Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur sudah semestinya kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, kita masih dianugerahi kesehatan, kekuatan, dan
kesempatan untuk melestarikan dan memajukan kebudayaan bangsa, serta mengembangkan
diri menjadi pribadi berkarakter yang selaras dengan nilai-nilai budaya bangsa melalui
kegiatan Jelajah Budaya.

Jelajah Budaya merupakan program pendidikan karakter berbasis budaya (edukasi


kultural) yang dikemas dalam bentuk penjelajahan situs-situs Cagar Budaya yang bersifat
rekreatif, inovatif dan menantang. Jelajah Budaya diselenggarakan setiap tahun sejak 2008 oleh
Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta bekerja sama dengan Kwartir
Daerah Gerakan Pramuka Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan kegiatan Jelajah Budaya yaitu
menumbuhkan generasi muda berkarakter yang mewarisi nilai-nilai kearifan leluhur yang
terkandung di dalam Cagar Budaya, sehingga memiliki rasa bangga terhadap warisan budaya
bangsa dan peduli terhadap kelestariannya.

Jelajah Budaya kali ini diselenggarakan pada 28 April 2019 merupakan yang ke-14,
sekaligus digelar dalam rangka memperingati “Hari Bapak Pramuka” atau “Hari Sultan
Hamengku Buwana IX” setiap tanggal 12 April. Jelajah Budaya yang diikuti oleh 250 orang
pramuka pelajar tingkat penegak perutusan Kwartir Cabang se-Daerah Istimewa Yogyakarta
ini mengangkat tema “Mengenali Jati Diri Warisan Budaya dan Kiprah Kasultanan
Yogyakarta”.

Saat ini sebagian besar bangunan warisan budaya peninggalan Kasultanan Yogyakarta
telah mengalami perubahan, baik dari sisi fisik bangunan maupun dari segi pemanfaatannya.
Wujud bangunan-bangunan warisan budaya sudah tidak utuh lagi, karena beberapa komponen
bangunannya telah rusak dan keberadaannya tidak diketahui lagi. Seiring berjalannya waktu,
pemanfaatannya pun kini sudah berbeda dengan fungsi aslinya ketika dibangun sesuai dengan
konteks zamannya. Sebagai contoh di antaranya yaitu pesanggrahan yang dulu berfungsi
sebagai tempat pesiar bagi raja beserta keluarganya dan juga ndalem sebagai tempat tinggal
kerabat raja dan bangsawan, sekarang telah beralih fungsi menjadi objek wisata dan perkantoran.

Meskipun telah mengalami perubahan bentuk dan fungsi, namun jati diri warisan budaya
tersebut masih dapat dikenali malalui jejak yang ditinggalkannya, berupa bagian-bagian
komponen bangunan aslinya yang masih tampak hingga sekarang. Di dalam jejak itulah
terkandung nilai-nilai penting: sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan
hasil karya budaya leluhur yang berguna bagi generasi muda untuk menjadi pedoman dalam
menggapai masa depan.

Selamat mengikuti Jelajah Budaya. Ayo! Menjadi generasi muda yang cerdas berbudaya!

Jelajah Budaya 2019 1


Pesanggrahan Ambarbinangun

Pesanggrahan Ambarbinangun dibangun pada masa Hamengku Buwana VI


yang memerintah di Keraton Yogyakarta antara 5 Juli 1855 sampai dengan 20 Juli
1877. Pada saat Hamengku Buwana VI naik tahta, beberapa pesanggrahan yang
telah ada sebelumnya sebagian besar telah mengalami kerusakan. Bisa dikatakan
bahwa tidak ada lagi prasarana atau fasilitas untuk pesiar yang kondisinya baik
menjelang berakhirnya pemerintahan Hamengku Buwana V.
Nama Ambarbinangun berasal dari kata ambar yang berarti harum dan
binangun yang berarti membangun. Dengan demikian nama Ambarbinangun
mempunyai arti membangun keharuman kembali. Pesanggrahan tersebut
dibangun di Dusun Kalipakis sebelah selatan Pesanggrahan Sanapakis yang telah
rusak.

