Anda di halaman 1dari 23

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan

5.1.1 Pengamatan Eksternal Telur

Pada praktikum ini, bahan yang digunakan ialah telur ayam potong, telur
ayam kampong, telur bebek, dan telur puyuh. Langkah pertama yang dilakukan
adalah mengambil satu buah telur dari masing-masing bahan. Setelah itu,
dilakukan pengamatan pada ukuran (berat), warna cangkang, kebersihan
cangkang, ketebalan cangkang menggunakan jangka sorong, dan ukuran
rongga udara dengan diteropong menggunakan senter. Perlakuan ini, berfungsi
untuk mengetahui kualitas dari telur supaya tetap segar mulai dari produsen
sampai kepada konsumen.

5.1.2 Pengamatan Internal Telur

a. Pengukuran Diameter dan Tinggi Putih Telur dan Kuning Telur

Pada praktikum pengujian kualitas internal telur , bahan yang digunakan


adalah satu butir telur, sedangkan alat yang digunakan adalah ubin sebagai alas
atau tempat isi telur dan penggaris yang digunakan untuk mengukur tinggi
permukaan telur dan diameter telur. Langkah awal pada praktikum ini adalah
memecahankan telur di atas ubin yang telah di sediakan. Kemudian telur di
ukur tingginya dengan menggunakan penggaris, lalu dicatat hasilnya. Setelah
itu telur diukur diameternya yang paling utama di ukur kuning telur dan bagian
cembung putih telur dekat dengan kuning telur. Kemudian dipisahkan antara
kuning telur dari putih telur.Lalu kuning telur diukur tingginya dan
diameternya, kemudian dicatat hasilnya.

b. Indeks Putih Telur dan Kuning Telur

Pada praktikum uji indeks telur ini, dibutuhkan bahan berupa satu butir
telur. Selanjutnya, diukur tinggi dari putih dan kuning telur, catat hasil yang
didapat. Lalu, ukur diameter rata-rata dari putih dan kuning telur, catat hasil
yang didapatkan. Langkah terakhir yaitu menghitung indeks putih dan kuning
telur dengan rumus = h : d untuk indeks kuning telur dan = h : d untuk
indeks putih telur. Nilai indeks kuning telur (yolk index) digunakan untuk
mengetahui kekentalan kuning telur dengan cara mengukur tinggi kuning telur
(mm) dengan jangka sorong dan mengukur diameter kuning telur (mm)

c. Pengukuran pH Putih Telur dan Kuning Telur

Pada praktikum pengukuran pH, bahan yang digunakan ialah putih telur
dan kuning telur. Kemudian, putih telur dan kuning telur tersebut dipisahkan
dan diletakkan dalam wadah terpisah agar dapat diukur pH masing-masing dan
tidak saling mengontaminasi. Kemudian persiapkan pH meter yang
sebelumnya telah di rendam ke dalam aquades agar pH meter dalam keadaan
netral. Setelah itu masukkan ujung pointer pH meter ke dalam kuning telur,
tunggu beberapa saat hingga pH meter menunjukan angka dan dicatat untuk
mengetahui perbedaan pH kuning telur. Setelah selesai celupkan dan
goyangkan pointer dari pH meter ke dalam aquades agar sisa kuning telur
hilang dan pH kembali netral. Kemudian celupkan ke dalam putih telur dan
tunggu beberapa saat hingga angka muncul kemudian dicatat dan diamati hasil
pH putih telur.

d. Pengukuran BJ Putih Telur

Pada praktikum pengukuran berat jenis putih telur dibutuhkan satu butir
telur yang telah dipisahkan antara putih dan kuningnya. Setelah itu, masukkan
bagian putih telur kedalam gelas ukur, catat hasil yang didapatkan sebagai
volume dari putih telur. Selanjutnya, lakukan penimbangan pada putih telur
dengan neraca massa, catat hasil yang didapatkan sebagai massa dari putih
telur. Langkah terakhir setelah mendapatkan semua data, dilakukan
perhitungan berat jenis dari putih telur dengan rumus BJ = W : V
e. Pengukuran Haugh Unit (HU)

Pada praktikum ini digunakan bahan berupa telur yang masih utuh dan alat
alat yang digukan adalah neraca analisis berat untuk menimbang telur dan
penggaris untuk mengukur rongga udara dalam cangkang telur. Praktikum ini
diawali dengan penimbangan berat telur menggunakan neraca analisis dengan
cara menaruh telur di atas neraca dan tunggu hingga neraca menunjukan angka
yang stabil kemudian dicatat hasilnya. Setelah itu diukur tinggi dari rongga
udara pada cangkang telur dagar lebih terlihat dilakukakn penyinaran telur
dengan cara memberi cahaya pada bagian bawah telur. Kemudian dicari rongga
udara telur yang biasanya terletak pada bagian condong telur yang apabila
disinari akan berwarna lebih terang. Jika sudah menemukan rongga udara pada
telur ,dilakukan pengukuran tinggi rongga udara dan dilakukan perhitungan
Haugh unit. Nilai HU (Haugh Unit) digunakan untuk mengetahui kekentalan
telur yang ditentukan berdasarkan hubungan logaritma tinggi albumen (mm)
dengan berat telur (g)

5.1.3 Pengamatan Sifat Fungsional Telur

a. Prosedur Pengamatan Telur Sebagai Emulsifier

Pada praktikum pengamatan telur sebagai emulsifier, hal yang perlu di


lakukan adalah menyiapkan 3 buah tabung reaksi dan 2 butir telur yang salah
satu telurnya telah dipisahkan antara kuning dan putihnya. Selanjutnya,
tambahkan 1 ml minyak goreng kedalam tabung reaksi, kemudian kocok-kocok
hingga homogen dan diamati perubahan yang terjadi. Pada tabung reaksi 1
dimasukkan 1 ml kuning telur, pada tabung reaksi 2 dimasukkan 1 ml telur dan
pada tabung reaksi 3 dimasukkan 1 ml telur utuh. Langkah selanjutnya,
digetarkan dengan alat penggetar selama 5 menit masing-masing tabung reaksi.

b. Prosuder Pengamatan Telur Sebagai clarifiying agent

Pada perlakuan pengamatan telur sebagai clarifiying agent, langkah yang


harus dilakukan pertama yaitu menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan.
Selanjutnya mengambil air dengan ukuran 100 ml dan teh. Kemudian
dilakukan pendidihan air dan teh sampai tercampur secara homogen. Teh yang
telah mendidih dimasukkan kedalam 3 beaker glass untuk 3 perlakuan.
Perlakuan yang pertama yaitu dengan menambahkan 5 ml putih telur kedalam
teh. Perlakuan kedua yaitu dengan menambahkan 5 ml kuning telur kedalam
teh. Dan perlakuan ketiga yaitu dengan menambahkan 5 ml telur yang telah
tercampur putih dan kuningnya. Perbedaan perlakuan tersebut dilakukan untuk
mengetahui telur sebagai clarifiying yang baik pada salah satu komponen telur
atau pada campuran komponen telur. Langkah terakhir yaitu dilakukan
pengamatan pada ketiga perlakuan tersebut.

