Anda di halaman 1dari 40

Uni Eropa

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap negara di dunia memiliki berbagai kepentingan yang harus dipenuhi.
Kepentingan itu bisa dicapai dengan cara saling bekerja sama satu sama lain. Kerja sama
dapat diwujudkan dengan membentuk unit-unit organisasi. Selama ada kesepakatan dan
perjanjian yang mengatur jalannya kerja sama, maka tujuan yang dicapai akan maksimal.
Terlebih, saat ini globalisasi menuntut terbentuknya kerjasama-kerjasama di berbagai bidang
sebagai konsekuensi pasar global. Hal senada juga diungkapkan oleh Giddens dalam
(Mugasejati, 2006 : 6) yang menyatakan bahwa globalisasi telah menciptakan zona-zona
ekonomi dan politik serta budaya baru di dalam sebuah kawasan yang melibatkan hubungan
antarbangsa.
Kerjasama dapat berupa kerjasama ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan,
lingkungan, dan berbagai bidang lainnya. Namun, yang saat ini sangat banyak ditemui adalah
kerjasama di bidang ekonomi yang tidak terlepas di dalamnya juga menyangkut isu politik,
pertahanan dan keamanan, lingkungan, dan sosial. Sehingga, banyak yang membahas
kerjasama ekonomi namun tetap masih mengupas motif-motif yang berperan di baliknya.
Salah satu bentuk kerja sama antarnegara yang terjalin adalah Uni Eropa (UE) atau
European Union (EU) yakni organisasi internasional negara-negara Eropa yang dibentuk
untuk meningkatkan integrasi ekonomi dan memperkuat hubungan antara negara-negara
anggotanya. Bentuk kerjasama yang unik karena bukan hanya meleburkan batas wilayah
dalam artian yang sempit. Namun, kerjasama ini lebih kepada pembentukan satu struktur
pemerintahan di Eropa. Sehingga tampak pembentukan wadah ekonomi dan kemudian juga
membahas isu politik ini seperti sebuah organisasi internasional dengan beberapa kriteria
negara yang melekat padanya.
Awalnya, Uni Eropa dibentuk karena beberapa hal. Namun, yang paling mendasari
pembentukan Uni Eropa itu sendiri karena Perang Dunia II atau Perang Eropa yang ditandai
dengan kehancuran negara-negara yang tergabung ke dalam Blok Poros seperti Jerman, Italia
dan Jepang serta munculnya negara-negara yang tergabung ke dalam Blok Sekutu sebagai
pemenang perang telah membawa dampak yang sangat mengerikan di segala aspek
kehidupan manusia, tidak terkecuali aspek ekonomi dan politik keamanan. Saat itu, Eropa
mengalami depresi ekonomi yang sangat menyedihkan. Selain kalah perang, negara-negara di
Eropa juga harus membayar biaya perang yang dikeluarkan negara-negara pemenang perang.
Sehingga, hampir semua birokrasi pemerintahan dan infrastrukturnya tidak dijalankan dengan
benar. Akibatnya, terjadi keterpurukan ekonomi baik yang berdimensi mikro maupun makro.
Kelaparan dan kekurangan lapangan kerja menyebabkan angka kriminalitas semakin tinggi.
Fakta empiris yang juga menyeruak ke permukaan bahwa dalam era modern pasca
Perang Dunia II telah berlanjut pada konflik laten berupa Perang Dingin, melahirkan negara-
negara baru yang independen (Astrid, 2011 : 131). Eksistensi mereka di dunia internasional
hanya akan terwujud jika negara-negara tersebut mengadopsi aturan institusional yang
dianggap benar dan baik secara bersama. Oleh karenanya diperlukan sebuah wadah integrasi
yang berdimensi ganda dan diharapkan mampu menjadi ajang solidaritas negara-negara yang
bernaung di bawahnya (Mugasejati, 2006 : 31).
Ketika aspek ekonomi Eropa dinilai akan semakin membaik dengan kerjasama yang
dibentuk, maka perluasan kerjasama tidak lagi di bidang ekonomi saja melainkan diperluas
