Anda di halaman 1dari 43

13

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teori

1. Pengembangan model ADDIE

Model pengembangan ADDIE merupakan model desain pembelajaran

yang berlandasan pada pendekatan sistem yang efektif dan efisien serta prosesnya

yang bersifat interaktif yakni hasil evaluasi setiap fase dapat membawa

pengembangan pembelajaran ke fase selanjutnya. Hasil akhir dari suatu fase

merupakan produk awal bagi fase berikutnya. Model ini terdiri atas 5 fase atau

tahap utama yaitu 1) Analyze (Analisis), 2) Design (Desain), 3) Develop

(Pengembangan), 4) Implement (Implementasi), 5) Evaluate (Evaluasi) (Reyzal

Ibrahim, 2011).

Menurut Dewi Padmo (2004: 418), model-model pengembangan tersebut

memiliki langkah-langkah yang berbeda. Namun, apabila berbagai model tersebut

dicermati, secara genetik terdapat lima tahapan utama di dalamnya. Tahapan

pengembangan tersebut adalah analisis, desain atau rancangan, pengembangan,

implementasi, dan evaluasi. Model ini dikenal dengan model pengembangan

ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation).

Analysis

Design

Development

Implementation

Evaluasi
14

Ulasan Tahapan-tahapan model ADDIE menurut Chaeruman (2008) adalah

sebagai berikut :

a. Tahap analisis: suatu proses mendefinisikan apa yang akan dipelajari oleh

peserta belajar. Maka untuk mengetahui atau menentukan apa yang harus

dipelajari, kita harus melakukan beberapa kegiatan, diantaranya adalah melakukan

needs assessment (analisis kebutuhan), mengidentifikasi masalah (kebutuhan), dan

melakukan analisis tugas (task analysis). Oleh karena itu, output yang akan kita

hasilkan adalah berupa karakteristik atau profil calon peserta belajar, identifikasi

kesenjangan, identifikasi kebutuhan dan analisis tugas yang rinci didasarkan atas

kebutuhan.

b. Tahap desain: tahap ini dikenal juga dengan istilah membuat rancangan. Ibarat

bangunan, maka sebelum dibangun gambar rancang bangun (blue-print) diatas

kertas harus ada terlebih dahulu. Apa yang kita lakukan dalam tahap desain ini?

Pertama kita merumuskan tujuan pembelajaran. Selanjutnya menyusun tes,

dimana tes tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yag telah

dirumuskan tadi. Kemudian menentukan strategi pembelajaran yang tepat

harusnya seperti apa untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini ada banyak

pilihan kombinasi metode dan media yang dapat kita pilih dan tentukan yang

paling relevan. Disamping itu, pertimbangkan pula sumber-sumber pendukung

lain, misalnya sumber belajar yang relevan, lingkungan belajar yang seperti apa

seharusnya.
15

c. Tahap pengembangan: pengembangan adalah proses mewujudkan blue-print

atau desain tadi menjadi kenyataan. Jika dalam desain diperlukan suatu perangkat

lunak berupa multimedia pembelajaran, maka multimedia tersebut harus

dikembangkan, atau diperlukan modul cetak, maka modul tersebut perlu

dikembangkan. Begitu pula halnya dengan lingkungan belajar lain yang akan

mendukung proses pembelajaran semuanya harus disiapkan dalam tahap ini. Satu

langkah penting dalam tahap pengembangan adalah uji coba sebelum

diimplementasikan. Tahap uji coba ini memang merupakan bagian dari salah satu

langkah ADDIE, yaitu evaluasi. Lebih tepatnya evaluasi formatif, karena hasilnya

digunakan untuk memperbaiki sistem pembelajaran yang dikembangkan.

d. Tahap implementasi: langkah nyata untuk menerapkan sistem pembelajaran

yang sedang kita buat. Artinya, pada tahap ini semua yang telah dikembangkan

diset sedemikian rupa sesuai dengan peran atau fungsinya agar bisa

diimplementasikan. Misalnya, jika memerlukan perangkat lunak tertentu maka

perangkat lunak tersebut harus sudah diinstal. Jika penataan lingkungan harus

tertentu, maka lingkungan dibuat tertentu dan juga harus ditata. Barulah

diimplementasikan sesuai skenario atau desain awal.

e. Tahap evaluasi: evaluasi adalah proses untuk melihat apakah sistem

pembelajaran yang sedang dibangun berhasil, sesuai dengan harapan awal atau

tidak. Sebenarnya tahap evaluasi bisa terjadi pada setiap empat tahap di atas.

Evaluasi yang terjadi pada setiap empat tahap diatas itu dinamakan evaluasi

formatif, karena tujuannya untuk kebutuhan revisi. Misalnya, pada tahap

rancangan, mungkin kita memerlukan salah satu bentuk evaluasi formatif


16

misalnya review ahli untuk memberikan input terhadap rancangan yang sedang

kita buat. Pada tahap pengembangan, mungkin perlu uji coba dari produk yang

kita kembangkan atau mungkin perlu evaluasi kelompok keci

Gambar.2.2 .Rangkuman Aktivitas Model ADDIE (Molenda, 2008 )

Tahap Pengembangan Aktivitas

Analysis Pra perencanaan: pemikiran tentang

produk (model, metode, media, bahan

ajar) baru yang akan dikembangkan

Mengidentifikasi produk yang sesuai

dengan sasaran peserta didik, tujuan

belajar, mengidentifikasi isi/materi

pembelajaran, mengidentifikasi

lingkungan belajar dan strategi

penyampaian dalam pembelajaran

Design Merancang konsep produk baru di atas

kertas

Merancang perangkat pengembangan

produk baru. Rancangan ditulis untuk

masing-masing unit pembelajaran.

Petunjuk penerapan desain atau

pembuatan produk ditulis secara rinci

Develop Mengembangkan perangkat produk


17

(materi/bahan dan alat) yang diperlukan

dalam pengembangan

Berbasis pada hasil rancangan produk,

pada tahap ini mulai dibuat produknya

(materi/bahan, alat) yang sesuai dengan

struktur model

Membuat instrumen untuk mengukur

kinerja produk

Implementation Memulai menggunakan produk baru

dalam pembelajaran atau lingkungan

yang nyata

Melihat kembali tujuan-tujuan

pengembangan produk, interaksi antar

peserta didik serta menanyakan umpan

balik awal proses evaluasi

Evaluation Melihat kembali dampak pembelajaran

dengan cara yang kritis

Mengukur ketercapaian tujuan

pengembangan produk

Mengukur apa yang telah mampu

dicapai oleh sasaran

Mencari informasi apa saja yang dapat

membuat
18

Penggunaan model ADDIE pada pengembangan produk multimedia audio

visual untuk pembelajaran sudah dikenal secara luas. Parekh (2006)

mencantumkan ADDIE sebagai salah satu metode pengembangan aplikasi

multimedia untuk produk CBT. Moel ADDIE juga digunakan untuk

pengembangan website berbasis multimedia(peterson, 2003), serta aplikasi

pembelajaran berbasis multimedia lainnya.

Dari ulasan model ADHIE di atas dapat disimpulkan bahwa tahapan

model pengembangan dengan model ADHIE adalah analisis, desain atau

rancangan, pengembangan, implementasi, dan evaluasi. Model ini dikenal dengan

model pengembangan ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation,

Evaluation.
19

2. Media pembelajaran

a. Definisi media pembelajaran

Kata media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari

kata medium yang berarti suatu yang terletak ditengah (antara dua pihak atau

kutub) atau suatu alat. ( Sri Anitah, 2009: 4)

Media menurut Smaldino berasal dari bahasa Latin, yang merupakan

bentuk jamak dari kata medium yang berarti sesuatu yang terletak ditengah-

tengah/ perantara, merupakan sarana komunikasi. Istilah ini merujuk pada apa saja

yang membawa informasi antara sebuah sumber dan sebuah penerima pesan

(2011:7).

Menurut Brezt (dalam Sri Anitah , 2009: 5), secara implisit menyatakan

bahwa media adalah sesuatu yang terletak ditengah-tengah, jadi suatu perantara.

Bretz menghubungkan semua pihak yang membutuhkan terjadinya suatu

hubungan dan membedakan antara media komunikasi dan alat bantu komunikasi.

