Anda di halaman 1dari 42

Perhelatan, Dihelat, Menghelat

20 Oktober 2014 by Rubrik Bahasa

Kurniawan*, Majalah Tempo, 20 Okt 2014

Akhir-akhir ini, ketika memberitakan acara


kesenian hingga politik, media sering menggunakan kata “perhelatan”, “menghelat”, dan
“dihelat”. Istilah “perhelatan” pada mulanya lazim digunakan untuk menyebut acara
perkawinan, kenduri, atau selamatan. Malah para sastrawan Balai Pustaka lebih lazim
menggunakan kata “helat” saja. Nur Sutan Iskandar dalam novel Salah Pilih (1928),
misalnya, menulis, “Sekalian helat dan jamu itu dilayani oleh Ibu Liah dan Asnah
sekuasa-kuasanya.”

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (KBBI III), 2005, memang memiliki lema
“perhelatan“, yang bermakna “pesta atau kenduri selamatan, pesta perkawinan”. Adapun
pesta adalah perjamuan makan-minum atau perayaan sesuatu dengan bersuka ria dalam
sebuah keramaian.

Sebuah festival seni mungkin masih bisa dianggap sebuah pesta, tapi apakah
pemutaran film atau diskusi adalah sebuah pesta?

Contohnya, “Dalam perhelatan diskusi yang berlangsung selama lebih-kurang dua jam
tersebut, Ibnu menyampaikan bahwa sastra di media massa semakin hari semakin
berkurang” (Koran Jakarta, 23 Maret 2014). Berita itu hanya membicarakan sebuah
acara diskusi. Sebuah acara dengan kegiatan tunggal (sebuah film, teater, tari, dan
sebagainya) tak tepat disebut perhelatan. Sebuah perhelatan mengandaikan acara akbar
dan ramai yang melibatkan banyak kegiatan, seperti Festival Film Indonesia atau
Srawung Seni Segara Gunung.

Bagaimana dengan pemakaian “dihelat” dan “menghelat”? Pada 8 Mei 2014,


Kompas.com membuat judul berita “Diskusi Bisnis Digital Kembali Dihelat di
Yogyakarta”. Pada 20 Oktober 2012, Warta Kota menulis, “Untuk memperingati Bulan
Bahasa, Kompas menghelat seminar bertajuk ‘Merumuskan Bahasa dalam Media Online
dan Jurnalisme Warga’.”

Dalam KBBI III, kata dasar “helat” punya dua lema. Pertama, “helat” yang bermakna
“pesta perkawinan dsb” dan “tamu “. Tapi, sebagai kata sifat, “helat” artinya “asing, lain,
bukan keluarga”. KBBI III mencontohkan, “Di kota-kota besar banyak orang helat”.
Kedua, lema “helat” yang dibaca sebagai “hélat” (“e” dibaca seperti “dekade”) bentuknya
adalah kata benda dan artinya “tipu muslihat, akal, dalih”. Makna ini jelas jauh berbeda
dengan lema pertama.

Namun lema pertama tak punya kata kerja turunan, sedangkan lema kedua justru punya
dua: “berhelat” dan “menghelat”. Yang pertama berarti “menggunakan tipu muslihat,
berdalih” dan yang kedua bermakna “menipu”. Tak ada kata turunan “dihelat” di situ.
Kalaupun bisa diturunkan dari “menghelat”, berarti artinya seharusnya menjadi “ditipu”.

Bila kita merujuk pada KBBI III, penggunaan kata “menghelat” dan “dihelat”
oleh banyak media jelas keliru.

Berita Warta Kota di atas jadinya bermakna “…Kompas menipu seminar bertajuk…”.
Jelas bukan itu maksud penulisnya.

Pemuatan dua lema yang penulisannya sama ini jadi bermasalah. T.D. Asmadi, pengajar
Lembaga Pers Dr Soetomo, pernah mengecek makna “helat” dari beberapa sumber,
seperti Kamus Dewan Edisi IV (2007) terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia,
Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta, Baoesastra
Melajoe-Djawa karya Sastrasoeganda, dan Kamus Modern Bahasa Indonesia karya Sutan
Mohammad Zain. Semua kamus itu merujuk makna “helat” sebagai “tipu muslihat”.

Bila kita mau konsisten dengan makna “helat” dalam berbagai kamus tersebut,
“menghelat” tetaplah berarti “menipu”. Tapi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa Edisi Keempat (KBBIPB IV), 2008, membuat masalah tambah rumit dengan
menambahkan kata turunan “menghelat”, yang berarti “menyelenggarakan”, pada lema
“helat” yang terkait dengan perhelatan.

Istilah “helat” dalam pengertian “tipu daya” ini tampaknya memungut kata Melayu
“helat”, yang merujuk pada “helah”. Kata ini sudah muncul ratusan tahun lalu, misalnya
dalam Maleisch-Nederduitsch Woordenboek (Kamus Melayu-Belanda) karya Jan
Pijnappel Gzn., yang terbit pada 1863.

Kamus Dewan Edisi IV punya lema “helat”, tapi memberi tanda agar merujuk pada lema
“helah”, yang artinya “tipu daya atau dalih”. Kata turunan “helah” adalah “berhelah”,
yang berarti “menggunakan tipu daya, berdalih”, dan “menghelah”, yang berarti
“memperdaya, menipu”.

Ini berkebalikan dengan KBBIPB IV, yang punya lema “helah”, tapi dengan tanda yang
merujuk ke “helat”. Jadi, penyusun KBBIPB IV menganggap “helah” adalah kata lama
yang tak disarankan pemakaiannya, yang merupakan ragam kata “helat”, yang ejaannya
dianggap baku.

Bagaimana cara mengatasi masalah ini? Saya menyarankan Pusat Bahasa


menghidupkan lema “helah”, lalu makna lema “helat” (hélat) bisa dialihkan
menjadi makna bagi “helah”.

Cara ini akan membuat jelas bahwa “menghelat” tetap berarti “menyelenggarakan
(pesta)”, “menghelah” berarti “menipu”, dan “berhelah” bermakna “berdalih”.

Sastrawan Nur Sutan Iskandar sudah memakai kata “berhelah” itu dalam novel Turun ke
Desa (Balai Pustaka, 1982). Di situ dia menulis, “‘Tin,’ katanya dengan terengah-engah,
‘Jangan berhelah jua. Berkata terus terang. Berapa banyaknya uang yang kau terima dari
orang itu?'” Sang pengarang jelas merujuk kata “berhelah” dalam arti “berdalih”.

Pembedaan lema “helah” dan “helat” ini akan membuat makna “helat” tidak bermakna
ganda seperti sekarang. Para pengguna rumpun bahasa Melayu di Malaysia dan Brunei
juga tak akan salah paham, karena di dua negara itu “helah” memang berarti “tipu daya”.

Artikel bahasa indonesia yang saya bahas kali ini adalah tentang kondisi indonesia yang
menurut saya semakin ga jelas. Artikel ini tentu saja sangat subyektif karena bersumber
murni dari pemikiran penulis dan artikel ini mungkin hanya sebatas opini dari penulis
meskipun ada beberapa fakta yang memang terjadi di negeri ini akan tetapi saya sebagai
penulis tidak tepat mengatakan itu sebuah fakta karena tidak menyertakan data dan sumber
yang akurat.

Artikel bahasa indonesia dengan tema wajah negeriku ini sudah saya publikasikan juga di
situs kompasiana dan sudah dimuat di merdeka.com namun tentunya dengan penulisan yang
berbeda karena situs seperti merdeka.com tentunya memiliki peraturan sendiri sebelum
menerbitkan artikel.
Wajah Negeriku

Setelah 69 tahun kemerdekaan Indonesia yang kita cintai ini sepertinya negeri ini masih
belum pada posisi yang dicita-citakan para pejuang kemerdekaan. selama 69 tahun tersebut
Negeri ini mengalami berbagai peristiwa pasang surutnya perjalanan sebagai sebuah proses
untuk menuju Bangsa yang besar dan peristiwa-peristiwa tersebut menjadi sejarah mengisi
lembaran-lembaran yang tidak akan penuh oleh coretan tinta layaknya sebuah buku cerita
berepisode.

Setiap cerita selalu dihiasi dengan warna yang mana warna tersebut ada terang, kelam, putih,
hitam dan berjuta-juta warna yang tak mampu tuk kutulis..jika saja boleh negara
diilustrasikan kedalam cerita yang memiliki banyak warna pastilah bangsa ini telah melewati
masa kelam dan hitamnya sebuah proses berdirinya negara ini, lantas warna apakah yang
menghiasi indonesia saat ini? tidak ada warna yang tepat untuk menggambarkan keadaan
saat ini.

Indonesia yang selalu kita dengar sebagai negara


yang melimpah sumber daya alamnya, kaya akan
keanekaragaman budayanya, santun dalam etika
masyarakatnya dan masih banyak lagi kata-kata indah sebagai gambaran dari bangsa ini.
Pertanyaan terbesarnya adalah, sudah adakah keserasian dengan apa yang terjadi saat ini???
Dimana - mana terjadi banjir dan bencana alam sebagai hasil dari buah tangan kita sendiri,
kemiskinan masih sebagai selimut berjuta-juta rakyat indonesia, pendidikan masih menjadi
sesuatu yang bernilai mahal harganya, krisis moral dan kepercayaan merebak bak jamur yang
tumbuh dimusim penghujan, tindakan anarkis kerap menjadi pilihan dalam mengatasi
masalah yang sebenarnya semuanya memiliki payung hukum, pelaku korupsi tumbuh pesat
seolah-seolah menjadi trend yang sangat sayang jika tidak diikuti, pengangguran masih
menjadi permasalahan klasik yang belum terselesaikan sebagai efek dari tidak berimbangnya
antara jumlah penduduk dengan tersedianya lahan kerja dan menjadi TKI ilegal MUNGKIN
adalah pilihan "cerdas" yang tidak berkualitas ditengah-tengah rumitnya sebuah birokrasi
dan minimnya pilihan untuk dapat hidup dengan layak, sekalipun berita-berita menyesakkan
tentang nasib TKI masih menghiasi di berbagai media.

Layaknya wajah kelam dari seorang bidadari yang terkungkung dalam istana yang megah
yang tertulis di dalam sebuah cerita-cerita dongeng, mungkin seperti itulah wajah negeri
ini..kapan pena ini memihak kita untuk kau tuliskan keindahan dan mengakhiri penderitaan
sang bidadari? sayangnya kita tidak hidup di negeri dongeng yang dengan mudah mengubah
alur cerita, namun kita hidup di dunia nyata dimana proses panjang adalah sebuah keharusan,
untuk mengubah paragrap demi paragrap cerita kehidupan.

Wassalam...

Artikel ini sebenarnya saya tulis bukan untuk saya publikasikan pada blog ini tetapi untuk
mengisi waktu saja..dan karena hanya untuk pengisi waktu tentunya dalam menulis artikel ini
benar-benar tanpa konsep, tanpa reset keyword sebagaimana mestinya seorang blogger yang
hendak membuat artikel untuk mendatangkan traffic dan karena tanpa konsep dan ini itu,
saya mendapatkan kesulitan dalam menentukan judul pada artikel ini akibat berubahnya
tujuan karena setiap blogger yang mempublikasikan artikelnya hampir selalu tujuannya
adalah traffic.

Muhammad Risal 5.0 Artikel Pendidikan Bahasa Indonesia

.
ArtikelPendidikan : Artikel Pendidikan Bahasa Indonesia

Pendidikanbahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib


diajarkan mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Akan
tetapi yang sangat mengherankan sebagai warga negara Indonesia yang
mengenyam pendidikan dan mempelajari bahasa Indonesia masih banyak yang
belum mengerti dengan baik bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis.
Hal ini terlihat dari masih banyaknya pelajar yang memiliki nilai Ujian
Nasional yang masih sangat rendah.

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesiadan bahasa persatuan


bangsa Indonesia.Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa
kerja.

Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak
ragam bahasa Melayu.Penamaan “Bahasa Indonesia” diawali sejak
dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan
“imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.Proses
ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa
Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini,
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan
kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah
dan bahasa asing.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa
Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar
warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia
sebagai bahasa ibu.Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap
relatif mudah.

Tidak jarang mahasiswa diperlakukan seperti mahasiswa Jurusan Bahasa


Indonesia di Fakultas Sastra dan Bahasa. Setelah 12 tahun belajar Bahasa
Indonesia, apakah mereka sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan
benar, baik secara tertulis maupun terlisan?
Lalu bagaimana dengan kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa S2? Seperti
halnya mahasiswa D3 dan S1, ternyata sebagian mahasiswa S2 dan S3 juga masih
lemah dalam berbahasa Indonesia. Paparan singkat di atas membuktikan
ketidakmampuan sebagian (besar?) mahasiswa dalam berbahasa Indonesia, dalam
hal ini bahasa tulisan. Lalu apa yang mesti dikerjakan para dosen Bahasa
Indonesia yang ternyata tidak semua bergelar sarjana Bahasa Indonesia?

