakan pemegang saham di Wajib Pajak PT I dengan saham sebesar 51% akan
tetapi terbukti secara nyata bahwa pemegang saham tersebut tidak memiliki wewenang dalam
menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan
kegiatan perusahaan. Oleh karena itu, pemegang saham H tersebut tidak termasuk dalam
pengurus dan apabila pemegang saham H berkehendak untuk melaksanakan hak dan/atau
memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak PT I maka pemegang saham H tersebut harus
memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagai seorang kuasa dan terhadapnya harus diberikan
surat kuasa khusus oleh Wajib Pajak PT I.

5) Terdapat seorang manajer keuangan dari Wajib Pajak PT J yang terbukti sebagai
orang/pihak yang mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk membuat
perjanjian dengan rekanan/pihak ketiga, menandatangani cek, serta hal-hal lain yang
membuktikan bahwa manajer keuangan tersebut secara nyata memiliki wewenang dalam
menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan
kegiatan PT J. Hal tersebut juga dibuktikan dengan surat keterangan dari pimpinan yang
berwenang yang menjelaskan keadaan demikian. Dalam keadaan demikian, manajer
keuangan tersebut termasuk dalam pengertian pengurus dan apabila manajer keuangan
tersebut berkehendak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan
Wajib Pajak PT J maka manajer keuangan tersebut tidak perlu diberikan surat kuasa khusus
oleh Wajib Pajak PT J.

6) Terdapat seorang manajer operasional PT K yang terbukti sebagai pihak yang diberikan
tugas oleh Direktur Utama dari PT K untuk membuat dan menandatangani perjanjian dengan
rekanan/pihak ketiga dari Wajib Pajak PT K. Meskipun manajer operasional bertugas untuk
membuat dan menandatangani perjanjian dengan rekanan/pihak ketiga, namun manajer
operasional tersebut nyata-nyata terbukti bukan sebagai orang/pihak yang mempunyai
wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan. Pembuatan dan
penandatanganan perjanjian yang dilakukan oleh manajer operasional tersebut hanya sebagai
bentuk pelaksanaan tugas. Oleh karena itu, manajer operasional PT K tersebut tidak termasuk
dalam pengertian pengurus dan apabila manajer operasional PT K berkehendak untuk
melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak PT K maka
manajer operasional PT K tersebut harus memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagai
seorang kuasa dan terhadapnya harus diberikan surat kuasa khusus oleh Wajib Pajak PT K.

7) Sdr.L dan Sdr.N berkedudukan sebagai Direktur Utama dan pemegang saham atas Wajib
Pajak PT M. Kemudian Sdr.L dan Sdr.N mengadakan perjanjian (otentik maupun di bawah
tangan) dengan Sdr.O yang merupakan pihak lain di luar struktur organisasi PT M di mana
namanya tidak tercantum dalam akta pendirian perusahaan maupun daftar pemegang saham.
Dalam kenyataan sehari-hari, Sdr.O memiliki tugas, wewenang, dan tanggung jawab dalam
menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan
kegiatan perusahaan, menandatangani kontrak dengan pihak rekanan/pihak ketiga, dan
menandatangani cek. Dalam hal ini Sdr.O termasuk dalam pengertian pengurus dan apabila
Sdr.O tersebut berkehendak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban
perpajakan Wajib Pajak PT M maka Sdr.O tidak perlu diberikan surat kuasa khusus oleh
Wajib Pajak PT M.

8) Tn.P merupakan seseorang berkewarganegaraan Arab yang ingin berinvestasi di Indonesia


yang kepengurusannya dilakukan melalui sistem pelayanan terpadu satu pintu pada badan
yang bertugas melakukan koordinasi penanaman modal di Indonesia, Pendaftaran NPWP
dilakukan oleh Tn.P yang merupakan seseorang yang berwewenang dalam menentukan
kebijaksanaan pada saat pendaftaran tersebut. Dalam hal ini, Tn.P merupakan wakil Wajib
Pajak sehingga dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban pendaftaran tidak
memerlukan surat kuasa khusus.
9) Tn.Q merupakan seseorang berkewarganegaraan India yang bertempat tinggal di India.
Dalam hal ini, Tn.Q tidak memiliki NPWP, namun Tn. Q merupakan salah satu direksi atas
Wajib Pajak PT ABC. Dalam keadaan demikian, Tn.Q merupakan wakil Wajib Pajak
sehingga dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan PT ABC, tidak
memerlukan surat kuasa khusus. Dalam hal pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban
perpajakan yang memerlukan pengisian NPWP, maka kolom pengisian NPWP dapat diisi
dengan 00.000.000.0-000.000.

b. Kepala perwakilan, kepala cabang, dan penanggung jawab untuk Bentuk Usaha Tetap
(BUT) Terhadap BUT, pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu
dapat diwakili oleh kepala perwakilan, kepala cabang, dan/atau penanggung jawab dari BUT
tersebut yang terbukti nyata-nyata menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan
dalam rangka menjalankan kegiatan BUT di Indonesia, Sehingga kepala perwakilan, kepala
cabang, dan/atau penanggung jawab dari BUT tersebut tidak memerlukan adanya suatu surat
kuasa khusus.

Contoh:
Terdapat perusahaan pelayaran luar negeri yang berstatus Wajib Pajak BUT di Indonesia dan
sesuai ketentuan yang mengatur mengenai usaha pelayaran di Indonesia, perusahaan
pelayaran luar negeri tersebut wajib diwakili oleh perusahaan yang merupakan badan hukum
di Indonesia atau perusahaan pelayaran luar negeri tersebut wajib mendirikan perwakilannya
di Indonesia. Dalam hal ini, perusahaan pelayaran luar negeri tersebut telah menunjuk salah
satu pengurus PT Q selaku perwakilan dari perusahaan pelayaran luar negeri tersebut.
Sehingga salah satu pengurus PT Q tersebut dapat dikategorikan sebagai penanggung jawab
dari Wajib Pajak BUT perusahaan pelayaran luar negeri tersebut. Oleh karena itu, dalam
rangka melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib
Pajak BUT tersebut, salah satu pengurus PT Q yang ditunjuk tersebut tidak memerlukan
adanya suatu surat kuasa khusus. Penunjukan orang atau badan dalam negeri sebagai wakil
BUT, dibuktikan dengan dokumen yang diterbitkan oleh perusahaan luar negeri dan/atau
instansi yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Kurator untuk Wajib Pajak yang dinyatakan pailit

Contoh:
PT R dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga, kemudian pengadilan niaga
menunjuk dan mengangkat Sdr.S sebagai kurator untuk melakukan pengurusan dan
pemberesan harta debitur pailit (PT R). Dalam hal ini, Sdr.S selaku kurator PT R merupakan
wakil Wajib Pajak Badan sehingga tidak membutuhkan surat kuasa khusus dalam
pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan PT R.

d. Orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan untuk Wajib Pajak Badan
dalam hal pembubaran

Contoh:
Terdapat sebuah Wajib Pajak Badan dalam proses pembubaran berdasarkan penetapan
pengadilan negeri, kemudian pengadilan negeri menunjuk dan mengangkat Sdr.T untuk
melakukan pengurusan dan pemberesan harta Wajib Pajak Badan tersebut hingga selesainya
proses pembubaran. Dalam hal ini, Sdr.T merupakan wakil Wajib Pajak Badan sehingga
tidak membutuhkan surat kuasa khusus dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak Badan tersebut.
e. Likuidator untuk Wajib Pajak Badan dalam likuidasi

Contoh:
PT U merupakan perusahaan dalam proses likuidasi berdasarkan penetapan pengadilan
negeri, kemudian pengadilan negeri menunjuk dan mengangkat Sdr.V sebagai likuidator PT
U hingga selesainya proses likuidasi. Dalam hal ini, Sdr.V selaku likuidator PT U,
merupakan wakil Wajib Pajak Badan sehingga tidak membutuhkan surat kuasa khusus dalam
pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan PT U.

f. Salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalan untuk
suatu warisan yang belum terbagi

Contoh:
Sdr.W meninggal dunia pada tahun 2011 meninggalkan penghasilan pasif berupa deviden
yang berhak diterimanya setiap tahun. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban
perpajakan atas deviden tersebut dapat dilakukan oleh ahli warisnya tanpa menggunakan
surat kuasa khusus.

g. Wali untuk anak yang belum dewasa

Contoh:
Sdr.X merupakan seorang anak berumur 12 tahun yang memiliki penghasilan sebesar
Rp500.000.000,00 per tahun. Sdr.Y merupakan bapak kandung dari Sdr.X. Oleh karena itu,
pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan Sdr.X dapat dilakukan oleh
Sdr.Y tanpa membutuhkan surat kuasa khusus.

h. Pengampu untuk orang yang berada dalam pengampuan Pengampu bagi Wajib Pajak
Orang Pribadi yang tidak cakap hukum dilakukan berdasarkan penetapan dari pengadilan
negeri.

Contoh:
Sdr.Z merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak cakap hukum, atas hal tersebut
pengadilan negeri telah menetapkan Sdr.AB sebagai pengampu. Sdr.AB dapat melaksanakan
hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Sdr.Z tanpa membutuhkan surat kuasa khusus.

5. Pemberian 1 (satu) surat kuasa hanya dapat ditujukan terhadap pelaksanaan hak dan/atau
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang berkaitan dengan 1 (satu) jenis pajak
untuk 1 (satu) Tahun Pajak, atau 1 (satu) Bagian Tahun Pajak, atau 1 (satu)/beberapa Masa
Pajak, kecuali pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut dilakukan
untuk beberapa jenis pajak sebagai satu kesatuan.

Contoh:
a. Tindakan pemberian kuasa atas pengisian, penandatanganan, dan penyampaian SPT.
1) atas 1 (satu) atau beberapa SPT Masa dalam satu Tahun Pajak dengan 1 (satu) jenis pajak
yang sama dapat dilakukan dengan 1 (satu) surat kuasa khusus. Mekanisme penyampaian
surat kuasa dalam hal surat kuasa yang ditujukan terhadap pelaksanaan hak dan/atau
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang berkaitan dengan beberapa Masa Pajak
dalam 1 (satu) Tahun Pajak dilakukan dengan melampirkan asli surat kuasa pada penyerahan
pertama SPT masa dan untuk penyerahan selanjutnya dengan melampirkan fotokopi surat
kuasa.
Contoh:
a) PT X menggunakan tahun buku 1 Januari 2015 s.d. 31 Desember 2015, sehingga Tahun
Pajak 2015 mencakup 1 Januari 2015 s.d. 31 Desember 2015. Direktur PT X memberikan
kuasa kepada Sdr.Y untuk melakukan tindakan pengisian, penandatanganan, dan
penyampaian SPT PPN Masa Pajak Januari s.d. Desember 2015. Pemberian kuasa tersebut
dapat dilakukan dengan satu surat kuasa khusus. Penyampaian dilakukan dengan
melampirkan asli surat kuasa pada penyerahan pertama SPT masa dan untuk penyerahan
selanjutnya dengan melampirkan fotokopi surat kuasa. Apabila SPT Masa PPN untuk Masa
April 2015 disampaikan pertama kali, maka SPT Masa April 2015 harus dilampirkan dengan
surat kuasa asli dan SPT Masa Januari 2015 s.d. Maret 2016 dan Mei 2015 s.d. Desember
2015 cukup dilampirkan dengan fotokopi surat kuasa.

b) PT A menggunakan tahun buku 1 Oktober 2015 s.d. 30 September 2016 yang sudah
disetujui Direktur Jenderal Pajak, sehingga Tahun Pajak 2016 mencakup 1 Oktober 2015 s.d.
30 September 2016. Direktur PT A memberikan kuasa kepada Sdr.B untuk melakukan
tindakan pengisian, penandatanganan, dan penyampaian SPT PPN Masa Pajak Oktober 2015
s.d. September 2016. Pemberian kuasa tersebut dapat dilakukan dengan satu surat kuasa
khusus. Penyampaian dilakukan dengan melampirkan asli surat kuasa pada penyerahan
pertama SPT masa dan untuk penyerahan selanjutnya dengan melampirkan fotokopi surat
kuasa. Apabila SPT Masa PPN untuk Masa Oktober 2015 disampaikan pertama kali, maka
SPT Masa Oktober 2015 harus dilampirkan dengan surat kuasa asli dan SPT Masa November
2015 s.d. September 2016 cukup dilampirkan dengan fotokopi surat kuasa.

2) atas beberapa SPT Masa dalam 1 (satu) Tahun Pajak dengan beberapa jenis pajak yang
berbeda dilakukan dengan beberapa surat kuasa khusus yang berbeda.

Contoh:
Direktur PT X memberikan kuasa kepada Sdr.Y untuk melakukan tindakan pengisian,
penandatanganan, dan penyampaian SPT PPN Masa Pajak Desember 2015 dan SPT PPh
Pasal 23 Masa Pajak Desember 2015. Pemberian kuasa tersebut dilakukan dengan 2 (dua)
surat kuasa khusus yang berbeda.

3) atas SPT tahunan dalam 1 (satu) Tahun Pajak tertentu dilakukan dengan 1 (satu) surat
kuasa khusus.

Contoh:
a) Direktur PT X memberikan kuasa kepada Sdr.Y untuk melakukan tindakan pengisian,
penandatanganan, dan penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2015. Pemberian kuasa
tersebut dapat dilakukan dengan 1 (satu) surat kuasa khusus.

b) Apabila Direktur PT X ingin menguasakan pelaksanaan pengisian, penandatanganan, dan


penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2016 kepada Sdr.Y maka harus disertakan
dengan surat kuasa khusus baru yang berbeda dengan surat kuasa khusus pada contoh 3a di
atas.

b. Tindakan pemberian kuasa atas permohonan pemindahbukuan dan/atau proses


penyelesaiannya.

Contoh:
Direktur PT X memberikan kuasa kepada Y untuk mengajukan permohonan
pemindahbukuan PPh Pasal 23 ke SKPKB PPN Nomor 00001/207/15/XXX/16 hingga proses
penyelesaiannya. Pemberian kuasa atas permohonan pemindahbukuan hingga proses
penyelesaiannya dilakukan dengan 1 (satu) surat kuasa khusus untuk 1 (satu) permohonan.

c. Tindakan pemberian kuasa atas pemeriksaan beberapa jenis pajak.

Contoh:
1) Direktur PT X memberikan kuasa kepada Sdr.Y dalam pelaksanaan pemeriksaan seluruh
jenis pajak (all taxes) atas Tahun Pajak 2015 (Masa Pajak Januari s.d. Desember 2015)
dengan 1 (satu) Surat Perintah Pemeriksaan. Pemberian kuasa tersebut dilakukan dengan 1
(satu) surat kuasa khusus.

2) Direktur PT X memberikan kuasa kepada Sdr.Y dalam pelaksanaan pemeriksaan seluruh


jenis pajak (all taxes) atas 2 (dua) Tahun Pajak yaitu Tahun Pajak 2015 (Masa Pajak Januari
s.d. Desember 2015) dan Tahun Pajak 2016 (Masa Pajak Januari s.d. Desember 2016) dengan
2 (dua) Surat Perintah Pemeriksaan. Pemberian kuasa tersebut dilakukan dengan 2 (dua) surat
kuasa khusus yang berbeda.

d. Tindakan pemberian kuasa atas pengajuan keberatan dan/atau proses penyelesaiannya


dilakukan dengan 1 (satu) surat kuasa khusus untuk 1 (satu) surat keberatan.

Contoh:
Atas tindakan pemeriksaan tersebut Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan 5 (lima) buah
SKPKB, yaitu:
1) SKPKB Nomor 00002/207/15/XXX/16 untuk PPN Masa Pajak Januari s.d. Desember
2015;

2) SKPKB Nomor 00003/206/15/XXX/16 untuk PPh Pasal 25/29 Badan Tahun Pajak 2015;

3) SKPKB Nomor 00004/201/15/XXX/16 untuk PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari s.d.
Desember 2015;

4) SKPKB Nomor 00005/203/15/XXX/16 untuk PPh Pasal 23 Masa Pajak Januari s.d.
Desember 2015; dan

5) SKPKB Nomor 00006/204/15/XXX/16 untuk PPh Pasal 26 Masa Pajak Januari s.d.
Desember 2015.

Atas penerbitan 5 (lima) buah SKPKB tersebut, Direktur PT X berencana mengajukan


keberatan atas masing-masing SKPKB. Direktur PT X memberikan kuasa kepada Sdr.Y
untuk melakukan pengajuan keberatan atas 5 (lima) SKPKB tersebut sampai dengan proses
penyelesaiannya. Pemberian kuasa atas pengajuan 5 (lima) surat keberatan tersebut dilakukan
dengan menggunakan 5 (lima) surat kuasa khusus yang berbeda, di mana masing-masing
surat kuasa khusus digunakan untuk satu surat keberatan.

6. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang dapat
dilakukan oleh karyawan atau pihak lain tanpa memerlukan surat kuasa khusus tetapi
memerlukan surat penunjukan yang menjelaskan bahwa dirinya merupakan karyawan atau
pihak lain yang ditunjuk oleh Wajib Pajak atau seorang kuasa dengan menyesuaikan pada
format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
Seorang Kuasa:

penyampaian dan/atau penerimaan secara langsung dokumen perpajakan tertentu yang


diperlukan kepada dan/atau dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak, antara lain dokumen
bukti pembukuan untuk keperluan pemeriksaan; dan penyerahan SPT secara langsung
melalui tempat pelayanan terpadu.

Dalam hal penunjukan dilakukan oleh Wajib Pajak terhadap karyawannya, surat penunjukan
dapat diganti dengan kartu identitas yang menjelaskan bahwa dirinya merupakan karyawan
dari Wajib Pajak tersebut.

7. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan yang tidak memerlukan surat
kuasa khusus maupun surat penunjukan, tetapi memerlukan surat pemberitahuan PKP atau
Penunjukan Pejabat/Pegawai yang Berwenang Menandatangani Faktur Pajak:
Penandatanganan faktur pajak berbentuk hardcopy yang tidak dilakukan sendiri oleh Wajib
Pajak yang bersangkutan.

8. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan yang tidak memerlukan surat
kuasa khusus maupun surat penunjukan dan surat pemberitahuan:

penyetoran dan penandatanganan surat setoran pajak oleh orang yang bertindak sebagai
penyetor dan bertandatangan di surat setoran pajak; dan penyerahan dokumen lainnya selain
SPT, yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
dilakukan melalui tempat pelayanan terpadu.

9. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan yang tidak dapat dikuasakan
kepada pihak lain sehingga hanya dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak
itu sendiri:

a. kewajiban mendaftarkan diri bagi Wajib Pajak orang pribadi untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak dan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;

b. permintaan dan/atau pencabutan Sertifikat Elektronik;

c. permohonan aktivasi EFIN;

d. penyampaian pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


8 ayat (3) Undang-Undang KUP dan/atau proses penyelesaiannya;

e. permohonan untuk dapat dimintakan penghentian penyidikan untuk kepentingan


penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP dan/atau
proses penyelesaiannya; dan

f. pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu lainnya yang


berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dapat dikuasakan.

F. Ketentuan Lain-Lain
3. Pada saat Surat Edaran ini mulai berlaku, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-16/PJ./2008 tentang Penegasan sehubungan dengan Penunjukan Seorang
Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
4. Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Januari 2017
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

http://www.peraturanpajak.com
31 Januari 2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 03/PJ/2017

TENTANG

SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL (SPI)

TERHADAP PENATAUSAHAAN PIUTANGPAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan kebutuhan akan penyajian nilai piutang pajak yang akurat, lengkap, tepat
waktu, dan dapat diandalkan untuk keperluan pengambilan keputusan baik oleh pihak internal
maupun eksternal, perlu disusun Sistem Pengendalian Internal (SPI) terhadap Penatausahaan
Piutang Pajak dalam Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP).

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan
pedoman dalam rangka melaksanakan pengendalian terhadap penatausahaan piutang pajak.

2. Tujuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) dapat menyajikan nilai piutang pajak yang akurat, lengkap, tepat waktu, dan dapat
diandalkan.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi:

1. Prosedur Pengendalian Pembentukan Saldo Piutang Pajak.

2. Prosedur Pengendalian Penetapan Piutang Pajak:


a. Prosedur Pengendalian Penetapan Piutang Pajak Non-Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);

b. Prosedur Pengendalian Penetapan Piutang Pajak PBB.

3. Prosedur Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak:


a. Prosedur Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak Non-PBB;

b. Prosedur Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak PBB.

4. Prosedur Pengendalian Pelunasan Piutang Pajak.

5. Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi Sistem Pengendalian Internal terhadap Penatausahaan


Piutang Pajak.
D. Dasar Hukum

6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994;
9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 225/KMK.1/2016 tentang Uraian jabatan
Struktural di Lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;
10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KM.1/2015 tentang Uraian Jabatan
Struktural Instansi Vertikal dan Unit Pelaksana teknis di Lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak.

E. Materi

1. Ketentuan Umum
a. Sistem Pengendalian Internal (SPI) Penatausahaan Piutang Pajak adalah suatu prosedur
penatausahaan piutang pajak yang didesain secara terintegrasi dan saling berhubungan yang
dilaksanakan dengan tujuan memberikan keyakinan yang memadai terkait nilai piutang pajak
yang tersaji.

b. Saldo Awal Piutang Pajak adalah saldo akhir piutang pajak tahun anggaran sebelumnya
yang telah dilakukan pemeriksaan (audit) dan telah diterbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) yang
bersumber dari SIDJP.

c. Saldo Piutang Pajak Tahun Berjalan adalah saldo piutang pajak yang bersumber dari
penetapan, penyesuaian, dan penyelesaian suatu ketetapan yang terdapat dalam SIDJP.

d. Seksi terkait pemilik dokumen sumber adalah unit penerbit dokumen sumber yang menjadi
patokan dalam pembentukan saldo piutang pajak.

e. Pemindaian dokumen piutang pajak adalah sebuah proses untuk melakukan backup oleh
pemilik dokumen sumber terhadap dokumen piutang pajak secara digital.

f. Pengarsipan dokumen piutang pajak adalah penyimpanan dokumen fisik piutang pajak oleh
pemilik dokumen sumber dan seksi terkait.

2. Prosedur Pengendalian Pembentukan Saldo Piutang Pajak


a. Pembentukan saldo piutang pajak dilakukan secara berjenjang mulai dari:
1) Pembentukan saldo piutang pajak tingkat Kantor Pelayanan Pajak (KPP);
2) Pembentukan saldo piutang pajak tingkat Kantor Wilayah DJP; dan
3) Pembentukan saldo piutang pajak di Kantor Pusat DJP.

b. Saldo piutang pajak terbentuk berdasarkan penetapan suatu produk hukum, adanya
penyesuaian atas produk hukum, dan penyelesaian dari produk hukum tersebut. Saldo piutang
pajak terdapat dalam menu piutang pajak akrual pada informasi dan monitoring SIDJP.

c. Data saldo piutang pajak disampaikan ke SubBagian Umum dan Kepatuhan Internal oleh
Seksi Penagihan setiap semester untuk dilakukan perekaman pada aplikasi e-rekon untuk
membentuk Laporan Keuangan KPP

d. Prosedur Pengendalian Pembentukan Saldo Piutang Pajak sebagaimana dimaksud dalam


Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

3. Prosedur Pengendalian Penetapan Piutang Pajak


a. Penetapan Piutang Pajak Non-PBB
1) Administrasi penetapan piutang pajak adalah suatu proses untuk menetapkan jumlah utang
pajak Wajib Pajak yang sudah dapat diakui sebagai piutang pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan mencatatnya dengan sistematis.