Sedangkan Asyhar (2012:8) mengemukakan bahwa media pembelajaran dapat

dipahami sebagai segala sesuatu yang dapat menyampaikan atau menyalurkan

pesan dari suatu sumer secara terencana, sehingga terjadi lingkungan belajar yang

kondusif dimana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan

efektif.

Bertolak dari bebagai definisi dari berbagai ahli dapat disimpulkan bahwa

media pembelajaran adalah suatu alat, bahan atau peristiwa yang dapat

menciptakan kondisi yang memungkinkan pelajar untuk menerima pengetahuan,


20

keterampilan, sikap dan mempermudah para peserta didik untuk menerima pesan

yang disampaikan dalam pembelajaran secara lebih kritis.

b. Ciri-ciri Media Pembelajaran

Gerlach & Ely (dalam Arsyad, 2006:14) mengemukakan 3 ciri media,

yang merupakan petunjuk mengapa media digunakan dan apa-apa saja yang yang

dapat dilakukan oleh media yang mungkin guru tidak mampu melakukannya.

a. Ciri Fiksiatif

Ciri ini menggambarkan kemampuan media merekam, menyimpan,

melestarikan dan merekonstruksi suatu peristiwa atau objek.Suatu peristiwa atau

objek dapat diurut dan disusun kembali dengan media seperti fortografi, video

tape, audi tape, disket computer dan film.Dengan ciri fiksiatif ini, media

memungkinkan suatu rekaman kejadian atau objek yang terjadi pada satu waktu

tertentu ditransportasikan tanpa mengenal waktu . Ciri ini amat penting bagi guru

karena kejadian-kejadian atau objek yang telah direkam/disimpan.Dengan format

media yang dpaat digunakan setiap saat.Peristwa yang kejadiannya hanya sekali

dapat diabadikan dan disusun kembali untuk keperluan pembelajaran.

b. Ciri Manipulatif

Transformasi suatu kejadian atau objek dimungkinkan karena media

memiliki ciri manipulatif. Kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat

disajikan kepada siswa dalam waktu dua atau tiga menit dengan teknik

pengambilan gambar time-lapse recording.Misalnya, bagaimana proses larva

menjadi kepompong kemudian menjadi kupu-kupu dapat dipercepat dengan

teknik rekaman fotografi tersebut.


21

c. Ciri Distributif

Ciri distributif dari media memungkinkan suatu objek atau kejadian

ditransportasikan melalui ruang san secara bersamaan kejadian tersebut disajikan

kepada sejumlah besar siswa dengan stimulus pengalaman yang relative sama

mengenai kejadian itu. Ciri ini penting karena distribusi media dewasa ini tidak

hanya terbatas dalam satu kelas atau beberapa kelas pada sekolah-sekolaj didalam

suatu wilayah, tetapi juga media itu misalnya rekaman video, audio, disket

komputer dapat disebar keseluruh penjuru tempat yang diinginkan kapan saja.

Dari penjelasan tentang ciri-ciri media pembelajaran dapat disimpulkan

bahwa Ketiga ciri ini merupakan karakteristik media yang dapat digunakan dalam

pembeljaran. Terkadang guru harus menyampaikan sesuatu yang telah terjadi

pada masa lampau, ruang, dan waktu yang terbatas, serta materi yang sangat

abstrak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan mempertimbangan

ketiga ciri media tersebut guru dapat memilih, memnciptakan dan menggunakan

media dalam pembelajaran.

c. Ruang lingkup media pembelajaran

Ruang lingkup media pembelajaran adalah meliputi segala alat, bahan,

peraga, serta sarana dan prasarana di sekolah yang digunakan dalam proses

pembelajaran. Media tersebut bisa memberikan rangsangan pada siswa untuk

belajar, menjadikan pembelajaran makin efektif dan efisien, bisa menyalurkan

pesan secara sempurna, serta dapat mengatasi kebutuhan dan problem siswa

dalam belajar. Lebih penting lagi adalah media sengaja dipilih dalam proses

pembelajaran. Sehingga medi ayang tidak berorientasi pada pencapaina tujuan


22

pembelajaran bukan termasuk dalam ruang lingkup media pembelajaran.

(Musfiqon, 2012: 31)

d. Fungsi media pembelajaran

Menurut Oemar Hamalik (dalam Arsyad 2006: 15) mengemukakan bahwa

pemakainan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat

membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan

rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pemngaruh psikologis

terhadap siswa. Pengunaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran

akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaina pesan

dan isi pelajaran. Sedangkan menurut Angkowo dan kosasih (2007:27) bahwa

salah satu fungsi media pembelajaran adlah sebagai alat bantu pembelajaran, yang

ikut mempengaruhi situasi, kondisi dan lingkungan belajar dalam rangka

mencapai tujuan pembelajaran yang diciptakan dan didesain oleh guru.

Menurut Levie dan Lentz (dalam Musfiqon, 2012: 33) ada empat fungsi

media pembelajaran, khususnya media visual yaitu:

1. Fungsi atensi

Media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan siswa untuk

berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan maksud visual

yang ditampilkan atau menyertakani teks materi pelajaran.

2. Fungsi afektif

Media visual dapat dilihat dari tingkat kenikamatan siswa ketika

belajar(atau membaca) teks yang bergambar.


23

3. Fungsi kognitif

Media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan

bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapainan tujuan

untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung

dalam gambar.

4. Fungsi kompensatoris

Media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual yang

memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah

dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi untuk mengingat

kembali.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi media pembelajaran

cukup luas dan banyak. Dari berbagai fungsi media diatas tujuan akhirnya adalah

untuk meningkatkan kualiatas pembelajaran. Kualitas pembelajaran ini dibangun

memaluli komunikasi yang efektif. Sedangkan komunikasi efektif hanya terjadi

jika menggunakan alat bantu sebagai perantara interaksi antara guru dan siswa.

Oleh karena itu, fungsi media adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran

dengan indikator semua materi yang tuntas disampaikan dan peserta didik

memahami secara lebih mudah dan tuntas.

e. Media audio visual

1) Media visual

Media visual merupakan media yang paling familiar dan sering dipakai

guru dalam pembelajaran. Media berbasis visual memegang peranan sangat

penting dalam proses pembelajaran. Media visual berkaitan dengan indera


24

penglihatan. Media visual dapat memperlancar pemahaman dan memperkuata

ingatan. Visual dapat pula menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan

hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Agar menjadi efektif

visual sebaiknya ditempatkan pada konteks yang bermakna dan siswa harus

berinteraksi dengan visual unttuk menyakinkan terjadinya proses informasi.

(Musfoqin, 2012:70-71).Sedangkan Menurut Sri Anitah (2009:7) bahwa media

visual adalah media pandang, karena seseorang dapat menghayati media melalui

penglihatannya.

Beberapa media visual menurut Asyhar (2012:45) antara lain: (a) media

cetak seperti buku, modul, jurnal, peta, gambar, dan poster, (b) model dan

prototype seperti globe bumi, dan (c) media realitas alam sekitar dan sebagainya.

Pemilihan dan pengunaan media visual Menurut Musfiqon (2012: 72-73) perlu

memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Visualisasi yang mencerminkan kenyataan

Apa yang digambarkan merupakan miniaturisasi dan kenyatan atau benda

sesungguhnya. Sehingga anak didik saat melihat visual yang ditampilkan

mengalami dan melihat wujud asli benda yang divisualisasikan.

2. Mempertimbangkan mutu teknis

Visualisasi yang kurang jelas, baik dari sisi warna, isi, serta layout akan

menimbulkna bias dalam proses pembelajaran. Peserta didik tidak mampu

menerima pesan secara utuh dan komprehensif karena kualitas visual yang

ditampilkan tidak sempurna.

3. Keterampilan guru dan ketersediaanya


25

4. Benda visual menuntut keterampilan tertentu untuk menyajikan dan

mengoperasikannya. Guru dituntut untuk bisa mengoperasikan visual

secara baik dan benar.

Kelebihan dari media visual menurut Sri Anitah adalah sebagai berikut :

berbagai materi pelajaran dapat dtujukkan secara langsung diambil dari buku,

koran, majalah, peta, dan sebagaianya; perangkat lunak tidak membutuhkan biaya

banyak; dapat dipakai berulang-ulang; dan berbagai objek tiga dimensi seperti

serangga, mata uang, daun, dapat diproyeksikan (2011:34-35).

