Anda di halaman 1dari 27

Laporan Praktikum

Hari, tanggal: Kamis, 16 April 2015

Teknologi Pati, Gula,

Golongan

: P4

Dan Sukrokimia

Dosen

: Dr.Ir. Sapta Raharja, DEA

Asisten

1. Ana Makrifatul

F34110127

2. Nurlela

F34110129

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI PRODUK BERBASIS


PATI
Sofyan Nurkarim

(E14120078)

Icha Pebriyanti

(F34120107)

Amanda Dwi Gebrina

(F34120110)

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki biodiversivitas yang tinggi.
Terlihat dari banyaknya jenis tanaman yang bermanfaat untuk pemenuhan
kebutuhan manusia. Pangan merupakan salah satu pemenuhan akan kebutuhan
manusia yang penting. Pemenuhan kebutuhan pangan terus dilakukan melalui
penelitian, pengembangan, dan produksi pangan yang ideal untuk dikonsumsi.
Karbohidrat merupakan salah satu kebutuhan makro yang dibutuhkan oleh tubuh
manusia. Karbohidrat dapat diperoleh dari tanaman yang menghasilkan pati.
Indonesia memiliki banyak sumber pati potensial yang hingga saat ini belum
dimanfaatkan secara optimal. Sumber-sumber pati potensial Indonesia adalah ubi
kayu, jagung, beras, sagu, ubi jalar, dan jenis kacang-kacangan.
Pemanfaatan pati saat ini sudah sangat banyak ditemui di masyarakat.
Pemanfaatannya tidak hanya melibatkan sektor pangan tetapi juga telah meluas ke
sektor non pangan. Pemanfaatannya yang luas membuat pati menjadi sumber
bahan baku yang ideal untuk dikembangkan. Pemanfaatan pati umumnya dibagi
menjadi dua yaitu pati alami dan pati termodifikasi. Pati alami adalah pati yang
dimanfaatkan tanpa melakukan modifikasi sifat fisiko-kimianya. Pati alami
banyak dimanfaatkan dalam industri sebagai bahan filler (pengisi) dalam
pembuatan tablet obat. Namun, pati alami memiliki beberapa kekurangan dalam
memproduksi beberapa jenis produk seperti tablet dalam dunia farmasi. Sehingga
perlu dilakukan modifikasi agar dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan
kriteria produk yang diinginkan. Pati modifikasi merupakan pati yang
dimodifikasi sifat fisik dan kimianya agar didapat sifat yang sesuai dengan kriteria
akhir. Penggunaan pati termodifikasi melahirkan banyak inovasi produk yang
awalnya tidak bisa dilakukan dengan menggunakan pati alami. Beberapa produk
yang dihasilkan dengan menggunakan pati termodifikasi adalah biskuit, bahan
pembuat film, pengental dalam saos, dan dunia farmasi.
Sumber karbohidrat tidak hanya dapat dipenuhi dari pati tetapi juga
dapat dipenuhi dari tepung-tepungan. Tepung merupakan komponen turunan pati
yang terdiri dari komponen yang kompleks. Secara umum, tepung dapat diperoleh
dari berbagai jenis tanaman yang mengandung polisakarida. Beberapa jenis
komersial yang beredar di pasaran adalah tepung tapioka, tepung jagung, tepung
sagu, tepung beras, dan tepung ubi kayu. Kesemua tepung tersebut memiliki peran
yang penting dalam pengembangan kebutuhan pangan manusia. Pengembagan
yang dilakukan membutuhkan metode inovasi yang unggul dan dapat bersaing
secara komparatif. Pengembangan dapat dilakukan dengan mengetahui teknik
rekayasa proses. Untuk mengetahui teknik rekayasa proses, perlu mengetahui
prinsip dasar dalam karakteristik, sifat fisiko-kimia, dan aspek teknologi proses
yang digunakan untuk melakukan rekayasa proses dalam pengolahan produk
berbasis pati dan tepung. Oleh karena itu, praktikum teknologi pengolahan pati
dan tepung sangat penting dilakukan dalam proses pengembangan produk.

4
Tujuan
Tujuan praktikum ini bertujuan untuk mempelajari cara pembuatan tepung
dan ekstraksi pati serta rendemen yang dihasilkan. Selain itu juga untuk
mengetahui cara memodifikasi pati dan membandingkan perbedaan karakteristik
pati yang dihasilkan, baik antara pati termodifikasi yang berbeda maupun antara
pati termodifikasi dengan pati alami. Juga menganalisa karakteristik tepung dan
pati yang dihasilkan dari berbagai bahan meliputi analisa fisik dan kimia.

METODOLOGI
Alat dan Bahan
Alat yang dipergunakan dalam praktikum ini meliputi pisau, parut, kain
saring, baskom, tampah, dan oven, , tampah, baskom, alat pengukus, panci,
kompor, alat pengering dan alat penggiling, gelas piala, pengaduk, drum drier,
ayakan tepung, baskom fluidized bed drier, penggorengan, kompor, loyang, dan
blender, test plate, pipet tetes, mikroskop, cawan aluminium, oven, cawan
porselin, tanur, erlenmeyer 50 ml, autoclave, corong Buchner, aspirator, gelas
ukur, pipet volumetrik, pendingin tegak, kompor listrik, dan buret. Sedangkan
bahan-bahan yang digunakan terdiri dari beras, ubi, kacang hijau, kentang, tepung
ketan hitam, singkong, bahan pemutih (natrium bisulfit, kapur), NaCl 0.2 M, dan
NaOH 0.3%, umbi dari ubi kayu segar, dry yeast, ragi roti, pati singkong, beras
merah, beras putih, HCL 0,1N, dan garam dapur, beberapa jenis pati, larutan iod,
alkohol netral 95%, NaOH 0,05 N, phenolptalein, HCL 3%, H 2SO4 0,325 N,
NaOH 1,25 N, NaOH 40%, larutan LufSchroll, KI %, indikator kanji.
Metode
Proses Pembuatan Tepung
Tepung umbi dan pisang
Umbi
disiapkan
Pembersihan, pengupasan,dan
pengecilan ukuran umbi

Ditambahkan pemutih (Natrium


bisulfit 1,5 g/l & kapur 20 g/l) jika
perlu
A

5
A

Dikeringkan pada cahaya matahari


kemudian pada oven suhu 50C
selama 24 jam
Digiling & diayak pada saringan 80
mesh

Tepung umbi
Proses Ekstraksi Pati
Pati umbi-umbian

Umbi sebanyak 1 kg

Ditimbang,dikupas kulitnya,
ditimbang kembali bobot umbi
bersihnya
2 kg Pisang atau Ganyong
Umbi diiris setebal 2cm
dikupas
dimasukkan
ke dalam
Larutan starter
: 1 gr
dry yeast atau
5
larutan
sodium
metabisulfit
0,2%
ml starter bakteri asam laktat dilarutkan dlm
selama 15 menit.
1 lt aquades
Irisan dan
umbi
direndam dalam
larutan
Diparut
ditambahkan
air lalu
diperas dengan
starter selama
24
jam
kain saring.
Dijemur
dan dikeringkan
sinarmengendap
Diamkan
semalam dgn
sampai
matahari,digiling&diayak saringan 80 mesh
Pisang, Ganyong
Cairan di atasnya dibuang. Pati dikeringkan di bawah
sinar matahari atau oven
Pati umbi

Bobot pati ditimbang dan dihitung


Pati Pisang atau Ganyong
rendemennya.

