Anda di halaman 1dari 12

RBI Sistem Mekanik dan Peralatan Bertekanan

Pendahuluan dan Latar Belakang

Banyak fasilitas migas didunia memasuki masa aging atau penuaan, termasuk di
Indonesia, dimana awal explorasi dan produksi migas terjadi pada tahun 1970 dan 80
an, artinya saat ini banyak fasilitas yang sudah beroperasi melewati umur desainnya.
Namun demikian karena produksi migas secara ekonomi masih menguntungkan maka
operator tidak dapat serta merta menutup atau mengganti fasilitas produksi mereka.

Fasilitas yang sudah tua, terutama peralatan sistem bertekanan sepertipressure vessels,
piping dan pipeline, ditandai dengan meningkatnya kerusakan, utamanya korosi, erosi,
wear, dan fatigue. Mekanisme kerusakan tersebut, yang berjalan untuk waktu yang
lama, menyebabkan kegagalan peralatan baik berupa kebocoran (leak) atau pecah
(rupture). Jadi fasilitas yang aging menghadapi masalah integrity dan risiko yang tinggi
karena dampak kegagalan peralatan bertekanan bisa berupa fire & explosionyang
memiliki implikasi terhadap keselamatan manusia, lingkungan, kerugian bisnis serta
asset yang sangat besar.

Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir banyak kegagalan atau kecelakan di industri
migas, petrokimia, dan industri proses, terkait dengan masalah integrity seperti ledakan
dan kebakaran refinery dan process plantsdi USA (2001-2006), pipeline (Eropa, USA,
Asia). Hampir setiap tahun terjadi kebocoran pipa minyak dan gas yang tidak jarang
diikuti oleh ledakan dan kebakaran besar. Berbagai kejadian kecelakan di industri migas
di dunia tersebut memberikan indikasi kuat bahwa mengelola asset berbasis waktu
sudah tidak memadai, sehingga strategi inspeksi dan maintenance sudah harus berubah
dari time base (prescriptive) ke risk based (predictive), yakni secara bersamaan
mempertimbangkan peluang atau laju kegagalan peralatan dengan konsekwensi
kegagalannya baik terkait keselamatan manusia, kerugian bisnis dan asset, maupun
keselamatan dan kesehatan lingkungan. Oleh sebab itu RBI masuk menggantikan
inspeksi biasa berbasis waktu. Dengan RBI dapat dijawab pertanyaan berikut ini:

Apa yang akan diinspeksi What to inspect ?


Kapan akan dilakukan inspeksi When to inspect ?
Dimana lokasi inspeksi persisnya Where to inspect ?
Bagaimana efektip inspeksi dilakukan Howeffective to inspect ?

Pengembangan Metodologi RBI

RBI dikembangkan tahun 1993 yang dimotori oleh 21 perusahan migas, petrokimia dan
industri proses lainnyayang bertujuan untuk menjawab tantangan aging facility. Hasil
dari konsesi itu menghasilkan rujukan utama dunia terkait metodologi RBI yakni API
581 (RBI resources based document). Dokumen tersebut menampilkan teknologi dan
latar belakang perhitungan scientificdan enginering jugdmentbagaimana melakukan
kajian RBIstep by step, lengkap dengan worksheetnya. Selain itu terdapat pula dokumen
API 580 yang berisi uraian teknik persiapan dan dokumentasi RBI. Perkembangan
berikutnya adalah keluarnya dokumen DNV-RP-G101 (RBI for topside equipments),
yang dikembangkan khusus untuk mengelola risiko peralatan di topside pada offshore
platform. Selanjutnya ISO dan ASME juga mengembangkan metodologi RBI walaupun
besifat lebih umum. Untuk memudahkan perhitungan karena melibatkan ribuan data
maka telah dibuat software yang sudah tersedia secara komersial diantaranya DNV
Orbit, RiskWise, Tischuk, dll.

