Anda di halaman 1dari 9

Mulyati (VII C/2114029)

Sejarah Orientalisme dan Oksidentalisme


A. Pengertian Orientalisme dan Oksidentalisme
I. Orientalisme
Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa prancis, yang secara harfiah
bermakna timur dan secara geografis bermakna dunia belahan timur, dan secara etimologis
bermakna bangsa-bangsa di timur. Kata orient telah memasuki berbagai bahasa eropa,
termasuk bahasa inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang bermaknahal-hal yang
bersifat timur, yang teramat luas ruang lingkupnya. Orientalis adalah kata nama pelaku yang
menunjukkan seseorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan timur itu;
biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran. Kata isme (belanda) ataupun ism
(inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu paham atau aliran, yang berkeinginan
menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa timur beserta lingkungannya.
Dalam buku Al-Mausuah Al-Muyassarah Fi Al-Adyan Wa Al-Madzahib Al-Muashirah,
orientalisme (al-istisyraq) dideskripsikan sebagai gelombang pemikiran yang mencerminkan
berbagai studi ketimuran yang islami. Sedangkan objek kajiannya mencakup peradaban,
agama, seni, sastra, bahasa, dan kebudayaan.
II. Oksidentalisme
Oksidentalisme (al-Istighrab) adalah lawan dari orientalisme (al-
Istisyraq). Kalauoreintalisme melihat potret Timur yang dalam tanda petik Islam dari
kacamata Barat, maka oksidentalisme justru sebaliknya; melihat potret Barat dari kacamata
Timur. Apabila ditinjau dari segi etimologinya, oksidentalisme diambil dari akar
kata occidentyang berarti arah matahari terbenam. Kata ini berasal dari bahasa
Latin, occidens dari kata occido atau occedo, dan occidere, yang berarti to go down. Istilah
istilah itu mengandung beberapa arti, seperti: turun, memukul, membunuh,
menghancurleburkan, jatuh, roboh, rebah, terbenam, disebelah barat, berakhir, habis
riwayatnya, hilang, lenyap, matahari terbenam, senja atau barat, bagian dunia sebelah barat
Asia terutama Eropa dan Amerika. Sedangkan Misi dari oksidentalisme sendiri adalah
mengurai dan menetralisasi distorsi sejarah antara Timur dan Barat, dan mencoba meletakan
kembali peradaban Baratpada proporsi geografisnya.
B. Sejarah dan Faktor Pendorong Wacana Orientalisme Dan Oksidentalisme
I. Akar Sejarah Dan Faktor Pendorong Orientalisme

1
Sejak tahun 60-an sehabis perang dunia II (1939-1945) dikenal sebutan dunia
belahan utara dan dunia belahan selatan yang masing-masing berarti negara-negara
maju (industrial countries) dan negara-negara berkembang (developed countries). Tetapi
sebelumnya sejak sekian abad lamanya, dipergunakan sebutan dunia timur dandunia barat.
Dimaksudkan dengan dunia barat dewasa itu ialah wilayah Eropa dengan penduduknya, dan
belakangan mencakup benua Amerika setelah dunia baru itu di temukan oleh
Christoper Columbus pada tahun 1493 M. dan setelah itu maka mulailah penduduk yang
berada di wilayah Eropa melakukan emigrasi ke benua baru temuannya. Hasrat untuk
mengenali hal-hal yang berkaitan dengan benua Timur itu disebutorientalisme yang
dimunculkan oleh dunia Barat.
Adapun akar sejarah yang mendorong hasrat para orientalis untuk mengetahui seluk
beluk dunia ketimuran bisa ditelusuri sejak dari zaman purbakala (ancient age) dan masa-
masa berikutnya sampai menjelang awal abad ke-16 M.
Zaman Purbakala
Perbenturan kepentingan memperebutkan wilayah kekuasaan menyebabkan pecahnya
perang yang berkelanjutan antara Grik tua dengan dinasti Achaemenids (600-330 SM) dari
imperium Parsi, sejak masa pemerintahan Cyrus The Great (550-530 SM) sampai kepada
raja-raja Parsi turunannya. Pada masa itu telah terjadi sejenis hubungan permusuhan,
perbenturan kepentingan, yang mendorong masing-masing pihak untuk mengenali keadaan
pihak lainnya. perbenturan kepentingan dan permusuhan yang terjadi berabad-abad lamanya
antara pihak Barat dan pihak Timur dikisahkan dalam bukuAnabasis karya Xenophon (431-
378 SM).[6]
Belakangan, Alexander The Great (356-323 SM) dari Macedonia, murid Aristoteles
(384-322 SM), merebut Asia kecil dari kekuasaan Parsi dan kemudian menaklukkan wilayah
luas sejak dari Lybia dan Mesir di pesisir Afrika utara sampai ke Asia tengah berbataskan
pegunungan Thian Shan dengan pihak Tiongkok, maju selanjutnya memasuki anak benua
India dan menempatkan gubenur Grik di kota Taxila, dekat Peshawar sekarang. Dengan
demikian pihak Barat telah berbenturan langsung dengan daerah pedalaman Asia dan
menemukan ragam bentuk kekuasaan, ragam kebudayaan, ragam keyakinan keagamaan, dan
ragam adat istiadat.
Sewaktu Alexander The Great wafat pada tahun 323 SM. Tanpa meninggalkan
keturunan, maka wilayah kekuasaannya yang demikian luas menjadi rebutan para
panglimanya. Kekuasaan Grik di anak benua India kemudian ditumbangkan oleh dinasti
Maurya (321-184 SM) yang dibangun oleh Chandragupta. Kekuasaan Grik dalam wilayah

