Anda di halaman 1dari 19

PENGAPLIKASIAN TEORI KOGNITIF PADA PEMBELAJARAN MURID

SEKOLAH DASAR

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas matakuliah

Belajar dan Pembelajaran

yang dibina oleh Drs. Hadi Wasito, Dip.Ed., M.pd.

Oleh

Mayogo Setyo

150521602364

Offering B

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur terlimpahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
karunia dan rahmatnya, sehingga penyusunan tugas akhir ini dapat saya selesaikan
dengan tepat waktu. Makalah ini merupakan tugas dari mata kuliah belajar dan
pembelajaran. Makalah yang berjudul Pengaplikasian Teori Kognitif Pada
Pembelajaran Murid Sekolah Dasar yang berisi tentang bagaimana penerapan
pembelajaran di sekolah dasar. Pembelajaran siswa di Sekolah Dasar memiliki
permasalahan yang membuat pengajar menjadi sulit saat menyampaikan ilmu. Murid
Sekolah Dasar memiliki masa depan yang sangat panjang dibutuhkanya
penggungkapan materi yang lebih bagus.

Hal ini, akan mendapat proses pembelajaran yang lebih baik dari pembelajaran
pada usia dini. Berbeda dengan pembelajaran pada pendidikan paud, pendidikan paud
lebih banyak bermainnya dari pada Sekolah Dasar . Murid Sekolah Dasar lebih
memiliki sikap ingin tau yang sangat lebih terhadap apa yang diajarkan pada waktu
proses pembelajaran. Maka dari itu, makalah ini menjelaskan sedikit masalah yang
terjadi pada pembelajaran murid Sekolah Dasar dan bagaimana cara mengatasinya.

Malang, 20 November 2016

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1


1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Rentan Usia Anak Dasar .......................................................................... 3


2.2. Karak Teristik Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar ....................... 3
2.3. Pengaplikasian Pembelajaran Pada Murid Sekolah Dasar
Teori Perkembangan Kognitif............................................................ 4
Teori Perkembangan Psikososial ....................................................... 8
Teori Perkembangan Moral .............................................................. 10

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap anak dilahirkan bersamaan dengan potensi-potensi yang dimilikinya. tak


ada satu pun yang luput dari pengawasan dan kepedulian-nya. Hal ini merupakan tugas
orang tua dan guru untuk dapat menemukan potensi tersebut. Syaratnya adalah
penerimaan yang utuh terhadap keadaan anak. Dalam bidang pendidikan seorang anak
dari lahir memerlukan pelayanan yang tepat dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan
disertai dengan Pemahaman mengenai karakteristik anak sesuai pertumbuhan dan
perkembangannya akan sangat membantu dalam menyesuaikan proses belajar bagi
anak dengan usia, kebutuhan, dan kondisi masing-masing, baik secara intelektual,
emosional dan sosial.

Masa usia Sekolah Dasar merupakan periode emas (golden age) bagi
perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-
tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di
lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan aspek kepribadian,
kognitifnya

Untuk itu pendidikan anak untuk usia Sekolah Dasar dalam bentuk pemberian
rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk
mengoptimalkan kemampuan anak. Pembentukan kemampuan siswa di sekolah
dipengaruhi oleh proses belajar yang ditempuhnya. Proses belajar akan terbentuk
berdasarkan pandangan dan pemahaman guru tentang karakteristik siswa dan juga
hakikat pembelajaran.

Dengan demikian, proses belajar perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan


siswa. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan pemahaman para guru mengenai
rentang usia, karakteristik perkembangan dalam aspek kognitif, psikososial dan moral
serta proses pembelajaran yang efektif untuk siswa Sekolah Dasar.