Kelemahan dari media visual menurut Sri Anitah adalah: tidak dapat

menunjukkan gambar yang terang karena materi yang dipertunjuukan tidak

tembus cahaya, kecuali diperketat dan ruangan gelap; materi yang diproyeksikan

dapat rusak bila terlalu lama diproyeksikan (melengkung atau hangus) karena

pemantulan cermin dengan lampu yang cukup besar; pesawat kurang aman bila

tersentuh karena panas; dan membutuhkan ruang yang becocok betul-betul gelap,

maka kurang cocok untuk pembelajaran (2011:35).

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa media visual adalah media

pembelajaran yang mempunyai peranan penting dalam pembelajaran karena

menyangkut indera penglihatan meskipun media visual sendiri menpunyai

beberapa kelemahan dan kelebihan.

2) Media Audio

Menurut Sukiman (2012:152) media pembelajaran yang berbasis audio

visual adalah media yang digunkan untuk menyalurkan pesan lewat indera

penglihatan sekaligus indera pendengaran (indera pandang/dengar).Contohnya


26

media televisi dan media film/video.Sama seperti film, video dapat

menggambarkan suatu objek yang bergerak bersama-sama dengan alamiah atau

suara yang sesuai. Film dan video berfungsi sebagai media untuk menyaikan

informasi, memaparkan proses, menjelaskan konsep-konsep yang rumit,

mengajarkan keterampilan, mengikat atau memperpanjang waktu dan

mempengaruhi sikap.

Asyhar (2012:73) mengemukakan, media audio adalah media yang

penyampaian pesannya hanya dapat diterima oleh indera pendengaran. Pesan atau

informasi yang akan disampaikan dituangkan ke dalam lambang-lambang auditif

berupa kata-kata, music, dan efek suara. Media audio memiliki jenis dan bentuk

yang bervariasi, diantaranya adalah radio, piringan hitam, pita kaset suara,

compact disc (CD). Sedangkan Menurut Sri Anitah (2011:40), media audio

merupakan suatu media untuk menyampaikan pesan dari pengirim ke penerima

pesan melalui indera pendengaran. Agar media tersebut benar-benar dapat

membawakan pesan yang mudah diterima oleh pendengar, harus digunakan

bahasa audio.Secara sederhana bahasa audio adalah bahasa yang memadukan

elemen-elemen suara, bunyi dan musik, yang mengandung nilai abstrak.Misalnya

: bahasa puitis, music yang agung, suara yang merdu, dan lain-lain.

Terdapat beberapa kelebihan media audio menurut Terdapat beberapa

kelebihan audio menurut Sri Anitah (2009:159-160), antara lain : (1) tidak begitu

mahal untuk kegiatan pebelajaran; audio tape cukup hemat; (2) dapat digunakan

untuk pembelajaran kelompok maupun individual; (3) pebelajar yang tuna netra

maupun tuna aksara dapat belajar dapat melalui media audio; (4) untuk anak yang
27

masih kecil atau untuk anak pebelajar yang belum dapat membaca, media audio

dapat membentuk pengalaman belajar bahasa permulaan; (5) media audio dapat

membawakan pesan verbal yang lebih dramatis daripada media cetak dengan

sedikit imajinasi guru, program audio dapat bervariasi audio cassette tape-

recorder dapat dibawa kemana-mana dan dapat digunakan di lapangan dengan

battery; (6) cassette tape-recordersangat ideal untuk belajar mandiri di rumah,

karena bahan pembelajaran pada pita kaset mudah diperbanyak bila diperlukan;

(8) media audio yang berformat digital sangat menarik perhatian.

Di samping memiliki kelebihan, media audio juga memiliki kelemahan

menurut Sri Anitah (2009:160), antara lain: (1) melalui media audio kaset, dapat

mendengarkan urutan penyajian yang tetap, bahkan bila diputar kembali, akan

terdengar hal-hal yang sama. Hal ini kadang-kadang membosankan; (2) tanpa ada

penyaji yang betatap muka langsung dengan pebelaja, beberapa diantara pebelajar

kurang memperhatikan penyajian itu; (3) pengembangan program audio yang

baik, akan banyak menyita waktu;(4) penentuan cara penyampaian informasi

dapat menimbulkan kesulitan bila pendengar memiliki latar belakang serta

kemampuan mendengar yang berbeda; (5) serta tidak dapat diperoleh balikan

secara langsung karena hanya ada satu jalur penyampaian informasi.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa media audio merupakan

salah satu media pembelajaran yang sangat penting untukl kegiatan belajar tipe

audiktif yang efektif.


28

3) Media audio visual

Pada pembahasan tersebut diatas telah dikemukakan media visual yang

merupakan media yang hanya dapat dilihat, kemudian berikutnya diuraikan

tentang media audio yaitu media yang hanya dapat didengar, maka pada

penjelasan ini dijelaskan tentang media audio visual.

Dengan mengunakan media audio visual ini seseorang tidak hanya dapat

mendengar atau melihat saja tetapi dapat melihat sekaligus mendengar sesuatu

yang divisualisasikan (Mustaqim, 2012:168).

3. Pembelajaran Sejarah

Sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan, sikap, dan

nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia

dan dunia dari masa lampau hingga kini ( Agung, L & Sri Wahyuni, 2013: 55 ).

Dalam Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa sejarah merupakan cabang ilmu

pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan

masyarakat di masa lampau berdasarkan metode dan metodologi tertentu. Terkait

dengan pendidikan di sekolah dasar dan menengah, pengetahuan masa lampau

tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih

kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian peserta didik ( 2006: 523 )

( Aman, 2011: 13 ). Menurut National Institute for Educational Research 1999

bahwa materi sejarah dimasukkan dalam kurikulum sekolah untuk membangun

kohesi dan identitas nasional, serta pewarisan nilai, etika, dan budaya kepada

peserta didik ( Supriatna dalam Aman, 2011: 107 ).


29

Tugas pokok pembelajaran sejarah adalah dalam rangka pembangunan

karakter peserta didik. Pembelajaran sejarah akan membangkitkan kesadaran

empati ( emphatic awareness ) dikalangan peserta didik, yakni sikap simpati dan

toleransi terhadap orang lain yang disertai dengan kemampuan mental dan sosial

untuk mengembangkan imajinasi dan sikap kreatif, inovatif, serta partisipatif

(Aman, 2011: 2 ). Sikap-sikap tersebut sangat penting dikembangkan bagi

kehidupan dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia. Selain itu, pelajaran

sejarah mempunyai fungsi sosiokultural, membangkitkan kesadaran historis.

Berdasarkan kesadaran Sejarah dibentuk kesadaran nasional. Hal ini

membangkitkan inspirasi dan aspirasi kepada generasi muda bagi pengabdian

kepada negara dengan penuh dedikasi dan kesediaan untuk berkorban ( Aman,

2011: 31 ). Kesadaran sejarah perlu ditanamkan kepada siswa terutama mengenai

keadaan Indonesia yang beragam dan sejarah panjang perjuangan kebangsaan agar

mereka menyadari bahwa negara-bangsa Indonesia tidak dibangun dan didirikan

oleh golongan tertentu melainkan hasil perjuangan semua elemen masyarakat.

Sehingga tidak terjadi saling klaim siapa yang paling menguasai dan berhak atas

negara-bangsa Indonesia.

Menurut S.K. Kochar ( 2008: 27-37 ) sasaran umum pembelajaran sejarah

adalah (1) mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri; (2) memberikan

gambaran yang tepat tentang konsep waktu, ruang dan masyarakat; (3) membuat

masyarakat mampu mengevaluasi nilai-nilai dan hasil yang telah dicapai oleh

generasinya; (4) mengajarkan toleransi; (5) menanamkan sikap intelektual; (6)

memperluas cakrawala intelektual; (7) mengajarkan prinsip-prinsip moral; (8)


30

menanamkan orientasi ke masa depan; (9) memberikan pelatihan mental;(10)

melatih siswa menangani isu-isu kontroversial; (11) membantu mencarikan jalan

keluar bagi berbagai masalah sosial dan perorangan; (12) memperkokoh rasa

nasionalisme; (13) mengembangkan pemahaman internasional; (14)

mengembangkan ketrampilan yang berguna.

