Anda di halaman 1dari 2

Realitas Budaya dalam Karya Sastra

Wulan Puspoari
Universitas Islam Negeri

Judul buku: Tiga Kota


Penulis: Nugroho Notosusanto
Tahun Terbit: 1959
Tebal: 76 halaman

Kebudayaan dan masyarakat adalah ibarat dua sisi mata uang, satu sama lain
tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan yang berasal dari kata sansekerta
buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi akal.
Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan
dengan budi dan akal. Kemudian kebudayaan yang merupakan hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat
istiadat. Mengenai hal ini penulis kumpulan cerpen Tiga Kota ini sangat apik dan
jelas dalam menggambarkan kebudayaan yang ada. Cerpen Mbah Danu
misalnya, seperti dalam teks;

Mbah Danu menegaskan, bahwa orang sakit itu didiami oleh roh-roh jahat; karena itu
satu-satunya untuk menyembuhkan adalah dengan menghalau makhluk yang merugikan
kesehatan itu (halaman 11; teks Mbah Danu)

Dalam hal itu kebudayaan mengenai kepercayaan yaitu anggapan atau


pemikiran masyarakat bahwa orang yang sedang sakit itu berarti sedang didiami
oleh suatu makhluk ini memang benar adanya terjadi di tengah masyarakat kita.
Sehingga muncul istilah dukun yaitu seseorang yang dianggap dapat
mengobati, menolong orang sakit, dengan memberi jampi-jampi (mantra, guna-
guna, dan sebagainya). Masyarakat yang belum tersentuh pengetahuan yang
secara ilmiah ini kemudian yang menjadikan mereka seperti itu selama
berangsur-angsur sehingga menjadi sebuah kebudayaan yang masih melekat
mungkin hingga kini.

Cerpen Tayuban juga menyiratkan hal yang serupa, seperti dalam teks;

Jadi pesta berlangsung dengan meriah diiringi oleh gamelan dan dimeriahkan oleh
minuman keras. Gusti kanjeng bahkan membeli anggur Bordeau yang mahal itu. Tentu saja
hanya untuk sekali minum pada pembukaan pesta. Selanjutnya yang dihidangkan brandy dan
ciu. Dan ketika sudah agak malam, dimulailah tayuban. Para priyayi mengelilingi joget-joget
yang menari-nari di tengah-tengah gelanggang ditingkah irama gamelan yang keras dan
nyaring. Dan minuman keras terus diedarkan. (Halaman 25; teks Tayuban)

Dalam hal ini kebudayaan dari segi kesenian yaitu tayuban yang ada
dimasyarakat ini memang benar adanya terjadi di tengah masyarakat kita
terlebih dimasyarakat jawa. Tayuban yang merupakan tarian yang dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan diiringi gamelan dan tembang yang biasanya untuk
meramaikan pesta (perkawinan dan sebagainya). Kebudayaan tayuban ini yang
biasanya berakhir sampai pada ranjang ini memang sudah dianggap sebagai hal
yang lumrah pada masa itu, mungkin sampai sekarang. Karena hal ini sering
dilakukan berulangkali sehingga menjadi sebuah kebiasaan atau tradisi bagi
masyarakat setempat.

Sehingga sastra yang sebagain besar dianggap sebagai tiruan dari kehidupan
atau meniru dunia subjektif manusia, dan melalui karya Nugroho Notosusanto ini
karya sastra menjadi sebuah alat untuk menyapa masyarakat luas atau
pembacanya untuk menjelaskan kebudayaan-kebudayaan yang ada sebenarnya
di sekitar kita.

Anda mungkin juga menyukai