6
B

Serealia
2 kg Jagung
ditimbang

B
Rendam selama 48 jam 50 derajat C
dengan larutan Na-bisulfit 0,2% lalu
dicuci

7
C
Jagung dilumatkan dengan blender kemudian
ditambahkan air sedikit demi sedikit, peras
menggunakan kain saring. Lakukan berulang kali
hingga air perasan berwarna jernih

Diamkan semalam sampai pati


mengendap

Dicuci dengan NaOH 0.1N


Dikeringkan dibawah sinar matahari
atau oven pengering 50OC
Pati Jagung

Rendemen dihitung dan buat


neraca massa

Leguminosa
200 g kacang hijau

direndam dalam 1 l larutan 0,05 N


NaOH selama semalam

Digiling dalam blender selama


3 menit dan disaring

Residu kemudian digiling


kembali dan disaring

Setelah dekantasi, cairan paling atas dibuang,


sedangkan endapan dicuci 2 kali
Diamkan hingga mengendap, dan
dikeringkan di oven
Pati Leguminosa

Bobot pati ditimbang dan dihitung


rendemennya.
Beras, Beras Ketan
200 gram tepung ketan

Dicampurkan dengan 800 ml larutan NaOH


0.2% pada suhu 4OC selama semalam

Setelah dekantasi, cairan paling atas


dibuang, sedangkan endapan dicuci 2 kali

Uji Karakteristik
Uji Iod

Diamkan hingga mengendap, dan


dikeringkan di oven
Bobot pati ditimbang dan dihitung
Sedikit
Contoh
rendemennya.
Diletakkan sedikit sampel pada test plate

Ditambahkan beberapa tetes larutan iod. Diamati


perubahan warna yang terjadi.

9
Sampel yang telah ditambahkan iod

Bentuk granula
Sampel
Diletakkan sedikit sampel pada
gelas objek
Diamati bentuk granula dibawah
mikroskop dan digambar bentuk
granula pati
Bentuk granula pati

10
Suhu gelatinisasi
Suspensi pati dengan
konsentrasi 10%
Diukur tinggi volume larutan
awal
Diletakkan gelas piala diatas pemanas, sambil
diaduk naikkan suhu pemanas.
Setelah suhu 350C, gelas diturunkan dan
diukur tinggi larutan
Kemudian, dilanjutkan lagi pemanasan
setelah suhu mencapai 450C dan diukur
lagi tinggi larutan.
Tinggi larutan diukur setiap kenaikan
suhu100C sampai terjadi gelatinisasi
dan dilihat suhunya
Suhu gelatinisasi pati

Kejernihan pasta
Pasta Pati (1%) tersuspensi

Dicelupkan ke air mendidih 30


menit. Dikocok setiap 5 menit
Sample didinginkan pada 25oC
Nilai transmittance (%T) diukur
pada spektrofotometer 650 nm

11

Kelarutan dan swelling power


0,5 gram pati dan 50 ml aquades dalam
100 ml labu gelas,beri tanda batas
permukaan air pada dinding labu

Dimasukkan ke dalam sheker water bath suhu 70C


selama 2 jam. Bila volume air berkurang aquades
ditambahkan sampai batas tera, kocok lagi

30 ml larutan jernihnya diambil,


ditempatkan dalam cawan petri
Cawan dan contoh dikeringkan dalam oven
suhu 100 C sampai bobot konstan
Data Pertambahan bobot

12
Uji kadar pati
1 gram contoh

Dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500


ml, lalu ditambahkan 200 ml HCl 3%

Dihidrolisis selama 1 jam


dengan autoclave 1150C
Dinetralkan dengan NaOH 40 %

Dimasukkan ke dalam labu ukur 250


ml dan ditambahkan aquades hingga
tanda tera
10 ml contoh dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan
larutan luff schroll 25 ml.
Dididihkan larutan dibawah pendingin
tegak tepat selama 10 menit
Didinginkan contoh dan
ditambahkan 20 ml larutan KI 20%
dan 25 ml H2SO4 secara perlahan
Dititrasi dengan larutan sodiumtiosulfat
0,1 N, digunakan indikator kanji

Kadar Pati

13
Karakterisasi Sifat Fisik Serealia
1 kg contoh
Diamati dimensi, warna,
chalkiness, persentase kepala, dan
densitas kamba
Karakterisasi Umbi-umbian dan Buah
Contoh
Diamati densitas kamba, reaksi
enzimatis, dan pengaruh
pemasakan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
(Terlampir)
Pembahasan
Tepung adalah bahan pangan yang direduksi ukurannya dengan cara
digiling sehingga memiliki ukuran antara 150-300 mikron. Tepung merupakan
partikel padat yang berbentuk butiran halus atau sangat halus tergantung
pemakaiannya. Proses pembuatan tepung dari serealia relatif lebih mudah
dibandingkan dengan bahan lainnya. Proses penepungannya meliputi
penggilingan biji-bijian yang akan ditepungkan, pengeringan dan pengayakan.
Penggilingan selain berfungsi untuk menghancurkan biji juga untuk memisahkan
biji dari lembaganya. Penggilingan serealia dapat dilakukan dalam kondisi kering
dan basah (Thompson 1976).
Tepung dari umbi-umbian dapat dibuat dengan dua cara, yang pertama
umbi-umbian diiris tipis lalu dikeringkan kemudian ditepungkan dan yang kedua
umbi diparut atau dibuat pasta lalu dikeringkan dan ditepungkan. Pada praktikum
ini, cara yang digunakan dalam pembuatan tepung adalah cara pertama dimana
umbi diiris tipis lalu dikeringkan. Pengeringan adalah suatu cara untuk mengurang
kadar air suatu bahan, sehingga diperoleh hasil akhir yang kering. Ada dua cara

14
pengeringan yang biasa digunakan pada bahan pangan yaitu pengeringan dengan
penjemuran (memanfaatkan sinar matahari) dan pengeringan dengan alat
pengering. Pengeringan ini bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bahan
pangan. Pengeringan juga diartikan sebagai suatu proses pindah panas dan pindah
masa. Pindah panas berlangsung melalui suatu permukaan yang padat, dimana
panas dipindahkan kedalam bahan melalui plat logam alat pemanas. Selanjutnya
air dalam bahan keluar dan menguap. Pada dasarnya penguapan air suatu bahan
sangat bervariasi sesuai dengan aliran panas. Pengeringan akan lebih efektif pada
aliran udara yang terkontrol.
Penggilingan merupakan proses yang selalu dilakukan dalam pembuatan
tepung. Penggilingan pada praktikum ini menggunakan alat penggiling biji-bijian
yang sederhana. Setelah itu dilakukan penyaringan menggunakan saringan agar
didapat tepung yang lebih halus. Penggilingan serealia dan biji-bijian ke dalam
bentuk tepung dapat meningkatkan daya gunanya sebagai bahan penyedia
pemenuh kebutuhan kalori dan protein bagi bahan baku industri pangan.
Penggilingan serealia dan biji-bijian ke dalam bentuk tepung dapat dilakukan
secara kering dan basah. Kedua cara tersebut pada prinsipnya sama yaitu
memisahkan lembaga dari bagian kulitnya (Thomson 1976).
Pengayakan dilakukan untuk memperoleh butiran tepung yang lebih halus.
Ukuran butiran tepung yang dihasilkan dari proses pengayakan bergantung pada
ukuran mesh pada saringan yang digunakan. Makin besar ukuran mesh, makin
kecil butiran tepung yang dihasilkan.
Setiap jenis serealia memilki karakteristik yang berbeda satu dengan yang
lain. Oleh karena itu, teknik yang digunakan dalam proses penepungan tiap bahan
tersebut juga dapat berbeda. Letak perbedaan utama dalam proses pembuatan
tepung dari jenis bahan yang berlainan adalah pada tahap persiapan bahan
sebelum penggilingan.
Tepung yang dihasilkan dalam praktikum kali ini dibuat dengan cara
sederhana dan tidak ada perbedaan persiapan bahan maupun metode pembuatan
tepung antara bahan satu dengan yang lain kecuali pada pembuatan tepung kacang
hijau. Data hasil pengamatan menunjukkan bahan tidak memiliki rendemen
100%, bahan memiliki selisih yang cukup besar antara berat awal dengan berat
akhir. Hal ini dikarenakan tidak keseluruhan massa hasil pengilingan bahan
merupakan tepung dari bahan tersebut seperti berat ampas kulit, penurunan kadar
air akibat penjemuran, dan sisa bahan yang kasar setelah di ayak. Hasil rendemen
terbesar adalah tepung jagung karena tidak mengandung kadar air yang tinggi
seperti pada ubi jalar, kentang, dan singkong. Sedangkan untuk hasil rendemen
terkecil adalah kentang karena kentang mengalami pengurangan bobot kulit dan
kadar air yang di kandung cukup tinggi. Untuk serealia yang digunakan sebagai
bahan baku kadar airnya cukup rendah sehingga ketika digiling dan dikeringkan
susut bobotnya tidak terlalu besar.
Semakin tinggi kadar bahan kering maka semakin tinggi pula rendemen
tepung yang dihasilkan. Besarnya kadar bahan kering tergantung pada jenis,
lingkungan, dan umur tanamnya (Antarlina 1999). Dari hasil pengamatan jenis
sumber tepung seperti beras ketan merah, ubi ungu, ubi merah, pisang, belitung
dan ganyong, hasil tepung yang amati didapatkan nilai rendemen pembuatan
tepung tertinggi di dapatkan dari sumber tepung beras ketan hitam yaitu 91,66 %.
Dan rendemen terkecil didapat dari ganyong yaitu 7,65 %. Hasil penelitian