ke bidang politik, pertahanan dan keamanan, serta bidang-bidang lainnya. Keadaan ini
tampaknya merupakan sebuah keniscayaan untuk dilakukan di mana ikatan-ikatan yang
dibentuk di antara negara-negara Eropa pasca perang tidak saja berdimensi ekonomi, namun
bekerja pula kekuatan-kekuatan lain di baliknya.
Bila berkaca pada apa yang melanda Eropa sebelum dibentuknya organisasi
multinasional sekaliber Uni Eropa, bahwa Eropa sendiri mengalami masa-masa yang sulit
ketika mereka tidak mampu menstabilkan konstelasi politik dan keamanan yang berkembang
sehingga perang terbuka tidak dapat dihindarkan. Hal tersebut tentu saja berdampak bagi
kondisi ekonomi dan investasi Eropa yang makin memburuk. Jadi, munculnya motif politik
di dalam organisasi didasarkan kepada kepercayaan bahwa organisasi supranasional bisa
mengeliminasi ancaman perang di antara negara-negara Eropa, sedangkan motif ekonomi
dipercaya bahwa apabila Eropa berada dibawah satu organisasi supranasional maka Eropa
akan memiliki pasar yang lebih besar dan pasar ini akan meningkatkan kompetisi serta
standar kehidupan warga Eropa. Asumsi dari penggabungan antara motif ekonomi dan motif
politik adalah bahwa kekuatan ekonomi merupakan dasar dari kekuatan politik dan militer.
Ekonomi yang terintegrasi diyakini bisa mengurangi konflik yang mungkin terjadi di antara
negara-negara Eropa.
Dari serangkaian kekuatan yang bekerja baik politik maupun ekonomi nampaknya
bisa disimpulkan bahwa antara isu-isu politik keamanan dan ketertiban dengan isu ekonomi
memiliki keterkaitan yang cukup erat. Keadaan politik yang stabil akan menciptakan iklim
ekonomi dan investasi yang kondusif.
Keberadaan Uni Eropa sebagai wadah integrasi negara-negara Eropa bukan tanpa
masalah yang mendera. Fondasi perekonomian yang dibangun dengan sistem kapitalisme
sangat rentan terhadap perubahan jaman terutama negara anggota yang belum memiliki
kemandirian ekonomi dan stabilitas politik layaknya anggota lainnya yang sudah mapan
sebagai indikator yang dipersyaratkan sehingga harus siap sedini mungkin menghadapi krisis
finansial. Selain kerentanan pada fondasi ekonomi yang dibangun dan menjadi fokus
masalah, isu-isu lain yang hingga kini belum terselesaikan adalah keanggotaan Turki yang
masih hangat untuk diperdebatkan di dalam ranah regional Eropa. Suara-suara yang
mendukung dan yang menolak masuknya Turki mencuat dan ikut mewarnai perkembangan
Uni Eropa.
Kemunculan Uni Eropa sebagai unit ekonomi yang menaungi negara-negara Eropa
tentu saja bisa dianggap sebagai salah satu bentuk resistensi Eropa untuk menghadapi
dominasi Amerika Serikat di dalam berbagai kancah. Uni Eropa dianggap sebagai awal
kebangkitan negara-negara Eropa pasca porak-poranda akibat perang sehingga kebutuhan
finansial sangat bergantung pada negara sponsor seperti Amerika Serikat yang nantinya bisa
digunakan untuk merestrukturisasi negaranya. Uni Eropa dianggap pula sebagai kekuatan
ekonomi dan politik baru yang diharapkan mampu memberikan kesejahteraan dan
kemakmuran bagi negara-negara anggotanya. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka
salah satu upaya ekonomi yang dilakukan berupa pengimplementasian Economic and
Monetary Union (EMU) dengan memperkenalkan satu mata uang Eropa yaitu Euro untuk
semua negara anggota UE. Hal ini masih dikembangkan di Uni Eropa karena sampai saat ini
masih ada beberapa negara yang tidak menggunakan Euro sebagai mata uang mereka
walaupun mereka adalah anggota Uni Eropa.
Kebijakan ekonomi berupa pengintegrasian mata uang tunggal Eropa (Euro) sebagai