1.2. Rumusan Masalah

1. Berapa Rentang usia anak Sekolah Dasar ?


2. Bagaimana karakteristik perkembangan anak usia Sekolah Dasar
berdasarkan Teori Perkembangan Kognitif ?
3. Bagaimana Pembelajaran Anak di Sekolah Dasar beradasarkan
perkembangan kognitif, psikososial, dan moral anak usia SD ?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran.
2. Mengetahui rentang usia anak Sekolah Dasar dan karakteristik yang
dimilikinya serta peran guru dalam pembelajaran anak usia Sekolah Dasar.
3. Mengetahui karakteristik perkembangan usia Sekolah Dasar berdasarkan
Teori Perkembangan Kognitif
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Rentang Usia Anak Sekolah Dasar

Masa usia sekolah dasar sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari
usia enam tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik
utama siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan
individual dalam banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi,
kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan
fisik anak.

Tingkatan kelas di sekolah dasar dapat dibagi menjadi dua, yaitu kelas rendah
dan kelas tinggi. Kelas rendah terdiri dari kelas satu, dua, dan tiga, sedangkan kelas-
kelas tinggi terdiri dari kelas empat, lima, dan enam (Supandi, dalam Anitah, dkk.,
2008). Di Indonesia, rentang usia siswa SD, yaitu antara 6 atau 7 tahun sampai 12
tahun. Usia siswa pada kelompok kelas rendah, yaitu 6 atau 7 sampai 8 atau 9 tahun.
Siswa yang berada pada kelompok ini termasuk dalam rentangan anak usia dini. Masa
usia dini ini merupakan masa yang pendek tetapi sangat penting bagi kehidupan
seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki anak perlu
didorong sehingga akan berkembang secara optimal.

2.2. Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar

Siswa Sekolah Dasar merupakan individu unik yang memiliki karakteristik


tertentu yang bersifat khas dan spesifik. Pada dasarnya setiap siswa adalah individu
yang berkembang. Perkembangan siswa akan dinamis sepanjang hayat mulai dari
kelahiran sampai akhir hayat, Dalam hal ini pendidikan maupun pembelajaran sangat
dominan memberikan konstribusi untukek membantu dan mengarahkan perkembangan
siswa supaya menjadi positif dan optimal. Setiap siswa memiliki irama dan kecepatan
perkembangan yang berbeda beda dan bersifat individual.

Perkembangan siswa merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan


dalam proses belajar. Seluruh aktifitas proses belajar harus berpusat pada kebutuhan
siswa (child centered) dan pada aspek tuntutan masyarakat (society centered). Fase
fase perkembangan yang dialami siswa harus dipahami oleh guru supaya dalam
pembelajaran tidak mengalami hambatan psikologis yang mengakibatkan hasil belajar
tidak optimal.

Perkembangan siswa sekolah dasar usia 6-12 tahun yang termasuk pada
perkembangan masa pertengahan (middle childhood) memiliki fase-fase yang unik
dalam perkembangannya yang menggambarkan peristiwa penting bagi siswa yang
bersangkutan. Tahap perkembangan siswa dapat dilihat dari aspek Kognitif,
Psikososial, dan Moral.

2.3. Pengaplikasian Pembelajaran Pada Murid Sekolah Dasar


2.3.1. Teori Perkembangan Kognitif

Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-
rumusan seperti: Tahap-tahap perkembangan yang dikemukakan oleh J. Piaget,
Advance organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarki belajar oleh
Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan lebih rinci
beberapa pandangan mereka.

Jean Piaget membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4 periode utama


yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia :

1. Tahapan sensorimotor (usia 02 tahun)


2. Tahapan praoperasional (usia 27 tahun)
3. Tahapan operasional konkrit (usia 711 tahun)
4. Tahapan operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)

1. Tahapan sensorimotor

Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga
dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui
diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari
empat periode. Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui
fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Piaget berpendapat
bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial
penting dalam enam sub-tahapan:

a. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan
berhubungan terutama dengan refleks.
b. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat
bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
c. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai
sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara
penglihatan dan pemaknaan.
d. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan
sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek
sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari
sudut berbeda (permanensi objek).
e. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai
delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara
baru untuk mencapai tujuan.
f. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan
awal kreativitas.

