Anda di halaman 1dari 32

TUGAS MATA KULIAH

PEMULIAAN TANAMAN

INDUKSI POLIPLOIDI TANAMAN ANGGREK

Disusun :
Nama : Ahmad Ihzan
NIM : 1503015008

JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI
KONSENTRASI AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSIAS MULAWARMAN

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki 25 spesies anggrek bulan dengan 10 spesies di antaranya


adalah endemik Indonesia (Christenson, 2001). Anggrek bulan memiliki berbagai
variasi bentuk, warna, dan ukuran bunga. Oleh karena itu, anggrek bulan menjadi
salah satu komoditi hias yang sangat popular. Selain itu, anggrek bulan juga
berpotensi sebagai induk dalam pemuliaan untuk menghasilkan berbagai anggrek
bulan hibirida baru (Tang dan Chen, 2007).
Phalaenopsis amabilis (L.) Blume dan Phalaenopsis amboinensis J.J. Smith
banyak digunakan sebagai tetua dalam pemuliaan Phalaenopsis. Phalaenopsis
amabilis mewariskan sifat bunga berukuran besar dan berwarna putih sedangkan P.
amboinensis berpotensi untuk menghasilkan warna kuning, bintik coklat, tangkai
bunga tegak, serta aroma yang khas (Tang dan Chen, 2007).
Kromosom dasar dari spesies-spesies anggrek Phalaenopsis adalah diploid
(2n=2x=38) (Lin et al., 2001), sementara sebagian besar varietas komersial atau
hibrida adalah tetraploid (Chen et al., 2011). Persilangan antara spesies dengan
hibrida tetraploid menunjukkan adanya hambatan dalam pembentukan biji,
terutama jika tanaman tetraploid digunakan sebagai donor polen dan tanaman
diploid sebagai betina (Tang dan Chen, 2007). Oleh karena itu, dalam upaya
melakukan persilangan antara spesies diploid dengan hibrida tetraploid, diperlukan
upaya peningkatan ploidi dari spesies diploid.
Tang dan Chen (2007) menyatakan bahwa klon superior dari Phalaenopsis
Taisuco berbunga putih besar pertama kali dikembangkan melalui melalui
perbaikan genetik Phalaenopsis Doris melalui penggandaan kromosom, sehingga
dihasilkan kapasitas genomik yang lebih besar untuk mengakumulasi lebih banyak
alel. Tanaman tetraploid yang dihasilkan selanjutnya disilangbalik atau disilang
dengan kerabatnya untuk mengakumulasikan alel-alel aditif untuk ukuran bunga
dan karakter lainnya sehingga telah dihasilkan lebih dari 30 Phalaenopsis Taisuco
unggul. Poliploidi dapat meningkatkan keragaman genetik, menghasilkan ukuran
bunga yang lebih besar, bentuk bunga yang lebih bulat dan warna bunga yang lebih
pekat (Miguel dan Leonhardt, 2011).
Pemuliaan tanaman dengan induksi mutasi merupakan metode alternatif untuk
pemuliaan konvensional, dapat dilakukan dengan mutagen fisik dan kimia (van
Harten 1998). Induksi mutasi dengan mutagen fisik iradiasi sinar gamma pada
tanaman hias antara lain telah dilaporkan pada krisan oleh Aisyah et al. (2009) dan
anggrek Spathoglotis plicata oleh Romeida et al. (2012). Mutasi kimia dengan
tujuan menghasilkan tanaman poliploid, yaitu tanaman yang memiliki tiga set
kromosom atau lebih, umumnya menggunakan kolkisin (Dhooghe et al., 2011).
Kolkisin telah digunakan secara in vitro untuk menghasilkan tanaman
poliploid pada berbagai spesies anggrek seperti Phalaenopsis (Griesbach, 1981 dan
1985), Cattleya intermedia Lindl. (Silva et al., 2000), Dendrobium secundum
(Blume) Lindl. (Atichart dan Bunnag, 2007), Dendrobium scabrilingue L.
(Sarathum et al., 2010), dan Rhyncostylis gigantea var. rubrum (Kerdsuwan dan
Te-chato, 2012).
Griesbach (1981) melakukan induksi poliploidi pada protokorm Phalaenopsis
equestris, Phalaneopsis fasciata, dan Phalaenopsis Betty Hausermann
menggunakan 50 mg L-1 kolkisin serta perendaman selama 10 hari. Penelitian
tersebut menghasilkan 50% protokorm yang kemudian berkembang menjadi
tanaman tetraploid. Penambahan 0.5 mg L-1 kolkisin ke dalam media kultur dapat
menghasilkan Phalaenopsis Golden Sands Canary heksaploid (Griesbach, 1985).
Perendaman protokorm D. secundum dalam kolkisin 500 mg L-1 selama 1 hari
menghasilkan tanaman poliploid tertinggi (Atichart dan Bunnag, 2007). Planlet D.
scabrilingue tetraploid dihasilkan dari perendaman protokorm dalam kolkisin 750
mg L-1 selama 14 hari (Sarathum et al., 2010). Silva et al. (2000) melaporkan bahwa
perendaman protokorm C. intermedia dalam kolkisin 500 dan 1,000 mg L-1 selama
4 hari dapat menghasilkan tanaman tetraploid. Tanaman R. gigantea var. rubrum
tetraploid dihasilkan dari perendaman protokorm dalam kolkisin 2,000 mg L-1
selama 3 hari.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk pemuliaan P. amabilis dan P.
amboinensis adalah dengan melakukan induksi poliploidi secara in vitro.
Konsentrasi kolkisin optimum untuk induksi poliploidi kedua spesies anggrek
tersebut belum diketahui. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan konsentrasi
kolkisin efektif (sekurangnya 30% planlet poliploid) dalam induksi poliploidi pada
protokorm P. amabilis dan P. amboinensis.
Anggrek merupakan tanaman bunga hias yang bunganya indah.Anggrek
sudahdikenal sejak 200 tahun lalu dan sejak 50 tahun terakhir mulai dibudidayakan
secara luas di Indonesia (Yulianti, 2013).Indonesia memiliki sekitar sepuluh ribu
spesies anggrek. Kekayaan plasma nutfah ini harus dimanfaatkan bagi pemuliaan
tanaman anggrek. Kegiatan persilangan terus dilakukan untuk mendapatkan jenis
dan kultivar baru sehingga akan semakin meramaikan produksi dan pemasaran
anggrek (Sutiyono, 2009).
Masa depan usaha budidaya terutama pada pembesaran anggrek sangat
prosfektif dilihat dari penawaran dan permintaan, hingga saat ini persediaan produk
anggrek lebih kecil dari pada permintaan pasar, di kebun-kebun anggrek (nursery)
selalu terjadi kekurangan produk anggrek yang akan di jual, baik botolan, kompot,
seedling, tanaman remaja, maupun tanaman berbunga dalam pot(pot plant).
Penyebab kekurangan produk anggrek tersebut adalah permintaan yang terus
meningkat dan tidak disertai dengan penyediaan produk anggrek ini, dapat
dikatakan bahwa lahan produksi anggrek belum bisa memenuhi permintaan pasar,
berarti peluang usaha pembesaran anggrek sangat besar bagi para pendatang baru,
setiap tahun beratusan jenis silangan anggrek baru selalu dihasilkan untuk
melengkapi koleksi anggrek sekaligus untuk mengantisipasi tingkat kejenuhan
pasar(Setiawan, 2009).
Menurut Assauri, (1999) Manajemen produksi merupakan kegiatan untuk
mengatur dan mengkoordinasikan penggunaan sumber-sumber daya yang berupa
sumber daya manusia, sumber daya alat, sumber daya dana serta bahan secara
efektif, untuk menciptakan dan menambah kegunaan (utility) suatu barang atau
jasa.
Manajemen produksi merupakan proses pencapaian dan pengutilisasian
sumber-sumber daya untuk memproduksi dan menghasilkan barang-barang atau
jasa-jasa yang berguna sebagai usaha untuk mencapai tujuan dan sasaran
organisasi. Organisasi-organisasi tersebut dapat berupa perusahaan pabrik, atau
industry manufaktur, rumah sakit, universitas, toko serba ada, pasar swalayan,
perbengkelan dan lain sebagainya,(Assauri, 1999).