2) Proses penetapan piutang pajak Non-PBB dimulai dengan perekaman data


ketetapan pajak yang diterbitkan oleh KPP, yang meliputi:
a) Penetapan surat ketetapan pajak (SKP);
b) Penetapan Surat Tagihan Pajak (STP).

3) Prosedur Pengendalian Penetapan Piutang Pajak Non-PBB sebagaimana


dimaksud dalam Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

b. Penetapan Piutang Pajak PBB


1) Proses penetapan piutang pajak PBB dimulai dari perekaman data ketetapan
yang diterbitkan oleh KPP, yang meliputi:
a) Penetapan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT);
b) Penetapan Surat Ketetapan Pajak (SKP) PBB;
c) Penetapan Surat Tagihan Pajak (STP) PBB.

2) Prosedur Pengendalian Penetapan Piutang Pajak PBB sebagaimana dimaksud


dalam Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

4. Prosedur Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak


a. Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak Non-PBB

1) Proses penyesuaian piutang pajak Non-PBB meliputi:


a) Surat Keputusan Keberatan;
b) Surat Pelaksanaan Putusan Gugatan/Banding/Peninjauan Kembali;
c) Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan dan Penghapusan Sanksi
Administrasi serta Surat Keputusan Pengurangan dan/atau Pembatalan Ketetapan Pajak;
d) Penghapusan Sanksi Administrasi Dalam Rangka Pengampunan Pajak.
2) Prosedur Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak Non-PBB sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran IV Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
b. Pengendalian Penyesuaian Piutang Pajak PBB

3. Proses penyesuaian piutang pajak PBB meliputi:


a) Surat Keputusan Pembetulan PBB (Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP));
b) Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi Pasal 19/20 Undang-Undang
PBB;
c) Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi/ Pembatalan
SKP PBB/STP PBB (Pasal 36 ayat (1) UU KUP);
d) Surat Keputusan Keberatan PBB;
e) Surat Pelaksanaan Putusan Gugatan/Banding/Peninjauan Kembali PBB.
4. Prosedur pengendalian penyesuaian piutang pajak PBB sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

5. Prosedur Pengendalian Pelunasan Piutang Pajak


a. Pengendalian Pelunasan Piutang Pajak meliputi:
1) Pembayaran Seluruh atau Sebagian;
2) Pemindahbukuan Non-PBB;
3) Pembayaran PBB Minyak Gas dan Panas Bumi dengan Pemindahbukuan;
4) Kompensasi Utang Pajak;
5) Penghapusan Piutang Pajak;
6) Penatausahaan Piutang Pajak Lainnya.

b Prosedur Pengendalian Pelunasan Piutang Pajak dilakukan sesuai dengan tata cara yang
diatur dalam Lampiran VI Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

6. Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi Sistem Pengendalian Internal terhadap Penatausahaan


Piutang Pajak
a. Kegiatan pemantauan dan evaluasi SPI terhadap Penatausahaan Piutang Pajak diatur oleh
Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) yang
dilaksanakan setiap bulan melalui kegiatan pemantauan berdasarkan Rencana Pemantauan
Tahunan;

b. Berdasarkan pemantauan dan evaluasi SPI, Unit Kepatuhan Internal KPP, Kantor Wilayah
DJP, dan Direktorat KITSDA memberikan keyakinan yang memadai mengenai ketaatan
prosedur pelaksanaan Penatausahaan Piutang pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

c. Unit Kepatuhan Internal membuat laporan pemantauan dan evaluasi atas SPI terhadap
Penatausahaan Piutang Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara berjenjang;

d. Direktorat KITSDA melakukan tindak lanjut laporan pemantauan dan evaluasi atas SPI
terhadap Penatausahaan Piutang pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

F. Lain-Lain

3. Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah DJP, dan Kantor Pusat DJP melakukan
pengendalian terkait piutang pajak berdasarkan tugas, pokok, dan fungsi masing-
masing.
4. Surat Edaran Direktur Jenderal ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Januari 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

http://www.peraturanpajak.com
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


____________________________________________________________________

6 Februari 2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 04/PJ/2017

TENTANG

PENENTUAN BENTUK USAHA TETAP BAGI SUBJEK PAJAK LUAR

NEGERI YANG MENYEDIAKAN LAYANAN APLIKASI DAN/ATAU

LAYANAN KONTEN MELALUI INTERNET

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Dalam rangka memberikan keseragaman dan petunjuk pelaksanaan terkait penentuan Bentuk
Usaha Tetap (BUT) bagi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang menyediakan layanan
aplikasi dan/atau layanan konten melalui internet (Layanan Over-The-Top/OTT), maka
diperlukan penegasan mengenai penentuan BUT dimaksud dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini disusun untuk memberikan panduan dan keseragaman
dalam penentuan keberadaan BUT terhadap SPLN yang menyediakan Layanan OTT di
Indonesia.

2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan petunjuk pelaksanaan kepada
unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengenai penentuan BUT bagi
SPLN yang menyediakan Layanan OTT di Indonesia.

C. Ruang Lingkup

Ruang Lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini adalah:

5. definisi
6. penentuan BUT menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berkaitan dengan
Layanan OTT;
7. penentuan BUT menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berkaitan
dengan Layanan OTT; dan
8. BUT bagi SPLN yang menyediakan Layanan OTT.

D. Dasar

5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP);
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
(Undang-Undang PPh);
7. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra (P3B); dan
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
Berjalan.

E. Materi

1. Definisi
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :
a. Layanan Over-The-Top yang selanjutnya disebut Layanan OTT meliputi Layanan
Aplikasi melalui Internet dan/atau Layanan Konten melalui Internet.

b. Layanan Aplikasi melalui Internet adalah penggunaan perangkat lunak yang


memungkinkan terjadinya layanan komunikasi dalam bentuk pesan singkat, panggilan suara,
panggilan video, surat elektronik, dan percakapan daring (chatting/instant messaging), serta
layanan transaksi finansial, transaksi komersial, penyimpanan dan pengambilan data, mesin
pencari, permainan (game), jejaring dan media sosial, termasuk turunannya dengan
memanfaatkan jasa akses internet melalui penyelenggara jaringan telekomunikasi.

c. Layanan Konten melalui Internet adalah penyediaan informasi digital yang dapat berbentuk
tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, permainan (game) atau kombinasi dari
sebagian dan/atau semuanya, termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming) atau diunduh
(download) dengan memanfaatkan jasa akses internet melalui penyelenggara jaringan
telekomunikasi.

2. Penentuan BUT menurut Undang-Undang PPh yang berkaitan dengan Layanan OTT
antara lain:
a. BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.

b. BUT sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat berupa:


1) tempat tetap seperti:
a) tempat kedudukan manajemen;
b) cabang perusahaan;
c) kantor perwakilan;
d) gedung kantor;
e) bengkel atau workshop;
f) gudang;
g) ruang untuk promosi dan penjualan;
h) komputer termasuk server dan pusat data;
i) agen elektronik,
j) peralatan otomatis lainnya, yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh SPLN untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia;

2) pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan (BUT
Jasa); dan

3) orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
(BUT Agen).

c. Agen elektronik sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1) adalah peralatan yang di
dalamnya terdapat program komputer yang dapat melakukan tindakan atau respon atas input
secara otomatis.

d. BUT berupa tempat tetap sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1) dapat juga
mencakup tempat lain sepanjang memenuhi ketentuan sebagai BUT sebagaimana dimaksud
pada huruf a dengan syarat tempat lain tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari SPLN.

e. BUT Jasa sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) dan BUT Agen sebagaimana
dimaksud pada huruf b angka 3) tidak mensyaratkan adanya tempat usaha yang bersifat
permanen.

f. Dalam hal terdapat BUT di Indonesia, perlakuan Pajak Penghasilan terhadap BUT
tersebut dipersamakan dengan Subjek Pajak badan dalam negeri.

g. Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (2a) Undang-Undang PPh dapat dilakukan tanpa memperhatikan keberadaan BUT SPLN
di Indonesia.

3. Penentuan BUT menurut P3B yang berkaitan dengan Layanan OTT antara lain:
a. Berdasarkan P3B, secara umum penentuan hak pemajakan atas laba usaha SPLN yang
berasal dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B adalah berdasarkan keberadaan BUT.
Laba usaha yang diterima atau diperoleh dari usaha atau kegiatan oleh SPLN hanya dapat
dikenai pajak di Indonesia sepanjang usaha atau kegiatan SPLN tersebut dilakukan melalui
BUT di Indonesia.

b. BUT adalah suatu tempat usaha tetap dimana seluruh atau sebagian usaha dari suatu
perusahaan dijalankan. Definisi ini mengandung adanya persyaratan:
1) keberadaan suatu tempat usaha (place of business) yang dapat berbentuk
tempat (premises), fasilitas (facilities), atau instalasi (installation);
2) keberadaan suatu tempat usaha tersebut bersifat tetap (fixed) atau permanen
yaitu diselenggarakan di suatu tempat tertentu yang tidak bersifat sementara; dan
3) tempat usaha yang bersifat tetap (fixed place of business) tersebut digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

c. Penentuan BUT dalam bentuk server yang berada di Indonesia dapat dilakukan
sepanjang SPLN menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui server tersebut.

d. BUT dapat berupa pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain
di Indonesia, sepanjang memenuhi ketentuan tentang time test dalam P3B antara Indonesia
dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra, atau adanya agen yang kedudukannya tidak bebas
di Indonesia yang mempunyai kewenangan atau melakukan kegiatan sebagaimana diatur
dalam P3B.

e. Penentuan keberadaan suatu BUT di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan


bahwa usaha atau kegiatan yang dilakukan SPLN tersebut tidak bersifat persiapan
(preparatory) atau penunjang (auxiliary).

4. BUT bagi SPLN yang menyediakan Layanan OTT dapat berupa:


a. tempat tetap yang dimiliki, disewa, atau dikuasai oleh SPLN atau pihak lain yang berada di
Indonesia, seperti tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan,
gedung kantor, bengkel atau workshop, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan,
komputer, server, pusat data, agen elektronik dan peralatan otomatis lainnya, yang digunakan
oleh SPLN yang menyediakan Layanan OTT untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia; atau

b. keberadaan pegawai SPLN atau pihak lain yang bertindak untuk atau atas nama SPLN
yang menyediakan Layanan OTT untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka
3

F. Penutup

Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, diminta agar seluruh unit kerja di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pengawasan sehubungan dengan
pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal ini di wilayah kerja masing-masing.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Februari 2017
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

http://www.peraturanpajak.com
SURAT EDARAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 24 TAHUN 2017

TENTANG

PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI BAGI


APARATUR

SIPIL NEGARA, PRAJURIT TNI DAN ANGGOTA POLRI TAHUN PAJAK 2016
MELALUI

E- FILING DAN HIMBAUAN MENGIKUTI AMNESTI PAJAK

Diberitahukan dengan hormat bahwa dalam rangka meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak
Orang Pribadi, terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
sebagaimana surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan reformasi Birokrasi
Nomor 02/M.PAN/3/2009 dan Nomor 8 Tahun 2015 serta dengan memperhatikan surat
Menteri Keuangan Nomor S-139/MK.03/2017, tanggal 21 Februari 2017, agar Aparatur Sipil
Negara, Prajurit TNI dan Anggota Polri memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

6. Aparatur Sipil Negara, Prajurit TNI dan Anggota Polri wajib menaati dan mematuhi
peraturan perundang-undangan perpajakan, salah satunya menyampaikan SPT
Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun 2016 melalui e-filing.
7. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memberikan kemudahan pelaporan
e-filing secara gratis melalui situs http://djponline.pajak.go.id.
8. Aparatur Sipil Negara, Prajurit TNI dan Anggota Polri yang memiliki penghasilan
lain berupa usaha atau lebih dari 1(satu) pemberi kerja dan jumlah bruto > Rp.
60.000.000,- (enam puluh juta) agar menggunakan form 1770s. Sedangkan bagi yang
tidak memiliki penghasilan lain dan bruto menggunakan form 1770SS.
9. Menghimbau kepada Aparatur Sipil Negara, Prajurit TNI dan Anggota Polri untuk
memanfaatkan Amnesti Pajak yang akan berakhir per-31 Maret 2017.
10. Dengan ketaatan dan kepatuhan Aparatur Sipil Negara, Prajurit TNI dan Anggota
Polri sebagaimana tersebut di atas, diharapkan kiranya dapat menjadi contoh teladan
bagi masyarakat.

Atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan terima kasih.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Maret 2016
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi,

ttd

Asman Abnur
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN

NOMOR 8/SEOJK.04/2017

TENTANG

TATA CARA PERHITUNGAN MODAL KERJA BERSIH DISESUAIKAN BAGI

PERANTARA PEDAGANG EFEK YANG DITUNJUK SEBAGAI GATEWAY YANG

MELAKUKAN TRANSAKSI EFEK UNTUK KEPENTINGAN NASABAH DALAM

RANGKA PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

PENGAMPUNAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Dalam rangka mendukung tugas Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk sebagai gateway
dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5899), perlu diatur secara khusus mengenai tata cara
perhitungan Modal Kerja Bersih Disesuaikan pada akun Utang Lembaga Kliring Penjaminan
dan akun Utang Nasabah Pemilik Rekening yang timbul sebagai akibat transaksi nasabah
Perantara Pedagang Efek Gateway, dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai
berikut:

I. KETENTUAN UMUM

Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan:

a. Modal Kerja Bersih Disesuaikan yang selanjutnya disingkat MKBD adalah jumlah aset
lancar Perusahaan Efek dikurangi dengan seluruh liabilitas Perusahaan Efek dan ranking
liabilities, ditambah dengan utang sub ordinasi, serta dilakukan penyesuaian lainnya.

b. Perantara Pedagang Efek Gateway yang selanjutnya disebut PPE Gateway adalah
Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai
gateway untuk penempatan dan pengelolaan dana Wajib Pajak pada instrumen investasi
dalam rangka pelaksanaan Pengampunan Pajak.

c. Sistem Pusat Pelaporan MKBD yang selanjutnya disingkat SPP-MKBD adalah sistem yang
dikelola oleh PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia yang digunakan untuk menyampaikan
laporan MKBD oleh Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Nomor
Kep-22/BL/2012 tanggal 30 Januari 2012 tentang Penunjukan PT Kliring Penjaminan Efek
Indonesia sebagai Penerima Laporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan.

II. TATA CARA PERHITUNGAN MKBD TERKAIT TRANSAKSI NASABAH DALAM


RANGKA PELAKSANAAN PENGAMPUNAN PAJAK
a. Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah wajib memiliki MKBD paling sedikit sebesar
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau 6,25% (enam koma dua lima
persen) dari total liabilitas tanpa utang sub ordinasi dan utang dalam rangka penawaran
umum/penawaran terbatas ditambah ranking liabilities, mana yang lebih tinggi.

b. Ketentuan tata cara perhitungan MKBD berdasarkan Surat Edaran Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor SE-07/BL/2011 tentang Pedoman Penyusunan
Formulir-Formulir Modal Kerja Bersih Disesuaikan tetap berlaku bagi PPE Gateway
sepanjang tidak diatur lain dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.

c. Sub Akun Utang Transaksi Bursa dari Akun Utang Lembaga Kliring dan Penjaminan
(Baris 129) dan Sub-Sub Akun Transaksi Jual Efek dari Sub Akun Utang Nasabah Pemilik
Rekening Efek (Baris 133) sebagaimana dimaksud dalam Formulir V.D.5-2 tentang Laporan
Neraca Percobaan Harian Liabilitas dan Ekuitas yang merupakan lampiran dari Surat
Edaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor SE-07/BL/2011
tentang Pedoman Penyusunan Formulir-Formulir Modal Kerja Bersih Disesuaikan yang
timbul sebagai akibat transaksi nasabah PPE Gateway, tidak diperhitungkan dalam
perhitungan 6,25% (enam koma dua lima persen) dari total liabilitas tanpa utang sub ordinasi
dan utang dalam rangka penawaran umum/penawaran terbatas ditambah ranking liabilities
PPE Gateway pada saat verifikasi atas MKBD PPE Gateway.

d. Ketentuan dalam angka 3 di atas hanya berlaku jika dana dan/atau Efek nasabah PPE
Gateway dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak yang digunakan sebagai jaminan
penyelesaian transaksi nasabah tersebut disimpan di dalam sub rekening Efek dan/atau
rekening dana nasabah yang berada dalam pengendalian PPE Gateway.

III. VALIDASI DAN VERIFIKASI PELAPORAN MKBD PPE GATEWAY

Dalam hal validasi oleh SPP-MKBD atas laporan MKBD PPE Gateway sebagaimana
dimaksud dalam Surat Edaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
02/BL/2012 tentang Penjelasan Tambahan atas SE Nomor 07/BL/2011 dan Validasi
Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan menunjukan ketidakcukupan nilai MKBD yang
dilaporkan terhadap nilai MKBD yang dipersyaratkan dalam angka II angka 1, PPE Gateway
wajib menyampaikan kepada Bursa Efek dan pengelola SPP-MKBD, dokumen dan catatan
perhitungan yang menunjukkan besaran nilai kewajiban (liabilitas) serta didukung dengan
rincian transaksi atas nilai liabilitas tersebut yang terjadi karena transaksi nasabah PPE
Gateway dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak dengan memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam angka II angka 3.

Penyampaian dokumen dan catatan perhitungan atas ketidakcukupan nilai MKBD


sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

5. PPE Gateway melaporkan dokumen dan catatan perhitungan yang menunjukkan


besaran nilai kewajiban (liabilitas) nasabah PPE Gateway dalam rangka pelaksanaan
pengampunan pajak, yang didukung dengan rincian transaksi yang dilakukan oleh
nasabah atas nilai liabilitas tersebut kepada Bursa Efek dan pengelola SPP-MKBD
sesuai dengan batas waktu pelaporan MKBD sebagaimana diatur dalam Peraturan
Nomor V.D.5, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-566/BL/2011 tanggal 31 Oktober 2011 tentang
Pemeliharaan dan Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan.
6. Pengelola SPP-MKBD wajib melakukan verifikasi atas laporan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan berkoordinasi dengan Bursa Efek terhadap nilai
minimum MKBD PPE Gateway yang disebabkan oleh transaksi nasabah PPE
Gateway dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak.
7. Dalam hal nilai MKBD dari PPE Gateway yang telah dilakukan verifikasi
berdasarkan laporan dokumen dan catatan atas total liabilitas yang dilakukan nasabah
dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak tersebut masih di bawah nilai
minimum MKBD yang dipersyaratkan, maka PPE Gateway dimaksud dilarang
melakukan transaksi bursa oleh Bursa Efek sebagaimana diatur dalam ketentuan
angka 4 huruf d Peraturan Nomor V.D.5, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-566/BL/2011 tanggal 31 Oktober
2011 tentang Pemeliharaan Dan Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan.
8. Dalam hal PPE Gateway tidak menyampaikan dokumen dan catatan perhitungan total
liabilitas terkait transaksi nasabah dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak
sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perhitungan nilai
MKBD harian PPE Gateway sesuai dengan validasi SPP-MKBD.

IV. PENUTUP
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Februari 2017
KEPALA EKSEKUTIF
PENGAWAS PASAR MODAL,

ttd

NURHAIDA
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK


_____________________________________________________________________

03 Maret 2017

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 05/PJ/2017

TENTANG

PEMBERITAHUAN BERLAKUNYA PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH


REPUBLIK

INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT LAOS


MENGENAI

PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK


YANG

BERHUBUNGAN DENGAN PAJAK-PAJAK ATAS PENGHASILAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan telah selesainya prosedur ratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia
dan Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Laos atas Persetujuan antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Laos mengenai
Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak yang Berhubungan dengan
Pajak-pajak atas Penghasilan (P3B Indonesia-Laos) dan juga prosedur pemberitahuan
sebagaimana yang dipersyaratkan, perlu diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
sebagai pemberitahuan saat berlaku dan berlaku efektifnya P3B Indonesia-Laos.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberitahukan seluruh jajaran Direktorat Jenderal
Pajak mengenai saat berlaku dan berlaku efektifnya P3B Indonesia-Laos.

2. Tujuan

Surat Edaran ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam P3B
Indonesia-Laos dapat berjalan sebagaimana mestinya.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi proses ratifikasi P3B Indonesia-Laos, proses
pemberitahuan mengenai telah selesainya prosedur internal masing-masing pihak dalam
rangka pemberlakuan P3B Indonesia-Laos, saat berlaku dan berlaku efektifnya P3B
Indonesia-Laos, dan hal-hal pokok yang diatur di dalam P3B Indonesia-Laos.

D. Dasar

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah


beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
5. Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik
Demokrasi Rakyat Laos mengenai Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan
Pengelakan Pajak yang Berhubungan dengan Pajak-pajak atas Penghasilan
(Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
Government of the Lao Peoples Democratic Republic for the Avoidance of Double
Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income).
6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2016 tentang Pengesahan
Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik
Demokrasi Rakyat Laos mengenai Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan
Pengelakan Pajak yang Berhubungan dengan Pajak-pajak atas Penghasilan
(Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
Government of the Lao Peoples Democratic Republic for the Avoidance of Double
Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income).

E. Materi dan Penjelasan

4. P3B Indonesia-Laos ditandatangani di Vientiane pada tanggal 8 September 2011 dan


telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Laos
mengenai Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak yang
Berhubungan dengan Pajak-pajak atas Penghasilan (Agreement between the
Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Lao Peoples
Democratic Republic for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of
Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income).
5. Pada tanggal 2 Oktober 2016, Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Laos melalui
Kedutaan Besar Republik Demokrasi Rakyat Laos memberitahukan Pemerintah
Republik Indonesia bahwa Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Laos telah
memenuhi persyaratan internalnya dalam rangka pemberlakuan P3B Indonesia-Laos.
Di lain pihak, Pemerintah Republik Indonesia juga telah mengirimkan pemberitahuan
kepada Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Laos melalui nota diplomatik tanggal
11 Oktober 2016 mengenai telah selesainya prosedur internal yang diperlukan dalam
rangka pemberlakuan P3B Indonesia-Laos. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 29
P3B Indonesia-Laos, saat mulai berlaku (entry into force) P3B Indonesia-Laos adalah
sejak tanggal terakhir pemberitahuan tertulis, yaitu tanggal 11 Oktober 2016.
6. Berdasarkan Pasal 29 P3B Indonesia-Laos, ketentuan-ketentuan dalam P3B tersebut
berlaku efektif sebagai berikut:
a. di Indonesia:
1) sehubungan dengan pajak yang dipotong pada sumbernya, atas penghasilan yang diperoleh
pada atau setelah tanggal 1 Januari 2017; dan

2) sehubungan dengan pajak-pajak lainnya, atas pajak yang dapat dikenakan di tiap tahun
pajak yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2018 dan
tahun-tahun pajak berikutnya; dan

b. di Laos:
1) sehubungan dengan pajak yang dipotong pada sumbernya, atas penghasilan yang diperoleh
pada atau setelah tanggal 1 Januari 2017; dan

2) sehubungan dengan pajak-pajak lainnya, atas pajak yang dapat dikenakan di tiap tahun
pajak yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2018 dan tahun-tahun pajak berikutnya.