Pesanggrahan Ambarbinangun

Dalam proses pembangunan Pesanggrahan Ambarbinangun Hamengku


Buwana VI memerintahkan orang Belanda yang bernama Wenschang seorang
pengusaha warga Belanda yang berdomisili di wilayah Kasultanan Yogyakarta
untuk membuatkan sebuah pesanggrahan di Dusun Kalipakis. Pesanggrahan
tersebut selesai dan mulai difungsikan sebagai tempat Pesiraman oleh Hamengku

2 Jelajah Budaya 2019


Buwana VI pada tahun 1855 M atau 1784 Jawa. Hal tersebut sesuai dengan
prasasti yang tertulis pada tugu prasasti I dengan huruf Jawa baru yang berbunyi:
Dadosipun kalangenan dalem ing ngambarbinangun wulan sakban tahun be
sinengkalan tirta haslira sabdaning ratu, HB ping 6. Atas jasanya tersebut maka
Wenschang yang bertempat tinggal di daerah Bintaran (sebelah timur Sungai
Code) tersebut dianugerahi gelar Nayokoprojo dari Hamengku Buwana VI.
Secara administratif Pesanggrahan Ambarbinangun terletak di Dusun
Kalipakis Desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta, berada pada koordinat 110º 20’ 5.10” BT dan 7º 48’ 50.18”
LS dan berada pada ketinggian ± 91 m di atas pemukaan laut. Pesanggrahan
Ambarbinangun berada di atas tanah Kasultanan seluas 53.750 m². Dahulu

Prasasti yang berada di depan Pesanggrahan Ambarbinangun

bangunan Pesanggrahan meliputi Dalem Ageng, Gedong Pecaosan, Kolam,


Bangsal Dahar, Bangsal Panggung, Gedong Papak, Gedong Patehan, tempat
mandi pria, bangunan wc, Pos Penjagaan, Gedong Pangeran, Muta dan Gedogan.
Sebagian besar bangunan tersebut telah mengalami kerusakan bahkan ada yang
sudah tidak tampak lagi seperti bangunan-bangunan seperti Pos Penjagaan,

Jelajah Budaya 2019 3


Gedong Pangeran, Muta dan Gedogan. Pesanggrahan Ambarbinangun terdiri atas
6 (enam) halaman dengan batas tembok pagar. Untuk menghubungkan antara
halaman satu dengan halaman lain dihubungkan dengan batas tembok pagar yang
dilengkapi dengan pintu dan gapura. Pintu gerbang/gapura utama Pesanggrahan
Ambarbinangun berada di sebelah utara.