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui tentang induksi poliploidi Phalaenopsis amabilis (L.)
Blume dan Phalaenopsis amboinensis.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Pasar Anggrek


Salah satu komoditi hortikultura yang mempunyai nilai ekonomis tinggi
dan mempunyai sejumlah keistimewaan dibandingkan tanaman hias bunga
lainnya.Tanaman anggrek banyak digemari masyarakat karena bunga anggrek
mempunyai keindahan bentuk, ukuran, warna dan tekstur yang bervariasi membuat
anggrek semakin menarik dan mengagumkan serta rajin berbunga.Selain sebagai
tanaman pot berbunga indah anggrek juga dikenal sebagai bunga potong dengan
fase hidup kira-kira 5 sampai 14 hari, hal ini yang membuat anggrek memiliki nilai
ekonomis yang tinggi dan sangat berpotensi untuk dikembangkan (Warnaningsih,
2004).
Perhatian masyarakat terhadap tanaman anggrek makin lama makin
meningkat bila dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, minat masyarakat
untuk membudidayakan anggrek dengan tujuan komersial tampak semakin besar,
mengingat anggrek mempunyai pasaran yang cukup luas di dalam negeri maupun
di luar negeri, sehingga anggrek menjadi salah satu primadona di Indonesia. Jenis
anggrek komersial yang diusahakan di Indonesia adalah
Dendrobium,Phalaeonopsis vanda, Cattleyadan Oncidium. Permintaan akan
anggrek dan tanaman hias lainnya terus meningkat. Tanaman anggrek memiliki
peluang besar untuk diprioritaskan bagi perkembangan pasar tanaman
hias.(Warnaningsih, 2004).
Spesies anggrek di Indonesia lebih kurang 5.000 spesies yang tersebar di
beberapa propinsi. Keadaan inimerupakanpeluangbagipengembanganbagi
pembudidayaan tanaman hiasbunga anggrek di Indonesia dalamupaya peningkatan
kesejahteraan, memperluas lapangan kerja menambah devisa negara dan memiliki
fungsi lain yang menyegarkan dan menyemarakkan lingkungan hidup.Potensi pasar
yang cukup baik ini seharusnya dapat membuatpetani anggrek
berusahameningkatkanproduksinya dan mendorong para pengusaha anggrek untuk
berusaha memperluas pangsa pasarnya di dalam maupun di luar negeri
(Warnaningsih, 2004).
Melihat besarnya propek perkembangan permintaan komoditi bunga
anggrek di pasar domestik maupun pasar Internasional akan membuka peluang
pasar yang baik bagi para produsen bunga anggrek, untuk memanfaatkan potensi
tersebut diperlukan upaya-upaya yang lebih sistematis dan terpadu mulai dari
pengadaan sarana produksi dan pemasarannya, serta didukung oleh mulai
membaiknya kondisi perekonomian sehingga dapat bersaing secara kompetitif
dengan bunga anggrek dari negara lain(Warnaningsih, 2004).

2.2. Klasifikasi Tanaman Anggrek


Kingdom : Planthae (dunia tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (biji tertutup)
Kelas : Monocotyledonae (biji tunggal)
Ordo : Orchidales (bangsa anggrek-anggrekan)
Family : Orchidaceae (keluarga anggrek-anggrekan)
Subfamili : Epidendroideae
Genus : Phalaenopsis
Spesies : Phalaenopsis
Menurut Gunawan, (2007) Tanaman anggrek dapat dibedakan berdasarkan
sifat hidupnya yaitu:
a. Anggrek epifit
Anggek epifit adalah jenis anggrek yang menupang pada tanaman lain, akar
anggrek ini tidak mengambil nutrien dari tanaman yang di tumpanginya
sehingga tidak merugikan, untuk hidupnya anggrek ini memerlukan naungan
karena tergolong tidak tahan terkena terik sinar matahari.
b. Anggrek semi epifit
Anggrek semi epifit adalah jenis anggrek yang menempel pada tanaman lain
dan tidakmerusak tanaman yang ditumpangi akar lekatnya juga berfungsi
seperti akar udara yaitu untuk mencarimakanan untuk berkembang.
c. Anggrek Terrestrial
Anggrek Terrestrial juga disebut anggrek tanah karena anggrek ini hanya
bisa hidup di tanah atau media buatan yang diletakkan di tanah pada tempat yang
terbuka. Perbanyakan tanaman merupakan bagian dari budidaya tanaman
anggrek, pada umumnya tanaman dapat diperbanyak secara generatif
dan vegetatif.Perbanyakan generatif adalah perbanyakan yang dilakukan dengan
menggunakan biji yang di dahului dari penyerbukan bunga, sedangkan
perbanyakan vegetatif adalah perbanyakan yang menggunakan bagian-bagian
tubuh tanaman seperti batang, daun, akar, tangkai bunga, pemisahan rumpun.
Khusus untuk tanaman anggrek metode perbanyakan vegetatif yang dapat
dilakukan adalah stek batang, pembelahan rumpun, penggunaan pseudobulp dan
keiki(pemisahan rumpun yang keluar dari ruas tanaman yang berada agak jauh dari
pangkal tanaman(Gunawan, 2007).