senjata ampuh mematahkan Dollar Amerika Serikat memberikan perbandingan yang
paradoks dengan kenyataan lapangan di bidang pertahanan dan keamanan. Walaupun satu
langkah maju telah dijejakkan negara-negara Eropa dalam wujud organisasi multinasional
seperti Uni Eropa yang memberikan gambaran betapa negara-negara Eropa ingin segera
bangkit dari keterpurukan ekonomi dan politik serta mematahkan hegemoni Amerika Serikat,
namun dalam bidang pertahanan dan keamanan khususnya yang menyangkut stabilitas
keamanan di daerah-daerah Balkan, tampaknya masih tetap harus bersandar pada kekuatan
NATO sebagai lambang supremasi Amerika Serikat.
Menarik untuk disimak bahwa ada beberapa negara Eropa sebagai pendiri NATO
selain Amerika Serikat yakni Belgia, Denmark, Perancis, Islandia, Italia, Luxembourg,
Belanda, Norwegia, Portugal dan Inggris akhirnya membentuk Common European Security
and Defence Policy (CESDP) yang kemudian menjadi European Security and Defence Policy
(ESDP) di tahun 1999. Kemunculannya dianggap sebagai satu bentuk pemberontakan negara-
negara Eropa akibat perbedaan pendapat dan terlalu dominannya Amerika Serikat dalam
pengambilan keputusan di dalam tubuh NATO ternyata masih belum juga mampu
menandingi hegemoni Amerika Serikat.
Di tengah ketimpangan integrasi ekonomi dan politik yang coba diciptakan oleh Uni
Eropa tersebut, ternyata juga terpendam hasrat untuk mengajak Rusia bergabung di
dalamnya. Keinginan tersebut sangat beralasan bila melihat bahwa sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi Rusia yang cukup potensial. Penolakan yang diperlihatkan Rusia
merupakan keniscayaan bila melihat Uni Eropa sebagai unit yang belum mandiri dan masih
timpang di mana di dalamnya juga bermain kepentingan Amerika Serikat. Namun di sisi lain,
keberminatan menjadi anggota Uni Eropa nampaknya diperlihatkan pula oleh negara-negara
pecahan Uni Soviet seperti Georgia, Armenia, dan Azerbaijan. Jika keadaan ini terus
dibiarkan dan hampir dipastikan seluruh negara pecahan Uni Soviet tertarik masuk Uni Eropa
tentu saja semakin mengesampingkan peran Rusia di daerah Eropa Tengah dan Timur yang
juga tergabung di dalam CIS (Commonwealth of Independent States). Pada sisi yang lain,
Rusia juga sangat berkepentingan dengan negara-negara yang terletak di kawasan Balkan
sebagai wahana untuk merealisasikan Politik Air Hangat (Purnawati, 2008 : 85).
Pada masa temporer ini, Uni Eropa sebagai unit organisasi inernasional telah tumbuh
dan berkembang menjadi satu kekuatan baru, simbol kebangkitan Eropa yang tidak bisa
dianggap remeh peranannya. Menjejakkan langkah-langkahnya dalam menapaki arus
percaturan politik dan ekonomi baik yang berskala regional maupun internasional yang penuh
dengan dinamika.
.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana latar belakang terwujudnya organisasi supranasional Uni Eropa ?.
1.2.2 Bagaimana kedudukan Uni Eropa dalam perspektif hukum internasional ?.
1.2.2 Bagaimana Peranan dan prospek Uni Eropa sebagai wadah integrasi ekonomi dan politik baik
pada tingkat regional maupun internasional ?.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Mendeskripsikan latar belakang terwujudnya organisasi supranasional Uni Eropa.
1.3.2 Menjelaskan kedudukan Uni Eropa dalam perspektif hukum internasional.
1.3.3 Menjelaskan prospek Uni Eropa sebagai wadah integrasi ekonomi dan politik baik pada
tingkat regional maupun internasional.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Profil Uni Eropa