2
Asia tengah dan wilayah Iran ditumbangkan kembali oleh dinasti Arsacids (247 SM-226 M).
Hanya tinggal kekuasaan grik di Asia kecil, Syiria dan Palestina di bawah
dinastiSeleucids (305-64 SM), dan di Mesir dan Libia di bawah kekuasaan dinasti Ptolemi
(305-30 SM), dan kota-kota di semenanjung Grik saja yang membebaskan diri kembali
menjadi polis-polis merdeka seperti pada masa sebelum ditaklukkan raja Philip (356-336
SM) dariMacedonia.[8] Kekuasaan Grik pada akhirnya ditumbangkan pihak Roma dan
terbentuklah wilayah imperium Roma yang menguasai wilayah luas sejak dari Asia kecil,
Suria, Palestina, Mesir, pesisir Afrika utara, semenanjung Iberia (Spanyol-Portugal), Gaul
(Prancis), sampai kepulauan Britain (Inggris).[9]
Zaman Pertengahan
Zaman tengah bermula pada abad ke-4 masehi dan berlangsung selama seribu tahun
sampai dengan zaman kebangkitan (renaissance) di Eropa pada abad ke-14 masehi. Ibukota
imperium Roma sudah dipindahkan ke Konstantinopel dikenal dengan imperium Roma timur
(Bizantium). Sedangkan wilayah Eropa barat telah terbagi menjadi sekian banyak kekuasaan-
kekuasaan setempat, dikenal dengan kekuasaan feodal. Sejak abad ke-3 masehi, tidak henti-
hentinya berkecamuk peperangan antara imperium Roma timur dengan dinasti Sasanids (206-
651 M.) dari imperium Parsi sampai pertengahan abad ke-7 masehi. Kemudian wilayah
imperium Parsi itu direbut dan dikuasai pihak Islam pada masa pemerintahan khalifah Umar
Bin Khattab (634-644 M), begitu pula wilayah Suriah, Palestina, Mesir dan Libia dari
kekuasaan imperium Roma timur. Pada pemerintahan khalifah Walid Bin Abdul Malik (705-
715 M) dari daulah Umayyah (661-750 M) kekuasaan Islam itu membentang sejak dari
pegunungan Thian Shan di belahan timur sampai pegunungan Pyrenees di belahan barat,
hingga lautan tengah dalam masa berabad-abad berikutnya terpandang sebagai lake
of arabs (danau bangsa Arab).
Sampai pada saat tumbangnya kekuasaan Islam di Andalusia tahun 1492 M. Pada
penghujung abad ke-15 masehi selama delapan abad semenjak abad ke-7 masehi- dunia
Barat hanya mengenali bangsa-bangsa timur di sekitar lautan tengah belaka.
Demikianlah sekilas akar sejarah pertumbuhan minat pihak Barat mempelajari situasi
dan kondisi di Timur.
Faktor pendorong kajian orientalisme
1. Perang Salib
Pada tahun 968 M, daulah Fatimiyah (909-1171 M) yang terbentuk di tunisia akhirnya
berhasil merebut dan menguasai wilayah Mesir dari kekuasaan daulah Abbasiah, sewaktu
daulah fatimiyah berada di bawah kekuasaan khalifah muiz lidinillah (952-975 M), lalu