Secara teoritis pembelajaran sejarah mengandung nilai-nilai luhur yang

diperlukan dalam pergaulan bermasyarakat dan berbangsa dalam keberagaman

seperti yang dipaparkan diatas. Seharusnya pembelajaran sejarah mampu

mencapai sasaran tersebut, agar peserta didik dapat mengambil manfaat

pembelajaran. Menurut Sartono Kartodirdjo ( dalam Aman, 2011: 100 ) fungsi

pembelajaran sejarah, yaitu: (1) untuk membangkitkan minat kepada sejarah tanah

airnya; (2) untuk mendapatkan inspirasi dari sejarah, baik dari kisah-kisah

kepahlawanan baik peristiwa-peristiwa yang merupakan tragedi nasional; (3)

memberi pola berpikir kearah berpikir secara rasional, kritis, dan empiris; dan (4)

mengembangkan sikap mau menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan

menurut Leo Agung & Sri Wahyuni ( 2013: 56 ) fungsi mata pelajaran sejarah

adalah menyadarkan siswa akan adanya proses perubahan dan perkembangan

masyarakat dalam dimensi waktu untuk membagun perspektif serta kesadaran

sejarah dalam menemukan, memahami, dan menjelaskan jati diri bangsa di masa

lalu, masa kini, dan masa depan ditengah-tengah perubahan dunia.

Dennis Gunning menjelaskan bahwa secara umum pembelajaran sejarah

bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik, menyadarkan peserta didik

untuk mengenal diri dan lingkungannya, serta memberikan perspektif


31

historikalitas. Sedangkan secara spesifik, lanjut Gunning, tujuan pembelajaran

sejarah ada tiga yaitu mengajarkan konsep, mengajarkan keterampilan intelektual,

dan memberikan informasi kepada peserta ( dalam Aman, 2011: 43-44 ).

Pengajaran sejarah juga bertujuan agar siswa menyadari adanya keragaman

pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang

yang berbeda. Tujuan lainnya adalah (a) mendorong siswa berpikir kritis-analitis

dalam memanfaatkan pengetahuan tentang masa lampau untuk memahami

kehidupan masa kini dan yang akan datang; (b) memahami bahwa sejarah

merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari; dan (c) mengembangkan

kemampuan intelektual dan keterampilan untuk memahami proses perubahan dan

keberlanjutan masyarakat ( Agung, L & Sri Wahyuni, 2013: 56 ).

Dengan belajar sejarah peserta didik memperoleh kemampuan berpikir

historis dan pemahaman sejarah, mampu mengembangkan kompetensi untuk

berpikir secara kronologis dan memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang

dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan proses perkembangan dan

perubahan masyarakat serta keragaman sosial budaya dalam rangka menemukan

dam menumbuhkan jati diri bangsa ditengah-tengah kehidupan masyarakat dunia.

Menurut Hill sejarah yang diajarkan dengan baik, dapat menjadikan

seseorang bersikap kritis dan berperikemanusiaan. Sebaliknya, jika sejarah

diajarkan secara keliru, maka ia dapat mengubah manusia menjadi fanatik, dapat

juga menjadi penganut aliran yang berlebih-lebihan ( dalam Aman, 2011: 100 ).

Pada kenyataannyapembelajaran sejarah selama ini cenderung menekankan pada

hafalan konsep, pengertian, nama-nama kerajaan, nama tokoh, tanggal dan tahun
32

kelahiran seorang tokoh. Akibatnya pembelajaran sejarah menjadi tidak menarik

dan membuat peserta didik lelah menghafal materi sejarah yang merupakan

kumpulan fakta dan informasi. Pembelajaran sejarah yang demikian

mengindikasikan bahwa penyelenggaraan pendidikan lebih pragmatis, cenderung

kognitif, menekankan pada penguasaan materi sehingga bersifat intelektualistik

(Sardiman, dalam Seminar Nasional Reformulasi Pembelajaran Sejarah ). Bukan

menjadi rahasia apabila pada kenyataannya, pengajaran sejarah di banyak sekolah

tak lebih dari transfer ilmu guru kepada murid di dalam kelas melalui komunikasi

satu arah. Murid hanya menjadi obyek pasif yang mempunyai kewajiban untuk

menghafal catatan yang telah diberikan guru supaya bisa menjawab soal-soal yang

nantinya akan diujikan.Metode pembelajaran sejarah seperti tersebut di atas

menjadikan pelajaran sejarah membosankan, kemudian tidak memberikan

sentuhan emosional karena siswa merasa tak terlibat aktif di dalam proses

pembelajaran.

Kebanyakan dari siswa tidak menyukai pelajaran sejarah, mereka merasa

percuma mempelajari hal-hal tersebut karena tidak ada hubungannya dengan masa

sekarang. Padahal dengan pembelajaran sejarah seharusnya siswa dapat mengerti

masa lalu dan menghubungkan yang sudah berlalu dengan masa sekarang. Dengan

begitu siswa akan lebih baik dalam menyiapkan peran dan rencana di masa depan.

Dengan belajar sejarah diharapkan mereka mampu menerapkan pengetahuan yang

mereka dapat dalam kehidupan nyata terutama siswa akan menjadi warga negara

yang baik dan bangga akan identitas dirinya serta mampu merumuskan apa yang

akan mereka capai. Mengajarkan sejarah pada dasarnya adalah mengajarkan


33

hikmah dan semangat, belajar sejarah sama dengan apa yang disebut muhasabatun

nafsi yaitu sebagai sarana bercermin dan instrospeksi diri. Apakah kita sudah

bertindak sesuai dengan nilai norma agama maupun masyarakat, apakah kita

sebagai manusia tidak termasuk golongan yang merugi karena telah mengulangi

kesalahan yang sama.

Mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak

dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia

Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Oleh karena itu,

Depdiknas ( 2006: 523 ) menyebutkan bahwa materi mata pelajaran sejarah:

1. Mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme,

nasionalisme dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses

pembentukan watak dan kepribadian peserta didik;

2. Memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban

bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar

bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesai di masa

depan;

3. Menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaran serta solidaritas untuk

menjadi perekat bangsa dalam mengahadapi ancaman disintegrasi bangsa;

4. Sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis

multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari;

5. Berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab

dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.


34

Pada kenyataannya idealisme tersebut belum tercapai karena berbagai

faktor antara lain kesalahan penggunaan metode pembelajaran, minimnya

penggunaan media pembelajaran yang mendukung, kurangnya strategi

pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan yang paling penting

adalah kebanyakan dari guru sejarah bukan merupakan lulusan pendidikan

sejarah. Selama ini mata pelajaran sejarah dianggap mata pelajaran yang mudah

dan dapat disampaikan oleh guru dengan latar belakang keilmuan apa saja,

sehingga kalau meminjam istilah Teresia K. Teaiwa ( Praktisi Pendidikan Sejarah

di University of the South Pasific ) mereka tidak punya passion. Bisa dipahami

kalau guru-guru tersebut yang mengajar mata pelajaran Sejarah tidak memiliki

gairah dan sense of belonging karena mereka tidak berlatar belakang pendidikan

sejarah. Namun, terkadang banyak terdapat guru sejarah yang tidak memiliki

kebanggaan terhadap profesinya dan merasa inferior karena mata pelajaran ini

tidak masuk dalam UNAS. Kedua hal yang disebutkan terakhir menjadi faktor

yang sangat menentukan kenapa mata pelajaran Sejarah menjadi sangat datar dan

kering, karena siswa sangat sensitif terhadap keengganan guru terhadap

profesinya. Mengenai hal ini Max Quanchi dan Asofou Soo (2003: 6 )

memberikan penjelasan secara eksplisit dan memberikan sarannya agar

pembelajaran sejarah lebih menarik bagi siswa sebagai berikut;

Students will respond quickly-and negatively- if you are half-hearted or


lazy about your new job as a History teacher. Be positive about the subject
and promote respect for history (as a subject) and you will quickly
establish your credibility as a History teacher. Be confident about the
subject matter, explicit in your directions on what students need to do, and
remember to laugh every now and then enjoy your history teaching
experience.
35

Melihat berbagai kenyataan tersebut sudah waktunya untuk merevitalisasi

pembelajaran sejarah agar lebih bermakna dan bermanfaat. Usaha ini dilakukan

dengan cara pengembangan dan penerapan model pembelajaran sejarah yang lebih

konstruktif, inovatif, kreatif melalui sinergi diantara semua pihak terkait.