15
menunjukkan bahwa rendemen tepung ganyong 11,43% (Richana 2004). Ini
menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan dari pembuatan tepung gayong yang
dilakukan masih belum efisien. Hal ini juga dapat disebabkan dari pengupasan
yang terlalu lebar oleh praktikan.
Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar luas di
alam. (Tjokroadikoesoemo 1986). Menurut Hart dan Schmetz (1972) pati
merupakan polisakarida yang terdapat pada tanaman dalam bentuk granula. Pati
merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan glikosidik. Pati terdiri dari dua
fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan
fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno 1985).
Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula yang berbedabeda. Proses dasar pembuatan semua jenis pati adalah sama, yaitu penghancuran
sel-sel untuk memisahkan butiran-butiran pati dari komponen-komponen lainnya
dengan pertolongan air untuk mengekstraknya (Winarno 1985). Dasar pembuatan
semua jenis pati adalah sama, yaitu penghancuran sel-sel untuk memisahkan
butiran pati dari komponen lainnya dengan pertolongan air untuk
mengekstraknya, tetapi proses pembuatan setiap jenis pati mempunyai sifat dan
masalah yang berbeda (Dahleberg 1978).
Ekstraksi pati dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara kering
dan cara basah, pada cara kering bahan dijemur dahulu sebelum diekstrak patinya,
sedangkan pada ekstraksi cara basah tidak dilakukan penjemuran terlebih dahulu.
Proses ekstraksi pati melalui beberapa tahap, yaitu pengupasan, pengecilan
ukuran, penghancuran sel-sel pati, peremasan, penyaringan, pengendapan,
pencucian, pengeringan dan pengecilan ukuran (Sathe dan Salunkhe 1981). Pati
merupakan produk akhir yang terpenting dari proses fotosintesis dan ditemukan
sebagai senyawa dengan berat molekul tinggi dan merupakan bahan cadangan
inaktif dalam kebanyakan tumbuhan kecuali tumbuhan tingkat rendah (Heiman
1980).
Proses ekstraksi pati dari berbagai jenis bahan berbeda-beda, tergantung
pada karakteristik bahan yang akan diekstrak patinya. Misalnya pada bahan yang
mengandung gum cukup banyak, sebelum diekstrak patinya harus direndam dulu
dalam larutan NaCl untuk menghilangkan gumnya. Kandungan gum yang terlalu
banyak dalam pati dapat menyebabkan pati yang dihasilkan berwarna coklat.
Selain itu, gum juga dapat menghambat proses penyaringan.
Pada umumnya proses ektraksi pati meliputi penggilingan bahan,
pelarutan granula, dekantasi, pengeringan, penggilingan pati, dan pengayakan.
Penggilingan bahan bertujuan untuk menghancurkan dinding sel sehingga granula
bahan dapat diekstrak. Proses pelarutan granula dilakukan dengan menambahkan
air pada tepung kemudian tepung diperas untuk mengekstrak patinya. Pemerasan
di sini berfungsi untuk memisahkan granula pati dari selulosa atau kandungan lain
yang tidak diharapkan. Dekantasi berfungsi untuk memisahkan fraksi pati.
Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air pada pati. Pengeringan dapat
dilakukan dengan cara sederhana (menggunakan sinar matahari langsung) atau
dengan pengeringan buatan (menggunakan mesin). Setelah dikeringkan, pati
digiling dan diayak untuk mendapatkan bentuk butiran (serbuk) yang diinginkan.
Kadar pati merupakan salah satu kriteria mutu untuk tepung, baik sebagai
bahan pangan maupun non-pangan. Umbi-umbian tersebut berkadar pati dalam
jumlah yang sangat tinggi yaitu pada tepung umbi berkisar 39,36-52,25%,

16
sedangkan kadar pati dalam bentuk ekstrak pati umbi berkisar 45,75-63,31%
(Richana 2004). Dari hasil pengamatan jenis sumber pati seperti singkong,
kacang, kacang hijau, ganyong, ubi jalar, sagu, dan kentang. Di dapatkan nilai
rendemen pati yang tertinggi diperoleh dari kacang ijo yaitu 30,59 % dan yang
terkecil tidak diperoleh rendemen pati dari gayong. Hal ini menunjukkan bahwa
data yang dihasilkan masih belum sesuai dengan literatur karena kadar pati yang
didapatkan dari ubi jalar hanya 7,5 % sedangkan menurut Richana (2004) Umbiumbian tersebut berkadar pati dalam jumlah yang sangat tinggi yaitu pada tepung
umbi berkisar 39,36-52,25%, sedangkan kadar pati dalam bentuk ekstrak pati
umbi berkisar 45,75-63,31%. Hal ini bisa disebabkan oleh sumber umbi yang
didapatkan sudah lama atau terlalu banyak megandung kadar air.
Pada praktikum kali ini dilakukan karakterisasi pati dan tepung. Terdapat
beberapa uji yang dilakukan. Uji yang pertama adalah uji iod. Uji iod ini
dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan amilosa dan
amilopektin pada pati. Respon warna pati terhadap iodin menurut derajat
hidrolisis yaitu jika pati mengandung amilosa maka akan memberikan warna biru
tua (kehitaman), sedangkan jika pati mengandung amilopektin maka akan
memberikan warna merah violet. Warna biru yang timbul disebabkan karena
struktur molekul pati yang berbentuk spiral sehingga bisa mengikat iodin. Warna
biru ini hanya bisa direfleksikan oleh polimer glukosa yang lebih besar dari dua
puluh, contohnya amilosa. Bila polimernya kurang dari dua puluh, seperti
amilopektin, maka dapat dihasilkan warna merah (Winarno 1985).
Ciri khas terjadinya hidrolisis pati secara umum, baik hidrolisis secara
kimia maupun menggunakan enzim dengan penurunan kekentalan dan
kemampuan mengikat iodium. Pada awal hidrolisis biasanya masih terlihat warna
biru yang merupakan amilodekstrin. Kemudian akan dihasilkan warna merah
coklat yang berasal dari kompleks antara eritrodekstrin dengan iodium. Pada tahap
akhir hidrolisis tidak terlihat lagi perubahan yang menandakan bahwa pati sudah
menjadi molekul yang pendek sehingga tidak dapat lagi membentuk konfirmasi
heliks berikatan dengan iodium (Heiman 1980).
Pengaruh penambahan iodin pada pati pada saat pengamatan mikroskop
adalah untuk mengetahui kandungan terbesar dalam granula pati tersebut seperti
yang sudah disebutkan pada pustaka di atas. Pada hasil pengamatan pati tanpa
perlakuan uji iodin menunjukkan hasil yang positif yaitu berwarna hitam. Warna
tersebut merupakan refleksi dari warna biru yang sangat pekat. Hal ini berarti
bahwa amilosa masih banyak terkandung dan belum berubah. Pada perlakuan
fisik dan suhu, kandungan dalam pati tidak berubah dengan dihasilkannya kisaran
warna biru yaitu ungu sampai hitam pekat pada uji iodin. Jadi, perlakuan fisik dan
suhu hanya mempengaruhi bentuk granula bukan kandungan granulanya.
Berdasarkan hasil di atas dapat dilihat bahwa kadar amilodekstrin akan
berkurang seiring dengan perlakuakn fisik dan panas yang dilakukan. Hal ini
ditunjukkan denganberkurangnya kepekatan warna biru pada produk pati pada uji
yang dilakukan.
Pada praktikum dilakukan uji iod terhadap beberapa produk tepung dan
pati. Dari hasil praktikum dapat diketahui bahwa warna yang dihasilkan setelah
dilakukan penambahan iodin berbeda-beda, walaupun pada dasarnya produk
tersebut sama-sama dibuat dari pati, namun pada prosesnya, seperti produk
hidrolisat dan pati menyebabkan berubahnya struktur molekul yang terkandung