Dengan kata lain, setiap dosen harus mampu menjadi dosen Bahasa Indonesia.
Artikel-artikel opini yang berkaitan langsung dan tak langsung dengan bahasa
Indonesia yang dimuat di media massa cetak pun jangan pula dilewatkan. Dalam
konteks tulisan ini, bukan dosen bahasa Indonesia mengajari mahasiswa,
melainkan dosen bahasa Indonesia dan mahasiswa sama-sama belajar bahasa
Indonesia. Bila beberapa upaya ini dapat dilaksakanakan sungguh-sungguh dan
dengan senang hati oleh para mahasiswa dan dosen bahasa Indonesia, maka kita
yakin para lulusan perguruan tinggi kita tidak hanya mampu dan terampil
berbahasa Indonesia secara terlisan dan tertulis, tetapi juga
sungguh-sungguh mencintai bahasa nasional mereka sendiri.

Read more:
http://www.artikelbagus.com/2012/03/artikel-pendidikan-bahasa-indonesia.
html#ixzz3IHQ8PhZT

Kumpulan Artikel Bahasa Indonesia

Di Indonesia banyak siswa mencari kumpulan artikel bahasa Indonesia untuk


kepentingan sekolah. Makin maraknya dunia internet menjadikan lebih mudah
dalam membantu para siswa untuk mencari sumber sumber nformasi terutama
mencari kumpulan artikel bahasa Indonesia yang bisa di access secara langsung
melalui internet. Dengan adanya fasilitas ini, berarti sistem komonikasi di
Indonesia lebih maju, karena dapat memberikan kelebihan untuk siswa dan guru
untuk mecari sumber sumber informasi tentang pendidikan yang mereka perlukan
secara langsung. Banyak artikel tentang pendidikan yang dapat di dapatkan
di dunia internet baik dalam bahasa Inggris ataoupun dalam bahasa Indonesia.
Artikel bahasa Indonesia biasanya di sediakan oleh website website
pendidikan, ada juga dari para blogger, para guru dan instansi pemerintah.
Tujuannya adalah untuk bisa mengembangakan dunia pendidikan melalui dunia
internet di Indonesia. Mulai dari artikel pendidikan tingkat SD, SMP, SMA
dan perguruan tinggi, anda bisa dapatkan di dunia Internet. Kusus untuk
tingkat SD dan SMP, tentu harus didampingi oleh orang tua mereka, sehingga
mereka tidak tersesat dalam mencari artkel yang diperlukan..

Artikel bahasa Indonesia bisa didapatkan di beberapa situs seperti


artikelbahasaindonesia.net , situs ini dibuat sebagai penyedia artikel
bahasa indonesia tentang pendidikan, hobbi, blog, usaha dan lain lain. Jika
anda mempunyai artikel tentang pengalaman anda yang mungkin berguna untuk
orang lain, anda bisa bergabung di situs tersebut.

Artikel pilihan periode ini

Efek Jokowi adalah istilah yang diciptakan media untuk mendeskripsikan pengaruh
kepopuleran Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo terhadap perpolitikan dan
perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, pendeklarasian Joko Widodo sebagai
calon presiden dalam pemilihan umum presiden Indonesia 2014 diyakini dapat
mendongkrak suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) hingga 30%.
Sementara itu, di pasar modal, efek Jokowi dikatakan dapat meningkatkan gairah
penanam modal karena beliau dinilai mempunyai rekam jejak yang bersih, pro-rakyat,
dan tegas.

Setelah Jokowi memperoleh mandat dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri
untuk menjadi calon presiden pada tanggal 14 Maret 2014, indeks Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) melesat 152,47 poin menjadi 4.878,64, sementara nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat menguat hingga angka 11.386. PDIP
juga mencoba menggunakan Jokowi dalam kampanyenya untuk mencapai target
suaranya sebesar 25%. Namun, hasil hitung cepat menunjukkan bahwa suara PDIP
gagal mencapai 20%, sehingga para analis politik mulai meragukan efek Jokowi.
Walaupun begitu, dalam bidang ekonomi, suara PDIP yang dianggap mengecewakan
membuat IHSG turun 3,2 persen menjadi 4.765,73, yang merupakan penurunan
terbesar semenjak 27 Agustus 2013. Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat melemah dari 11.309 menjadi 11.342. (Selengkapnya...)
Selamat datang untuk peserta WMID Pulkam, selamat menyunting di [tutu
Wikipedia bahasa Indonesia! p]

Efek Jokowi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo.

Efek Jokowi (bahasa Inggris: Jokowi Effect) adalah istilah yang diciptakan media untuk
mendeskripsikan pengaruh kepopuleran Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo terhadap
perpolitikan dan perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, pendeklarasian Joko
Widodo sebagai calon presiden dalam pemilihan umum presiden Indonesia 2014 diyakini
dapat mendongkrak suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) hingga 30%.[1]
Sementara itu, di pasar modal, efek Jokowi dikatakan dapat meningkatkan gairah
penanam modal karena beliau dinilai mempunyai rekam jejak yang bersih, pro-rakyat,
dan tegas.[2]

Setelah Jokowi memperoleh mandat dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri
untuk menjadi calon presiden pada tanggal 14 Maret 2014,[3] indeks Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) melesat 152,47 poin menjadi 4.878,64,[4] sementara nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat menguat hingga angka 11,386.[5] PDIP juga
mencoba menggunakan Jokowi dalam kampanyenya untuk mencapai target suaranya
sebesar 25%.[6] Namun, hasil hitung cepat menunjukkan bahwa suara PDIP gagal
mencapai 20%, sehingga para analis politik mulai meragukan efek Jokowi.[7] Walaupun
begitu, dalam bidang ekonomi, suara PDIP yang dianggap mengecewakan membuat
IHSG turun 3,2 persen menjadi 4.765,73, yang merupakan penurunan terbesar semenjak
27 Agustus 2013.[8] Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat
melemah dari 11.309 menjadi 11.342.[8]

Tips Menghadapi Siswa “Nakal”

[11/10/2013 12:19:00 AM | 10 comments ]

Oleh: Arif Luqman Nadhirin

Sebagai insan yang berada di sebuah lembaga pendidikan, apalagi Sekolah


Menegah Kejuruan yang notabene siswanya adalah laki-laki menghadapi siswa
“nakal” adalah hal yang biasa. Mulai dari siswa yang sering terlambat atau
bolos sekolah, tidak mengerjakan tugas/ PR, ribut di kelas, jajan saat jam
pelajaran, tidak sholat, dan masih banyak contoh “kenakalan” lain yang
kerap dilakukan siswa. Hal-hal tersebut memang benar-benar menguji kesabaran
kita. Dibutuhkan kesabaran dan keuletan tingkat tinggi.

Sebenarnya apakah benar ada anak diberi label “nakal”? Penulis sendiri
tidak setuju bila ada siswa yang dilabeli “nakal”. Apalagi tidak sedikit
guru yang memberi label “nakal” apabila ia merasa tidak sanggup
mengendalikan siswanya. Di sisilain ukuran “nakal” tiap guru berbeda-beda.
Sebagian guru akan menganggap siswanya “nakal” bila siswanya tidak
mengerjakan PR, guru lain berpendapat siswa yang sering bolos/ tidak masuk
sekolah adalah siswa yang “nakal”, sebagian lainnya menganggap siswa yang
ribut saat pembelajaran adalah siswa yang “nakal”.

Menurut saya tidak ada yang namanya siswa “nakal”, yang ada adalah;

 Siswa yang krisis identitas. Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja
memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan
akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran.
Kenakalan siswa terjadi karena siswa gagal mencapai masa integrasi kedua.
 Siswa yang memiliki kontrol diri yang lemah. Siswa yang tidak bisa mempelajari
dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat
diterima akan terseret pada perilaku “nakal”. Begitupun bagi mereka yang telah
mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa
mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan
pengetahuannya.
 Siswa yang kurang kasih sayang orang tua. Orang tua yang terlalu sibuk dengan
pekerjaan menyebabkan kurang perhatian kepada anaknya. Tidak mengenalkan
dan mengajarkan norma-norma agama kepada anaknya. Akibatnya dia akan sering
bolos atau terlambat sekolah. Saat di sekolah ia akan berulah macam-macam
untuk mendapat perhatian dari orang lain, termasuk kepada gurunya.
 Siswa yang kedua orang tuanya tidak harmois atau bahkan bercerai. Suasana di
rumah yang tidak nyaman akan menyebabkan anak tidak fokus saat pelajaran.
Kedua orang tua yang seharusnya melidungi dan memberi contoh yang baik justru
menjadi akar permasalahan anaknya.
 Siswa yang menjadi “korban” dari saudara atau teman sepermainannya. Tipe anak
seperti ini akan melakukan hal yang sama pada anak lainnya karena ia adalah
‘korban’ dan berusaha untuk membalas dendam.
 Siswa yang mendapat tekanan dari orang tua. Tekanan ini bisa berupa tuntutan
orang tua yang terlalu tinggi akan prstasi anaknya di sekolah atau peraturan di
rumah yang terlalu ketat/ mengekang. Akibatnya bisa bermacam, siswa bisa
pendiam tapi juga bisa “nakal” karena merasa ingin bebas.
 Siswa yang mengalami kekerasan dalam lingkungan keluarga. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor, di antaranya masalah ekonomi. Siswa yang mengalami
kekerasan di rumah, maka saat di sekolah ia akan menunjukkan sikap
memberontak kepada gurunya atau bahkan melakukan kekersaan seperti apa yang
ia alami.
 Siswa yang salah bergaul. Lingkungan memang sangat memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap perkembangan sikap siswa. Pergaulan yang kurang
tepat atau menyimpang salah bisa menyebabkan perilaku yang menyimpang.

Itulah beberapa sebab mengapa siswa berperilaku “nakal” saat di sekolah.


Saat kita tahu latar belakang masalah perikau murid kita, tentunya kita akan
merasa iba dan kasihan. Oleh karena itu mari kita sebagai pendidik mulai untuk
menghentikan label negatif kepada siswa.

Beberapa tips di bawah ini bisa kita coba untuk mengatasi perilaku siswa yang
“nakal”, adalah:
1. Berdo’a untuk anak terebut. Ucapkan namanya setiap kita berdo’a. Berharaplah
apa yang kita minta akan dikabulkan Allah dan saat kita menghadapinya Allah
mengkaruniakan kesabaran pada diri kita. Yakinlah dia akan berubah, karena
keyakinan itu adalah doa. Dia pasti berubah, entah itu besok, lusa, atau kapanpun.
2. Carilah info yang lengkap tentang siswa yang dianggap “nakal”. Tujuannya
adalah agar kita lebih paham tentang latar belakanngya. Harapanya kita akan lebih
bisa bersabar dan pengertian dalam menangani perilakunya.
3. Hentikan ucapan atau label “nakal” pada siswa tersebut. Kita tahu ucapan adalah
do’a. jika kita mengucapakan kata nakal, secara tidak langsung kita berdo’a agar
dia menjadi nakal. Katakanlah yang baik-baik untuknya, walau bagaimana pun
perilaku dan perkataannya.
4. Panggilah dia ke runag BK atau masjid. Ajaklah dia berbicara empat mata dan
dari hati ke hati. Tanyakanlah kepada siswa tersebut tentang harapannya,
permasalahannya, atau sebab dia berbuat “nakal”. Dengan hal ini kita jadi lebih
tahu tentang dirinya dan permasalahan yang sedang ia hadapi. Pada akhirnya,
berilah ia solusi, motivasi dan arahan.
5. Latilah dia dengan rasa tanggung jawab. Hal ini bisa dilakukan dengan kita
memberikan dia kepercayaan. Contoh: menjadi muadzin, mengumpulkan kas
kelas, membantu kita merekap buku tabungan, atau dengan melibatkan dia dalam
kegiatan OSIS dan ROIS (meskipun dia bukan penggurus OSIS dan ROIS). Hal
ini akan membuat dia merasa dibutuhkan dan diperhatikan. Tujuan akhirnya
adalah agar dia tahu mana hak dan kewajibannya/ tanggung jawabnya sebagai
siswa.
6. Apabila siswa tersebut berbuat “nakal”. Maka, tergurlah dengan pelan-pelan dan
jangan dibentak atau dimarahi. Karena siswa tipe seperti ini tidak akan berubah
bila dimarahi. Mereka butuh didekati, diperhatikan, dan diajak berdiskusi, serta
berilah mereka motivasi agar bisa berubah menjadi lebih baik. Katakan pada
mereka “saya yakin kamu bisa lebih baik lagi dari kamu yang sekarang”. “saya
akan merasa bangga bila kamu bisa lebih baik dari kamu yang sekarang”.
7. Apabila siswa tersebut berbuat “nakal”. janganlah diberikan hukuman fisik,
seperti push up, set up, atau jalan jongkok. karena, hal ini justru akan
menimbulkan rasa dendam dan jiwa melawan/ membangkang pada siswa. Tapi
berikanlah dia hukuman seperti sholat dhuaha atau membaca Al-Qur'an.
8. Buatlah perjanjian bila siswa tersebut berbuat “nakal”. Rekamlah dengan HP dan
suruhlah dia mengucapkan janji agar tidak mengulangi perbuatannya. Bila dia
mengulangi lagi, panggillah siswa tersebut dan putarlah rekamannya.
9. Berilah dia pilihan. Berbuat baik konsekuensinya baik atau berbuat “buruk”
konsekuensinya buruk.
10. Bila siswa tersebut berbuat baik. Maka, pujilah dia. Pujian kita akan mebuat dia
merasa bahwa usahanya dihargai dan diperhatikan oleh orang lain.

