Disusun oleh:
1. Viona Widya Anugrahani 5213415006
2. Wilda Asyrofa 5213415008
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan ketersediaan energi di dunia yang semakin menipis
sedangkan kebutuhan akan energi semakin hari semakin meningkat, hal ini
mendorong peneliti untuk mencari sumber energi baru sebagai energi alternatif,
salah satunya adalah bioetanol. Bioetanol memiliki kelebihan dibanding dengan
BBM, diantaranya memiliki kandungan oksigen yang lebih tinggi (35%) sehingga
terbakar lebih sempurna, bernilai oktan lebih tinggi (118) dan lebih ramah
lingkungan karena mengandung emisi gas CO lebih rendah 1925% (Indartono
Y.,2005).
Bahan selulosa memiliki potensi sebagai bahan baku alternatif pembuatan
etanol. Salah satu contohnya adalah limbah kulit kopi. Ketersediaan limbah kulit
kopi cukup besar, pada pengolahan kopi akan menghasilkan 65% biji kopi dan
35% limbah kulit kopi. Sedangkan produksi kopi Indonesia pada tahun 2015
mencapai total 989 ribu ton, dan diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke
tahun (Melyani, 2015). Limbah kulit kopi mempunyai kandungan serat sebesar
65,2 %.
Bioetanol dapat dibuat dari berbagai bahan hasil pertanian, antara lain
bahan yang mengandung turunan gula (sakarin), bahan yang mengandung pati
dan bahan yang mengandung selulosa seperti kayu, dan beberapa limbah
pertanian lainnya. Bahan yang mengandung sakarin dapat langsung difermentasi,
akan tetapi bahan yang mengandung pati dan selulosa harus dihidrolisis terlebih
dahulu menjadi komponen yang sederhana, meskipun pada dasarnya fermentasi
dapat langsung menggunakan enzim tetapi saat ini industri fermentasi masih
memanfaatkan mikroorganisme karena cara ini jauh lebih mudah dan murah,
mikroba yang banyak digunakan dalam proses fermentasi adalah khamir, kapang
dan bakteri (Siswati, 2012). Hidrolisis yang paling sering digunakan untuk
menghidrolisis selulosa adalah hidrolisis secara asam. Beberapa asam yang umum
digunakan untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat (H2SO4), asam
perklorat, dan HCl. Hidrolisis asam dapat dikelompokkan menjadi hidrolisis asam
pekat dan hidrolisis asam encer (Taherzadeh, 2007).
Fermentasi etanol merupakan aktivitas penguraian gula (karbohidrat)
menjadi senyawa etanol dengan mengeluarkan gas CO2, fermentasi ini dilakukan
dalam kondisi anaerob atau tanpa adanya oksigen. Umumnya, produksi bioetanol
menggunakan cara konvensional dengan mikroba Saccharomyces cerevisiae.
Mikroba ini dapat digunakan untuk konversi gula menjadi etanol dengan
kemampuan konversi yang baik, tahan terhadap etanol kadar tinggi, tahan
terhadap pH rendah, dan tahan terhadap temperatur tinggi (Suyandra, 2007).
Namun, proses fermentasi menggunakan cara konvensional yaitu dengan
mencampurkan sel ragi (Saccharomyces cerevisiae) ini mempunyai kelemahan
karena pemisahan produk lebih sulit dan sel ragi yang bercampur dengan produk
sulit dipisahkan. Untuk mengatasi kelemahan cara konvensional, dilakukan
dengan teknik enkapsulasi sel untuk memproduksi etanol dengan menggunakan
bahan baku limbah kulit kopi (Sebayang, 2006).