Pengembangan dan Pemanfaatan Pesanggrahan


Pada masa Hamengku Buwana VII, Pesanggrahan Ambarbinangun
mengalami perbaikan dan perubahan. Perubahan yang terjadi antara lain tempat
mandi para putri yang dikenal dengan nama Gedong Papak diubah bentuk, dari
bentuk kolam bundar dengan bangunan panggung di bagian atasnya menjadi
kamar mandi dan WC segi empat. Selain itu jalan menuju ke Dusun Tempuran
(sebelah barat pesanggrahan) yang semula melalui halaman pesanggrahan
dipindah ke utara, di luar tembok pagar keliling. Hal ini dengan tujuan untuk
meningkatkan keamanan dan memperlancar kendaraan raja keluar-masuk
halaman pesanggrahan.
Dalam masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII, air pengisi kolam
pesanggrahan yang semula berasal dari Kedung Bayem yang terletak satu
kilometer di sebelah utara pesanggrahan diganti air dari sebuah mata air di Dusun
Tempuran, satu kilometer sebelah barat pesanggrahan (sebelah barat Kali Bedog).
Oleh karena ketinggian mata air dan halaman pesanggrahan relatif sama, maka
pengaliran air tersebut dilakukan dengan cara memompa dan mengalirkannya
melalui pipa besi. Penggantian air dilakukan karena air dari Kedung sudah kotor
dan tidal layak dijadikan sumber air pemandian.
Pada masa awal pemerintahan Hamengku Buwana IX, pesanggrahan
ini masih digunakan sebagai tempat pesiraman. Namun pada masa Jepang,
pesanggrahan ini digunakan sebagai pusat latihan Keibodan dan Seinendan.
Selanjutnya pada masa Agresi Militer Belanda II, pesanggrahan ini (terutama di
Gedong Pangeran) digunakan sebagai gudang obat-obatan dan senjata tentara R.I.
Namun karena diketahui oleh Belanda, sehingga gedong tersebut dibakar Tentara
R.I. agar tidak direbut oleh Belanda.
Pada masa awal kemerdekaan, Pesanggrahan Ambarbinangun pernah
digunakan sebagai:
• Kantor pemerintah Kabupaten Bantul (1949 – 1952)
4 Jelajah Budaya 2019
• Kantor pemerintah kapanewon Kasihan (1954-1964).
Selama digunakan sebagai kantor pemerintahan Kapanewon Kasihan,
bangunan ini pernah digunakan sebagai asrama LKPS (Latihan Kemiliteran
Pegawai Sipil).
Mulai 1965 Pesanggrahan Ambarbinangun tersebut diserahkan kembali kepada
hal ini KHP Wahonosartokriyo Kraton Yogyakarta.
Pada 1978 Yayasan GUPPI – DIY mendirikan SMP Mataram di halaman
bekas Gedong Pangeran setelah mendapat izin lokasi dari Hamengku Buwana IX
pada tahun 1977.
Pada 1980 Kraton Yogyakarta memberikan izin kepada Kwartir Cabang
(Kwarcab) Yogyakarta guna mendirikan gedung Lembaga Cabang Pendidikan
Kader Pramuka (Lemcadika) Wiradarma di bekas taman buah-buahan (sisi
barat laut). Tiga tahun kemudian diberikan izin pula kepada Bidang Pembinaan
Generasi Muda Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah
Istimewa Yogyakarta untuk mendirikan gedung Pondok Pemuda di lingkungan
bangunan induk pesanggrahan. Di timur laut dibangun gedung Latihan beladiri
oleh KONI.

Masjid Dongkelan (Masjid Nurul Huda)

Masjid Dongkelan terletak di Kampung Kauman Dongkelan, Desa


Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid Dongkelan
didirikan oleh Kiai Syihabudin I pada masa pemerintahan Sultan Hamengku
Buwono I. Kiai Syihabudin I adalah senopati pengikut Pangeran Mangkubumi.
Kiai Syihabudin menerima tawaran Pangeran Mangkubumi untuk mengusir
Raden Mas Said (kelak Mangkunegara I) dengan imbalan akan diberi kedudukan
sebagai patih.

Kiai Syihabudin akhirnya berhasil mengusir Raden Mas Said dari wilayah
Kasultanan Yogyakarta, namun batal menjadi patih karena suatu hal. Sebagai
gantinya ia diberi tanah perdikan di Dongkelan dan kemudian mendirikan masjid
serta diangkat menjadi abdi dalem Pathok Nagoro. Ia dikenal juga dengan nama
Kiai Dongkol.
Jelajah Budaya 2019 5
Masjid Dongkelan merupakan salah satu dari lima masjid Pathok Nagoro
yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta. Masjid-masjid Pathok Nagoro yaitu
masjid kagungan dalem di wilayah negaragung yang selain berfungsi religius,
juga berfungsi sebagai tempat pertahanan rakyat. Berdasarkan arti kata Pathok
Nagoro, maka masjid-masjid tersebut juga berfungsi sebagai tanda kekuasaan
raja.

Kawasan tempat masjid-masjid tersebut berdiri pada awalnya merupakan


daerah mutihan yang bersifat perdikan (penduduk bebas dari pajak, namun harus
melakukan pekerjaan tertentu). Selain itu, pengelolaan masjid juga diserahkan
kepada suatu kelompok tertentu yang termasuk dalam abdi dalem pamethakan.
Masjid-masjid Pathok Nagoro antara lain sebagai berikut:

1. Masjid Dongkelan; terletak di sisi barat daya kota yaitu di Kauman,


Dongkelan, Tirtonirmolo, Bantul.