4. Hal-hal pokok yang diatur dalam P3B Indonesia-Laos antara lain adalah hak pemajakan
bagi Indonesia sebagai berikut:
a. penghasilan berupa dividen:
1) tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto penghasilan berupa dividen jika
diterima/diperoleh oleh pemilik manfaat sebenarnya (beneficial owner) yang merupakan
perusahaan (selain persekutuan atau partnership) yang memiliki secara langsung paling
sedikit 10% (sepuluh persen) dari modal perusahaan yang membayar dividen; atau

2) tarif 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto penghasilan berupa dividen untuk kasus
atau keadaan selain pada butir 1);

b. tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto penghasilan berupa bunga jika diterima atau
diperoleh pemilik manfaat sebenarnya (beneficial owner)

c. tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto penghasilan berupa royalti yang diterima atau
diperoleh pemilik manfaat sebenarnya (beneficial owner); dan

d. tarif 10% (sepuluh persen) dari Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak dari suatu
Bentuk Usaha Tetap (branch profit tax).

5. Tarif branch profit tax sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf d tidak mempengaruhi
ketentuan yang terdapat dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) sektor
minyak dan gas, dan kontrak karya di bidang pertambangan lainnya, yang dibuat oleh Negara
pihak pada P3B Indonesia-Laos, perusahaan minyak dan gas milik negara atau badan-badan
lainnya dengan orang atau badan yang merupakan penduduk dari Negara pihak lainnya pada
P3B Indonesia-Laos.

6. Penduduk yang dapat memanfaatkan P3B Indonesia-Laos adalah penduduk dari Republik
Indonesia atau Republik Demokrasi Rakyat Laos yang dibuktikan dengan Surat Keterangan
Domisili sesuai ketentuan yang berlaku.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Maret 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001
Tembusan :

5. Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan


6. Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan
7. Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan
8. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian
Keuangan

http://www.peraturanpajak.com
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 09/PJ/2017

TENTANG

TATA CARA PENERIMAAN DAN PENATAUSAHAAN LAPORAN WAJIB PAJAK

DALAM RANGKA PENGAMPUNAN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Wajib Pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan Pengampunan Pajak memiliki
kewajiban untuk menyampaikan:

3. Laporan Pengalihan dan Realisasi Investasi Harta Tambahan; dan


4. Laporan Penempatan Harta Tambahan yang Berada di dalam Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Berkenaan dengan hal tersebut, perlu diatur lebih lanjut tentang tata cara penerimaan dan
penatausahaan laporan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan sebagai pedoman penerimaan dan
penatausahaan laporan yang disampaikan Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar dalam rangka Pengampunan Pajak.

2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan keseragaman dan tertib
administrasi dalam menerima dan menatausahakan laporan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:

5. Pengertian;
6. Ketentuan umum;
7. Penerimaan dan penatausahaan laporan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan
Pajak di Kantor Pelayanan Pajak; dan
8. Pengemasan dan penyampaian laporan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan
Pajak ke Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.

D. Dasar

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.


5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2016.
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2017 tentang Tata Cara
Pelaporan dan Pengawasan Harta Tambahan Dalam Rangka Pengampunan Pajak.

E. Materi

1. Pengertian
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:

Kantor Pelayanan Pajak Tempat Wajib Pajak Terdaftar yang selanjutnya disebut KPP
Tempat Wajib Pajak Terdaftar adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
memenuhi kewajiban perpajakan Pajak Penghasilan Sadan atau Pajak Penghasilan
Orang Pribadi.
Laporan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut
Laporan Wajib Pajak adalah laporan yang disampaikan oleh Wajib Pajak ke KPP
Tempat Wajib Pajak Terdaftar yang terdiri dari Laporan Penempatan Harta Tambahan
yang Berada di dalam Wilayah NKRI dan Laporan Pengalihan dan Realisasi lnvestasi
Harta Tambahan.
Laporan Pengalihan dan Realisasi Investasi Harta Tambahan adalah laporan yang
disampaikan oleh Wajib Pajak dengan contoh format sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2017.
Laporan Penempatan Harta Tambahan yang Berada di dalam Wilayah NKRI adalah
laporan yang disampaikan oleh Wajib Pajak dengan contoh format sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
03/PJ/2017.
Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Makassar yang selanjutnya
disebut KPDDP Makassar adalah unit pelaksana teknis yang melaksanakan
penyimpanan dokumen Pengampunan Pajak.

2. Ketentuan Umum
a. Laporan Wajib Pajak disampaikan dalam bentuk:
1) formulir kertas (hardcopy) dan salinan digital (softcopy), dalam hal disampaikan ke KPP
Tempat Wajib Pajak Terdaftar secara langsung; atau
2) dokumen elektronik, dalam hal disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi.

b. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan paling lambat pada saat
berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan:
1) Tahun Pajak 2017, untuk laporan yang disampaikan pertama kali; dan
2) Tahun Pajak 2018 dan seterusnya, untuk penyampaian laporan tahun kedua dan
seterusnya.

3. Penerimaan dan Penatausahaan Laporan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak di
Kantor Pelayanan Pajak

a.) Petugas Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar menerima
Laporan Wajib Pajak yang disampaikan secara langsung oleh Wajib Pajak atau kuasanya.
b.) Kuasa Wajib Pajak yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
harus melampirkan surat kuasa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
Pengampunan Pajak.

c.) Atas setiap laporan yang diterima, Petugas TPT melakukan penelitian kesesuaian antara
formulir kertas (hardcopy) dengan salinan digital (softcopy).

d.) Dalam hal berdasarkan penelitian ditemukan bahwa Laporan Wajib Pajak yang
disampaikan tidak sesuai dengan ketentuan atau terdapat ketidaksesuaian pengisian antara
formulir kertas (hardcopy) dengan salinan digital (softcopy), laporan tersebut dikembalikan
kepada Wajib Pajak atau kuasanya.

e.) Petugas TPT mencetak tanda terima laporan melalui Aplikasi Pengampunan Pajak dan
menyerahkannya kepada Wajib Pajak atau kuasanya.

f.) Laporan Wajib Pajak yang telah diterbitkan tanda terima, diserahkan kepada Seksi
Pengolahan Data dan Informasi (POI) untuk ditatausahakan hingga siap untuk dikemas dan
dikirim ke KPDDP Makassar.

g.) Tata cara penerimaan dan penatausahaan Laporan Wajib Pajak dalam rangka
Pengampunan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal ini.

4. Pengemasan dan Penyampaian Laporan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak ke
Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan

a.) Seksi PDI menerima berkas Laporan Wajib Pajak yang telah diterbitkan tanda terima
untuk dikemas dan dikirim ke KPDDP Makassar.

b.) KPDDP Makassar membuat jadwal penyampaian Laporan Wajib Pajak secara periodik
berdasarkan data monitoring pada Aplikasi Pengemasan di KPP Tempat Wajib Pajak
Terdaftar, dan mengirimkan jadwal tersebut kepada Kepala KPP Tempat Wajib Pajak
Terdaftar.

c.) Kepala KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar menugaskan petugas pengantar untuk
menyampaikan berkas Laporan Wajib Pajak ke KPDDP Makassar.

d.) Petugas pengantar menyampaikan secara langsung Laporan Wajib Pajak ke KPDDP
Makassar dan wajib menjaga keamanan dan kerahasiaan laporan dimaksud.

e.) Tata cara pengemasan dan Penyampaian Laporan Wajib Pajak ke KPDDP Makassar
adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

F. Ketentuan Lain-lain

7. Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi dan Direktorat


Teknologi lnformasi Perpajakan berwenang menentukan kebijakan teknis terkait
sistem teknologi informasi dalam rangka mendukung pelaksanaan penerimaan dan
penatausahaan Laporan Wajib Pajak.
8. Terhadap Laporan Wajib Pajak yang disampaikan sebelum berlakunya Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2017, dilakukan pengemasan dan
disampaikan ke KPDDP Makassar dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.
9. Berkas Laporan Wajib Pajak yang diterima oleh KPDDP Makassar ditindaklanjuti
sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-36/PJ/2016 tentang
Petunjuk Pengelolaan Dokumen Pengampunan Pajak di Kantor Pengolahan Data dan
Dokumen Perpajakan.
10. Kepala KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar menunjuk pegawai sebagai petugas
pengantar yang bertanggung jawab untuk menyampaikan kemasan Laporan Wajib
Pajak secara langsung.
11. Formulir yang digunakan dalam rangka penerimaan dan penatausahaan Laporan
Wajib Pajak adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
12. Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk dilaksanakan sebagaimana
mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

http://www.peraturanpajak.com
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 10/PJ/2017

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN LAPANGAN

DALAM RANGKA PEMERIKSAAN UNTUK MENGUJI KEPATUHAN PEMENUHAN

KEWAJIBAN PERPAJAKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Salah satu ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang
Tata Cara Pemeriksaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 184/PMK.03/2015 adalah mengenai Pemeriksaan Lapangan, yaitu Pemeriksaan yang
dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa
Pajak.

Dalam rangka meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak terhadap institusi Direktorat Jenderal
Pajak sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, menjaga integritas dan
profesionalisme Pemeriksa Pajak sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan,
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan, serta untuk
meningkatkan kualitas temuan hasil pemeriksaan sehingga menghasilkan surat ketetapan
pajak yang dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan petunjuk teknis atas ketentuan yang
mengatur mengenai prosedur Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Penguatan proses persiapan pemeriksaan, prosedur pemanggilan Wajib Pajak sebagai awal
dimulainya pemeriksaan, optimalisasi hak Wajib Pajak untuk mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan dan melembagakan proses pembahasan
internal draft temuan sementara sebelum pemberitahuan ke Wajib Pajak merupakan prosedur
baru yang ditekankan untuk mencapai tujuan tersebut di atas. Oleh karena itu diperlukan
penjabaran lebih lanjut dari ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan dan kebijakan
pemeriksaan serta ketentuan pelaksanaan pemeriksaan lainnya agar prosedur tersebut dapat
dilaksanakan. Untuk keperluan ini, dipandang perlu untuk menerbitkan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan
untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberikan petunjuk teknis bagi Pemeriksa Pajak
dalam melakukan kegiatan Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan baik yang dilaksanakan di tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak,
dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak.

2. Tujuan
Surat Edaran ini disusun dengan tujuan:

meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak terhadap institusi Direktorat Jenderal Pajak


dalam pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan;
menjaga integritas dan profesionalisme Pemeriksa Pajak dalam melaksanakan
kegiatan Pemeriksaan Lapangan;
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan;
mengoptimalkan Pemeriksaan melalui kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang didapatkan melalui Pemeriksaan Lapangan; dan
meningkatkan kualitas temuan hasil pemeriksaan sehingga menghasilkan surat
ketetapan pajak yang dapat dipertanggungjawabkan.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi petunjuk teknis kegiatan Pemeriksaan Lapangan
dalam rangka Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
yang terdiri dari:

Penegasan Dasar Hukum;


Persiapan Pemeriksaan;
Pemanggilan dan Pertemuan dengan Wajib Pajak di Kantor Direktorat Jenderal Pajak;
Permintaan Tertulis kepada Pihak Ketiga;
Pelaksanaan Pengujian di Tempat Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan Lapangan;
Perolehan Data dalam Bentuk Elektronik;
Penyegelan;
Tindak Lanjut Pemeriksaan Setelah Pengujian di Tempat Wajib Pajak; dan
Pembahasan Temuan Sementara Hasil Pemeriksaan.

D. Dasar

8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2015;
11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Permintaan
Keterangan atau Bukti dari Pihak-Pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
235/PMK.03/2016;
12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
13. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 12/KMK.03/2017 tentang Penetapan Aplikasi,
Prosedur Pengajuan, Tata Naskah Dinas Elektronik, dan Kode Khusus Naskah Dinas,
Usulan pembukaan Rahasia Bank Secara Elektronik.
14. PER-07/PJ/2017 tentang Pedoman Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan
untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

E. Materi

Prosedur Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan


pemenuhan kewajiban perpajakan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 (selanjutnya disebut PMK Nomor
17/PMK.03/2013 stdd PMK Nomor 184/PMK.03/2015), ketentuan yang mengatur mengenai
Kebijakan Pemeriksaan, dan ketentuan pelaksanaan Pemeriksaan lainnya.

Dalam pelaksanaannya, diperlukan beberapa penegasan dan penguatan atas prosedur


Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan sebagai bentuk penjabaran lebih lanjut dari PMK Nomor
17/PMK.03/2013 stdd PMK Nomor 184/PMK.03/2015 sebagai berikut:

1. Penegasan Dasar Hukum


a. Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut Undang-Undang KUP) mengatur bahwa
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

b. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Wajib Pajak yang diperiksa
wajib:
1) memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

2) memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau

3) memberikan keterangan lain yang diperlukan.

c. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang KUP mengatur bahwa apabila dalam mengungkapkan
pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat
oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu
ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.

d. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak
berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak
dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasai 29 ayat (3) huruf b.
e. Pasal 11 huruf a PMK Nomor 17/PMK.03/2013 stdd PMK Nomor 184/PMK.03/2015
mengatur bahwa dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan, Pemeriksa Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis
Pemeriksaan Lapangan.

f Pasal 27 ayat (1) PMK Nomor 17/PMK.03/2013 stdd PMK Nomor 184/PMK.03/2015
mengatur bahwa dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan, Pemeriksa Pajak wajib melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak.

g Pasal 1 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-07/PJ/2017 tentang
Pedoman Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan mengatur bahwa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Lapangan disampaikan melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa
pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.

2. Persiapan Pemeriksaan
Sesuai standar pelaksanaan pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan harus didahului dengan persiapan yang baik sesuai dengan
tujuan pemeriksaan. Dalam rangka peningkatan efektivitas dan efisiensi Pemeriksaan,
tahapan persiapan pemeriksaan yang dilakukan antara lain:

a. Pemeriksa Pajak mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak yang dilakukan di
kantor, antara lain melalui kegiatan:
1) wawancara dengan Account Representative yang melakukan pengawasan terhadap Wajib
Pajak yang akan dilakukan pemeriksaan dalam hal diperlukan, untuk mengetahui profil Wajib
Pajak, proses bisnis Wajib Pajak, laporan keuangan, data Surat Pemberitahuan (SPT),
Laporan Hasil Pemeriksaan tahun sebelumnya, dan data lain yang diperlukan. Hasil
wawancara dengan Account Representative dituangkan dalam Berita Acara Hasil Wawancara
sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

2) pengumpulan data baik internal maupun eksternal dan informasi lainnya mengenai Wajib
Pajak, antara lain:
a) data kependudukan;
b) data dari internet;
c) data validasi alamat melalui 108; dan/atau
d) data bidang usaha dan contact person dari database B2B, Orbis, OSIRIS/ORIANA.

b. Pemeriksa Pajak mengumpulkan data dan informasi di lapangan melalui kegiatan observasi
lapangan.

Dalam rangka mengoptimalkan perolehan data, dokumen, dan informasi, Pemeriksa Pajak
dapat melakukan observasi lapangan antara lain mengenai:
1) keberadaan orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Lapangan dan pihak
terkait;

2) keberadaan dokumen atau data, termasuk penyimpanan dokumen, kapasitas kegiatan


usaha, data pemasok dan pelanggan, dokumen-dokumen yang digunakan oleh Wajib Pajak;
3) situasi dan kondisi di lokasi yang akan dilakukan Pemeriksaan Lapangan;

4) alat/sarana yang diperlukan dalam Pemeriksaan Lapangan;

5) kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) yang diperlukan untuk membantu pelaksanaan
Pemeriksaan Lapangan;

6) kebutuhan bantuan pengamanan dari aparat yang berwenang, dan

7) modus penyelewengan atau penghindaran pajak yang mungkin dilakukan oleh Wajib
Pajak.

c. Pemeriksa Pajak menyusun rencana pemeriksaan (audit plan) dan program pemeriksaan
(audit program) sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai rencana pemeriksaan dan
program pemeriksaan berdasarkan hasil kegiatan pengumpulan data dan informasi
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b.

d. Pemeriksa Pajak menyiapkan sarana dan prasarana sebelum Pemeriksaan dimulai.


Penyiapan sarana dan prasarana sebelum Pemeriksaan dimulai meliputi hal-halsebagai
berikut:
1) Melakukan inventarisir dan memastikan berkas Wajib Pajak yang akan dilakukan
Pemeriksaan telah lengkap. Dalam hal berkas Wajib Pajak belum lengkap, Pemeriksa Pajak
dapat melakukan peminjaman berkas kepada Unit kerja terkait di lingkungan DJP;

2) Kelengkapan berkas Wajib Pajak sebagaimana angka 1) harus menyesuaikan dengan risiko
yang telah diidentifikasi pada Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) dan memperhatikan Teknik
Pemeriksaan minimal yang akan dilakukan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak nomor SE-04/PJ/2012 tentang Pedoman Penyusunan Program Pemeriksaan
untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;

3) Mempersiapkan sarana Pemeriksaan antara lain kartu tanda pengenal Pemeriksa Pajak,
formulir-formulir yang diperlukan dalam proses pemeriksaan lapangan termasuk pakta
integritas, tanda segel; dan

4) Menyiapkan sarana dan prasarana pendukung Pemeriksaan (audit tools) dalam hal
diperlukan, seperti:
a) Permintaan tenaga ahli yang dibutuhkan, seperti tenaga ahli bahasa, penilai, ahli IT, ahli
Transfer Pricing;

b) Aplikasi pendukung pemeriksaan dan/atau peralatan yang dibutuhkan;

c) Data pembanding transaksi.

3. Pemanggilan dari Pertemuan dengan Wajib Pajak di Kantor Direktorat Jenderal Pajak
a. Penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan
1) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan melalui faksimili, pos dengan
bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan DirekturJenderal Pajak nomor PER-07/PJ/2017.
2) Dengan disampaikannya Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana
dimaksud pada angka 1), Wajib Pajak tidak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang
telah disampaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang KUP.

3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan bersamaan dengan surat


panggilan kepada Wajib Pajak.

4) Untuk memastikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dan surat panggilan


sebagaimana dimaksud pada angka 3) diterima oleh Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak
melakukan konfirmasi kepada Wajib Pajak melalui telepon, email atau Saluran komunikasi
lainnya,

b. Pemanggilan Wajib Pajak yang diperiksa ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak


1) Surat panggilan kepada Wajib Pajak merupakan surat yang digunakan Pemeriksa Pajak
untuk memanggil Wajib Pajak ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai prosedur
awal Pemeriksaan Lapangan.

2) Surat panggilan kepada Wajib Pajak berisi:


a) waktu, tempat, dan maksud dilaksanakannya pertemuan antara Pemeriksa Pajak dengan
Wajib Pajak; dan

b) buku, catatan, dan dokumen yang harus dibawa oleh Wajib Pajak.

3) Waktu dilaksanakannya pertemuan sehubungan dengan surat panggilan sebagaimana


dimaksud pada angka 2) huruf a) ditentukan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
diterbitkannya Surat Panggilan, dengan mempertimbangkan lokasi Wajib Pajak.

4) Tempat dilaksanakannya pertemuan sehubungan dengan surat pemanggilan Sebagaimana


dimaksud pada angka 2) huruf a) di kantor Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2) atau di kantor
DJP selain kantor UP2 dengan mempertimbangkan lokasi Wajib Pajak.

Contoh I
Wajib Pajak terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar Satu namun lokasi Wajib Pajak terdapat di
Medan. Pemanggilan dan pertemuan dengan Wajib Pajak dapat dilakukan di salah satu
Kantor DJP yang berlokasi di Medan, seperti KPP Madya Medan, Kanwil DJP Sumatera
Utara I, atau kantor DJP lainnya yang berlokasi di Medan.

Contoh II
Wajib Pajak terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar Satu namun lokasi Wajib Pajak berada di
daerah Soroako, Sulawesi Selatan. Pemanggilan dan pertemuan dengan Wajib Pajak dapat
dilakukan di kantor DJP yang terdekat dengan lokasi Wajib Pajak, seperti di KP2KP Malili.

5) Jenis buku, catatan, dan dokumen yang harus dibawa oleh Wajib Pajak menyesuaikan
dengan risiko yang telah diidentifikasi pada Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) dan
memperhatikan Teknik Pemeriksaan minimal yang akan dilakukan sebagaimana diatur dalam
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-04/PJ/2012 tentang Pedoman Penyusunan
Program Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Contoh I
Dalam hal pemeriksaan dilakukan atas SPT Tahunan PPh Badan/Orang Pribadi dengan risiko
terdapat penghasilan yang belum sebenarnya dilaporkan, maka sesuai dengan Teknik
Pemeriksaan minimal yang harus dilakukan, Pemeriksa Pajak harus meminta Wajib Pajak
membawa dokumen terkait pencatatan uang kas dan/atau seluruh rekening koran Wajib Pajak
untuk dapat dilakukan pengujian arus uang dan dokumen terkait pencatatan penjualan dan
piutang serta seluruh rekening koran Wajib Pajak untuk dapat dilakukan pengujian arus
piutang.

Contoh II
Dalam hal pemeriksaan dilakukan atas SPT Masa PPN dengan risiko terdapat penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) yang belum sebenarnya dilaporkan, maka sesuai dengan Teknik
Pemeriksaan minimal yang harus dilakukan, Pemeriksa Pajak harus meminta Wajib Pajak
membawa dokumen terkait seluruh penyerahan BKP, seluruh Faktur Pajak Keluaran yang
diterbitkan pada masa pajak yang diperiksa dan/atau seluruh rekening koran Wajib Pajak
untuk dapat dilakukan pengujian penelusuran bukti dan dokumen terkait dengan peredaran
usaha yang terjadi pada masa pajak yang diperiksa untuk dapat dilakukan pengujian
ekualisasi atau rekonsiliasi antara peredaran usaha dengan penyerahan BKP.

c. Pertemuan dan Permintaan Keterangan kepada Wajib Pajak yang diperiksa


1) Pertemuan dengan Wajib Pajak harus dilakukan pada waktu dan tempat sesuai dengan
Surat Panggilan dan dilakukan di ruangan khusus yang memiliki alat perekam suara (audio)
dan gambar (visual).