c. Prosedur Pengamatan Telur Sebagai pembentuk busa

Pada perlakuan pengamatan telur sebagai pembentuk busa, yang harus


dilakukan pertama yaitu menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan. Setelah
itu langkah selanjutnya yaitu mengambil 2 butir telur sebagai sampel A, B,
dan C. Untuk telur A diberi perlakuan dengan cara pemisahan bagian putih dan
kuningnya. Pada sampel telur B diberi perlakuan dengan pemecahan yang
kemudian ditempatkan dalam wadah. Dan pada sampel telur C diberi perlakuan
pada pengocokan kuning telur. Perbedaan pada pemberian perlakuan tersebut
dilakukan untuk mengetahui pembentukan busa yang baik pada salah satu
komponen telur (putih atau kuning telur) atau pada campuran putih dan kuning
telur. Selanjutnya dilakukan pengukuran volume putih telur pada sampel telur
A (Va1). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ukuran volume
putih telur sebelum diberi perlakuan. Pada sampel B dilakukan pengukuran
pengukuran volume telur (Vb1).pada sampel C dilakukan pengukuran volume
telur (Vc1). Sampel telur A, B, dan C kemudian di kocok selama 5 menit untuk
menghasilkan buih atau busa. Setelah pengocokan selesai, langkah terakhir
yaitu dilakukan pengamatan pada setiap sampel. pengamatan terutama
dilakukan pada volume maka akan diketahui pembentuk busa atau buih
terbanyak terdapat pada sampel A, B, atau C.
5.1.4 Pengamatan Karakteristik Berbagai Jenis Susu

Pada praktikum ini, disiapkan beberapa jenis susu, yaitu susu segar, susu
sterilisasi (UHT), susu kental manis, susu bubuk full cream, susu bubuk skim,
dan yogurt. Pertama-tama mempersiapkan maisng-masing sampel ke dalam
gelas beaker. Kemudian, untuk susu bubuk full cream dan susu bubuk skim
terlebih dahulu dihomogenkan dengan menggunakan air panas sesuai dengan
petunjuk pemakaian. Hal ini dilakukan untuk memperoleh sampel dengan
standar yang sama. Setelah itu, dilakukan pengamatan warna, aroma, kekentalan,
dan cita rasa dari masing-masing sample susu. Selanjutnya, membandingkan
sampel masing-masing sampel. Hal ini digunakan untuk mengetahui perbedaan
yang ada pada setiap sample. Setelah itu, dilakukan pencatatan. Kemudian, data
yang diperloleh dimasukkan tabel yang telah dibuat.

5.1.5 Pengamatan pH pada susu

Pada praktikum pengamatan pH susu, bahan yang digunakan adalah susu


segar, susu sterilisasi (UHT), susu kental manis, susu bubuk full cream, susu
bubuk skim, dan yogurt. Lalu, alat yang digunakan adalah pH meter, dan gelas
beaker. Pertama-tama, sampel disiapkan dan dimasukkan ke dalam gelas beaker
sejumlah 250 ml. Lalu, pH meter dimasukkan ke dalam sampel untuk
mengetahui derajat keasaman sampel. pH meter yang digunakan ada dua jenis,
yaitu pH meter digital dan pH meter universal. Hal ini digunakan untuk lebih
mengetahui nilai presisi dari kedua alat tersebut. Selain itu, perbedaan tersebut
juga menunjukkan keasaman masing-masing sampel. Hal yang perlu
diperhatikan dalam pengukuran menggunakan pH meter digital yaitu
mencelupkan ke dalam air ketika akan berganti sampel agar hasilnya akurat dan
presisi.

5.1.6 Pengamatan Uji Alkohol

Pada praktikum ini, pertama-tama yaitu menyiapkan tabung reaksi.


Kemudian, menuangkan masing-masing sampel ke dalam tabung reaksi
sebanyak 5 ml menggunakan gelas ukur agar volume yang dituangkan ke dalam
tabung reaksi dapat akurat Kemudian, menambahkan alkohol 70% ke dalam
masing-masing tabung di dalam tabung reaksi sebanyak 5 ml menggunakan
gelas ukur. Hal ini dilakukan agar penambahan alkohol pada setiap sampel
akurat. Selain itu, penambahan alkohol 70% bertujuan untuk mengetahui apakah
kondisi susu masih bagus atau sudah rusak. Langkah berikutnya, menggoyang-
goyangkan atau mengocok tabung reaksi sehingga terjadi pencampuran yang
merata antara susu dan alkohol. Selanjutnya, mengamati perubahan yang terjadi,
apakah terjadi pengendapan atau tidak. Langkah terakhir, mencatat hasil
pengamatan.

5.1.7 Pengamatan Pengaruh Enzim terhadap Susu

Pada praktikum ini, pertama-tama yaitu menyiapkan gelas beaker


sejumlah sampel ditambahkan 2 untuk ekstrak nanas tanpa pemanasan dan
ekstrak nanas yang dipanaskan. Selanjutnya menuangkan setiap sampel ke
dalam gelas beaker menggunakan gelas ukur agar diperoleh sampel yang akurat,
masing-masing sampel dua gelas beaker. Kemudian memberi label A untuk
sampel yang akan ditambahkan ekstrak nanas tanpa pemanasan dan B untuk
sampel yang ditambahkan ekstrak nanas dengan pemanasan. Tujuan dari
penambahan ekstrak nanas ini, yaitu untukmengetahui pengaruh penambahan
enzim terhadap susu. Apakah susu akan rusak atau tidak. Selanjutya, fungsi dari
perbedaan penambahan ekstrak nans tanpa pemanasan dan dipanaskan yaitu
untuk mengetahui seberapa banyak pengaruh kerusakan susu dengan kedua
perlakuan tersebut. Selanjutnya, mengocok atau menggoyang-goyangkan gelas
beaker yang telah ditambahkan ekstrak nanas panas atau tanpa pemanasan agar
menjadi homogen. Setelah itu, didiamkan selama 5 menit. Lalu, mencatat
perubahan yang terjadi.
5.2 Analisa Data

5.2.1. Karakteristik Susu dan Produk Olahannya.

a. Warna
Pada pengujian karakteristik warna praktikum susu kali ini, diperoleh
urutan warna dari yang paling putih yaitu susu segar, susu rebus, susu UHT, susu
bubu full cream, yogurt, susu kental manis, dan susu bubuk skim. Ciri dari susu
yang baik adalah bewarna putih hingga putih kekuningan. Ciri khas susu yang
baik dan normal adalah susu tersebut terdiri dari konversi warna kolostrum yang
berwarna kuning dengan warna air susu yaitu putih. Jadi susu yang normal
berwarna putih kekuning-kuningan. Kriteria lainnya adalah jika berwarna biru
maka susu telah tercampur air, jika berwarna kuning maka susu mengandung
karoten, dan jika berwarna merah maka susu tercampur dengan darah (Yusuf
2010). Pada susu segar, warna susu putih kebiru-biruan disebabkan oleh
pemantulan cahaya oleh globula lemak yang terdispersi, kalsium kaseinat, dan
koloidal.