2.3. Morfologi Tanaman Anggrek


Anggrek memiliki akar udara yang dapat menyerap air dari udara, akar
udara pada anggrek memiliki zat hijau daun sehingga dapat berfotosintesis,
sebagian anggrek juga memiliki pemisahan rumpun semu pada batang atau pangkal
daun (pseudobulb).Akar anggrek lunak, mudah patah, ujungnya meruncing,
lengket, dan licin saat dipegang (Gunawan,2007).
Batang anggrek termasuk simpodial, yaitu batang yang pertumbuhannya
terbatas dan tidak memiliki batang utama.Bunga anggrek tipe simpodial keluar dari
ujung batang dan berbunga kembali dari pemisahan rumpun yang tumbuh.Pada
anggrek simpodial ini terdapat penghubung yang disebut rhizome atau batang di
bawah tanah, dari rhizome ini akan tumbuh tunas atau pemisahan rumpun baru
(Gunawan,2007).
2.4. Syarat Tumbuh Anggrek
a. Ketinggian tempat
Pertumbuhan anggrek akan tumbuh optimal pada lokasi kurang dari 400 M
dpl.Dendrobium umumnya lebih menyukai daerah panas dari pada daerah dingin,
tetapi beberapa jenis Dendrobium hanya bisa tumbuh di daerah dingin misalnya
Dendrobium nabile (Setiawan, 2009).
b. Cahaya
Anggrekbersifat epifit yaitu menompang pada tanaman lain,
Dendrobium hanya membutuhkan intensitas cahaya dan lama penyinaran terbatas.
Besarnya intensitas cahaya yang di butuhkan yaitu sekitar 1.500-3.000 fc. Sebagai
pembanding saat matahari terik di siang hari, kisaran intensitas cahaya matahari
sekitar 7.000-10.000 fc sehinggaDendrobium membutuhkan naungan seperti
paranet (Setiawan, 2009).
c. Kelembaban
Kelembaban yang diinginkan anggrek berkisar antara 60%- 85% dengan
kisaran itu maka penguapan pada siang hari bisa dicegah, sedangkan pada malam
hari kelembaban tidak boleh melebihi 70 % untuk menekan agar tanaman tidak
mudah terserang hama penyakit. Hal itu dapat dilakukan dengan caramerawat
media agar tidak terlalu basah (Setiawan, 2009).

d. Suhu
Suhu udara sangat mempengaruhi proses metabolisme tanaman. Suhu udara
tinggi memacu proses metabolisme, sedangkan suhu udara rendah memperlambat

laju metabolism. Pertumbuhan Anggrek membutuhkan suhu rata-rata 250C - 270C,

dengan suhu siang sebaiknya 270C - 300C dan suhu pada malam hari sebaiknya

200C - 230C (Setiawan, 2009)

e. Ketersediaan air
Lokasi tempat budidaya anggrek harus memiliki ketersediaan air yang
cukup, hal tersebut merupakan syarat mutlak saat musim kemarau. Anggrek
memang menyukai air tapi tidak boleh berlebihan, air diperlukan saat pertumbuhan
vegetatif laju pesat, dan pada saat tanaman belum berbunga. Namun keperluan air
berkurang saat tangkai bunga tumbuh sampai bunga mekar(Setiawan, 2009).
f. Angin
Pertukaran udara yang baik, lancar, dan teratur sangat mendukung proses
pemeliharaan anggrek, namun angin yang bertiup terlalu kencang dapat
mengganggu pertumbuhan bunga anggrek, keadaan anginyang baik angin yang
bertiup sepoi-sepoi sehingga menciptakan goyangan lembut pada daun dan
tangkainya serta aman untuk bunga anggrek (Setiawan, 2009).

2.5. Aspek Produksi

A. Teknik pembibitan dari perbanyakan vegetatif


Perbanyakan secara vegetatif ini umumnya bisa menghasilkan keturunan
yang sifatnya sama dengan induknya, jikaada penyimpangan, hal ini disebabkan
oleh faktor luar, seperti pemupukan. Faktor ini bisa menyebabkan ukuran tanaman
atau ukuran bunga menjadi lebih besar. Perbanyakan vegetatif dilakukan dengan
cara mengambil bagian tanaman lalu menanamnya secara terpisah dari induknya,
(Soeryowinoto, 1977).
1. Perbanyakan tanaman dengan menggunakan stek
Perbanyakan anggrek menggunakan teknik stek merupakan cara
perbanyakan vegetatif menggunakan batang atau tunas. Perbanyakan anggrek cara
ini biasanya dilakukan pada tanaman anggrek berbatang satu atau anggrek jenis
monopodial, serta pada tanaman dengan cara hidup terestrial, seperti anggrek
Arachnis sp.Vanda terestrial, maupun Aeridachnis sp.Cara melakukan
perbanyakan tanaman anggrek menggunakan teknik stek ini bisa dilakukan dengan
mengambil bagian tanaman yang tingginya sudah mencapai dua meter atau lebih.
Batang tanaman tersebut dipotong kira-kira 80 cm dari pucuk tanaman.Bekas
potongan batang tersebut dioles perangsang akar denganRooton F, kemudian
ditanam pada media tanam. Pada umur
dua bulan bagian pangkal batang yang ditanam tersebut akan tumbuh akar
dan biasanya disertai dengan munculnya tunas-tunas baru, dengan demikian proses
perbanyakan anggrek tersebut bisa dikatakan berhasil, (Soeryowinoto, 1977).
2. Perbanyakan dengan pemisahan rumpun
Pemisahan rumpun dilakukan pada anggrek berbatang banyak
(simpodial). Contohnya Cattleya, Cymbidium, Dendrobium, dan Oncidium.
Perbanyakan anggrek simpodial dilakukan dengan carapemisahan
rumpun.Pemisahan rumpun dapat dilakukan bila pot telah penuh dan padat oleh
tunas baru. Tunas dari tanaman anggrek dipisahkan dari tanaman induknya.Semua
akar yang tidak aktif atau akar tua dibuang sehingga pemisahan rumpun tampak
seperti tidak berakar. Cara penanamannya, dasar pot diisi dengan pecahan batu-bata
atau genting setinggi sepertiga bagian, di atasnya diisi lagi dengan media tumbuh
setinggi sepertiga bagian, pemisahan rumpun tersebut ditanam dengan mengatur
posisi.

Pemisahan rumpun yang paling tua diletakkan menempel pada bibir pot
bagian pinggir atas, sehingga pertumbuhan tunaspemisahan rumpun dapat mengisi
seluruh permukaan bagian pot, jika pemisahan rumpun yang tua diletakkan
dibagian tengah pot maka pertumbuhannya tidak akan seimbang. Sebelum
pemisahan rumpun ditanam, luka bekas potong dicelupkan sekilas dalam larutan
fungisida atau bakterisida.Penyiraman dilakukan kurang lebih 3-4 hari setelah
penanaman dan pemupukan dilakukan kurang lebih seminggu setelah penanaman
(Soeryowinoto, 1977).

B. PemeliharaanTanaman
1. Penyiraman
Penyiraman dilakukan dengan menggunakan sprayer yang mempunyai
nozle halus dan harus hati-hati, terutama pada bulan pertama perawatan kompot,
diusahakan jangan sampai terjadi kelebihan air yang dapat mengakibatkan tanaman
menjadi busuk.Penyiraman dilakukan 2 kali sehari, jika musim kemarau
penyiraman bisa dilakukan 3 kali sehari (Setiawan, 2009).
2. Pemupukan
Tanaman muda yang berada dalam kompot berada pada fase pertumbuhan
vegetatif, pada fase ini biasanya pembentukan akar.Batang dan daun, berlangsung
dengan sangat cepat sehingga kebutuhan unsur nitrogen bagi tanaman muda juga
meningkat. Pupuk yang diberikan dalam fase vegetatif yaitu pupuk yang memiliki
unsure NPK 32:10:10 dengan takaran 1 gram per liter air per minggu, disamping
pemberian pupuk organik, pupuk organik cair juga dapat ditambahkan seperti
Albatros, Alaska, Bioplasma, Top Soil diberikan secara bergantian sampai tanaman
muda berumur 4-6 bulan (Setiawan, 2009).