2) Dalam melaksanakan pertemuan dengan Wajib Pajak, harus dihadiri oleh:


a) wakil Wajib Pajak sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang KUP, untuk Wajib
Pajak Badan;

b) orang pribadi yang bersangkutan, untuk Wajib Pajak Orang Pribadi;

c) salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalan, untuk
warisan yang belum terbagi; atau

d) wali atau pengampunya, untuk anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam
pengampuan.

3) Wajib Pajak yang menghadiri pertemuan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dapat
didampingi oleh pihak lain.

4) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada angka 3) antara lain pegawai atau konsultan pajak
yang memahami kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak.

5) Dalam melaksanakan pertemuan sebagaimana dimaksud pada angka 1), Wajib Pajak harus
memenuhi permintaan buku, catatan, dan dokumen yang diperlukan Pemeriksa Pajak
sebagaimana tercantum dalam Surat Panggilan.

6) Dalam hal Wajib Pajak hadir sesuai dengan surat panggilan, Pemeriksa Pajak melakukan
hal-hal sebagai berikut:

a) melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dengan memperlihatkan Tanda Pengenal


Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) kepada Wajib Pajak pada waktu
melakukan Pemeriksaan;
b) memberikan penjelasan mengenai:

alasan dan tujuan Pemeriksaan;


hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim
Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas
pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan
Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk
Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret yang dilakukan dengan jenis
Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a PMK
Nomor 17/PMK.03/2013 stdd PMK Nomor 184/PMK.03/2015; dan
kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya,
yang dipinjam dari Wajib Pajak.

dan menuangkannya dalam Berita Acara Pertemuan dengan Wajib Pajak.

c) menandatangani dokumen pakta integritas yang ditandatangani bernama antara Pemeriksa


Pajak dan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan serta diketahui oleh Kepala UP2.

d) melakukan permintaan keterangan kepada Wajib Pajak yang diperiksa sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf c Undang-Undang KUP, yang
paling sedikit harus meminta penjelasan atas hal-hal sebagai berikut:

Identitas Wajib Pajak yang dimintai keterangan;


Proses bisnis Wajib Pajak;
Pembukuan atau pencatatan yang dilakukan Wajib Pajak termasuk dokumentasinya;
Informasi mengenai pelanggan dan supplier utama Wajib Pajak;
Transaksi-transaksi yang bersifat khusus; atau
Klarifikasi terhadap data yang ditemukan Pemeriksa Pajak dengan data pada SPT.

dan menuangkannya dalam Berita Acara Pemberian Keterangan.

7) Dalam hal Wajib Pajak hadir namun menolak membantu kelancaran Pemeriksaan,
Pemeriksa Pajak membuat catatan penolakan tersebut dalam Berita Acara Pemberian
Keterangan.

8) Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir, Pemeriksa Pajak:


a) membuat Berita Acara Ketidakhadiran yang ditandatangani oleh Tim Pemeriksa Pajak; dan

b) melanjutkan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan di tempat Wajib Pajak yang didahului


dengan melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf c angka 6).

9) Setelah dilakukan pemanggilan dan pertemuan dengan Wajib Pajak di kantor DJP,
Pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk di dalamnya adalah
ketentuan bahwa Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus
untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai
persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa.
4. Permintaan Tertulis kepada Pihak Ketiga
a. Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang KUP jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
87/PMK.03/2013, Pemeriksa pajak berwenang untuk meminta keterangan tertulis dari pihak
ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan.

b. Pada prinsipnya terkait dengan permasalahan kerahasiaan terdapat dua kelompok pihak
ketiga yaitu:
1) Bank yang kerahasiaannya ditiadakan dalam hal terdapat ijin dari Otoritas Jasa Keuangan
berdasarkan permintaan tertulis dari Menteri Keuangan; dan
2) Pihak ketiga lainnya seperti pemasok (supplier), pelanggan, akuntan publik, notaris,
konsultan pajak, kantor administrasi, yang kerahasiaannya ditiadakan berdasarkan permintaan
Direktur Jenderal Pajak yang telah dilimpahkan kepada Kepala UP2.

c. Dalam hal persyaratan untuk melakukan permintaan keterangan secara tertulis telah
berhasil dikumpulkan dan diperoleh, maka Pemeriksa Pajak harus segera melakukan prosedur
permintaan keterangan secara tertulis kepada pihak ketiga yarig terkait dengan Wajib Pajak
yang dilakukan Pemeriksaan.

d. Termasuk ke dalam permintaan keterangan secara tertulis adalah pembukaan rahasia


nasabah penyimpan yang dilakukan secara elektronik melalui Aplikasi Buka Rahasia
(AKASIA) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.03/2016 tentang Tata
Cara Permintaan Keterangan atau Bukti dari Pihak-Pihak Terkait oleh Kewajiban
Merahasiakan.

e. Permintaan keterangan secara tertulis kepada Bank melajui pembukaan rahasia nasabah
penyimpan pada saat pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dalam hal Wajib Pajak tidak
memberikan surat kuasa dari Wajib Pajak kepada Pemeriksa Pajak untuk meminta keterangan
atau bukti dari bank tentang keadaan keuangan nasabah penyimpan pada bank yang
bersangkutan atau berdasarkan pertimbangan Pemeriksa Pajak diperlukan permintaan
pembukaan rahasia nasabah penyimpan.

5. Pelaksanaan Pengujian di Tempat Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan Lapangan


a. Berita Acara Pemberian Keterangan dalam pertemuan dengan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada angka 3 huruf c angka 6) huruf d) menjadi dasar bagi Pemeriksa Pajak untuk
dapat melakukan pengujian di tempat Wajib Pajak.

b. Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf c angka 8)


huruf b) harus dilanjutkan dengan melakukan pengujian ditempat Wajib Pajak.

c. Pengujian di tempat Wajib Pajak dapat dilakukan pada hari yang sama atau berbeda sejak
pertemuan dengan Wajib Pajak di kantor DJP dengan mempertimbangkan risiko Wajib Pajak,
lokasi Wajib Pajak, dan SDM yang dibutuhkan.

d. Pengujian di tempat Wajib Pajak dilakukan secara mendadak dan dilaksanakan dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak pertemuan dengan Wajib Pajak, serta dapat
dilakukan lebih dari satu kali dalam hal diperlukan data atau informasi tambahan.

e. Pelaksanaan pengujian di tempat Wajib Pajak dilakukan oleh Tim Pemeriksa Pajak. Dalam
hal diperlukan, Pemeriksa Pajak dapat dibantu oleh Pegawai DJP lainnya yang ditunjuk
melalui Surat Tugas dari Kepala UP2 atau oleh Tenaga Ahli yang ditunjuk melalui Surat
Tugas Tenaga Ahli dengan ketentuan bahwa segala tindakan dan/atau kegiatan yang
dilakukan oleh Pegawai DJP lainnya atau Tenaga Ahli tersebut berada di bawah kendali Tim
Pemeriksa Pajak.

f. Pada saat melakukan pengujian di tempat Wajib Pajak, Tim Pemeriksa Pajak didampingi
oleh petugas yang ditunjuk oleh Kepala UP2 melalui Surat Tugas untuk melakukan
pendampingan pengujian di tempat Wajib Pajak, yang bertugas untuk:
1) memastikan tata cara pemeriksaan telah dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

2) memastikan Wajib Pajak dapat melaksanakan hak-haknya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;

3) memastikan Pemeriksaan terselenggara sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik;
dan

4) setelah melakukan tugas pendampingan, petugas yang ditunjuk menyusun dan


menyampaikan laporan kepada Kepala UP2.

g. Saat melakukan pengujian di tempat Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak harus melakukan hal-
hal, antara lain:

1) meminjam pada saat itu juga data yang diperlukan dan ditemukan/diperoleh di lapangan
dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan, seperti:

a) data lawan transaksi (data pelanggan, data pemasok, dll) beserta dokumen pendukungnya
yang berhubungan dengan penjualan barang dan Harga Pokok Penjualan atau Harga Pokok
Produksi;

b) buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan,
dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

c) rekening Koran Wajib Pajak; dan/atau

d) data lainnya.

2) Termasuk data lainnya sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf d) adalah:


a) surat kuasa dari Wajib Pajak kepada Pemeriksa Pajak untuk meminta keterangan atau bukti
dari bank tentang keadaan keuangan nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan sesuai
dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IIA atau Lampiran IIB yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini; dan/atau

b) surat kuasa yang memberikan akses kepada Pemeriksa Pajak untuk melihat dokumen
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dalam hal Wajib Pajak yang
sedang dilakukan pemeriksaan adalah penyelenggara negara sesuai dengan contoh format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran ini.
c) dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak memberikan surat
kuasa sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan/atau huruf b), Pemeriksa Pajak
menindaklanjuti dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

membuat berita acara penolakan memberikan surat kuasa yang ditandatangani oleh
Tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak dengan menggunakan format berita acara
sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
dalam hal Wajib Pajak menolak untuk menandatangani berita acara sebagaimana
dimaksud pada butir i, Pemeriksa Pajak membuat catatan penolakan tersebut dalam
berita acara dimaksud.
melakukan permintaan membuka rahasia bank sesuai dengan ketentuan yang
mengatur mengenai permintaan membuka rahasia bank dan/atau melanjutkan
Pemeriksaan berdasarkan data yang ada.

3) memperhatikan rekening koran Wajib Pajak yang bersifat transitory account, yakni akun
rekening koran yang memiliki saldo awal dan/atau saldo akhir nihil akan tetapi sepanjang
periode tersebut terdapat transaksi bank. Dalam hal diketahui adanya transitory account baik
atas nama Wajib Pajak maupun atas nama pihak lain, Pemeriksa Pajak melakukan
peminjaman dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 1) atau melakukan pembukaan
rahasia nasabah penyimpan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf d.

4) meminta keterangan tertulis maupun lisan dari Wajib Pajak, wakil, kuasa Wajib Pajak,
pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak dan harus dituangkan
dalam Berita Acara Pemberian Keterangan Wajib Pajak yang ditandatangani oleh tim
Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai atau anggota
keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

Contoh keterangan tertulis misalnya:


a) surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;

b) keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya;

c) surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau

d) surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup.

Contoh keterangan lisan misalnya:


a) wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak;

b) wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak;

c) wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang bersifat khusus; atau

d) klarifikasi terhadap data yang ditemukan Pemeriksa Pajak dengan data pada SPT.

5) Melakukan inspeksi untuk menguji eksistensi dan pengecekan fisik antara lain:

a) proses produksi dan alur kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
b) kapasitas produksi, produk yang dihasilkan, jumlah karyawan, modal sendiri atau
pinjaman yang dibutuhkan oleh Wajib Pajak dalam menjalankan kegiatannya; dan/atau

c) harta berupa uang, persediaan, peralatan, aktiva tetap dan/atau harta Wajib Pajak lainnya.

h. Pemeriksa Pajak harus mengoptimalkan pelaksanaan pengujian di tempat Wajib Pajak


untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan pemeriksaan.

i. Setiap pengujian di tempat Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak harus membuat Berita Acara
Pelaksanaan Pengujian di Tempat Wajib Pajak dengan menggunakan format berita acara
sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

j. Terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pengujian di tempat Wajib Pajak, berlaku
ketentuan sebagai berikut:

1) Dalam hal Wajib Pajak bersikap kooperatif, yaitu memenuhi ketentuan mengenai
kewajiban Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4) Undang-
Undang KUP, Pemeriksa Pajak melanjutkan pengujian pemeriksaan sesuai dengan ruang
lingkup pemeriksaan dan auditplan.

2) Dalam hal Wajib Pajak bersikap tidak kooperatif, yaitu tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud daiam Pasal 29 ayat (3) huruf b Undang-Undang KUP, berupa tidak
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 29
ayat (3) huruf a Undang-Undang KUP, Pemeriksa Pajak dapat melakukan penyegelan
sebagaimana tata cara penyegelan yang diatur dalam PMK Nomor 17/PMK.03/2013 stdd
PMK Nomor 184/PMK.03/2015, dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Dalam hal setelah dilakukan Penyegelan Wajib Pajak menjadi kooperatif, Pemeriksa Pajak
melanjutkan pengujian pemeriksaan sesuai dengan ruang lingkup pemeriksaan dan audit plan.

b) Dalam hal setelah dilakukan Penyegelan Wajib Pajak tetap tidak kooperatif yang
ditunjukkan dengan melakukan pembatasan pemeriksaan sehingga tidak memenuhi ketentuan
mengenai kewajiban Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan yat (4)
Undang-Undang KUP atau Wajib Pajak menyatakan menolak tempat Wajib Pajak,
berdasarkan pertimbangan profesional (professional judgement) Pemeriksa Pajak dan Kepala
UP2, Pemeriksa Pajak harus menentukan apakah akan menghitung besarnya penghasilan
kena pajak secara jabatan atau mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagai tindak
lanjut Pemeriksaan, yang dituangkan di dalam Kertas Kerja Pemeriksaan.

6. Perolehan Data dalam Bentuk Elektronik


a. Dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan secara elektronik, Pemeriksa Pajak
harus memperoleh data yang diperlukan dalam bentuk elektronik dan menyimpan data
tersebut menggunakan media penyimpanan elektronik yang tidak dapat diubah, melakukan
imaging file-file yang diunduh, melakukan hashing file image tersebut, serta membuat Berita
Acara Perolehan Data, Catatan dan/atau Dokumen yang Dikelola Secara Elektronik dengan
merinci nama file, ukuran file, dan hash value file image tersebut.
b. Perolehan data elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut:
1) Melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang memahami sistem informasi yang
digunakan oleh orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Lapangan dan
menuangkannya dalam Formulir Kuesioner Gambaran Umum Sistem Informasi sesuai
dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini;

2) Meminta ijin untuk mengakses dan/atau mengunduh data elektronik yang dikelola oleh
Wajib Pajak yang dibuktikan dengan Wajib Pajak menandatangani Surat Pernyataan sesuai
dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

3) Melakukan pengunduhan Data Elektronik dari perangkat yang diduga sebagai penyimpan
dokumen. Prosedur melakukan imaging file yang dipinjam dan melakukan hashing file Image
terdapat dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
ini;

4) Membuat Berita Acara Perolehan Data, Catatan dan/atau Dokumen yang Dikelola Secara
Elektronik sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX dan
dilampiri dengan Lampiran Rincian Perolehan Data, Catatan dan/atau Dokumen yang
Dikelola Secara Elektronik sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini; dan

5) Mendokumentasikan seluruh proses Perolehan Data Elektronik.


c. Pemeriksa Pajak dapat meminta bantuan tenaga e-auditor dalam hal terdapat kendala untuk
memperoleh data secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.

d. Dalam hal Pemeriksa Pajak tidak dapat melakukan peminjaman data dalam bentuk
elektronik sebagaimana dimaksud pada huruf a dikarenakan Wajib Pajak tidak
menyelenggarakan pembukuan secara elektronik, atau Pemeriksa Pajak tidak dapat
melakukan pengolahan data karena keterbatasan database pengolahan data yang dimiliki, atau
karena alasan lain yang menyebabkan Pemeriksa Pajak melakukan peminjaman buku,
catatan, atau dokumen non elektronik, Pemeriksa Pajak menuangkannya dalam Berita Acara
Pelaksanaan Peminjaman Buku, Catatan dan Dokumen Non Elektronik sesuai dengan contoh
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Surat Edaran ini.

e. Pemeriksa Pajak di Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar,
Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan di Kantor Pelayanan
Pajak Madya, harus melaksanakan e-audit dalam pelaksanaan pemeriksaannya sesuai dengan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-25/PJ/2013 tentang pedoman e-audit.

7. Penyegelan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rangka melakukan penyegelan sebagaimana dimaksud
pada angka 5 huruf j butir 2) antara lain:

a. Penyegelan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2


(dua) orang yang telah dewasa selain anggota tim Pemeriksa Pajak yang dapat merupakan
pegawai Direktorat Jenderal Pajak, pegawai Wajib Pajak, atau pihak ketiga lainnya.
b. Penyegelan juga dilakukan terhadap data yang dikelola secara elektronik untuk
mengamankan data tersebut agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah,
dirusak, ditukar atau dipalsukan, baik secara fisik maupun melalui jaringan.

8. Tindak Lanjut Pemeriksaan Setelah Pengujian di Tempat Wajib Pajak


Setelah jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada angka 5 huruf d telah
berakhir, berdasarkan pertimbangan profesional (prafessional judgement) Pemeriksa Pajak
dan Kepala UP2, Pemeriksa Pajak harus menentukan tindak lanjut pemeriksaan, yang
dituangkan di dalam Kertas Kerja Pemeriksaan dan didukung dengan Berita Acara
Pemenuhan Dokumen, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Dalam hal Wajib Pajak bersikap kooperatif sebagaimana dimaksud dalam angka 5 huruf j
angka 1) dan angka 2) butir a), Pemeriksa Pajak melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) melanjutkan pengujian dengan menggunakan metode dan teknik pemeriksaan sesuai
dengan rencana pemeriksaan (audit plan) dan program pemeriksaan (audit program) yang
telah disusun.

2) Dalam hal Pemeriksa Pajak menemukan kondisi yang berbeda antara audit plan dengan
pelaksanaan pengujian di tempat Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak dapat melakukan perubahan
rencana pemeriksaan (audit plan).

3) Dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak selesainya pengujian di tempat Wajib
Pajak, Pemeriksa Pajak harus memutuskan untuk menyampaikan kepada Wajib Pajak bahwa
Wajib Pajak memiliki hak untuk mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP atau mengusulkan Pemeriksaan Bukti
Permulaan.

b. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal Pemeriksa Pajak memutuskan Untuk
menyampaikan kepada Wajib Pajak bahwa Wajib Pajak memiliki hak untuk mengungkapkan
dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP sebagaimana
dimaksud pada huruf a angka 3) adalah sebagai berikut:

6. Dalam hal Wajib Pajak terbukti tidak melaporkan peredaran usaha maupun biaya-
biaya yang sebenarnya atau terdapat temuan-temuan yang bersifat material dalam
Surat Pemberitahuan yang sedang dilakukan pemeriksaan, Pemeriksa Pajak dapat
menyampaikan kepada Wajib Pajak bahwa Wajib Pajak memiliki hak untuk
mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan yang telah disampaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4)
Undang-Undang KUP.
7. Temuan-temuan sebagaimana dimaksud pada angka 1) harus didukung dengan Berita
Acara Permintaan Keterangan kepada Wajib Pajak.
8. Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1) bermaksud untuk
memanfaatkan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP, maka Wajib Pajak, wakil atau
kuasa membuat Surat Pernyataan akan memanfaatkan Pasal 8 ayat (4) Undang-
Undang KUP dengan menggunakan format surat pernyataan sesuai dengan contoh
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran ini.
9. Dalam hal Wajib Pajak tidak memanfaatkan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP,
Pemeriksa Pajak dapat mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
10. Dalam hal Wajib Pajak tidak memanfaatkan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KUP
dan tidak dilakukan pengusulan Pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Pemeriksa Pajak
menyelesaikan pemeriksaan dengan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan sebagai
dasar penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

c. Dalam hal Wajib Pajak bersikap tidak kooperatif sebagaimana dimaksud dalam angka 5
huruf j angka 2) butir b), Pemeriksa Pajak harus menentukan apakah akan menghitung
besarnya penghasilan kena pajak secara jabatan dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto atau mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

9. Pembahasan Temuan Sementara Hasil Pemeriksaan

Temuan pemeriksaan harus mencerminkan hasil pengujian sesuai dengan data, dokumen, dan
informasi yang relevan atas pos-pos yang diperiksa.
Sebelum penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan, berdasarkan pertimbangan
Kepala UP2 atau berdasarkan usulan Tim Pemeriksa Pajak dilakukan pembahasan temuan
sementara hasil pemeriksaan.

Pembahasan temuan sementara sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan bersama


antara Tim Pemeriksa Pajak dengan Kepala UP2 dan tim yang dibentuk oleh Kepala UP2.
Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf c dituangkan dalam risalah rapat yang
menjadi pertimbangan bagi Tim Pemeriksa Pajak untuk menghasilkan temuan yang lebih
objektif dan berkualitas.

F. Ketentuan Lain-Lain

Surat Edaran ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan Pemeriksaan dan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-12/PJ/2016 tentang Penegasan atas Pelaksanaan
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2017
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 11/PJ/2017

TENTANG

RENCANA, STRATEGI, DAN PENGUKURAN KINERJA PEMERIKSAAN TAHUN


2017

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum
Tahun 2017 merupakan bagian dari tahun pelaksanaan Pengampunan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dan
Tahun Rekonsiliasi sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
95/PJ/2015 tentang Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2015-2019.

Pada masa pelaksanaan Pengampunan Pajak, kegiatan pemeriksaan dilakukan untuk


mendorong masyarakat mengikuti Pengampunan Pajak, sedangkan setelah masa
Pengampunan Pajak berakhir, pengujian kepatuhan Wajib Pajak yang dilakukan melalui
kegiatan pemeriksaan diprioritaskan kepada Wajib Pajak yang tidak mengikuti program
Pengampunan Pajak selama masa Pengampunan Pajak berlangsung.

Penyusunan dan penetapan Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan untuk menyiapkan bahan
baku pemeriksaan, manajemen penyelesaian Pemeriksaan SPT Lebih Bayar Restitusi,
optimalisasi Petugas Pemeriksa Pajak, pemeriksaan khusus paska Pengampunan Pajak dan
pemeriksaan tematik secara nasional dan regional adalah beberapa hal yang menjadi pokok
strategi pemeriksaan yang dibutuhkan dalam rangka mengamankan target extra effort
pemeriksaan dan penagihan pada tahun 2017.

Untuk mengakomodir pelaksanaan beberapa hal di atas, Direktur Jenderal Pajak perlu
menetapkan Surat Edaran tentang Rencana, Strategi dan Pengukuran Kinerja Pemeriksaan
Tahun 2017 untuk meningkatkan pemeriksaan yang efektif dan kepatuhan Wajib Pajak yang
berkelanjutan dalam rangka menyukseskan pelaksanaan Pengampunan Pajak dan
pengamanan penerimaan Tahun 2017.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Maksud diterbitkan Surat Edaran ini adalah untuk meningkatkan pemeriksaan yang efektif
melalui suatu rencana, strategi, dan pengukuran kinerja pemeriksaan sehingga dapat
meningkatkan penerimaan dari pemeriksaan dan memberikan efek penggentar (deterrent
effect) dalam rangka mewujudkan kepatuhan Wajib Pajak secara berkelanjutan.

2. Tujuan
Surat Edaran ini diterbitkan sebagai pedoman untuk:

meningkatkan pemeriksaan yang efektif guna mewujudkan kepatuhan Wajib Pajak


secara berkelanjutan;
mengukur kinerja pemeriksaan;
mendukung dan menindaklanjuti pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pengampunan Pajak; dan
memperkuat fungsi pemeriksaan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan
kepercayaan Wajib Pajak terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam Surat Edaran ini meliputi:

Rencana Pemeriksaan;
Strategi Pemeriksaan;
Pengukuran Kinerja Pemeriksaan; dan
Pemantauan, Pengendalian, Evaluasi, dan Tindak Lanjut.