4. Museum Kereta Api Ambarawa

a. Museum

Museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan,

melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang

mengumpulkan, merawat, mengkomunikasikan dan memamerkan bukti-bukti

material manusia dan lingkungannya untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan dan

kesenangan. Peraturan pemerintah Republik Indonesia tahun 1995 tentang

Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum ayat 1 ( dalam

depdikbud, 1995v) medefinisikan museum sebagai berikut :

A museum is an institution, a repository, for the preservatio safe keeping


and benefaction of material object as a product of mans culture and his
environment, and the utilization of these in support of effors to protect and
perpetuate the nations cultural richest.

Museum adalah sebuah institusi, tempat penyimpanan, perawatan,

pegamanan, dan pemanffatan benda-bendabukti material hasil budaya manusia

serta alam dan lingkungannya guna menunjang supaya perlindungan dan

pelestarian kekayaan bangsa.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa museum adalah wadah

untuk menyimpan, merawat dan mengamankan benda-benda peninggalan masa

lampau untuk pelestarian cagar budaya dan untuk pendidikan.


36

b. Museum kereta api ambarawa

Museum Kereta Api Ambarawa adalah sebuah stasiun kereta api yang

sekarang dialih fungsikan menjadi sebuah museum di Ambarawa, Raja Willem I

memerintahkan untuk membangun stasiun kereta api baru yang memungkinkan

pemerintah untuk mengangkut tentaranya ke Semarang. Pada 21 Mei 1873,

Stasiun Kereta Api Ambarawa dibangun di atas tanah 127.500 m. Pada awalnya

dikenal sebagai Stasiun Willem I. Willem I Stasiun Kereta Api awalnya titik

pengangkutan antara 8 4ft di (1435 mm) cabang rel dari Kedungjati di timur

laut dan 3ft 6in (1067 mm) baris rel selanjutnya menuju Yogyakarta melalui

Magelang dari arah selatan. Hal ini masih bisa terlihat bahwa kedua sisinya

dibangun stasiun

Kereta api untuk mengakomodasi ukuran yang berbeda. Museum Kereta

Api Ambarawa kemudian didirikan pada tanggal 6 Oktober 1976 di Stasiun

Ambarawa untuk melestarikan lokomotif uap yang kemudian datang ke akhir

masa pemanfaatan kembali ketika 3ft 6in (1067 mm) jalur rel kereta api dari

Perusahaan Negara Kereta Api ditutup. Ini merupakan museum terbuka yang

terdapat di samping stasiun asli.(wawancara kepala stasiun).

Museum ini melayani kereta wisata Ambarawa-Bedono pp,

Ambarawa-Tuntang pp dan lori wisata Ambarawa-Tuntang pp. Kereta

wisata Ambarawa-Bedono pp atau lebih dikenal Ambarawa Railway Mountain

Tour ini beroperasi dari Museum ini menuju Stasiun Bedono yang jaraknya 35

KM dan ditempuh 1 jam untuk sampai stasiun itu. Kereta ini melewati rel

bergerigi yang hanya ada di sini dan di Sawahlunto. Panorama keindahan alam
37

seperti lembah yang hijau antara Gunung Ungaran dan Gunung. Merbabu dapat

disaksikan sepanjang perjalanan.

Pemandangan yang dapat dinikmati dari kereta dan lori Ambarawa-

Tuntang tidak kalah bagusnya. Kereta ini berangkat dari stasiun menuju Stasiun

Tuntang yang berada sekitar 7 km dari museum. Sepanjang jalan dapat dilihat

lanskap menawan berupa sawah dan ladang dengan latar belakang Gunung

Ungaran, Gunung Merbabu, dan Rawa Pening di kejauhan. Kereta ini sebenarnya

sudah ada sejak dulu, tetapi ditutup pada 1980-an karena prasarana yang rusak.

Koleksi Museum

Museum mengoleksi 21 lokomotif uap. Saat ini terdapat 3 lokomotif yang

dapat dioperasikan. Koleksi yang lain dari museum adalah telepon antik, peralatan

telegram morse, bel antik dan beberapa perabotan antik.

Jalur rel 3ft 6in (1067 mm) terhadap Yogyakarta(membentang dari selatan ke

barat melalui Ambarawa) merupakan yang menarik karena melewati Jambu dan

Secang, satu-satunya yang masih beroperasi di Jawa. Jalur rel luar Bedono ditutup

pada awal tahun 1970 setelah rusak akibat gempa. Jalur rel dari Kedungjati (dari

timur yang awalnya dari Ambarawa) selamat ke pertengahan 1970-an tapi tidak

diapakai karena lebih banyak masyarakat menggunakan angkutan umum yang

lain.

Rel ini hanya dipajang untuk bukti peraga pendidikan dan digunakan

untuk Kereta Wisata Museum Kereta Api. Rel yang berasal dari museum Kereta

Api masih terawat sangat baik oleh pihak pengelola, hal itu dibuktikan dengan

jalur yang masih nyaman dan aman digunakan untuk menampung puluhan
38

Petualang yang menaiki Kereta Wisata dari Museum Kereta Api mejuju pinggiran

Ambarawa hingga Rawa Pening.(wawancara bapak.eko)

5. Kesadaran sejarah

Kesadaran sejarah amat penting bagi pembentukan kepribadian. Sejarah

dan pendidikan memiliki hubungan yang erat dalam proses pembentukan kesadarn

sejarah. Menurut Sartono Kartodirdjo (Aman, 2011:32), semangat nasionalisme

tidak dapat ditumbuhkan tanpa kesadaran sejarah. Sejarah tidak akan berfungsi

sebagai proses pendidikan yang menjurus kearah pertumbuhan dan

pengembangan karakter bangsa apabila nilai-nilai sejarah tersebut belum terwujud

dalam pola-pola perilaku yang nyata. Oleh karena itu pentingbagi guru merancang

strategi pembelajaran yang tepat dengan mengaitkan materi pembelajajran sejarah

dengan kehidupan nyata degan memanfaatkan peninggalan-peninggalan sejarah

yang ada di sekitar peserta didik sebagai media pembelajaran. Dengan begitu

pembelajaran akan bermakna serta peserta didik dapat mengaktualisasikan nilai-

nilai sejarah dalam kehidupan nyata.

Menurut Suyatno Kartodirdjo (1989:1-7) kesadaran sejarah pada manusia

sangat penting artinya bagi pembinaan budaya bangsa.Kesadaran sejarah bukan

hanya sekedar memperluas pengetahuan, melainkan harus diarahkan pula kepada

kesadaran penghayatan nilai-nilai budaya yang relevan dengan usaha

pengembangan kebudayaan itu sendiri. Dalam meningkatkan kesadaran sejarah,

perlu adanya kesadran bahwa bangsa itu merupakan suatu kesadaran sejarah, perlu

adanya kesadaran bahwa bangsa itu merupakan suatu kesatuan sosial yang

terwujud melalui suatu proses sejarah yang akhirnya mempersatukan sejumlah


39

nasion kecil dalam suatu nasion besar yaitu bangsa. Adapun indikator kesadaran

sejarah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : a) menghayati makna dan

hakekat sejarah bagi masa kini dan masa yang akan datang; b) mengenal diri

sendiri dan bangsanya; c) membudayakan sejarah bagi pembinaan budaya bangsa;

d) menjaga peninggalan-peninggalan sejarah bangsa.