Pada susu bubuk skim, susu yang lemaknya telah dihilangkan atau yang
kadar lemaknya rendah warna kebiru-biruan lebih nampak. Warna karoten yang
menyebabkan warna kuning susu, pada hewan yang memproduksi yang berwarna
kuning pada susu juga mempunyai warna yang sangat tinggi dalam lemak. Lalu,
pada susu full cream, Lactochrome atau ribovlafin terdapat pada larutan susu
terlihat pada whey yang memperlihatkan warna kehijau-hijauan, pada susu normal
warna ini tertutup oleh unsur susu (Muchtadi, dkk., 2010).

Dari perbedaan warna susu tersebut, warna susu kadangkala berbeda. Hal
itu tidak berbahaya. Hal ini dikarenakan perubahan warna tersebut sesuai dengan
standar yaitu warna putih kebiruan dampai dengan kuning kecoklatan. Warna
tersebut berasal dari penyebaran koloid lemak dan adanya karoten dan riboflavin
(B2) (Mudjajanto. 2007)

Perbedaan warna pada susu terjadi karena perbedaan kandungan kasein di


dalam protein pada susu dan pigmen yang terlarut dalam lemak maupun pigmen
yang larut dalam air. Warna susu segar cenderung putih pucat sedangkan susu
pasteurisasi berwarna putih tulang, pada dasarnya dua susu tersebut adalah dua
susu yang sama, namun susu pasteurisasi diberi parlakuan berupa pemanasan
sekitar 72oC selama 15 menit, Teknik ini menghindarkan terjadinya caramelized
flavour/cooking flavour (Sawitri et al., 2010). Salah satu faktor pemberi warna
pada susu adalah kasein yang merupakan senyawa dari protein, di sisi lain protein
adalah zat yang dapat terdenaturasi oleh suhu yang panas. Maka ketika susu
dipanaskan maka senyawa protein yaitu kasein yang terkandung di dalamnya
dapat terdenaturasi, hal itu yang menyebabkan warna dari susu pasteurisasi dan
susu segar berbeda. Susu segar cenderung lebih pucat karena protein yang
terkandung belum terdenaturasi sedangkan susu pasteurisasi warnanya menjadi
sedikit berbeda dari susu segar. penyebab perubahan warna pada susu UHT juga
dikarenakan oleh proses pengolahan yang berupa pemanasan dengan temperatur
tinggi yaitu 135o sampai 150 C selama 2-3 detik. Susu bubuk full cream
memiliki warna putih kekuningan, hal itu dikarenakan susu full cream diolah dan
diberikan tambahan lemak sebagai penguat flavor, lemak inilah yang juga
menyebabkan warna susu full cream sedikit lebih kuning.

b. Aroma

Pada pegujan organoleptik, aroma susu dan produk olahannya. Dapat


dketahui aroma paling khas adalah susu segar, diikuti dengan susu UHT, yogurt,
susu full cream, susu rebus, susu bubuk skim, dan susu kental manis. Kriteria bau
pada susu jika berbau spesifik susu maka bau susu normal, jika berbau busuk
maka sapi terindikasi terkena mastitis, jika berbau masam maka susu telah
membusuk, dan jika berbau silase atau lobak maka susu tercemar pakan. (Yusuf.
2010). Pada susu segar bau yang khas ambing sapi, sedangkan pada susu kental
manis aroma khas yaitu sukrosa. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa aroma khas
dari susu kental manis dihasilkan oleh aroma sukrosa sebagai zat yang
ditambahkan dalam susu kental manis. Dalam pengolahannya susu kental manis
diberi falvor sintesis yang berguna dalam menciptakan cita-rasa dan aroma. Selain
itu, aroma khas pada yogurt yang masih terasa meski telah terfermentasi juga
sesuai dengan literatur. Menurut Yusuf (2010) aroma khas asam laktosa masih
tercium dalam produk olahan susu yogurt karena produksinya bertambah. Lalu,
pada susu bubuk skim, aroma yang tercium adalah whey protein, yang
menyebabkan pengurungan aroma khas susu. Aroma susu bubuk skim kurang
pekat tercium karena susu skim adalah susu yang kadar lemaknya dihilangkan
sehingga aroma susu tersebut juga berkurang. Susu bubuk full cream memiliki
aroma yang lebih pekat karena susu bubuk full cream dengan penambahan lemak
sehingga flavor yang didapatkan lebih pekat dibanding susu lain. Aroma dan rasa
pada susupun berbeda-beda hal yang membuat flavor pada setiap jenis susu
berbeda adalah lemak. Selanjutnya, pada susu UHT bau amis yang tedapat sudah
sedikit menghilang karena lemak yang terdapat di dalam susu tersebut sudah
terurai oleh panas dalam proses pengolahan.

c. Kekentalan

Pada pengujian kekentalan secara organoleptik diperoleh hasil paling


kental pada susu bubuk full cream, susu UHT, susu kental manis, yogurt, susu
rebus, susu segar serta susus bubuk skim. Kekentalan/viskositas pada susu salah
satu faktor yang mempengaruhi adalah pemanasan pada susu, maka dari itu
penyebab kekentalan pada susu UHT adalah pemanasan susu, karena pengolagan
susu UHT yang merupakan pemanasan pada susu. Berbeda dengan susu UHT,
penyebab kekentalan pada susu kental manis adalah penambahan sukrosa atau
gula tebu, hal itu menyebabkan viskositas susu kental manis menjadi tinggi.
Sedangkan pada susu bubuk full cream, penambahan lemak menyebabkan
viskositasnya lebih tinggi. Karena dalam pengolahannya, susu bubuk full krim
ditambahkan lemak sehingga berpengaruh terhadap viskositasnya. Lalu, pada susu
rebus dan segar, kandungan lemak masih normal sehingga tidak terlalu memiliki
kekentalan yang tinggi. Selanjutnya, pada susu bubuk skim, kandungan lemaknya
sangat sedikit bahkan hampir tidak ada. Hal ini mengakibatkan susu bubuk skim
memiliki nilai viskositas yang rendah. Selain itu, homogenisasi dapat
meningkatkan susu penuh, tetapi menurunkan viskositas susu skim. Hal ini
disebabkan karena homogenisasi menyebabkan globula lemak menjadi kecil,
sehingga mempunyai luas permukaan yang lebih besar. Luas permukaan yang
lebih besar menyebabkan lapisan film protein yang terserap pada permukaan
globul lemak lebih banyak, sehingga viskositas menurun (Muchtadi, 2011).