Enkapsulasi juga merupakan salah satu cara untuk mencegah kerusakan
dan berkurangnya jumlah mikroba dalam produksi bioetanol. Proses enkapsulasi
telah banyak digunakan dalam industri kimia, farmasi dan makanan dalam tujuan
untuk melindungi senyawa aktif dari kondisi lingkungan (oksigen, air, asam,
interaksi dengan bahan-bahan lain), yang dapat mempengaruhi stabilitas selama
pemrosesan, untuk memberikan pelepasan terkontrol atau untuk mengubah sifat
fisik, mengurangi kekakuan selama penyimpanan atau transportasi (Carranza,
dkk, 2013). Proses enkapsulasi Saccharomyces cerevisiae dapat dilakukan dalam
kalsium alginat. Fermentasi etanol dengan menggunakan sistem enkapsulasi sel
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan cara konvensional karena
dengan menggunakan sel terimobilisasi pemisahan produk lebih mudah serta
stabilitas sel dapat dipertahankan (Yekta, 2000).
3.3 Pembahasan
Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa variasi berat bead
dan lamanya waktu inkubasi sangat mempengaruhi produksi alcohol dengan
menggunakan Sacchromyces Cerevisae yang terenkapsulasi. Bertambahnya
besarnya jumlah bead memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kenaikan
produksi alcohol melalui proses enkapsulasi Sacchromyces Cerevisae. Bertambah
besarnya waktu alcohol yang digunakan pada proses fermentasi tersebut
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kenaikan produksi alcohol
yang dihasilkan. Kadar alcohol naik dengan semakin lamanya fermentasi.
Tabel 4.1 Data hasil pengaruh berat bead dan waktu inkubasi terhadap produksi
alkohol dengan menggunakan Sacchromyces Cerevisae yang
terenkapsulasi.
(Dikutip dari Data Penelitian Firman Sebayang / Jurnal Teknologi Proses 5(2) Juli
2006: 75-80)
Semakin banyak bead yang ditambahkan menunjukkan konsentrasi sel
Sacchromyces Cerevisae yang terenkapsulasi juga semakin banyak terdapat dalam
fermentor. Semakin banyak bead yang digunakan maka aktivitas Sacchromyces
Cerevisae untuk menghasilkan enzim akan semakin tinggi. Dengan semakin
tingginya enzim yang dihasilkan maka proses konversi gula oleh enzim menjadi
alcohol akan semakin cepat berlangsung (Judoamidjojo 1990). Sedangkan waktu
yang semakin lama pada proses fermentasi akan memberikan kesempatan bagi
enzim untuk merombak gula menjadi alcohol semakin banyak (Setyohadi 1993).
Dengan semakin banyak bead dan semakin lama waktu inkubasi akan
terjadi penurunan kadar alcohol yang dihasilkan. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena terjadinya oksidasi etanol menjadi asetalhedid dan selanjutnya di oksidasi
menjadi asam asetat. Ini akan mengakibatkan media fermentasi semakin asam.
Hal ini juga disebabkan karena meningkatnya pembentukan produk yang diikuti
dengan meningkatnya evolusi panas suhu meningkat. Alkohol dapat hilang
melalui penguapan dan terikut keluar dengan gas Co2 .
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
a. Penelitian pembuatan bioetanol dari kulit kopi dapat digunakan
sebagai bahan baku alternatif pembuatan bioetanol dengan proses
hidrolisis dan fermentasi. Kulit kopi yang mengandung selulosa
sebesar 49,87 % dapat menghasilkan bioetanol dengan kadar 38,68 %.
b. Variasi berat bead dan lamanya waktu inkubasi sangat mempengaruhi
produksi alcohol dengan menggunakan Sacchromyces Cerevisae yang
terenkapsulasi. Bertambahnya besarnya jumlah bead memberikan
kenaikan produksi alcohol melalui proses enkapsulasi Sacchromyces
Cerevisae. Bertambah besarnya waktu alcohol yang digunakan pada
proses fermentasi tersebut kenaikan produksi alcohol yang dihasilkan.
Kadar alcohol naik dengan semakin lamanya fermentasi
DAFTAR PUSTAKA