Anda di halaman 1dari 4

Entah, setiap kali menjelang lebaran, saya selalu diingatkan lirik Sitor Situmorang dalam

puisinya Malam Lebaran. Puisinya hanya terdiri atas satu larik: Bulan di atas kuburan. Meski
pendek, puisi ini menawarkan kandungan makna yang liar sekaligus juga imajinatif.
Dari sisi stylistika, Malam Lebaran bisa dibilang sebagai pembaharu dalam perpuisian
Indonesia di tengah maraknya puisi-puisi naratif kontemporer. Meski demikian, saya tak ingin
membedahnya dari sisi stylistika. Saya justru lebih tertarik untuk menelaahnya dari aspek
muatan isi yang saya anggap liar dan imajinatif itu. Saya juga tak menggunakan pendekatan
atau teori sastra tertentu, tetapi lebih pada upaya penafsiran dan pemaknaan dari sudut pandang
pribadi saya sebagai seorang penikmat dan pencinta puisi yang ingin saya kaitkan dengan
momentum lebaran yang sebentar lagi akan datang menjenguk kita.
Kalau kita perhatikan dengan saksama, larik pendek itu tak bisa dipisahkan dari judulnya. Secara
sederhana, puisi tersebut bisa kita parafrasekan menjadi : //Pada malam lebaran, ada rembulan
di atas kuburan//.
Ya, ya, ya. Dalam penafsiran awam saya, setidaknya ada tiga frasa dan kata kunci yang hendak
ditekankan oleh penyair kelahiran Harianboho, Samosir, Sumatera Utara, 2 Oktober 1924 itu,
yakni malam lebaran, rembulan, dan di atas kuburan. Dari sisi logika, larik puisi ini jelas
absurd, mustahil, dan tak masuk akal. Rembulan tak mungkin muncul pada malam lebaran,
bukan? Namun, sesungguhnya larik tersebut tak bisa hanya sebatas kita maknai secara harfiah.
Ada nilai-nilai kehidupan yang serba kontradiktif yang hendak didedahkan sang penyair.
Lebaran, sebagaimana dipahami banyak orang, merupakan saat penuh kebahagiaan setelah
sebulan lamanya berhasil menjalankan ibadah puasa. Hampir semua orang tenggelam dalam
hiruk-pikuk kemeriahan menyambut saat-saat pembebasan itu. Semua orang, apa pun pangkat
dan kedudukannya, baju politik warna apa pun yang dipakai, atau status sosial keseharian apa
pun yang disandangnya, (nyaris) semuanya tak melewatkan momentum yang sarat berkah dan
maghfirah itu. Tak salah kalau Sitor Situmorang menggunakan kata simbolik bulan sebagai
ikon kebahagiaan dan kemeriahan.
Namun, ada yang lupa bahwa di balik kemeriahan dan kebahagiaan pada malam lebaran itu, ada
juga ketragisan hidup. Tidak sedikit saudara-saudara kita yang masih harus berpuasa dan
mengalami kelaparan pada saat hari pembebasan itu. Mereka tak bisa mudik dan terlibat
dalam hiruk-pikuk penyambutan lebaran di kampung halaman. Situasi dan keadaan yang kurang
menguntungkan memaksa mereka untuk meniadakan momentum lebaran dalam kamus
hidupnya. Mereka hanya bisa mendengarkan gema suara takbir yang terdengar pilu; tak ubahnya
menikmati lengkingan orkestra yang tragis dan menyayat nurani. Tak salah juga kalau Sitor
Situmorang menggunakan frasa di atas kuburan.
Begitulah, idealnya lebaran juga perlu dijadikan sebagai momentum untuk saling berbagi dan
bersilaturahmi, khususnya kepada mereka yang bernasib kurang beruntung. Konon, di balik