d. Cita rasa

Pada praktikum ini, pengujian rasa dilakukan dengan cara mencicipi


masing-masing sampel. Selanjutnya, hasil yang didapatkan dari pengujian cita
rasa yaitu susu segar dan susu rebus memiliki cita rasa paling enak dan khas,
disusul dengan susu UHT dan susu bubuk full cream, dan susu kental manis,
yogurt, serta susu bubuk skim. Hal ini, sesuai dengan literatur yang menyebutkan
cita rasa dari susu segar dan susu rebus berkaitan dengan tingginya kadar laktosa
dan kadar klorida yang rendah (Muchtadi, 2011). Adanya laktosa, yang
memberikan rasa agak manis. Kemudian cita rasa pada yogurt adalah fermentasi
susu dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus
thermophilus. Kedua bakteri tersebut akan menguraikan laktosa (gula susu)
menjadi asam laktat dan berbagai komponen aroma dan citarasa. Sehingga aroma
yang dihasilkan berbeda dari aroma khas susu. Namun, proses fermentasi tersebut
tidak merusak susu tetapi lebih memberikan dampak umur simpan yang lebih
lama. Akibat terbentuknya asam laktat dan hasil metabolit BAL pada proses
fermentasi akan berpengaruh terhadap citarasa dari yogurt (Winarno, 2007).
Kemudian untuk susu bubuk skim, cita rasa dari whey sangat terasa karena susu
bubuk skim telah dihilangkan lemaknya sehingga rasa khas volatile dari lemak
yang terkandung dalam susu juga ikut berkurang.

5.2.2. Pengukuran pH

Pengamatan selanjutnya adalah pengamatan pH susu. Sampel susu,


dimasukkan satu kertas indikator pH stik. Setelah beberapa saat, indikator pH stik
diangkat dan kemudian dicocokkan dengan pH meter. Didapatkan bahwa susu
segar memiliki pH 6 sedangkan dengan pH meter menunjukkan angka 6,4. Jika
berdasarkan SNI 01-3141-1998, rataan pH susu adalah sekitar 6-7. Ini juga
menggambarkan bahwa rataan pH susu cenderung normal. Normalnya pH pada
susu dapat disebabkan karena adanya kasein, buffer, fosfat dan sitrat, secara
terbatas karena adanya albumin, globulin, dan CO2. Selain itu, kenaikan dan
penurunan pH ditimbulkan dari hasil konversi laktosa menjadi asam laktat oleh
mikroorganisme aktivitas enzimatik (Saleh, 2004). Hal ini juga sesuai dengan
hasil pengukuran pH pada susu rebus, susu full cream, susu kental manis, dan
susu UHT.

Sedangkan pada yogurt, ph dikur menggunakan kertas ph menunjukkan


pH 5 dan menggunakan pH meter menjukkan derajat keasaman 5,9. Selama
proses fermentasi, perubahan total BAL, pH dan keasaman dapat terjadi. Selama
proses fermentasi, laktosa diubah oleh bakteri asam laktat menjadi asam laktat.
Semakin besar gula yang dimanfaatkan untuk menghasilkan asam laktat maka
semakin besar aktivitas BAL (Winarno. 2007). Selain itu, asam laktat yang
dihasilkan selama proses fermentasi dapat meningkatkan keasaman atau
menurunkan pHnya.

5.2.3. Pengaruh Alkohol terhadap Susu

Pengujian terhadap kualitas susu dapat dilakukan dengan menguju struktur


dan karakteristiknya. Salah satu pengujian yang dapat dilakukan adalah uji
alkohol. Uji alkohol dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa derajat keasaman
susu dengan cara tetrimetri dan untuk mengetaui kualitas susu. Apabila susu
menunjukkan hasil negatif pada pengujian alkohol, maka dapat dinyatakan susu
dalam keadaan baik dan layak untuk dikonsumsi. Sebaliknya, apabila susu pecah
atau menggumpal, maka susu menunjukkan kualitas yang tidak baik dan tidak
dapat dikonsumsi. Menurut Buckle et al., (1997) uji alkohol bertuhuan untuk
memeriksa tingkat keasaman susu. Susu yang mengandung keasaman 0,21% akan
terkoagulan dengan penambahan alkohol 70%. Dengan demikian, apabila uji
alkohol menunjukan hasil positif setelah penambahan alkohol 70% sehingga susu
terkoagulan maka susu dalam keadaan tidak baik.

Prinsip dari uji alkohol adalah sebagai berikut: alkohol memiliki daya
dehidrasi yang akan menarik gugus H+ dari ikatan mantel air protein, sehingga
protein dapat melekat satu dengan yang lain akibatnya kestabilan protein yang
dinamakan susu pecah (Sudarwanto et al., 2005). Uji alkohol adalah uji yang
cepat dan sederhana yang merupakan dasar dalam kestabilan protein ketika
jumlah asam bertambah dalam susu.

Pada praktikum yang telah dilakukan, hasil uji alkohol terhdap susu dan
berbagai jenis olahannya menunjukkan hasil sebagai berikut. Pengujian terhadap
susu segar dan yogurt bernilai positif. Hal ini berarti, setelah ditambahkan alkohol
70% sebanyak 5 ml, terjadi penggumpalan dan pecah susu pada kedua produk
susu tersebut. Sedangkan, perlakuan penambahan alkohol bernilai negatif
terhadap susu rebus, susu skim, susu full cream, susu kental manis, dan susu
UHT.

Apabila dikaitkan dengan literatur, penggumpalan susu setelah


ditambahkan alkohol 70% menunjukkan kualitas susu segar dan yogurt adalah
buruk. Bahan baku yoghurt meskipun telah mengalami pengolahan terlebih
dahulu, akan tetapi dalam kenyataannya masih mudah mengalami kerusakan
sehingga tidak dapat dikonsumsi dalam waktu lama. Menurut SNI 01.2981.1992,
yogurt adalah produk yang diperoleh dari susu yang dipasteurisasi kemudian
difermentasi dengan menggunakan bakteri tertentu sampai diperoleh bau dan rasa
yang khas dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan.