Kesadaran sejarah, memerlukan pembinaan. Melalui ilmu sejarah kita bisa

menggunakan pikiran sehat, logika dan imajinasi, apalagi dengan menggunakan

serajin dan secermat mungkin bahan-bahan bakunya. Di samping buku-buku

sejarah dan kronologi sejarah, maka diperlukan pula sumber-sumbernya. Salah

satu sumber bahan yang sangat penting adalah peninggalan sejarah. Bertolak dari

peninggalan sejarah tersebut, maka dapat digali kekuatan dari zaman lampau

untuk kita butuhkan membina bangsa. Peninggalan sejarah melahirkan nilai atau

kesadaran sejarah yang akan menjadi guru bangsa yang melanjutkan budaya

positif pendahulunya (Kardiyat Wiharyanto,2008)

Roeslan Abdulbgani yang dikutip oleh Mudjanto (1987) menyatakan

bahwa kesadaran sejarah itu suatu gejala atau sikap kejiwaan atau mental attitude

dan state of mind yang merupakan kekuatan untuk aktif dalam proses

dinamikanya sejarah mencakup: a) penentuan tentang fakta sejarah yang terkait

dalam hubungan kausal; b)logika kesejarahan; c) peningkatan hati nurani kita

dengan hikmah kearifan dan kebijaksanaan dengan menggunakan masa lampau

untuk cermin membangun kehidupan masa sekarang; d) sikap menghadapkan diri

dengan kenyataan; e) adanya dimensi waktu lampau, kini dan masa mendatang

sebagai suatu proses.


40

Kesadaran sejarah lebih dari itu. Ia mencakup segala cipta, rasa dan karsa

yang bersemayam dalam hati nurani. Dengan demikian kesadaran sejarah adalah

pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah, ditambah pengetahuan hubungan sebab

musababnya antara fakta-fakta itu. Kemudian kesadaran sejarah meningkatkan

alam pikiran ke arah pengetahuan adanya hukum-hukum tertentu dalam

perkembangan sejarah itu, dengan segala logika dan konsekuensinya. Akhirnya

kesadaran sejarah juga harus pandai mengisi hati nurani kita dengan hikmah

kearifan dan kebijaksanaan yang terkandung dalam segala perkembangan sejarah

itu, dengan segala cermin dan pelajaran untuk masa sekarang dan masa

mendatang. Di sinilah pentingnya mata pelajaran sejarah itu.

Kesadaran sejarah memiliki makna yang penting agar siswa dapat

mengerti bagaimana sejarah bangsa dan mampu memikirkan bagaimana

perkembangan kehidupan di masa mendatang.

Dengan demikian, kesadaran sejarah tidak lain daripada kondisi kejiwaan


yang menunjukan tingkat penghayatan pada makana dan hakekat sejarah
bagi masa kini dan bagi masa yang akan datang, menyadari dasar pokok
bagi berfungsinya makna sejarah dalam proses pendidikan.(Aman,
2011:140).

Dari berbagai pengertian kesadarn sejarah menurut para ahli yang telah

diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kesadaran sejarah adalah kondisi

kejiwaan yang menunjukkan tingkat penghayatan pada makna dan hakekat sejarah

bagi masa kini dan masa yang akan datang. Sebagaimana yang telah kita ketahui

bahwa salah satu fingsi sejarah adalah mengabdikan pengalaman-pengalaman

masyarakat selanjutnya dalam memcahkan problem-problem yang dihadapinya.


41

B. Penelitian yang Relevan

Sebagai bahan pertimbangan, dalam penelitian ini akan dicantumkan

beberapa penelitian yang relevan dengan permasalahan yang dibahas, diantaranya

sebagai berikut:

Titin Rahmawati Amalia (2013) dalam tesis yang berjudul Pengembangan

Media Pembelajaran Sejarah Menggunakan Audio Visual Berbasis Peristiwa

Sejarah Lokal di Madiun.Penelitian ini merupakan penelitian dan

pengembangan(R&D) yang menggunakan prosedur pengembangan Borg & Gall.

Desain pembelajaran yang digunakan dalam mengembangkan media adalah

desain ADDIE dari Molenda.Penyusunan data untuk media yang dikembangkan

dengan memanfaatkan software windows movie maker, kemudian diperoleh

produk akhir berupa video.Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara,

observasi, kuesioner, dan tes.Hasil wawancara dan observasi dianalisis secara

deskriptif kualitatif, sedangkan kuesioner dan tes dianalisis secara kuantitatif.

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: Guru mata pelajaran IPS di

SMP N 2 Jiwan, Kabupaten Madiun masih menggunakan metode konvensional

dengan cara ceramah dan tanya jawab serta penggunaan media pembelajaran

masih minim; Pengembangan media pembelajaran menggunakan desain

pembelajaran ADDIE dari Molenda. Media pembelajaran yang dikembangkan

dinilai baik oleh para ahli dengan rata-rata skor 3,51; Efektifitasmedia

pembelajaran yang dikembangkan dianalisismelalui uji t. Dari hasil uji t diperoleh

thitung = 4,6> 1,96 = ttabel, maka H0 ditolak. Ditolaknya H0berartikedua

kelompok memiliki prestasi belajar yang tidak sama. Hasil post test
42

memperlihatkan rerata prestasi belajar kelompok yang menggunakan media

pembelajaran yang dikembangkan>rerata prestasi belajar kelompok yang

menggunakan power point(85 >66,67). Oleh karena itu disimpulkan bahwa

kelompok yang menggunakan media audio visual memiliki prestasi belajar yang

lebih baik daripada yang menggunakan media power point dan media

pembelajaran audio visual yang dikembangkan dinilai efektif dalam

meningkatkan prestasi belajar peserta didik.

Sumargono.2013 dengan tesis yang berjudul Pengembangan Media Pembelajaran

Sejarah Nasional Berbasis Macromedia Flash Untuk Meningkatkan Nasionalisme

pada Siswa Kelas XII IPS SMA Surakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah

pengembangan media pembelajaran yang dapat direalisasikan dalam praktik. Di

samping memahami penggunaannya, para guru patut berupaya untuk

mengembangkan ketrampilan membuat sendiri media yang menarik, murah dan

efisien, dengan tidak menolak kemungkinan pemanfaatan alat modern yang sesuai

dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Guru harus bisa memilih

media yang tepat dan menarik saat mengajar. Tuntutan era globalisasi dengan

perkembangan tekonologi informasi dapat dimanfaatkan untuk pengembangan

pembelajaran sejarah. Salah satunya adalah pengembangan media pembelajaran

sejarah nasional berbasis Macromedia Flash untuk meningkatkan nasionalisme

siswa. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian dan

pengembangan atau Research & Development (R&D) yang diadaptasi dan

dimodifikasi Borg & Gall. Prosedur. Langkah kerja dalam penelitian meliputi: 1)

studi pendahuluan, 2) pengembangan media, 3) implementasi penggunaan media,


43

serta 4) uji efektifitas produk. Uji efektifitas produk dilakukan dengan metode

eksperimen.Sekolah SMA Warga dipilih sebagai kelompok eksperimen dan

sekolah SMA N 2 Surakarta sebagai kelompok kontrol. Berdasarkan analisis hasil

uji efektifitas, hasil post test kelas eksperimen (menggunakan media yang

dikembangkan) lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol (menggunakan

power point). Pernyataan tersebut dibuktikan berdasarkan analisis melalui uji t.

Dari hasil uji t diperoleh tobs 2,1> 1,96 = ttabel, maka ditarik keputusan uji H0

ditolak dan itu artinya kedua kelompok memiliki sikap nasionalisme yang tidak

sama. Terdapat perbedaan hasil tes skala sikap pada post tes kelas eksperiman dan

kelas kontrol yang membuktikan bahwa produk media pembelajaran sejarah

menggunakan CD Interaktif Berbasis Macromedia Flash yang dikembangkan

efektif untuk meningkatkan sikap nasionalisme.