3
Membangun ibu kota Kairo dan perguruan tinggi al-Azhar dengan kurikulum berdasarkan
paham Syiah guna menandingi perguruan tinggi Nizdamiyah di Baghdad yang kurikulumnya
berdasarkan paham Sunni. Belakangan daulah Fatimiah itu meluaskan kekuasaannya ke
Palestina dan Suriah.
Sementara itu, kota suci Jerussalem sejak dikuasai oleh pihak Islam pada tahun636 M.
tetap merupakan kota suci bagi tiga agama; Yahudi, Kristen, dan Islam. Tetapi di bawah
kekuasaan daulah Fatimiah, berlaku tekanan terhadap orang-orang Kristen yang berziarah
ke kota suci tersebut. Dengan adanya kasus itu oleh Paus Urban II (1088-1099) dari Vatikan
untuk membangkitkan kemarahan orang-orang Kristen dan raja-raja Kristen di Eropa untuk
melakukan perang suci (Holy War) ke tanah suci guna merebut tanah suci itu dari kekuasaan
pihak Islam. Itulah yang disebut Perang Salib (The Crausades) yang berlangsung hampir
dua abad lamanya.
Selama dua abad itu, Perang Salib terjadi sebanyak delapan kali;
1- Angkatan Salib I (1096-1099 M), 2- Angkatan Salib II (1147-1149 M), 3-
Angkatan Salib III (1189-1192 M), 4- Angkatan Salib IV (1202-1204 M), 5-
Angkatan Salib V (1218-1221 M, 6- Angkatan Salib VI (1228-1229 M), 7-
Angkatan Salib VII (1248-1254 M), 8- Angkatan Salib VIII (1270-1271 M)
Akibat dari Perang Salib yang terjadi hampir dua abad lamanya, besar sekali
pengaruhnya terhadap dunia Barat dalam bidang budaya dan intelektual. Sebelumnya, sejak
abad ke-7 masehi, pihak Islam yang memasuki wilayah-wilayah Kristen sejak dari asia kecil
sampai ke semenanjung Italia dan semenanjung Iberia (Spanyol, Portugal) dan wilayah-
wilayah Eropa yang mengunjungi wilayah-wilayah kekuasaan Islam, maka hal itu hanya
bersifat perorangan belaka. Tetapi selama Perang Salib yang terjadi hampir dua abad lamanya
mereka datang dalam jumlah yang besar, sampai ratusan ribu setiap angkatan dari lapisan
rakyat umum sampai kaum bangsawan. Di wilayah-wilayah Islam itulah mereka
menyaksikan kaste-kastel bekas kediaman amir-amir Islam maupun para sultan di wilayah
suriah maupun tanah suci bekas imperium Roma itu, berhiaskan dekorasi yang
membangkitkan rasa estetik. Tetapi sejak Perang Salib, terjadilah perubahan besar. Mereka
mulai memesan benda-benda yang terpandang mewah ketika itu, sehingga berkembanglah
perdagangan Venezia dan Genoa, yang menyambut barang-barang kebutuhan tingkat tinggi
dari saudagar-saudagar muslim di Bandar-bandar dagang sekitar laut tengah.
Dari Perang Salib yang terjadi, terdapat motif yang tersembunyi berupa misi
penyebaran agama Kristen dan perebutan wilayah yang berlandaskan ekonomi, sehingga