Itulah sedikit tips dari penulis. Semoga dapat memberikan manfaat.


Prinsipnya adalah tidak ada siswa yang “nakal”. Yang ada adalah siswa
kurang perhatian dan salah bergaul. Percayalah mereka bisa berubah.
Perubahan itu akan bisa terjadi bila dimulai dengan strategi dengan
menggunakan pendekatan hati. Bisa melalui tangan kita, atau mungkin tangan
orang lain. Semoga bermanfaat dan selamat mencoba.

Contoh Artikel Bahasa Indonesia

Diposkan oleh Resti Lestarini di 21.56

Berikut adalah contoh artikel yang ku dapat dari koran Kalteng Pos. Guru kami
meminta untuk mencari pokok isi artikel dan memberi tanggapan atau
persetujuan terhadap pendapat penulis. Ini dia contohnya:

Minta Kades Tumbang Puroh Diganti


Kalteng Pos: Jumat, 23 Juli 2010
Penulis:Lukas Suder Posy
Jalan Kecubung No 74 Palangka Raya

HAMPIR satu tahun lebih kades (SJ) dilantik menjadi Kades Tumbang Puroh dan
selama menjalankan tugasnya; sangat disayangkan pada saat (SJ) menjabat
kades Puroh selalu dikendali oleh orang lain sehingga bisa mempengaruhi
tugasnya sebagai kades, tugasnya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadinya
dan kerjasama dengan orang tertentu sehingga kepentingan umum di masyarakat
diabaikan.
Hal yang seperti ini menjadi perhatian serius bagi semua pihak khususnya
pemerintah Kecamatan Kapuas Hulu dan Pemerintah Kabupaten Kapuas agar
bertindak tegas dengan oknum kepala desa (SJ) yang tidak memberikan contoh
sebagai pelayan masyarakat mewakili pemerintah yang ada di desa.
Saya mendukung atas kegiatan rapat BPD Tumbang Puroh bersama masyarakat
lainnya yang menggantikan jabatan Kades Puroh (SJ) dan langkah yang diambil
masyarakat langkah yang sangat tepat dan sesuai undang-undang otonomi daerah
nomor 22 Pemerintah Daerah BAB XI Bagian kedua tentang Pemerintah Desa Pasal
103 ayat (1) huruf C,e dan ayat (2), saya meminta pihak pemerintah Kecamatan
Kapuas Hulu maupun Kabupaten Kapuas segera menindaklanjuti hasil rapat BPD
dan masyarakat Desa Tumbang Puroh, kalau ada pihak-pihak yang ingin
mempertahankan (SJ) sebagai Kades Puroh artinya semua kegiatan yang
dilakukan oleh (SJ) pasti ada konspirasinya untuk berbisnis selanjutnya.

Pokok-pokok isi artikel:


- Kades Tumbang Puroh, (SJ), yang telah menjabat selama satu tahun lebih tidak
menjalankan tugasnya dengan baik. Itu disebabkan karena tugasnya dilakukan
oleh pihak lain yang tidak berkepentingan.
- Pemerintah Kecamatan Kapuas Hulu dan Pemerintah Kabupaten Kapuas ingin
bertindak tegas dengan oknum kepala desa (SJ).
- Masyarakat menginginkan kades (SJ) diganti. Hal yang dilakukan masyarakat
tersebut sesuai dengan undang-undang otonomi daerah nomor 22 Pemerintah
Daerah BAB XI Bagian kedua tentang Pemerintah Kepala Desa Pasal 103 ayat (1)
huruf C,e dan ayat (2).

Alasan:
Saya setuju dengan pendapat penulis karena apa yang dilakukan kades (SJ)
tersebut tidak bertanggung jawab dan ditambah lagi dengan pihak lain yang
ikut campur untuk menjalankan tugasnya sebagai kades. Karena itu juga
kepentingan masyarakat di Desa Tumbang Puroh diabaikan.

Bahasa Indonesia, Pentingkah?


Posted by Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti on September 28, 2011 in Artikel Bahasa, Dr.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti · 0 Comments
Saat ini, kalau kita perhatikan pemimpin-pemimpin di Malaysia berpidato, sebagian besar
gaya bahasa mereka sudah hampir serupa dengan gaya bicara pemimpin-pemimpin
di Indonesia. Apalagi kalau kita ambil contoh tokoh Anwar Ibrahim. Gaya pidatonya
sudah hampir tidak dapat dibedakan dengan gaya orang Indonesia. Malah kalau saya
perhatikan gaya pidato orang Indonesia justru semakin buruk. Dalam pidato resmi banyak
sekali diselipkan kosakata bahasa Inggris atau istilah yang keinggris-inggrisan.

Fenomena lain yang juga menarik diamati adalah bahwa semakin ke timur maka bahasa
Indonesia penduduk di wilayah Indonesia timur seperti Maluku, Papua justru lebih baik
dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah barat. Bahasa
Indonesia mereka secara murni diperoleh dari buku teks dan merupakan bahasa formal
yang digunakan sehari hari.

Rakyat kita di daerah umumnya tidak mengerti pidato-pidato yang disampaikan oleh
orang-orang Jakarta. Misalnya saja untuk mengatakan bahwa argumen yang disampaikan
oleh pak menteri tidak mengandung nuansa yang aspiratif dan tidak solutif. Itu
maksudnya apa? Belum tentu rakyat kita mengerti. Namun itulah yang terjadi di
Indonesia bagian barat terutama yang dekat dengan Jakarta.

Apakah ini gejala ketidak perdulian bangsa kita pada bahasa Indonesia? Sebenarnya tidak
juga. Seperti halnya dengan bahasa-bahasa lain di dunia, bahasa Indonesia juga sangat
gencar didesak oleh bahasa Inggris. Saya banyak belajar bahwa ketika di antara kita
sendiri masih diliputi banyak persoalan, tiba-tiba kita terjebak dengan keharusan
menggunakan bahasa Indonesia dimana banyak sekali istilah yang belum disamakan atau
dipadankan. Generasi muda kita tumbuh di bawah pengaruh bahasa Inggris yang
kuat. Akibatnya, dalam dunia komunikasi yang serba cepat ini, ketika mereka diharuskan
berkomunikasi dalam konteks bahasa Indonesia, mereka sering tidak ada waktu untuk
berpikir karena tidak memiliki perbendaharaan bahasa Indonesia yang cukup. Akhirnya
keluarlah bahasa yang campur aduk. Contoh yang paling mudah adalah, banyak sekali di
antara kita yang tidak bisa membedakan antara isu dan problem. Padahal something that
is problematic doesn’t mean an issue.

Sebaiknya para generasi muda menyadari pentingnya menguasai bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Apalagi kalau mereka menjadi tokoh-tokoh politik, maka ketidak
mampuan mereka berbahasa Indonesia akan menimbulkan kesenjangan mental dan jarak
dengan rakyat Indonesia. Buat rakyat ini orang ngomong apa – di daerah mereka itu
disebutnya bahasa orang jakarta – karena mereka tidak mengerti. Sebabnya
berhati-hatilah.

Sebagai pimpinan BTPN (Bank Tabungan Pensiunan Nasional) saya sering turun ke
daerah-daerah di Indonesia. Sering saya harus bicara dengan penduduk lokal yang nilai
pinjamannya hanya 5 juta rupiah dengan bahasa Indonesia tidak hanya yang baik dan
benar tapi juga harus lebih pelan agar mereka mengerti. Tidak mungkin saya
menggunakan istilah collateral atau credit worthiness dengan mereka.

Saya kaget sekali ketika saya membantu gubernur Aceh, di Aceh Utara ternyata bahasa
Indonesia saya tidak dimengerti oleh rakyat di sana. Saya harus membawa putera-putera
Aceh untuk membantu saya menterjemahkan apa yang saya ingin sampaikan. Bahasa
Indonesia yg kita bawa dari Jakarta ternyata sudah melangkah terlalu jauh. Jadi kalo
mereka-mereka yang hidup di kota tidak menyadari adanya kesenjangan ini, maka
mereka akan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan rakyat di daerah.

Sebagai ekonom saya menjadi obyek pengamatan di Fakultas Ekonomi Universitas


Indonesia. Mereka heran, mengapa Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dibawa-bawa ke konvensi
melayu di Kuala Lumpur , atau bicara soal peradaban melayu di Riau. Akhirnya mereka
menyadari karena saya mengajar mata kuliah perdagangam ekonomi, saya sangat
memahami peranan bahasa indonesia sebagai lingua franca. Bahasa itu tidak statis, terus
berubah saat dunia berubah. Saya kewalahan ketika saya harus masuk ke pembahasan
tingkat falsafah ekonomi di S3, yaitu Landasan Filsafat Pemikiran Ekomomi, apalagi
Metode Ekonometri, karena faktor matematika yang lebih abstrak, juga Faktor
Analysis.

Contohnya, bagaimana kita menterjemahkan “A correlation does not necessarily to


causation“?

Memasyarakatkan Bahasa Indonesia


melalui LSM
Posted by Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti on September 26, 2011 in Artikel Bahasa, Dr.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti · 0 Comments

Dunia abad 21 ini sebetulnya hanya menggunakan tiga landasan dalam berkomunikasi:

1. Bahasa Inggris
2. Komunikasi digital: internet, multi media atau ICT (Information Communication
Technology)
3. Hampir semua bidang atau disiplin ilmu menuntut metode analisa yang rasional.
Bukan berarti harus secara matematis saja tapi juga harus runtut dan sistematis.
Tiga landasan komunikasi di ataslah yang menyebabkan orang India memiliki bahasa
Inggris versi India, Malaysia dengan bahasa Inggris versi Malaysia demikian juga
Singapura termasuk Perancis. Di Perancis bahkan kini ada satu sikap yang menolak keras
the Americanization of Marian. Marian, adalah seorang perempuan muda yang
mengibarkan bendera pada saat revolusi Perancis. Nama Marian kini menjadi lambang
nasionalisme Perancis. Perancis berjuang mati-matian agar kosakata bahasa Inggris tidak
menyerbu masuk ke dalam bahasa Perancis.

ICT (Information Communication Technology) tidak bisa dipungkiri didominasi oleh apa
yang terjadi di negara-negara barat terutama di Silicon Valley di Amerika Serikat yang
nota bene berbahasa Inggris. Mulai dari perangkat keras, perangkat lunak, aplikasi hingga
ke sistem. Cara berpikir analitis juga ikut terpengaruh dimana pengaruh ICT (Information
Communication Technology) memaksa kita untuk berpikir lebih cepat.

Tuntutan berpikir cepat ini bertentangan dengan budaya Indonesia dimana seringkali kita
diam atau tersenyum sebagai pernyataan sikap kita. Sikap diam dan senyum ini jelas tidak
tertangkap oleh ICT (Information Communication Technology) yang semuanya harus
serba eksplisit. Hal-hal semacam inilah yang membuat Dewan Bahasa di setiap negara
kewalahan.

Untuk meminimalkan tiga gelombang pasang ini terhadap bahasa Indonesia maka harus
ada kegiatan yang secara terus menerus dilakukan melalui kelompok-kelompok besar
seperti birokrasi, militer, partai politik dan dunia akademik. Namun kelompok yang
lebih besar lagi yang menurut saya paling efektif dalam memasyarakatkan bahasa
Indonesia adalah ribuan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang tersebar di Indonesia.
Ribuan LSM inilah yang sekarang merasuki berbagai jenis permasalahan di sekitar kita
yang tidak sempat ditangani pemerintah. Mulai dari yang perduli soal lingkungan hingga
hanya satu spesies hewan. Kalau kita lihat dari rentangan LSM di dunia, maka jelas sekali
keperluan bahasa itu bukan main. LSM ini jelas harus diikutsertakan dalam
pengembangan dan pemasyarakatan bahasa. Inilah yang belum dilakukan oleh Dewan
Bahasa.

ICT (Information Communication Technology) bisa dimanfaatkan untuk saling bertukar


informasi antar LSM. Misalnya pada saat bicara masalah global warming. Apa betul
terjemahannya pemanasan bumi? Istilah lain misalnya globalization. Apa tepat
menerjemahkannya menjadi globalisasi? Karena rakyat kita belum tentu mengerti
istilah globalisasi. Secara gramatika global itu dari globe dan -sasi itu dari
-zation. Mengapa bukan penduniaan?