Penelitian yang dilakukan oleh Yuni Dwi Astuti (2013) dalam judul tesis

Pengembangan Media Pembelajaran Sejarah Dengan Memanfaatkan Situs

Pertambangan Sawahlunto Untuk Meningkatkan Kesadaran Sejarah Siswa di

SMA Negeri 1 Kota SawahluntoPengembangan media pembelajaran sejarah

dengan mamanfaatkan situs pertambangan masa kolonial di Sawahlunto dilakukan

melalui penelitian pengembangan R & D (Research and Development) yang

dimodifikasi dari tahap penelitian pengembangan Sugiyono. Antara lain; (1) Studi

pendahuluan, (2) Pengembangan media (3) Validasi media, (4) Implementasi

dalam pembelajaran sejarah melalui penelitian tindakan. Pengumpulan data

menggunakan teknik observasi, wawancara, test dan angket. Hasil wawancara dan

observasi dianalisis secara deskriftif kualitatif, sedangkan tes dan kuesioner


44

dianalisis secara statistik deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat

disimpulkan bahwa: (1) Kondisi Pembelajaran sejarah di SMA Negeri 1

Sawahlunto masih didominasi oleh guru terutama dalam hal penggunaan metode

konvensional, serta kurangnya pemanfaatan media pembelajaran yang tepat dan

efektif untuk membantu guru dalam proses pembelajaran, (2) Pengembangan

media dimulai dari perencanaan, produksi media, dan evaluasi, (3) Media video

yang telah divalidasi direvisi sesuai saran (4) Uji implementasi media dalam

pembelajaran sejarah berlangsung selama 2 siklus. Hasil uji implementasi

menunjukan bahwa prestasi sebelum dilakukan tindakan, nilai rata-rata yang

diperoleh sebesar 48.63, pada siklus siklus 1 sebesar 71.59 dan siklus 2 sebesar

82.04. untuk kesadaran sejarah pada pra siklus memperoleh nilai rata-rata 80.21,

siklus 1 sebesar 86.86, pada siklus 2 sebesar 90.6.Dengan demikian

pengembangan media dengan memanfaatkan situs pertambangan masa kolonial di

Sawahlunto dapat meningkatkan kesadaran sejarah siswa di SMA N 1

Sawahlunto.

Penelitian yang dilakukan oleh Diana Trisnawati.2015. Pengembangan Modul

Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendidikan Karakter Dalam Meningkatkan

Nasionalisme Di Sekolah Pendidikan Layanan Khusus Yayasan Girlan Nusantara

Yogyakarta. Penelitian ini menjelaskan bahwa Nasionalisme sebagai salah satu

sikap yang harus dimiliki bangsa Indonesia semakin meluntur seiring dengan

perkembangan zaman yang merupakan dampak buruk dari globalisasi dan

merapuhnya nilai-nilai luhur serta jati diri bangsa. Penanaman nasionalisme

melalui pembelajaran sejarah merupakan salah satu cara untuk menumbuhkan


45

kembali sikap nasionalisme. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan

sistem dan pola pendidikan karakter di Yayasan Girlan Nusantara, (2)

Mendeskripsikan pengembangan modul pembelajaran sejarah berbasis pendidikan

karakter untuk meningkatkan nasionalisme, dan (3) Menganalisis efektivitas

modul pembelajaran sejarah berbasis pendidikan karakter dalam meningkatkan

nasionalisme.Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan dengan model

desain ADDIE. Media yang dihasilkan berupa modul yang diberi nama Modul

pembelajaran sejarah berbasis pendidikan karakter. Populasi dalam penelitian ini

adalah peserta didik di program Sekolah Pendidikan Layanan Khusus Yayasan

Girlan Nusantara Yogyakarta. Instrumen yang digunakan dalam mengumpulkan

data adalah observasi, wawancara, angket penilaian modul, pre test angket

nasionalisme, dan pre test prestasi. Uji coba instrumen angket dan test prestasi

meliputi validitas butir soal dan reliabilitas yang dianalisis secara kuantitatif,

sedangkan hasil observasi dan wawancara dideskripsikan secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Pola pendidikan di Sekolah Pendidikan

Layanan Khusus tidak menggunakan media dalam pembelajaran, (2)

Pengembangan modul pembelajaran sejarah berbasis pendidikan karakter

dilakukan melalui tahapan ADDIE dan mengalami 2 kali revisi, serta telah

tervalidasi oleh ahli media dan selanjutnya berhasil diujicobakan di Sekolah

Pendidikan Layanan Khusus Yayasan Girlan Nusantara Yogyakarta, dan (3) Uji

efektivitas modul pembelajaran sejarah berbasis pendidikan karakter dilakukan

dengan membandingkan nilai post test kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol dengan menggunakan taraf signifikasi sebesar 5% dan diketahui bahwa


46

nilai t hitung lebih besar dari pada t tabel (8,162 >1,734) dan nilai signifikansi

lebih kecil dari pada alpha 5%, maka dapat disimpulkan bahwa nilai nasionalisme

post test antar kelompok eksperimen yang diberikan modul dengan kontrol yang

tidak diberikan tindakan terdapat perbedaan.

Gandung Wirawan.2014. dengan penelitian berjudul Pengembangan media

pembelajaran berbasis nilai-nilai musik patrol dalam mata pelajaran ips di sekolah

dasar gugus 02 jember untuk meningkatkan ketahanan budaya lokal. Hasil dari

penelitian tersebut memaparkan bahwa Pengaruh globalisasi budaya telah

merasuki segala aspek kehidupan generasi penerus bangsa Indonesia dewasa ini,

oleh karena itu mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal dalam mata pelajaran

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Sekolah Dasar (SD) adalah suatu keharusan,

guna mendukung materi budaya lokal di kabupaten Jember yang mudah dipahami

oleh siswa dibutuhkan media pembelajaran yang dapat mengakomodir kebutuhan

belajar siswa. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui jenis media

pembelajaran IPS yang selama ini digunakan di Sekolah Dasar Gugus 02 Jember,

(2) mengetahui pengembangan media pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai musik

patrol untuk meningkatkan ketahanan budaya lokal di Sekolah Dasar Gugus 02

Jember, (3) mengetahui efektivitas media pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai

musik patrol di Sekolah Dasar Gugus 02 Jember. Jenis penelitian ini adalah

penelitian pengembangan dengan model desain ASSURE (Analyze learner, State

objective, Select methods media and materials, Utilize media and materials,

Require learner participation, Evaluate). Populasi penelitian ini adalah siswa kelas

IV di SD Gugus 02 Jember, sampel penelitian ditentukan 3 sekolah dari


47

keseluruhan populasi 9 sekolah melalui teknik cluster sampling. Instrumen yang

digunakan untuk mengumpulkan data adalah observasi, wawancara, pre-test

angket ketahanan budaya dan pre-test prestasi. Uji coba instrumen angket dan tes

prestasi meliputi validitas butir soal dan reliabilitas. Hasil penelitian menunjukkan

: (1) Jenis media pembelajaran IPS di Sekolah Dasar Gugus 02 Jember yang

selama ini digunakan adalah jenis media visual yang terdiri dari peta dan poster,

(2) Pengembangan media pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai musik patrol

dilakukan melalui tahapan ASSURE dan menghasilkan media audio-visual

dengan bentuk video pembelajaran yang mengalami berkali-kali revisi dan telah

tervalidasi oleh ahli media dan selanjutnya berhasil diujicobakan dalam

pembelajaran di Sekolah Dasar Negeri Kepatihan 06 Jember. (3) Uji efektivitas

media pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai musik patrol dilakukan dengan

membandingkan nilai post-test kelas ekperimen dan kelas kontrol dengan

menggunakan taraf signifikansi 5% dan diketahui bahwa (4,04) > (2,00) untuk

ketahanan budaya lokal, maka keputusan uji Ho ditolak. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa media pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai musik patrol

efektif untuk meningkatkan ketahanan budaya lokal siswa kelas IV di Sekolah

Dasar Gugus 02 Jember. Kata Kunci : Pengembangan Media, Mata Pelajaran IPS,

Ketahanan Budaya Lokal.

Jurnal Vol.5 no.19 (2015) Eka Khristiyanta Purnama, Sri Anitah Wiryawan,

Mulyoto ., Nunuk Suryani. The Audio Medium Model of Character Education

in Increasing The Discipline Attitude of Elementary School Students.


48

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan menggambarkan efektivitas

audio media pendidikan karakter dalam peningkatan sikap disiplin pada siswa

kelas tinggi di sekolah dasar .Jenis ini adalah penelitian studi penelitian yang

berlangsung di kabupaten gunung kidul , daerah istimewa yogyakarta , indonesia

.Target dari penelitian ini para siswa di kelas lima sekolah dasar yang terdiri dari

dua kelompok .Masing-masing kelas memiliki 30 siswa , yang diambil dari

sekolah elemtary ponjong iv sekolah dasar sebagai kelas percobaan , dan dari

ponjong ii sekolah dasar sebagai kelompok kontrol .Dengan memberikan data

yang dikumpulkan dari sikap anquette bagi para mahasiswa , yang dianalisis oleh

aplaying t-test rumus statistik .Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan

karakter dengan media audio pembelajaran dengan model pendidikan karakter

dapat meningkatkan nilai lebih dari dicipline siswa belajar tanpa atau

konvensional .