Menurut Tammie dan Robinson (1989) dalam Sumardikan (2007),


kerusakan yang terjadi pada yoghurt antara lain timbulnya sineresis, tingkat
viskositas yang rendah, penurunan terhadap daya ikat air dan citarasa menjadi
hambar. Kerusakan yoghurt dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya
yaitu kurangnya proses pemanasan atau homogenisasi susu, terlalu rendahnya
suhu inkubasi, tidak adanya bahan penstabil dan terkontaminasi oleh
mikroorganisme (Kalab, 2000). Menurut Amatayakul (2006), produk olah susu
sering terkontaminasi oleh Pseudomonas flourescens, Kluyvero-mycetes fragillis,
Kluyveromycetes lactis dan Saccharomyces cerevisiae. Jenis-jenis kontaminan
tersebut dapat mengakibatkan kerusakan produk olah susu, sehingga tidak dapat
dikonsumsi dalam waktu yang lama.

Bakteri psikrotrofik adalah bakteri yang mampu tumbuh pada suhu 5oC,
65-70% terdapat pada susu mentah, besifat fakultatif anaerob, umumnya termasuk
Gram negatif dan berbentuk batang. Menurut Loralyn et al. (2009), jenis bakteri
psikotrof yang terdapat dalam produk olah susu pasteurisasi dan menimbulkan
kerusakan adalah Psedomonas., Bacillus cereus, Proteus, Bacillus pumilus,
Bacillus circulans, Clostridium dan Serratia, namun yang paling dominan adalah
Pseudomonas flourescens. Wardhani (2004) menyatakan bahwa proses
pasteurisasi pada dasarnya mampu membunuh bakteri psikotrof termolabil namun
pada proses pasca pasteurisasi akan terjadi rekontaminasi oleh P. flourescens.
Dikatakan selanjutnya bahwa P. flourescens mempunyai 2 karakterisitik penting
yaitu mampu tumbuh pada suhu 3-7oC dan dapat menghidrolisis protein dan lipid
untuk pertumbuhannya. Kerusakan produk olah susu oleh P. flourescens
disebabkan oleh adanya aktivitas protease yang dihasilkan oleh bakteri tersebut,
sehingga mengakibatkan perubahan secara biokimiawi dan mikrobiologi pada
protein dan senyawa volatile susu (Lukman. 2009). Menurut Sumardjo (2009),
kerusakan susu terjadi karena adanya degradasi kasein susu oleh protease menjadi
asam amino, sehingga menyebabkan susu menjadi pecah, citarasa susu menjadi
hambar dan tidak tahan lama untuk dikonsumsi.

Pendapat lain menyatakan, kerusakan yang terjadi pada yogurt pada


umumnya disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme, khususnya kapang dan
khamir yang relatif tahan terhadap asam. Koliforms biasanya dapat diinaktivasi
oleh pH yang rendah serta terbentuknya zat antibiotik dari kultur starter. Namun
keberadaannya dapat dijadikan sebagai indikator sanitasi (Muray. 2009).
Kluyveromycetes fragillis, Kluyveromycetes lactis, dan Saccharomyces cerevisiae
merupakan jenis khamir yang sering mengkontaminasi yoghurt. Selain itu, dari
jenis bakteri yang merusak yoghurt adalah Pseudomonas fluorescens.
Pertumbuhannya diindikasikan dengan timbulnya gas dan bau alkohol (Varma.
2001).
5.2.4.Pengaruh Enzim terhadap Susu

Susu merupakan bahan pangan yang tersusun oleh zat zat makanan
dengan proporsi yang seimbang seperti air, protein, lemak, hidat arang, mineral,
dan vitamin. Usaha pengolahan susu merupakan penganekaragaman produk yang
mempunyai nilai tambah dan masa simpan yang lebih lama. Susu mengandung
protein berupa kasein yang dapat mengalami penggumpalan. Penggumpalan susu
dalam proses pembuatan tahu susu dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara
lain dengan asam, enzim proteolitik, dan alkohol serta dapat dipercepat dengan
pemanasan

Enzim bromelin merupakan suatu enzim endopeptidase yang mempunyai


gugus sulfihidril pada pusat aktifnya. Pada dasarnya enzim ini diperoleh dari
jaringan-jaringan tanaman nanas (Ananas sativus), famili Bromeliaceae
(Supartono. 2004). Penelitian bromelin telah banyak dilakukan. Supartono (2004)
menemukan bahwa enzim protease buah nanas merupakan endopeptidase netral
termostabil, aktivitas optimum ditunjukkan pada pH 7,5 dan suhu 70 C dengan
waktu inkubasi 40 menit serta kandungan enzim lebih banyak di bagian daging
buahnya dibandingkan pada 3 bagian batangnya sedangkan Herdyastuti (2006)
menemukan kandungan enzim bromelin lebih banyak terdapat pada bagian batang
nanas.

Pengujian susu terhadap pengaruh enzim bromelin yang didapatkan dari


nanas dengan perbedaan perlakuan nanas tanpa pamanasan dan dengan
pemanasan memiliki tujuan untuk mengetahui pengaruh kerja enzim pada suhu
ruang dan suhu yang telat dipanaskan hingga mendidih.

Hasil praktikum pengujian susu dengan penambahan nanas tanpa


pemanasan pada tabung A, pada setiap susu menunjukkan nilai negatif. Artinya,
enzim bromelin yang telah dipanaskan tidak berpengaruh terhadap susu.
Sedangkan pada tabung B, dengan penambahan nanas tanpa pemanasan
menunjukkan nilai positif pada susu segar, susu rebus, susu UHT, susu full cream,
dan yogurt. Sedangkan, menunjukkan nilai negatif pada susu skim dan susu kental
manis.

Hasil yang didapatkan pada praktikum produk susu mengalami


penggumpalan setelah ditambahkan enzim bromelin dari buah nanas. Hal ini
sesuai dengan literatur yang menyatakan enzim bromelin adalah salah satu enzim
proteolitik atau protease yaitu enzim yang mengkatalisasi penguraian protein
menjadi asam amino dengan membangun blok melalui reaksi hidrolisis. Hidrolisis
(hidro=air; lysis=mengendurkan atau gangguan/uraian) adalah penguraian dari
molekul besar menjadi unit yang lebih kecil dengan kombinasi air. Dalam
pencernaan protein, 5 6 ikatan peptide terputus dengan penyisipan komponen air, -
H dan -OH, pada rantai akhir (William et al. 2002). Lalu, penggumpalan hanya
terjadi pada tabung B, dimana tabung B adalah enzim bromelin tanpa pemanasan.
Sedangkan tabung A merupakan enzim bromelin dengan pemanasan. Selanjutnya,
pada tabung A tidak terjadi penggumpalan pada setiap produk susu. Hal ini sesuai
dengan literatur yang menyatakan suhu optimum kerja enzim bromelin adalah
70oC. Dimana faktor penghambat kerja enzim salah satunya adalah suhu. Semua
enzim membutuhkan suhu yang cocok agar dapat bekerja dengan biak. Laju reaksi
biokimia meningkat seiring kenaikan suhu. Hal ini karena panas meningkatkan
energi kinetik dari molekul sehingga menyebabkan jumlah tabrakan diantara
molekul-molekul meningkat. Sedangkan dalam kondisi suhu rendah, reaksi
menjadi lambat karena hanya terdapat sedikit kontak antara substrat dan enzim.
Namun, suhu yang ekstrim juga tidak baik untuk enzim(Amalia dan Nawfa.
2010). Selain itu, pendapat lain menyatakan enzim akan terdenaturasi apabila
pemanasan melebihi suhu optimum(Richardson. 2002). Hal tersebut sesuai
dengan perlakuan enzim bromelin dari ekstrak nanas yang dipanaskan hingga
mendidih melebihi suhu optimumnya.
5.2.5 pengamatan karakteristik telur beberapa spesies ternak