Saat ini RBI sudah dalam fase mature dan hampir seluruh perusahan migas global
menggunakan RBI untuk mengelola integrity assetnya. Beberapa perusahaan bahkan
mengembangkan sendiri metodologi RBI berikut softwarenya seperti Sheel, Total E&P,
Chevron, ConocoPhilips, dsb. Pada dasarnya, sekali dasar filosofis dan prinsip-prinsip
teknik RBI difahami, siapapun dapat mengembangkan metodologi sendiri berikut
software RBI disesuaikan dengan kondisi bisnis perusahaan atau industri masing-
masing. Keuntungan implementasi RBI sekurang-kurangnya adalah :

1. Meningkatkan aspek kehandalan (reliability) dan keselamatan (safety) dari peralatan


dan fasilitas migas sehingga otomatis menurunkan peluang terjadinyaunplanned
shutdown dan saat bersamaan meningkatkan availability.
2. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam inspeksi dan pemeliharaan, sehingga
terjadi penurunan biaya sampai 25% (cost effectiveness).
3. Menambah umur peralatan(life extension plan), karena selalu dilakukan identifikasi
dan deteksi risiko lebih awal dan penanganan risiko dengan lebih terfokus berdasarkan
skala prioritas.
4. Meningkatkan kepercayaan publik dan para pemangku kepentingan terhadap kinerja
operator/pemilik karena adanya transparansi dalam pengelolaan risiko dan integritas
asset.
5. Meningkatkan nilai perusahaan karena telah terujinya kehandalan peralatannyadan
dapat menurunkan premi asuransi (control insurance cost).
RBI Looping

Implementasi RBI secara teknis dapat dilihat pada loop RBI dibawah ini (Ref no.1)

1. Lakukan review terhadap histori peralatan dan fasilitas (inspeksi, repair, monitoring
korosi, failure analysis, dsb)
2. Lakukan re-appraisal design (in-service record, planned & unplanned shutdown,
tekanan, suhu, parameter operasi, remining life, dsb).
3. Lakukan kajian dan develop system, prosedur, dan perencanaan.
4. Kembangkan RBI matrix dan kategorisasi risiko (mis : high, med, low risk).
5. Lakukan inspeksi tidak merusak (NDT) pada pressure vessels, piping dan pipeline.
6. Lakukan interpretasi, bandingkan dengan baseline hasil NDT, inspeksi, buat asset
register dan analisis setiap ada finding.
7. Lakukan kajian risiko dan buat peringkat risk serta membuat report detail.
8. Buat integrity statement dan status korosi dari asset.
9. Buat perencanaan mitigasi risiko dan next inspection plan (method, technology,
interval) berdasarkan skala prioritas (criticality).
10. Lakukan verifikasi hasil kajian RBI oleh pihak ketiga.
11. Lakukan feedback dan lesson learn dan update risk profile serta kembali pada sistem.

Karena keberhasilan RBI dalam mengelola peralatan sistem bertekanan (pressure


vessels dan piping) maka sekarang ini terminologi dan metoda RBI juga diterapkan pada
struktur platform dan pipeline, tentu dengan metoda dan teknik yang berbeda dari
konsep awal yang terdapat pada API RBI 581.

RBI Sebagai Bagian dari Asset Integrity Life Cycle

RBI merupakan tulang puggung dari asset integrity management dimana


keberadaannya pada integrity life cycle diperlihatkan pada diagram looping dibawah ini.

Ligkaran integrity dimulai setelah selesai commissioning, sekali peralatan masuk pada
fase operasi, maka lingkaran integritry mulai berlaku. Data inspeksi awal (NDT) lima
tahun pertama digunakan sebagai baseline untuk kajian RBI yang selanjutnya program
dan prioritas inspeksiberikutnyadirencanakan setelah peringkat risiko diperoleh. Jika
dari hasil inspeksi tersebut diketahui adanya anomali atau cacat, maka kajian FFS
atau trend analysis dilakukan (misalnyapeningkatan korosivitas fluida). Output
dari kajian FFS adalah status integrity peralatan dan nilai MAWP dan remaining life,
serta rekomendasi run-repair-replace-down rate decision makingyang ditindak lanjuti
melalui step berikutnya yakni corrective action & repair.