D. Dasar Hukum

12. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP).
13. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
(Undang-Undang PPh) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
(Undang-Undang PPN).
14. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Undang-
Undang Pengampunan Pajak).
15. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
16. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2015.
17. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206.2/PMK.01/2014 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak.
18. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
19. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2014 tentang Tata Cara
Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan.
20. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2016.
21. Keputusan DirekturJenderal Pajak Nomor KEP-95/PJ/2015 tentang Rencana Strategis
Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2015-2019.
22. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan
Pemeriksaan.

E. Materi
1. Rencana Pemeriksaan
a. Target Pemeriksaan
1) Target Extra Effort
Target extra effort Pemeriksaan dan Penagihan adalah komponen dari target pemeriksaan dan
penagihan yang harus dicapai oleh setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang
dikoordinasikan serta dikendalikan oleh Kantor Wilayah (Kanwil) DJP dan Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan. Realisasi penerimaan extra effort hasil pemeriksaan dan
penagihan adalah jumlah penerimaan pajak yang dapat dicairkan (direalisasikan) yang berasal
dari pembayaran atau pelunasan atas SKPKB/SKPKBT/STP yang terbit pada tahun 2017,
serta pembayaran atau pelunasan atas SKPKB/SKPKBT/STP yang terbit pada tahun 2016
dan tahun-tahun sebelumnya.

Target extra effort hasil pemeriksaan dan penagihan untuk tahun 2017 ditetapkan dengan
Surat Direktur Jenderal Pajak.

2) Target Audit Coverage Ratio (ACR)


Target ACR ditetapkan untuk mengetahui cakupan pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh
tiap-tiap Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2) terhadap Wajib Pajak terdaftar yang wajib Surat
Pemberitahuan (SPT). Cakupan pemeriksaan yang dimaksud adalah pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan (pemeriksaan khusus dan rutin), tidak termasuk pemeriksaan tujuan lain
dan lokasi.

ACR merupakan salah satu Indikator Kinerja Utama (IKU) yang ditetapkan dengan ketentuan
sebagai berikut:

a) ACR adalah besarnya cakupan pemeriksaan yang dihitung berdasarkan hasil pembagian
antara Wajib Pajak yang diperiksa dengan jumlah Wajib Pajak terdaftar yang wajib SPT; dan

b) target ACR dan distribusi target ACR pada setiap Kanwil DJP dan KPP ditetapkan melalui
surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.

3) Rencana Penyelesaian Pemeriksaan Rencana Penyelesaian Pemeriksaan terdiri dari


penyelesaian tunggakan pemeriksaan dan target penyelesaian pemeriksaan per UP2 dengan
ketentuan sebagai berikut:

a) Penyelesaian tunggakan:

terhadap tunggakan dari instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan yang terbit sebelum


tahun 2017 yang belum diselesaikan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Edaran ini
harus diselesaikan paling lambat tanggal 31 Mei 2017; dan penyelesaian tunggakan tersebut
tetap memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan sebagaimana diatur
dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan
Pemeriksaan (SE-06/PJ/2016) dan memperhatikan surat Direktur Peraturan Perpajakan I
Nomor S-02/PJ.02/2017 tentang Penegasan terkait Penerbitan Ketetapan Pajak Hasil
Pemeriksaan yang Terdapat Masa Pajak yang Sudah Daluwarsa.

b) Target Penyelesaian Per Pemeriksa Pajak:

target penyelesaian yang menjadi ukuran kinerja per Pemeriksa Pajak adalah Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) konversi;
standar penyelesaian LHP Konversi Pemeriksa Pajak ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
Lampiran I.1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini;

Laporan Penghentian Pemeriksaan (LPP) Dalam Rangka Pengampunan Pajak dihitung


sebagai kinerja pemeriksaan tim Pemeriksa Pajak dengan perhitungan bobot konversi laporan
sebesar 100% dari bobot konversi LHP sesuai dengan DIKTUM KEDELAPAN Instruksi
Direktur Jenderal Pajak Nomor INS-12/PJ/2016 tentang Kebijakan Penerbitan
Instruksi/Persetujuan/Penugasan dan Pelaksanaan Pemeriksaan Selama Periode
Pengampunan Pajak.

bobot konversi LHP sebagaimana diatur dalam Lampiran I.2 yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran ini.

b. Fokus Pemeriksaan

1) fokus pemeriksaan ditetapkan untuk periode pemeriksaan yang dilakukan pada masa
berlakunya Pengampunan Pajak yaitu sampai dengan 31 Maret 2017 dan periode setelah
berakhirnya Pengampunan Pajak;

2) fokus pemeriksaan terdiri dari Fokus Pemeriksaan Nasional, Fokus Pemeriksaan Kanwil
DJP, dan Fokus Pemeriksaan KPP, dan

3) penetapan fokus pemeriksaan ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I.3 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

c. Rencana Usul Pemeriksaan Bukti Permulaan dari Kegiatan Pemeriksaan

Dalam rangka mendukung kontinuitas pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan yang


berasal dari kegiatan pemeriksaan maka diperlukan penetapan target pengusulan pemeriksaan
bukti permulaan dari kegiatan pemeriksaan, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) setiap KPP mengusulkan minimal satu usulan pemeriksaan bukti permulaan yang berasal
dari kegiatan pemeriksaan; dan
2) pengusulan pemeriksaan bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata
Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan aturan
pelaksanaannya.

2. Strategi Pemeriksaan
Untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas pemeriksaan yang efektif guna mencapai
kepatuhan Wajib Pajak yang berkelanjutan diperlukan adanya strategi yang meliputi:
a. Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan (DSPP)
1) Dalam rangka memastikan pencapaian target pencairan Surat Ketetapan Pajak (SKP) tahun
2017 yang telah ditetapkan, Kepala KPP wajib menyusun DSPP sesuai dengan rencana fokus
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf E angka 1 huruf b sesuai dengan contoh
format dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

2) DSPP sebagaimana dimaksud pada angka 1) dibahas dan ditetapkan secara bersama-sama
oleh Kepala KPP dan Kepala Kanwil DJP serta disampaikan kepada Direktur Pemeriksaan
dan Penagihan.
3) Dalam melakukan pembahasan dan penetapan DSPP, Kepala KPP dan Kepala Kanwil DJP
harus meyakini bahwa terdapat data yang menunjukkan adanya potensi pajak yang belum
dilaporkan dengan benar oleh Wajib Pajak yang diusulkan dalam DSPP.

4) Penerbitan instruksi pemeriksaan khusus atas Wajib Pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada angka 2) dilakukan dengan ketentuan:
a) apabila penerbitan instruksi dilakukan sebelum 1 April 2017 maka penerbitannya
dilakukan sesuai dengan Instruksi Direktur Jenderal Pajak Nomor INS-12/PJ/2016; dan
b) apabila penerbitan instruksi dilakukan setelah 31 Maret 2017 maka penerbitannya
dilakukan sesuai dengan SE-06/PJ/2016.

b. Manajemen Penyelesaian SPT Lebih Bayar Restitusi Manajemen Penyelesaian SPT Lebih
Bayar Restitusi dilakukan dengan cara:

1) Kepala KPP mengefektifkan pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan


Pembayaran Pajak terhadap:
a) Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu (Pasal 17C Undang-Undang KUP) sesuai ketentuan
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan
Dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak;

b) Wajib Pajak dengan Persyaratan Tertentu (Pasal 17D Undang-Undang KUP) sesuai
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2013 tentang
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak yang Memenuhi
Persyaratan Tertentu; dan

c) Pengusaha Kena Pajak (PKP) Berisiko Rendah (Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN)
sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010 tentang
Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan Pajak.

2) Untuk mengefektifkan pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran


Pajak, Kepala KPP memastikan bahwa Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada angka 1) diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

3) Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana


dimaksud pada angka 1) dan 2) harus dilaksanakan sesuai dengan:
a) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-62/PJ/2012 tanggal 28 Desember 2012
Tentang Tata Cara Penetapan Dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria
Tertentu Dan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak untuk Wajib Pajak
Kriteria tertentu (Pasal 17C Undang-Undang KUP);

b) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-12/PJ/2014 tanggal 13 Maret 2014 tentang
Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Bagi Wajib Pajak Yang
Memenuhi Persyaratan Tertentu untuk Wajib Pajak Persyaratan Tertentu (Pasal 17D Undang-
Undang KUP); dan

c) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-144/PJ/2010 tanggal 22 Desember 2010
Tentang Penegasan Tata Cara Penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah Dan Tata
Cara Pengembalian Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak Berisiko
Rendah untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) Berisiko Rendah (Pasal 9 ayat (4c) Undang-
Undang PPN).

4) Dalam hal pemeriksaan dilakukan terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar (LB) Restitusi
yang terdapat kompensasi dari masa-masa pajak sebelumnya dan atas masa pajak yang
menyatakan LB kompensasi tersebut juga sedang dilakukan pemeriksaan, maka penyelesaian
pemeriksaan LB kompensasi tersebut diselesaikan sebelum penyelesaian pemeriksaan LB
restitusi.

5) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap SPT Masa PPN, Pemeriksa Pajak harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) melaksanakan teknik-teknik pemeriksaan yang dipandang perlu sesuai rencana
pemeriksaan (audit plan) dan program pemeriksaan (audit program) untuk meyakini
kebenaran penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, perolehan
Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan kredit pajak yang dilaporkan
PKP dalam SPT Masa PPN;

b) melakukan pengujian untuk membuktikan kebenaran formal dan material Faktur Pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (9) Undang- Undang PPN dan penjelasannya;

c) dalam hal Faktur Pajak diterbitkan dengan menggunakan aplikasi e-Faktur, pemeriksa
tidak perlu melakukan pengujian persyaratan formal Faktur Pajak karena persyaratan formal
tersebut telah divalidasi melalui aplikasi e-Faktur, namun demikian perlu dilakukan
pengujian saat pembuatan Faktur Pajak dibandingkan dengan saat terjadinya penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Sedangkan terhadap Faktur Pajak yang tidak
diterbitkan melalui aplikasi e-Faktur, pengujian persyaratan formal Faktur Pajak dilakukan
sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang PPN dan aturan pelaksanaannya;

d) berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang PPN, Faktur Pajak atau
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi
persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Dengan demikian,
walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar PPN-nya, apabila
keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya atau
sesungguhnya, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material;

e) untuk menguji persyaratan material Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d)
Pemeriksa Pajak minimal menguji:

6. kebenaran jenis dan jumlah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
diserahkan;
7. kesesuaian jenis Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan kegiatan usaha
Wajib Pajak;
8. kebenaran harga jual atau nilai penggantian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak; dan
9. kebenaran PKP penjual dan pembeli,
10. sebagaimana tercantum dalam Faktur Pajak dan tidak hanya mendasarkan pada
jawaban konfirmasi;

f) Pemeriksa Pajak melakukan pengujian atas Pajak Masukan untuk memastikan bahwa Pajak
Masukan yang dikreditkan adalah sesuai dengan persyaratan formal dan material Faktur
Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak serta
memastikan bahwa Pajak Masukan yang dikreditkan bukan merupakan Pajak Masukan yang
tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN
dan penjelasannya;

g) terhadap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dan/atau impor Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas, Pemeriksa Pajak harus melakukan pengujian
mengenai persyaratan formal dan material Faktur Pajak serta pemenuhan syarat subjektif dan
objektif dari pemanfaatan fasilitas PPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

h) terhadap Faktur Pajak yang tidak memenuhi syarat formal dan/atau material ditindaklanjuti
dengan:

i. bagi PKP penjual,


(1) PPN yang telah dipungut dan disetor tidak dapat dilakukan koreksi negatif;
(2) dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP;
dan/atau
(3) apabila terdapat indikasi PKP penjual menerbitkan Faktur Pajak tidak berdasarkan
transaksi sebenarnya dan terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan maka
ditindaklanjuti dengan usulan pemeriksaan bukti permulaan; dan

ii. bagi PKP pembeli, Faktur Pajak tersebut tidak dapat dikreditkan sesuai Pasal 9 ayat (8)
Undang-Undang PPN.

i) melakukan pengujian eksistensi kegiatan ekspor Barang Kena Pajak dengan cara Pemeriksa
Pajak melakukan pengujian kebenaran kontainer maupun sarana pengangkut melalui
Container tracking maupun vessel tracking baik menggunakan situs resmi perusahaan
pengangkut atau pengelola terminal petikemas maupun menggunakan database komersial.

6) prosedur pemeriksaan terhadap hal sebagaimana dimaksud pada angka 5), dilakukan sesuai
dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-06/PJ/2006 tentang Kebijakan
Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Lebih Bayar; dan

7) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan dan/atau Kanwil DJP melakukan Reviu


(Penelaahan) khusus terhadap pemeriksaan LB (PPN dan/atau PPh Badan) dengan nilai
restitusi yang dipandang signifikan sesuai Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-83/PJ/2009
tentang Reviu (Penelaahan) dan Penelaahan Sejawat (Peer Review).

c. Pemeriksaan Serentak dan Tematik


Dalam rangka menciptakan efek penggentar (deterrent effect) bagi industri tertentu
(menciptakan kepatuhan sektoral), dilakukan Pemeriksaan dari hulu ke hilir secara serentak
dan tematik untuk industri-industri tertentu yang dominan. Pemeriksaan serentak dan tematik
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Pemeriksaan Serentak dan Tematik yang bersifat Nasional


a) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, setelah berkoordinasi dengan Direktorat Potensi,
Kepatuhan dan Penerimaan, Direktorat Intelijen, Direktorat Penegakan Hukum serta
Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian, menetapkan fokus dan tema industri yang akan
dilakukan pemeriksaan secara serentak dan bersifat Nasional;

b) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menentukan daftar Wajib Pajak yang akan diperiksa
secara serentak dan bersifat Nasional;

c) penerbitan instruksi pemeriksaan dalam rangka pemeriksaan secara serentak yang bersifat
Nasional dilakukan sesuai dengan SE-06/PJ/2016; dan

d) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan melakukan pengawasan dan reviu terhadap


pelaksanaan pemeriksaan secara serentak yang bersifat Nasional sehingga terdapat
keseragaman perlakuan dalam pelaksanaan pemeriksaan.

2) Pemeriksaan Serentak dan Tematik yang bersifat Regional


a) Kepala Kanwil DJP dan Kepala KPP menetapkan fokus dan tema industri yang akan
dilakukan pemeriksaan secara serentak di setiap Kanwil DJP;

b) Kepala Kanwil DJP dan Kepala KPP menentukan daftar Wajib Pajak yang akan diperiksa
secara serentak oleh UP2 Kanwil dan seluruh KPP;

c) penerbitan instruksi pemeriksaan dalam rangka pemeriksaan secara serentak dan tematik
dilakukan sesuai dengan SE-06/PJ/2016; dan

d) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan dan/atau Kanwil DJP melakukan pengawasan dan
reviu terhadap pelaksanaan pemeriksaan secara serentak sehingga terdapat keseragaman
perlakuan dalam pelaksanaan pemeriksaan.

d. Strategi pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak dan Wajib
Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak.
1) Setelah berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak, maka perlu dibedakan antara
kebijakan dan strategi pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah mengikuti Pengampunan
Pajak maupun Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak.

2) Prioritas pemeriksaan Wajib Pajak pasca periode Pengampunan Pajak dilakukan terlebih
dahulu terhadap Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak.

3) Kebijakan dan strategi pemeriksaan untuk Wajib Pajak yang tidak mengikuti
Pengampunan Pajak adalah sebagai berikut:
a) Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak dapat dilakukan pemeriksaan pajak
untuk masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang belum daluwarsa penetapan;

b) dalam hal Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak sedang dilakukan
pemeriksaan maka pemeriksa pajak sekaligus melakukan penelusuran harta (asset tracing)
untuk menemukan harta Wajib Pajak yang belum dilaporkan pada SPT Tahunan PPh dalam
rangka pelaksanaan Pasal 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak;

c) penelusuran harta sebagaimana dimaksud pada huruf b) dapat menggunakan data dan/atau
informasi yang berasal dari Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak maupun berdasarkan
kondisi lapangan, yang menunjukkan Wajib Pajak mempunyai harta yang belum dilaporkan
dalam SPT Tahunan PPh;

d) apabila pada saat pemeriksaan diperoleh data dan/atau informasi berupa harta yang belum
dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh maka Pemeriksa Pajak harus memproduksi data tentang
harta yang belum dilaporkan tersebut dan dikirimkan kepada Direktorat Potensi, Kepatuhan,
dan Penerimaan; dan

e) apabila KPP memperoleh data dan/atau informasi berupa harta yang belum dilaporkan
dalam SPT Tahunan PPh baik yang berasal Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak
maupun berdasarkan kondisi lapangan maka data dan/atau informasi berupa harta tersebut
setelah dilakukan penelitian, digunakan sebagai dasar untuk mengusulkan pemeriksaan
khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta Bersih sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pengampunan Pajak dan aturan pelaksanaannya.

4) Kebijakan dan strategi pemeriksaan untuk Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan
Pajak adalah sebagai berikut:
a) Wajib Pajak yang telah mengikuti Pengampunan Pajak tidak dapat dilakukan pemeriksaan
untuk kewajiban perpajakan PPh, PPN dan PPnBM untuk masa pajak, bagian tahun pajak,
dan tahun pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pengampunan Pajak.

b) Namun demikian, Kepala KPP dapat melakukan penelusuran harta (asset tracing) yang
belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan untuk harta yang diperoleh pada
tahun 2015 dan sebelumnya serta dapat melakukan pemeriksaan atas kewajiban perpajakan
untuk jenis pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan/atau Bea Meterai (BM) untuk masa
pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang belum daluwarsa penetapan.

c) Termasuk harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan
sebagaimana dimaksud pada huruf b) adalah:

i. Harta Bersih tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang
Pengampunan Pajak.

ii. Harta Bersih dalam SPT PPh Terakhir yang disampaikan setelah berlakunya Undang-
Undang Pengampunan Pajak oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh Pengampunan Pajak,
namun tidak mencerminkan:

(1) Harta Bersih yang telah dilaporkan dalam SPT PPh yang disampaikan sebelum SPT PPh
Terakhir dan Undang- Undang Pengampunan Pajak berlaku;
(2) Harta Bersih yang bersumber dari penghasilan yang diperoleh pada Tahun Pajak Terakhir;
dan
(3) Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari pemilik atau pemegang saham pada
Tahun Pajak Terakhir.
iii. Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat penyesuaian nilai Harta
berdasarkan Surat Pembetulan Atas Surat Keterangan.

d) Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi harta sebagaimana dimaksud pada huruf b)
atau huruf c) maka KPP setelah melakukan penelitian harus menindaklanjuti data tersebut
dengan melakukan pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta Bersih
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak dan aturan
pelaksanaannya.

e) Terhadap Wajib Pajak yang telah mengikuti Pengampunan Pajak berlaku kebijakan
pemeriksaan sebagai berikut:

i. Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan untuk masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun
pajak setelah akhir tahun pajak terakhir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pengampunan Pajak.
ii. Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka i, dilakukan sesuai dengan
tata cara pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang di bidang perpajakan dan
aturan pelaksanaannya.
iii. Dalam pelaksanaan pemeriksaan, selain memperhatikan ketentuan pada butir ii, pemeriksa
pajak juga harus memperhatikan antara lain:

(1) Pasal 14 Undang-Undang Pengampunan Pajak jo Pasal 45 Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 118/PMK.03/2016 terkait pengaturan mengenai perlakuan penyusutan atau amortisasi
atas harta tambahan dan perlakuan pembukuan atas saldo laba ditahan;

(2) Pasal 15 Undang-Undang Pengampunan Pajak jo Pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 118/PMK.03/2016 terkait pengaturan mengenai perlakuan pembebasan PPh final atas
pengalihan harta tambahan sampai dengan tanggal 31 Desember 2017;

(3) Pasal 16 Undang-Undang Pengampunan Pajak jo Pasal 35 Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 118/PMK.03/2016 terkait pengaturan mengenai:

(a) perlakuan kompensasi rugi fiskal dalam SPT untuk bagian tahun pajak atau tahun pajak
sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir ke bagian tahun pajak atau tahun pajak
berikutnya;

(b) perlakuan kompensasi kelebihan pembayaran pajak dalam SPT Masa PPN untuk masa
pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir ke masa pajak berikutnya; dan/atau

(c) perlakuan atas pembetulan SPT untuk masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak
sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir yang dilakukan setelah Undang-Undang
Pengampunan Pajak berlaku.

(4) Pasal 17 Undang-Undang Pengampunan Pajak jo Pasal 27 Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 118/PMK.03/2016 terkait pengaturan mengenai kedudukan surat ketetapan pajak,
surat keputusan, dan putusan yang terbit sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat
Pernyataan maupun yang terbit setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan;

(5) Kesesuaian antara nilai harta bersih yang diungkapkan dengan tambahan atas saldo laba
ditahan dalam neraca bagi Wajib Pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan;
(6) Kesesuaian antara penghasilan yang dilaporkan dalam SPT setelah SPT tahun terakhir
dengan tambahan harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan yang berpotensi menjadi
sumber penghasilan atau menjadi sumber biaya.

5) Petunjuk pelaksanaan pemeriksaan khusus atas Harta Bersih yang diperlakukan atau
dianggap sebagai penghasilan adalah sebagai berikut:

a) pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta Bersih sebagaimana
dimaksud pada angka 3) huruf e) dan angka 4) huruf d) diperlakukan sebagai pemeriksaan
khusus berdasarkan keterangan lain berupa data konkret dengan tata cara sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Perubahan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan.

b) Ruang lingkup pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf a) meliputi satu
jenis pajak.

c) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf a) dilakukan oleh Fungsional


Pemeriksa Pajak, Petugas Pemeriksa Pajak, atau gabungan antara Fungsional Pemeriksa
Pajak dengan Petugas Pemeriksa Pajak sesuai dengan pertimbangan Kepala KPP.

d) Prosedur usul, penerbitan persetujuan pemeriksaan, dan penerbitan Surat Perintah


Pemeriksaan:

i. Terhadap data dan/atau informasi berupa harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan
PPh atau harta yang belum/kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan yang diperoleh KPP
diusulkan Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta Bersih dengan
menggunakan Lembar Pengawasan Wajib Pajak Dalam Rangka Pengampunan Pajak.

ii. Berdasarkan Lembar Pengawasan Wajib Pajak Dalam Rangka Pengampunan Pajak
sebagaimana dimaksud pada butir i, Kepala Seksi Pemeriksaan membuat konsep Nota Dinas
Persetujuan Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta Bersih untuk
ditandatangani oleh Kepala KPP sebagai dasar penerbitan Nomor Pengawasan Pemeriksaan
(NP2).

iii. Kode Pemeriksaan untuk Pemeriksaan Khusus berdasarkan keterangan lain berupa data
Harta Bersih adalah B711 atau B721 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan B712 atau B722
untuk Wajib Pajak Badan, dengan penjelasan:

(1) Digit pertama menunjukkan jenis pajak/ruang lingkup pemeriksaan yaitu B (Pajak PPh
Final terkait Harta Bersih sesuai dengan Undang-Undang Pengampunan Pajak).

