. . .
Bapak-Ibu sekalian, Romadhon telah meninggalkan kita. Romadhon telah berpisah dengan kita. Dan hari raya
Idul fitri sudah berlalu satu minggu lebih. Orang-orang sholeh dan arif mengajarkan kepada kita; Muwadda,
Muwadda, Ya Romadhon Muwadda alaina bil ghufron. Selamat tinggal, wahai bulan Romadhon.
Tinggalkanlah kami disertai dengan ampunan dari Allah SWT.
Idul Fitri telah kita sambut, kita sambut dengan suka cita dan bahagia. Karena kita mengharap bahwa dengan
kedatangannya, kita kembali kepada fitrah kesucian kita. Dengan kedatangannya, kita seperti yang
dilukiskan oleh Rasul saw; Mudah-mudahan menjadi seperti halnya seorang anak yang baru dilahirkan oleh
ibunya, terbebaskan dari dosa, terbebaskan dari noda.
Memang Idul Fitri adalah momentum yang sangat baik untuk saling maaf-memaafkan. Kita tidak perlu malu,
tidak perlu merasa kehilangan muka, untuk meminta maaf karena ini adalah waktunya. Kalau tidak sekarang,
kapan lagi? Dan kalau kita tidak meminta maaf atas segala khilaf dan kesalahan kita, maka dikuatirkan kita
tidak termasuk orang yang kembali kepada fitrah, yang kembali kepada kesucian, yang kembali seperti bayi,
yang tidak menanggung dosa atau noda.
Hadirin, Bapak-Ibu sekalian
Al-Quran menyatakan bahwa tidak sama keburukan dengan kebaikan. Maka, jika ada keburukan yang pernah
menimpa kita, tolaklah keburukan itu dengan berbuat kebaikan, niscaya kata Al-Quran; Faidzalladzi
bainaka wa bainahu adaawah, ka-annahu waliyyun hamiid; Orang yang tadinya ada sengketa dengan kita,
yang kita bermusuhan dengannya, jika kita menghadapinya dengan berbuat baik. Niscaya, dia akan berbalik
menjadi teman kita yang sangat akrab.
Kenapa demikian? Karena, para psikolog-pun menyatakan; Disetiap cinta ada benci, disetiap benci pun ada
cinta. Pada saat kita menghadapi seorang yang pernah membenci kita, hadapilah dengan lembut dan
bijaksana, mengahadapinya dengan kasih dan kebajikan, maka benih-benih kecintaan yang terpendam di
dalam hatinya akan muncul secara tiba-tiba dan ketika itulah dia menjadi sahabat kita yang paling akrab.
Kalau kita, mempersilahkan bulan Romadhon berangkat meninggalkan kita, dengan harapan kiranya Allah
SWT mengampuni dosa-dosa kita, maka Idul Fitri kita sambut dengan ucapan; Iedun saidun; Idul fitri yang
membahagiakan. Wa kullu aam wa antum bikhair; semoga tiap tahun, kita senantiasa mendapat kebaikan.
Taqobbalallaahu minnaa wa minkum; Semoga Allah menerima semua amal-amal kebajikan kita, amal-amal
kebajikan saya dan anda, amal-amal kebajikan kita semua. Serta, Minal aaidiin wal faaiziin; Semoga kita
termasuk kelompok yang kembali dalam fitrah kesucian dan kelompok yang meraih kemenangan.
Bapak-Ibu sekalian, menarik untuk kita hayati bahwa ucapan; Minal aaidiin wal faaiziin, itu kita
kemukakan dalam bentuk prural atau dalam bentuk jamak, yang maksudnya kita ingin termasuk bersamasama dalam kelompok orang-orang yang meraih kemenangan. Al-Quran tidak mengajarkan kita untuk
berkata; Semoga saya termasuk kelompok yang kembali atau termasuk orang-orang yang meraih
kemenangan. Tetapi, semoga kita, karena ajaran agama kita, ajaran agama islam selalu mengajarkan
kebersamaan. Itu sebabnya, tidak ditemukan dalam Al-Quran kata yang menunjuk kalimat; Saya Menang
atau dalam bahasa arabnya; Ana Afuuzu, kecuali sekali dan itupun diucapkan oleh orang-orang yang tidak
tersentuh keimanan di dalam hatinya, karena memang mereka hanya ingin menang sendiri, mereka tidak
pernah ingin hidup dalam kebersamaan.
Semoga, masih dalam suasana Idul Fitri ini, kita semua sebagai bangsa, sebagai ummatun waahidah (umat
yang satu) selalu hidup di dalam kebersamaan, yang berat sama kita pikul dan yang ringan sama kita jinjing.
Semoga kita bertemu lagi dengan Romadhon dan Idul Fitri yang akan datang. Amin
vertikal maupun horisontal akibat perbedaan idiologi dan orientasi primordial dengan tegas mencair
sehingga ia menempatkan lebaran sebagai momen integrasi masyarakat Indonesia.
Alangkah indahnya jika hal tersebut dapat terealisasi di era reformasi sebagaimana yang kita
rasakan dewasa ini. Di mana konflik yang terus menerus terjadi baik di pusat maupun di daerahdaerah, pada lebaran ini bisa mencair. Anggota-anggota masyarakat mampu menempatkan
hubungan yang harmonis, bisa mengesampingkan kepentingan pribadi dan golongan, sehingga
muncul solidaritas yang seakan-akan tanpa panrih, kecuali untuk kepentinganagama, nusa dan
bangsa. Betapa hinanya orang yang tidak mau bergaul secara baik dengan sesamanya, ia akan
dicap sebagai orang yang arogan, angkuh, sombong dan egois. Bahkan ia akan mengalami
kesulitan dalam hidupnya, karena pada dasarnya sebagai manusia, ia tidak akan mungkin dapat
hidup tanpa jasa dan bantuan orang lain. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah swt.