C. Pengendalian hama dan penyakit


Menurut Setiawan, (2009) agar dapat tumbuh dengan baik , perlu dilakukan
pengendalian hama dan penyakit bagi tanaman muda dalam kompot.
1. Hama
Serangan hama terjadi yaitu serangan serangga. Belalang, ulat dan keong,
umumnya hama tersebut akan mengisap dan memakan daun serta akar
tanaman muda.Untuk pengendalian hama dari golongan serangga, biasanya di
gunakan insektisida seperti decis dengan dosis 0,5 ml per liter air, curacron atau
supracide dengan dosis 1-2 ml per liter air, untuk pencegahan digunakan insektisida
yang di berikan selama 3-4 minggu sekali, jika terjadi serangan pemberian
insektisida dilakukan selama 7-10 hari sekali. Pengendalian tungau digunakan
akarisida seperti kelthane dengan takaran 1-2 mlper liter air untuk pencegahan dan
pemberantasan tungau pemberiannya sama dengan serangga. Pengendalian hama
keong, biasanya digunakan antikeong seperti matadex dan snailex. Serangan hama
ini terjadi terutama pada saat musim hujan karena hama keong akan
berkembangbiak dengan cepat.
2. Penyakit
Penyakit pada anggrek biasanya disebabkan oleh jasad renik seperti
cendawan,bakteri dan virus, untuk mengatasi serangan cendawan digunakan
fungisida,seperti dithane M-45, Benlate, Thiram, dan Physan selain untung
mengatasi cendawan fungisida Physan juga berfungsi untuk mencegah serangan
dari bakteri dan mampu mencegah timbulnya lumut di permukaan media tanam
pada saat musim hujan, fungisida diberikan 1-10 hari sekali saat musim hujan dan
diluar musim hujan cukup sebulan sekali.
Pengendalian bakteri dilakukan jika serangan cukup berat yaitu serangan
bakteri pathogen, pengendalian dengan cara pemberian antibiotik.
Penyakit yang disebabkan oleh virus hingga saat ini belum ada obatnya
sehingga tanaman yang terserang virus tersebut biasanya akan segera dimusnahkan
dengan cara di bakar.
D. Panen
Tanaman muda atau bibit anggrek yang siap di panen berumur 6 bulan,
dengan kriteria yaitu tanaman muda dalam kompot sudah penuh dan tidak ada lagi
tempat untuk tumbuhnya tunas baru, tanaman muda sudah tumbuh merata dengan
ketinggian 6 cm.
Menurut Setiawan, (2009) pada umumnya tanaman tanaman muda dalam
kompot akan siap dijual atau di panen bila telah memenuhi beberapa persyaratan,
secara umum kondisi tanaman muda dalam kompot yang siap di jual sebagai
berikut: 1)Usia tanaman muda dalam kompot sekitar 4-6 bulan.2)Setiap kompot
memiliki 30-40 bibit atau tanaman muda. 3) Ketinggian rata-rata tanaman muda
telah mencapai 4-6 cm. 4)Untuk tanaman yang memiliki pseudobulb sebagian besar
tanaman muda telah memiliki tunas yang baru.5) Khusus untuk Phalaenopsis
ukuran daun rata-rata 3-4 cm.Kondisi kompot yang semula masih memiliki cukup
tempat untuk tumbuhnya tunas muda, sekarang telah penuh. Tanaman kompot
memiliki nilai jual yang lebih tingggi beberapa kali lipat dari bibit botolan karena
harga ini termasuk biaya perawatan.

2.6. Manajemen Produksi Pembibitan Anggrek

Manajemen produksi merupakan kegiatan dalam mengatur dan


mengelolafaktor-faktor produksi yang ada dalam mengolah bahan mentah
menjadi barang jadi berupa produk dan jasa.
Menurut Handoko, (1997) Manajemen Produksi merupakan usaha-
usaha pengelolaan secara optimal penggunaan sumber daya atau faktor
produksi, tenaga kerja, mesin-mesin peralatan dan bahan mentah dan
sebagainya dalam proses transformasi bahan mentah dan tenaga kerja
menjadi berbagai produk ataupun jasa.
Fungsi manajemen produksi terdiri dari fungsi perencanaan
produksi, fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan proses produksi
dan fungsi pengawasan dari mutu produk dan fungsi manajemen produksi
ini bertujuan untuk menghasilkan produk yang kontiniu dan berkualitas.
Menurut Assauri, (1999) Fungsi dari manajemen produksi terdiri
dari:
1. Perencanaan produksi
Perencanaan merupakan salah satu fungsi dari manajemen,
dalam
perencanaan ditentukan usaha-usaha atau tindakan-tindakan yang akan di
ambil oleh pimpinan perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan,
dengan mempertimbangkan masalah-masalah yang timbul di masa yang
akan datang.
Perencanaan produksi terdiri dari :
a. Perencanaan produk
Perencanaan produk menyangkut perencanaan kapasitas produk
yang akan di produksi.
b. Perencanaan kualitas produk
Perencanaan kualitas produk menyangkut dengan kualitas produk
yang akan di produksi.
c. Perencanaan fasilitas
Perencanaan fasilitas menyangkut tentang fasilitas-fasilitas yang
akan di gunakan dalam proses produksi sehingga dihasilkan suatu
produk.
d. Perencanaan lokasi
Perencanaan lokasi merupakan perencanaan tata letak proses
produksi karena lokasi dapat mempengaruhi tingkat penjualan
produk.
e. Perencanaan bahan baku
Perencanaan bahan baku merupakan perencanaan bahan baku yang
akan digunakan dalam proses produksi dan juga pemasok dari
bahan baku yang akan digunakan.
f. Perencanaan jadwal produksi
Perencanan jadwal produksi merupakan perencanaan waktu yang
akan dilakukan untuk melakukan proses produksi sehingga tetap
menjaga persediaan produk.
g. Perencanaan pemasaran produk
Perencanaan pemasaran produk menyangkut kapan produk akan di
pasarkan dan siapa pasar sasaran produk.
h. Perencanaan tempat produk yang telah diproduksi atau
pergudangan Perencanaan tempat produk yang telah diproduksi
atau pergudangan sangat di perlukan sebagai tempat penyimpanan
produk sementara sebelum dilakukan
penjualan untuk menjaga produk dari kerusakan.
2. Pengorganisasian
Adalah proses pengelompokan orang, alat, tugas, tanggung jawab
ataupun
wewenang dengan cara tertentu sehingga tercipta organisasi yang dapat
digerakkan sebagai satu kesatuan dalam mencapai tujuan yang telah di
tentukan.
3. Pelaksanaan proses produksi
Pelaksanaan proses produksi dalam manajemen produksi
mencakup bagai
mana pelaksanaaan proses produksi, bagaiman sifat pelaksanaanproses
produksi tersebut. Sifat proses produksi terdiri dari :
a. Proses produksi yang terputus-putus
Perencanaan produksi dalam perusahaan yang mempunyai proses
produksi terputus-putus, dilakukan berdasarkan jumlah pesanan
yang diterima, karena kegiatan produksi yang dilakukan sesuai
denngan pesanan maka jumlah produksnya biasanya sedikit atau
relatif kecil.
b. Proses produksi yang terus-menerus
Perencanaan produksi pada perusahaan yang mempunyai proses produksi secara
terus-menerus, dilakukan berdasarkan ramalan penjualan, hal ini karena
kegiatan produksi tidak dilakukan berdasarkan pesanan akan tetapi
untuk memenuhi pasar, dan jumlah yang besar serta berulang-
ulang.
4. Pengawasan mutu
Kegiatan pengawasan mutu sangat banyak, karena semua pengaruh
terhadap mutu harus dimasukkan dan diperhatikan, secara garis besar
pengawasan mutu dapat dibedakan atau dikelompokkan kedalam 2
tingkatan yaitu:
a. Pengawasan selama pengolahan (proses)
Pengawasan yang dilakukan yaitu selama proses produksi
termasuk pengawasan atas bahan-bahan yang akan digunakan
terhadap proses.
b. Pengawasan atas barang hasil yang telah diselesaikan
Walaupun telah di adakan pengawasan mutu dalam tingkat-tingkat
proses, belum menjamin bahwa tidak ada hasil yang rusak atau
kurang baik, untuk menjaga agar hasil yang cukup baik atau sedikit
rusak perlu dilakukan lagi pengawasan terhadap hasil akhir atau
produk selesai.
III BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Laboratorium


