Anda di halaman 1dari 9

Alur rawat jalan di FKRTL

Tata cara mendapatkan pelayanan rawat jalan di FKRTL yakni:

1. Peserta membawa identitas BPJS Kesehatan serta surat rujukan dari FKTP.
2. Peserta melakukan pendaftaran ke RS dengan memperlihatkan identitas dan surat
rujukan.
3. Fasilitas kesehatan bertanggung jawab untuk melakukan pengecekan keabsahan kartu dan
surat rujukan.
4. Petugas BPJS kesehatan menerbitkan surat jaminan pelayanan.
5. Peserta mendapatkan pelayanan kesehatan dan menandatangani bukti pelayanan pada
lembar yang disediakan.
6. Dokter spesialis/sub spesialis akan memberikan surat keterangan rujuk balik apabila
pasien sudah dalam kondisi stabil.
Faskes rujukan tingkat lanjutan adalah upaya pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat
spesialistik atau sub spesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat
lanjutan, dan rawat inap di ruang perawatan khusus.

Jenis Faskes Fasiltas kesehatan yang termasuk Faskes rujukan tingkat lanjutan:

a. Klinik Spesialis Klinik spesialis adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis spesialistik,
diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga
medis. (Permenkes No. 28 Tahun 2011)

b. rumah sakit umum Rumah sakit umum adalah institusi pelayanan kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. (UU No. 44 Tahun 2009)

c. rumah sakit khusus adalah institusi pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan utama
pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,
organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. (UU No. 44 Tahun 2009)

Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan
adalah upaya pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau subspesialistik yang
meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat inap di ruang
perawatan khusus. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan terdiri atas:

a. Pelayanan kesehatan tingkat kedua (spesialistik); dan

b. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (subspesialitik).

Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan dilakukan pada:

a. Klinik spesialis

b. RS Umum

c. RS Khusus
PMK No. 71 Th 2013 ttg Pelayanan Kesehatan Pada JKN

Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan

Pasal 20

(1) Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan meliputi :

a. administrasi pelayanan;

b. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis;

c. tindakan medis spesialistik baik bedah maupun non bedah sesuai dengan indikasi medis;

d. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;

e. pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis;

f. rehabilitasi medis;

g. pelayanan darah;

h. pelayanan kedokteran forensik klinik;

i. pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal di Fasilitas Kesehatan;

j. perawatan inap non intensif; dan

k. perawatan inap di ruang intensif.

(2) Administrasi pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas biaya
pendaftaran pasien dan biaya administrasi lain yang terjadi selama proses perawatan atau
pelayanan kesehatan pasien.

(3) Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk pelayanan kedaruratan.
(4) Jenis pelayanan kedokteran forensik klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h
meliputi pembuatan visum et repertum atau surat keterangan medik berdasarkan pemeriksaan
forensik orang hidup dan pemeriksaan psikiatri forensik.

Pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal di Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf i terbatas hanya bagi Peserta meninggal dunia pasca rawat inap di Fasilitas
Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS tempat pasien dirawat berupa pemulasaran jenazah
dan tidak termasuk peti mati.

Pasal 21

(1) Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari pada haknya, dapat
meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri
selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat
peningkatan kelas perawatan.

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi Peserta Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan tidak diperkenankan memilih kelas yang lebih tinggi dari
haknya. Pasal 22 (1) Dalam hal ruang rawat inap yang menjadi hak Peserta penuh, Peserta dapat
dirawat di kelas perawatan satu tingkat lebih tinggi.

(2) BPJS Kesehatan membayar kelas perawatan Peserta sesuai haknya dalam keadaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Apabila kelas perawatan sesuai hak Peserta telah tersedia, maka Peserta ditempatkan di kelas
perawatan yang menjadi hak Peserta.

(4) Perawatan satu tingkat lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga)
hari.