4
pada masa-masa selanjutnya yang terjadi di banyak negara Timur adalah merebaknya
kolonialisme.
2. Sentuhan Barat Dengan Perguruan Tinggi Pihak Islam
Salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan orientalisme adalah persentuhan
tokoh-tokoh dari Barat dengan perguruan tinggi Islam. Sejarah mencatat adanya empat
perguruan tinggi tertua di lingkungan dunia Islam. Perguruan tinggi tertua dunia Islam di
belahan timur berkedudukan di Baghdad (Irak) dan Kairo (Mesir). Sebaliknya dua perguruan
tinggi tertua dunia Islam di belahan barat yang berkedudukan di Cordova (Andalusia)
dan Fez (Maroko), justru tarikannya begitu kuat mengundang tokoh-tokoh dunia Barat untuk
belajar dan meneliti. Keempat perguruan tinggi tertua di dunia Islam itu adalah: Nidzamiah,
Al-Azhar, Cordova, Kairwan.
Dari jumlah keempat perguruan tinggi tertua dalam dunia Islam itu yang sampai saat
ini masih hidup hanya cuma dua perguruan tinggi: Al-Azhar (972 M) dan Kairwan (859) di
Maroko. Itulah dua buah perguruan tinggi tertua di dunia sepanjang sejarah, dibandingkan
perguruan tinggi Oxford (1163 M) dan Cambridge (1209 M) di Inggris, Sorbonne (1253
M) di Prancis, Tubingen (1477 M) di Jerman, Edinburgh (1582 M) di Skotlandia.
3. Penyalinan Naskah-Naskah Arab Ke Dalam Bahasa Latin Mengenai Bidang
IlmiahDan Filsafat
. Kegiatan penyalinan manuskrip-manuskrip itu pertama kali mendapat restu
King Frederick II dariSicily (1198-1212) yang kemudian menjabat kaisar Holy Roman
Empire (1215-1250).
Meskipun mendapat persetujuan dari Paus di Vatikan, namun kegiatan itu tetap
berlangsung sehingga terbangun perguruan-perguruan tinggi di semenanjung Italia, Padua,
Florence, Milano, Venezia, kemudian di susul oleh Oxford dan Cambridge di Inggris,
Sorbonne di Prancis, dan Tubingen di Jerman. Manuskrip-manuskrip karya ilmuwan muslim
dari berbagai cabang ilmiah itu di salin kedalam bahasa latin; utamanya dalam bidang filsafat
sehingga melahirkan aliran Skolastik, Rasionalisme, Empirisme, dan lainnya.
Berkat penyalinan karya-karya ilmiah dari manuskrip-manuskrip Arab tersebut,
terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-cabang ilmiah tersebut di Barat. Apalagi sesudah
aliran Empirisme yang dikumandangkan oleh Francis Bacon (1561-1626) melalui
karyanya Novum Organon- menguasai alam pikiran Barat dan berkembangnya observasi dan
eksperimen. Akan tetapi penyalinan karya-karya filsafat itu juga membangkitkan pro dan
kontra yang sangat tajam pada masa-masa permulaan.

5
Selain itu, pengaruh lawatan marco polo (1254-1324) ke tiongkok yang mewariskan
karya berjudul description of the world (uraian tentang dunia) yang belakangan lebih dikenal
dengan judul the travels of marco polo (perlawatan marco polo) dianggap memberikan
pengaruh besar terhadap Barat untuk mengkaji Timur lebih lanjut.[16]
II. Akar Sejarah Dan Faktor Pendorong Oksidentalisme
Apabila di telisik, menurut Hassan Hanafi akar oksidentalisme lebih lampau
dari Revolusi Perancis, tapi sudah dimulai jauh sebelum itu, yaitu sejak lahirnya
peradaban ego yang diwakili tradisi Islam selama empat belas abad atau lebih. Akar
oksidentalisme dapat dilacak jika kita tahu hubungan kita (Timur) dengan Yunani di masa
lalu. Yunani adalah bagian dari Barat baik ditinjau dari segi geografis, sejarah maupun
peradabannya. Yunani dan Romawi merupakan sumber kesadaran Eropa. Sedangkan
peradaban baru ego yang diwakili tradisi Islam kuno memiliki akar lain yang lebih tua di
masa lampau, yaitu peradaban Timur kuno di Mesir, Kanan,
Asyuriah, Babilonia, Persia,India, Cina. Peradaban-peradaban tersebut adalah peradaban
yang diwarisi Islam dan merepresentasikan peradaban ego-Islam baru. Sebagai sumber,
peradaban-peradaban tersebut merupakan dimensi Timur peradaban baru ego dan evolusi
tauhid dari agama-agama Cina sampai India, kemudian ke negara-negara antara
sungai Kanan dan Mesir. Begitu pula Yahudi-Kristen masuk dalam kategori akar peradaban
baru ego dari Timur.
Dengan demikian akar oksidentalisme dapat dilacak dalam relasi peradaban Islam
dengan peradaban Yunani. Ketika peradaban Islam berstatus sebagai pengkaji, ia mampu
menjadikan peradaban Yunani sebagi obyek yang dikaji. Kemudian terjadilah dialektika yang
benar antara ego dengan the other, ego sebagai subyek pengkaji dan the otherssebagai obyek
yang dikaji. Hal ini melalui beberapa fase sebagai berikut:
1. Fase transferensi (al-naql), dalam fase ini diberikan prioritas kepada kata sebagai
perwujudan keinginan untuk memberikan perhatian kepada bahasa buku asli, yaitu bahasa
Yunani, serta memberikan perhatian kepada munculnya istilah-istilah dalam filsafat.
2. Fase transferensi makna (al-naql al-manawi), fase ini prioritas diberikan kepada makna
sebagai manifestasi keinginan untuk memberikan perhatian kepada bahasa terjemahan,
yaitu bahasa Arab, serta memulai karya filsafat tidak langsung.
3. Fase anotasi (al-syarkh), dalam fase ini prioritas diberikan untuk tema atau substansi, dan
upaya mengungkapkan tema tersebut secara langsung dengan sedikit memasukkan redaksi
orang lain ke dalam karya baru ini, serta memberikan perhatian kepada struktur dan
pengungkapan tema itu sendiri.