Uni Eropa adalah organisasi kerja sama regional yang menggabungkan sistem
supranasional dan antarpemerintahan. Uni Eropa memfokuskan kerja sama di bidang
ekonomi. Namun seiring perkembangan waktu, telah terjadi perubahan paradigma di mana
yang sering diulas bukan saja permasalahan yang berdimensi ekonomi, namun juga pada isu-
isu politik keamanan dan ketertiban dunia.
Tidak bisa kita pungkiri ketika kita membicarakan perekonomian, maka unsur-unsur
politik juga bermain di dalamnya. Terlebih, karena Uni Eropa sendiri sudah berbentuk
pemerintahan satu negara yang sangat didominasi oleh politik. Berikut disajikan gambaran
umum mengenai Uni Eropa di dalam tabel :

Nama Instansi European Union (Uni Eropa)


Motto In Varietate Concordia (Persatuan dalam
Perbedaan)
Lagu kebangsaan Ode an die Freude
Ibu Kota Brussel, Belgia
Parlemen Brussel, Strasbourg dan Kota Luxemburg
Luas Wilayah 4,422,773 km
Mata uang Euro (EUR atau )
Pendirian Awal - Persetujuan Roma pada 25 Maret 1957-
berlaku pada 1 Januari 1958
-
Perubahan Nama dari MEE menjadi Uni Persetujuan Maastricht pada 7 Februari
Eropa 1992-berlaku pada 1 November 1993
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Uni_Eropa
2.2 Persatuan Eropa Pra Pembentukan Uni Eropa
Percobaan untuk menyatukan negara-negara Eropa telah dimulai sebelum
terbentuknya negara-negara modern. Usaha unifikasi Eropa telah terjadi beberapa kali. Tiga
ribu tahun yang lalu Eropa didominasi oleh Bangsa Celt yang kemudian atas perintah
Kekaisaran Roma di Italia berusaha ditaklukkan dan dilakukan upaya penyatuan daratan
Eropa secara paksa (Lucas, 1993 : 28). Pasca runtuhnya Kekaisaran Romawi, Kaisar Franks
dari Cherlemagne dan Kekaisaran Suci Roma menyatukan wilayah luas Eropa dalam
administrasi yang longgar selama beratus-ratus tahun. Belakangan di tahun 1800-an,
Napoleon Bonaparte dengan Politik Kontinentalnya berusaha menyatukan Eropa di bawah
panji-panji Kekaisaran Perancis yang dibangunnya di bawah reruntuhan puing-puing
Revolusi Perancis (Lombard, 1999 : 107; Samekto, 1999 : 213). Berlanjut di tahun 1940-an,
Nazi yang dikomandoi oleh Hitler berusaha pula melakukan upaya unifikasi Eropa di bawah
satu komando yakni Jerman (Samekto, 1999 : 276).
Namun, baik unifikasi yang dilakukan oleh Napoleon maupun Hitler hanya bersifat
sementara. Hal ini dikarenakan koleksi bahasa dan budaya Eropa yang kompleks serta
percobaan penyatuan yang melibatkan orang atau negara tidak bersedia menciptakan
kestabilan.
Berlanjut ke masa modern di mana negera-negara Eropa terlibat dalam berbagai
perang sehingga menimbulkan permusuhan, rasa dendam serta nasionalisme sempit. Embrio
mengenai persatuan Eropa (Pan Eropa) sesungguhnya telah lebih dulu ada sebelum kelahiran
Uni Eropa. Ia adalah seorang Richard Graf Coundenhove dari Austria di tahun 1923 yang
menganjurkan pembentukan Eropa Serikat sebagai salah satu badan yang hendaknya dapat
menghindarkan timbulnya perang.
Gagasan lain yang tidak kalah menarik adalah atas apa yang dilontarkan oleh Winston
Churcil dalam pidatonya di Universitas Zurich tertanggal 19 Desember 1946 yang
memandang perlunya dibentuk Dewan Eropa sebagai jalan keluar untuk menyelamatkan
Eropa dari ancaman perang.
Gagasan-gagasan perlunya dilakukan unifikasi Eropa untuk menghindarkan perang-
perang lainnya muncul silih berganti. Hal senada dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti Robert
Schuman, Henry Spaak dan Gyu Mollet yang berhasil mendirikan Gerakan Eropa (European
Movement) pada tahun 1947 dan berhasil mengadakan kongresnya yang pertama di tahun
1948 bertempat di Den Haag Belanda. Keputusannya antara lain adalah pembentukan satu
parlemen dan Forum Eropa (Aryana, 2010 : 73-74).
2.3 Kronologi Pembentukan Uni Eropa
2.3.1 The Treaty of Paris di Tahun 1952
Proses integrasi Eropa bermula dari dibentuknya Komunitas Batu Bara dan Baja
Eropa (European Coal and Steel Community/ECSC) yang traktatnya ditandatangani pada 18
April 1951 di Paris dan berlaku sejak 25 Juli 1952 sampai tahun 2002. Traktat ini merupakan
realisasi dari gagasan Menteri Luar Negeri Perancis, Robert Schuman (Schuman Plan) pada
pidatonya tertanggal 9 Mei 1950 yang menginginkan agar dibentuknya komunitas ekonomi di
kawasan Eropa.
Tujuan utama ECSC Treaty adalah penghapusan berbagai hambatan perdagangan dan
menciptakan suatu pasar bersama di mana produk, pekerja dan modal dari sektor batu bara
dan baja dari negara-negara anggotanya dapat bergerak dengan bebas. Traktat ini
ditandatangani oleh Belanda, Belgia, Italia, Jerman, Luksemburg dan Perancis. Adapun
yang merupakan hasil utama dari traktat tersebut adalah :
- Pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC)
- Penghapusan rivalitas lama antara Jerman dan Perancis, serta memberi dasar bagi
pembentukan Federasi Eropa.