Treub Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor - Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (PKT KRB-LIPI) sejak bulan November 2012 sampai
dengan Oktober 2013. Rancangan percobaan adalah rancangan kelompok lengkap
teracak dengan satu faktor, yaitu konsentrasi kolkisin. Konsentrasi kolkisin yang
diujikan adalah 0; 0.5; 5; 25; 50 dan 75 mg L-1. Larutan kolkisin sesuai dengan
perlakuan yang telah disterilisasi dengan millipore filter 0.2 m, dimasukkan ke
dalam media cair Murashige-Skoog setengah konsentrasi (1/2MS) steril dengan
volume total untuk setiap perlakuan adalah 25 mL. Protokorm P. amabilis dan P.
amboinensis yang berumur 10 bulan dari semai biji, direndam dalam larutan
kolkisin selama 10 hari dalam erlenmeyer dan diletakkan pada shaker dengan
kecepatan rotasi 50 rpm. Setelah perendaman, protokorm dibilas tiga kali dengan
akuades steril lalu disubkultur pada media pemulihan yaitu media1/ 2MS yang
ditambahkan 30 g L-1 gula, 2.02 g L-1 gelrite, 0.3 mg L-1 NAA, 2 g L-1 arang aktif,
dan 2 g L-1 pepton selama 8 minggu setelah perlakuan (MSP). Selanjutnya
protokorm disubkultur pada media pembesaran, yaitu media 1/2MS yang
ditambahkan 30 g L-1 gerlite, 2.02 g L-1 gula,100 g L-1 pisang ambon ysng masak
dihaluskan dengan blender dan 2 g L-1 arang aktif. Protokorm diinkubasi dalam
ruang kultur pada suhu 23-25 oC dengan fotoperiodisitas 12 jam terang dan 12 jam
gelap.
Setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali. Satu ulangan terdiri atas tiga
protokorm yang ditanam dalam satu botol kultur. Peubah yang diamati adalah
persentase hidup, jumlah daun, akar, dan protocorm like body (plb) selama 24 MSP.
Setelah 24 MSP, berdasarkan pengamatan visual morfologi, planlet dengan
morfologi abnormal (daun tebal dan planlet pendek) dipilih untuk dilakukan
analisis stomata dan kromosom.
Analisis stomata dilakukan dengan metode Gantait et al. (2011) yang
dimodifikasi. Daun dari internodus teratas yang telah membuka sempurna diambil
di dalam Laminar Air Flow Cabinet (LAFC). Permukaan atas daun dikerik dengan
pisau silet di luar LAF, sampai tersisa lapisan epidermisbawah. Lapisan epidermis
dipotong, lalu diletakkan di atas kaca objek. Larutan gliserin diteteskan di atas
potongan epidermis, lalu ditutup dengan kaca penutup. Tepi kaca penutup dilapisi
cat kuku bening dan preparat diamati di bawah mikroskop. Pengamatan kerapatan
stomata dilakukan dengan mikroskop OPTIKA M-699 pada perbesaran 100x,
sedangkan pengamatan ukuran stomata dengan perbesaran 400x. Pengamatan
kerapatan stomata dilakukan pada sepuluh bidang pandang yang dipilih secara
acak, masing-masing seluas 3.79 mm2. Sepuluh stomata lalu dipilih secara acak
untuk diukur panjang dan lebarnya menggunakan piranti lunak Optika Vision Lite
2.1.
Analisis kromosom dilakukan menggunakan metode Manton (1950) yang
dimodifikasi. Ujung akaraktif dipotong sekitar 1 cm, lalu difiksasi dalam larutan
hidroksiquinolin selama 24 jam pada suhu 4 oC. Akar lalu dimasukkan ke dalam
larutan asam asetat 45% selama 10 menit, selanjutnya akar dipindahkan ke dalam
larutan asam asetat 45% : HCl (3:1), sambil dipanaskan dalam penangas air dengan
suhu 60C selama 3 menit. Potongan akar lalu diletakkan pada gelas arloji. Akar
kemudian dipindahkan pada gelas preparat. Bagian ujung akar dipotong 1-2 mm,
lalu diteteskan orcein secukupnya kemudian pasang kaca penutup. Selanjutnya
preparat diketuk-ketuk dan dipanaskan sekitar 5 detik. Preparat lalu dibiarkan
dingin kemudian ditekan halus dan dipanaskan lagi sekitar 5 detik. Tepi kaca
penutup diberi cat kuku bening dan preparat siap untuk diamati. Pengamatan
kromosom dilakukan dengan menggunakan mikroskop OLYMPUS U-TVO.5XC-
35H 12344 pada perbesaran 1000x pada tiga sel dari setiap preparat yang dianalisis.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam. Apabila terdapat
data dengan keragaman tinggi dan ragam tidak homogen maka dilakukan
transformasi menggunakan rumus . Apabila dari hasil analisis ragam terdapat
pengaruh nyata dari perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple
Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5% untuk mengetahui pengaruh beda antar
perlakuan. Penghitungan jumlah kromosom menggunakan Microsoft Office Excel
serta dihitung rata-rata dan standar deviasinya. Untuk mengetahui adanya
perbedaan antara ukuran dan kerapatan stomata planlet diploid serta poliploid
digunakan uji-t pada taraf nyata 1%. Pengolahan data menggunakan program SAS
9.1.3 Portable.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Induksi poliploidi pada protokorm P. amabilis dan P. amboinensis