6
4. Fase peringkasan (talkhish), yaitu mempelajari suatu tema dengan memfokuskan kajian
pada inti tema tanpa melakukan perdebatan dan pembuktian; meminimalisir penyampaian
tema tanpa melakukan penambahan atau pengurangan yang dapat mengakibatkan teks
berubah menjadi substansi dan kata berubah menjadi tema.
5. Mengarang dalam lingkup kebudayaan pendatang dengan melakukan presentasi dan
penyempurnaan, sehingga kata, makna serta tema dalam kebudayaan the other, dapat
dibendung. Tema yang ada dapat dijadikan sebagai tema independen ego.
6. Mengarang dalam lingkup tema kebudayaan pendatang disamping tema tradisi ego.
Disinilah potret ego menemukan kesempurnaannya dan kebudayaan the other dapat
dipisahkan dari kebudayaan ego.
7. Kritik terhadap kebudayaan pendatang dan menjelaskan lokalitas serta keterkaitannya
dengan lingkungan.
8. Menolak total kebudayaan pendatang karena sudah tidak diperlukan lagi, dan kembali
kepada teks ego yang masih mentah tanpa ada keinginan untuk sedikitpun atau
merasionalkannya serta melakukan interaksi dengan kebudayaan lain.
Akhir abad ke-18, setelah revolusi Perancis berakhir tahun 1789, Perancis mulai menjadi
negara besar, membayang-bayangi kebesaran Inggris. Waktu Napoleon menguasai Mesir
mulai 2 juli 1798, Mesir jadi kenal dengan kemajuan Perancis khususnya dan Barat
(Eropa) pada umumnya,[20] karena Napoleon hanya membutuhkan waktu 20 hari untuk
menundukkan Mesir secara keseluruhan dan langsung menjadikannya sebagai daerah
koloni Perancis. Sewaktu Muhammad Ali dari Turki menjadi Pasya Mesir, ia sangat
terkesima melihat Eropa dan ingin memajukan Mesir. Dia mengirim ratusan bahkan
sampai ribuan pemuda-pemuda Mesir belajar ke Eropa, terutama Perancis, Inggris, Italia
dan Austria. Untuk mengawal mental spiritual para mahasiswa muslim tersebut, dikirim
pula para imam. Diantara para imam itu terdapat seorang pemuda yang cerdas, Rifaah
Badawi Rafi Al Tahtawi. Dengan keberadaan sejumlah besar pelajar dan mahasiswa
muslim beserta imam-imam yang mendampingi mereka di Perancis, berproseslah
pembentukan masyarakat minoritas Islam di kota-kota besar Perancis, terutama Paris.
Proses awal ini diperkuat oleh masuknya tokoh besar pemikir dan pejuang
Islam, Jamaluddin Al-Afghani ke Paris tahun 1880-an. Di Parisia membentuk sebuah
organisasi Islam, Al-Urwah Al-Wusqa yang anggota-anggotanya terdiri dari muslim-
muslim dari Mesir, India, Suriah, Afrika Utara, dan lainnya. Lewat organisasinya itu, dia
mendirikan dan menerbitkan sebuah jurnal Islam yang juga dinamakan Al-Urwah Al-
Wusqa.