C. Kerangka berpikir

Dalam pembelajaran konvensional, peran guru lebih mendominasi

dibanding siswa. Siswa adalah penerima informasi secara pasif. Guru mengajar

lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi. Tujuan

pembelajarab adalah pembelajar mengetahui sesuatu bukan mampu melakukan

sesuatu dan pada saat proses pembelajaran lebih banyak mendengar.

Pembelajaran sejarah seringkali masih disajikan secara konvensional.

Belajar cenderung pada hafalan dibandin pemahaman terhadap materi.

Penyampaian materi masih menggunakan metode ceramah sehingga

memungkinkan siswa menjadi jenu, bosan, dan memiliki motivasi rendah.


49

Dalam proses belajar mengajar tentunya dibutuhkan suatu alat bantu untuk

menyampaikan materi pembelajaran, agar lebih mudah diterima oleh siswa. Alat

bantu pembelajaran itulah yang banyak disebut media pembelajajaran. Media

pembelajaran yang digunakan sekarang ini tidak terbatas hanya papan tulis, alat

praktikum dan buku-buku pelajaran, tetapi telah berkembang menggunakan sarana

yang lebih mudah dengan mengikuti teknologi yang semakin hari semakin

berkembang.

Komputer sebagai salah satu media pembelajaran telah banyak

dikembangkan oleh para pendidik untuk menjadi media pembelajaran yang

efektif. Dengan memanfaatkan computer dapat ditampilkan materi pelajaran

dalam bentuk tulisan, gambar, suara, gambar bergerak/film, yang dapat

memberikan stimulant pada peserta didik untk lebih memahami materi

pembelajaran tersebut.

Akan tetapi banyak dijumpai para pendidik yang menguasai materi

pembelajaran, tetapi tidak dapat menghadirkan banyak materi pembelajaran

tersebut dengan menggunakan media. Perlunya suatu program atau bentuk media

pembelajaran dengan computer yang mudah digunakan dan dipakai sebagai media

pembelajaran yang efektif oleh pendidik dan siswa, agar dapat dihadirkan materi

pembelajaran dalam bentuk-bentuk tersebut diatas.

Media pembelajaran tersebut harus mampu menghadirkan beberapa bentuk

materi pembeajaran seperti media pembelajaran visualisasi situs museum radya

pustaka berupa sound slide yang didalamnya mengandung foto, teks, dan suara

dalaam satu bentuk, agar lebih mudah digunakan dan membuat materi pelajaran
50

tersebut mudah dipahami. Media pembelajaran ini diharapkan dapat membantuk

peserta didik berfikir historis dan memiliki kesadaran sejarah terhadap materi

pembelajaran.

Pengembangan media pembelajaran berupa audio visul berupa sound slide

yang berbasis visualisasi museum radya pustaka dapat dibuat menggunakan

banyak perangkat lunak (software) yang dapat mengolah teks dari komputer

seperti salah satunya adalah Windows Movie Maker dipilih dalam bentuk video

pembelajaran.

Di bawah ini disajikan bagan kerangka berpikir dalam penelitian dan

pengembangan media pembelajaran berbasis visualisasi museumKera Api

Ambarawa.
51

Pembelajaran
konvensional
Pengembangan
media
pembelajaran
1. Pembelajaran kurang
berbasis
menarik
visualisasi
2. Siswa cepat bosan
museum
3. Hasil belajar siswa
Kereta Api
rendah
Ambarawa

Uji coba produk

Ya
Revisi

Tidak

Produl akhir media


pembelajaran sejarah berbasis
visualisasi museum Kereta Api
Ambarawa untuk
meningkatkankesadaran Sejarah
.

D. Model Hipotetik

Berdasarkan kajian teori dan pengamatan di lapangan, diajukan model

hipotetik media pembelajaran audio visul berupa sound slide untuk menumbuhkan

kesadaran sejarah siswa. Model hipotetik ini mengadopsi dari model ADDIE

(Molenda, 2008:107-109). Dimana model ADDIE menggunakan lima tahap

pengembangan, antara lain:


52

1. Analysis (analisa)

Analisis merupakan tahap pertama yang harus dilakukan oleh seorang

pengembang pembelajaran.Kaye Shelton dan George Saltsman menyatakan ada

tiga segmen yang harus dianalisis yaitu siswa, pembelajaran, serta media untuk

menyampaikan bahan ajarnya. Langkah-langkah dalam tahapan analisis ini

setidaknya adalah : menganalisis siswa; menentukan materi ajar; menentukan

standar kompetensi (goal) yang akan dicapai; dan menentukan media yang akan

digunakan

2. Design (desain/perancangan)

Pendesainan dilakukan berdasarkan apa yang telah dirumuskan dalam

tahapan analisis. Tahapan desain adalah analog dengan pembuatan silabus. Dalam

silabus tersebut harus memuat informasi kontak, tujuan-tujuan pembelajaran,

persyaratan kehadiran, kebijakan keterlambatan pekerjaan, jadwal pembelajaran,

pengarahan, alat bantu komunisi kebijakan teknologi, serta desain antar muka

untuk pembelajaran. Langkah-langkah dalam tahapan ini adalah membuat silabus

yang di dalamnya termasuk: memilih standar kompetensi inti (goal) yang telah

dibuat dalam tahapan analisis; menentuan kompetensi dasar (objective);

menentukan indikator keberhasilan; memilih bentu penilaian; menentukan sumber

atau bahan belajar; menerapkan strategi; membuat storyboard

3. Development (pengembangan)

Tahapan ini merupakan tahapan produksi dimana segala sesuatu yang telah

dibuat dalam tahapan desain menjadi nyata. Langkah-langkah dalam tahapan ini
53

diantaranya adalah : membuat objek-objek blajar (learning object) seperti

dokumen teks, animasi, gambar, video, dan sebagainya; membuat dokumen-

dokumen tambahan yang mendukung.

4. Implementation (implementasi/eksekusi)

Pada tahapan ini system pembelajaran sudah siap untuk digunakan oleh

user. Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini adalah memperjelas dan

memasarkannya ke target user.

5. Evaluation (evaluasi/umpan balik)

Evaluasi dapat dilakukan dalam dua bentuk evaluasi yaitu formatif dan

sumatif.Evaluasi formatif dilakukan selama dan di antara tahapan-tahapan

tersebut.Tujuan dari evaluasi ini adalah untk memperbaiki system pembelajaran

yang dibuat sebelum versi terakhir diterapkan.Evaluasi sumatif dilakukan setelah

versi terakhir diterapkan dan bertujuan untuk menilai keefektifan pembelajaran

secara keseluruhan. Model pengembangan media yang digunakan dalam

pengembangan media audio visual adalah mengadopsi dari model pembelajaran

ADDIE dari Molenda digambarkan dengan bagan sebagai berikut :


54

ANALYSIS
1. Media pembelajaran yang digunakan guru

2. Pengembangan media yang pernah dilakukan guru

3. Media yang dibutuhkan guru dalam proses pembelajaran

4. Hambatan yang dihadapi guru dalam mengembangkan media pembelajaran

Menghimpun foto-
Menyiapkan materi situs museum
yang akan DESIGN Kereta Api
disampaikan sesuai Ambarawa
dengan KI-KD
pada silabus

DEVELOPMENT

(PENGEMBANGAN PRODUK MEDIA AUDIO VISUAL)


Merangkai materi Validasi ahli materi
sesuai dalam silabus
Revisi
media, dan desain
dalam sajian media pembelajaran
yang dikembangkan
Produk
(sound slide) akhir
dengan
menampilkan foto-
foto situs museum -Uji coba satu-satu
kereta api Revisi
ambarawa -Uji coba kelompok kecil

-Uji coba lapangan


55

Materi :

Perjuangan melawan
Mulai kolonialisme dan Mampu
imperialisme. diadaptasi
oleh guru Evaluasi
dan
Media Pembelajaran
peserta
sejarah Berbasis
didik
Visualisasi museum
kereta Api Ambarawa

Uji
Efektivitas
EVALUATION

Kelas eksperimen

Kelas Kontrol

Media Pembelajaran IPS Berbasis visualisasi museum


Kereta Api Ambarawa untuk meningkatkan Kesadaran
Sejarah

Anda mungkin juga menyukai