(2) Digit kedua menunjukkan kriteria dan jenis pemeriksaannya yaitu 7 (Pemeriksaan Khusus
berdasarkan Keterangan Lain Berupa Harta Bersih oleh Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak,
Petugas Pemeriksa Pajak, atau Gabungan antara Pejabat Fungsional Pajak dengan Petugas
Pemeriksa Pajak). Petugas..

(3) Digit ketiga menunjukkan alasan pemeriksaan, yaitu:


1 > Ditemukan Harta Bersih terkait Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan
Pajak; atau
2 > Ditemukan Harta Bersih terkait Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak.
(4) Digit keempat menunjukkan jenis Wajib Pajak, yaitu 1 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
atau 2 untuk Wajib Pajak Badan.

iv. Kepala KPP menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah NP2 terbit dan pemeriksa pajak tidak perlu membuat rencana audit (audit plan).

v. Saat SP2 diterbitkan merupakan saat Direktorat Jenderal Pajak menemukan harta yang
belum/kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan atau belum dilaporkan dalam SPT
Tahunan PPh sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Pengampunan Pajak dan
petunjuk pelaksanaannya.

vi. Kepala KPP melakukan manajemen penerbitan SP2 agar tidak terdapat penerbitan SP2
lebih dari satu kali untuk masa pajak dan Wajib Pajak yang sama. Data dan/atau informasi
Harta Bersih yang diperoleh lebih dari satu kali di masa pajak yang sama, dikumpulkan untuk
diusulkan pemeriksaan khusus pada masa pajak berikutnya.

e) Prosedur pengujian dalam pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data
Harta Bersih,

i. Pada saat pelaksanaan pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta
Bersih, pemeriksa pajak melakukan pengujian untuk membuktikan hal-hal sebagai berikut:

(1) kebenaran bahwa Harta Bersih tersebut belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh
sebelum SP2 terbit atau tidak diungkap dalam Surat Pernyataan yang disampaikan Wajib
Pajak;

(2) kebenaran bahwa harta bersih tersebut adalah harta Wajib Pajak atau dalam hal Wajib
Pajak Orang Pribadi termasuk harta anggota keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang PPh, yang masih ada pada akhir Tahun Pajak Terakhir
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak. Termasuk juga dalam
pengertian harta Wajib Pajak adalah harta yang bukti kepemilikan formalnya bukan atas
nama Wajib Pajak namun Pemeriksa Pajak dapat membuktikan bahwa harta tersebut
sebenarnya merupakan Harta Wajib Pajak;

(3) kebenaran bahwa Wajib Pajak tidak termasuk dalam kriteria yang dimaksud dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016; dan

(4) kebenaran tahun perolehan harta sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 Undang-
Undang Pengampunan Pajak.

ii. Dalam rangka mengumpulkan bukti dan melakukan pengujian, Pemeriksa Pajak dapat:

(1) melakukan peminjaman buku/catatan, dokumen dan/atau meminta keterangan


sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang KUP terkait dengan harta bersih;

(2) meminta keterangan tertulis kepada pihak ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 35
Undang-Undang KUP terkait dengan harta bersih;

(3) melakukan pengujian keberadaan harta; dan


(4) meminta bantuan Tenaga Ahli untuk menentukan nilai harta sebagai dasar perhitungan
pajak terutang.

iii. Jangka waktu pengujian pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data
Harta Bersih paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dan tidak dapat diperpanjang.

iv. Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas Pemeriksaan Khusus
berdasarkan keterangan lain berupa data Harta Bersih paling lama 5 (lima) hari kerja dan
tidak ada pembahasan dengan Tim Quality Assurance.

v. Tindak lanjut hasil pengujian yang telah dilakukan dalam pelaksanaan pemeriksaan adalah
sebagai berikut:

(1) dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan hal-hal sebagaimana dimaksud pada angka i
terbukti, Pemeriksa Pajak menyelesaikan pemeriksaan dengan menerbitkan SKPKB sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;

(2) dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan hal-hal sebagaimana dimaksud pada angka i
tidak terbukti, pemeriksaan dihentikan dengan membuat LHP Sumir;

(3) dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terbukti bahwa harta tersebut adalah harta Wajib
Pajak lain, selain membuat LHP Sumir, Pemeriksa Pajak memproduksi data tentang harta
tersebut untuk ditindaklanjuti; dan

(4) dalam hal hasil pengujian ditindaklanjuti dengan LHP Sumir, Kepala KPP menyampaikan
Surat Pemberitahuan Penghentian Pemeriksaan dengan LHP Sumir kepada Wajib Pajak.

vi. Format LHP untuk pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta
Bersih adalah sesuai dengan contoh pada Lampiran III.1 atau Lampiran III.2 yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

vii. Dalam melaksanakan pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data Harta
Bersih, Pemeriksa Pajak harus memperhatikan ketentuan mengenai tatacara perhitungan,
tarif, penentuan dasar perhitungan pajak, dan saat terutang sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Pengampunan Pajak, Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan
pelaksanaannya.

viii. Prosedur pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa harta bersih
diberlakukan sama dengan prosedur pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa
data konkret sepanjang tidak diatur khusus dalam surat edaran ini.

e. Revitalisasi kegiatan pemeriksaan pada KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar,
KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya di seluruh Indonesia.

1) Sebagai KPP penentu penerimaan secara nasional, kegiatan pemeriksaan pada KPP
tersebut perlu direvitalisasi dalam rangka optimalisasi penyelesaian pemeriksaan restitusi
PPN, penyelesaian pemeriksaan rutin seluruh jenis pajak, pemeriksaan khusus berdasarkan
analisis risiko, dan pemeriksaan oleh Petugas Pemeriksa Pajak.
2) Dalam rangka optimalisasi kinerja Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak untuk melakukan
penggalian potensi pada KPP penentu penerimaan tersebut, Kepala KPP perlu melakukan
reformulasi tugas Fungsional Pemeriksa Pajak menjadi sebagai berikut:

a) pembentukan Satuan Tugas (Satgas) pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar dengan
penekanan output pada refund discrepancy, dan

b) pembentukan Satuan Tugas (Satgas) pemeriksaan dalam rangka penggalian potensi


melalui pemeriksaan rutin seluruh jenis pajak dan/atau pemeriksaan khusus berdasarkan
analisis risiko.

3) Satgas Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar

a) Kepala KPP harus membentuk Satgas Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar yang
tugas utamanya adalah melakukan pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar baik restitusi
maupun kompensasi melalui Keputusan Kepala KPP.

b) Keputusan Kepala KPP tersebut harus disampaikan kepada Direktur Pemeriksaan dan
Penagihan dan ditembuskan kepada Kepala Kanwil atasannya paling lambat 31 Mei 2017.

c) Jumlah Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak yang ditunjuk sebagai anggota Satgas
Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar ditetapkan oleh Kepala KPP dengan
mempertimbangkan beban kerja riil pemeriksaan restitusi PPN.

d) Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar yang telah diberikan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C, Pasal
17D Undang-Undang KUP dan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN dilakukan oleh satgas
pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar.

e) Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar harus dilakukan dengan memperhatikan
prosedur dan melakukan pengujian pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar sebagaimana
diuraikan pada angka 2 huruf b angka 5) dan angka 2 huruf b angka 6) di atas.

f) Kinerja Satgas Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar diukur dari refund discrepancy
yang diperoleh pada saat pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar Resititusi dan ukuran
kinerja lain yang telah ditetapkan dalam Surat Edaran ini.

4) Satgas Pemeriksaan dalam rangka penggalian potensi.


a) Kepala KPP harus membentuk Satgas Pemeriksaan dalam rangka penggalian potensi yang
tugas utamanya adalah melakukan pemeriksaan untuk penggalian potensi melalui
pemeriksaan rutin seluruh jenis pajak dan/atau pemeriksaan khusus seluruh jenis pajak.

b) Keputusan Kepala KPP tersebut harus disampaikan kepada Direktur Pemeriksaan dan
Penagihan dan ditembuskan kepada Kepala Kanwil atasannya paling lambat 31 Mei 2017.

c) Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak yang tidak termasuk dalam Satgas Pemeriksaan SPT
Masa PPN Lebih Bayar harus menjadi anggota Satgas Pemeriksaan dalam rangka penggalian
potensi.
d) Pemeriksaan rutin SPT Tahunan PPh Lebih Bayar dan SPT Tahunan PPh Rugi harus
dilakukan dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak.

e) Pemeriksaan khusus yang dilakukan oleh Satgas Pemeriksaan dalam rangka penggalian
potensi harus dilakukan dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak.

f) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf e) diprioritaskan untuk Wajib


Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak.

g) Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak dapat dilakukan pemeriksaan khusus
untuk tahun pajak setelah tahun pajak terakhir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pengampunan Pajak dalam hal terdapat data konkret, hasil analisis dan pengembangan
Informasi Data Laporan dan Pengaduan (IDLP), atau terdapat hasil analisis risiko yang
menunjukkan adanya potensi pajak yang tinggi.

h) Kinerja Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak yang melakukan pemeriksaan dalam rangka
penggalian potensi diukur dari realisasi pencairan surat ketetapan pajak dan ukuran kinerja
lain yang telah ditetapkan dalam Surat Edaran ini.

5) Dalam rangka optimalisasi peran Petugas Pemeriksa Pajak, dilakukan reformulasi kegiatan
pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak sebagai berikut:
a) Kepala KPP harus mengangkat Kepala Seksi Pemeriksaan dan pelaksananya serta Kepala
Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, III, dan IV dan Account Representative-nya sebagai
Petugas Pemeriksa Pajak dengan menggunakan Surat Ketetapan Kepala Kantor sesuai dengan
contoh format pada Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat
Edaran ini.

b) Pemeriksaan khusus data konkret harus dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi
Pengawasan dan Konsultasi II, III, dan IV sesuai dengan Wajib Pajak yang
diadministrasikannya.

c) Pemeriksaan khusus selain sebagaimana dimaksud pada huruf b) yang memenuhi kriteria:

4. ruang lingkup pemeriksaan untuk satu jenis pajak atau beberapa jenis pajak selain
jenis pajak PPh Wajib Pajak Badan atau PPh Wajib Pajak Orang Pribadi; dan
5. merupakan hasil analisis risiko manual bottom up,
6. harus dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi Pengawasan dan Konsultasi
II, III, dan IV sesuai dengan Wajib Pajak yang diadministrasikannya.

d) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud huruf b) dan huruf c) merupakan kinerja


Petugas Pemeriksa Pajak yang melakukan pemeriksaan.

e) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak yang berasal dari Seksi
Pengawasan dan Konsultasi II, III dan IV sebagaimana dimaksud huruf b) dan huruf c) maka
susunan Tim Pemeriksa ditetapkan sebagai berikut:

3. yang bertindak sebagai Supervisor adalah Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
II, III atau IV; dan
4. yang bertindak sebagai Ketua Tim merangkap Anggota Tim adalah Account
Representative yang menangani Wajib Pajak yang diperiksa.
f) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf c) adalah pemeriksaan dengan
kode pemeriksaan sesuai dengan SE-06/PJ/2016 yang diawali dengan 291, 391, 791, 891,
991, 091 dan A91.

g) Pemeriksaan Tujuan Lain dalam rangka penerbitan NPWP dan/atau pengukuhan PKP
secara jabatan atau dalam rangka penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan
PKP, baik atas permohonan Wajib Pajak maupun secara jabatan, harus dilakukan oleh
Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi Pemeriksaan.

6) Data dan/atau informasi yang menunjukkan ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban


perpajakan jenis PPh Wajib Pajak Badan atau PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang
ditindaklanjuti dengan kegiatan pemeriksaan harus dilakukan dengan ruang lingkup
pemeriksaan seluruh jenis pajak dan dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak yang
menjadi anggota Satgas Pemeriksaan SPT dalam rangka penggalian potensi.

7) Dalam hal terdapat pemeriksaan dengan ruang lingkup pemeriksaan selain sebagaimana
telah diatur dalam angka 3), 4), 5), dan 6) pemeriksaannya harus dilakukan oleh Fungsional
Pemeriksa Pajak yang menjadi anggota Satgas Pemeriksaan SPT dalam rangka penggalian
potensi atau gabungan antara Fungsional Pemeriksa Pajak tersebut dengan Petugas Pemeriksa
Pajak dari Seksi Pemeriksaan.

8) Dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas pemeriksaan, Kepala UP2 menunjuk
tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari dua orang yaitu satu orang Supervisor dan satu orang
Ketua Tim merangkap Anggota Tim kecuali atas pertimbangan untuk pemeriksaan Wajib
Pajak tertentu, Kepala UP2 dapat menambah anggota tim.

9) Dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas pemeriksaan, pelaksanaan


pemeriksaan pada KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, KPP di lingkungan
Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya di seluruh Indonesia harus:

4. menggunakan Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK) atau e-Audit,


5. menyampaikan permintaan pembukaan rekening bank Wajib Pajak secara elektronik
dengan menggunakan aplikasi buka rahasia bank (AKASIA) berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan
Keterangan atau Bukti dari Pihak-Pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan;
dan
6. melaksanakan pengujian di tempat Wajib Pajak sesuai dengan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak nomor SE-10/PJ/2017 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Lapangan
Dalam Rangka Menguji Kepatuhan.

f. Pemeriksaan pada KPP Pratama di seluruh Indonesia


Dengan ciri khas wilayah yang luas dan didominasi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, maka
manajemen kegiatan pemeriksaan di KPP Pratama perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1) Manajemen pemeriksaan rutin.
a) Pemeriksaan rutin atas SPT Lebih Bayar Restitusi dilakukan sesuai dengan Manajemen
Penyelesaian SPT Lebih Bayar Restitusi sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b.

b) Pemeriksaan rutin SPT PPh Lebih Bayar dan SPT PPh Rugi harus dilakukan dengan ruang
lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak.
c) Pemeriksaan rutin atas SPT Masa PPN Lebih Bayar dilakukan oleh gabungan antara
Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa Pajak di Seksi Pemeriksaan.

d) Pemeriksaan Rutin selain SPT Masa PPN Lebih Bayar yang ruang lingkup
pemeriksaannya meliputi seluruh jenis pajak dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak.

e) Dalam hal terdapat pemeriksaan rutin selain huruf c) dan huruf d), pemeriksaannya harus
dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak atau gabungan antara Fungsional Pemeriksa
Pajak dengan Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi Pemeriksaan.

f) Pemeriksaan rutin selain SPT Lebih Bayar Restitusi harus dikelola dengan memperhatikan
skala prioritas dan beban kerja sehingga di setiap KPP harus tetap ada alokasi Pejabat
Fungsional Pemeriksa Pajak untuk Pemeriksaan Khusus berdasarkan analisis risiko.

2) Manajemen pemeriksaan khusus.


Pemeriksaan khusus pada KPP Pratama dilakukan dengan strategi sebagai berikut:
a) Pemeriksaan khusus diprioritaskan terhadap Wajib Pajak yang tidak mengikuti
Pengampunan Pajak.

b) Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak, dapat dilakukan pemeriksaan khusus
untuk tahun pajak setelah tahun pajak terakhir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Pengampunan Pajak dalam hal terdapat data konkret, hasil analisis dan pengembangan
Informasi Data Laporan dan Pengaduan (IDLP), atau terdapat hasil analisis risiko yang
menunjukkan adanya potensi pajak yang tinggi.

c) Wajib Pajak yang diprioritaskan untuk dilakukan pemeriksaan khusus adalah Wajib Pajak
sebagaimana terdapat dalam DSPP yang telah ditetapkan oleh Kepala KPP dan Kepala
Kanwil DJP atasannya dengan memperhatikan besaran potensi pajaknya.

d) Pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko diprioritaskan dengan ruang lingkup


seluruh jenis pajak.

3) Optimalisasi peran Petugas Pemeriksa Pajak dengan melakukan reformulasi kegiatan


pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak sebagai berikut:
a) Kepala KPP harus mengangkat Kepala Seksi Pemeriksaan beserta pelaksananya, Kepala
Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, III dan IV beserta Account Representative-nya, dan
Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan beserta Account Representative dan/atau
pelaksananya sebagai Petugas Pemeriksa Pajak dengan menggunakan Surat Ketetapan
Kepala Kantor sesuai dengan contoh format pada Lampiran IV yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

b) Penunjukkan Petugas Pemeriksa Pajak selain dimaksud pada huruf a) dilakukan sesuai
dengan pertimbangan Kepala KPP.

c) Pemeriksaan khusus data konkret harus dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi
Pengawasan dan Konsultasi II, III dan IV atau Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi
Ekstensifikasi dan Penyuluhan, sesuai dengan Wajib Pajak yang diadministrasikannya.

d) Pemeriksaan khusus selain sebagaimana dimaksud pada huruf c) yang memenuhi kriteria:
4. ruang lingkup pemeriksaan untuk satu jenis pajak atau beberapa jenis pajak selain
jenis pajak PPh Wajib Pajak Badan atau PPh Wajib Pajak Orang Pribadi; dan
5. merupakan hasil analisis risiko manual bottom up,
6. harus dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi Pengawasan dan Konsultasi
II, III, dan IV atau Petugas Pemeriksa Pajak dari Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan,
sesuai dengan Wajib Pajak yang diadministrasikannya.

e) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud huruf c) dan huruf d) merupakan kinerja


Petugas Pemeriksa Pajak yang melakukan pemeriksaan.

f) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak yang berasal dari Seksi
Pengawasan dan Konsultasi II, III dan IV atau Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan
sebagaimana dimaksud huruf c) dan huruf d) maka susunan Tim Pemeriksa ditetapkan
sebagai berikut:

4. yang bertindak sebagai Supervisor adalah Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi
II,
5. III atau IV atau Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan; dan
6. yang bertindak sebagai Ketua Tim merangkap Anggota Tim adalah Account
Representative atau pelaksana yang menangani Wajib Pajak yang diperiksa.

g) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf d) adalah pemeriksaan dengan


kode pemeriksaan sesuai dengan SE-06/PJ/2016 yang diawali dengan 291, 391, 791, 891,
991, 091 dan A91.

h) Pemeriksaan Tujuan Lain harus dilakukan oleh Petugas Pemeriksa Pajak selain dari Seksi
Pengawasan dan Konsultasi.

4) Data dan/atau informasi yang menunjukkan ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban


perpajakan jenis PPh Wajib Pajak Badan atau PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang
ditindaklanjuti dengan kegiatan pemeriksaan harus dilakukan dengan ruang lingkup
pemeriksaan seluruh jenis pajak dan dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak.

5) Dalam hal terdapat pemeriksaan dengan ruang lingkup pemeriksaan selain sebagaimana
telah diatur dalam angka 1), 3), dan 4) pemeriksaannya harus dilakukan oleh Fungsional
Pemeriksa Pajak atau gabungan antara Fungsional Pemeriksa Pajak tersebut dengan Petugas
Pemeriksa Pajak dari Seksi Pemeriksaan.

6) Dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas pemeriksaan, Kepala UP2 menunjuk
tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari dua orang yaitu satu orang Supervisor dan satu orang
Ketua Tim merangkap Anggota Tim kecuali atas pertimbangan untuk pemeriksaan Wajib
Pajak tertentu, Kepala UP2 dapat menambah anggota tim.

g. Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) di Bidang Pemeriksaan.


Untuk meningkatkan kualitas SDM Pemeriksaan diperlukan strategi pengelolaan SDM
Pemeriksaan melalui:

1) alokasi Fungsional Pemeriksa Pajak berdasarkan Analisis Beban Kerja;


2) desentralisasi peningkatan kompetensi pemeriksa (secara terarah, tepat sasaran, sesuai
kebutuhan, dan terdokumentasi);
3) sinkronisasi peran dan jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak;
4) optimalisasi Petugas Pemeriksa Pajak;
5) optimalisasi Fungsional Penilai dalam kegiatan pemeriksaan;
6) peningkatan kompetensi manajemen dan administrasi pemeriksaan;
7) pemberian Penghargaan terhadap Pemeriksa yang berkinerja baik, sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

h. Revitalisasi Metode dan Teknik Pemeriksaan


Penggunaan metode dan teknik pemeriksaan mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak nomor SE-65/PJ/2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan.
Penggunaan metode dan teknik pemeriksaan tersebut disesuaikan dengan kegiatan
pemeriksaan yang dilakukan, misalnya pemeriksaan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi atau
Badan yang termasuk kategori dikenakan PPh Final berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh
Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, metode dan teknik pemeriksaan yang
digunakan terfokus pada pengujian peredaran usaha. Revitalisasi Metode dan Teknik
Pemeriksaan dilakukan melalui:

1) optimalisasi pemanfaatan Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK);

2) pelaksanaan teknik pemeriksaan dengan penelusuran harta (asset tracing) sebagai tindak
lanjut pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak dilakukan melalui koordinasi
dengan Seksi Intelijen di Kanwil DJP masing-masing dan/atau Direktorat Intelijen
Perpajakan; dan

3) optimalisasi pemanfaatan pembukaan data nasabah penyimpan menggunakan Aplikasi


Buka Rahasia (AKASIA) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
235/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti dari Pihak-Pihak
yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan.

i. Optimalisasi perangkat pendukung pemeriksaan


Optimalisasi perangkat pendukung pemeriksaan dapat dilakukan dengan memanfaatkan:
1) aplikasi pendukung pemeriksaan, misalnya Case Management pada Sistem Informasi
Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) dan Aplikasi Laporan Pemeriksaan Pajak (ALPP);

2) perangkat lunak pemeriksaan, misalnya aplikasi add in e-audit utilities pada Microsoft
Excel, Audit Command Language (ACL), dan SESAM ESCORT;

3) perangkat lunak penyedia data untuk keperluan pemeriksaan, misalnya OSIRIS/ORIANA,


Orbis, dan B2B;

4) modul jenis usaha atau industri tertentu yang dapat diakses pada Aplikasi Pendukung
Desentralisasi Pelatihan Pemeriksa (ANTARIKSA).

j. Optimalisasi Pemanfaatan Data


Optimalisasi pemanfaatan data dalam Pemeriksaan dilakukan melalui:
1) pemanfaatan data internal dalam proses pemeriksaan berupa data yang terdapat dalam
SPT, Surat Setoran Pajak (SSP), Faktur Pajak, Bukti Pemotongan/Pemungutan (Pot/Put),
LHP sebelumnya, dan lain-lain;
2) pemanfatan data dan informasi eksternal untuk penguatan basis data dalam mendukung
kegiatan pemeriksaan diantaranya data Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak
Lain (ILAP), data Devisa Hasil Ekspor (DHE), data Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB),
dan lain-lain;

3) produksi data oleh Pemeriksa Pajak yang dapat dimanfaatkan untuk pengawasan
kepatuhan Wajib Pajak yang terkait dengan Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan;

4) pembuatan data harta yang dapat dijadikan obyek sita yang dimiliki Wajib Pajak pada saat
pemeriksaan dilakukan (bukan data harta pada tahun pajak yang diperiksa); dan

5) pemutakhiran data Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak dalam hal diketahui
terdapat perbedaan antara KLU yang sebenarnya dengan KLU yang terdapat di masterfile
Wajib Pajak.

k. Optimalisasi Kerja Sama Dalam Rangka Pemeriksaan


Kerja sama dalam rangka pemeriksaan dilakukan bersama dengan pihak eksternal sebagai
berikut:

1) pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (TOPN);


2) joint audit antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
3) joint audit antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
4) joint audit antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK);
5) Tim Gabungan antara DJP dengan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
6) pemeriksa dapat meminta bantuan tenaga ahli yang memiliki keahlian tertentu, yang
berasal dari pihak di luar Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak, sebagai tenaga ahli seperti penerjemah bahasa, ahli di bidang teknologi informasi, dan
pengacara; dan
7) kerjasama dalam rangka pemeriksaan dengan pihak lainnya.