a. berat

Pada praktikum ini, jenis-jenis telur yang digunakan yaitu telur ayam
potong (ras), ayam kampong, telur puyuh, dan telur bebek. Dari masing-masing
telur diperoleh berat secara berturut-turut 56 g, 43 g, 10 g, dan 58 g. Perbedaan
berat pada masing-masing telur dipengaruhi oleh Bobot telur dipengaruhi oleh
faktor gentik terutama keturunan, umur pertamakali bertelur, umur ayam ransum
yang dikonsumsi dalam jumlah dan kualitas, serta lingkungan termasuk
manajemen pemeliharaannya. Faktor umur ayam berperan penting dalam
menetukan bobot telur yang diproduksinya. Pakan yang sesuia hidup fungsional
untuk unggas terpenuhi maka hasil produksinya akan meningkat.
Bobot telur pada setiap unggas berbeda-beda. Telur ayam, itik dan puyuh
pada umumnya mempunyai berat 55, 75 dan 10 gram. Faktor yang mempengaruhi
bobot telur yaitu peneluran dan faktor genetik. Faktor genetik sangat berpengaruh
terhadap bobot telur, dimana pada setiap spesies unggas mempuyai ukuran
ovarium, uterus dan kloaka yang berbeda. (Sutopo, 2016).

b.warna

Pada uji warna karakteristik telur ini, telur ayam potong memiliki warna
yang cenderung lebih coklat jika dibandingkan dengan telur ayam kampong yang
memiliki warna cangkang yang lebih putih. Sedangkan, telur puyuh memiliki
warna cangkang yang bercorak antara hitam dan putih dan telur bebek memiliki
warna cangkang yang cenderung putih. Perbedaan warna dari masing-masing telur
dipengaruhi oleh karakteristik dari masing-masing telur dan kondisi dari telur
tersebut. Hal tersebut sesuai dengan literatur yang ada, yang menyatakan bahwa
warna dari cangkang atau kerabang telur dapat dipengaruhi oleh adalah umur
ayam tersebut, semakin meningkat umur ayam kualitas kerabang semakin
menurun, kerabang telur semakin tipis, warna kerabang semakin memudar, dan
berat telur semakin besar (Yuwanta,2010).
c. Ketebalan cangkang

Pada praktikum ini diperoleh data ketebalan cangkang dari masing-masing


telur. Ketebalan cangkang telur ayam potong 0.05 mm, telur ayam kampong 0.2
mm, telur puyuh 0.06 mm, dan telur bebek 0.5 mm. Ketebalan cangkang telur
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas telur, karena cangkang
dapat melindungi isi telur. Ketebalan cangkang telur banyak dipengaruhi oleh
kadar kalsium dalam ransum yang akan menentukan ketersediaan garam-garam
kalsium dalam darah untuk pembentukan telur (Yuwanta, 2004). Selanjutnya
Achmanu (2010) menyatakan bahwa semakin tebal cangkang telur berarti
kandungan Ca juga semakin tinggi. Ketebalan cangkang telur juga dipengaruhi
oleh umur ternak, temperatur lingkungan, tingkat produksi telur, penyakit, genetik
dan imbangan energi dan protein ransum. Amrullah (2003) menyatakan bahwa
ada peran protein terhadap ketebalan kerabang telur. Lebih lanjut Djulardi, dkk
(2004) menyatakan bahwa untuk menghasilkan kerabang yang berkualitas,
pemberian protein dalam pakan harus diimbangi dengan pemberian energi dan
mineral. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan, suhu lingkungan yang tinggi
juga dapat mempengaruhi kualitas fisik telur, terutama suhu di atas 29oC. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Sudaryani (1996) bahwa suhu yang tinggi akan
mempengaruhi kualitas putih telur dan mengurangi kekuatan dan ketebalan
cangkang telur.

d. Ukuran Rongga Udara

Pada praktikum ini diperoleh data rongga udara dari masing-masing telur
yang digunakan, yaitu telur ayam potong 0.5 mm, telur ayam kampong 0.3 mm,
telur puyuh 0.2 mm, dan telur bebek 2.5 mm. Perbedaan masing-masing rongga
telur di karenakan karakteristik yang berbeda dan juga waktu penyimpanan dari
telur tersebut. Hal tersebut sesuai dengan literature yang menyebutkan bahwa
semakin lama penyimpanan, ukuran rongga udara semakin bertambah besar.
Peningkatan ukuran rongga udara menurut Jazil (2013) disebabkan oleh
penyusutan berat telur yang diakibatkan penguapan air dan pelepasan gas yang
terjadi selama penyimpanan. Seiring bertambahnya umur, telur akan kehilangan
cairan dan isinya semakin menyusut sehingga memperbesar rongga udara.
Menurut BSN (2008) telur segar memiliki rata rata kedalaman rongga udara
sebesar sekitar 2,19 mm yang berarti telur tersebut tergolong dalam telur dengan
mutu I. Setelah 1 minggu penyimpanan kedalaman rongga udara menjadi sekitar
5,69 mm (mutu II) dan bertambah besar pada minggu ke 2 penyimpanan menjadi
sekitar 8,52 mm (mutu III). Menurut Jazil (2013) rongga udara pada telur
terbentuk sesaat setelah peneluran akibat adanya perbedaan suhu ruang yang lebih
rendah dari suhu tubuh induk, kemudian isi telur menjadi lebih dingin dan
mengkerut sehingga memisahkan membran kerabang bagian dalam dan luar,
terpisahnya membran ini biasanya terjadi pada bagian tumpul telur.
Semakin lama penyimpanan telur maka akan semakin besar kedalaman rongga
udaranya.