)
Artinya :
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali
(agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari
Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah
dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka
dan melampaui batas. (QS. Ali Imran: 112)
Saudara, hadirin dan hadirat sekalian yang berbahagia. Dalam konteks sosiologis pun lebaran
meiniliki makna yang krusial dan signifikan, Idul Fitri merupakan momen integritas dan solidaritas
masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan, khususnya bagi para migran yang telah
terkondisikan dalam hiruk pikuk dan hingar bingar kehidupan kota. Dengan mudik misalnya mereka
ingin menemukan kembali masa lalunya di tempat asal. Mereka yang kesehariannya selalu di hitung
dengan angka dan diperlakukan sebagi skrup-skrup kecil dalam mesin-mesin raksasa kota, ingin
kembali diperlakukan sebagai manusia, mereka tinggalkan kota walaupun hanya sementara untuk
menikmati kembali wajah kampung halaman rumah, ke sungai tempat mereka dulu mandi, ke
lapangan tempat mereka bermain, merebah di pangkuan ibu dan bapak, berkumpul dengan sanak
keluarga, menjalin kembali tali persaudaraan yang sekian lama terpisahkan oleh jarak dan
kepeningan masing-masing. Sungguh membahagiakan dan kebahagiaan itu diungkapkan dengan
memperbanyak takbir, tauhid dan tahmid mengagungkan kebesaran Asma Allah swt.
Dengan didasari relegiusitas yang tinggi di hati lebaranuntuk sementara gerak otomistik dan
individualistik yang di sebabkan oleh dorongan ekonomi dapat diturunkan dan didinginkan.
Kemudian setelah lebaran usai mampu bangkit memulai aktivitas kembali dengan tetap disertai
semangat relegimitas yang tinggi, sebagaimanifestasi tumbuhsuburnyanilai-nilaidi tanam di bulan
Ramadhan. Kita berharap dengan Idul Fitri akan tercipta masyarakat yang fitri pula, yaitu suatu
masyarakat yang aman, damai dan sentosa dalam keanekaragaman yang kaya dan yang miskin,
yang cerdas dan yang bodoh, yang tua dan yang muda, yang majikan dan yang buruh, yang
memerintah dan yang diperintah tidak ada yang dihinakan, tidak ada yang merasa ditindas atau
diperas, dan tidak ada yang merasa di anak tirikan. Segenap lapisan masyarakat merasa aman,
damai dalam eksistensinya karena sadar akan posisi dan fungsi masing-masing, di mana antara
yang satu dengan yang lain saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Demikianlah, yang
dapat saya sampaikan dalam kesempatan yang baik ini, mudah-mudahan dengan beridul fitri, kita
benar-benar dalam keadaan fitri, suci lahir dan batin.
Bilahitaufiq wal hidayah, wassalamualaikum warahmatullahi wabaraktuh.
saja, kapan saja dan dimana saja. Segeralah minta maaf, lebih2 pada momen2 yang
tepat seperti ini. Sebaliknya bila kita dimintai maaf oleh yang pernah berbuat
kesalahan dengan kita, janganlah berkeras hati, angkuh pendirian , kaku, tidak mau
memaafkan orang lain. Sifat tercela seperti itu hendaknya lekas dibuang jauh-jauh.
Itu adalah kesombongan, Alloh SWT saja mau memaafkan kesalahan hambanya
sebesar apapun, tapi justru kenapa kita tidak bisa. Bpk/Ibu yang saya hormati,
janganlah kita merasa sok suci, marilah sama-sama kita sadari bila orang lain bisa
melakukan kesalahan terhadap kita, maka tidak menutup kemungkinan kita juga
suatu saat bisa berbuat salah kepada orang lain. Ada yang Bpk/Ibu perlu ketahui
orang yang tidak mau memaafkan orang lain berarti dia tidak pernah merasa salah,
merasa paling suci dari pada orang lain Ini sifat yang sangat berbahaya sekali dan
Alloh SWT. Sangat melarangnya Janganlah kamu menganggap dirimu sendiri telah
suci.Alloh lebih tahu siapa-siapa orang yang bertakwa. Karena itu janganlah
berkeras hati , angkuh pendirian , tidak mau memaafkan orang lain. Ingatlah bahwa
orang hidup itu lemas orang mati itu kaku. Oleh sebab itulah, Bpk/Ibu sdrku seiman
seagama janganlah kita kaku seperti orang mati tidak mau memaafkan orang lain .
Marilah kita berdoa kepada Alloh agar halal bihalal kita diterima oleh Alloh SWT.
Dengan ucapan :
Taqobbalallohu minna wamingkum taqobbal ya kariim
Billahit taufuq Wal Hidayah Wassalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Apa sih Hari Idul Fitri itu dan mengapa kita merayakannya?
Hari Id berarti hari berkumpul atau hari bertemu. Ia berasal dari bahasa Arab `da ya`du yang
berarti kembali: jadi sesuatu di anggap kembali jika ia memiliki asal lalu meninggalkan asal
kemudian kembali ke asal. Contohnya, seperti orang mudik. Misalnya seseorang berasal dari
keluarga di Dinar Mas lalu merantau ke tempat lain kemudian setelah itu datang lagi ke Dinar Mas,
maka ia disebut kembali. Kembali berkumpul atau kembali bertemu dengan sanak keluarga di Dinar
Mas.
`da ya`du juga bisa berarti berulang: jika sesuatu itu memiliki awal terus berakhir dan diulangi
lagi. Contohnya, seperti perputaran bulan dalam setahun. Di mulai dari Januari berakhir pada
Desember dan di mulai lagi bulan Januari, maka diantara akhir Desember dan awal Januari yang
berikutnya disebut Id, karena akhir dan awalnya bertemu atau berkumpul untuk mengulang
perputarannya kembali. Atau dalam bulan hijrah, dimulai dari Muharram berakhir pada Dzul Hijjah,
maka diantara akhir Dzul Hijjah dan awal Muharram terdapat pengulangan dan terjadi pertemuan,
hal semacam ini bisa disebut dengan kata Id. Begitu Juga dalam perputaran hari yang berakhir
dalam tujuh hari dan dimulai lagi dengan hari yang sama.
Dengan makna semacam itu, praktek kembali ke kampung halaman atau yang biasa diistilahkan
dengan kata mudik lebaran yang dilakukan oleh masyarakat kita yang merantau sejalan dengan
makna kata Id secara bahasa, yaitu kembali dan berkumpul.
Itu tadi arti kata Id, sekarang, apa arti kata Fitri. Dalam bahasa Arab kata fitribisa berarti sarapan,
dan bisa berarti alami atau asli juga bisa berarti ciptaan.
Jadi,
Idul
Fitri
bisa
juga
bisa
berarti kembali padaaslinya atau asalnya, yaitu kembali seperti saat diciptakan (tidak memiliki
noda dan dosa, karena noda dan dosanya telah dihapus dengan amalan-amalan ibadah selama bulan
ramadhan).
Jika kita memiliki dua makna tersebut untuk memaknai Idul Fitri, maka selanjutnya terserah kita,
kita mau memilih makna yang mana.