2. Tahapan praoperasional

Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati
urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis
yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra) Operasi
dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-
objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak
memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek
dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak
kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan
objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau
bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya
berbeda-beda.

Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan


muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan
keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan
kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif
bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka
tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan
satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di
sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif
orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan
menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
3. Tahapan operasional konkrit

Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam
sampai sebelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai.
Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:

a) Pengurutankemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk,


atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat
mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
b) Klasifikasikemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi
serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain,
termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda
lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan
logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
c) Decenteringanak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu
permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi
menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir
kecil yang tinggi.
d) Reversibilityanak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat
diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat
menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah
sebelumnya.
e) Konservasimemahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda
adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau
benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran
dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain
yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi
cangkir lain.
f) Penghilangan sifat Egosentrismekemampuan untuk melihat sesuatu dari
sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang
salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan
boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang
memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke
ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan
tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa
boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai
menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan
kekekalan. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetatpi hanya dengan
benda-benda yang bersifat konkret. Operation adalah suatu tipe tindakan untuk
memanipulasi objek atau gambaran yang ada di dalam dirinya. Karenanya kegiatan ini
memerlukan proses transformasi informasi ke dalam dirinya sehingga tindakannya
lebih efektif. Anak sudah tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena anak
sudah dapat berpikir dengan menggunakan model kemungkinan dalam melakukan
kegiatan tertentu. Ia dapat menggunakan hasil yang telah dicapai sebelumnya. Anak
mampu menangani sistem klasifikasi.

4. Tahapan operasional formal

Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif


dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat
pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah
diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan
menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat
memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu
hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya.
Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai
perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis,
kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial.
Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga
ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap
menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.

Berdasarkan uraian di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional
kongkrit, pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat
pada fakta-fakta perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas
pada objek-objek kongkrit, dan mampu melakukan konservasi.

Bertitik tolak pada perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah


dasar, hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana
dalam proses berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-
hal yang faktual, sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih
berpijak pada prinsip yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari hal-hal
yang dapat diamati, karena mereka sudah diharapkan pada dunia pengetahuan.
Pada usia ini mereka masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya
terjadi di lingkungan sekolah, karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan
yang nyata di dalam lingkungan masyarakat. Nasution (1992) mengatakan bahwa masa
kelas tinggi sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1) adanya
minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat realistik, ingin
tahu dan ingin belajar, (3) menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal
dan mata pelajaran khusus, oleh ahli yang mengikuti teori faktor ditaksirkan sebagai
mulai menonjolnya faktor-faktor, (4) pada umumnya anak menghadap tugas-tugasnya
dengan bebas dan berusaha menyelesaikan sendiri, (5) pada masa ini anak memandang
nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada
masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama.

Seperti dikatakan Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang
sedang mengalami perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun
pertumbuhan badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing
aspek tersebut tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari
ketiga aspek tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual
pada anak-anak sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang sama.

Dengan karakteristik siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut
untuk dapat mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan
kepada siswa dengan baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar
kehidupan siswa sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak
dan lebih bermakna bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk
pro aktif dan mendapatkan pengalaman langsung baik secara individual maupun dalam
kelompok. Guru juga dituntut untuk harus menjadi model/teladan yang baik bagi siswa
serta guru harus berhati hati dalam bersikap, berbicara, dan berbuat karenaa akan
sangat bepengaruh terhadap kepribadian peserta didik.

2.3.2. Teori Perkembangan Psikososial

Teori Erik Erikson tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori


perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori
kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa
kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari
teori tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan
ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut
Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi
baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya
bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan
menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori
perkembangan psikososial.

Ericson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang


bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh
manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat
naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap
tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang
kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai.
Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan
tidak selaras.

Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami


konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat,
konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan
untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi
meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.

Daya konsentrasi anak tumbuh pada kelas kelas besar SD. Mereka dapat
meluangkan lebih banyak waktu untuk tugas tugas pilihan mereka, dan seringkali
mereka dengan senang hati menyelesaikannya. Tahap ini juga termasuk tumbuhnya
tindakan mandiri, kerjasama dengan kelompok dan bertindak menurut cara cara yang
dapat diterima lingkungan mereka. Mereka juga mulai peduli pada permainan yang
jujur.

Selama masa ini mereka juga mulai menilai diri mereka sendiri dengan
membandingkannya dengan orang lain. Anak anak yang lebih mudah menggunakan
perbandingan sosial (social comparison) terutama untuk normanorma sosial dan
kesesuaian jenisjenis tingkah laku tertentu. Pada saat anakanak tumbuh semakin
lanjut, mereka cenderung menggunakan perbandingan sosial untuk mengevaluasi dan
menilai kemampuan kemampuan mereka sendiri.

Sebagai akibat dari perubahan struktur fisik dan kognitif mereka, anak pada
kelas besar di SD berupaya untuk tampak lebih dewasa. Mereka ingin diperlakukan
sebagai orang dewasa.Terjadi perubahan perubahan yang berarti dalam kehidupan
sosial dan emosional mereka. Di kelas besar SD anak lakilaki dan perempuan
menganggap keikutsertaan dalam kelompok menumbuhkan perasaan bahwa dirinya
berharga. Tidak diterima dalam kelompok dapat membawa pada masalah emosional
yang serius Temanteman mereka menjadi lebih penting daripada sebelumnya.
Kebutuhan untuk diterima oleh teman sebaya sangat tinggi. Remaja sering berpakaian
serupa. Mereka menyatakan kesetiakawanan mereka dengan anggota kelompok teman
sebaya melalui pakaian atau perilaku.

Hubungan antara anak dan guru juga seringkali berubah. Pada saat di SD kelas
rendah, anak dengan mudah menerima dan bergantung kepada guru. Di awal awal
tahun kelas besar SD hubungan ini menjadi lebih kompleks. Ada siswa yang
menceritakan informasi pribadi kepada guru, tetapi tidak mereka ceritakan kepada
orang tua mereka. Beberapa anak pra remaja memilih guru mereka sebagai model.
Sementara itu, ada beberapa anak membantah guru dengan cara cara yang tidak mereka
bayangkan beberapa tahun sebelumnya. Malahan, beberapa anak mungkin secara
terbuka menentang gurunya.

Salah satu tanda mulai munculnya perkembangan identitas remaja adalah


reflektivitas yaitu kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang sedang berkecamuk
dalam benak mereka sendiri dan mengkaji diri sendiri. Mereka juga mulai menyadari
bahwa ada perbedaan antara apa yang mereka pikirkan dan mereka rasakan serta
bagaimana mereka berperilaku.

Mereka mulai mempertimbangkan kemungkinankemungkinan. Remaja


mudah dibuat tidak puas oleh diri mereka sendiri. Mereka mengkritik sifat pribadi
mereka, membandingkan diri mereka dengan orang lain, dan mencoba untuk
mengubah perilaku mereka. Pada remaja usia 18 tahun sampai 22 tahun, umumnya
telah mengembangkan suatu status pencapaian identitas.

2.3.3. Teori Perkembangan Moral

Dewey pernah membagikan proses perkembangan moral atas 3 tahap yaitu:


tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom. Selanjutnya Piaget berhasil
melukiskan dan mengolongkan seluruh pemikiran moral anak seturut kerangka
pemikiran Dewey: (1) tahap pramoral, anak belum menyadari ketertikatannya pada
aturan; (2) tahap konvensional, dicirikan oleh ketaatan pada kekuasaan; (3) tahap
otonom, bersifat keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas.
Berdasarkan pada penelitiannya, Lawrence Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap
dalam seluruh proses berkembangnya pertimbangan moral anak dan orang muda.
Keenam tipe ideal itu diperoleh dengan mengubah tiga tahap Piaget/Dewey dan
menjadikannya tiga tingkat yang masing-masing dibagi lagi atas dua tahap. ketiga
tingkat itu adalah tingkat prakonvensional, konvensional dan pasca-konvensional.