2. Masjid Babadan; terletak di sisi timur kota yaitu di Kauman, Babadan,


Banguntapan, Bantul.

3. Masjid Wonokromo: terletak di sisi selatan kota yaitu di Wonokromo, Pleret,


Bantul.

4. Masjid Mlangi: terletak di sisi barat laut kota yaitu di Mlangi, Nogotirto,
Gamping, Sleman.

Masjid Pathok Negoro Dongkelan (Masjid Nurul Huda)

6 Jelajah Budaya 2019


5. Masjid Ploso Kuning: terletak di sisi utara kota yaitu di Ploso Kuning,
Ngaglik, Sleman.

Pada masa Perang Jawa (perlawanan Pangeran Diponegoro), Dongkelan


pernah dijadikan basis kekuatan Pangeran Diponegoro. Hal tersebut
mengakibatkan masjid ini menjadi sasaran perang dan akhirnya dibakar. Setelah
Perang Diponegoro berakhir, masjid dibangun kembali.

Atap Masjid Dongkelan berbentuk tumpang satu dengan mustaka yang


berbentuk gada bersulur. Langit-langit masjid terbagi dalam empat bidang
dengan hiasan padma yang dikelilingi empat pasang tumbak rangkap. Ruang
utama masjid memiliki bentuk persegi panjang dengan ukuran 13 m x 7 m.

Ruang utama masjid memiliki empat buah saka guru yang berdiri di atas
umpak. Mihrab masjid berbentuk semi circular dengan jendela kecil di tengahnya.
Pawestren masjid terletak di sebelah utara bangunan utama. Namun saat ini sudah
tidak digunakan lagi. Bangunan serupa pawestren di sisi selatan digunakan untuk
gudang.

Serambi masjid beratap model limasan dengan 8 buah tiang yang berdiri di
atas umpak berornamen padma ganda. Di sebelah barat masjid terdapat makam.
Di kompleks makam itulah Kiai Syihabudin dimakamkan sekaligus menjadi cikal
bakal Desa Dongkelan. Makam ini terletak dalam sebuah cungkup dan sampai
saat ini masih sering dikunjungi para peziarah.

Panggung Krapyak

Pesanggrahan panggung Krapyak terletak tidak jauh dari Kraton


Yogyakarta kurang lebih 3 km ke arah selatan. Secara administratif situs
ini berada di Desa Krapyak, Kalurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon,
Kabupaten Bantul. Situs Panggung Krapyak ini terletak di tengah-tengah
perempatan jalan.

Bangunan Panggung Krapyak merupakan tempat peninggalan


Kerajaan Mataram Yogyakarta yang dibangun pada masa pemerintahan
Jelajah Budaya 2019 7
Sultan Hamengku Buwana I. Bangunan ini merupakan salah satu fasilitas
bagi keluarga raja apabila berkunjung di tempat berburu binatang, karena
pada saat itu di sekitarnya merupakan kawasan hutan lebat. Bangunan
ini terletak di sebelah selatan (belakang Kraton), dan jika ditarik garis dari
Tugu di sebelah utara ke selatan melalui Kraton merupakan suatu garis
lurus dengan bangunan Panggung Krapyak. Dengan demikian bangunan
panggung ini juga merupakan bagian dari poros atau sumbu filosofis
kraton Yogyakarta.

Ditinjau dari bentuknya, bangunan Panggung Krapyak adalah


suatu gubahan masa tunggal dan mempunyai tampak yang simetris atau
tampak dari keempat sisinya. Bentuk ruang terbagi atas 4 bagian yang
masing-masing bagian sangat erat hubungannya karena hanya dipisahkan
oleh koridor. Lantai bangunan terbagi atas dua bagian yaitu lantai atas
dan lantai bawah yang fungsinya berlainan dan lantai-lantai tersebut
dihubungkan dengan tangga yang terbuat dari kayu.