7
Faktor Pendorong Kajian Oksidentalisme
Adapun faktor yang mendorong untuk melakukan kajian oksidentalisme
menurutHassan Hanafi dalam bukunya muqaddima fi ilmi al-istighrabadalah ingin
membebaskan Arab (Timur) dari pengaruh hegemoni Barat, hal itu dapat diurutkan dan
diringkas menjadi beberapa poin berikut ini:
1. Awal terjadinya keguncangan peradaban Barat dengan sains Barat
membuat egokehilangan keseimbangan. Ia sekuat tenaga mengejar ilmu yang tidak
diketahuinya untuk dipelajari dan dikuasai. Ia terpikat oleh pesona the other. Dalam
keterpikatannya, ia melupakan dirinya dan berubah menjadi the other dan akhirnya
teralienasi.
2. Awal kebangkitan dari keguncangan imperialisme yang ditandai dengan munculnya
seruan untuk menggunakan cara yang ditempuh penjajah dalam menguasai kita
(Timur;Islam).
3. Gerakan reformasi dan keinginan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani,
tasawuf dan tradisi lama penguasa, serta munculnya seruan untuk mengambil Barat
sebagai contoh kebangkitan modern. Persoalan utama sekarang bagi umat Islam adalah
sebagaimana tercermin dalam sebuah judul buku limadza taakhkhara al-muslimun wa
taqaddama ghairuhum (mengapa umat Islam terbelakang dan umat lain maju).
4. Dibangunnya negara modern setelah terlepas dari negara elit, dan dibutuhkannya teoritisi,
teknokrat, sarjana dan birokrat untuk mengisi pos-pos pemerintahan.
5. Awal pengiriman delegasi keilmuan dan warga kita (Timur) ke Barat untuk belajar disana.
Kemudian setelah pulang mereka melakukan modernisasi masyarakat, membangun
Negara dan menciptakan kecenderungan baru pemikiran dan kebudayaan, mendampingi
kecenderungan lama yang sudah ada.
6. Kunjungan timbal balik antara Timur dan Barat, dan dikenalnya the other oleh egoyang
kemudian dianggap sebagai cermin bagi ego. Kebanggaan kepada Barat pun merebak di
kalangan kita (Timur), sehingga muncul anggapan bahwa Barat adalah satu-satunya tipe
modernisasi.
7. Arus penerjemahan dari Barat yang dimulai sejak berdirinya madrasah al-Alsun;
beralihnya gerakan penerjemahan, seperti yang terjadi pada Diwan Al-Hikmah pada
masa al-Makmun, dari usaha perorangan menjadi kerja yang terorganisir dan diawasi
negara; serta berlanjutnya transferensi yang tiada hentinya sampai sekarang tanpa
dimulainya fase inovasi.

8
8. Awal penulisan tema-tema tentang wacana barat dalam bidang pemikiran, politik, sosial,
etika, hukum dan lainnya yang mengakibatkan tersebarnya madzhab Barat di atas realitas
kita dan kemudian menjadi fokus kebudayaan pemikat bagi umat manusia. Beredarlah
buku-buku yang membahas tentang Positivisme, Eksistensialisme, Pragmatism, dan
Marxisme, begitu pula buku tentang tokoh-tokoh terkenal barat seperti Descartes, Kant,
Hegel, Barkeley, Russel, William James, Bergson, Whitehead, Hume, Lock, Kierkegard.
Dari sana kemudia di masa sekarang muncul gejala oksidentalisme dalam generasi
kita (Timur; Islam). Banyak orang membicarakan tentang kemungkinannya bahkan perlunya
membangun oksidentalisme untuk membantu Timur keluar dari wilayah imitasi
kebudayaan the other. Oksidentalisme bukan sekedar kebalikan orientalisme, atau
orientalisme terbalik, atau orientalisme berlawanan, tetapi merupakan reaksi atas westernisasi
dan suatu upaya untuk mengentaskan ego dari keterasingannya di dalam the other.

Anda mungkin juga menyukai