Meski anak prakonvensional sering kali berperilaku baik dan tanggap


terhadap label-label budaya mengenai baik dan buruk, namun ia menafsirkan semua
label ini dari segi fisiknya (hukuman, ganjaran kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik
mereka yang mengadakan peraturan dan menyebut label tentang yang baik dan yang
buruk. Tingkat ini biasanya ada pada anak-anak yang berusia empat hingga sepuluh
tahun.

Tingkat kedua atau tingkat konvensional juga dapat digambarkan sebagai


tingkat konformis, meskipun istilah itu mungkin terlalu sempit. Pada tingkat ini, anak
hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandangnya sebagai
hal yang bernilai dalam dirinya, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata.
Individu tidak hanya berupaya menyesuaikan diri dengan tatanan sosialnya, tetapi juga
untuk mempertahankan, mendukung dan membenarkan tatanan sosial itu.

Tingkat pasca-konvensional dicirikan oleh dorongan utama menuju ke prinsip-


prinsip moral otonom, mandiri, yang memiliki validitas dan penerapan, terlepas dari
otoritas kelompok-kelompok atau pribadi-pribadi yang memegangnya dan terlepas
pula dari identifikasi si individu dengan pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok
tersebut. Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan
prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas
kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu.

Pada penerapan pembelajaran siswa di SD hendaknya dilakukan sebuah


pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik yang dimiliki dan kebutuhan yang
diperlukan oleh anak usia SD karena hal ini dapat menumbuhkan kembangkan potensi
peserta didik dan menumbuhkan semangat belajar anak SD, seperti contoh :

1. Anak usia SD Senang bermain

Maksudnya dalam usia yang masih dini anak cenderung untuk ingin bermain
dan menghabiskan waktunya hanya untuk bermain karena anak masih polos yang dia
tahu hanya bermain maka dari itu agar tidak megalami masa kecil kurang bahagia anak
tidak boleh dibatasi dalam bermain. Peranan guru SD yaitu harus mengetahui karakter
anak sehingga dalam penerapan metode atau model pembelajaran bisa sesuai dan
mencapai sasaran, misalnya model pembelajaran yang santai namun serius, bermain
sambil belajar, serta dalam menyusun jadwal pelajaran yang berat(IPA, matematika
dll.) dengan diselingi pelajaran yang ringan(keterampilan, olahraga dll.)

2. Anak usia SD Senang bergerak

Anak senang bergerak maksudnya dalam masa pertumbuhan fisik dan


mentalnya anak menjadi hiperaktif lonjak kesana kesini bahkan seperti merasa tidak
capek mereka tidak mau diam dan duduk saja menurut pengamatan para ahli anak
duduk tenang paling lama sekitar 30 menit. Peranan guru SD hendaknya merancang
model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Mungkin
dengan permaianan, olahraga dan lain sebagainya.

3. Anak usia SD Senang bekerja dalam kelompok

Anak senang bekerja dalam kelompok maksudnya sebagai seorang manusia,


anak-anak juga mempunyai insting sebagai makhluk social yang bersosialisasi dengan
orang lain terutama teman sebayanya, terkadang mereka membentuk suatu kelomppok
tertentu untuk bermain. Dalam kelompok tersebut anak dapat belajar memenuhi aturan
aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya
dilingkungan, belajar menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang
lain secara sehat (sportif), mempelajarai olah raga, belajar keadilan dan demokrasi.
Peranan guru SD yaitu dapat membuat suatu kelompok kecil misalnya 3-4 anak agar
lebih mudah mengkoordinir karena terdapat banyak perbedaan pendapat dan sifat dari
anak - anak tersebut dan mengurangi pertengkaran antar anak dalam satu kelompok.
Kemudian anak tersebut diberikan tugas untuk mengerjakannya bersama, disini anak
harus bertukar pendapat anak menjadi lebih menghargai pendapat orang lain juga.