Bangunan panggung Krapyak dibangun dengan konstruksi batu bata


yang disusun sedemikian rupa dengan menggunakan spesi : kapur, semen
merah dan pasir. Sistem yang dipakai adalah sistem dinding penyangga
(bearing wall). Dinding tersebut dibuat dengan susunan batu bata tebal
135 cm ( ± 4 batu) dan dinding penyekat bagian dalam tebalnya 75 cm

Panggung Krapyak

8 Jelajah Budaya 2019


Foto udara Panggung Krapyak

(± 2 batu). Pertemuan antara dinding penyekat dengan dinding penyekat


lainnya menggunakan pilar atau kolom dari batu bata yang tebalnya 85
cm x 85 cm. Sedangkan konstruksi pondasi juga dibuat dari susunan batu
bata dengan kedalaman mencapai 180 cm dari lantai bangunan dan lebar
penampang pondasi ± 175 cm.

Bentuk konstruksi lainnya adalah konstruksi atap atau lantai II. Atap
ini didukung oleh dinding penyangga bagian luar dan 4 buah pilar dari
dalam. Pilar-pilar tersebut bagian atasnya melengkung ke empat arah
dengan sistem rolak, maka dengan demikian tiap ruangan langit-langitnya
berbentuk cekung sehingga ke empat pilar tersebut menjadi satu kesatuan
struktur atau pilar tersebut berfungsi juga sebagai tiang-tiang penyangga
atap (lantai II).

Dalem Wiranegaran

Pada awalnya bangunan ini digunakan oleh BPH Suryomataram, yaitu


putra ke-55 Sri Sultan Hamengku Buwono VII dari Ibu Retno Mandoyo.
Selanjutnya Dalem ini ditempati oleh BRAy. Condrodiningrat, yaitu putri ke-
15 Sultan Hamengku Buwono VIII dari ibu GBRAy. Srengkarahadiningdiah.
Sejak awal bangunan ini digunakan sebagai tempat tinggal. Sekarang Dalem ini

Jelajah Budaya 2019 9


Dalem Wironegaran

ditempati oleh GKR Pembayun, putri pertama Sultan Hamengku Buwono X,


yang menikah dengan KPH Wironegoro, sehingga Dalem ini juga disebut Dalem
Wiranegaran.

Bangunan ini menghadap ke selatan dan berdenah segi empat. Bangunan


terdiri atas pendapa, pringgitan, rumah induk, dan gandok. Di kanan kiri
bangunan induk terdapat pintu masuk (seketheng). Bangunan pendapa beratap
joglo, sedangkan pada bagian belakang berbentuk limasan serta regol Dalem
menghadap ke arah barat.

Dalem Wiranegaran ditetapkan sebagai Cagar Budaya melalui PM.89/


PW.007/MKP/2011. Dalem Wiranegaran terletak di Jalan Suryomentaraman
Kulon No. 29/30, Dusun Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta.

Dalem Jayadipuran
Dalem Jayadipuran semula bernama Dalem Dipawinata yang dibangun
tahun 1874 oleh Raden Tumenggung Dipawinata, seorang abdi dalem Bupati Anom
di Keraton Yogyakarta. Pada tahun 1917 tanah dan dalem Dipawinata dihadiahkan
kepada KRT Jayadipuran, seorang seniman dan arsitek Keraton Yogyakarta,.
Bangunan tersebut diperbaiki dan diubah bentuknya menjadi seperti yang sekarang
ini, dan akhimya terkenal dengan nama “Dalem Jayadipuran”.

Pada 1928 bangunan ini digunakan sebagai tempat Kongres Wanita I. Pada
1984 Dalem Jayadipuran dibeli oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
10 Jelajah Budaya 2019
Kemudian pada 1986 digunakan untuk Kantor Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional (BKSNT) atau yang sekarang bernama Balai Pelestarian Nilai Budaya
Yogyakarta hingga sekarang.

Bangunan ini bergaya klasik Jawa dengan atap berbentuk limasan menghadap
ke selatan, dengan kondisi lingkungan yang padat penduduk. Tampak depan
bangunan yang relatif tinggi, sehingga terkesan ada pengaruh Eropa. Bangunan
mengikuti pola rumah tradisional Jawa yang terdiri atas beberapa ruangan, yaitu
kuncungan, topengan, pendopo, pringgitan, dalem, sentong, gandok, gadri, dan
bangunan pelengkap lainnya.