Untuk memperpanjang umur desain dari aging facility, aktivitas tambahan mungkin
diperlukan dalam bentuk penambahan peralatan safety, prosedur, inspeksi, monitoring,
testing, revisi dari recommended practices and standards, serta analisis danperhitungan
dari laju kerusakan yang ada seperti korosi, fatigue erosi, creep, dsb. Namun demikian,
pada titik tertentu, umur asset bisa tercapai jika KPI (mis : laju atau frekwensi kegagalan
saat inspeksi meningkat, laju repair meningkat, dsb) mencapai tingkat yang sudah tidak
dapat ditoleransi dengan risiko terkait dan hazards sudah tidak masuk lagi kategori
ALARP, maka umur asset sudah berakhir, kemudian dilakukan de-commissioning dan
peralatan tersebut keluar dari lingkaran integrity.

RBI Flowchart

Kajian RBI dimulai dengan mengembangkan metodologi yang meliputi probability of


failure (PoF), consequence of failure (CoF), dan pembuatan risk matrix. Berikut ini
adalah salah satu cara untuk merumuskan PoF secara detail
yang applicable terhadap pressure vessels dan mechanical piping (Ref No.1). Secara
logika, tentu peralatan dengan tekanan tinggi dan volume flamable hydrocarbon yang
besar akan memiliki CoF yang tinggi. Namun untuk masuk pada kategori risiko tinggi
atau kritis harus dilihat terlebih dahulu seberapa besar PoF yang ada akibat dari laju
kerusakan yang terjadi.
Setelah kajian RBI dilakukan, jadwal inspeksi dapat direncanakan sesuai dengan
peringkat risiko yang diperoleh, sehingga skala prioritas untuk inspeksi dan maintenance
selanjutnya dapat diterapkan.

Flow chart berikut ini memperlihatkan RBI yang sudah di-extendmeliputi maintenance
menjadi RBI & M.
Seperti terlihat pada diagram diatas, setelah nilai risiko diperoleh dan tidak dapat
diterima, tersedia berbagai pilihan mitigasi untuk menurunkan risiko melalui
perencanaan inspeksi, maintenance dan repair serta HSE plan. Jika penipisan pipa
misalnya sudah sedemikian ekstrim, maka dengan frekwensi inspeksi sesering apapun
tidak akan menurunkan risiko, maka satu-satunya cara adalah dengan melakukan
repair (dengan mechanical clamp atau komposit) atau mengganti segmen pipa terebut
(partial replacement).

Implementasi RBI& M dan Tantangan di Indonesia

Konsep RBI masuk ke Indonesia melalui sosialisai oleh Dirjen MIGAS pada awal tahun
2002. Namun setelah itu perkembangannya dan implementasi relatif agak melambat,
saat itu tidak mudah merubah paradigma berfikir dari time-base ke risk-base,
khususnya ketika menerapkan jadwal inspeksi yang terkait dengan program sertifikasi
dan re-sertifikasi (SKPP/SKPI). Namun demikian pada perioda tahun 2003 2008,
sejalan dengan peningkatan terhadap pemahaman konsep manajemen risiko dan
integrity itu sendiri, banyak KPPS mulai menerapkan RBI untuk perencanaan inspeksi
dan maintenance peralatan statutory-nya (Total Indonesie, COPI, MEDCO, dsb). VICO
dan PT. Badak LNG, merupakan pionir awal yang mengaplikasikan RBI (dan RCM) untuk
operasi dan pemeliharaan fasilitasnya. Baru kemudian perioda 2008 s/d 2013, yang di-
driveoleh berbagai konferensi, seminar dan training, khususnya event-event yang
digagas oleh KMI (mis : MAPREC, INDOPIPE, dsb), termasuk pengajaran di beberapa
perguruan tinggi teknik, RBI sudah digunakan oleh hampir semua perusahan utama
migas di Indonesia, termasuk BUMN PT Pertamina dan PT PGN. Saat ini perusahaan
yang menerapkan secara luas aplikasi RBI untuk pengelolaan asset integritynya adalah
PHE-ONWJ dan Pertamina UP IV (Refinery), Cilacap. Selain itu sejak tahun 2009,
PGN sudah mengaplikasikan konsep RBI untuk operasi dan maintenance pipa transmisi
dan seluruh pipa distribusinya disemua Wilayah dan Unit Bisnisnya di Indonesia.