Yang kini ada di garis depan pembangunan bangsa adalah generasi muda yang terlibat
dalam ribuan LSM karena di masa depan tidak mungkin pemerintah mampu menampung
generasi muda. Jadi, jika Anda ingin menyelamatkan khasanah nasional atau national
heritage seperti candi-candi, maka Anda akan dihadapi pada kenyataan dimana banyak
sekali istilah-istilah arkeologi yang belum memiliki padanan dalam bahasa Indonesia
sehingga masih menggunakan istilah-istilah asing hingga sekarang. Ditambah lagi dengan
Google yang menguasai pemetaan dunia, dimana jika seseorang ingin mencari lokasi
Borobudur maka setiap peristilahan yang muncul di peta Google semuanya dalam bahasa
Inggris. Tentunya pertanyaan berikutnya adalah apakah semuanya harus diIndonesiakan?
Kita jelas menghadapi dilema yang tidak bisa dihindari.

Di bidang ilmu kedokteran kini ada istilah rekayasa DNA atau GMO (genetically
modified organism) yang dikritik habis oleh LSM karena menyebabkan timbulnya
makanan baru yang disebut Frankefood yaitu makanan yang serupa Frankenstein karena
mencampur DNA tumbuhan hewan dan manusia. Bagaimana menterjemahkan persoalan
di atas ke dalam bahasa Indonesia yang mampu dimengerti oleh rakyat?

Jadi dalam pembentukan istilah atau mencari padanan kata istilah asing di dalam bahasa
Indonesia, anggota Dewan Bahasa sebaiknya tidak hanya terdiri dari ahli bahasa (linguist)
tapi juga para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang mampu bekerja sama dengan Pusat
Bahasa. Misalnya orang yang tahu betul masalah teaterlah yang bisa bicara mengenai
peristilahan di dalam dunia teater.

Ketika saya ditahan bersama almarhum WS Rendra, saya pernah ditantang untuk
menterjemahkan puisi-puisinya ke dalam bahasa Inggris. Sebuah tantangan yang menarik
karena menerjemahkan puisi tidak bisa menerjemahkannya begitu saja tanpa memahami
arti dari puisi itu sendiri.

Kata, Dipakai Dibuang Sayang


Posted by Jajang Jahroni on May 20, 2011 in Artikel Bahasa · 0 Comments

Mungkin awalnya orang Arab hanya tahu bersetubuh, yaitu ketika kelamin laki-laki dan
perempuan saling bertemu. Disebutlah jima’ yang artinya berkumpul atau bertemu. Dan
ketika unta-unta mereka berkumpul di padang rumput, mereka mengatakan ijtama’a
al-ibil (unta-unta berkumpul). Hebatnya, dari ide sederhana ini mereka menemukan
kata-kata jadian lainnya: ijma’ (kesepakatan ulama), ijtima’ (bumi, bulan, dan matahari
berada dalam satu garis lurus), mujtama’ (orang-orang yang hidup bersama di satu tempat
atau masyarakat), jami’ah (tempat mahasiswa belajar atau universitas), jum’at (hari orang
berkumpul untuk melaksanakan salat bersama—salat jum’at), dan jama’ah (sekumpulan
orang yang berada dalam satu garis kepemimpinan). Kata-kata ini selanjutnya digunakan
sebagai istilah untuk menyebut berbagai hal yang ada dalam kehidupan mereka. Ada pola
baku yang selalu diikuti sehingga bahasa Arab tidak saja berhasil mengembangkan
berbagai macam peristilahan, ia juga mampu menjelaskan ide yang paling kompleks
sekalipun.

Ketika Islam datang ke Nusantara, kita memborong kata-kata ini tanpa memerhatikan
kaidah yang ada di belakangnya. Akibatnya adalah, bahasa kita kaya dengan kosa kata,
namun miskin dalam peristilahan. Kita tidak punya istilah khusus untuk menyebut
peristiwa sejajarnya bumi, bulan, dan matahari dalam satu garis, yang menandakan bulan
baru. Dan ternyata banyak istilah penting dalam bahasa kita diambil dari bahasa asing.
Hal ini sebenarnya biasa dalam bahasa. Bahasa apa pun menyerap kata atau istilah asing.
Hanya masalahnya, kebiasaan ‘memborong’ itu terus berlanjut. Mengapa kita tidak
membuat istilah sendiri?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita lihat bahasa Arab, sebuah bahasa yang
banyak menyumbang bahasa kita. Bahasa Arab memiliki metode tasrif (perubahan kata)
yang bertujuan memperluas fungsi kata. Dari sini didapatkan istilah baru untuk
mengungkap konsep baru. Siapa sangka bahwa kata tarbiyah (pendidikan) dalam bahasa
Arab diambil dari kata rabwah, artinya humus, bunga tanah di mana tanaman bisa tumbuh
subur. Dan siapa sangka pula bahwa syari’ah memiliki makna “jalan menuju mata air.”
Di sini kita melihat penamaan didasarkan pada kesamaan atau kemiripan ide dasar.
Perluasan terjadi karena kata tidak hanya punya arti yang sebenarnya (makna haqiqi),
namun juga arti kiasan (makna majazi).

Di samping itu, dalam bahasa Arab, kata mempunyai sejumlah bentuk: kata kerja, kata
benda, kata sifat, kata keterangan, dan masing-masing memiliki sub-bentuk, sehingga
satu kata bisa memiliki belasan kata jadian. Kata “kataba” (menulis), misalnya, memiliki
tasrif “kitab” (buku), “katib” (penulis), “maktab” (meja tulis), “maktabah” (perpustakaan),
dan seterusnya. Ide “menulis” erat kaitannya dengan “buku,” dengan “perpustakaan.”
Metode ini sederhana namun cerdas, karena bahasa bisa berkembang sedemikian rupa,
melampaui simpul-simpul lokalnya untuk menampung ide-ide baru.

Dalam pengamatan saya, bahasa Indonesia pun memiliki metode ini, hanya memang
tidak terstruktur dengan baik, sehingga kita seringkali mencari kata baru untuk membuat
istilah baru. Padahal ide dasarnya sudah terkandung dalam perbendaharaan kata kita.
Pada saat itulah godaan untuk meminjam istilah-istilah asing begitu dahsyat. Kata “biak”
punya sejumlah bentuk jadian: membiak, pembiak, pembiakan, biakan, terbiak, dst.
Sejauh ini kata ini hanya digunakan untuk pemeliharaan dan pengembangan ternak.
Mengapa tidak kita gunakan “pembiakan” untuk “investment,” dan “pembiak” untuk
“investor?” Mengapa kita hanya berani menggunakan “unduh” untuk “download?”
Dalam beberapa hal kita berani. Kita menemukan banyak kata baru akhir-akhir ini.
Namun keberanian saja tidak cukup. Kita harus punya pola, salah satunya dengan cara
memperluas fungsi kata: unduh, mengunduh, unduhan, pengunduh, pengunduhan,
terunduh, keterunduhan, dst. Setelah kata-kata ini tercipta, mereka bisa digunakan untuk
peristilahan lainnya. Kita bisa gunakan “pengunduhan” untuk “rush” (penarikan uang
dalam jumlah besar karena peristiwa tertentu) dan “profit taking” (usaha ambil untung).

Sejauh ini ada upaya kreatif dari berbagai kalangan untuk menjajal kata-kata baru. Ini
patut dihargai dan diteruskan. Gerus adalah kata yang relatif baru. Dalam benak saya,
“menggerus” adalah proses pelumatan cabe, bawang, terasi di cowet untuk membuat
sambal. Kata ini sekarang dipakai untuk berbagai hal yang berhubungan dengan longsor
dan erosi. “Tebing itu akhirnya ambruk karena tergerus air.” Kita tentu bisa perluas lagi
penggunaan kata ini, tidak saja untuk erosi dan abrasi, tapi juga untuk segala tindakan
yang berhubungan dengan mengontrol dan menguasai. Setiap kali mendengar kata ini,
saya menangkap kesan negatif sehingga kita bisa memadankannya dengan “intervensi.”
“Pemerintah semakin menggerus kekuatan masyarakat sipil.” Mengapa tidak? Setelah
bersusah payah menemukan kata itu, mengapa kita buang.

Kata, frasa, klausa, dan kalimat


Posted by Ivan Lanin on May 10, 2011 in Artikel Bahasa, Vocabulary Updates · 0
Comments

Keempat istilah yang menjadi judul tulisan ini sering membingungkan orang yang belum
sempat mempelajari linguistik: termasuk saya. Definisi yang diperoleh pada KBBI seperti
yang tercantum di bawah ini pun tidak menolong menyembuhkan kebingungan tersebut.

 Kata adalah satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri.


 Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif.
 Klausa adalah satuan gramatikal yang berupa kelompok kata, sekurang-kurangnya
terdiri atas subjek dan predikat dan berpotensi menjadi kalimat.
 Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola
intonasi final, dan secara aktual ataupun potensial terdiri atas klausa.

Jadi apa bedanya?


Dari definisi yang diberikan, terlihat bahwa urutan satuan tersebut, dari yang terkecil
sampai yang terbesar, adalah (1) kata, (2) frasa, (3) klausa, dan (4) kalimat. Agar lebih
jelas, ada baiknya kita bedah suatu contoh seperti di bawah ini.

Pejabat itu pernah mengatakan bahwa Indonesia dapat berperan aktif dalam
perdamaian dunia.

Kalimat dan kata paling mudah dikenali. Contoh tersebut adalah satu kalimat yang relatif
berdiri sendiri dan memiliki intonasi final. Kalimat tersebut tersusun dari 12 kata yang
dikenali sebagai satuan yang dipisahkan olehspasi.

Klausa dikenali dari bagian yang memiliki subjek dan predikat serta memiliki potensi
menjadi kalimat. Kalimat itu memiliki 2 klausa yang dihubungkan dengan kata bahwa,
yaitu (1) pejabat itu pernah mengatakan dan (2)Indonesia dapat berperan dalam
perdamaian dunia.

Menguraikan frasa sedikit lebih sulit. Frasa paling sedikit harus terdiri dari dua kata dan
tidak memiliki subjek-predikat. Kalimat tersebut memiliki 4 frasa: (1) pejabat itu,
(2) pernah mengatakan, (3) dapat berperan aktif, (4)perdamaian dunia.
Kata bahwa, Indonesia, dan dalam tidak dimasukkan dalam frasa karena memiliki fungsi
sendiri dalam bentuk tunggal.

Mudah-mudahan saya tidak salah dalam menjabarkannya. Maklum, tulisan ini dibuat
dalam upaya untuk belajar juga.

Membangun Bangsa Dengan Bahasa


Indonesia
Posted by Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti on September 26, 2011 in Artikel Bahasa, Dr.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti · 0 Comments
Istilah pembangunan bangsa
tidak hanya berkaitan dengan pembangunan di bidang ekonomi, tapi juga di bidang
politik, sosial dan budaya. Ada 3 hal yang harus diperhatikan. Hal pertama yang paling
penting adalah kemampuan kita untuk berkomunikasi dengan satu sama lain. Semakin
kita jauh dari proklamasi tahun 1945, mengharuskan kita untuk senantiasa memperkaya
kosa kata bahasa indonesia karena permasalahan kita semakin banyak dan kompleks
sifatnya. Yang juga penting adalah keterkaitan kita dengan daerah-daerah di seluruh
Indonesia dimana tidak bisa keputusan keputusan itu dibuat sendiri oleh Jakarta tapi juga
harus menyertakan keinginan dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan dengan
Indonesia. Dalam hal ini peran bahasa Indonesia sangat penting agar tidak timbul
kesalahpahaman.

Pada waktu ini memang terjadi rebutan dalam penggunaan bahasa dari berbagai pihak
untuk memahami apa yang terjadi di dunia. Termasuk di ASEAN yaitu antara bahasa
Indonesia dengan bahasa Inggris. Kesulitan-kesulitan ini adalah salah satu penyebab
timbulnya penggunaan kosa kata yang campur aduk di dalam siaran TV dan media
lainnya. Bahasa yang campur aduk ini menjadi semakin sulit untuk dimengerti oleh
rakyat.

Misalnya saja untuk mengatakan bahwa argumen yang disampaikan oleh pak menteri
tidak mengandung nuansa yang aspiratif dan tidak solutif. Itu maksudnya apa? Dan
banyak sekali kata-kata seperti itu.

Fenomena ini juga terjadi di Perancis. Orang perancis sendiri merasa diserbu oleh kosa
kata bahasa Inggris. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat baru memiliki sekitar
90 ribu lema. Padahal Roget’s Thesaurus yang dijangkar di perpustakaan karena sangat
mahal harganya, memiliki hampir satu kosa kata. Itu sebabnya bahasa Indonesia makin
didesak oleh keperluan dari luar sehingga timbul penggunaan kosa kata bahasa Inggris
yang berlebih. Dan akhirnya makin menyulitkan komunikasi kita dengan rakyat.

Yang kedua, semakin jauh kita berjalan, semakin banyak persoalan yang menimbulkan
makin tingginya keperluan untuk senantiasa mengembangkan bahasa Indonesia.
Contohnya Talk Show yang kini banyak diselenggarakan oleh media elektronik
menimbulkan banyak perdebatan atau polemik baik di surat kabar maupun media digital
seperti internet. Bahasa Indonesia akhirnya menjadi keperluan kita untuk membangun
konsensus yang dikehendaki oleh musyawarah mufakat.