e. Indeks Kuning Telur dan Indeks Putih Telur

Pada praktikum ini diperoleh data warna kuning telur , dan indeks kuning
serta putih dari masing-masing telur yang digunakan. Telur ayam potong
berwarnah kuning pekat begitu pula dengan telur ayam kampong, telur puyuh
berwarna kuning kecerahan, dan telur bebek berwarna kuning pekat. Begitu juga
dengan indeks kuning dan putih telur. Indeks kuning telur adalah perbandingan
tinggi kuning telur dengan diameter kuning telur. Indeks kuning telur dari telur
ayam potong 0.29, telur kampong 0.222, telur puyuh 0.3, dan telur bebek 0.3125.
data yang didapatkan sesuai dengan literature yang menurut Badan Standarisasi
Nasional (2008) tentang SNI 3926 : 2008 menyatakan bahwa indeks kuning telur
segar berkisar antara 0,33-0,52. Penyimpanan telur dapat menyebabkan terjadinya
pemindahan air dari putih telur menuju kuning telur sebanyak 10 mg/hari pada
suhu 100C. Tekanan osmosis kuning telur lebih besar daripada putih telur,
sehingga air dan putih telur berpindah menuju ke kuning telur. Perpindahan air
secara terus menerus akan menyebabkan viskositas kuning elur menurun,
sehingga kuning telur menjadi pipih dan kemudian pecah.
Disamping indeks kuning telur, indeks putih telur juga dikatakan bahwa
indeks putih telur merupakan perbandingan antara tinggi putih telur dengan
diameter rata-rata putih telur kental. Indeks putih telur yang didapatkan pada
praktikum ini yaitu ayam potong sebesar 0.02, ayam kampong 0.0357, telur puyuh
0.05, dan telur bebek 0.0195. hal tersebut sesuai dengan literature yang
menyatakan bahwa indeks putih telur segar berkisar antara 0,050-0,174. Diameter
putih telur akan terus melebar sejalan dengan bertambah tuanya umur ayam,
dengan demikian indeks putih telur pun akan semakin kecil. Menurut Silverside
and Scott (2000) dan Yuwanta (2010), perubahan pada putih telur ini disebabkan
oleh pertukaran gas antara udara luar dengan isi telur melalui pori-pori kerabang
telur dan penguapan air akibat dari lama penyimpanan, suhu, kelembaban dan
porositas kerabang telur. Selama penyimpanan, tinggi putih telur kental akan
menurun secara cepat, kemudian secara lambat. Indeks putih telur akan menurun
sebesar 40% dalam 20 jam pada suhu 320C (Romanof dan Romanof, 1963).

f. pH putih telur

Pada praktikum ini didapatakan data pengukuran pH dari masing-masing


jenis telur. Pada telur ayam potong didapatkan pH sebesar 8.5, telur ayam
kampong sebesar 8.9, telur puyuh sebesar 8.6, dan telur bebek sebesar 8.2. Data
tersebut sesuai dengan literature yang ada bahwa telur yang baru dihasilkan
mempunyai pH antara 7,6 dan 8,5. Penyimpanan akan meningkatkan pH telur
menjadi 9,7. pH putih telur meningkat seiring dengan bertambahnya umur telur.
Hal ini terjadi karena penguapan CO2 dari dalam telur sebagai akibat penguraian
senyawa NaHCO3 menjadi NaOH (Stadelman dan Cotteril 1995). Selanjutnya
NaOH ini terurai menjadi ion-ion Na+ dan OH-, sehingga meningkatkan pH putih
telur sesuai dengan reaksi berikut:

NaHCO3 ----------> NaOH + CO2 NaOH ----------> Na+ + OH-

Menurut Stadelman dan Cotterill (1995), besarnya penguapan CO2 dan H2O akan
mempengaruhi peningkatan pH putih telur. Makin lama telur disimpan pH putih
telur meningkat.
g. BJ putih telur

Pada praktikum ini didapatkan data berat jenis dari putih telur di masing-
masing jenis telur yang digunakan. Berat jenis putih telur dari telur ayam potong
sebesar 0.94951, telur ayam kampong sebesar 0.9884, telur puyuh sebesar 0.964,
telur bebek sebesar 0.478. Berat jenis tidak dipengaruhi oleh warna bulu, Menurut
Hutt (1949), menyatakan bahwa variasi warna bulu pada ayam adalah faktor
genetik. Berat jenis ditentukan oleh ketebalan kulit (kerabang) dan mutu dari
cangkang (Butcher, 1991). Didukung dengan pendapat Abbas (1989) yang
menyatakan bahwa berat jenis telur dipengaruhi oleh tebal kerabang, dimana
dengan semakin meningkatnya ketebalan kerabang telur maka berat jenis akan
meningkat pula, dan semakin besar telur semakin kecil nilai berat jensnya. Selain
itu Koelkebeck (2003) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi berat jenis
adalah lama penyimpanan telur, suhu, waktu bertelur dan kandungan kalsium
pakan.

h. Haugh Unit

Pada praktikum ini didapatkan data haugh unit dari masing-masing jenis
telur yang digunakan. Haugh unit dari telur ayam potong didapatkan sebesar
181.59, dari telur ayam kampong didapatkan sebesar 358.66, dari telur puyuh
sebesar 0.964, dari telur bebek didapatkan haugh unit sebesar 81.87. haugh unit
dari ke-empat jenis telur memiliki perbedaan yang tidak nyata. Hal ini didukung
oleh hasil yang diperoleh dari analisis indeks putih telur yang berbeda tidak nyata,
dimana nilai haugh unit dipengaruhi oleh tinggi putih telur. Stadelman dan
Cotteril (1977) menyatakan bahwa nilai haugh unit merupakan hubungan antara
berat telur dengan tinggi putih telur bagian padat yaitu semakin besar ukuran putih
telur maka nilai haugh unit semakin tinggi.