3. Pengukuran Kinerja Pemeriksaan


Pengukuran kinerja pemeriksaan dilakukan berdasarkan aspek-aspek pengukuran kinerja
sebagai berikut:

10. persentase realisasi penerimaan extra effort pemeriksaan dan penagihan;


11. persentase realisasi pencairan SKP;
12. persentase realisasi penyelesaian pemeriksaan;
13. audit coverage ratio (ACR);
14. persentase SKP yang tidak diajukan keberatan;
15. persentase refund discrepancy;
16. persentase penyelesaian analisis bahan pemeriksaan berbasis risiko;
17. persentase penyampaian produksi data; dan
18. persentase penyelesaian pemeriksaan tepat waktu untuk SP2 pemeriksaan khusus,

sebagaimana dimaksud pada Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran ini.
4. Pemantauan, Pengendalian, Evaluasi, dan Tindak Lanjut
a. Pemantauan

Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP melakukan pemantauan
terhadap:
1) realisasi penerimaan dari pemeriksaan;
2) pelaksanaan pemeriksaan lebih bayar restitusi;
3) penyelesaian pemeriksaan secara tepat waktu;
4) pemeriksaan oleh Petugas Pemeriksa Pajak (PPP);
5) tunggakan pemeriksaan;
6) hasil pemeriksaan yang diajukan upaya hukum;
7) pelaksanaan strategi dan realisasi rencana pemeriksaan, termasuk ukuran-ukuran kinerja
pemeriksaan.

b. Pengendalian
1) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP melakukan pengendalian
terhadap kinerja pemeriksaan.
2) Pengendalian dilakukan melalui:

a) Pembentukan tim bimbingan teknis, reviu, dan penelaahan sejawat oleh Direktur
Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kanwil DJP.

b) Bimbingan teknis dilakukan sesuai dengan SE-06/PJ/2016.

c) Reviu dilakukan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
83/PJ/2009 tentang Reviu (Penelaahan) dan Penelaahan Sejawat (Peer Review).

d) Ruang lingkup materi reviu mengacu pada rencana pemeriksaan (audit plan) yang telah
disetujui oleh Kepala UP2.

e) Penelaahan sejawat (Peer Review) dilakukan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak nomor SE-49/PJ/2012 tentang Penelaahan Sejawat (Peer Review) Pemeriksaan.

3) Pengendalian dilakukan mulai pada tahap persiapan (penyusunan rencana


pemeriksaan/audit plan dan program pemeriksaan/audit program), pelaksanaan, dan
pelaporan pemeriksaan.

c. Evaluasi dan Tindak Lanjut


1) Evaluasi
a) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP melakukan evaluasi secara
intensif terhadap pelaksanaan strategi dan realisasi rencana pemeriksaan, termasuk ukuran-
ukuran kinerja pemeriksaan;

b) Kepala Kanwil DJP melaporkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada huruf a)
kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan setiap semester sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.

c) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan berkoordinasi dengan Direktur Keberatan dan


Banding untuk melakukan evaluasi atas hasil keberatan, banding, gugatan, peninjauan
kembali, dan/atau Pasal 36 Undang-Undang KUP dalam rangka penyempurnaan regulasi,
metode, dan teknik pemeriksaan.

2) Tindak Lanjut
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP melakukan tindak lanjut
terhadap hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada angka 1), dengan cara mengambil
langkah strategis yang perlu dilakukan sesuai kewenangannya masing-masing dalam rangka
memastikan terlaksananya strategi dan tercapainya rencana pemeriksaan.

F. Penutup

Kebijakan pemeriksaan yang tidak diatur secara khusus dalam Surat Edaran ini tetap
mengacu pada kebijakan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 April 2017
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

Berikut Link Lampiran SE 11-PJ-2017


SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN

NOMOR 16/SEOJK.03/2017

TENTANG

PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN

DALAM RANGKA PERTUKARAN INFORMASI SECARA OTOMATIS

ANTARNEGARA DENGAN MENGGUNAKAN STANDAR PELAPORAN BERSAMA

(COMMON REPORTING STANDARD)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25/POJK.03/2015 tentang


Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan kepada Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 291, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5773) selanjutnya disebut POJK Penyampaian
Informasi Nasabah Asing, dan Competent Authority Agreement (CAA) yang ditandatangani
oleh Pemerintah Indonesia, baik secara bilateral maupun multilateral, dan dalam rangka
penerapan pertukaran informasi secara otomatis antarnegara (Automatic Exchange of
Information/AEOI) dengan menggunakan Common Reporting Standard, perlu untuk
mengatur pelaksanaan mengenai penyampaian informasi nasabah asing terkait perpajakan
dalam rangka pertukaran informasi secara otomatis antarnegara dengan menggunakan
Common Reporting Standard dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:

I. KETENTUAN UMUM

1. Common Reporting Standard yang selanjutnya disingkat CRS adalah standar pertukaran
informasi keuangan secara otomatis untuk kepentingan perpajakan termasuk penjelasan
(commentaries) yang disusun oleh Organisation for Economic Cooperation and Development
(OECD) bersama dengan negara anggota Kelompok 20 (Group of Twenty atau G20).

2. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah LJK sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

3. LJK Pelapor adalah LJK yang memiliki kewajiban pelaporan informasi Nasabah Asing
terkait perpajakan kepada otoritas pajak Indonesia, sesuai dengan kriteria sebagaimana
dimaksud dalam CAA CRS.

4. LJK Bukan Pelapor adalah LJK yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan informasi
Nasabah Asing terkait perpajakan kepada otoritas pajak Indonesia, sesuai dengan kriteria
sebagaimana dimaksud dalam CAA CRS.
5. Participating Jurisdiction adalah suatu negara mitra atau yurisdiksi mitra yang
dipublikasikan dalam suatu daftar yang diterbitkan oleh otoritas pajak Indonesia dan akan
memberikan informasi Nasabah Asing terkait perpajakan.

6. Reportable Jurisdiction adalah suatu negara mitra atau yurisdiksi mitra yang dipublikasikan
dalam suatu daftar yang diterbitkan oleh otoritas pajak Indonesia dan memiliki kewajiban
untuk saling memberikan informasi Nasabah Asing terkait perpajakan.

7. Participating Jurisdiction Indicia adalah indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi


bahwa Nasabah Asing berasal dari Participating Jurisdiction.

8. Controlling Person adalah pemilik manfaat (beneficial owner) sebagaimana dimaksud


dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi sektor jasa keuangan.

9. Reportable Person yang selanjutnya disebut sebagai Pihak yang Dilaporkan adalah
Nasabah Asing dan/atau Controlling Person yang berasal dari Reportable Jurisdiction.

10. Reportable Account yang selanjutnya disebut sebagai Rekening yang Wajib Dilaporkan
adalah:
a. rekening pada Bank;

b. polis asuransi pada Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah;
dan/atau

c. nomor sub rekening efek pada Perusahan Efek dan Bank Kustodian;
yang dimiliki satu atau lebih Pihak yang Dilaporkan.

11. Determination Date yang selanjutnya disebut sebagai Tanggal Penentuan adalah tanggal
sebagaimana ditentukan dalam CAA CRS sebagai acuan bagi LJK Pelapor untuk
mengklasifikasikan nasabah dalam rangka mengidentifikasi dan melaporkan Rekening yang
Wajib Dilaporkan, yaitu tanggal 1 Juli 2017, atau tanggal lain yang akan disepakati oleh
Indonesia dan negara mitra atau yurisdiksi mitra yang merujuk pada suatu daftar
Determination Date yang dipublikasikan oleh otoritas pajak Indonesia.

II. LJK PELAPOR

LJK Pelapor terdiri atas:

1. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah;

2. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
3. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah mendapat persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan sebagai Bank Kustodian; dan

4. Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan
asuransi yang menyelenggarakan usaha asuransi jiwa atau usaha asuransi jiwa syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

III. NASABAH ASING

1. Kriteria Nasabah Asing berdasarkan LJK Pelapor:


a. bagi Bank Umum, yaitu nasabah perorangan atau perusahaan yang berasal dari
Participating Jurisdiction dan memenuhi kriteria Nasabah Asing yang memiliki rekening
dan/atau menggunakan jasa di Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Romawi II sampai
dengan Romawi V Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini;

b. bagi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha:


1) sebagai Penjamin Emisi Efek, adalah Nasabah Asing yang berasal dari Participating
Jurisdiction, baik perorangan maupun perusahaan, yang menggunakan jasa Penjamin Emisi
Efek;

2) sebagai Perantara Pedagang Efek, adalah Nasabah Asing yang berasal dari Participating
Jurisdiction, baik perorangan maupun perusahaan, yang menggunakan jasa Perantara
Pedagang Efek; dan/ atau

3) sebagai Manajer Investasi, adalah Nasabah Asing yang berasal dari Participating
Jurisdiction, baik perorangan maupun perusahaan, yang berinvestasi pada produk investasi
yang dikelola oleh Manajer Investasi;

sebagaimana dimaksud dalam Romawi II sampai dengan Romawi V Lampiran I yang


merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini;

c. bagi Bank Kustodian, adalah Nasabah Asing yang berasal dari Participating Jurisdiction,
baik perorangan maupun perusahaan, yang menginvestasikan dana dan/atau Efeknya untuk
dikelola oleh Manajer Investasi untuk kepentingan nasabah secara individual yang
merupakan nasabah langsung Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Romawi II
sampai dengan Romawi V Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini; dan/atau

d. bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, adalah Nasabah
Asing yang berasal dari Participating Jurisdiction, baik perorangan maupun perusahaan, yang
menjadi pemegang polis atau peserta sebagaimana dimaksud dalam Romawi II sampai
dengan Romawi V Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini.

2. Identifikasi terhadap Nasabah LJK Pelapor


Proses identifikasi untuk Nasabah LJK Pelapor dilakukan dengan mengacu pada Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
3. Pernyataan Persetujuan, Instruksi atau Pemberian Kuasa
Dalam hal Nasabah Asing setuju untuk memberikan informasi terkait perpajakan kepada
otoritas pajak Indonesia untuk disampaikan kepada otoritas pajak Participating Jurisdiction,
Nasabah Asing menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa secara
tertulis dan sukarela kepada LJK Pelapor, yang paling sedikit memuat:

a. Bagi Nasabah Asing Perorangan:


1) Nama nasabah;
2) Jenis dan nomor dokumen identitas antara lain berupa paspor, Kartu Izin Tinggal Terbatas
(KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP);
3) Tempat dan tanggal lahir nasabah;
4) Alamat domisili dan/atau alamat korespondensi nasabah;
5) Negara mitra atau yurisdiksi mitra domisili nasabah;
6) Persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela terhadap
pembukaan dan/atau penyerahan data dan informasi termasuk data dan informasi terkait
perpajakan yang bersangkutan kepada otoritas pajak Indonesia untuk dapat disampaikan
kepada otoritas pajak Participating Jurisdiction sesuai CAA CRS;
7) Tempat dan tanggal penandatanganan pernyataan persetujuan;
8) Tanda tangan nasabah; dan
9) Tax Identification Number (TIN) nasabah, jika ada.

b. Bagi Nasabah Asing Perusahaan:


1) Nama perusahaan sesuai anggaran dasar;
2) Anggaran dasar perusahaan dan nomor tanda daftar perusahaan atau surat domisili
perusahaan;
3) Alamat domisili dan/atau alamat korespondensi perusahaan;
4) Negara mitra atau yurisdiksi mitra domisili nasabah untuk kepentingan perpajakan;
5) Nama Controlling Person perusahaan;
6) Jenis dan nomor identitas Controlling Person;
7) Tempat dan tanggal lahir Controlling Person;
8) Alamat domisili dan/atau alamat korespondensi Controlling Person;
9) Negara mitra atau yurisdiksi mitra domisili Controlling Person untuk kepentingan
perpajakan Controlling Person;
10) Persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela terhadap
pembukaan dan/atau penyerahan data dan informasi termasuk data dan informasi terkait
perpajakan yang bersangkutan kepada otoritas pajak Indonesia untuk dapat disampaikan
kepada otoritas pajak Participating Jurisdiction berdasarkan CAA CRS;
11) Tempat dan tanggal penandatanganan pernyataan persetujuan;
12) Tanda tangan nasabah; dan
13) TIN nasabah dan/atau Controlling Person, jika ada.

4. Penjelasan Konsekuensi kepada Nasabah oleh LJK Pelapor


a. Berdasarkan Pasal 5 POJK Penyampaian Informasi Nasabah Asing, dalam hal Nasabah
Asing tidak bersedia menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa
secara tertulis dan sukarela, LJK wajib:

1) menjelaskan konsekuensi bagi Nasabah Asing apabila tidak bersedia memberikan


informasi sesuai Perjanjian Pertukaran Informasi secara Otomatis;
2) meminta Nasabah Asing menyampaikan pernyataan keberatan secara tertulis; dan
3) tidak melayani transaksi baru terkait rekening atau polis Nasabah Asing tersebut.
b. LJK memastikan bahwa Nasabah Asing telah memahami penjelasan mengenai
konsekuensi apabila tidak bersedia menyampaikan pernyataan persetujuan, instruksi atau
pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela.

c. Penyampaian penjelasan mengenai konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam huruf b


dilakukan sesuai dengan prosedur intern LJK.

5. Pernyataan Keberatan
Dalam hal Nasabah Asing tidak bersedia memberikan pernyataan persetujuan, instruksi, atau
pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela sebagaimana dimaksud pada angka 4, LJK
Pelapor meminta pernyataan keberatan kepada nasabah, yang paling sedikit memuat:
a. Bagi Nasabah Asing Perorangan:
1) Nama nasabah;
2) Nomor rekening/nomor sub rekening efek/nomor polis;
3) Klausul bahwa yang bertanda tangan dalam pernyataan keberatan telah memahami
konsekuensi atas ketidaksediaan yang bersangkutan untuk memberikan data dan informasi
terkait perpajakan kepada otoritas;
4) Tempat dan tanggal penandatanganan pernyataan keberatan; dan
5) Tanda tangan nasabah.

b. Bagi Nasabah Asing Perusahaan:


1) Nama perusahaan sesuai anggaran dasar;
2) Nomor rekening/nomor sub rekening efek/nomor polis;
3) Klausul bahwa yang bertanda tangan dalam pernyataan keberatan telah memahami
konsekuensi atas ketidaksediaan yang bersangkutan untuk memberikan data dan informasi
terkait perpajakan kepada otoritas;
4) Tempat dan tanggal penandatanganan pernyataan keberatan; dan
5) Tanda tangan nasabah.

IV. PELAPORAN

1. Pelaksanaan Pelaporan Rekening yang Wajib Dilaporkan


a. LJK Pelapor melaporkan Rekening yang Wajib Dilaporkan pada tahun-tahun berikutnya
sepanjang Nasabah Asing merupakan Pihak yang Dilaporkan.

b. LJK Pelapor menyampaikan informasi Pihak yang Dilaporkan melalui sistem penyampaian
informasi nasabah asing Otoritas Jasa Keuangan setelah mendapatkan pernyataan
persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela dari Pihak yang
Dilaporkan.

c. Informasi yang disampaikan adalah:


1) Informasi LJK Pelapor yang paling sedikit memuat nama dan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) LJK Pelapor;

2) Informasi Nasabah Asing yang paling sedikit memuat:


a) Bagi Nasabah Perorangan:
i. Nama nasabah;
ii. Tempat dan tanggal lahir nasabah;
iii. Alamat domisili dan/atau alamat korespondensi nasabah;
iv. Negara mitra atau yurisdiksi mitra domisili nasabah untuk kepentingan perpajakan; dan
v. TIN nasabah, jika ada.

b) Bagi Nasabah Perusahaan:


i. Nama perusahaan sesuai anggaran dasar;
ii. Alamat domisili dan/atau alamat korespondensi perusahaan;
iii. Negara mitra atau yurisdiksi mitra domisili perusahaan untuk kepentingan perpajakan;
iv. Nama Controlling Person;
v. Tempat dan tanggal lahir Controlling Person;
vi. Alamat domisili dan/atau alamat korespondensi Controlling Person;
vii. Negara mitra atau yurisdiksi mitra domisili Controlling Person untuk kepentingan
perpajakan; dan
viii. TIN nasabah dan/atau Controlling Person, jika ada.

3) Informasi keuangan Nasabah Asing yang dilaporkan paling sedikit memuat:


a) nomor Rekening yang Wajib Dilaporkan;

b) saldo atau nilai rekening dalam hal kontrak asuransi termasuk nilai tunai kontrak asuransi,
nilai anuitas atau surrender value pada akhir tahun kalender;

c) penghasilan dalam Rekening yang Wajib Dilaporkan berupa:

i. untuk rekening efek, yaitu:


(a) jumlah bunga, dividen dan/atau penghasilan lainnya yang dihasilkan oleh aset yang
berada dalam rekening efek yang dibayarkan atau dikreditkan ke dalam rekening selama
tahun kalender; dan/atau
(b) jumlah yang diperoleh dari penjualan atau penjualan kembali (redemption) atas efek yang
dibayarkan atau dikreditkan ke rekening selama tahun kalender dalam hal LJK bertindak
sebagai kustodian, broker, nominee, atau agen bagi nasabah.

ii. untuk rekening simpanan, yaitu jumlah bunga yang dibayarkan atau dikreditkan ke
rekening simpanan selama tahun kalender;

d) total jumlah yang dibayarkan atau dikreditkan kepada Nasabah Asing, untuk jenis
Rekening yang Wajib Dilaporkan selain yang dimaksud dalam huruf b); dan

e) informasi Rekening yang Wajib Dilaporkan yang telah ditutup sebelum akhir periode
laporan, dilaporkan dengan saldo nihil dan keterangan tutup.

d. LJK Pelapor harus menginformasikan keterangan mengenai jenis mata uang yang
digunakan untuk setiap nominal yang dilaporkan.

e. Dalam hal LJK Pelapor tidak memiliki informasi TIN atau tanggal lahir dari Pihak yang
Dilaporkan sebelum Tanggal Penentuan, LJK Pelapor tetap mengupayakan pengumpulan
informasi tersebut selama 2 (dua) tahun setelah teridentifikasi sebagai Pihak yang
Dilaporkan.

2. Pelaksanaan Pelaporan Rekening Tak Terdokumentasi (Undocumented Account)


a. LJK Pelapor melaporkan rekening tak terdokumentasi (undocumented account) pada
tahun-tahun berikutnya sepanjang Nasabah Asing merupakan Pihak yang Dilaporkan.

b. LJK Pelapor menyampaikan informasi Pihak yang Dilaporkan melalui sistem penyampaian
informasi nasabah asing Otoritas Jasa Keuangan setelah mendapatkan pernyataan
persetujuan, instruksi atau pemberian kuasa secara tertulis dan sukarela dari Pihak yang
Dilaporkan.

3. Pelaksanaan Pelaporan oleh LJK Pelapor yang Menjadi Selling Agent dan/atau Kustodian
a. Sesuai dengan Pasal 9 POJK Penyampaian Informasi Nasabah Asing, LJK dapat
mendelegasikan pelaksanaan kewajiban pelaporan kepada LJK lain yang menjadi selling
agent dan/atau kustodian.

b. Dalam hal selling agent dan/atau kustodian yang menerima pendelegasian merupakan LJK
Pelapor, selain memenuhi kewajiban sebagai LJK Pelapor, juga harus melaporkan informasi
terkait perpajakan dari nasabah LJK yang mendelegasikan kewajiban pelaporan.

4. Mekanisme dan Waktu Pelaporan


a. Informasi Pihak yang Dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam Romawi IV angka 1 huruf
c disampaikan oleh LJK Pelapor kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui sistem penyampaian
informasi nasabah asing.

b. Pelaporan informasi keuangan dalam sistem penyampaian informasi nasabah asing


dilakukan untuk setiap rekening yang dimiliki oleh Pihak yang Dilaporkan.

c. Berdasarkan CAA CRS multilateral, penyampaian Informasi Pihak yang Dilaporkan


sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan paling lambat tanggal 1 Agustus setiap
tahun, untuk posisi akhir bulan Desember tahun sebelumnya.

d. Berdasarkan CAA bilateral, penyampaian Informasi Pihak yang Dilaporkan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a untuk posisi akhir bulan Desember, dilakukan pada tiap tahun
berikutnya paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum batas waktu pelaporan yang
disepakati dalam CAA bilateral.

e. Jika batas waktu pelaporan Informasi Pihak yang Dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam
huruf c dan huruf d jatuh pada hari libur maka pelaporan dilakukan pada hari kerja
berikutnya.

f. Pelaporan informasi Pihak yang Dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a oleh
LJK Pelapor dilakukan untuk pertama kali pada tahun 2018 berdasarkan CAA multilateral,
atau pada tahun tertentu yang disepakati dalam CAA bilateral.

5. Laporan Nihil
Dalam hal pada tahun berjalan LJK Pelapor tidak memiliki Rekening yang Wajib Dilaporkan,
LJK Pelapor menyampaikan laporan nihil melalui sistem informasi penyampaian nasabah
asing.

6. Pejabat Penanggung Jawab dan Petugas Pelaksana Pelaporan


a. LJK Pelapor menunjuk pejabat penanggung jawab dengan tingkatan jabatan yang
disesuaikan dengan ketentuan intern dan kompleksitas usaha LJK Pelapor.
b. Pejabat penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat dirangkap oleh
pejabat yang membawahkan fungsi lain di LJK Pelapor sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan yang mengatur mengenai larangan rangkap jabatan.

c. Pejabat penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat menunjuk petugas
pelaksana pelaporan.

d. Sebelum akun sistem penyampaian informasi nasabah asing dapat diaktivasi, LJK Pelapor
menyampaikan informasi mengenai identitas pejabat penanggung jawab dan/ atau petugas
pelaksana pelaporan kepada:

1) Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan c.q. Direktorat Informasi Perbankan,


dalam hal LJK Pelapor berbentuk Bank Umum;
2) Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) 1B c.q. Direktorat Statistik
dan Informasi IKNB, dalam hal LJK Pelapor berbentuk Perusahaan Asuransi Jiwa atau
Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah; atau
3) Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A c.q. Direktorat Pengelolaan Investasi, dalam hal
LJK Pelapor berbentuk Perusahaan Efek atau Bank Kustodian.

e. Dalam hal terjadi penggantian pejabat penanggung jawab dan/atau petugas pelaksana
pelaporan, LJK Pelapor harus menyampaikan informasi mengenai identitas pejabat
penanggung jawab dan/atau petugas pelaksana pelaporan yang baru.