Kalau kita memilih makna yang pertama, yaitu: kembali sarapan maka hal ini riil. Semua orang
Islam yang berpuasa berhak merayakannya. Karena selama bulan ramadhan, kita berpuasa dan
tidak melakukan sarapan. Maka dengan berakhirnya bulan ramadhan, kita kembali melakukan
sarapan seperti sebelum ramadhan. Semua bisa melihat hal itu.
Sementara kalau kita memilih makna kedua, yaitu: kembali pada aslinya, dalam artian tidak
memikul dosa seperti bayi yang baru diciptakan, maka itu tergantung seberapa sungguh-sungguh,
seberapa banyak, seberapa benar dan seberapa ikhlasnya kita melakukan ibadah pada bulan
ramadhan. Seberapa sempurna puasa kita, shalat kita, dzikir kita, sedekah kita, mulut kita, pikiran
kita, perilaku kita dan hati kita. Semua itu bisa menjadi ukuran seberapa bersih dosa-dosa yang
bisa kita hapuskan pada bulan ramadhan. Jadi, untuk memilih makna Idul Fitri yang kedua ini
diperlukan syarat-syarat yang harus kita perjuangkan dan kita laksanakan dengan gigih selama
ramadhan.
Kita ketahui, kita tidak akan merayakan hari apa pun sebagai hari raya jika tidak didahului oleh
sebuah peristiwa besar sebelumnya. Kita merayakan hari kemerdekaan karena kita telah berjuang
dengan berat untuk meraih kemerdekaan itu.
Kita merayakan hari kelahiran, karena hal itu oleh kita atau oleh orang tua kita dianggap sebagai
tonggak bersejarah yang mengawali kehidupan kita.
Sebagian bangsa tidak akan pernah merayakan hari raya musim semi yang sejuk dan nyaman, jika
sebelumnya tidak pernah mengalami musim-musim ekstrim yang tidak bersahabat.
Sebagian masyarakat tidak akan merayakan hari panen jika mereka tidak pernah berjuang dengan
menanam dan lalu memanennya terlebih dahulu
Begitu pula kita dalam beragama Kita tidak akan pernah merayakan Hari Idul Fitri atau Hari Idul
Adha tanpa didahului dengan sebuah perjuangan besar untuk meraihnya. Apa bentuk
perjuangannya, melaksanakan puasa selama sebulan penuh untuk meraih Idul Fitri dan
melaksanakan ibadah haji di tanah suci untuk meraih Idul Adha. Semua perjuangan ini berujung
untuk meraih ampunan Allah dan ridha-Nya.
Jadi, sudah menjadi tabiat manusia, kita merayakan keberhasilan atau kemenangan setelah
perjuangan berat yang kita lakukan.
Yang kedua, perayaan hari raya dibakukan dalam ajaran agama melalui Sabda Nabi yang
mengatakan:
setiap kaum atau kelompok memiliki hari raya/hari berkumpul besar-besaran,dan hari ini (maks
udnya, hari setelah melakukan ibadah puasa atau ibadah haji)adalah hari raya kita.
Jadi, perayaan Hari Raya atau Hari Berkumpul besar-besaran, bukan hanya selaras dengan tabiat
manusia, tetapi juga memiliki nilai ketaatan dan peribadatan kepada Allah.
***
Kenapa kita merayakan Idul Fitri dan Idul Adha dan tidak merayakan kemenangan-kemenangan
peperangan pada masa Nabi dahulu? Kenapa?
Karena hanya Idul Fitri dan Idul Adha-lah yang riil berulang setiap tahun, berulang bersama
perjuangannya dan kemenangannya, bukan hanya perayaannya.
Kalau kita merayakan hari kemerdekaan, misalnya, kita (para generasi berikutnya) hanya
merayakan kenangannya saja, atau ingatannya saja, tanpa pernah merasakan hakikat perjuangannya
itu sendiri.
Karena itu, dalam perayaan-perayaan hari nasional semacam itu, biasanya kita kurang mampu
menghayati makna perjuangannya yang sebenarnya. Dalam perayaan semacam itu, kita seringnya
hanya disibukkan dengan persiapan-persiapan yang bersifat protokoler formal, tanpa menyelami
hakikat perjuangannya itu sendiri. Kenapa? Karena kita tidak pernah terlibat di dalamnya.
Kita seharusnya mampu menyelami dan menghayati makna perayaan kemenangan pada hari-hari
tersebut! Kenapa? Karena kita semua bersama-sama telah berjuang untuk meraihnya. Masingmasing kita telah bertempur dan berjuang melawan hawa nafsu dan melawan keinginan-keinginan
yang menghalangi tercapainya tujuan. Kita sendiri ikut mengemban perjuangan ini, lalu setelah
berhasil, kita merayakan kemenangannya.
Ini berarti, kita merayakan sesuatu yang telah kita lakukan dan kita perjuangkan sendiri, bukan
merayakan sesuatu yang dilakukan atau diperjuangkan oleh orang lain padahal kita tak pernah
melakukan atau memperjuangkannya sedikit pun.
Itu diantaranya yang bisa menjadi alasan mengapa kita merayakan Idul Fitri dan Idul Adha dan
bukan hari-hari kemenangan pertempuran pasukan muslim.
Cara merayakan hari raya Idul Fitri yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya adalah: begitu
pagi hari raya menjelang, mereka mandi, lalu berdandan dengan pakaian yang terbaik yang
dimilikinya (bukan terbaru, karena kalau terbaru bisa disalah-pahami harus memaksakan anggaran
belanja untuk membeli baju baru), setelah itu sarapan (atau makan makanan ringan) sebelum
berangkat menuju tempat shalat Id. Setelah makan, mereka keluar rumah sambil membaca takbir,
berjalan kaki (bukan berkendaraan) menuju tempat dilaksanakannya shalat Id. Selama perjalanan
mereka terus mengumandangkan takbir hingga khutbah Id dimulai. Selesai khutbah mereka kembali
ke rumah masing-masing. Itu yang pertama.
Setelah itu apa yang mereka lakukan. Selesai shalat, mereka mengucapkan selamat satu sama lain
ketika
bertemu
atau
berpapasan.
Mereka
mengucapkan
selamat
dengan
mengatakan,
taqabbalallahu minna wa minka (semoga Allah menerima jerih payah saya dan jerih payah Anda)
Selain ucapan itu, menurut Ibnu Taimiyyah, mereka juga mengatakan, waahalallu`alaik (semoga
Allah menerima atau rela kepada Anda), dan ucapan-ucapan lain yang sejenis itu.