Berikut ini contoh hasil kajian RBI untuk mechanical piping di salah satu offshore
platform yang sudah beroperasi di Laut Jawa cukup lama (> 30 tahun) yang diproses
dengan Riskwise software (TWI). Data statistik dibawah memperlihatkan bahwa
dariribuan piping ID number, ternyata jumlah yang memiliki kondisi kritis atau kategori
risiko tinggi hanyalah 7%, sedangkan yang masuk kategori tidak memuaskan 20%.
Sisanya, sekitar 70%, masuk kategori risiko yang dapat diterima
dan tolerable/favorable.
Dari hasil diatas terlihat jelas bahwa untuk mengelola asset peralatan bertekanan,
operator hanya perlu fokus pada sekitar 30% populasi piping. Strategi ini sangat tepat
untuk mengelola asset yang sudah aging, mengingat resources saat ini cukup terbatas.
Contoh berikutnya adalah hasil running RBI untuk Sour Water Stripper Plant, di Refinery
Plant, Cilacap dengan menggunakan software Orbit (DNV). Gambar risk matrix dibawah
memperlihatkan perubahan pola sebaran risiko pressure vessel dan heat exchanger
sebelum dan skenario sesudah inspeksi berikutnya dilakukan.

Table diatas memperlihatkan bagamaina hasil kajian RBI disajikan dalam bentuk risk
summary (top ten risk level) lengkap dengan hasil perhitungan remaining lifedan
rekomendasi mitigasi risko melalui strategi inspeksi, maintenance dan repairnya.

Kedua contoh diatas memperlihatkan`success story aplikasi RBI untuk offshore dan
onshore facility, namun tentu saja RBI sendiri belum cukup memadai, pengelolaan asset
integrity secara lengkap harus pula didukung oleh berbagai metoda dan teknologi
inspeksi dan monitoring, corrosion risk management, metode FFS, serta teknologi repair
terkini/mutakhir, plus tentunya komitmen manajemen yang tinggi terhadap pengelolaan
asset berbasis risiko.

Berikut ini beberapa issue penting terkait implementasi RBI & M di Indonesia :

1. RBI bisa dikatakan memasuki masa mature di Indonesia, walaupun belum semua
perusahaan migas menerapkannya. RBI hanya efektip untuk jumlah asset yang besar
dan kompleks.
2. Jika diterapkan secara tepat,RBI akan sangat membantu perencanaan inspeksi dan
maintenance asset. Namun RBI hanya salah satu metoda Manajemen Integrity Asset.
Kahadirannya harus didukung pula oleh teknologi dan metodologi inspeksi, monitoring,
maintenance serta kajian risk &integrity lainnya.
3. Salah satu problem dengan RBI, tidak semua hasilnya tepat, sebagai contoh :
adakalanya pipa dengan kategori low atau medium risk, beberapa hari kemudian bocor.
Jika hal ini terjadi mestiada yang salah dengan metodologi (kurang sensitif, misalnya)
atau informasi hasil inspeksi tidak seluruhnya benar. Data ketebalan pipa yang
digunakan untuk perhitungan RBI ternyata hanya diambil dari lokasi pipa lurus atau
elbow, sementara kebocoran terjadi pada pipa yang sama di lokasi yang jauh dari akses
inspeksi (mis : posisi ketinggian, hanger, support, nozle, flanges, dsb). Hal ini
memberikan lessons learn bahwa skope kontrak inspeksi harus pula
mempertimbangkan dan meliput posisi pipa yang sensitif (vulnerable) terhadap
kerusakan tersebut diatas.
4. Kehadiran berbagai jenis dan merek software RBI secara komersial dipasaran sangat
membantu khususnya jika melibatkan database dan file yang sangat besar, namun
bukan segala galanya. Operator atau siapapun yang interest dan concern dapat
membuat metodologi RBI sendiri baik berbasis API 581, DNV-RP-G010 maupun yang
lainnya. Selanjutnya, dengan spreadsheet excel pun, RBI assessment bisa dilakukan.
5. Hal diatasdapat dilakukansepanjang yang bersangkutan memahami konsep risk
engineering, memahai parameter desain dan karakter operasi fasilitasnya termasuk
mengetahui hazard dan mekanisme kerusakan yang sedang berjalan, peluang
kegagalan, serta nilai risiko yang dapat diterima, baik dari aspek safety, business
loss dan nilai asset. Tentunya aspek terakhir ini akan berbeda dari satu perusahaan ke
perusahaan lain.
6. Walaupun RBI API 581 meliput mechanical and pressurized
system, valves dan flanges yang secara fisik merupakan bagian dari pipa, tidak dicover
sehingga operator harus mengembangkan sendiri metode RBI
untuk valves dan flanges. Sebagai gambaran metode Reliability Centred
Maintenance (RCM) lebih tepat untuk menghandel valves (dan control valves) dimana
peralatan tersebut memiliki berbagai modus kegagalan fungsi atau kegagalan yang
bertingkat (termasukhiden failure) yang mana kegagalannya tidak semata
mata kebocoran seperti definisi fomal kagagalan untuk sistem bertekanan (pipa
dan pressure vessels).
7. Untuk melengkapi RBI pada statutory equipments, disarakan operator juga
mengembangkan VFIM (Valves and Flanges Integrity Magement) berbasis risiko, agar
semua jenis asset dapat dikelola dengan metoda risk based yang tepat.Misalnya
menggunakan RCM yang selama ini cocok untuk rotating equimentinstrument &
electrical system.
8. Karena keberhasilan RBI dalam mengelola peralatan sistem bertekanan (pressure
vessels dan piping) maka sekarang ini terminologi dan metoda RBI juga diterapkan
pada struktur platform dan pipeline, tentu dengan metoda dan teknik yang berbeda
dari konsep awal RBI yang terdapat pada API BRD 581.
9. Selama ini kelihatannya seolah-olah masih ada dikotomi untuk program re-sertifikasi
kelayakan operasi peralatan migas apakah berbasis waktu atau risiko. Hal ini bisa saja
diatasi jika memang program resertifikasi harus setiap 3 tahun, misalnya, maka
inspeksinya itu sendiri tidak harus 3 tahunan, tergantung dari tingkat risikonya dulu.
Jadi peralatan bisa diresertifikasi tanpa harus ada inspeksi terlebih dahulu, asal
operator tersebut dapat memperlihatkan dokumen kajian RBI atauengineering
assessment /remaining lifenya. Dengan demikian time-based dan risk-based bisa
berjalan paralel. Mungkin hal ini masih open to discussion dan oleh karena itu MIGAS
seyogyanya mengeluarkan aturan atau perundangan yang lebih tegas dan spesifik.

Referensi

1. GUIDE Evaluation of Asset Integrity Management System (2010)

2. API 581, Base Resources Document for Risk Based Inspection (2000).

3. API 580,Recommended Practice for RiskBased Inspection(2000).


4. DNV-RP-G101, Risk Based Inspection of Offshore Topside Static Mechanical Equipment
(2009)

Anda mungkin juga menyukai