V. PENUTUP

Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 April 2017
KEPALA EKSEKUTIF
PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN,

ttd

NELSON TAMPUBOLON

Berikut Link Lampiran SE OJK 16-SEOJK.03-2017


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE 16/PJ/2017

TENTANG

PERMINTAAN INFORMASI DAN/ATAU BUKTI ATAU KETERANGAN TERKAIT


AKSES

INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2017 tentang


Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan
untuk Kepentingan Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017, Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses
informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari Lembaga Jasa Keuangan (LJK), LJK
Lainnya, dan/atau Entitas Lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian internasional, yang meliputi
penyampaian laporan yang berisi informasi keuangan secara otomatis dan pemberian
Informasi dan/atau Bukti atau Keterangan (IBK) berdasarkan permintaan.

Pada tahap awal pelaksanaan kewenangan dimaksud dan untuk menjaga efektifitas
pengawasan atas pemanfaatan akses informasi keuangan yang diberikan oleh LJK, LJK
Lainnya, dan/atau Entitas Lain, diperlukan pengaturan lebih lanjut khususnya terkait
permintaan IBK kepada LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan
mempertimbangkan skala prioritas pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan khususnya dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan, penagihan pajak, pemeriksaan
bukti permulaan, penyidikan pajak, pelaksanaan perjanjian internasional, serta penyelesaian
proses Prosedur Persetujuan Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP) dan
Kesepakatan Harga Transfer/Advance Pricing Agreement (APA). Oleh karena itu, perlu
disusun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang Permintaan Informasi dan/atau Bukti
atau Keterangan Terkait Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran ini dimaksudkan untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan permintaan IBK
terkait akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

2. Tujuan
Surat Edaran ini disusun dengan tujuan agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat:
a. memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi
keuangan berkenaan dengan keperluan perpajakan sesuai dengan perjanjian internasional di
bidang perpajakan; dan
b. menjalankan administrasi perpajakan secara efektif dan efisien karena didukung oleh
ketersediaan informasi keuangan yang akurat dan dapat diandalkan.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi:

11. Ketentuan Umum;


12. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pelaksanaan Perjanjian Internasional;
13. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan;
14. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Penagihan Pajak;
15. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan dan
Penyidikan Pajak;
16. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Penyelesaian Proses Prosedur Persetujuan
Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP) dan Kesepakatan Harga
Transfer/Advance Pricing Agreement (APA);
17. Prosedur Penerimaan IBK;
18. Prosedur Pengawasan Pemberian IBK;
19. Prosedur Pengawasan atas Pemanfaatan Permintaan IBK; dan
20. Ketentuan Lain.

D. Dasar Hukum

10. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009;
11. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
12. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
13. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994;
14. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai;
15. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak;
16. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000;
17. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan;
18. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis
Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017.

E. Ketentuan Umum

1. Dalam rangka akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, Direktur Jenderal
Pajak berwenang meminta IBK dari LJK, LJK Lainnya, dan/atau EntitasLain.

2. Dengan mempertimbangkan tahap awal pelaksanaan kewenangan atas akses informasi


keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1, lingkup permintaan IBK yang diatur dalam
Surat Edaran Direktur Jenderal ini adalah:
a. pelaksanaan perjanjian internasional;
b. pemeriksaan;
c. penagihan pajak;
d. pemeriksaan bukti permulaan;
e. penyidikan pajak; dan
f. penyelesaian proses Prosedur Persetujuan Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP)
dan Kesepakatan Harga Transfer/Advance Pricing Agreement (APA).

3. Permintaan IBK dilakukan oleh:


a. Direktur Jenderal Pajak;
b. Pejabat setingkat Eselon II pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (KPDJP);
c. Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) atas nama Direktur Jenderal Pajak;
atau
d. Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atas nama Direktur Jenderal Pajak.

4. Kewenangan permintaan IBK diatur sebagai berikut:


a. Direktur Perpajakan Internasional berwenang melakukan permintaan IBK dalam rangka
pelaksanaan perjanjian internasional dan penyelesaian proses Prosedur Persetujuan
Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP) dan Kesepakatan Harga Transfer/Advance
Pricing Agreement (APA);
b. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan berwenang melakukan permintaan IBK dalam rangka
pemeriksaan yang dilakukan di Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan;
c. Direktur Penegakan Hukum berwenang melakukan permintaan IBK dalam rangka
pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan pajak yang dilakukan di Direktorat
Penegakan Hukum;
d. Kepala Kanwil DJP berwenang melakukan permintaan IBK dalam rangka pemeriksaan,
pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan pajak yang dilakukan di Kanwil DJP;
e. Kepala KPP, yang dilakukan melalui Kepala Kanwil DJP yang membawahi KPP tersebut,
berwenang melakukan permintaan IBK dalam rangka pemeriksaan yang dilakukan di KPP;
f. Kepala KPP berwenang melakukan permintaan IBK dalam rangka penagihan pajak.

5. Ketentuan terkait permintaan IBK:


a. untuk permintaan IBK dalam rangka kegiatan sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) permintaan disampaikan kepada kantor pusat atau unit pada LJK, LJK Lainnya dan/atau
Entitas Lain yang bertanggung jawab untuk memberikan IBK dimaksud, baik terhadap
Pemegang Rekening Keuangan yang telah diketahui atau belum diketahui nomor rekening
keuangannya; dan
2) dalam hal jawaban terkait permintaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) menyatakan
IBK tidak tersedia pada kantor pusat atau unit pada LJK, LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain
yang bertanggung jawab untuk memberikan IBK dimaksud namun tersedia pada unit vertikal
LJK, LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain, maka disampaikan permintaan baru yangditujukan
kepada unit vertikal dimaksud.

b. untuk permintaan Informasi berupa informasi keuangan dalam rangka kegiatan penagihan
pajak sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf f disampaikan kepada:
1) kantor pusat atau unit pada LJK, LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain yang bertanggung
jawab untuk memberikan IBK dimaksud; atau
2) unit vertikal pada LJK, LJK Lainnya dan/atau Entitas Lain yang mengelola rekening
keuangan atas nama Pemegang Rekening Keuangan.

6. Permintaan IBK paling sedikit memuat informasi sebagai berikut:


a. IBK yang diminta;
b. format dan cara pemberian IBK yang diminta;
c. alasan dilakukannya permintaan tersebut; dan
d. pegawai atau pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang menangani permintaan IBK
dimaksud.

7. Permintaan IBK untuk pemeriksaan yang dilakukan di KPP dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Permintaan disampaikan Kepala KPP kepada LJK, LJK Lainnya, atau Entitas Lain melalui
Kepala Kanwil DJP yang membawahi KPP tersebut;
b. Kepala Kanwil DJP menindaklanjuti permintaan Kepala KPP dengan menyampaikan
permintaan IBK tersebut menggunakan surat pengantar permintaan IBK secara periodik
paling lama setiap dua minggu kepada LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain;
c. Surat pengantar permintaan IBK dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.

8. Informasi yang diminta sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah informasi keuangan
terkait rekening keuangan, antara lain berupa nomor rekening, subrekening, saldo atau nilai,
mutasi transaksi, yang dikelola oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain yang dibuat
dengan menggunakan contoh format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

9. Unit Eselon II pada KPDJP, Kanwil DJP, dan KPP yang menerima IBK berdasarkan
permintaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 menerbitkan Tanda Terima IBK kepada
LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain tersebut yang dibuat dengan menggunakan contoh
format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

10. Terhadap permintaan IBK kepada LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dilakukan
pengawasan atas pemenuhan kewajiban pemberian IBK dan dapat ditindaklanjuti dengan
penerbitan klarifikasi, teguran tertulis, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan pajak
sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang
mengatur mengenai petunjuk teknis mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan.

11. Terhadap IBK yang telah disampaikan oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain
dilakukan pengawasan atas pemanfaatan IBK dimaksud.

12. Permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan melalui AKASIA.
Namun demikian saat ini AKASIA sedang dilakukan penyesuaian untuk dapat mendukung
pelaksanaan permintaan IBK sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Oleh karena
itu, penerbitan surat permintaan tersebut dilakukan secara manual dan surat permintaan
tersebut diarsipkan.
F. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pelaksanaan Perjanjian Internasional

6. Permintaan IBK dilakukan oleh Direktur Perpajakan Internasional.


7. Permintaan IBK dilakukan dalam rangka pelaksanaan perjanjian internasional berupa
pelaksanaan pertukaran informasi berdasarkan permintaan Pejabat yang Berwenang di
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
8. Atas IBK yang diberikan oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, Direktur
Perpajakan Internasional menyampaikan IBK dimaksud kepada Pejabat yang
Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai tata cara
pertukaran informasi berdasarkan perjanjian internasional.
9. Administrasi penerbitan permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1
dilakukan oleh SubDirektorat Pertukaran Informasi.
10. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pelaksanaan Perjanjian Internasional adalah
sebagaimana diatur dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

G. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan


1. Permintaan IBK dilakukan oleh:
a. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan untuk pemeriksaan yang dilaksanakan di KPDJP;
b. Kepala Kanwil DJP untuk pemeriksaan yang dilaksanakan di Kanwil DJP; dan
c. Kepala KPP melalui Kepala Kanwil DJP, untuk pemeriksaan yang dilaksanakan di KPP.

2. Permintaan IBK dilakukan untuk keperluan:


a. pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
b. pemeriksaan untuk tujuan lain, kecuali:
1) penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak (PKP) secara jabatan;
2) Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan permohonan
Wajib Pajak; dan
3) pengumpulan bahan guna penyusunan norma perhitungan penghasilan neto.

3. Untuk tahun 2017, permintaan IBK diprioritaskan terhadap Wajib Pajak yang masuk dalam
Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan (DSPP).

4. Permintaan IBK hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak yang tercantum dalam Surat
Perintah Pemeriksaan (SP2).

5. Administrasi penerbitan permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a


dilakukan oleh SubDirektorat Teknik dan Pengendalian Pemeriksaan.

6. Administrasi penerbitan permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b dan
huruf c dilakukan oleh Seksi Administrasi Bukti Permulaan dan Penyidikan, Bidang
Pemeriksaan Penyidikan Intelijen dan Penyidikan.

7. Prosedur terkait permintaan IBK meliputi:


a. Prosedur Pengusulan Permintaan IBK dalam rangka Pemeriksaan di KPP;
b. Prosedur Pengusulan Permintaan IBK dalam rangka Pemeriksaan di Kanwil DJP;
c. Prosedur Penyelesaian Usul Permintaan IBK dalam rangka Pemeriksaan di Kanwil DJP;
d. Prosedur Pengusulan Permintaan IBK dalam rangka Pemeriksaan di KPDJP; dan
e. Prosedur Penyelesaian Usul Permintaan IBK dalam rangka Pemeriksaan di KPDJP,
adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

H. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Penagihan Pajak


1. Permintaan IBK dilakukan oleh Kepala KPP.

2. Permintaan IBK dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:


a. Untuk permintaan yang dilakukan kepada LJK sektor perbankan dan sektor pasar modal:
1) bagi Penanggung Pajak yang belum diketahui nomor rekening keuangannya pada LJK
sektor perbankan:
a) dilakukan pemblokiran melalui kantor pusat bank sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai penagihan pajak;
b) pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a) dilakukan oleh Kepala KPP tanpa perlu
meminta informasi keuangan terlebih dahulu kepada LJK sektor perbankan.

2) bagi Penanggung Pajak yang telah diketahui nomor rekening keuangannya pada LJK
sektor perbankan, dilakukan pemblokiran kepada bank pengelola simpanan Penanggung
Pajak.

3) dalam hal Penanggung Pajak menolak memberikan kuasa kepada pimpinan bank atau
pejabat bank untuk memberitahukan saldo harta kekayaannya yang tersimpan pada bank
kepada Jurusita Pajak, dilakukan permintaan informasi keuangan kepada bank pengelola
simpanan Penanggung Pajak.

4) bagi Penanggung Pajak, baik yang telah diketahui maupun belum diketahui nomor
rekening keuangannya pada LJK sektor pasar modal, dilakukan pemblokiran terhadap
rekening efek Penanggung Pajak melalui kustodian sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai penagihan pajak,

b. Untuk permintaan yang dilakukan kepada LJK selain sektor perbankan dan sektor pasar
modal, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain:

1) bagi penanggung pajak yang belum diketahui nomor rekening keuangannya:


a) Kepala KPP meminta informasi nomor rekening keuangannya terlebih dahulu kepada
kantor pusat LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain atau unit pada LJK, LJK Lainnya
dan/atau Entitas Lain yangbertanggung jawab untuk pemberian informasi keuangan
dimaksud,

b) Setelah diketahui informasi nomor rekening keuangannya, atas rekening keuangan


penanggung pajak dimaksud dilakukan penyitaan sesuai dengan ketentuan di bidang
penagihan pajak.

2) bagi penanggung pajak yang telah diketahui nomor rekening keuangannya, dilakukan
penyitaan sesuai dengan ketentuan di bidang penagihan pajak.

3. Administrasi penerbitan permintaan IBK dilakukan oleh Seksi Penagihan di KPP.


4. Prosedur Permintaan IBK dalam rangka Penagihan Pajak di KPP adalah sebagaimana
diatur dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.
I. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan
Pajak
1. Permintaan IBK dilakukan oleh:
a. Direktur Penegakan Hukum untuk pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak
yang dilaksanakan di KPDJP; atau
b. Kepala Kanwil DJP untuk pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak yang
dilaksanakan di Kanwil DJP.

2. Permintaan IBK dilakukan untuk pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka maupun
tertutup, serta penyidikan pajak dilakukan untuk penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan maupun penyidikan tindak pidana pencucian uang.

3. Permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan terhadap:


a. Terperiksa sesuai dengan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan (SPPBP), dalam hal
permintaan IBK dalam rangka pemeriksaan bukti permulaan;
b. Tersangka sesuai dengan Surat Perintah Penyidikan dalam hal permintaan IBK, dalam
rangka penyidikan pajak; dan
c. pihak terkait berdasarkan pertimbangan Direktur Penegakan Hukum atau Kepala Kanwil
DJP, baik permintaan IBK dalam rangka pemeriksaan bukti permulaan maupun penyidikan
pajak.

4. Administrasi penerbitan permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a


dilakukan oleh Seksi Barang Bukti dan Tahanan, SubDirektorat Forensik dan Barang Bukti.

5. Administrasi penerbitan permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b


dilakukan oleh Seksi Administrasi Bukti Permulaan dan Penyidikan, Bidang Pemeriksaan
Penyidikan Intelijen dan Penyidikan.

6. Prosedur terkait permintaan IBK meliputi:


a. Prosedur Pengusulan Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan dan
Penyidikan Pajak di Kanwil DJP;
b. Prosedur Penyelesaian Usul Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan
dan Penyidikan Pajak di Kanwil DJP;
c. Prosedur Pengusulan Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan dan
Penyidikan Pajak di KPDJP; dan
d. Prosedur Penyelesaian Usul Permintaan IBK Dalam Rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan
dan Penyidikan Pajak di KPDJP,
adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

J. Prosedur Permintaan IBK Dalam Rangka Penyelesaian Proses Prosedur Persetujuan


Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP) dan Kesepakatan Harga Transfer/Advance
Pricing Agreement (APA)

5. Permintaan IBK dilakukan oleh Direktur Perpajakan Internasional.


6. Permintaan IBK dilakukan terhadap Wajib Pajak atau pihak yang terkait dengan
penyelesaian proses Prosedur Persetujuan Bersama/Mutual Agreement Procedures
(MAP) dan Kesepakatan Harga Transfer/Advance Pricing Agreement (APA).
7. Administrasi penerbitan permintaan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1
dilakukan oleh SubDirektorat Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan
Internasional.
8. Prosedur Permintaan IBK dalam rangka penyelesaian proses Prosedur Persetujuan
Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP) dan Kesepakatan Harga
Transfer/Advance Pricing Agreement (APA) adalah sebagaimana diatur dalam
Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur
Jenderal ini.

K. Prosedur Penerimaan IBK

1. Direktorat Perpajakan Internasional menerima IBK dalam hal permintaan IBK dilakukan
oleh Direktur Perpajakan Internasional dalam rangka pelaksanaan:
a. perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf F angka 1; dan
b. Prosedur Persetujuan Bersama/Mutual Agreement Procedures (MAP) dan Kesepakatan
Harga Transfer/Advance Pricing Agreement (APA) sebagaimana dimaksud dalam huruf J
angka 1.

2. Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan menerima IBK dalam hal permintaan IBK
dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dalam rangka pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf G angka 1 huruf a.

3. Direktorat Penegakan Hukum menerima IBK dalam hal permintaan IBK dilakukan oleh
Direktur Penegakan Hukum dalam rangka pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan
pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf I angka 1 huruf a.

4. Kanwil DJP menerima IBK dalam hal permintaan IBK dilakukan oleh Kepala Kanwil DJP
dalam rangka:
a. pemeriksaan yang dilaksanakan di Kanwil DJP sebagaimana dimaksud dalam huruf G
angka 1 huruf b; dan
b. pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak yang dilaksanakan oleh Kanwil DJP
sebagaimana dimaksud dalam huruf I angka 1 huruf b.

5. KPP menerima IBK dalam hal permintaan IBK dilakukan oleh Kepala KPP dalam rangka:
a. pemeriksaan yang dilaksanakan oleh KPP sebagaimana dimaksud dalam huruf G angka 1
huruf c; dan
b. penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf H angka 1.

6. Penerima IBK menindaklanjuti pemanfaatan IBK sesuai dengan tujuan permintaan IBK
dan melakukan pengarsipan atas:
a. media penyimpanan elektronik yang berisi Informasi; dan/atau
b. Bukti dan/atau Keterangan,
baik yang disampaikan secara langsung maupun melalui pos, jasa ekspedisi, jasa kurir dengan
bukti penerimaan surat, oleh pegawai atau pejabat yang memanfaatkan Bukti dan/atau
Keterangan dimaksud dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.

7. Prosedur terkait penerimaan IBK, meliputi:


a. Prosedur Penerimaan IBK di KPP;
b. Prosedur Penerimaan IBK di Kanwil DJP;
c. Prosedur Penerimaan IBK di KPDJP,
adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

L. Prosedur Pengawasan Pemberian IBK Berdasarkan Permintaan

6. Pengawasan pemberian IBK dari LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dilakukan
oleh pihak yang melakukan permintaan IBK.
7. Pihak yang melakukan permintaan IBK menerbitkan Surat Permintaan Klarifikasi
dalam hal terdapat dugaan pelanggaran berupa pembuatan pernyataan palsu atau
penyembunyian atau pengurangan informasi yang sebenarnya dari IBK yang
diberikan oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain.
8. Pihak yang melakukan permintaan IBK menerbitkan Surat Teguran dalam hal:
a. sampai dengan batas waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak diterimanya
permintaan klarifikasi LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain:
1) tidak memberikan klarifikasi; atau
2) menyampaikan klarifikasi, namun penyampaian klarifikasi dimaksud belum
sepenuhnya menjawab permintaan klarifikasi.
b. tidak memenuhi kewajiban pemberian IBK sebagaimana diatur dalam Pasal 15 dan
Pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk
Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
73/PMK.03/2017.
9. Pihak yang melakukan permintaan IBK mengajukan usulan pemeriksaan bukti
permulaan apabila sampai dengan batas waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak
diterimanya teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 3, LJK, LJK Lainnya,
dan/atau Entitas Lain;
a. diduga masih melakukan pelanggaran berupa pembuatan pernyataan palsu atau
penyembunyian atau pengurangan informasi yang sebenarnya dari IBK yang
diberikan oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain;
b. tidak memenuhi kewajiban pemberian IBK sebagaimana diatur dalam Pasal 15 dan
Pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk
Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
73/PMK.03/2017.
10. Prosedur terkait pengawasan pemberian IBK berdasarkan permintaan meliputi:
a. Prosedur Penerbitan Surat Permintaan Klarifikasi/Surat Teguran di KPP;
b. Prosedur Penerbitan Surat Permintaan Klarifikasi/Surat Teguran di Kanwil DJP;
c. Prosedur Penerbitan Surat Permintaan Klarifikasi/Surat Teguran di KPDJP,
adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

M. Prosedur Pengawasan atas Pemanfaatan Permintaan IBK

5. Pihak yang melakukan permintaan IBK menyusun Laporan Pengawasan atas


Pemanfaatan IBK yang berisi:
a. permintaan IBK yang telah disampaikan kepada LJK, LJK Lainnya, dan Entitas
Lain;
b. IBK yang disampaikan oleh LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain;
c. tindak lanjut atas pemanfaatan IBK yang telah disampaikan oleh LJK, LJK
Lainnya, dan/atau Entitas Lain, yaitu:
1) telah ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku; atau
2) tidak ditindaklanjuti.
6. Laporan Pengawasan atas Pemanfaatan IBK sebagaimana dimaksud pada angka 1
disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan tembusan kepada Direktur
Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur dan Direktur Teknologi
Informasi Perpajakan.
7. Laporan Pengawasan atas Pemanfaatan IBK disusun dengan menggunakan contoh
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
8. Prosedur Pengawasan Pemanfaatan Data atas Tindak Lanjut Permintaan IBK adalah
sebagaimana diatur dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

N. Ketentuan Lain

4. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini:


a. permintaan IBK sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai tata cara permintaan
keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan,
yang telah diajukan melalui aplikasi AKASIA namun belum diberikan izin tertulis
oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, permintaan IBK dimaksud
tidak berlaku dan dilakukan permintaan IBK kembali sesuai dengan Surat Edaran
Direktur Jenderal ini.
b. permintaan IBK yang dilakukan oleh Kepala KPP dan telah disampaikan kepada
LJK, LJK lainnya, dan/atau Entitas Lain dalam rangka kegiatan selain penagihan
pajak sebelum diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal ini dan belum diberikan
IBK oleh LJK, LJK lainnya, dan/atau Entitas Lain, agar diproses kembali sesuai
dengan Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
5. Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan dan Direktorat Transformasi Teknologi
Komunikasi dan Informasi berwenang menentukan kebijakan teknis terkait teknologi
informasi dalam rangka mendukung pelaksanaan permintaan IBK terkait akses
informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
6. Terhadap permintaan IBK untuk kepentingan perpajakan selain yang diatur
sebagaimana dimaksud pada huruf E angka 2 di atas, dilaksanakan dengan
berpedoman pada Surat Edaran Direktur Jenderal yang akan ditetapkan kemudian.

O. Penutup

Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Juli 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd. KEN DWIJUGIASTEADI


NIP 195711081984081001

Anda mungkin juga menyukai