Selain itu apa lagi yang mereka lakukan pada hari raya? Hari Raya adalah hari untuk makan-makan
dan minum-minum serta berdzikir kepada Allah, seperti yang disabdakan oleh Nabi bahwa:
Hari-hari dilaksanakannya shalat pagi (maksudnya shalat Idul Adha dan shalat Idul
Fitri) adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepadaAllah Azzawa Jalla.
Jadi, berbagi makanan dan minuman serta berdzikir kepada Allah, termasuk cara merayakan hari
raya.
Selain itu apa lagi yang mereka lakukan pada hari raya? Hari Raya adalah hari untuk bergembira dan
bersuka-ria selama tidak melanggar aturan-aturan Allah yang telah ditentukan, Sabda Nabi,
:
Orang yang berpuasa memiliki dua saat bersukaria, yaitu saat Idul Fitrinyadan saat berjumpa d
engan Tuhannya,
Isi perut dengan makanan dan minuman yang baik dan bersyukurlah kepada Allah.
Ajak orang lain untuk bergembira agar kita semakin merasa gembira.
Bantu orang lain yang sedang kesusahan agar ikut menikmati kegembiraan. Kita akan bisa
bergembira melihat orang lain bergembira, dan sebaliknya kita akan sulit menikmati kegembiraan
jika melihat kesusahan ada di hadapan kita.
Itulah di antaranya, teladan yang bisa dirujuk dalam merayakan hari raya dari generasi terbaik.
Generasi Nabi dan para sahabatnya.
Sekarang kita akan turun ke dalam tradisi di lingkungan masyarakat kita. Di antaranya adalah
tradisi:
Halal bi Halal.
Kita ingat, tadi disebutkan bahwa di antara ucapan selamat yang diucapkan para sahabat ketika
saling berpapasan adalah kata: wa ahallahhu`alik (begitu menurut Ibn Taimiyyah). Barangkali,
dari kata wa ahallahu`alaik inilah muncul istilah halal bi halal dalam tradisi masyarakat kita.
Dan rupanya, untuk melestarikan tradisi ini pula kita berkumpul di sini pada malam hari ini.
Apa sebenarnya maksud dari kata halal bi halal tersebut. Jika kata tersebut berasal dari ungkapan
wa ahallahu`alaik (semoga Allah rela/puas kepada Anda, rela/puas karena kita telah berjuang
sekuat tenaga dan tidak mengecewakan Allah dengan keteledoran dan penyia-nyiaan kesempatan),
jika diambil dari kata itu, barangkali yang dimaksudkan dengan kata halal bi halal adalah saling
mendoakan semoga Allah rela/puas kepada kita
Tapi sepertinya yang menonjol dalam tradisi kita, halal bi halal dimaknai dengan arti saling
bermaaf-maafan. Kalau dimaknai saling bermaafan seperti ini, berarti masing-masing saling
mengharapkan kerelaan saudaranya, sanaknya, rekannya, temannya atau siapa saja yang memiliki
sangkut-paut yang bisa membuat seseorang merasa tidak rela.
Jadi dalam tradisi kita, yang diharapkan adalah kerelaan/kepuasan saudara, rekan dan handai
tolan dengan cara mendapatkan maafnya, bukan mengharapkan kerelaan Allah secara langsung.
Yang diharapkan adalah kerelaan sanak dan kawan atau orang lain dengan cara mendapatkan
pemberian maaf dari mereka. Bolehkah hal seperti ini. Tentu saja, orang meminta maaf kepada
orang lain adalah perbuatan terpuji. Minta maaf dianjurkan oleh agama dan tidak dibatasi
waktunya. Boleh dilakukan kapan saja, tidak harus pada hari raya. Tapi kenapa hari raya sering
dipilih menjadi saat untuk meminta maaf dan memberi maaf?! Kenapa?!
Karena momennya pas. (dalam bahasa iklan klop momennya!) Hari raya adalah momen saat
seseorang bergembira. Dan orang yang sedang bergembira, secara kejiwaan, akan mudah memberi.
Entah memberi maaf atau memberi apa saja. Kenapa? Karena sedang bahagia, sedang gembira,
hatinya sedang lapang dan berbunga-bunga, itu saja! Dan ini adalah kepuasan batin tersendiri bagi
orang yang mengalaminya.
Terus biasanya, orang tersebut menginginkan saat-saat gembiranya berlangsung lama dan terusmenerus. Ia tak ingin kegembiraan atau kebahagiaannya hilang dalam sekejap hanya karena tak
memberi maaf pada kesalahan orang lain.
Mengetahui hal ini, maka orang lalu memanfaatkan momen hari raya, hari bergembira ini untuk
meminta maaf. Dan hasilnya orang dengan mudah mengatakan, iya sama-sama saya juga minta
maaf. Kalau sebelumnya, sebelum bermaafan di hari raya, hubungan mereka terasa beku dan kaku,
setelah bersalaman dan mengatakan ucapan maaf, biasanya hubungan mereka akan menjadi cair
dan luwes, minimal tidak merasa terlalu bersalah lagi.
Bukti bahwa orang itu meinginginkan kegembiraan dan kebahagiannya bisa berlangsung lama, ya,
acara halal bi halal pada malam ini. Hari rayanya sudah berlangsung dua minggu yang lalu, tapi
kegembiraannya masih diulur sampai malam halal bi halal sekarang ini.
Memilih saat yang tepat merupakan salah satu kunci mendapatkan kesuksesan. Jika pingin sukses
mendapat maaf dari seseorang, pilih di antaranya waktu atau saat ia bergembira. Di antaranya, ya
pas hari raya itu.
Jika kepingin sukses mendapatkan hadiah atau traktiran, pilih saat orang itu mendapat gajian atau
saat mendapat bonus atau kenaikan pangkat atau saat gembira lainnya, insyaallah tidak akan
ditolak.
Oleh karena itu, ibu-ibu kalo kepengin mendapat sesuatu dari suaminya, ajukan permintaan saat
suami merasa gembira, saat ia senang. Itu lebih tepat dari pada memintanya saat jengkel, sumpek
atau kesusahan.
Begitu pula bapak-bapak. pilih saat ibu-ibunya sedang senang jika ingin meminta sesuatu dari
mereka.
Pilih saat atasan senang kalo ingin mengajukan proposal, atau kenaikan gaji Jangan saat ia jengkel,
bisa monyong!