4. Anak usia SD Senang merasakan/ melakukan sesuatu secara langsung

Ditinjau dari teori perkembangan kognitif, anak SD memasuki tahap


operasional
konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep
konsep baru dengan konsep-konsep lama. Jadi dalam pemahaman anak SD semua
materi atau pengetahuan yang diperoleh harus dibuktikan dan dilaksanakan sendiri agar
mereka bisa paham dengan konsep awal yang diberikan. Berdasarkan pengalaman ini,
siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan,
pera jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Peranan guru SD hendaknya merancang
model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses
pembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah mata angin,
dengan cara membawa anak langsung keluar kelas, kemudian menunjuk langsung
setiap arah angin, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara
persis dari arah mana angin saat itu bertiup.

5. Anak usia SD Anak cengeng

Pada umur anak SD, anak masih cengeng dan manja. Mereka selalu ingin
diperhatikan dan dituruti semua keinginannya mereka masih belum mandiri dan harus
selalu dibimbing. Peranan guru SD yaitu membuat metode pembelajaran tutorial atau
metode bimbingan agar kita dapat selalu membimbing dan mengarahkan anak,
membentuk mental anak agar tidak cengeng.
6. Anak usia SD Anak sulit memahami isi pembicaraan orang lain

Pada pendidikan dasar yaitu SD, anak susah dalam memahami apa yang
diberikan guru. Peranan guru SD harus dapat membuat atau menggunakan metode
yang tepat misalnya dengan cara metode ekperimen agar anak dapat memahami
pelajaran yang diberikan dengan menemukan sendiri inti dari pelajaran yang diberikan
sedangkan dengan ceramah yang dimana guru Cuma berbicara didepan membuat anak
malah tidak memahami isi dari apa yang dibicarakan oleh gurunya.

7. Anak usia SD Senang diperhatikan

Di dalam suatu interaksi social anak biasanya mencari perhatian teman atau
gurunya mereka senang apabila orang lain memperhatikannya, dengan berbagai cara
dilakukan agar orang memperhatikannya. Peran guru SD untuk mengarahkan perasaan
anak tersebut dengan menggunakan metode tanya jawab misalnya, anak yang ingin
diperhikan akan berusaha menjawab atau bertanya dengan guru agar anak lain beserta
guru memperhatikannya.

8. Anak usia SD Senang meniru

Dalam kehidupan sehari hari anak mencari suatu figur yang sering dia lihat
dan dia temui. Mereka kemudian menirukan apa yang dilakukan dan dikenakan orang
yang ingin dia tiru tersebut. Dalam kehidupan nyata banyak anak yang terpengaruh
acara televisi dan menirukan adegan yang dilakukan disitu, misalkan acara smack
down yang dulu ditayangkan sekarang sudah ditiadakan karena ada berita anak yang
melakukan gerakan dalam smack down pada temannya, yang akhirnya membuat
temannya terluka. Namun sekarang acara televisi sudah dipilah-pilah utuk siapa acara
itu ditonton sebagai calon guru kita hanya dapat mengarahkan orang tua agar selalu
mengawasi anaknya saat dirumah. Contoh lain yang biasanya ditiru adalah seorang
guru yang menjadi pusat perhatian dari anak didiknya. Peranan guru SD harus menjaga
tindakan, sikap, perkataan, penampilan yang bagus dan rapi agar dapat memberikan
contoh yang baik untuk anak didik kita.