Bangunan pendopo mempunyai 22 buah tiang penyangga, berlantai tinggi,


dan dikelilingi dinding kayu (gebyok), sekarang diganti dengan pagar keliling besi.
Bangunan Dalem Jayadipuran telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya melalui
Per.Men Budpar RI No. PM25/PW.007/MKP/2007. Dalem Jayadipuran terletak
di Jalan Brigjen Katamso, No. 139, Keparakan, Mergangsan, Yogyakarta.

Dalem Jayadipuran

Jelajah Budaya 2019 11


A. Syarat Lomba Foto
1. Lomba foto ada dua kategori yaitu

a) Foto Art, objek foto harus Cagar Budaya.

b) Foto Human Interest, objek foto harus Aktivitas Manusia di Sekitar


Cagar Budaya.

2. Lomba bersifat individu.

3. Foto merupakan milik pribadi, orisinil, dan belum pernah diikutsertakan lom-
ba lain.

4. Tidak diperkenankan melakukan editing (brightness, contrast, saturation,


dodge, cropping, colour balance) atau mengubah keaslian foto.

5. Foto diunggah di media sosial instagram masing-masing individu dengan


menandai akun instagram bpcb_diy dan kwarda_diy

6. Foto disertai dengan caption yang menarik dan informatif, serta diberi tanda
tagar #bpcbdiy #jelajahbudaya #generasicerdasberbudaya #pramukadiy
#pramukajogja

7. Peserta lomba wajib mengikuti akun instagram bpcb_diy dan kwarda_diy

8. Peserta lomba hanya diperbolehkan mengirimkan satu foto untuk masing-


masing kategori, yakni satu foto untuk kategori Foto Art dan satu foto untuk
kategori Foto Human interest.

9. Dalam giat prestasi Lomba Foto akan dipilih tiga pemenang untuk masing-
masing kategori, yaitu Juara I, II, dan III kategori Foto Art dan Juara I, II,
dan III kategori Foto Human interest.

10. Keputusan juri bersifat mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.

11. Hak cipta melekat pada peserta dan pemenang, namun BPCB DIY dan
Kwarda DIY berhak mempublikasikan foto yang masuk tanpa harus izin
dari pemilik.

12 Jelajah Budaya 2019


B. Syarat Lomba Menulis Cerita
1. Tema cerita “Pengalamanku Mengikuti Jelajah Budaya”.

2. Karya tulis berbentuk feature (karya jurnalistik dengan gaya bercerita yang
menghibur), bukan dalam bentuk karya ilmiah seperti artikel, makalah dan
paper.

3. Lomba bersifat individu.

4. Karya tulis merupakan milik pribadi, orisinil, dan belum pernah diikutser-
takan lomba lain.

5. Hak cipta melekat pada penulis, namun BPCB DIY dan Kwarda DIY berhak
mempublikasikan karya tulis yang masuk tanpa harus izin dari pemilik.

6. Karya tulis diketik di kertas ukuran A4 huruf Times New Roman, minimal 2
halaman, maksimal 5 halaman, spasi 1,5 dengan ukuran margins: kiri 4 cm,
atas 4cm, kanan 3 cm, dan bawah 3 cm.

7. Karya tulis dapat dikirimkan melalui email bpcbdiy@purbakalayogya.com


dengan disertai Subyek (Lomba Menulis Cerita Jelajah Budaya 2019) dan
identitas diri (Nama lengkap, nama sekolah, dan nomor telepon) atau dikirim
ke Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY, Jalan Yogya - Solo Km. 15 Bogem,
Kalasan, Sleman, Yogyakarta 55571, Telp. (0274) 496019/ 496419.

8. Dalam giat prestasi Lomba Menulis Cerita akan dipilih tiga pemenang, yaitu
Juara I, II, dan III

Catatan:

1. Batas waktu pengiriman karya (foto dan karya tulis) pada tanggal 6 Mei
2019.

2. Pengumuman pemenang lomba pada tanggal 20 Mei 2019.

Jelajah Budaya 2019 13

Anda mungkin juga menyukai