17
dalam pati tersebut. Apabila kita pisahkan berdasarkan warna, terdapat 3
kelompok warna, yaitu:
1. Kelompok produk berwarna hitam (warna setelah diberi larutan iod)
adalah pada produk tepung pisang (+++++), pati singkong (+++++), tepung talas
belitung (+++++), dan pati kentang (+++++).
2. Kelompok produk berwarna cokelat (warna setelah diberi larutan iod):
tepung ketan hitam (++) , pati kacang hijau (++), tepung ubi jalar merah (++),
dan pati sagu (++) menunjukan bahwa produk tersebut mengandung amilopektin.
3. Kelompok produk berwarna ungu (warna setelah diberi larutan iod)
termasuk produk pati ganyong (+++), tepung ubi jalar ungu (+++), pati ubi jalar
putih (+++), dan tepung kacang hijau (+++) menandakan bahwa produk tersebut
mengandung amilosa (dalam jumlah sedikit).
Pada hasil pengamatan pati dengan uji iod, semua jenis pati termodifiksai
yang diuji menunjukkan hasil positif yaitu berwarna biru kehitaman. Hal ini
berarti bahwa amilosa masih banyak terkandung dan belum berubah. Semakin
biru warna yang dihasilkan, maka menunjukkan semakin banyak kandungan pati
yang terdapat pada produk hidrolisat pati. Hal ini dikarenakan semakin tinggi
kemampuan pati dalam mengikat iodin, semakin terlihat warna biru yang
ditampakkan. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa proses pembuatan
semua jenis modifikasi produk hidrolisat pati tidak merusak kandungan pati yang
ada pada bahan, sehingga pati yang dihasilkan pun masih mengandung pati.
Uji kedua yaitu bentuk granula. Menurut Greenwood (1970), pati
merupakan butir atau granula yang berwarna putih, mengkilat, tidak mempunyai
bau dan rasa. Granula pati dibentuk dari lapisan tipis yang merupakan susunan
melingkar dari molekul-molekul pati, lapisan-lapisan tersebut tersusun secara
terpusat. Granula tiap-tiap jenis pati berbeda dalam bentuk dan ukurannya,
sehingga dapat digunakan untuk menentukan sumbernya.
Pati terdapat dalam jaringan tanaman dalam bentuk granula yang berbedabeda. Dengan menggunakan mikroskop granula pati dari berbagai spesies
tanaman yang berbeda dapat dibeda-bedakan. Karakteristik yang unik tersebut
adalah ukuran, bentuk dan keseragaman granula; letak hilum (suatu titik tunggal
atau perpotongan dua garis pendek); ada atau tidaknya striation yang sebagian
atau seluruhnya mengelilingi hilum; dan penampakan granula di bawah cahaya
terpolarisasi (birefringent) (Smith 1982).

Kentang

Tepung

Tapioka

Jagung
Beras
Sagu
Gambar. Struktur granula berbagai jenis pati (Smith 1982)

18
Dalam praktikum ini, dilakukan pengamatan mikroskopik terhadap
struktur granula produk tepung dan pati. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap
granula pada masing-masing jenis tepung dan pati didapatkan bahwa bentuk
granula dari semua jenis tepung dan pati yang diujikan cukup sesuai (hampir
serupa) dengan literatur yang ada.
Granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Pembengkakan dan
penyerapan air oleh granula pati dapat mencapai kadar 30 %, dan peningkatan
volume granula pada selang suhu 55oC sampai 65oC masih memungkinkan
granula kembali pada kondisi semula. Apabila terjadi pembengkakan yang luar
biasa, dan granula pati tidak dapat kembali ke keadaan semula, maka perubahan
ini disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu
gelatinisasi dan besarnya berbeda-beda tergantung pada jenis pati dan
konsentrasinya (Winarno 1997).
Winarno (1997) menambahkan bahwa kemampuan pati menyerap air
disebabkan oleh adanya gugus hidroksil pada molekul pati dalam jumlah besar.
Pemanasan suspensi pati dalam air mengakibatkan suspensi menjadi keruh, dan
bila gaya tarik menarik antara molekul air lebih kuat dari pada antar molekul pati,
air akan terserap dan granula pati membengkak. Masuknya air ke dalam granula
meningkatkan viskositas suspensi pati.
Secara umum pada praktikum ini perlakuan pati dengan peningkatan suhu
mengakibatkan terjadinya pembengkakan pada struktur granula bahkan pada
beberapa pati tampak ada yang sudah pecah granulanya. Jadi, suhu akan
mempengaruhi bentuk granula dan tentunya akan mempengaruhi sifat patinya.
Granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Pembengkakan dan
penyerapan air oleh granula pati dapat mencapai kadar 30 %, dan peningkatan
volume granula pada selang suhu 55oC sampai 65oC masih memungkinkan
granula kembali pada kondisi semula. Apabila terjadi pembengkakan yang luar
biasa, dan granula pati tidak dapat kembali ke keadaan semula, maka perubahan
ini disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu
gelatinisasi dan besarnya berbeda-beda tergantung pada jenis pati dan
konsentrasinya (Winarno 1988).
Winarno (1988) menambahkan bahwa kemampuan pati menyerap air
disebabkan oleh adanya gugus hidroksil pada molekul pati dalam jumlah besar.
Pemanasan suspensi pati dalam air mengakibatkan suspensi menjadi keruh, dan
bila gaya tarik menarik antara molekul air lebih kuat dari pada antar molekul pati,
air akan terserap dan granula pati membengkak. Masuknya air ke dalam granula
meningkatkan viskositas suspensi pati. Dari hasil pengamatan, terlihat bentuk
granula pati yang menggerombol bulat-bulat dan berukuran kecil. Bentuk granula
dari tiap-tiap jenis pati kurang dapat dibedakan secara signifikan.
Uji ketiga yaitu suhu gelatinisasi. Zat pati dari butiran-butiran kecil yang
disebut granula. Granula pati bervariasi dalam bentuk dan ukuran, ada yang
berbentuk bulat, oval, atau bentuk tidak beraturan demikian juga ukurannya,
mulai kurang dari 1m sampai 150m tergantung sumber patinya (Banks dan
Greenwood 1975). Menurut Satin (2001), sebaran dan ukuran granula sangat
menentukan karakteristik fisik pati serta aplikasinya dalam produk pangan.
Bentuk granula pati ialah semi kristal yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf
(Banks dan Greenwood 1975).