kekayaan dan penghasilan yang kita miliki ada hak juga bagi fakir miskin dan anak-anak
telantar. Bahkan, mereka yang suka mengemplang dan mencuri harta rakyat dan negara, lebaran
perlu dimaknai sebagai momentum pertobatan untuk mengembalikan kekayaan yang mereka
peroleh secara tidak sah kepada negara, tanpa harus menunggu diserbu KPK. Cara semacam ini
akan lebih terhormat daripada dipaksa harus memakai seragam koruptor versi KPK.
Bisa jadi, penafirsan selengekan semacam ini jauh dari apa yang dimaksudkan oleh Sitor
Situmorang. Namun, sebagai genre sastra, puisi yang multitafsir bisa dimaknai secara personal
oleh apresiannya. Sampeyan memiliki penafsiran yang berbeda? ***
Puisi Malam Lebaran yang merupakan salah satu karya Sitor Situmorang tersebut
sangat singkat. Puisi tersebut hanya 1 baris, yaitu Bulan di atas kuburan. Makna puisi
tersebut banyak diperdebatkan. Mungkin kita akan terjebak dan terlalu mudah dalam
menyikapi puisi tersebut dengan mengartikan makna puisi secara sempit dengan alasan
terlalu pendeknya puisi tersebut. Tetapi apabila dikaitkan dengan logika umum, apa
yang diungkapkan dalam puisi tersebut adalah kemustahilan dan tidak masuk akal. Pada
malam lebaran yaitu tanggal 1 Syawal tidak mungkin bulan terlihat, apalagi di atas
kuburan. Namun, kita tidak bisa hanya memaknai puisi tersebut secara harfiah. Ada
makna yang mengandung nilai-nilai kehidupan yang hendak disampaikan sang penyair
melalui puisinya. Dengan alasan itu, beberapa orang ada yang menganggap Sitor tidak
memahami mengenai kenampakan bulan sesuai penanggalan Islam. Meskipun puisi
adalah dunia imajinasi, tetapi logika dalam puisi juga tetap diperhatikan. Kenyataannya
adalah bulan tidak muncul pada malam lebaran seperti apa yang disampaikan dalam
puisi tersebut. Jelas bahwa puisi tersebut tidak sesuai dengan logika.
Latar belakang dibuatnya puisi ini adalah ketika suatu malam Sitor hendak berkunjung
ke rumah Pramoedya Ananta Toer dan tersesat. Pada saat tersesat itu, Sitor melihat
tembok putih. Ia penasaran apa yang ada di balik tembok itu dan ternyata kuburan. Dari
peristiwa ini didapatkan Malam Lebaran dan kuburan. Sitor memiliki kepiawaian
dalam membangun perumpamaan. Terpikir olehnya mengenai sesuatu yang sederhana
ini pasti dapat dijadikan makna lain yang menakjubkan. Maka, untuk memberi kesan
yang lebih dalam, Sitor menemukan perumpamaan lain yang cocok untuk puisinya, yaitu
kata bulan. Maka terciptalah sebuah puisi pendek Bulan di atas kuburan. Puisi
singkat namun kaya imajinasi dan makna. Lebaran adalah hari kemenangan bagi umat
islam. Namun, ada pula beberapa orang yang merasa lebaran adalah hari kekalahan
karena tidak berhasil meningkatkan kualitas iman dan kepribadiannya menjadi lebih
baik. Dan juga bagi orang tua yang merasakan kekalahan karena tidak dapat
membelikan baju bagi anaknya. Hari kemenangan ini telah menjadi beban. Pengeluaran
besar-besaran terjadi. Apalagi ketika hari kemenangan tiba justru menjadikan
masyarakat panik karena kenaikan harga-harga barang dan penambahan saldo utang.
Lebaran dimaknai banyak orang sebagai hari penuh kebahagiaan setelah melewati satu