menggunakan kolkisin pada konsentrasi dan lama perendaman yang diujikan tidak
berpengaruh nyata terhadap persentase hidup dan rata-rata jumlah plb, namun
berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah daun dan akar pada 24 MSP (Tabel 1).
Persentase hidup kedua spesies anggrek tersebut berkisar dari 80-100% (Tabel 1).
Persentase hidup protokorm setelah perlakuan kolkisin pada kedua spesies yang
relatif tinggi menunjukkan bahwa konsentrasi yang diujikan tidak mematikan sel
atau jaringan pada protokorm.
Protokorm dapat tumbuh menghasilkan protocorm like body (plb) dan
berkembang menjadi planlet dalam 24 MSP. Jumlah daun dan akar pada planlet
dari kedua spesies anggrek yang diberi perlakuan kolkisin tampak lebih rendah
daripada kontrol (Tabel 1). Keragaaan planlet P. amabilis dan P. amboinensis yang
dihasilkan dari protokorm yang diberi perlakuan kolkisin menunjukkan morfologi
yang abnormal, terlihat dari daun baru yang tumbuh menebal dan planlet menjadi
pendek atau roset. Persentase planlet yang menunjukkan morfologi daun menebal
sebesar 46-84%
Tabel 1. Pengaruh kolkisin terhadap persentase hidup dan pertumbuhan protokorm
Phalaenopsis amabilis dan Phalaenopsis amboinensis pada 24 MSP

< Konsentrasi kolkisin Persentase hidup Rata-rata Rata-rata Rata-rata


Spesies
(mg L-1) (%) jumlah daun jumlah akar jumlah plb
P. amabilis 0.0 100.0 3.6(2.1)a 3.1(2.0)a 7.3(2.7)
0.5 100.0 1.5(1.6)b 1.1(1.4)b 7.3(2.8)
5.0 86.8 1.7(1.6)b 1.3(1.5)b 9.1(3.1)
25.0 86.8 1.8(1.7)b 1.5(1.6)b 3.8(2.2)
50.0 93.4 1.8(1.7)b 1.1(1.4)b 6.5(2.6)
75.0 86.8 1.5(1.6)b 1.2(1.5)b 3.4(2.0)
P. amboinensis 0.0 100.0 3.1a 2.4a 1.9(1.7)ab
0.5 100.0 2.0b 1.3bc 0.9(1.3)b
5.0 86.8 1.4b 0.9c 2.9(1.8)ab
25.0 93.4 2.3ab 1.6b 0.5(1.2)b
50.0 80.0 2.3ab 1.6b 4.2(2.2)a
75.0 93.4 2.1b 1.9ab 1.6(1.5)ab

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada
masing-masing spesies menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Angka di dalam tanda kurung
adalah hasil transformasi menggunakan rumus
Tabel 2. Persentase planlet Phalaenopsis amabilis dan Phalaenopsis amboinensis
dengan daun tebal dan planlet poliploid

Konsentrasi kolkisin Persentase planlet Persentase planlet poliploid

Spesies
(mg L-1) dengan daun tebal (%)x (%)y

P. amabilis 0.0 0.0 (0/15) 0.0 (0/0)


0.5 46.7 (7/15) 0.0 (0/7)
5.0 53.9 (7/13) 0.0 (0/7)
25.0 61.5 (8/13) 12.5 (1/8)
50.0 42.9 (6/14) 33.3 (2/6)
75.0 84.6 (11/13) 18.2 (2/11)
P.
amboinensis 0.0 0.0 (0/15) 0.0 (0/0)
0.5 26.7 (4/15) 0.0 (0/4)
5.0 30.8 (4/13) 0.0 (0/4)
25.0 35.7 (5/14) 0.0 (0/5)
50.0 41.7 (5/12) 40.0 (2/5)
75.0 57.1 (8/14) 25.0 (2/8)

Keterangan: xJumlah planlet dengan daun tebal/jumlah planlet yang hidup pada 24
MSP yJumlah planlet poliploid/jumlah planlet dengan daun tebal
pada P. amabilis dan 26-57% pada P. amboinensis (Tabel 2). Semakin tinggi
konsentrasi kolkisin yang diujikan, persentase planlet dengan daun menebal juga
semakin tinggi.
Pertumbuhan yang lambat dan morfologi abnormal merupakan gejala yang
umum terjadi setelah perlakuan kolkisin pada tanaman. Griesbach (1981)
menemukan bahwa pertumbuhan Phalaenopsis yang diberi perlakuan kolkisin
lebih lambat daripada planlet kontrol. Pertumbuhan yang lebih lambat tersebut
diduga disebabkan oleh penetrasi dari kolkisin ke dalam lapisan sel apikal sehingga
mempengaruhi pembelahan sel (Thao et al., 2003; Sarathum et al., 2010; Gantait
et al., 2011). Morfologi yang abnormal juga dilaporkan oleh Zeng et al. (2006),
dimana kolkisin dapat menimbulkan efek samping, yaitu morfologi abnormal
seperti penebalan daun selama proses mutagenesis. Penebalan daun tanaman
tetraploid ditemukan pada Caladium Tapestry (Cai et al., 2015) dan Thymus
persicus (Tavan et al., 2015).
Planlet P. amabilis dan P. amboinensis yang memiliki daun baru yang
menebal, berwarna lebih hijau, serta planlet berukuran pendek diduga bersifat
poliploid. Jaringan poliploid diduga mengandung lebih banyak klorofil sehingga
warna daun terlihat lebih hijau. Kandungan klorofil yang tinggi terdapat pada
tanaman Paulownia tomentosa (Thunb.) tetraploid (Tang et al., 2010) dan
semangka poliploid (Pradeepkumar, 2011). Analisis stomata juga merupakan
merupakan salah satu cara untuk seleksi awal tanaman poliploid dan untuk
mengurangi ukuran populasi yang dipertahankan setelah tahap kultur in vitro (Silva
et al., 2000; Miguel dan Leonhardt, 2011). Chen et al. (2009) serta Miguel dan
Leonhardt (2011) telah menggunakan analisis stomata untuk menentukan tingkat
ploidi pada anggrek Cymbidium, Dendrobium, Epidendrum, Odontioda dan
Phalaenopsis. Namun cara yang paling baik untuk memastikan tingkat ploidi
tanaman hasil perlakuan kolkisin adalah dengan analisis jumlah kromosom.
Hasil analisis stomata dari planlet yang diduga poliploid berdasarkan
morfologi tanaman disajikan pada Tabel 3 dan morfologi serta kerapatan stomata
disajikan pada Gambar 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan
kolkisin 50 dan 75 mg L-1 berpengaruh nyata terhadap panjang dan kerapatan
stomata P. amabilis dan P. amboinensis (Tabel 3). Kedua perlakuan tersebut
menghasilkan planlet P. amabilis dan P. amboinensis yang memiliki stomata lebih
panjang dari kontrol. Menurut Miguel dan Leonhardt (2011), tanaman dengan
panjang stomata lebih besar 1.25x dari panjang stomata tanaman kontrol diduga
sebagai tanaman poliploid. Berdasarkan hal tersebut diduga perlakuan kolkisin 50
dan 75 mg L-1 dapat menginduksi terbentuknya tanaman poliploid untuk kedua
spesies. Berdasarkan hasil analisis kromosom pada planlet P. amabilis dan P.
amboinensis, ditemukan beberapa planlet dengan sel yang poliploid seperti terlihat
pada Tabel 2 dan Gambar 2.
Phalaenopsis amabilis dan P. amboinensis memiliki jumlah kromosom yang
sama, yaitu 2n=2x=38 (Kao et al. 2007). Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa hasil
pengamatan morfologi berbeda dengan hasil analisis kromosom. Planlet dengan
daun tebal yang diduga poliploid ternyata tidak semuanya terbukti poliploid setelah
dilakukan analisis kromosom. Hal yang sama dilaporkan Zeng et al. (2006) pada
Citrus yang diberi perlakuan kolkisin, awalnya 50% sel menjadi tetraploid, namun
satu bulan setelah perlakuan kolkisin, hanya 16.7% sel yang tetap tetraploid. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh sebagian besar sel yang diidentifikasi sebagai
tetraploid setelah perlakuan kolkisin mengalami kematian dalam kultur in vitro atau
sel-sel tetraploid menunjukkan kemampuan pertumbuhan yang lebih rendah jika
dibandingkan sel-sel diploid.
Tabel 3. Pengaruh perendaman protokorm dalam larutan kolkisin terhadap ukuran
dan kerapatan stomata planlet Phalae-nopsis amabilis dan Phalaenopsis
amboinensis