Pilih saat-saat yang menyenangkan, bukan membuat mereka senang, lho kalo membuat mereka
senang, bisa dianggap malah menyuap, atau memiliki pamrih. Meskipun mungkin bisa
mendapatkan hasil yang sama, antara memilih saat senang dan membuatnya senang, tetapi berbeda
pada gengsi dan modalnya, yang satu pake modal dan sedikit menurunkan gengsi, sementara yang
satunya lagi tanpa modal dan tetap dengan gengsi yang sama.
Di dalam tradisi masyarakat kita, perayaan hari raya di antaranya dilakukan dengan mengadakan
acara Halal bi Halal untuk memanfaatkan momen gembira ini sebagai sarana mendapatkan kerelaan
atau pemberian maaf dari orang yang kita kehendaki. Ini sah-sah saja.
Tapi jangan dilupakan, pertama kali hendaklah kita berhalal-halalan kepada Allah, dalam artian
memohon perkenan Allah agar menerima amal kebaikan kita dan mengampuni dosa-dosa kita
setelah sebulan penuh berjuang demi mendapatkan keridlaan-Nya. Baru setelah itu, kita berhalal-
halalan kepada sanak dan handai tolan serta kaum muslimin dan orang-orang lainnya, dalam artian
mengucapkan selamat berhari raya, dan meminta maaf atas kesalahan yang kita lakukan
terhadapnya.
Adakah maksud lain yang lebih kuat, secara agamis, yang diharapkan dalam tradisi
meminta maaf di hari raya ini? Tampaknya ada.
Apa itu? Hal itu karena kita tidak ingin kehilangan pahala. Setelah sebulan penuh kita berpuasa,
melakukan shalat tarawih dan shalat malam, membaca al-Qurn, memberikan sedekah dan
membayar zakat, menjaga ucapan dan perilaku dan semua bentuk kebaikan lainnya yang kita
lakukan pada bulan puasa dengan harapan akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat, maka kita
ingin pahala itu tetap menjadi tabungan kita sendiri, menjadi bekal untuk membeli tiket surga dan
tidak diutak-atik untuk membayar denda ini atau denda itu, menebus kesalahan itu atau tanggungan
itu
Maka kita pun mencari solusi dengan cara meminta maaf kepada orang-orang tertentu yang kita
lukai, yang kita lalimi, yang kita salahi yang kita gunjing dan seterusnya yang buruk-buruk.
Kita ingin memiliki semua pahala yang telah kita raih dan tidak ingin menguranginya, kalau perlu
kita masih ingin menambahnya maka kita pun mencari solusi dengan cara meminta maaf.
Mau meminta maaf dan mengakui kesalahan berarti akan mendapatkan pahala tersendiri dari Allah.
Mendapatkan maaf dari orang yang bersangkutan berarti akan menghapuskan tanggungan kita
kepadanya.
Mau memberi maaf berarti akan mendapatkan pahala yang lebih besar dari Allah Taala dari pada
pahala tebusan yang akan diterimanya, juga akan menambah kerukunan atau kecairan suasana yang
selama ini membeku.
Yang melatarbelakangi solusi semacam ini barangkali Sabda Nabi yang mengatakan:
:
:
sahabat
menjawaborang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki uangdan kekaya
an.
Jawab
Nabi, bukan yang itu orang yang bangkrut darigolongan umatku adalah orang yang pada hari
kiamat datang denganmembawa shalatnya, puasanya dan zakatnya. Akan tetapi ia juga datangd
engan perilaku buruknya. Ia datang dengan umpatannya terhadap si anu, ia datang dengan
fitnah/tuduhan kejinya kepada si anu, ia datang dengan mengkorupsi harta si anu, melukai tubuh si
anu, berlaku kasar kepada si anu maka semua itu akan ditebus dengan memberikan pahala
kebaikannya kepada masing-masing anu jika pahalanya habis sebelum semuanya terlunasi, maka
akan diambilkan dari dosa kejelekan masing-masing anu lalu ditimpakan kepadanya, kemudian
dilemparkan ke dalam neraka
==========
Pemahaman Hadits
==========
Dari redaksi pertanyaan ini ini bisa dilihat bahwa orang yang bangkrut, berarti bukan orang yang
miskin, tetapi orang yang kaya (kaya pahala) tetapi tak bisa memanfaatkan kekayaannya itu karena
harus diberikan kepada orang lain, harus dibayarkan untuk menebus atau melunasi tanggungannya.
==========
Ini ibarat pedagang atau pengusaha sedang meraup banyak keuntungan. Tetapi, ternyata ia salah
mengelolanya, sehingga keuntungan yang banyak itu akhirnya ludes untuk melunasi dan membayar
kesalahan-kesalahannya.
Keuntungan atau kekayaannya yang berupa pahala kebaikannya itu akhirnya diberikan kepada
setiap orang yang pernah disalahinya sampai kekayaan itu habisjika kesalahannya benar-benar
fataltergantung seberapa besar kesalahannya. Jika kekayaannya sudah habis dan masih belum
mencukupi untuk melunasi, maka akan ditimpakan keburukan orang yang disalahi lalu dilemparkan
ke dalam neraka.
Itulah orang yang bangkrut! Orang yang seharusnya menikmati laba dan keuntungan besar, tetapi
karena salah mengatur, memanage, akhirnya jatuh ke lubang kesengsaraan, neraka.
Orang bangkrut pada awalnya bukan orang miskin, alias tidak punya pahala kebaikan sama sekali.
Kalau sudah jelas miskin, yaitu tak punya kebaikan sama sekali (alias selalu berbuat dosa dan
durhaka di dalam hidupnya) ya memang sudah jalurnya menuju lubang kesengsaraan, masuk
neraka.
==============
Semua itu bisa terjadi karena kita memiliki tanggungan atau keterikatan dengan orang lain.
Pahala kebaikan kita yang banyak (hasil memborong proyek ramadhan, misalnya) bisa habis ludes
bahkan minus ketika kita menghadap Allah dengan membawa kesalahan-kesalahan yang memiliki
sangkut-paut dengan hak-hak orang lain (hak adami, atau huquq adamiyah begitu istilah yang sering
digunakan).
Kesalahan kita kepada orang lain akan kita bayar lunas dengan menyerahkan pahala kebaikan kita
atau mengambil dosa keburukan orang bersangkutan. Kalau kesalahan kita kepada Allah, ada
kemungkinan mendapatkan ampunan dan belas kasih dari Allah, tapi kalo sesama manusia harus
dibayar secara riil. dibayar dengan tabungan pahala yang kita punya.