19
Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam
air panas atau hangat (Greenwood dan Munro 1979). Pengembangan granula pati
tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan
akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu
gelatinisasi.
Meyer (1982), menyatakan bahwa pengembangan granula pati dalam air
dingin dapat mencapai 25-30 % dari berat semula. Pada keadaan tersebut granula
pati tidak terlarut dalam air dingin, tetapi berbentuk suspensi dengan makin
naiknya suhu suspensi pati dalam air, maka pengembangan granula semakin besar.
Winarno (1985), menambahkan bahwa pembengkakan diawali pada
bagian amorf atau bagian yang kurang rapat, merusak ikatan antara molekul yang
lemah dan menghidrasinya. Dengan meningkatnya suhu, air mulai memasuki
daerah kristalin, sehingga miselin mulai rusak. Granula terus mengembang
menjadi jaringan yang membengkak, namun masih terikat oleh misela yang belum
rusak. Sebagian amilosa akan keluar dari granula dan melarut dalam larutan.
Viskositas meningkat mencapai maksimum yang berkolerasi dengan jumlah
volume yang membengkak dan menunjukkan hidrasi maksimum.
Proses gelatinisasi menurut Heiman (1980), dibedakan menjadi tiga fase.
Fase pertama, air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam
granula, fase kedua pada suhu 60-85o C granula akan mengembang dengan cepat
dan akhirnya kehilangan sifat birefringence amilosa terdifusi keluar granula.
Granula pati singkong sudah terpecah sempurna dibawah suhu 80oC, karena
memiliki daya ikat yang lemah.
Gelatinisasi merupakan fenomena pembentukan gel yang diawali dengan
pembengkakan granula pati akibat penyerapan air. Gelatinisasi merupakan
pembengkakan granula pati yang tidak kembali kebentuk semula. Secara umum
perubahan yang terjadi selama proses pemanasan suspensi pati diikuti dengan
pendinginan, adalah : 1). Pengembangan granula yang disebabkan oleh imbibisi
air karma kelemahanya ikatan hydrogen. 2). Hilangnya sifat birefringence atau
kristalinitasnya yang dapat diamati dengan mengunakan mikroskop electron
(EM). 3).kejernihan yang meningkat dan 4).kenaikan kekentalan secara cepat. Ke
empat tahapan perubahan tersebut dapat terjadi secara serentak atau bertahap, oleh
karma itu biasanya suhu glatinisasi tidak dinyatakan dalam satu suhu akan tetapi
merupakan suatu kisaran (Winarno 1988).
Suhu gelatinisasi adalah suatu kisaran suhu pada saat proses gelatinisasi
berlangsung dari awal sampai berakhir sempurna. Suhu gelatinisasi ini diawali
dengan pembengkakan yang tidak dapat balik granula pati dalam air panas dan
diakhiri tepat ketika granula telah kehilangan sifat krisalnya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi gelatinisasi antara lain kekompakan granula dan ukuran molekul
amilosa dan amilopektin (derajat polimerisasi) serta keadaan media pemanasan.
Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air
panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik
(reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolakbalik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Sari 1992). Faktor-faktor
yang mempengaruhi suhu gelatinisasi adalah kandungan amilosa dan ukuran
granula pati. Granula pati yang berukuran kecil lebih tahan terhadap gelatinisasi
dibandingkan dengan granula yang berukuran besar. Makin tinggi suhu
gelatinisasi makin banyak pula molekul amilosa dan amilopektin yang terlepas

20
dari granulanya untuk membentuk struktur jaringan yang elastis (Greenwood
1979).
Dari hasil percobaan dapat diperoleh bahwa suhu gelatinisasi hanya
dilakukan pada pati yang berasal dari beberapa bahan terdapat pada suhu antara
50-750C. Dalam kasus ini dapat diberi pernyataan bahwa kandungan amilosa yang
lebih rendah menyebabkan granula pati lebih sedikit menyerap air dan struktur
granula patinya lebih kompak, agak lebih sukar terdispersi dalam air. Akibatnya
pengembangan granula terjadi pada suhu yang lebih tinggi. Tepung memiliki suhu
gelatinisasi yang lebih tinggi daripada pati. Peningkatan suhu gelatinisasi ini
disebabkan oleh makin banyaknya daerah amorf yang akan menyebabkan
naiknya derajat kristal pati. Hal lain yang menyebabkan naiknya suhu gelatinisasi
adalah barkurangnya kapasitas pembengkakan sehingga konsistensi pasta juga
lebih rendah.
Uji keempat yaitu kejernihan Pasta. Kejernihan pasta merupakan salah satu
parameter penting dalam menentukan kualitas pasta pati disamping viskositas
pasta, terutama berdasarkan penampakan visual terkait pada sifat jernih atau
buram dari pasta yang dihasilkan. Pada sebagian jenis makanan, pasta pati
diharapkan berwujud jernih seperti untuk bahan pengisi kue. Namun ada pula
makanan yang menghendaki pasta pati berwujud buram (opaque) seperti pada
salad dressing.
Konsentrasi larutan pasta untuk mengukur kejernihan dekstrin, menurut
Radley (1976) sekitar 30 50 %. Beberapa pati dalam bentuk pasta akan
mengalami pengembangan dan perubahan menjadi keruh akibat pengaruh suhu.
Kejernihan pasta memiliki hubungan dengan sifat kelarutan dimana semakin
tinggi kelarutan maka akan semakin tinggi juga tingkat kejernihan pasta yang
dihasilkan.
Kejernihan diipengaruhi oleh ISSP (insoluble strach particles) dalam pati.
ISSP adalah partikel partikel pati yang tersusun atas sejumlah besar amilosa
yang saling bergandengan membentuk rantai lurus (linear). Kandungan ISSP
didalam pati slain dipengaruhi oleh tanaman penghasilnya, dapt terbentuk jika
campuran antara -amilase dan pati mendapat perlakuan pemanasan secara
bertahap.
Pengujian terhadap tingkat kejernihan pasta pati dapat dilakukan dengan
mengukur nilai transmisi cahaya yang dilewatkan melalui sampel pasta pati. Alat
yang digunakan untuk mengukur kejernihan pasta adalah spektrofotometer yang
dinyatakan dengan % transmisi. Di dalam praktikum ini, nilai yang dibaca
terhadap pasta adalah persen transmittan. Transmittan adalah banyaknya cahaya
yang dilewatkan oleh suatu zat. Jadi semakin tinggi nilai persen transmittan yang
terbaca maka, pasta yang diukur semakin jernih.
Pengukuran persen transmisi pasta pati dapat digunakan sebagai indikator
perubahan kadar zat warna yang terdapat dalam pasta pati tersebut. Kejernihan
hidrolisat pati berkaitan dengan kandungan partikel yang larut. Kejernihan
hidrolisat pati berkisar 0,9-84,3 % transmisi yang menunjukkan warna kuning
kecoklatan. Warna coklat pada hidrolisat dapat disebabkan oleh reaksi antara gula
pereduksi dengan senyawa nitrogen (reaksi maillard). Hasil reaksi maillard gula
pentosa menghasilkan furfural yang berwarna coklat. Hidrolisat berwarna kuning
kecoklatan menunjukkan terdapatnya senyawa furfural dan hidroksimetilfurfural
(Jacobs 1994). Hasil pengamatan praktikum menunjukkan bahwa nilai persentase