Kolkisin Panjang stomata Lebar stomata Kerapatan stomata

Spesies
(mg L-1) (m) (m) (jumlah/3.79 mm2 )
P. amabilis 0.0 30.2b 30.3ab 9.4a
0.5 29.8b 29.2b 10.1a
5.0 30.2b 29.0b 9.0a
25.0 31.4b 31.2ab 9.0a
50.0 36.1a 32.6a 6.1b
75.0 36.5a 29.6b 5.7b
P. amboinensis 0.0 26.3bc 26.3bc 10.5a
0.5 27.0b 26.5bc 8.8b
5.0 24.7c 23.8d 10.0a
25.0 24.7c 24.6cd 9.4ab
50.0 31.3a 29.1a 6.0c
75.0 30.7a 26.8b 6.6c

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada
masing-masing spesies menunjukkan hasil yang tidak ber-beda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Gambar 1. Ukuran dan kerapatan stomata Phalaenopsis amabilis dan Phalaenopsis
amboinensis setelah perendaman protokorm dalam larutan kolkisin.
Phalaenopsis amabilis diploid (A) dan poliploid (B) serta P. amboinensis
diploid (C), dan poliploid (D) dengan perbesaran 400x, bar = 30 m.
Kerapatan stomata P. amabilis diploid (E), poliploid (F) serta P.
amboinensis diploid (G), dan poliploid (H) dengan perbesaran 100x, bar
= 100 m
Gambar 2. Kromosom Phalaenopsis amabilis dan Phalaenopsis amboinensis
setelah perendaman protokorm dalam larutan kolkisin. Kromosom P.
amabilis diploid (A) dan poliploid (B) serta kromosom P. amboinensis
diploid (C) dan poliploid (D). Perbesaran 1000x, bar = 20 m

Perendaman protocorm dalam larutan kolkisin 50 mg L-1 selama 10 hari


efektif untuk menginduksi pembentukan planlet P. amabilis poliploid dengan
persentase 33.3% dan P. amboinensis poliploid dengan persentase 40% dari
planlet yang memiliki daun menebal (Tabel 2). Planlet P. amabilis poliploid
yang dihasilkan memiliki 70-76 kromosom, sedangkan planlet P. amboinensis
memiliki 72-76 kromosom (Tabel 4). Kromosom P. amabilis serta P.
amboinensis diploid dan poliploid dapat dilihat pada Gambar 2.

Hasil uji-t menunjukkan bahwa ukuran dan kerapatan stomata planlet P.


amabilis dan P. amboinensis poliploid berbeda nyata dengan planlet diploid (Tabel
4). Planlet P. amabilis dan P. amboinensis poliploid, memiliki ukuran stomata yang
lebih besar dari tanaman diploid [Gambar 1 (A, B, C, D)] sehingga memiliki rata-
rata kerapatan stomata lebih rendah daripada tanaman diploid [Gambar 1(E, F, G,
H)]. Hasil penelitian yang diperoleh sejalan dengan hasil penelitian induksi
poliploidi pada anggrek C. intermedia (Silva et al., 2000), Anthurium andraeanum
Arizona (Chen et al., 2011), Dendrobium, Epidendrum, Odontioda,
Phalaenopsis (Miguel dan Leonhardt, 2011), serta R. retusa var. rubrum
(Kerdsuwan dan Te-chato, 2012).
Planlet P. amabilis dan P. amboinensis tetraploid yang dihasilkan masih perlu
dilakukan evaluasi kecepatan pertumbuhan dan morfologi bunganya. Program
pemuliaan untuk Phalaenopsis tetraploid dapat melalui persilangan dengan varietas
hibrida tetraploid ataupun melalui persilangan dengan spesies atau hibrida diploid
untuk menghasilkan tanaman triploid. Menurut Syukur (2013), tanaman triploid
umumnya steril karena cara berpasangan yang tidak seimbang pada waktu meiosis.
Kondisi tersebut dapat bermanfaat pada pemuliaan Phalaenopsis karena dapat
dihasilkan hibrida-hibrida dengan vase life tinggi sehingga bunga tahan lebih lama.
Pendekatan lain dalam aplikasi tanaman tetraploid untuk pemuliaan tanaman adalah
penyerbukan untuk menghasilkan populasi selfing tetraploid dengan individu yang
beragam.

Tabel 4. Rata-rata jumlah kromosom planlet diploid dan poliploid serta ukuran
dan kerapatan stomata planlet diploid dan po-liploid setelah perendaman
protokorm Phalenopsis amabilis dan Phalaenopsis amboinensis dalam larutan
kolkisin

Rata-rata
Rata-rata panjang Rata-rata lebar
Rata-rata jumlah stomata stomata

Spesies Planlet kerapatan stomata


kromosom (m) (m)
(jumlah/3.79 mm2 )
P. amabilis Diploid 36.7 1.5 29.3b 28.2b 8.9a
Poliploid 73.2 2.6 37.9a 32.7a 4.9b
P. amboinensis Diploid 36.6 1.6 25.4b 25.0b 9.4a
Poliploid 74.0 1.9 34.8a 30.4a 5.6b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada
masing-masing spesies menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
berdasarkan uji-t pada taraf 1%
V KESIMPULAN

Perlakuan perendaman protokorm P. amabilis dan P. amboinensis dalam


larutan kolkisin 50 dan 75 mg L-1 selama 10 hari dapat menghasilkan planlet dengan
panjang stomata lebih besar 1.25x dari panjang stomata planlet kontrol. Ukuran
stomata planlet poliploid lebih besar daripada planlet diploid, tetapi kerapatan
stomata planlet poliploid lebih rendah daripada kerapatan stomata planlet diploid.
Hasil analisis kromosom membuktikan bahwa perendaman protokorm kedua
spesies anggrek tersebut dalam larutan kolkisin 50 mg L-1 selama 10 hari
menghasilkan persentase planlet poliploid paling tinggi yaitu 33.3% pada P.
amabilis dan 40% pada P. amboinensis dari planlet yang menunjukkan morfologi
daun menebal.
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S.I., H. Aswidinnoor, A. Saefuddin, B. Marwoto, S. Sastrosumarjo. 2009.