Urusan hutang-piutang hak sesama manusia tak bisa dihapuskan kecuali dengan meminta kerelaan
dan maaf dari orang bersangkutan. Meminta maaf atas kesalahan atau kejahatan yang pernah kita
lakukan kepadanya. Jika orang bersangkutan mau memberi maaf, maka lunas deh
Jika kita mendapat maaf dan kerelaan orang bersangkutan maka tabungan pahala kita akan aman,
tak berkurang sedikit pun. Tak akan diutak-atik untuk menebus ini atau itu bahkan akan
mendapat saldo tambahan dari pahala meminta maaf.
Karena alasan inilah di antaranya, yaitu alasan karena kita tak menginginkan pahala yang telah kita
kumpulkan selama bulan ramadhan berkurang atau bahkan habis, maka kita mengadakan acara
halal bi halal ini. Yang tujuannya, di antaranya, untuk menebus dan membayar kesalahan kita
selama ini dengan cara meminta maaf dan memohon kerelaan orang bersangkutan.
Barangkali inilah diantaranya yang menjadi dasar munculnya tradisi halal-bi-halal di masyarakat
kita. Tujuannya baik, demi kebaikan hidup kita di dunia dan di akhirat kelak.
Dengan Halal bi Halal, kebaikan hidup di dunia bisa mewujud dalam bentuk kecairan hubungan
antara satu dengan yang lainnya, terutama antara pihak yang pernah berseteru, pihak yang bersalah
dan pihak yang disalahi. Hubungan antara keduanya akan kembali cair dan berjalan wajar dengan
cara maaf-memaafkan itu tadi.
Kesadaran diri atas kekurangan dan kesalahan lalu dilanjutkan dengan tindakan meminta maaf dan
bertanggung jawab atas kesalahan itu akan mendorong tumbuhnya masyarakat yang bermartabat
dan berperilaku jujur, yang pada gilirannya akan menguatkan rasa saling percaya dan rasa aman di
antara sesama warga masyarakat.
Begitu pula kelapangan dada dan kebaikan hati menerima dan memberi maaf akan mendorong
tumbuhnya rasa simpati, rasa hormat dan menyayangi serta menghargai antara sesama, sehingga
pada gilirannya akan bisa memperkokoh tali kebersamaan dan persaudaraan di dalam komunitas
masyarakat itu sendiri.
Untuk itu, jangan ragu untuk meminta maaf dan siap menanggung semua resiko kesalahan yang
mungkin akan dituntut oleh orang yang bersangkutan.
Begitu pula jangan ragu untuk memberi maaf dan merelakan semua pahit getir atau kerugian yang
pernah diderita akibat kesalahan orang yang meminta maaf, kenapa? Karena Allah mengatakan:
Jika kalian memaafkan, itu lebih dekat pada ketakwaan
antaranya,
dengan
merelakan
atau
meikhlaskan
Barangkali, ini dahulu yang bisa saya sampaikan. Kurang lebihnya saya mintamaaf yang
sebesar-besarnya dan meminta koreksi dari yang ahlinya. Jika adayang baik dalam cera
mah ini, itu datangnya dari Allah, dan jika ada yang salahatau buruk dalam ceramah ini,
itu karena kekurangan dan kebodohan sayasemata.
`alamin.
rabbil
lillah
hamdu
dawana
`anil
akhiru
wa
SHARE THIS:
IZZUL HAQIE
Minggu, 01 Januari 2012
Bapak/Ibu , hadirin dan hadirat rahimakumullah
Mari kita bersyukur kehadirat Allah Swt, atas limpahan taufiq, hidayah dan inayahNya, pada hari ini kita dapat berkumpul di majlis yang mulia ini dalam rangka Peringatan
Hari Ulang Tahun Pramuka yang sekaligus kita melaksanakan acara halal bihalal dalam
keadaan sehat wal afiat, shalawat dan salam semoga terlimpah keharibaan Rasulullah
Muhammad Saw, keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti sunah beliau
hingga akhir zaman.
Bapak/Ibu, hadirin dan hadirat rahimakumullah
Pada hari ini, kita masih berada di bulan Syawal 1431 H , oleh karena itu saya
ucapkan Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal ya karim, Suasana keakraban
dengan saling maaf memaafkan dari segala dosa dan kesalahan, sehingga kita menjadi
orang yang bersih dan siap membuka lembaran baru yang penuh harapan. Melangkah
kedepan menyongsong harapan dengan meninggalkan ramadhan bulan yang penuh dengan
berbagai kenangan, bulan penempaan iman, bulan kemenangan terhadap godaan syetan,
bulan yang penuh dengan kerahmatan dan ampunan serta ditutup dengan tebusan dari
segala siksaan. Maka orang yang berhari raya iedul fitri adalah orang yang kembali suci,
seperti saat dia baru dilahirkan, sebagaimana sabda Rasulullah saw dari sahabat Abu
Hurairah ra.:
Artinya :
"Barang siapa yang berpuasa ramadhan dengan iman dan mengharapkan pahala, niscaya
akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu",
Hadits diatas memberi penjelasan bahwa jika seseorang berpuasa dengan keimanan
kepada Allah dan ridha dengan kewajiban puasa, mengharap pahala, maka Allah Swt,
benar-benar akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dosa dan kesalahannya
kepada Allah Swt terhapus dengan puasa yang dijalaninya dan kesalahannya terhadap
sesama manusia terhapus dengan saling memaafkan, sehingga kita menjadi orang yang
suci, dan pantas kalau Allah Swt. cinta kepadanya, karena lapar dan dahaga sebulan
penuh semata-mata karena Allah Swt, ditambah do'anya yang tertuju kepada Allah semata,
membuat dirinya berhati lembut dan mampu menangkap rahasia sinyal kekuasaan Allah
Swt. sehingga ia semakin dekat dan taatnya kepada Allah Swt. semakin meningkat, maka
pantas jika seorang Hukama berkata :
"Bukanlah hari raya itu untuk orang-orang yang berpakaian serba baru, tetapi yang disebut
hari raya adalah untuk orang yang ketaatannya kepada Allah bertambah"
Bapak/Ibu, hadirin dan hadirat rahimakumullah
Selama Ramadhan manusia diajak dan diproses untuk kembali kepada nilai-nilai
kemanusiannya yang suci dan sempurna. Selama sebulan manusia menjalani sebuah
pemusatan latihan dengan menahan dan mengendalikan segala macam godaan syahwat
serta duniawi yang merupakan sumber karat dan kotoran nurani. Puasa merupakan upaya
kreatif manusia untuk membuang karat noda yang menempel di nuraninya dan menjaganya
dari pengotoran kembali
proses kreatif manusia melakukan imsak. Secara filosofis imsak dapat dipahami sebagai
upaya untuk menahan segala sesuatu yang bukan haknya. Imsak berarti juga menunda dan
menahan diri, dari segala kesenangan sesaat yang bersifat semu, untuk memperoleh
kesenangan abadi yang hakiki. Sebagaimana pesan Rasulullah Saw, puasa bukan sekedar
meninggalkan makan, minum dan segala sesuatu yang akan membatalkannya, tetapi puasa
adalah sebuah upaya untuk menjaga dan mengendalikan organ tubuh kita seperti mata,
tangan, kaki, lidah, telinga, hati, pikiran dari segala yang merugikan bagi diri sendiri apalagi
bagi orang lain. Inilah konsep imsak dalam ibadah puasa yang telah kita laksanakan selama
bulan ramadhan, dan hanya dengan imsak manusia akan mendapatkan dan menemukan
hakikat kemanusiaannya.