21
absorbansi untuk enam bahan pasta pati berkisar antara 43,3-90,4 % persen.
Kejernihan diipengaruhi oleh ISSP (insoluble strach particles) dalam pati. ISSP
adalah partikel partikel pati yang tersusun atas sejumlah besar amilosa yang
saling bergandengan membentuk rantai lurus (linear). Kandungan ISSP didalam
pati slain dipengaruhi oleh tanaman penghasilnya, dapt terbentuk jika campuran
antara -amilase dan pati mendapat perlakuan pemanasan secara bertahap.
Dari hasil pengamatan diperoleh hasil persen transmittan yang tertinggi
adalah pada pati ganyong, sedangkan persen transmittan yang paling rendah
dimiliki oleh pati singkong. Semakin tinggi nilai % transmisi, maka semakin kecil
kadar zat warna yang terdapat dalam larutan pati tersebut dengan kata lain tingkat
kejernihan pastanya makin tinggi pula. Artinya, pati ganyong memiliki kandungan
ISSP yang rendah atau memiliki tingkat kejernihan pasta yang paling tinggi.
Sedangkan pati singkong yang memiliki nilai kejernihan yang rendah
menunjukkan bahwa didalamnya mengandung ISSP yang tinggi. ISSP sendiri
merupakan partikel-partikel yang tersusun atas sejumlah besar amilosa yang
saling bergandengan membentuk rantai lurus (linear). ISSP merupakan partikel
yang larut dalam larutan pasta sehingga dengan demikian mempengaruhi
kejernihan dari pasta, ini merupakan faktor yang mempengaruhi kejernihan pasta.
Kandungan ISSP di dalam pati selain dipengaruhi oleh jenis tanaman
penghasilnya, dapat terbentuk jika campuran antara -amilase dan pati mendapat
perlakuan pemanasan secara bertahap.
Terlihat bahwa pengujian karakteristik kejernihan pasta ini mempunyai
hasil yang berbeda-beda pada tiap perlakuan modifikasi. Adanya perlakuan
dimana suspensi pati dicelupkan pada air mendidih ditujukan agar suspensi pati
tersebut dapat membentuk pasta secara keseluruhan/sempurna. Perlakuan
pengocokan pada setiap 5 menit bertujuan agar pati tidak mengendap dan hasil
pasta lebih baik.
Pengujian selanjutnya yaitu Apparent viscosity. Pati bila dipanaskan akan
membentuk pasta yang kental. Kekentalan merupakan salah satu sifat ynag
penting dari pasta pati. Beberapa hal yang mempengaruhi pengukuran viskositas
yaitu, metode penyiapan pasta, kecepatan pengadukan, kesadahan air yang
digunakan, konsentrasi pati yang digunakan dan suhu sifat rheologi pasta pati
memungkinkan untuk diukur secara kontinyu dan menggunakan viscosimeter
otomatis yang emmpunyai perekam, pada pengadukan yang konstan, salah
satunya yaitu Brabender-viscograph. Peningkatan kekentalan secara tajam terjadi
ketika granula yang telah membengkak menempati posisi yang besar dari total
volume dan berhubungan dengan granula-granula lainnya yang akan memberikan
kekmtalan maksimum pada kurva. Selama periode pendinginan kekentalan
menurun karena pecahnya struktur pati sampai kekentalan maksimum yang kedua
dimana pengukuran kekuatan gel dapat dilakukan (Heiman 1980).
Untuk uji Apparent viscosity ini, digunakan alat ukur viskosimeter
Brookfield sebagai alat ukur stabilitas viskositas. Setiap pati memiliki nilai
viskositas yang berbeda-beda. Viscositas suatu pasta pati dipengaruhi oleh kadar
glukosanya. Semakin tinggi kadar glukosa maka larutan akan semakin kental.
Semua pasta pati yang diuji mengalami penurunan viskositas saat
pendinginan hingga suhu mencapai 250C. Hal tersebut merupakan akibat dari
penurunan ukuran granula karena terjadinya pelepasan amilosa dan air dari dalam
granula yang pecah. Penurunan viskositas merupakan efek yang otomatis terjadi

22
karena rantai amilosa dan amilopektin akan terpotong menjadi lebih pendek
karena perlakuan yang dilakukan, sehingga viskositasnya menurun. Penurunan
viskositas larutan pati terjadi karena rapuhnya granula pati akibat adanya gesekan
dan pemanasan. Dari definisi tersebut, diperoleh gambaran bahwa pasta pati yang
nilai viskositasnya lebih rendah disebabkan berkurangnya kapasitas
pembengkakan sehingga konsistensi pasta juga lebih rendah selama terjadinya
pemanasan (Greenwood 1970).
Dari hasil praktikum kali ini nilai Apparent viscosity yang tertinggi dimiliki
oleh pati ubi jalar putih dan nilai yang terendah diperoleh dari pati kentang. Dari
data tersebut, viskositas bahan menurun seiring dengan bertambahnya waktu dan
penurunan yang signifikan dapat terlihat pada pati ubi jalar putih. Sedangkan pati
kentang tidak terlalu signifikan penurunan viskositasnya. Hal ini dapat disebabkan
oleh perlakuan pemotongan rantai amilosa dan amilopektin yang terjadi pada pati
sehingga menyebabkan berkurangnya konsistensi pasta saat dipanaskan.
Uji keenam yaitu lelarutan dan Swelling Power. Kelarutan pati dalam
media cair merupakan salah satu sifat yang penting dan berguna dalam berbagai
aplikasi industri baik pangan maupun non pangan. Pada industri penggunanya,
nilai kelarutan pati sangat bermanfaat dalam menentukan jumlah optimal dari pati
yang akan digunakan untuk proses produksi atau konversi, sehingga akan
dihasilkan produk dengan karakteristik yang diinginkan serta dapat menghindari
penggunaan pati yang berlebih.
Karena setiap jenis pati mempunyai kelarutan yang berbeda-beda, maka
sifat kelarutan ini merupakan salah satu cara guna mengidentifikasi jenis pati
mana yang ingin kita gunakan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan
adalah derajat polimerisasi (DP). Semakin tinggi DP, kelarutan semakin rendah.
Sebaliknya semakin rendah DP, kelarutan semakin tinggi. Nilai kelarutan perlu
diketahui sebagai informasi untuk mengetahui besarnya konversi dekstrin dalam
kesesuaiannya pada aplikasi produk. Ukuran molekul menyebabkan kelarutan
meningkat (Pomeranz 1991).
Suhu merupakan salah satu faktor yang turut menentukan besarnya nilai
kelarutan pati, dimana semakin tinggi suhu maka kelarutan akan semakin
meningkat. Selain itu, kejernihan pasta memiliki hubungan dengan sifat kelarutan
dimana semakin tinggi kelarutan maka akan semakin tinggi juga tingkat
kejernihan pasta yang dihasilkan. Dari hasil pengukuran kelarutan pati, pati
singkong memiliki persentase kelarutan yang paling tinggi diantara pati lainnya,
yaitu sebesar 97,5% dan pati ubi jalar putih memiliki persentase kelarutan
terendah yaitu sebesar 0% yang disebabkan tidak terpisahnya pasta dan larutan
jernih, sehingga hal ini tentunya sesuai dengan teori hubungan antara tingkat
kejernihan dengan kelarutan pati diatas. Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
kelarutan pati berkorelasi dengan tingkat kejernihan pati. Semakin tinggi tingkat
kejernihan pati maka tingkat kelarutan juga makin tinggi begitu pula sebaliknya.
Pada tingkat molekuler, kemampuan mengembang dan kelarutan granula
pati dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perbandingan komposisi amilosa dan
amilopektin, berat molekul dari tiap fraksi, derajat percabangan, proses
pembentukan, panjang bagian terluar pada cabang amilopektin, dan tentu juga
karena ada tidaknya komponen selain karbohidrat seperti lemak dan protein.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ikatan hidrogen juga
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap nilai kelarutan