Induksi mutasi pada stek pucuk anyelir (Dianthus caryophyllus Linn.) melalui
iradiasi sinar gamma. J. Agron. Indonesia 37:62-70.
Assauri, S. 1999, Manajemen Produksi Dan Operasi. Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Jakarta. 264 Hal
Atichart, P., S. Bunnag. 2007. Polyploid induction in Dendrobium secundum (Bl.)
Lindl. by in vitro techniques. Thai J. Agric. Sci. 40:91-95.
Cai, X., Z. Cao, S. Xu, Z. Deng. 2015. Induction, regeneration and characterization
of tetraploids and variants in Tapestry caladium. Plant Cell Tiss. Organ Cult.
120:689-700
Chen, C., X. Hou, X. Zhang, G. Wang, L. Tian. 2011. Induction of Anthurium
andraeanum Arizona tetraploid by colchicine in vitro. Euphytica 181:137-
145.
Chen, W.H., C.Y. Tang, Y.L. Kao. 2009. Ploidy doubling by in vitro culture of
excised protocorms or protocorm-like bodies in Phalaenopsis species. Plant
Cell Tiss. Organ Cult. 98:229-238.
Christenson, E.A. 2001. Phalaenopsis: a monograph. Timber Press, Oregon.
Dhooghe, E., K. van Laere , T. Eeckhaut, L. Leus, J. van Huylenbroeck.
2011. Mitotic chromosome doubling of plant tissues in vitro. Plant Cell
Tiss. Organ Cult. 104:359-373.
Gantait, S., N. Mandal, S. Bhattacharyya, P.K. Das. 2011. Induction and
identification of tetraploids using in vitro colchicine treatment of Gerbera
jamesonii Bolus cv. Sciella. Plant Cell Tiss. Organ Cult. 106:485-493.
Griesbach, R.J. 1981. Colchicine-induced polyploidy in Phalaenopsis orchids.
Plant Cell Tiss. Organ Cult. 1:103-107.
Griesbach, R.J. 1985. Polyploidy in Phalaenopsis orchid improvement.The Journal
of Heredity 76:74-75.
Gunawan, L.W.2007, Budi Daya Anggrek.Penebar Swadaya. Jakarta. 91 Hal.
Handoko, T. 1997, Dasar -Dasar Manajemen Produksi Dan Operasi.BPFE-
YOGYAKARTA.Yogyakarta 462 Hal.
Kao, Y.Y., C.C. Lin, C.H. Huang, Y.H. Li. 2007. The cytogenetics of Phalaenopsis
orchids. p. 115-128. In W.H. Chen, H.H. Chen (Eds.). Orchid Biotechnology.
World Scientific, New Jersey.
Kerdsuwan, N., S. Te-chato. 2012. Effects of colchicine on survival rate,
morphological, physiological and cytological characters of Chang Daeng
orchid (Rhyncostylis gigantea var. rubrum Sagarik) in vitro. J. Agric.
Technol. 8:1451-1460.
Lin, S., H.C.Lee, W.H. Chen, C.C. Chen, Y.Y. Kao, Y.M. Fu, Y.H. Chen, T.Y. Lin.
2001. Nuclear DNA contents of Phalaenopsis sp. and Doritis pulcherrima. J.
Amer. Soc. Hort. Sci. 126:195-199.
Manton, I. 1950. Problems of Cytology and Evolution in the Pteridophyta. The
University Press, Cambridge.
Miguel, T.P., K.W. Leonhardt. 2011. In vitro polyploid induction of orchids using
oryzalin. Sci. Hort. 130:314-319.
Pradeepkumar, T. 2011. Characterization of M1 generation of polyploid in
watermelon variety Sugar Baby. Cucurbit Genetics Cooperative Report 33-
34:44-46.
Romeida, A., S.H. Sutjahjo, A. Purwito, D. Sukma, Rustikawati. 2012. Variasi
genetik mutan anggrek Spathoglottis plicata Blume berdasarkan marker
ISSR. J. Agron. Indonesia 40:218-224.
Sandra, 2002. Membuat Anggrek Rajin Berbunga. Agromedia Pustaka. Jakarta. 54
Halaman.
Sarathum, S., M. Hegele, S. Tantiviwat, M. Nanakorn. 2010. Effect of
concentration and duration of colchicine treatment on polyploidy induction in
Dendrobium scabrilingue L. Europ. J. Hort. Sci. 75:123-127.
Silva, P.A.K.X., S. Callegari-Jacques, M.H. Bodanese-Zanettini. 2000. Induction
and identification of polyploids in Cattleya intermedia Lindl. (Orchidaceae)
by in vitro techniques. Cincia Rural 30:105-111.
Soeryowinoto, S.M, 1977, Perbanyakan Vegetative Pada Anggrek.
Kanisius.Yogyakarta.93 Hal.
Stiawan, H. 2009, Usaha Pembesaran Anggrek. Penebar Swadaya. Jakarta. 88 Hal.
Sutiyono, Y.2009, Peluang Bisnis Anggrek. Penebar Swadaya. Jakarta. 104 Hal.
Syukur, M. 2013. Variasi jumlah kromosom. hal. 127-151. Dalam M. Syukur, S.
Sastrosumarjo (Eds.). Sitogenetika Tanaman. IPB Press, Bogor.
Tang, C.Y., W.H. Chen. 2007. Breeding and development of new varieties in
Phalaenopsis. p. 1-22. In W.H. Chen, H.H. Chen (Eds.). Orchid
Biotechnology. World Scientific, New Jersey.
Tang, Z.Q., D.L. Chen, Z.J. Song, Y.C. He, D.T. Cai. 2010. In vitro induction
and identification of tetraploid plants of Paulownia tomentosa. Plant Cell
Tiss Organ Cult 102:213-220.
Tavan, M., M.H. Mirjalili, G. Karimzadeh. 2015. In vitro polyploidy induction:
changes in morphological, anatomical and phytochemical characteristics of
Thymus persicus (Lamiaceae). Plant Cell Tiss. Organ Cult. 122:573-583.
Thao, N.T.P., K. Ureshino, I. Miyajima, Y. Ozaki, H. Okubo. 2003. Induction of
tetraploids in ornamental Alocasia through colchicine and oryzalin
treatments. Plant Cell Tiss. Organ Cult. 72:19-25.
Van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding, Theory and Practical Applications.
Cambridge University Press, Cambridge.
Warnaningsih,WFS.2004http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/12345678
9/11340/1/wahyu%20fajar%20syahdwi%20warnaningsih-fst.pdf 3 Oktober
2017
Yulianti, E. 2013 http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/evy-
yulianti-2013 msc/budidaya-tanaman-anggrek.pdf 3 Oktober 2017
Zeng, S.H., C.W. Chen, L. Hong, sJ.H. Liu, X.X. Deng. 2006. In vitro induction,
regeneration and analysis of autotetraploids derived from protoplasts and
callus treated with colchicine in Citrus. Plant Cell Tiss. Organ Cult. 87:85-
93.

Anda mungkin juga menyukai