Kalau konsep imsak ini digunakan untuk melihat kondisi bangsa kita, barangkali
kita dapat menyimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang ada, yang datang silih berganti
adalah karena kita tidak dapat memahami dan mengaktualisasikan pesan-pesan
moral imsak yang ada dalam ibadah puasa dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu selama bulan ramadhan manusia diharapkan dapat melakukan upaya
pencarian kreatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universalnya yang selama ini tertimbun
dalam belantara belukar kehidupan dunia. Timbunan ini harus digali sehingga berhasil
ditemukan, dibersihkan, dan dikembalikan kesuciannya karena puasa pada hakikatnya
adalah proses awal pencerahan spiritual manusia dan peningkatan kualitasnya menuju
prestasi taqwa. Barulah ketika hari raya idul fitri, manusia mengalami pencerahan, tidak
jarang seseorang pada malam idul fitri, dalam kesendiriannya dan kebeningan hatinya
menitikkan air mata ketika mengucapkan asma Allah atau mendengar takbir yang
menggema, ia tiba-tiba merasa malu di hadapan Allah Swt, betapa kehidupan dunia telah
melalaikannya, betapa dalam kehidupan ini secara personal maupun sosial, banyak hal-hal
yang selama ini dilakukannya telah membuat buta mata hatinya karena ia telah menodai
dan meninggalkan fitrahnya.
menyadarkan manusia dari kungkungan nafsu duniawi, kesadaran ini pada gilirannya akan
mengantarkan manusia pada kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiannya. Ia berusaha
mengangkat kembali nilai-nilai insaniahnya yang selama ini terabaikan. Iapun kembali
kepada asal penciptaan (fitrah)nya. Tidak berlebihan kalau Nabi Saw mengungkapkan idul
fitri secara metaforis sebagai kelahiran kembali manusia. Ia kembali suci tiada dosa
sebagaimana bayi yang baru dilahirkan ibunya. Idul fitri adalah buah dari proses
pencerahan manusia selama puasa, dan dengan pencerahan ini manusia akan mengisi harihari
berikutnya
dengan
sesuatu
yang
lebih
berkualitas
dari
hari
sebelumnya.
Pada hari raya Idul fitri ini seluruh ummat islam bergembira, mereka menebar
senyum kepada sesama dan saling memaafkan, tidak ada lagi dendam dan permusuhan,
semua sudah dihapuskan dan mencair dalam suasana damai. Kitapun membuka lembaran
baru yang lebih baik. Pada hari yang sakral ini kita lepas segala atribut yang bersifat
artificial yang sering menyekat hubungan antara kita. Hilang semua simbul-simbul dan
atribut duniawi, tercabik pula tirai kesombongan dan keangkuhan yang selama ini sering
mewarnai pola interaksi sosial. Kita kembali kepada kesadaran hakiki kemanusiaan yang
terdalam untuk menjadi insan kamil dengan prestasi taqwa yang diraihnya.
Puasa menyadarkan kembali manusia untuk lepas dari kungkungan nafsu duniawi
yang telah membelokkan mereka dari tujuannya ke titik sentral kehidupan yakni Allah Swt.
Inilah bekal yang akan kita gunakan dalam menghadapi hari-hari berikutnya pasca
ramadhan. Pengalaman spiritual selama ramadhan diharapkan bisa mengarahkan dan
membimbing perjalanan hidup kita pada masa-masa selanjutnya serta memelihara kita dari
kekotoran jiwa.
Bapak/Ibu, hadirin dan hadirat rahimakumullah,
Pelaksanaan hari raya dimulai dengan shalat idul fitri secara khusyu', dengan hati
yang ikhlas, memperbanyak takbir, dzikir dan doa, mengharap rahmat Allah Swt, dan
momen berkumpulnya manusia saat shalat idul fitri mengingatkan kita, bahwa kelak
manusia akan berkumpul pada suatu tempat yang agung di hadapan Allah Swt. Dzat Maha
Agung di padang makhsyar, kedudukan manusia yang berbeda-beda ketika beridul fitri
mengingatkan tentang perbedaaan dan kedudukan manusia nanti yang jauh lebih besar di
akherat kelak sesuai dengan ibadah dan amal shalih masing-masing.
Bulan ramadhan telah selesai meninggalkan kita, namun amal seorang mukmin
tidak akan pernah selesai sebelum kematian datang menjemputnya.
6$#ur y7/u 4Lym y7u?'t )u9$#
Artinya : "Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (kematian)"
QS.al-Hijr : 99.
pkr't t%!$# (#qYtB#u (#q)?$# !$# ,ym m?$s)? wur $
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenarbenar taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam. (QS.Ali imran : 102)
Meskipun bulan ramadhan telah berlalu, tidak berarti bahwa seorang muslim harus
berhenti atau terputus dari ibadah puasa, karena ibadah puasa tetap disyariatkan di bulan
lain meskipun diluar bulan ramadhan dalam bentuk ibadah puasa sunat, seperti puasa
enam hari di bulan syawwal, tiga hari dalam setiap bulan qamariyah pada tanggal 13,14 dan
15, puasa hari arafah 9 Dzulhijjah, puasa hari 'asyura 10 Muharram, puasa setiap hari senin
dan kamis, dan puasa di bulan sya'ban atau puasa Daud.