23
granula pati dalam air. Pada granula pati terdapat gugus hidroksil yang terkandung
pada unit glukosa dalam polimer amilosa dan amilopektin. Gugus hidroksil yang
bersifat hidrofilik ini memiliki kecenderungan untuk berikatan hidrogen dengan
gugus hidroksil yang berdekatan membentuk struktur granula yang kompak dan
teratur. Sehingga memiliki barrier yang cukup baik terhadap difusi molekul lain
kedalam granula pati termasuk molekul air. Jadi, semakin banyak ikatan hidrogen
yang terbentuk akan membuat larutan pati semakin tidak larut dalam air (Reilly
1985).
Swelling power dilakukan untuk mengetahui kemampuan pati untuk
mengembang. Dari hasil praktikum kali ini, nilai swelling power tertinggi dimiliki
oleh pati ubi jalar putih sebesar 100%, dan pati singkong memiliki nilai swelling
power terendah, yaitu sebesar 30%. Dari sini terlihat bahwa kemampuan
mengembang pada produk pati berkurang karena perlakuan yang dilakukan dan
pati alami lebih sulit mengembang. Pati yang memiliki swelling power tertinggi
menandakan masih banyak ikatan bercabang dalam pati yang dapat mengikat
gugus hidroksil lebih banyak. Sedangkan untuk pati yang nilai swelling powernya rendah menandakan ikatan cabang dalam produk ini telah berkurang akibat
perlakuan dalam proses produksinya.
Uji terakhir adalah uji kadar pati. Komposisi pati pada umumnya terdiri
dari amilopektin sebagai bagian terbesar dan sisanya amilosa. Adanya informasi
mengenai komposisi pati diharapkan dapat menjadi data pendukung dalam
menentukan jenis produk yang akan dibuat dari pati atau tepung talas. Metode
Luff adalah uji kimia kualitatif yang bertujuan untuk menguji adanya gugus
aldehid (CHO). Komponen utama reagen Luff adalah CuO. Uji ini dilakukan
dengan menambahkan reagen Luff pada sampel, kemudian dipanaskan. Reaksi
positif pada uji Luff ditandai dengan adanya endapan merah. Reaksi yang terjadi
adalah sebagai berikut :

Pada reaksi tersebut terjadi reduksi CuO menjadi Cu2O. Cu2O ini
kemudian membentuk endapan merah bata. Salah satu manfaat praktis uji Luff
adalah mengetahui adanya gula pereduksi atau aldosa (contohnya sukrosa), yang
memiliki memiliki gugus aldehid. Pada metode luff school terdapat cara
pengukuran yaitu penentuan Cu tereduksi dengan 12 dan menggunakan prosedur
lae-Eynon monosakarida akan mereduksikan CuOdalam larutan Luff menjadi Cu2O. kelebihan Cuo akan direduksikan dengan KI berlebih, sehingga dilepaskan I 2.
I2 yang dibebaskan tersebut dititrasi dengan laruitan Na2S2O3. Pada dasarnya
prinsip metode analisa yang digunakan adalah Iodometri karena kita akan
menganalisis I2 yang bebas untuk dijadikan dasar penetapan kadar. Dimana proses
iodometri adalah proses titrasi terhadap iodium (I2) bebas dalam larutan. Apabila
terjadi zat oksidator kuat (misal H2SO4) dalam larutannya yang bersifat netral atau
sedikit asam penambahan ion iodida berlebih akan membuat zat oksidator tersebut
tereduksi dan membebaskan I2 yang setara jumlahnya dengan banyaknya
oksidator. I2 bebas ini selanjurnya dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3
sehingga I2 akan membentuk kompleks iod-amilum yang tidak larut dalam air.

24
Oleh karena itu, jika dalam suatu titrasi membutuhkan indicator amilum, maka
penambahan amilum harus sebelum titik ekuivalen (Balai Penelitian Pascapanen
Pertanian 2002).
Hasil titrasi ditambahkan dengan akuades dan larutan luff kemudian
dipanaskan. Pemanasan ini dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat reaksi
reduksi dari monosakarida pada gula terhadap CuO menjadi CuO 2 dan dalam
pemanasan ditambahkan batu didih hal ini dimaksudkan untuk meratakan
pemanasan. Pemanasan cukup lakukan pendinginan es (Balai Penelitian
Pascapanen Pertanian 2002). Larutan ditambahkan larutan KI 10% sebanyak 10
ml untuk mereduksi kelebihan CuO sehingga I2 terlepas dan juga dilakukan
penambahan H2SO 25% sebanyak 25 ml yang bertujuan untuk mengasamkan
larutan karena pada suasana basa, tio sebagai larutan standar akan tereduksi secara
parsial menjadi sulfat. Oleh karena tio perlu dilakukan pengasaman tersebut.
Warna akan menjadi cokelat keruh dari awalnya berwarna biru karena larutan
Luff. Kemudian dititrasi dengan larutan standar tio sampai terjadi perubahan
warna menjadi kuning. Hal ini menandakan larutan tersebut mendekati titik
ekuivalen. Sesuai dengan metode maka ditambahkan indikator amilum dan
dititrasi hingga berubah warna menjadi putih susu. Metode luff Schrool ini baik
digunakan untuk menentukan kadar karbohidrat yang berukuran sedang. Metode
ini merupakan metode terbaik untuk mengukur kadar karbohidrat dengan tingkat
kesalahan sebesar 10%. Metode Luff ini memiliki kelemahan terutama disebabkan
oleh komposisi yang konstan.
Uji kadar pati hanya dilakukan pada tepung yang terbuat dari beberapa
bahan. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar pati terbesar terdapat
pada tepung ubi jalar merah, yaitu sebesar 87,74%, dan kadar pati terendah adalah
tepung talas belitung, yaitu sebesar 61,63%. Semakin banyak tio yang digunakan
dalam titrasi, maka kadar pati yang diperoleh juga semakin banyak. Karena, hal
tersebut menandakan bahwa gugus aldehid yang terdapat dalam larutan contoh
banyak.
Data pengamatan didapatkan hasil karakteristik pati dan gula dari serealia
seperti kacang merah, jagung, milet, milet merah, ketan hitam, ketan putih dengan
parameter jumlah biji per kilogramnya, dimensi, lebar, panjang, bobot, densitas
kamba, nilai warna L, a, dan b serta nilai chalkiness, persen beras kepala dan
persen beras pecah. Jumlah biji terbanyak di dapat dari ketan putih dengan nilai
51900 per kilogramnya dan nilai jumlah biji paling sedikit diperoleh dari biji
kacang merah yaitu 2360 per kilogramnya. Hal ini dikarenakan dimensi dari
kacang merah yang paling besar diantara komoditas yang lainnya dan dari data
yang didapatkan nilai panjang dan lebar dari komoditas kacang merah adalah yang
terbesar. Dengan tingginya nilai dimensi kacang merah yang didapat ini, nilai
densitas tidak selaras dengan nilai dimensi dan bobot per kilogramnya karena dari
data yang didapat nilai densitas tertinggi adalah jagung karena permukaannya
yang menyudut, sehingga nilai densitas kamba jagung lebih besar dan nilai
densitas yang paling rendah dimiliki oleh komoditas ketan putih.
Dari hasil uji warna, nilai warna diuji dengan perhitungan L, a, dan b
dimana nilai L diperoleh secara berturut dari komoditas kacang merah, jagung,
milet, milet merah, ketan hitam dan ketan putih yaitu 2069,67; 2679; 5357; -;
2096; 6267. Nilai L, a dan b ini menunjukkan intensitas warna dari komoditas
tersebut (Saati 2010). Nilai a dan b paling tinggi dari index warna secara berturut