(5) Dalam hal terjadi perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih dari 3 (tiga) hari,
selisih biaya tersebut menjadi tanggung jawab Fasilitas Kesehatan yang bersangkutan atau
berdasarkan persetujuan pasien dirujuk ke Fasilitas Kesehatan yang setara.

Jaminan Kesehatan merupakan salah satu dari 5 (lima) jaminan sosial seperti yang diamanatkan
Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jaminan
Kesehatan tersebut dinamakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang penyelenggaraannya
dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagaimana amanat
UndangUndang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

JENIS KEPESERTAAN Kepesertaan BPJS Kesehatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI).
A. Kepesertaan PBI (Perpres No 101 Tahun 2011)

a. Kriteria Peserta PBI

Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak
mampu.

Kriteria Fakir Miskin dan orang tidak mampu ditetapkan oleh menteri di bidang sosial setelah
berkoordinasi dengan menteri dan /atau pimpinan lembaga terkait

Kriteria Fakir Miskin dan Orang tidak mampu sebagaimana dimaksud menjadi dasar bagi
lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik untuk melakukan
pendataan

Data Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang telah diverifikasi dan divalidasi sebagaimana
dimaksud, sebelum ditetapkan sebagai data terpadu oleh Menteri di bidang sosial,
dikoordinasikan terlebih dahulu dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang keuangan dan menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.

Data terpadu yang ditetapkan oleh Menteri dirinci menurut provinsi dan kabupaten/kota.

Data terpadu sebagaimana dimaksud menjadi dasar bagi penentuan jumlah nasional PBI
Jaminan Kesehatan.

Data terpadu sebagaimana dimaksud, disampaikan oleh Menteri di bidang sosial kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan DJSN

Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan mendaftarkan


jumlah nasional PBI Jaminan Kesehatan yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud sebagai
peserta program Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan

Penetapan jumlah PBI Jaminan Kesehatan pada tahun 2014 dilakukan dengan menggunakan
hasil Pendataaan Program Perlindungan Sosial tahun 2011.

Jumlah peserta PBI Jaminan Kesehatan yang didaftarkan ke BPJS Kesehatan sejumlah 86,4
juta jiwa. 8

b. Perubahan Data Peserta PBI

Penghapusan data fakir miskin dan orang tidak mampu yang tercantum sebagai PBI Jaminan
Kesehatan karena tidak lagi memenuhi keriteria
Penambahan data Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu untuk dicantumkan sebagai PBI
Jaminan Kesehatan karena memenuhi kriteria Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.

Perubahan data PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud diverifikasi dan divalidasi oleh
Menteri di bidang sosial

Perubahan data ditetapkan oleh Menteri di bidang sosial setelah berkoordinasi dengan Menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan Menteri dan/atau
pimpinan lembaga terkait.

Verifikasi dan validasi terhadap perubahan data PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana
dimaksud dilakukan setiap 6 (enam) bulan dalam tahun anggaran berjalan.

Penduduk yang sudah tidak menjadi Fakir Miskin dan sudah mampu, wajib menjadi peserta
Jaminan Kesehatan dengan membayar Iuran.

B. Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI) Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan
sebagaimana yang dimaksud merupakan peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang
tidak mampu yang terdiri atas (sesuai Perpres No 12 Tahun 2013):

1. Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, terdiri atas:

a. Pegawai Negeri Sipil;

b. Anggota TNI;

c. Anggota Polri;

d. Pejabat Negara;

e. Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;

f. Pegawai swasta; dan

g. Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang menerima Upah.

2. Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, terdiri atas pekerja di luar hubungan
kerja dan pekerja mandiri.

3. Bukan Pekerja dan anggota keluarganya, terdiri atas :


a. Investor;

b. Pemberi Kerja;

c. Penerima pensiun; 9

d. Veteran;

e. Perintis Kemerdekaan; dan

f. Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang mampu membayar
iuran.

Penerima Pensiun sebagaimana yang dimaksud terdiri atas:

a. Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;

b. Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;

c. Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;

d. Penerima pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c; dan

e. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana yang dimaksud pada
huruf a sampai dengan huruf d yang mendapat hak pensiun

Pekerja sebagaimana yang dimaksud termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia
paling singkat 6 (enam) bulan Jamingan Kesehatan bagi Pekerja warga negara Indonesia yang
bekerja di luar negeri diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri.
Anggota keluarga sebagaimana dimaksud meliputi:

a. Istri atau suami yang sah dari Peserta; dan

b. Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta, dengan kriteria:

1. Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan

2. Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun yag
masih melanjutkan pendidikan formal Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan dapat
mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.

Sistem pembayaran FKRTL


Sistem tarif BPJS Kesehatan diatur dalam Permenkes No. 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Dalam peraturan
tersebut dapat terlihat bahwa BPJS Kesehatan menerapkan sistem tarif yang berbeda untuk
Fasiltas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan
(FKRTL).

FKPT adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan yang bersifat non-
spesialistik, seperti Puskesmas atau klinik pertama. Sementara FKRTL adalah fasilitas kesehatan
yang melakukan pelayanan yang bersifat spesialistik atau subspesialistik, seperti Rumah Sakit
atau klinik utama. Untuk FKTP, diterapkan sistem tarif kapitasi dan non-kapitasi, sementara
untuk FKRTL diterapkan sistem tarif Indonesian-Case Based Groups (INA-CBGs).

Sistem tarif kapitasi adalah sistem pembayaran klaim yang dibayar di muka setiap bulan kepada
suatu fasilitas kesehatan, yang besarannya didasarkan pada jumlah peserta yang terdaftar di
fasilitas kesehatan tersebut, tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah layanan kesehatan yang
diberikan. Sementara, sistem tarif non-kapitasi adalah sistem pembayaran klaim yang didasarkan
pada jenis dan jumlah layanan kesehatan yang diberikan. Adapun sistem INA-CBGs adalah
sistem pembayaran klaim secara paket, yang didasarkan pada pengelompokan diagnosis penyakit
dan prosedur.

Baik sistem tarif kapitasi maupun INA-CBGs tergolong dalam sistem pembayaran prospektif,
yaitu sistem pembayaran layanan kesehatan yang besarannya sudah ditetapkan sebelum layanan
kesehatan diberikan. Sistem pembayaran alternatifnya adalah sistem pembayaran restropektif,
yaitu sistem pembayaran layanan kesehatan setelah layanan diberikan dan didasarkan pada
aktivitas layanan yang diberikan.

Meskipun ada sistem tarif non-kapitasi dalam BPJS Kesehatan, sistem ini sebenarnya hanya
diterapkan pada FKTP yang memberikan layanan tertentu saja. Sistem tarif yang menjadi aturan
main adalah sistem tarif prospektif. Sistem tarif prospektif menguntungkan BPJS Kesehatan
karena membuat mereka memiliki kapasitas untuk mengontrol dan menekan biaya klaim.

Namun, sistem pembayaran prospektif menekan dunia fasilitas kesehatan yang memiliki
kepentingan akumulasi laba. Mereka resisten terhadap upaya BPJS Kesehatan menggunakan
fasilitas mereka dengan tarif rendah. Muncullah kontradiksi antara BPJS Kesehatan dengan
dunia Fasilitas kesehatan.

Sebagian Rumah Sakit Swasta hanya mau bekerjasama dengan BPJS Kesehatan untuk layanan
tertentu saja, tidak sepenuhnya. Rumah Sakit Royal Trauma di Grogol, salah satu contohnya,
hanya bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk layanan Instalasi Gawat Darurat (IGD). Di
tingkat Diskursus, muncul perdebatan tentang apakah tarif kapitasi dan INA-CBGs membuat
dunia fasilitas kesehatan Indonesia rugi atau Tidak. Efek lain dari kontradiksi ini, pelayanan
yang diberikan kepada pasien BPJS pun seadanya, asal-asalan atau buruk.

Anda mungkin juga menyukai