Dilihat dari karakeristik Perkembangan Kognitif, pembelajaran untuk siswa di


SD harus diarahkan pada konsep konsep yang bersifat konkret dan menyangkut dunia
keseharian siswa dan jangan mengajarkan siswa dengan contoh contoh yang abstrak.
Pembelajaran untuk siswa di SD harus ditekankan pada penanaman nilai nilai oleh
guru kepada siswa dilakukan melalui keteladanan. Siswa membutuhkan contoh
keteladanan melalui sikap yang ditunjukkan oleh guru/pendidik dan bukan contoh yang
berupa kata kata maupun konsep yang abstrak. Adapun peranan guru dalam
Pembelajaran anak di SD yaitu dalam pembelajaran hendaknya sekonkret mungkin
baik dalam menjelaskan maupun memberikan contoh dan sebanyak mungkin
melibatkan pengalaman pengalaman fisik siswa.

Dilihat dari karakteristik Perkembangan Psikososial, pembelajaran seharusnya


membentuk rasa kepercayaan diri peserta didik pada usia SD/MI karena mulai
mengembangkan kemampuan berfikir dan konsep dirinya. Apabila pada tahap ini anak
gagal membentuk kepercayaan dirinya maka anak tersebut akan memiliki konsep diri
negative atau rendah diri. Dalam pembelajaran interaksi siswa dengan teman sebaya
menjadi sangat penting, sebab jika anak mampu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan, dapat membawa siswa kearah pengembangan rasa mampu ( percaya diri ).
Penanaman nilai nilai moral seperti kerjasama, kasih sayang, toleransi, tanggung
jawab, penghargaan, kedermawanan dan lain sebagainya dapat membantu siswa
melewati fase kritis, sebab lingkungan sosial yang terbentuk dapat memberikan
kesempatan yang luas bagi siswa untuk mengembangkan sikap positifnya.
Guru/pendidik hendaknya membekali peserta didik dengan nilai nilai moral yang
akan membentuk karakter siwa menuju sikap positif siswa. Nilai-nilai moral ini haarus
ditanamkan agar siswa memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga lingkungan
sosial yang positif juga dapat terbentuk. Hal ini dapat membantu rasa percaya dirinya
yang kuat dan karakter yang positif.

Dilihat dari karakteristik Perkembangan Moral, pembelajaran dengan


menumbuhkan penalaran moral pada siswa SD dengan mengaitkan kisah- kisah
tauladan seorang tokoh dalam suatu materi pelajaran. Guru hendaknya mengajarkan
nilai dasar setahap demi setahap melalui pendekatan kisah teladan, dilema moral, dan
keteladanan. Guru harus memberikan stimulasi agar peserta didiknya terdorong untuk
bersikap dan berprilaku sesuai dengan nilai, moral dan norma yang ada. Pemberian
pujian atau hukuman secara spontan pada setiap perilaku siswa yang kurang baik atau
yang baik sangat diperlukan untuk merangsang perkembangan moral siswa.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pembelajaran di SD hendaknya:

1. Menyesuaikan karakteristik yang dimiliki oleh anak usia SD


2. Mengaitkan hal-hal yang bersifat konkret pada setiap pembelajaran dengan
tidak melibatkan hal-hal yang abstrak yang dapat membingungkan anak SD
3. Menumbuhkan rasa percaya diri sedini mungkin sehingga meminimalisir
timbulnya rasa rendah diri pada siswa SD
4. Memberikan contoh kisah keteladanan para tokoh yang diterapkan langsung
oleh guru SD dalam setiap pembelajaran
DAFTAR PUSTAKA

Mujtahidin,S.Pd., M.Pd. 2012. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bangkalan:


Universiitas Trunojoyo Madura.

Sri Anitah, dkk. 2008. Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka

Udin S. Winataputra, dkk. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas
Terbuka

Nasution, S. 2008. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung:


Bumi Aksara

Hendro Darmojo dan Jenny R.E Kaligis. (1992). Pendidikan sekolah dasar. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Nasution. (1992). Metode Research. Bandung : jemmars

Anda mungkin juga menyukai