bulan berpuasa. Banyak orang terlena dengan kemeriahan yang ramai menyambut
lebaran. Orang-orang dari berbagai kalangan baik kaya maupun miskin, tua maupun
muda, dan orang-orang yang bukan Islam pun hampir semua merayakan hari yang
besar ini. Kata bulan yang dipilih Sitor sangat tepat untuk menggambarkan
kebahagiaan dan kemeriahan hari lebaran. Namun, karena begitu terlenanya dengan
kemeriahan dan kebahagiaan ramadhan, orang-orang lupa penderitaan hidup lain. Tidak
sedikit orang-orang di dekat kita yang terpaksa berpuasa dan kelaparan pada saat hari
kemenangan itu. Banyak pula yang bersedih karena tidak dapat mudik dan berkumpul
bersama merasakan suasana kebahagiaan hari lebaran di kampung halamannya. Mereka
diharuskan menerima keadaan dan meniadakan momentum lebaran dalam hidupnya.
Mereka hanya bisa mendengarkan suara takbir yang menggema dari berbagai tempat.
Situasi ini tepat diwakilkan dengan kata kuburan. Maka sepantasnya, lebaran juga
perlu dijadikan kesempatan untuk menjalin silaturahmi dengan sesama. Kita dapat
saling berbagi kepada saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Seperti yang
diajarkan dalam agama, di balik kekayaan dan penghasilan yang kita miliki ada sebagian
dari harta tersebut yang menjadi hak orang-orang yang kurang mampu. Seperti dengan
membayar zakat, lebaran merupakan kesempatan kita untuk memenuhi hak kaum
kurang mampu tersebut. Menjelang hari raya besar itu, orang-orang cenderung lebih
mengurusi kebendaan. Pusat-pusat perbelanjaan menjadi ramai dan sesak. Tidak lagi
merenungi apa yang dimaknai dengan adanya hari lebaran. Orang-orang justru pergi ke
sana ke mari dengan baju baru serta perhiasan mewah yang mungkin akan mengundang
niat buruk dari orang lain yang melihatnya. di samping itu, puisi tersebut dapat juga
diartikan berbeda. Secara singkat, malam dan kuburan dianggap memiliki arti yang
sama yaitu gelap, hitam dan kotor. Sedangkan bulan dan lebaran berarti terang, putih
dan bersih. Maka dapat dimaknai: terang diatas gelap.
Meskipun puisi Malam Lebaran terlihat pendek, namun ternyata puisi tersebut memiliki
pesan yang bermakna bagi kita. di balik kemeriahan malam lebaran banyak sekali yang
kurang kita perhatikan. Kita tentu saja merasa bahagia dengan perayaan hari Idul Fitri.
Kita berusaha menjadikan hari itu spesial. Tetapi kita tidak boleh terlalu berlebihan
dalam melakukan pengeluaran. Lihat dulu apakah kita memang membutuhkan barang
itu dan apakah kita memliki kelonggaran uang untuk membeli barang itu. tidak perlu
baju yang baru dan perhiasan mahal, baju lama pun tidak masalah. karena yang
terpenting adalah hati dan perbuatan kita, bukan hanya penampilan. jangan sampai
lebaran yang merupakan hari kemenangan menjadi hari yang merugikan kita.
Perhatikan pula orang-orang di sekitar kita. Kita perlu berbagi kepada orang-orang yang
membutuhkan bantuan kita sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. dengan
begitu, kebahagiaan lebaran bukan hanya dinikmati sebagian orang saja, tetapi semua
orang berkesempatan merayakan hari yang besar itu.