Tapi memang ada sisi negatifnya, yaitu, dengan menyebarnya bahasa Indonesia ke
seluruh pelosok nusantara, kini semakin banyak suku bangsa, daerah dan kelompok
agama, kini mampu mengungkapkan ketidak puasannya terhadap satu sama lain. Dalam
keadaan demikian ada yang berpendapat konflik lebih mudah terjadi. Dulu, tanpa bahasa
pemersatu masing-masing daerah akan sulit berkomunikasi apalagi menyatakan
kemarahan. Misalnya antara suku Banten Selatan dengan Tapanuli Utara atau daerah
Minahasa dengan Bugis. Hal negatif lainnya adalah, seperti dikemukakan oleh UNESCO,
hampir 700 bahasa regional di Indonesia terancam punah.

Yang terakhir adalah, jika kita menengok dunia film, dunia sastra dan dunia teater, bahasa
Indonesia membuat kesusastraan, kebudayaan dan dunia seni Indonesia menjadi semakin
kaya. Setiap lakon daerah kini bisa dibawa atau ditayangkan ke wilayah lainnya di
Indonesia. Dengan teknologi multimedia, semakin banyak dorongan bagi para seniman
untuk lebih kreatif menggapai pasar Indonesia yang luas ini.

Inilah tiga soal yang harus diperhatikan mengapa bahasa Indonesia memerlukan
perluasan kosa kota yang cepat dan terus menerus sebagai bagian dari pilar pembangunan
bangsa lewat pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik.

Cara Berpikir Masyarakat Mempengaruhi


Perluasan Kosakata Bahasa Indonesia
Posted by Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti on September 26, 2011 in Artikel Bahasa, Dr.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti · 0 Comments
Dalam upaya memperluas kosakata bahasa Indonesia, kita juga
harus meningkatkan kemampuan masyarakat untuk terus mengembangkan cara berpikir.
Karena setiap kali kita masuk ke dalam cara berpikir yang terlalu falsafah kita
mendapatkan kesulitan yang luar biasa dalam pengungkapan.

Saya merasakan kesulitan tersebut di program S3. Bahasa Indonesia belum mampu
menjabarkan soal-soal yang sangat rumit pada tingkat calon doktor yang memerlukan
pendekatan falsafah. Faktor ini merupakan salah satu penyebab yang mengakibatkan
resiko ketinggalan dari segala perdebatan yang terjadi di dunia. Kita semua tahu bahwa di
abad 21 ini yang paling banyak digunakan adalah bahasa Inggris. Ini sebetulnya
merupakan ‘battle of ideas‘ karena yang diuji di dunia saat ini bukan hanya pengetahuan
tapi juga kreatifitas. Bukan hanya kompetensi tapi juga reputasi.

Kemiskinan kosakata ini juga cukup merepotkan ketika saya harus membicarakan
reformasi PBB. Untuk meliput masalah diplomasi internasional banyak istilah atau
ungkapan yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Jadi tidak bisa disalahkan juga kalau
kita terpaksa menggunakan istilah bahasa Inggris. Bahasa-bahasa diplomasi kita tidak
cukup untuk menerangkan apa yang kita maksud.

Jaman pak Harto pernah didirikan sebuah lembaga kerja sama untuk menyamakan
peristilahan di berbagai bidang ilmu, yang tujuannya untuk memungkinkan pencetakan
buku di kawasan negara berbahasa Melayu bisa dilakukan dalam jumlah besar. Hal itu
hanya mungkin jika peristilahan di negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia,
Singapura, Brunei dan Indonesia bisa disamakan.

Contoh yang paling mudah adalah istilah bisnis depreciation. Di Indonesia istilah tersebut
diterajang saja dengan istilah depresiasi. Teman saya dari Malaysia tertawa ketika
mengetahui bahwa depreciation juga diterjemahkan sebagai penyusutan. Mereka bilang
yang menyusut itu es. Kalau mesin itu tidak menyusut, karena yang menyusut adalah
nilainya. Jadi menurut rekan saya itu terjemahan dari depreciation harusnya susut nilai.
Jadi kalau accelerated depreciation dengan sendirinya berarti susut nilai dipercepat.

Contoh yang cukup sulit adalah pemahaman marginal. Di Malaysia diterjemahkan sut.
Argumen saya konsep marginal itu secara matematis merupakan sesuatu yang sangat
maju di luar ilmu berhitung biasa. Istilah itu saya ragukan, dan karena saya tidak yakin
makan dalam bahasa Indonesia saya menggunakan istilah marjinal bukan sut. Hal-hal
seperti inilah yang perlu kita benahi.
Ketidak sepahaman ini tidak hanya terjadi antar negara bahkan di antara kita sendiri,
antar suku. Contohnya istilah saling bantah. Dalam bahasa Bugis itu disebut baku bantah,
dimana penggunaan kata baku juga dipakai untuk baku hantam, baku pukul, baku bicara.
Sementara sebagian dari kita menggunakan istilah berbalas.

Selayaknya Dewan Bahasa tiap negara berbahasa melayu menciptakan konsensus dalam
hal penyamaan istilah di berbagai disiplin ilmu yang kemudian diundangkan agar menjadi
istilah resmi yang digunakan oleh negara-negara yang berkepentingan.

Bahasa Daerah, Bahasa Indonesia, atau


Bahasa Inggris
Posted by Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti on September 26, 2011 in Artikel Bahasa, Dr.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti · 0 Comments

Ketika saya masih menjadi mahasiswa di University of California, Berkeley, di Amerika


Serikat, saya oleh seorang antropolog saya diminta untuk bercerita tentang jenis
permainan anak-anak di Banten, tempat kelahiran saya. Ketika saya menyanyikan lagu
daerah yang digunakan dalam permainan tersebut, ada bagian yang kemudian mampu
membuat kita trans atau kesurupan. Permainan tersebut bercerita tentang kamanting,
seekor lebah kecil yg berpura pura mengejar teman teman lebah lainnya. Agar kita betul
betul mampu berperan seperti lebah itu, maka kita dibuat trans atau kesurupan. Ketika
antropolog tersebut meminta saya menterjemahkan arti lagu itu, saya sampaikan pada
beliau bahwa jangankan ibu saya, nenek saya pun belum tentu tahu, apalagi saya. Sampai
sekarang lagu itu masih ada, tapi tidak ada yang tahu apa artinya dan kenapa mampu
menimbulkan trans. Punahnya bahasa daerah Banten membawa serta kepunahan budaya
yang khas daerah tersebut.

Demikian juga Ninik Towok di Jawa atau bahasa-bahasa daerah lainnya yang dipakai
untuk upacara adat, belum tentu generasi sekarang mengerti maknanya.

Di Indonesia terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa dimana tiap
kelompok etnik memiliki beberapa bahasa daerah. Penempatan bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI 1945 telah
menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi antar suku, termasuk bahasa
pengantar dalam pelaksanaan pendidikan anak bangsa di sekolah-sekolah dan
universitas-universitas di seluruh Indonesia. Bahasa Indonesia juga bahasa yang resmi
digunakan oleh pemerintah daerah seluruh Indonesia. Hasilnya, dari Sabang sampai
Merauke seluruh rakyat Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesialah yang
mempersatukan Indonesia.

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran bahasa Indonesia ikut mendesak punahnya
bahasa daerah. Di Indonesia ada 746 bahasa ibu, tapi dari tahun ke tahun jumlahnya
berkurang. Di Papua, dulu ada 273 bahasa daerah. Kini menjadi 271 bahasa. Di Sumatra,
jumlah bahasa daerah berkurang, dari 52 bahasa menjadi 49 bahasa. Sementara di
Sulawesi, bahasa daerah berkurang dari 116 bahasa menjadi 114 bahasa. Menurut hasil
penelitian UNESCO, ke punahan bahasa ibu terbanyak terjadi di Indonesia. Punahnya
bahasa ibu bisa menyebabkan punahnya budaya karena setiap bahasa memiliki istilah
yang erat dengan tradisi dan budaya lokal.

Banyak istilah daerah ini sangat unik yang belum tentu dapat diterjemahkan begitu saja
ke bahasa daerah lain atau ke bahasa Indonesia apalagi ke bahasa Inggris. Pengetahuan
lokal tentang flora, fauna, alam sekitar, tradisi, seni dan budaya setempat banyak terekam
dalam istilah atau bahasa daerah. Jika bahasa daerah punah maka kita akan kehilangan
local wisdom dan sumber informasi lokal yang sangat penting.

Ketika saya mengamati peta mulai dari Hawaii, New Zealand hingga Indonesia Timur,
saya berpikir, sebetulnya apakah yang menyatukan ras melayu polynesia di seluruh
pacific. Ternyata kata ‘wa’. Di wilayah pacific ini banyak sekali tempat yang memiliki
nama dengan awalan wa. Contohnya, Waingapu, Wakatobi, Wamena, Wanaka, Vanuatu,
Wanganui, Waikiki, Wainaku dan lain=lain. Kata ‘wa’ ini pasti ada artinya yang
berkaitan dengan wilayah polynesia.

Jadi keberadaan bahasa daerah selayaknya disejajarkan kepentingannya dengan bahasa


Indonesia. Artinya seorang putera daerah Papua tidak hanya harus menguasai bahasa
Indonesia sebagai alat komunikasi dengan suku bangsa lain tapi juga bahasa daerahnya.
Karena kelangsungan bahasa daerah ada di tangan putera-putera daerah. Dan yang
terakhir adalah juga menguasai bahasa Inggris agar mampu melakukan diplomasi
internasional.
Memaksimalkan Kaidah Bahasa
Posted by Jajang Jahroni on July 3, 2010 in Artikel Bahasa · 0 Comments

Pada zaman Orde Baru, kita sebagai pengguna bahasa Indonesia begitu patuh dengan
prinsip ’gunakan Indonesia dengan baik dan benar’. Benar dan baik di sini didasarkan
pada ukuran kebahasaan para penguasa pada waktu itu di mana mereka nyaris menjadi
satu-satunya pihak yang menguasai ranah publik kebahasaan. Gaya bahasa penguasa pada
waktu itu harus dipahami sebagai ukuran masyarakat umum untuk berbahasa sehingga
orang yang berbeda, seperti almarhum Yus Badudu, pengajar bahasa Indonesia di TVRI,
harus meninggalkan pekerjaannya karena dianggap tidak tahu bahasa Indonesia yang baik
dan benar. Akibat penguasaan ini, kreativitas berbahasa masyarakat menjadi miskin, daya
nalar dan imajinasi menjadi tumpul. Dalam kurun waktu tiga puluh lima tahun
berkuasanya Orde Baru, masyarakat dicekoki kosa kata para pejabat yang bercerita
tentang keberhasilan pembangunan yang serba verbalistik-formalistik.

Beberapa tahun belakangan, sejalan dengan reformasi, bahasa sekarang betul-betul


menjadi ranah publik di mana tak seorang pun dan tak sekelompok pun bisa mengklaim
cara berbahasa mereka lebih baik dan lebih benar dari yang lain. Perkembangan ini jelas
positif karena memang bahasa adalah milik segenap lapisan masyarakat. Kenyataan ini
merangsang setiap kelompok masyarakat baik para jurnalis, aktivis, politisi, ahli hukum,
ekonom, seniman, agamawan, atau masyarakat biasa, untuk mengembangkan gaya
bahasa mereka masing-masing. Perkembangan yang paling menarik adalah munculnya
sekelompok orang yang menginginkan bahasa Indonesia dapat berfungsi lebih maksimal.
Aspek fungsional di sini adalah bahwa bahasa tidak sekedar alat untuk berkomunikasi,
namun bagaimana tata bahasa yang ada namun tidak pernah digunakan difungsikan
secara maksimal untuk mendapatkan kata-kata baru yang lebih simpel namun efisien dan
efektif.

Contoh yang sederhana saja adalah awalan ‘pe’. Sejak kecil kita tahu bahwa awalan pe
yang berada di depan kata kerja berarti pelaku atau orang yang melakukan. Pencuri
artinya orang yang mencuri, penulis artinya orang yang menulis, dan seterusnya. Namun
awalan ini hanya digunakan dengan kata-kata yang itu-itu saja, dan jarang digunakan
dengan kata-kata lain yang baru. Berapa banyak di antara kita yang menggunakan
kata-kata: pesinetron, pebulutangkis, pesepakbola, pebasket, pedangdut, pesepeda,
pesepaturoda, pemobil, pemotor, pebecak, dan banyak lagi kata-kata baru yang
sebenarnya ada dalam struktur tata bahasa kita, namun karena kita tidak kreatif, mereka
nyaris tidak pernah meluncur. Pada umumnya kita menggunakan kata-kata: pemain
sinetron, pemain bulutangkis, pemain sepakbola, pemain basket, penyanyi dangdut,
pengendara sepeda, pemakai sepatu roda, pengendara mobil, pengendara motor, dan
tukang becak. Kelihatannya ini masalah sepele. Namun gejala ini merupakan cerminan
dari daya kreativitas yang rendah untuk membuat kata-kata yang sederhana namun
efektif.