Begitu pula dengan ibadah shalat malam, meskipun ramadhan telah berlalu, shalat
malam masih disyariatkan untuk dikerjakan setiap malam dan Rasulullah selalu
mengerjakannya sebagaimana hadits riwayat Bukhari dari Mughirah bin Syu'bah beliau
bersabda :
Artinya : Sungguh Nabi saw. benar-benar mengerjakan shalat malam, sehingga kedua
telapak kaki-Nya bengkak. Pada saat hal ini ditanyakan kepadanya, Beliau menjawab :
"Bukankah seharusnya aku menjadi hamba yang banyak bersyukur"?.
Dan dalam sebuah hadits yang lain Beliau bersabda :
Artinya: "Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah
kekerabatan, dan shalatlah di malam hari ketika orang-orang sedang tidur, niscaya kalian
akan masuk surga dengan selamat .(HR.Tirmidzi)".
Bapak/Ibu, hadirin dan hadirat rahimakumullah
Seorang budayawan
Dr
Umar
Khayam
(alm),
menyatakan
bahwa tradisi
Lebaran merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di
Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan
masyarakat. Akhirnya tradisi lebaran itu meluas ke seluruh wilayahIndonesia, dan
melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama. Untuk mengetahui akulturasi kedua
budaya tersebut, kita cermati dulu profil budaya Islam secara global. Di negara-negara
Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan shalat Idul
Fitri tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan, yang ada
hanyalah beberapa orang secara sporadis berjabatan tangan sebagai tanda keakraban.
Menurut syariat agama Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya
setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan, melainkan kapan saja setelah
seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera meminta maaf
kepada orang tersebut. Bahkan Allah Swt, lebih menghargai seseorang yang memberi maaf
kepada orang lain (QS. Ali Imran :134).
Dalam budaya Jawa, seseorang melakukan sungkem kepada orang yang lebih tua
adalah suatu perbuatan yang terpuji. Sungkem bukannya simbol kerendahan derajat,
melainkan justru menunjukkan perilaku utama. Tujuan sungkem, adalah sebagai lambang
penghormatan, sebagai permohonan maaf, atau nyuwun ngapura. Istilah ngapura
tampaknya berasal dari bahasa Arab ghafura yang berarti permohonan maaf.
Para ulama di Jawa tampaknya ingin mewujudkan tujuan puasa Ramadhan selain
untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di
waktu yang lampau diampuni oleh Allah Swt. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah
Swt. bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya dengan beristighfar tetapi, apakah
semua dosanya bisa terhapus jika dia masih bersalah kepada orang lain yang dia belum
minta maaf kepada mereka?
Nah, di sinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari lebaran itu antara seorang
dengan yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masing-masing, yang kemudian
dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari lebaran, karena
puasanya telah lebar (selesai), dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus). Dari hal ini dapat
dimengerti, bahwa tradisi lebaran berikut halal bihalal merupakan perpaduan antara unsur
budaya Jawa dan budaya Islam. Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya
adalah hakikat ajaran Islam.
Bapak/Ibu, hadirin dan hadirat rahimakumullah
Sejarah asal mula halal bihalal menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton
Surakarta, dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran
Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah
shalat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara
serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem
kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian
ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal, kemudian berkembang
sampai sekarang yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah maupun swasta yang
pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai lapisan.
Sampai pada tahap ini halal bihalal telah berfungsi sebagai media pertemuan dari
segenap warga masyarakat dan dengan adanya acara saling memaafkan, maka hubungan
antarmasyarakat
menjadi
lebih
akrab
dan
penuh
kekeluargaan.
Karena halal
bihalal mempunyai efek yang positif bagi kerukunan dan keakraban warga masyarakat,
maka tradisi halal bihalal perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Bapak/Ibu, hadirin dan hadirat rahimakumullah
Halal bihalal, dua kata berangkai yang sering diucapkan dalam suasana Idul
Fitri. Ada dua makna yang dapat dikemukakan menyangkut pengertian istilah tersebut
yaitu:
pertama, bertitik tolak dari pandangan hukum Islam kata halal biasanya dihadapkan dengan kata
haram. Halal adalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengandung dosa. Jadi halal
bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat
dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.
kedua berpijak pada arti kebahasaan, akar kata halal yang kemudian membentuk berbagai
bentukan kata, mempunyai arti yang beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan rangkaian
kata berikutnya. Makna-makna yang diciptakan oleh bentukan-bentukan tersebut, antara
lain, berarti menyelesaikan problem, meluruskan benang kusut, melepaskan ikatan,
dan mencairkan yang beku.
Jika demikian, ber-halal bihalal merupakan suatu bentuk aktifitas yang mengantarkan
para pelakunya untuk meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya
membeku
sehingga
cair
kembali,
melepaskan
ikatan
yang
membelenggu,
serta
dikenang oleh orang lain serta dilapangkan rizkinya karena banyak orang yang akan
memberi bantuan terhadapnya karena kebaikan pribadi yang dimilikinya.
ANNA
SAYYIDANAA
WANABIYYANAAMUHAMMADAN'ABDUHUWAROSUULUUHU
baik. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan kesejahteraan-Nya kepada beliau, keluarganya
dan para sahabatnya, yang menjadi pemimpin lagi pula menjadi orang-orang baik." Adapun
sesudah itu.
ILAN
NUURI,
WASH
SHOLAATU
WAS
SALAAMU'ALAASAYYIDINAA
MUHAMMADANIS SAA-IQI ILAN NAJAATI MINAL JUURI, WA'ALAA AALIHI WA-ASH-HAABIHI AJMA'IINA."
Artinya:
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji kita
panjatkan kepada Allah SWT, yang telah mengeluarkan orang-orang mukmin dari kegelapan
(kufur) kepada nur iman yang menerangi hatinyad alam kegelapan hidup yang penuh dengan
godaan dan guncangan yang dapat membahayakan dunia akhirat. Semoga keselamatan dan
kesejahteraan dilimpahkan Allah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, yang telah
menyampaikan risalah-Nya dan membawa manusia kejalan kesempurnaan hidup lahir batin,
dunia akhirat, juga bagi keseluruh keluarga, sahabat serta pengikutnya sampai hari kiamat."
"
BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIM.
ALHAMDULILLAAHIL
BADII-'ILHAADII
ILAABAYAANI