Lebaran, sebagaimana dipahami banyak orang, merupakan saat-saat penuh kebahagiaan bagi umat
yang merasa dirinya beriman setelah berhasil menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Tak
dapat disangkal, apa pun pangkat, kedudukan, dan status sosialnya, nyaris semua orang tenggelam
dalam euforia hari raya itu. Mudik, makan ketupat, parsel makanan, baju baru, silaturahmi, berebut
uang fitrah, dan masih banyak lagi yang lainnya. Benarkan yang demikian ini disebut sebagai hari
kemenangan? Dalam puisinya yang berjudul Malam Lebaran, Sitor Situmorang memberikan
pandangan yang berbeda mengenai hari lebaran. Dengan kepiawaiannya membangun simbolisme
dan kekuatan menciptakan citraan, Sitor berhasil menyampaikan sebuah kritik terhadap
kesalahkaprahan masyarakat dalam memaknai hari lebaran.

Beberapa sumber mengatakan, puisi Malam Lebaran ini dilatarbelakangi oleh peristiwa yang terjadi
pada malam lebaran ketika Sitor Situmorang hendak pergi ke rumah Pramoedya Ananta Noer.
Ternyata ia tersesat. Ketika ia tersesat, ia melihat sebuah tembok putih. Ia penasaran apa yang ada di
baliknya. Ia pun melongokkan kepalanya dan berkata, Oo, kuburan. Kemudian ia melanjutkan
perjalanannya mencari rumah Pramoedya. Rupanya peristiwa tersebut meninggalkan kesan
mendalam dalam benak Sitor sehingga ia pun mengabadikannya dalam sebuah puisi dan
menggunakan simbol-simbol bulan dan kuburan untuk menjelaskan realita malam lebaran yang
terjadi pada kebanyakan masyarakat kita. Kata bulan menggambarkan kebahagiaan dan
kemeriahan malam lebaran. Sedangkan kata kuburan menggambarkan kepedihan kaum tak
berpunya yang bahkan bingung harus makan apa pada keesokan harinya. Sehingga frase bulan di
atas kuburan dapat diartikan sebagai keterasingan kaum tak berpunya di antara meriahnya malam
lebaran.
Lebaran tidak semestinya digunakan sebagai momentum untuk berhura-hura. Ada yang terlupa
bahwa di balik kemeriahan malam lebaran, ada juga ketragisan hidup. Tidak sedikit saudara-saudara
kita yang masih harus berpuasa dan mengalami kelaparan pada hari bahagia itu. Mereka tidak bisa
mudik dan terlibat dalam hiruk-pikuk penyambutan lebaran di kampung halaman. Situasi dan
keadaan yang kurang menguntungkan memaksa mereka untuk meniadakan momentum lebaran
dalam kamus hidup mereka. Mereka hanya bisa mendengarkan gema suara takbir yang terdengar
pilu, sepeti menikmati lengkingan orkestra yang tragis dan menyayat nurani. Pada hari itu, kita juga
berpisah dengan bulan yang seharusnya menjadi bulan yang kita nantikan kedatangannya. Kapan lagi
kita dapat menemukan bulan di mana setan-setan dibelenggu, pahala diobral besar-besaran, pintu
surga dibuka lebar-lebar, serta pintu neraka ditutup rapat-rapat? Bukankah seharusnya kita bersedih?

Ramadhan bukan sekedar bulan di mana kita, sebagai orang beriman, diwajibkan menahan lapar dan
dahaga. Pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, kita dapat memperoleh rahmat Allah. Mereka
yang ingin mendapatkannya berlomba-lomba meningkatkan amalan baiknya. Pada sepuluh hari
kedua, ampunan Allah diturunkan ke bumi. Dan pada sepuluh hari terakhir, ada satu malam yang jika
kita mendapatkannya maka kebaikannya sama dengan amalan selama seribu bulan. Malam ini biasa
disebut Lailatul Qadr atau disebut malam pembebasan dari siksa api neraka.

Yang lebih sering terjadi di masyarakat kita, justru bukan tangisan sedih ditinggal bulan ramadhan.
Pada malam lebaran, hal-hal yang bersifat keduniawian justru semakin penuh sesak. Pasar
tradisional, toko sembako, mall-mall, hingga jalan raya, tidak pernah sepi dari hiruk pikuk manusia.
Nyaris sama dengan sesaknya hati kaum tak berpunya yang tidak tahu harus membelanjakan apa
untuk hari raya pada keesokan harinya.

Kekontrasan tersebut seharusnya berganti dengan renungan dan doa-doa panjang sebagai wujud
pengharapan atas ampunan Allah. Itulah yang disebut dengan sebenar-benarnya hari kemenangan,
ketika umat manusia berhasil mengalahkan hawa nafsunya dan meningkatkan kualitas diri. Bukan
tetap sama saja, sibuk dengan urusan dunia.

Anda mungkin juga menyukai