i. Pengamatan telur sebagai emulsifier

Pada praktikum emulsifier yang telah dilakukan kali ini dengan menyiapakan
sampel telur mulai dari telur puyuh, telur ayam kampung, telur ayam ras, telur
itik, menyiapan 5ml air didalam tabung reaksi dan menambahkan minyak
sebanyak 1 ml didalamnya dan ini dibagi menjadi 3 perlakuan. Pada perlakuan
pertama dengan penambahan 1ml kuning telur, kedua 1 ml putih telur dan yang
ketiga 1ml campuran kunung dan juga putih telurnya. Perlakuan ini dilakukan
pada masing masingg sampel telur yang digunakan dan bertujuan agar dapat
mengetahui perbedaan yang terjadi. Data yang diperoleh setelah hasil dapat
dilihat ketika air dicampurkaan dengan minyak maka akan menjadi dua fase yaitu
fase minyak dan fase air. Fase minyak terdapat pada lapisan atas sedangkan air
terdapat dilapisan bawah atau dibawahnya. Berdasarkan hasil pengamatan apabila
minyk dengan air dicamapurkan maka tidak dapat tercampur dengan baik atau
tidak dapat larut. Hal ini sesuai dengan literature bahwa emulsi W/O diakan akan
atau tidak dapat merubah sifatnya apabila ditambahkan dengan minyak,
begitupum sebaliknya emulsi tidak akan berubah sifatnya apabila ditambah
dengan air ( Yuwanta, 2010 ). Maka dari itu emulsi minyak dengan air tidak akan
menyatu atau dengan kata lain akan terpish. Hal tersebut sesuai dengan hasil
pengamatan yang dilakukan. Berdasrkan data pengamatan yang dilakukan, sampel
yang pertama yang digunakan yaitu kuning telur sebanyak 10 ml yang
sebelumnya dikocok terlebih dahulu dan didiamkan ditempat terbuka tau dalam
keadaan terbuka selama beberapa menit. Kemudian telur tersebut menjadi lebih
padat karena kuning telur mengalami koagulasi. Hal ini terjadi pada perlakuan
semua jenis telur. Saat diberi perlakuan homogenitas dan stabilitasnya meningkat,
hal ini disebabkan karena kuning telur mengandung lesitin yang mengandung
emulsi, dan kehomogenannya terjadi karena pengocokan mekanis yang sangat
kuat, dan sentrifusi dalam kecepatan yang tinggi. Sampel kedua yang digunakan
yaitu putih telur sebanyak 10 ml dan juga dikocok dan didiamkan pada keadaan
terbuka serta pada suhu ruangan diperoleh hasil koagulasi namun tidak sebagus
pada sampel kuning telur tadi. Perubahan ini juga terjadi pada semua jenis sampel
atau telur yang digunakan. Hal ini terjadi karena kerja putih telur yang lebih
rendah dari pada kuning telur. Pernyataan ini sesuai dengan literatur bahwa
gelatin albumin atau biasa disebut dengan putih telur adalah protein yang bersifat
sebagai emulsifier dengan kompleks sebagai lestin protein (Winarno, 1997).
Sedangkan yang ketiga diperoleh hasil yang kurang baik dari emulsifier dengan
menggunakan kuning telur sebagai pencampuran putih dan kunning telur.

j. telur sebagai clarifiying agent

Telur sebagai clarifiying agent untuk mengetahui bagian telur yang paling
maksimal menyerap komponen padatan yang tercampur dengan cairan. Hasil
pengamatan pada pengujian telur sebagai clarifiying agent yaitu putih telur kurang
mengikat serbuk teh sehingga masih banyak serbuk teh yang larut pada air. Warna
putih telur berubah menjadi coklat keputihan. Sedangkan kuning telur paling
efektif mengikat serbuk teh. Hal ini terbukti dari banyaknya serbuk teh yang
menempel atau terikat pada kuning telur dan serbuk teh yang tersisa pada air
hanya sedikit. Dan untuk campuran kuning dan putih telur cukup efektif
dibanding putih karena sebagian serbuk teh terikat pada campuran telur tersebut.
Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa sangat menyimpang dari literatur yang
menyatakan bahwa bagian telur yang paling sempurna dalam clarifying agent
ialah putih telur. Dikarenakan komposisi putih telur tersusun atas protein sebagai
komponen utama. Kandungan lemak yang ada dalam putih telur dapat diabaikan,
karena jumlahnya yang sangat sedikit. Kandungan karbohidrat dalam putih telur
berupa karbohidrat bebas dan karbohidrat yang terikat dengan protein, sekitar
98% karbohidrat bebas dalam putih telur adalah glukosa. Albumin telur sebagai
sumber protein yang murah yang dapat digunakan sebagai pengikat senyawa tanin
yang dapat menyebabkan pencoklatan pada ekstrak (Rayner, 2002).

k.Telur sebagai pembentukan busa

Pada praktikum ini didapatkan data telur ayam potong sebelum


pengocokan putih telur memiliki volume sebesar 43 ml dan setelah pengocokan
sebesar 75 ml dengan % pembentukan busa sebesar 74.42%, sebelum pengocokan
kuning telur memiliki volume sebesar 10 ml dan setelah pengocokan volume
kuning telur menjadi 12 ml dengan % pembentukan busa sebesar 20%, volume
telur campuran sebelum pengocokan sebesar 47 ml dan setelahnya pengocokan
menjadi sebesar 74 dengan % pembentukan busa sebesar 57.74%. Pada telur ayam
kampong, sebelum pengocokan putih telur memiliki volume sebesar 35 ml dan
setelah pengocokan meningkat sebesar 44 ml dengan % pembentukan busa
sebesar 25.71%, sebelum pengocokan kuning telur memiliki volume sebesar 15
ml dan setelah pengocokan menjadi 16 ml dengan % pembentukan busa sebesar
6.66%, sebelum pengocokan telur campuran memiliki volume sebesar 22 ml dan
setelah pengocokan sebesar 29 ml dengan % pembentukan busa sebesar 31.81%.
Pada telur puyuh, sebelum pengocokan putih telur memiliki volume sebesar 4.2
ml dan setelah pengocokan menjadi 5.2 dengan % pembentukan busa sebesar
23.8%. sebelum pengocokan kuning telur memiliki volume sebesar 6.6 ml dan
setelah pengocokan volume menjadi 7.4 dengan % pembentukan busa sebesar
12.1, sebelum pengocokan telur campuran memiliki volume sebesar 2.3 dan
setelah pengocokan volume meningkat menjadi 3.1 dengan % pembentukan busa
sebesar 34.8%. Pada telur bebek, sebelum pengocokan putih telur memiliki
volume sebesar 40 ml dan setelah pengocokan menjadi 70 ml dengan %
pembentukan busa sebesar 75%, sebelum pengocokan kuning telur memiliki
volume 50 ml dan setelah pengocokan menjadi 70 ml dengan % pembentukan
busa sebesar 45%, sebelum pengocokan telur campuran memiliki volume sebesar
18.6 ml dan setelah pengocokan menjadi 25 ml dengan % pembentukan busa
sebesar 34.41%. Kenaikan volume yang terjadi dari sebelum pengocokan ke
sesudah pengocokan sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa pengocokan
merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi karakteristik buih putih telur.
Gerakan pengocokan dan sejenisnya akan mempengaruhi pengikatan udara dalam
buih dan menyebabkan volume meningkat. Semakin lama ikatan yang terbentuk
tersebut akan semakin melemah dan tirisan akan keluar dari lamela yang
terdapat diantara gelembung, pada akhirnya ini dapat menyebabkan rusaknya film
buih (Wong, 1989). Volume buih yang tinggi diperoleh dari putih telur dengan
elastisitas rendah, sebaliknya struktur buih yang stabil pada umumnya akan
dihasilkan dari putih telur yang memiliki elastisitas yang tinggi. Jika putih telur
terlalu banyak dikocok atau direnggangkan seluas mungkin akan menyebabkan
hilangnya elastisitas (umi saadah, 2007)

Anda mungkin juga menyukai