Bila pola ini diteruskan kita akan mendapatkan banyak kata untuk mendapatkan
istilah-istilah yang lebih fungsional. Coba, untuk menerjemahkan kata Inggris timer saja,
paling tidak kita butuh dua atau kadang tiga kata: ”penghitung waktu” atau ”alat
penghitung waktu”. Kedua istilah ini jelas terlalu panjang. Mengapa kita tidak
memfungsikan awalan pe sehingga kita mendapatkan kata”pewaktu”—artinya yang
menentukan waktu—yang lebih pendek. Bila awalan ini kita kombinasikan dengan
akhiran an, kita akan mendapatkan kata ”pewaktuan” sebagai ganti ”penentuan waktu”
atau ”pemilihan waktu”. Terdengar aneh? Memang, namun lama kelamaan akan terbiasa.
Ketika pertama kali sebuah kata ditemukan, maknanya sebenarnya dipaksakan secara
sistematis bagi para pendengarnya. Bila mereka menyukainya, maka ia akan diterima dan
menjadi milik bersama. Bila tidak, ia akan hilang begitu saja. Ada negosiasi antara si
pembuat atau penemu kata dengan para pendengarnya.

Kasus awalan pe ini adalah salah satu kasus kecil saja dari sekian banyak kasus yang ada
dalam kebiasaan berbahasa kita yang cenderung monoton dan tidak kreatif. Inilah
sebenarnya makna prinsip bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Prinsip ini tidak hanya
bermakna bahwa kita adalah pemakai bahasa yang berbeda dengan bahasa masyarakat
lainnya di dunia, namun juga menyiratkan bagaimana bahasa yang kita miliki melahirkan
sebuah sistem pengetahuan yang canggih yang dapat mengatasi berbagai persoalan
kebahasaan. Dulu kita hanya tahu bahwa untuk adalah kata depan. Namun dengan
kombinasi awalan perdan akhiran an ditemukan kata peruntukan, seperti dalam kalimat,
Pembangunan di Jakarta banyak melanggar peruntukan tanah, kata untuk menjadi konsep
yang canggih.

Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah tulisannya tentang masyarakat madani, Dawam
Rahardjo ”menemukan” kata kesalingan (hormat menghormati, harga menghargai,
sayang menyayangi, cinta mencintai, dst) untuk menyebut prinsip yang mendasari
terbentuknya masyarakat ini. Kata itu ia gunakan untuk menerjemahkan kata Inggris
mutuality. Mungkin kata ini sudah digunakan sebelumnya oleh orang lain. Namun yang
penting adalah munculnya kesadaran untuk memfungsikan kata-kata Indonesia yang
ternyata mampu untuk tampil ringkas dan padat.

Di samping memfungsikan kaidah-kaidah bahasa yang tidur, kalangan fungsionalis juga


mengusahakan kosa kata bahasa Indonesia dapat dipergunakan secara luas untuk
menerjemahkan kata-kata asing. Tentu kita sadar betapa banyak kata-kata asing
berseliweran di tengah-tengah kita dan kita tidak melakukan apa-apa. Di bidang media
ada headline news, host, presenter, breaking news; di bidang ekonomi:profit taking,
rebound, capital flight, hot money; di bidang cyber media: down load,
browsing,searching, connecting, blogging, dan banyak lagi. Pendek kata serbuan
kata-kata asing terjadi di semua bidang kehidupan. Mungkin ada ratus bahkan ribuan
istilah-istilah asing yang ditelan ’bulat-bulat’ oleh masyarakat kita. Bila ini terus
dibiarkan, bukan tidak mungkin lima sampai sepuluh tahun ke depan, bahasa Indonesia
tidak akan banyak berbeda dengan bahasa Inggris. Apalagi masyarakat kita—terutama
para artis dan penyanyi yang terlanjur merasa menjadi public figure, padahal sebenarnya
adalah figur yang dikenal publik—merasa lebih hebat bila dalam percakapan mereka
diselingi kata-kata Inggris untuk memberi kesan bahwa mereka sering wara-wiri ke luar
negeri.

Kalangan fungsionalis menggunakan kata-kata yang ada dalam perbendaharaan bahasa


Indonesia untuk menerjemahkan istilah-istilah asing. Beberapa tahun yang lalu, kita tentu
masih ingat penggunaan istilah “illegal logging” untuk menyebut praktik pencurian dan
penebangan kayu secara liar. Sekarang kita mempunyai istilah “pembalakan liar”. Dan
sekarang istilah ini digunakan secara luas. Munculnya istilah ini menyadarkan kita bahwa
ternyata bahasa Indonesia mampu berfungsi lebih maksimal lagi.

Bicara tentang fungsionalisasi bahasa, mungkin ada baiknya kita perhatikan sejenak
bagaimana kaum pinggiran, anggota masyarakat biasa yang terdiri dari para supir, kenek,
pengojek, pembecak, dan semacamnya, membuat istilah. Untuk pengecatan seluruh
permukaan mobil, mereka punya istilah menyiram; memotong per agar mobil lebih
rendah menceperkan; mengutak-atik mesin agar mobil berlari kencang mengilik; mobil
yang dipercayakan pada seorang supir batangan. Mereka juga yang menemukan istilah
dangdutan, menikmati pertunjukan musik dangdut; cabutan, pemain dari kampung lain
yang disewa dalam sebuah pertandingan; tarikan, barang yang ditarik dari pemiliknya
karena tidak bisa membayar cicilan; tujuhbelasan, memperingati tujuh belas agustus;
tahunbaruan, memperingati malam tahun baru. Jadi, siapa sebenarnya yang lebih kreatif?

Lebaran: Bukan Lébaran atau Leburan


Posted by Melody Violine on September 1, 2010 in Artikel Bahasa, Vocabulary
Updates · 0 Comments

Sebentar lagi seluruh umat Islam di dunia akan merayakan hari raya Idul Fitri atau
Lebaran sebagai hari raya kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh.

Sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam. Jadi, hari raya yang paling meriah
adalah hari raya Idul Fitri atau Lebaran. Idul Fitri berasal dari bahasa Arab, yaitu id
al-fitr yang berarti “hari raya kecil”. Bagaimana dengan Lebaran? Kata ini sudah lama
digunakan sebagai sinonim Idul Fitri dan banyak orang Indonesia tidak memperhatikan
dari mana asalnya.

Ada orang yang menganggap Lebaran berasal dari kata lebar di dalam bahasa Indonesia.
Maksudnya, Lebaran berarti saatnya melebarkan hati untuk saling memaafkan. Namun
kalau benar demikian, Lebaran seharusnya dibaca Lébaran (é dilafalkan seperti pada
kata bebek) . Ada juga yang beranggapan Lebaran berasal dari kata lebur di dalam
bahasa Indonesia yang berarti “luluh” atau “hancur”. Maksudnya, pada saat Lebaran
dosa-dosa kita hancur setelah berpuasa dan saling bermaafan. Sekali lagi, kalau ini benar,
seharusnya hari raya Idul Fitri disebut juga Leburan, bukan Lebaran.

Setelah ditelusuri ke dalam bahasa-bahasa daerah, ternyata Lebaran berasal dari bahasa
Jawa dan Sunda. Lebaran berasal dari kata lebar yang berarti “sesudah, setelah” di dalam
bahasa Jawa kasar. Di dalam bahasa Sunda, lebar berarti “bebas, lepas, selesai, sudah,
berakhir”. Supaya menjadi kata benda, akhiran –an dilekatkan sehingga kata lebar
menjadi lebaran. Karena jumlah penutur bahasa Jawa dan Sunda adalah jumlah penutur
bahasa daerah yang terbesar pertama dan kedua di Indonesia, kata lebaran segera diserap
ke dalam bahasa Indonesia.

Selamat hari lebaran! Mohon maaf lahir batin.

Unggah, Unggah Unggih? Sebuah usulan


terobosan baru.
Posted by Jajang Jahroni on July 11, 2010 in Artikel Bahasa · 0 Comments

Ada kata baru dalam perbendaharaan bahasa Indonesia: unggah–yang berarti upload.
Kata ini untuk menimpali ‘unduh’–yang berarti download yang muncul lebih dulu. Saya
tidak tahu persis kapan sebenarnya ‘unggah’ masuk ke dalam bahasa kita. Mungkin
sebelumnya ada orang yang menggunakan. Tapi yang jelas Kompas menggunakan kata
tersebut. Kemunculan kata ini tampaknya dipicu oleh beredarnya video porno Ariel-Luna
Maya-Cut Tari. Tiba-tiba orang berkepentingan untuk menemukan padanan upload dalam
bahasa Indonesia. Ditemukanlah unggah–yang secara etimologi, menurut saya,
mendudukkan seseorang (biasanya anak kecil) pada tempat duduk yang tinggi.
Kemunculan kata “unggah” menurut saya menarik. Pertama, tampaknya orang mulai
sadar betapa perlunya mengimbangi kosa kata Inggris yang setiap hari berkelebat dalam
kebahasaan kita. Kedua, sebenarnya tidak terlalu susah untuk menemukan kata-kata baru
yang bisa diambil dari kekayaan bahasa kita. Dengan sedikit berpikir kita bisa
menemukan kata baru. Dan, ketiga, ini yang paling penting, ada ruang yang sangat luas
yang tersedia bagi kita untuk berkreasi dengan menjajal kata-kata baru dalam kebahasaan
kita. Setelah itu, tentu semuanya diserahkan kepada pasar. Mereka mau atau tidak. Bila
pasar mau, maka tentu kata yang kita jajal tersebut akan menjadi bagian dari
perbendaharaan bahasa kita. Bila tidak, ia akan hilang dengan sendirinya.

Namun kreativitas seperti ini belum cukup, karena, dengan demikian, akan terlalu banyak
kata yang harus dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Dulu pernah orang
membuat kata “lepas-landas” sebagai padanan take-off . Cara ini sebenarnya bagus, di
mana “lepas” bisa berfungsi sebagai awalan yang memberi arti negatif pada kata yang
ditempelinya, seperti halnya dalam bahasa Inggris. Namun entah mengapa terobosan ini
tidak berkembang. Salah satunya, mungkin, orang mengira ini adalah kata majemuk,
apalagi bunyi akhirnya berima. Belum lagi tidak adanya keseragaman dalam menulis kata
ini, lepas landas, lepas-landas, atau lepaslandas, sehingga membingungkan para pengguna
bahasa.

Saya punya akal. Dalam tradisi kebahasaan kita, kita sering mengubah vokal sebuah kata
untuk mendapatkan lawannya. Sana-sini, bolak-balik, wara-wiri, larak-lirik,
pontang-panting. Vokal a dan i begitu kentara, memberi makna “ke sana ke sini.”
Sekarang pertanyaannya, mengapa kata-kata ini tidak kita pecah? Kalau kita pecah, kita
akan mendapatkan kata-kata baru dengan makna yang bertolak belakang. Misalnya,
“jangan suka melarak, melirik boleh.” Maksudnya “jangan suka menaksir istri orang
(sana), mengagumi istri sendiri boleh (sini). Dengan demikian kita tidak perlu
menciptakan kata yang benar-benar baru untuk lawan katanya. Cukup hanya dengan
mengubah vokal!

Masih belum setuju dengan ide ini? Tidak apa-apa. Anda tidak harus setuju dengan ide
yang tampak nyeleneh ini. Namanya juga kreativitas. Tapi coba pikir. Tanpa kita sadari,
kita sebenarnya menggunakan pola a-i ini dalam bahasa kita. “Jantungnya kebat-kebit.”
Bagi saya kata kebat-kebit menunjukkan cara kerja jantung yang bergerak ke kanan ke
kiri. Persis seperti bandul jam. Pola yang sama kita temukan dalam kocar-kacir,
morat-marit, gerakan ke kanan ke kiri, ketika seorang lari ketakutan, tidak ada
keseimbangan, bisa jatuh ke kanan atau ke kiri.

Bila kita sepakat, pola ini kita bisa perluas lagi. Misalnya, a (jauh) untuk atas, dan i (dekat)
untuk bawah. Maka kita akan mendapatkan unggah (upload), dan unggih (download).
Banyak kata baru yang bisa kita ciptakan, dengan harga murah. Hanya mengubah vokal
akhir. Terbang (take-off) terbing (landing).
Ide ini sebenarnya agak semena-mena, karena bahasa dengan demikian diciptakan dalam
sebuah kehampaan. Tiba-tiba saya melontarkan kata-kata yang tidak dimengerti orang
lain. Tidak ada kesepakatan. Betul bahwa bahasa adalah kesepakatan. Tapi itu dulu.
Sekarang bahasa adalah kreasi dan eksperimentasi. Teori kesepakatan berasal, di
antaranya dari Ferdinand de Saussure yang berasumsi bahwa bahasa tercipta berkat
adanya kesepakatan-kesepakatan yang ada di masyarakat. Saussure betul. Kelemahannya
adalah Saussure tidak menerangkan bagaimanana kesepakatan terjadi. Tidak mungkin
terjadi kesepakatan tanpa adanya kreasi orang perorang yang karena memiliki kekuasaan,
kreasi itu kemudian diterima oleh orang banyak dan sejak itu dianggap sebagai
“kesepakatan. ” Dengan kata lain ada unsur “pemaksaan” yang menyebabkan sebuah kata
dengan muatan makna tertentu terlontar ke tengah pemakai bahasa.