25
dimiliki oleh komoditas beras dan ketan putih. Hal ini dikarenakan tingkat
kecerahan komoditas yang lebih baik dari keduanya dan nilai absorbansi cahaya
yang rendah dari kedua komoditas tersebut.
Persentase chalkiness dari setiap komoditas menunjukkan paerbedaan
yang signifikan dengan nilai chalkness secara tertinggi di peroleh dari ketan putih
yaitu 100 %, beras ketan 88,8 %, milet 48,8 %, jagung 29,4 % dan ketan hitam
0,87 %. Nilai chalkiness diperoleh dari jumlah biji yang sempurna atau tidak
sempurna dan berwarna putih kapur. Hal ini menunjukkan kualitas dan karakter
warna dari setiap komoditas. Ditunjukkan oleh warna ketan putih yang
keseluruhan dari bagian bijinya berwarna putih pekat sehingga nilai chalkinessnya
100%. Dari pengamatan ini juga didapatkan nilai persentase beras kepala dan
beras pecah menunjukkan standar kualitas serealia yang berkualitas. Jenis serealia
dengan persentase beras kepala terbesar didapat dari komoditas ketan hitam
dengan persentase 94,05 %. Dan persentase terkecil beras pecah didapat dari
komoditas beras putih dan milet dengan persentase sama 21,2 %. Besarnya
persentase beras kepala dari serealia menunjukkan semakin baiknya kualitas dari
komoditas tersebut dan semakin kecilnya persentase bers pecah menunjukkan
semakin baiknya kualitas dari komoditas tersebut.
Sama halnya dengan komoditas serealia, komoditas umbi-umbian di ukur
nilai kualitasnya berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Dan didapatkan nilai
karakteristik pati dan gula komoditas umbi-umbian dengan parameter bobot
perbuah, volume, densitas kamba, reaksi enzimatis, pengaruh pemasakan, warna,
dan rasa. Komoditas yang di uji yaitu dau umbi perkelompok dengan jumlah
kelompoknya adalah 6. Sehingga komoditas yang di amati sebanyak 12 dengan
beberapa komoditas yang sama jenis meliputi sukun, pisang dan tals belitung.
Bobot tertinggi dimiliki oleh komoditas sukun dengan berat 470 gram per umbi.
Nilai ini menunjukkan perbedaan yang cukup jauh dari berat umbi yang paling
rendah yaitu talas belitung dengan berat 9,15 gram. Hal ini tidak menjadi
parameter utama bahwa berat sukun sudah pasti lebih besar dibandingkan dengan
tals belitung. Beberapa data juga menunjukkan nilai berat talas belitung dari
kelompok 5 lebih besar dibandingkan dengan berat sukun dari kelompok 2 yaitu
16,63 gram. Berubahnya nilai perbandingan ini disebabkan oleh karakteristik
tumbuh, perkembangan, jenis tanah dan faktor yang lain yang mempengaruhi. hal
yang berbeda ditubnjukkan oleh parameter volume yang digunakan. Nilai volume
dari talas belitung dari kelompok 5 lebih kecil yaitu 7,8 ml dibandingkan dengan
volume sukun dari kelompok 2 yaitu 20,6 ml. Hal ini dikarenakan sifat komoditas
yang berbeda dan kadar air yang berbeda dengan daya absorbsi air dari pati umbiumbian perlu diketahui karena jumlah air yang ditambahkan pada pati
mempengaruhi sifat dari system pati. Granula pati utuh tidak larut dalam air
dingin. Granula pati dapat menyerap air dan membengkak tetapi tidak dapat
kembali seperti semula (Fennema 1985). Sehingga padatnya susunan dari
komoditas akan mempengaruhi bobot dari komoditas tersebut.
Densitas kamba dari masing-masing komoditas didapat nilai tertinggi
dengan perbedaan yang sangat signifikan yaitu 8,91 dari komoditas ubi jalar
kuning hal ini menunjukkan jika dilakukan distribusi maka komoditas yang paling
efisien adalah ubi jalar kuning yang memiliki kamba yang sangat besar.
Berdasarkan reaksi enzimatis yang dilakukan hasil menunjukkan hanya komoditas
talas belitung dari kelompok 5 dan 6 yang tidak terjadi reaksi.

26
Dari keseluruhan pengaruh pemasakkan terhadap tekstur umbi didapatkan
tekstur yang umumnya lunak dan ada yang bergranula maupun lembut. Dari
parameter warna yang diuji didapatkan nilai kepekatan dari masing-masing
komoditas. Komoditas umbi ungu merupakan yang paling pekat diantara umbiumbian yang lainnya. dan secara umum umbi yang lain berwarna lebih terang
seperti kuning pada umbi jalar kuning, kuning muda pada ubi jalar putih dan
kuning pada singkong. Rasa dari setiap umbi juga berbeda, hal ini disebabkan
kandungan gula yang berbeda dari setiap umbinya. Umbi jalar kuning dan ungu
lebih manis dibandingkan dengan ubi jalar putih. Rasa agak manis juga
ditunjukkan oleh komoditas sukun pada kelompok 1 dan pahit dari kelompok 2.
Rasa sepat dan hambar didapatkan dari komoditas pisang dan hambar pada
komoditas talas dan talas belitung dari kelompok 6.

PENUTUP
Kesimpulan
Hasil dari rendmen pati dan tepung dari berbagai sumber dipengaruhi oleh
kadar berat kering dan jenis komoditi dari sumber pati dan tepung. Umumnya
sumber pati dan tepung dari umbi-umbian jauh lebih besar dibandig dengan yang
lainnya.
Pengamatan karakteristik sumber pati dan gula manunjukan bahwa dimensi
suatu bahan tidak menentukan besarnya bobot, densitas kamba dan nilai
keempukan dari sumber pati dan gula. Tetapi besarnya dimensi dari komoditas
akan menentukan jumlah bahan per kilogramnya.
Cara uji Karakteristik dari suatu komoditas ditentukan oleh jenis komoditas
tersebut. Apabila komoditas tersebut merupakan komoditas serealia maka dapat
dilakukan uji intensitas warna, jumlah biji, persentase biji pejah dan biji kepala.

Saran
Sebaiknya gunakan suhu tinggi untuk melarutkan pati sehingga tingkat
kejernihan pasta akan meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
Antarlina S.S. 1999. Pengaruh Umur Panen dan Klon Terhadap Beberapa Sifat
Sensoris, Fisik, dan Kimiawi Tepung Ubi Jalar. Tesis. Fakultas Pasca
Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. 2002. Petunjuk Teknis Proses Pembuatan
Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber Karbohidrat Lokal. Jakarta
(ID) : Balai Penelitian Pascapanen
Fennema OR. 1985. Food Chemistry. New York (US): Marcel Dekker Inc.

27
Greenwood C. T. 1970. Starch and Glycogen. Di dalam The Carbohydrates
Chemistry and Biochemistry. New York (US) :Academic Press.
Heiman W. 1980. Fundamental of Chemistry. Westerfort (US) : Avi Publisher. Co.
Jacobs M.B. 1994. The Chemistry and Technology of Food and Food Product.
New York (US): Interscience, Publisher, Inc.
Meyer SA. 2006. Food polysaccharides and their applications. Boca Raton (US) :
CRC/Taylor & Francis.
Pomeranz Y.1991. Functional Properties of Food Components. Second edition.
Florida (US): Academic Press, Inc.
Richana N, Sunarti TC. 2004. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Umbi Dan
Tepung Pati Dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubi Kelapa Dan Gembili.
J.Pascapanen 1(1) 2004: 29-37
Reilly P.J. 1985. Enzymatic Degradation of Starch. New York (US): Marcell
Deccker Inc.
Saati EA. 2010. Studi stabilitas ekstrak pigmen antosianin bunga mawar rontok
pada periode simpan tertentu (kajian keragaman pH media dan suhu
Pasteurisasi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Malang, Malang (ID).
Sari Zainurita. 1992. Modifikasi Pati Jagung Dengan Hidrolisis Asam (Hcl) Dan
Enzim Alpha Amilase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Smith P. S. 1982. Starch Derivatives and Their Use in Foods. Di dalam Lineback,
D. R. dan Inglett, G. E. (eds.). Food Carbohydrates. The AVI Publishing
Company Inc., Westport, Connecticut.
Thomson L. U. 1976. Preparation of MungbeanFlour and Application in Bread
Making. J. Food Scientist, Technology.
Tjokroadikoesoemo P. Soebijanto. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya.
Jakarta (ID): PT Gramedia.
Winarno F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID) : Gramedia.
Winarno F.G. 1988. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID) : Gramedia.
Winarno F.G.1985. Enzim Pangan. Jakarta (ID) : Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai