Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Masjid Pathok Negoro Ad - Darojat

Masjid Pathok Negoro Ad - Darojat adalah satu dari empat Masjid Pathok Negoro yang
dimiliki oleh Keraton Yogyakarta. Masjid ini didirikan oleh Sultan HB I pada tahun 1774 dan
berfungsi sebagai tempat ibadah serta kegiatan sosial kemasyarakatan masyarakat Kauman
Babadan dan sekitarnya. Masjid yang terletak di Dusun Babadan Kauman, Kelurahan
Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul tersebut mengalami sejarah yang
panjang.

Pada zaman pendudukan Jepang yakni pada tahun 1940-an, masyarakat Babadan diusir
oleh Pemerintah Jepang dan berpindah ke Desa Babadan Baru di Kentungan beserta seluruh
konstruksi kayu Masjid Pathok Negoro Babadan. Perpindahan ini dikarenakan pada saat itu
daerah Babadan akan dijadikan gudang mesiu serta perluasan lapangan terbang oleh Pemerintah
Jepang.

Pada tahun 1945 Jepang kalah dalam Perang Dunia ke-2 yang berarti seluruh personel dan
tentaranya pergi meninggalkan daerah pendudukannya. Sekitar tahun 1950-an mulai banyak
masyarakat yang datang kembali ke kampung Babadan dan akhirnya menetap di sana. Meskipun
Kampung Babadan sudah mulai ramai namun kondisi bangunan Masjid Pathok Negoro Babadan
sudah tidak terurus dan hanya menyisakan bagian pondasinya saja yang oleh masyarakat
dimanfaatkan untuk menjemur padi. Bahkan pada masa PKI, bekas reruntuhan Masjid Pathok
Negoro Babadan akan dijadikan sebagai panggung pegelaran ketoprak.

Pada tahun 1960-an Kyai Muthohar yang merupakan sesepuh di Kampung Babadan
mempunyai niat untuk membangun kembali masjid peninggalan Sultan Hamengkubuwono I
tersebut. Kyai Muthohar kemudian meminta izin terlebih dahulu kepada Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, sultan pun memberi izin bahkan beliau turut membantu proses
pembangunannya. Pembangunan masjid selesai pada awal tahun 1964. Setelah pembangunan
masjid selesai, nama masjid pun diubah menjadi Masjid Pathok Negoro Ad - Darojat. Nama Ad -
Darojat sendiri berasal dari nama kecil Sultan HB IX, yaitu Ndoro Jatun.

Karena pembangunan awal di tahun 1964 bentuk masjid masih semi permanen maka pada
tahun 1988 dibangun kembali serambi tengah dengan sumber dana dari pemerintah dan swadaya
masyarakat. Meski mengalami perubahan, namun ciri khas sebagai Masjid Pathok Negoro tetap
dipertahankan, seperti mustoko berbahan tanah liat yang memiliki ciri khas tersendiri. Tahun
1992 bangunan induk utama dibongkar dan disesuaikan seperti semula yakni joglo yang berasal
dari kayu jati.

Pada tahun 1993 akhirnya pembangunan ruang utama masjid berhasil dilakukan dengan
membangun joglo dengan 4 soko guru yang masing-masing soko guru tingginya 7 meter.
Pembangunan kelengkapan masjid seperti serambi depan, gerbang masuk, serta tempat wudhu
dan wc dilakukan pada tahun 2001. Atas kesepakatan para tokoh agama setempat pada tahun
2003, mustoko asli yang terbuat dari tanah liat diganti dengan mustoko berbahan kuningan.
Meskipun demikian mustoko yang asli sampai sekarang masih tersimpan dengan baik di Masjid
Ad - Darojat.

Melalui peranan masjid ini, masyarakat Babadan begitu lekat dengan ajaran-ajaran Islam.
Di tengah-tengah masyarakat memang pada akhirnya muncul beragam pandangan. Namun
keragaman ini dapat disikapi dengan bijak oleh masyarakat Babadan. Terlebih dalam menyikapi
adanya perbedaan pandangan dalam menjalankan syariat di kalangan masyarakat. Perbedaan
faham antara NU dan Muhammadiyah pun juga dapat diantisipasi dengan baik oleh masyarakat
Babadan.

Anda mungkin juga menyukai