Sekarang masalahnya adalah, siapa yang memiliki kekuasaan tersebut? Bagi saya, setiap
kita sebenarnya memiliki kekuasaan, dengan tingkat yang berbeda-beda tentu saja. Orang
yang bisa menyampaikan maksudnya dengan baik, baik secara lisan maupun tulisan,
memiliki power tertentu sehingga ia bisa mempengaruhi kebahasaan orang lain.
Contohnya. Beberapa tahun yang lalu, tiba-tiba pemirsa teve di Tanah Air
diperdengarkan dengan “maknyus” sebuah kata yang dipopulerkan oleh Bondan Winarno.
Setiap kali ia mencicipi makanan yang disajikan, ia bilang “maknyus.” Artinya sedap dan
nikmat. Sekarang pertanyaannya, kapan kita sepakat bahwa maknyus berarti sedap dan
nikmat? Tidak pernah! Namun sejauh ini tidak ada yang keberatan dengan kata tersebut.
Tanya punya tanya, Bondan menerangkan bahwa kata tersebut ia dapatkan dari
budayawan Umar Khayam, dan Khayam, mungkin, memungutnya dari khazanah bahasa
Jawa.

Baik Bondan maupun Umar adalah orang-orang yang punya “power”. Bondan adalah
wartawan, penulis, pengarang, pembawa acara, wajahnya setiap kali muncul di teve, dst.
Sementara Umar adalah sastrawan, profesor, budayawan, dst. Dengan kata lain, betapa
bahasa yang mereka gunakan mempengaruhi bahasa orang lain. Kalau saja mereka bilang
“meknyes,” bukannya “maknyus,” niscara orang akan menurut saja. Atas dasar ini, saya
berasumsi mengapa kita tidak bereksperimen dengan bahasa kita. Apalagi bahasa
Indonesia, menurut saya, meskipun kaya dengan perbendaharaan kata, namun tidak
memiliki sistem yang apik, sehingga lagi-lagi kita meminjam dari bahasa lain.

Teori bahwa bahasa adalah kesepakatan sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu
dan teknologi yang cepat. Teknologi mengeluarkan produk baru setiap hari, dan produk
itu harus diberi nama. Saya terkadang tersenyum sendiri betapa mudahnya orang Barat
menciptakan bahasa. Gambar yang terkadang kita taruh dalam teks disebut smiley.
Mungkin gambar awalnya tersenyum, smile. Hanya diplesetkan sedikit, jadilah smiley.
Dan semua orang pakai. Tidak ada kesepakatan, meskipun pada akhirnya disepakati.
Memang kalau masing-masing kita tidak pernah sepakat, kata itu tidak pernah terwujud.
Tapi tokh itu tidak pernah terjadi. Tidak seperti itu bahasa berkembang. Sebagai
konsumen, kita manut saja pada produsen. Mau apalagi, memang kemajuan ilmu dan
teknologi dari sana.

Tapi sebenarnya banyak yang bisa kita lakukan, bila saja kita sadar bahwa bahasa
membutuhkan kreativitas. Bahasa harus diciptakan. Saya punya kenalan, orang Amerika.
Namanya Ben Zimmer. Setelah lulus dari Chicago University, ia bekerja sebagai pakar
bahasa, salah satunya di The New York Times. Setiap minggu ia menulis kolom, khusus
tentang bahasa. Menariknya, di Barat kesadaran orang untuk menciptakan bahasa dan
kata-kata baru sudah terjadi lama sekali. Tentu saja yang paling piawai di sini adalah
mereka yang aktif di dunia tulis menulis: wartawan, pengarang, sastrawan, profesor.
Dalam salah satu kolomnya, Ben menceritakan bagaimana kata “cool” menjadi bagian
dari bahasa sehari-hari. Yang artinya keren atau asyik atau bagus. Sebelumnya tidak ada
orang yang menggunakannya. Sekarang semua orang menggunakan kata itu. Dalam
kolom yang lain, ia juga menulis tentang perdebatan health care reform yang terjadi di
Senate AS yang menimbulkan pro dan kontra begitu dalam sehingga menimbulkan istilah
“how to get yes,” atau “how to get no.”

Nah, yang saya ceritakan ini adalah contoh bagaimana bahasa berkembang. Caranya
macam-macam. Cara yang paling sering dilakukan adalah orang mengambil kata dari
bahasa lain dan dipakai dalam bahasa kita. Neologisme adalah kata baru yang memasuki
ranah bahasa. Sebenarnya tidak baru juga. Dalam bahasa Inggris, kata-kata baru sering
diambil dari bahasa Latin, Perancis, atau Jerman. Untuk bahasa Indonesia, tentu kita bisa
memperkaya bahasa kita dengan bahasa Sanskerta, Arab, Melayu, Jawa, Sunda.Tapi cara
ini menurut saya tidak cukup. Kita harus mencari terobosan baru. Misalnya dengan
memanipulasi vokal yang jelas-jelas ada dalam tradisi kita. a untuk jauh, i untuk dekat.
Sekali lagi saya katakan, kita harus mencoba.

Indonesia dan Malaysia Bersaudara di


dalam Bahasa
Posted by Melody Violine on July 14, 2009 in Artikel Bahasa · 0 Comments

Inilah salah satu hal yang kita “perebutkan” dengan negeri tetangga—bahasa. Sebagian
orang yang awam terhadap ilmu bahasa (linguistik) mungkin bingung. Apakah bahasa
Indonesia dan bahasa Malaysia memang sama? Kalau pengguna kedua bahasa ini bisa
saling mengerti tanpa mengikuti kursus bahasa asing dulu, mengapa tidak memakai nama
yang sama saja—bahasa Melayu misalnya?

Hal pertama yang perlu dijelaskan adalah bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional
Republik Indonesia, sedangkan bahasa Malaysia merupakan bahasa nasional Malaysia.
Umumnya, bahasa Indonesia digunakan di Indonesia, sedangkan bahasa Malaysia
digunakan di Malaysia.

Tapi mengapa ada universitas di Korea Selatan yang membuka jurusan bahasa
Malaysia-Indonesia? Mengapa ada universitas di Amerika Serikat yang membuka jurusan
bahasa Melayu, bukan bahasa Malaysia saja atau bahasa Indonesia saja?

Sebagai langkah pertama untuk memahami fenomena ini, mari kita simak kata-kata
Harimurti Kridalaksana berikut ini.

Dari sudut intern linguistik, bahasa Indonesia merupakan salah satu varian
historis, varian sosial, maupun varian regional dari bahasa Melayu.
Dikatakan varian historis karena bahasa Indonesia merupakan kelanjutan dari
bahasa Melayu, bukan dari bahasa lain di Asia Tenggara ini. Dikatakan varian
sosial karena bahasa Indonesia dipergunakan oleh sekelompok masyarakat yang
menamakan diri bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan bangsa Malaysia atau
bangsa Brunei yang mempergunakan varian bahasa Melayu lain. Dikatakan varian
regional karena bahasa Indonesia dipergunakan di wilayah yang sekarang
disebut Republik Indonesia (1991 : 2).

Menurut saya, hal yang sama dapat diterapkan pada bahasa Malaysia. Bahasa Malaysia
merupakan salah satu varian historis, varian sosial, maupun varian regional dari bahasa
Melayu. Jadi, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Malaysia hanyalah varian bahasa,
bukan dua bahasa yang berbeda. Mereka hanya varian—masih bersaudara.

Mengapa bahasa Melayu? Bahasa Melayu mempunyai sejarah yang panjang sebagai
lingua franca (1991: 196) atau bahasa penghubung di daerah yang sekarang menjadi
wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Itulah mengapa bahasa
Melayu menjadi bahasa nasional di keempat negara tersebut.

Mengapa Indonesia dan Malaysia bersikeras menggunakan kata bahasa, padahal


sebenarnya keduanya hanya menggunakan varian bahasa Melayu? Baik Indonesia
maupun Malaysia merasa perlu memisahkan identitas bahasa nasionalnya dari bahasa
Melayu di negara lain. Seperti yang dikatakan oleh Harimurti Kridalaksana (2005: 6),
bagi kelompok-kelompok sosial tertentu, bahasa tidak sekadar merupakan sistem tanda,
melainkan sebagai lambang identitas sosial. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa
bangsa Indonesia tidak ingin mempunyai identitas sosial yang sama dengan bangsa lain
yang juga menggunakan bahasa Melayu, begitu pula bangsa Malaysia.

Namun bagaimanapun juga, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia berakar dari bahasa
yang sama, yaitu bahasa Melayu yang digunakan di Kepulauan Riau-Lingga dan
pantai-pantai di seberang Sumatra (Steinhauer, 1991: 195). Itulah mengapa bahasa
Indonesia dan bahasa Malaysia mempunyai dasar-dasar yang sama. Maka, tidaklah
mengherankan jika ada universitas yang menggabungkan bahasa Indonesia dengan
bahasa Malaysia ke dalam satu jurusan/departemen.

Hal yang harus diperhatikan adalah sebagai varian sosial dan varian regional, bahasa
Indonesia dan bahasa Malaysia digunakan oleh kelompok orang yang berbeda dan di
tempat yang berbeda. Perkembangan bahasa Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan
bangsa Indonesia dan apa yang terdapat dan terjadi di Indonesia sendiri. Begitu pula
bahasa Malaysia.

Dengan demikian, dari tahun ke tahun, perbedaan antara bahasa Indonesia dengan bahasa
Malaysia semakin besar. Bagaikan saudara yang diasuh di rumah berbeda, bukan tidak
mungkin kedua bahasa ini tidak saling mengenal lagi ketika sudah tua nanti.

Referensi:
Kridalaksana, Harimurti. “Bahasa dan Linguistik,” Pesona Bahasa: Langkah Awal
Memahami Linguistik. ed. Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder.
Jakarta: Gramedia, 2005.

“Pendekatan tentang Pendekatan Historis dalam Kajian Bahasa Melayu dan Bahasa
Indonesia,” Masa Lampau bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. ed. Harimurti
Kridalaksana. Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Steinhauer, H. “Tentang Sejarah Bahasa Indonesia,” Masa Lampau bahasa Indonesia:


Sebuah Bunga Rampai. ed. Harimurti Kridalaksana. Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Keindahan dan Kekuatan Bahasa


Posted by Doddy Urbanus on July 5, 2009 in Artikel Bahasa · 0 Comments
Keindahan Bahasa

Bahasa seringkali digunakan oleh para seniman dan sastrawan untuk menggambarkan
suatu keindahan, apakah kecantikan perempuan, keindahan alam, keagungan Tuhan,
keindahan cinta, dan berbagai keindahan lain. Begitu dekatnya bahasa dan keindahan
sehingga mampu membawa manusia terbawa ke dalam alam perasaan. Sebuah rangkaian
kata dan kalimat yang indah mampu membuat manusia menangis, sedih, terharu, bahagia,
dan jatuh cinta

Biasanya keindahan akan diaktualisasikan oleh pecinta seni melalui berbagai bentuk
seperti puisi, sajak, cerita, syair, dll. Keindahan yang ingin digambarkan seringkali
menggunakan kosakata perumpamaan atau idiom, dengan mengambil contoh yang ada
pada alam dan lingkungan, misalnya: ketika ingin menggambarkan kecantikan seorang
wanita, ada kalimat yang mengatakan :

1) Dagumu “bak lebah bergantung”


2) Alis matamu “bak semut beriring
3) Betismu “bak bunting padi”
4) Wajahmu “bak pualam”
5) Di wajahmu kulihat bulan
6) Indonesia “bak ratna mutu manikam”

Disini sang penyair ingin menggambarkan betapa bentuk dagu seorang wanita yang
menggantung demikian indahnya hingga mirip sarang lebah yang bergantung. Imajinasi
seorang penulis syair akan menari-nari di dalam kepalanya ketika melihat keindahan alis
mata, betis, dan wajah seorang wanita. Kekaguman itu segera terhubung dengan apa yang
mungkin pernah dilihat bagaimana semut berjalan beriringan, bentuk padi yang sedang
bernas, dan jernihnya batu pualam.

Keberhasilan seorang penyair, terletak pada pemilihan kosakata yang tepat dan mampu
menggambarkan sebuah keadaan yang dapat dipahami oleh pembacanya.

Kemampuan menuliskan syair indah kedalam bentuk puisi bukan hanya monopoli para
penyair dan seniman saja. Dengan melatih kepekaan dan ketajaman perasaan, orang
kebanyakan pun dapat melakukannya, orang tua, orang muda, pria, wanita, pelajar,
bahkan presiden SBY pun gemar dan mahir menulis puisi.

Berikut dibawah ini adalah contoh karya puisi seorang wanita yang ingin
menggambarkan kebahagiaan hatinya:

Untuk Kamu
Oleh Aruni Dyah Utami
Rindu itu selalu tumbuh menjalari seluruh tubuh,
bagai air yang selalu mengalir
hanya ia yang mengerti…
Lalu,

biarkanlah angin menyapu pasir


membawanya terbang bertemu awan
bersimpuh, menanti kening langit tak berkerut lagi,,
Lalu ia kehilangan cahaya surya,
berganti kelabu beku,
sampai kau menangis…
berteriak dan menghasilkan petir..
dan..

ketika tangis terasa tak berarti,


ia datang menghadiahkan mu.,
sebuah pelangi…

Keindahan dan kebahagiaan suasana hati ternyata bisa di transfer kepada orang lain
melalui sebuah susunan kalimat dan bahasa yang indah

Kekuatan Bahasa

Selain efek keindahan, bahasa juga dapat memberi pengaruh kekuatan yang luar biasa
dalam membangun semangat dan keinginan untuk bergerak

Pada masa revolusi fisik tahun 1945. peranan bahasa memberikan peran yang luar biasa
bagi para pejuang nasionalisme. Kemahiran para pemimpin mengungkapkan pikiran
secara lisan pada diri para pejuang, menimbulkan dampak yang luar biasa kepada para
rakyat, sehingga memungkinkan mereka untuk bersemangat mengikuti ajakan untuk
mengangkat senjata dan melawan penjajahan.

Sebuah bahasa yang digunakan dalam pidato dan orasi mampu membakar dada para
pemuda untuk tidak takut mati. Kata dan kalimat yang dilontarkan oleh bung Tomo di
surabaya tanggal 10 November 1945 memiliki energi yang luar biasa, seseorang yang
mendengarnya akan “merinding” kemudian timbul jiwa patriotisme untuk melawan
tentara pendudukan Inggris.

Berikut ini kutipan dari pidato Bung Tomo 10 November 1945 versi ejaan lama :

Bismillahirrahmanirrahim…
Merdeka!!!
Saoedara-saoedara ra’jat djelata di seloeroeh Indonesia,
teroetama, saoedara-saoedara pendoedoek kota Soerabaja
Kita semoeanja telah mengetahoei bahwa hari ini tentara Inggris telah menjebarkan
pamflet-pamflet jang memberikan soeatoe antjaman kepada kita semoea
Kita diwadjibkan oentoek dalam waktoe jang mereka tentoekan, menjerahkan
sendjata-sendjata jang kita reboet dari tentara djepang.
Mereka telah minta supaja kita datang pada mereka itoe dengan mengangkat tangan.
Mereka telah minta supaja kita semoea datang kepada mereka itoe dengan membawa
bendera poetih tanda menjerah kepada mereka.
Saoedara-saoedara,
didalam pertempoeran-pertempoeran jang lampaoe, kita sekalian telah menundjukkan
bahwa ra’jat Indonesia di Soerabaja
pemoeda-pemoeda jang berasal dari Maloekoe,
pemoeda-pemoeda jang berasal dari Soelawesi,
pemoeda-pemoeda jang berasal dari Poelaoe Bali,
pemoeda-pemoeda jang berasal dari Kalimantan,
pemoeda-pemoeda dari seloeroeh Soematera,
pemoeda Atjeh, pemoeda Tapanoeli & seloeroeh pemoeda Indonesia jang ada di
Soerabaja ini,
didalam pasoekan-pasoekan mereka masing-masing dengan pasoekan-pasoekan ra’jat
jang dibentuk di kampoeng-kampoeng,
telah menoenjoekkan satoe pertahanan jang tidak bisa didjebol,
telah menoenjoekkan satoe kekoeatan sehingga mereka itoe terdjepit di mana-mana
Hanja karena taktik jang litjik daripada mereka itoe, saoedara-saoedara
Dengan mendatangkan presiden & pemimpin-pemimpin lainnja ke Soerabaja ini, maka
kita toendoek oentoek menghentikan pertempoeran.
Tetapi pada masa itoe mereka telah memperkoeat diri, dan setelah koeat sekarang inilah
keadaannja.
Saoedara-saoedara, kita semuanja, kita bangsa Indonesia jang ada di Soerabaja ini akan
menerima tantangan tentara Inggris ini.
Dan kalaoe pimpinan tentara Inggris jang ada di Soerabaja ingin mendengarkan djawaban
ra’jat Indonesia, ingin mendengarkan djawaban seloeroeh pemoeda Indonesia jang ada di
Soerabaja ini.
Dengarkanlah ini hai tentara Inggris,
ini djawaban ra’jat Soerabaja
ini djawaban pemoeda Indonesia kepada kaoe sekalian
Hai tentara Inggris!,
kaoe menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera poetih takloek kepadamoe,
menjuruh kita mengangkat tangan datang kepadamoe,
kaoe menjoeroeh kita membawa sendjata-sendjata jang kita rampas dari djepang oentoek
diserahkan kepadamoe
Toentoetan itoe walaoepoen kita tahoe bahwa kaoe sekalian akan mengantjam kita
oentoek menggempoer kita dengan seloeroeh kekoeatan jang ada, Tetapi inilah djawaban
kita:
Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin
setjarik kain poetih mendjadi merah & putih,
maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!
Saoedara-saoedara ra’jat Soerabaja,
siaplah keadaan genting
tetapi saja peringatkan sekali lagi, djangan moelai menembak,
baroe kalaoe kita ditembak, maka kita akan ganti menjerang mereka itu.
Kita toendjoekkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka.
Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebih baik kita hantjoer leboer daripada tidak
merdeka.
Sembojan kita tetap: MERDEKA ataoe MATI.
Dan kita jakin, saoedara-saoedara,
pada akhirnja pastilah kemenangan akan djatoeh ke tangan kita
sebab Allah selaloe berada di pihak jang benar
pertjajalah saoedara-saoedara,
Toehan akan melindoengi kita sekalian
Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…!
MERDEKA!!!

Luar biasa dahsyat pengaruh pidato ini, sehingga melahirkan pertempuran sengit antara
tentara rakyat Indonesia dengan tentara Inggris. Tidak terhitung berapa jumlah korban
jiwa dari kedua belah pihak yang gugur. Inilah salah satu legenda kepahlawanan bangsa
Indonesia yang patut dihormati dan menjadi teladan. Andaikan saja saat ini bangsa
Indonesia memiliki tokoh-tokoh sekaliber seperti Bung Tomo ini …

Bahasa telah menjadi bukti nyata sebagai alat penggalangan sebuah gerakan maha
dahsyat. Segalanya sangat bergantung pada kekuatan berbahasa, satu kekuatan bersama
dalam membangun identitas bangsa yang kuat adalah melalui bahasa nasional..

Kapabilitas, Akseptabilitas,
Kompetensi, Loyalitas, Elektabilitas
Posted by Ulil Abshar-Abdalla on October 10, 2009 in Artikel Bahasa, Vocabulary
Updates · 0 Comments
Selama musim pemilu ini, saya terganggu benar oleh sejumlah istilah asing yang
menyerbu kita tanpa dipertimbangkan padanan Indonesianya. Baru-baru ini, dalam sekali
pukul, Presiden Yudhoyono secara “rombongan” menggunakan istilah-istilah yang
dipinjam dari bahasa Inggris — kapabilitas, kompetensi, akseptabilitas, loyalitas.

Kapabilitas. Haruskah kita memakai istilah itu? Tampaknya ada kecenderungan di


kalangan masyarakat untuk meminjam kata benda dalam bahasa Inggris yang berakhiran
“ty” atau “ity” ke dalam bahasa Indonesia dengan cara menerjemahkan kedua akhiran itu
menjadi “tas”. Demikianlah, “capability” menjadi “kapabilitas” , “acceptability”
menjadi “akseptabilitas” . Menurut saya, ini pertanda kemalasan berbahasa (hampir saja,
agar nampak keren, saya membubuhkan susunan “linguistic laziness” seperti kebiasaan
penulis kita).

Saya bukanlah seorang ahli bahasa. Tetapi, dengan akal sehat biasa, saya tahu bahwa
kaidah dasar dalam berbahasa adalah usahakan memakai istilah dalam bahasa sendiri
selama itu masih dimungkinkan. Meminjam istilah asing hanyalah diperlukan ketika
dalam keadaan (saya hampir saja memakai istilah situasi, pinjaman dari kata “situation“)
darurat (ini juga istilah Arab; sebaiknya saya katakan “terdesak”, meskipun kata “darurat”
dalam bahasa Arab lebih tepat diterjemahkan sebagai “berbahaya”; tetapi akan lucu kalau
saya katakan, boleh meminjam istilah asing hanya dalam “keadaan berbahaya”).

Seandainya istilah “kapabilitas” diganti dengan “kemampuan”, tentu akan lebih baik.
Tidak ada makna yang hilang di sana. Kapabilitas dan kemampuan berbanding lurus
secara makna, dan karena itu, menurut saya yang bukan ahli bahasa ini, tidak ada alasan
untuk memakai istilah yang berasal dari bahasa Inggris itu dan meninggalkan padanan
Indonesianya.

Bagaimana dengan dua istilah berikut ini: kapabilitas dan kompetensi? Tampaknya
memang dua istilah itu memiliki pengertian yang nyaris serupa meskipun tidak sama.
Ada beda-halus (ini saya pakai sebagai terjemahan dari istilah “nuance” dalam bahasa
Inggris) antara keduanya. Saya mengusulkan “kebisaan” untuk “kapabilitas” dan
“kemampuan” untuk “kompetensi” . Terserah kepada para ahli bahasa, apakah usulan ini
masuk akal atau tidak, atau mungkin ada usulan lain yang lebih baik. Yang penting, bagi
saya, ada kemungkinan memakai padanan Indonesia untuk dua istilah itu.

Kata loyalitas memang bisa diganti dengan “ketaatan”. Tetapi, di telinga kita, kata
ketaatan terlalu dibebani oleh makna yang entah berbau feodal atau agama. Memang
agaknya kurang tepat jika kata loyalitas diganti dengan ketataan. Bagaimana kalau kita
coba “kesetiaan”? Saya kira beban feodal dalam kata kesetiaan lebih ringan ketimbang
kata ketaatan.

Istilah lain adalah “akseptabilitas” . Lagi-lagi, ini adalah salin-rekat (ini adalah
terjemahan dari istilah “copy-paste” yang akhir-akhir ini juga mulai luas dipakai dalam
versi Inggrisnya langsung) dari kata “acceptability” . Kenapa kita tidak memakai padanan
Indonesianya saja: keterterimaan, kecocokan, kepantasan, misalnya? Saya kira istilah
kecocokan jauh lebih tepat dipakai di sini.

Kalau ini semua diterima, saya usulkan kepada Presiden Yudhoyono untuk mulai
memberikan contoh memakai bahasa sendiri dan pelan-pelan membuang jauh-jauh
kebiasaan memakai istilah asing. Oleh karena itu, saat mengemukakan kembali
syarat-syarat untuk siapapun yang akan mendaftar menjadi wakil presiden, Presiden
Yudhoyono hendaknya, sekali lagi mohon hendaknya, memakai istilah ini: kebisaan,
kemampuan, kecocokan, dan kesetiaan, tidak lagi kapabilitas, kompetensi, akseptabilitas,
dan loyalitas.

Ada kata lain yang tidak dipakai oleh Presiden Yudhoyono, tetapi oleh sejumlah lembaga
survey (saya masih bisa menerima istilah ini, sebab kalau saya katakan “lembaga
penyelidikan” agaknya menjadi sangat menakutkan; tetapi boleh juga dicoba “lembaga
peninjauan” atau “lembaga peninjau”). Istilah itu adalah elektibilitas, terjemahan
langsung dari “electability” . Terus terang, penggunaan istilah ini sangat mengganggu
saya.

Istilah “elektabilitas” mengingatkan saya pada kata “elek” dalam bahasa Jawa yang
artinya “buruk sekali” (setara dengan istilah “ugly” dalam bahasa Inggris). Saya tak tahu
padanan yang tepat untuk kata ini. Mungkin “keterpilihan” ? Saya kira itu bisa dicoba.

Ini semua tidak berarti saya anti bahasa asing. Saya tentu menghendaki bangsa Indonesia
bisa berbahasa Inggris dengan baik, sebab itulah bahasa pergaulan internasional saat ini.
Tetapi, kalau sedang berbahasa Indonesia, silahkan memakai bahasa itu dengan baik. Jika
mau berbahasa Inggris, silahkan memakai bahasa itu dengan baik pula.

Yang kurang senonoh adalah manakala kita malas dan memindahkan begitu saja
berkarung-karung istilah dalam bahasa Inggris tanpa mau berlelah-lelah dahulu untuk
mencari padanannya dalam bahasa sendiri.

Selamat tinggal kapabilitas, akseptabilitas, elektabilitas!

Anda mungkin juga menyukai