2.3.2 The Treaty of Rome di Tahun 1957


Pada tanggal 1-2 Juni 1955, menteri luar negeri 6 negara penandatangan ECSC Treaty
bersidang di Messina, Italia, dan memutuskan untuk memperluas integrasi Eropa ke semua
bidang ekonomi. Pada tanggal 25 Maret 1957 di Roma ditandatangani European Atomic
Energy Community (EAEC), namun lebih dikenal dengan Euratom dan European Economic
Community (EEC). Keduanya mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1958. Jika ECSC dan
Euratom merupakan traktat yang spesifik, detail dan rigid law treaties, maka EEC Treaty
lebih merupakan sebuah framework treaty.
Tujuan utama EEC Treaty adalah penciptaan suatu pasar bersama di antara negara-
negara anggotanya melalui pencapaian suatu Custom Unions yang di satu sisi melibatkan
penghapusan customs duties, import quotas dan berbagai hambatan perdagangan lain di
antara negara anggota, serta di sisi lain memberlakukan suatu Common Customs Tariff (CCT)
vis-a-vis negara ketiga (non anggota). Ketiga Communities tersebut masing-masing memiliki
organ eksekutif yang berbeda-beda. Namun sejak tanggal 1 Juli 1967 dibentuk satu Dewan
dan satu Komisi untuk lebih memudahkan manajemen kebijakan bersama yang semakin luas,
di mana Komisi Eropa mewarisi wewenang ECSC High Authority, EEC Commission dan
Euratom Commission. Sejak saat itu ketiga communities tersebut dikenal sebagai European
Communities (EC). Adapun yang menjadi hasil utama dari pertemuan tersebut adalah :
- Pembentukan Dewan Menteri UE, yang menggantikan Special Council of Ministers di ketiga
Communities, dan melembagakan Rotating Council Presidency untuk masa jabatan selama
6 bulan.
- Membentuk Badan Audit Masyarakat Eropa, menggantikan Badan-badan Audit ECSC,
Euratom dan EEC.

2.3.3 Schengen Agreement di Tahun 1985


Pada tanggal 14 Juni 1985, Belanda, Belgia, Jerman, Luxemburg dan Perancis
menandatangani Schengen Agreement, di mana mereka sepakat untuk secara bertahap
menghapuskan pemeriksaan di perbatasan dan menjamin pergerakan bebas manusia, baik
warga mereka maupun warga negara lain. Perjanjian ini kemudian diperluas dengan
memasukkan Italia (1990), Portugal, Spanyol (1991), Yunani (1992), Austria (1995),
Denmark, Finlandia, Norwegia dan Swedia (1996).

2.3.4 Single Act Brussels di Tahun 1987


Berdasarkan White Paper yang disusun oleh Komisi Eropa dibawah kepemimpinan
Jacques Delors pada tahun 1984, Masyarakat Eropa mencanangkan pembentukan sebuah
Pasar Tunggal Eropa. Single European Act yang ditandatangani pada bulan Februari 1986
dan mulai berlaku mulai tanggal 1 Juli 1987, terutama ditujukan sebagai suplemen EEC
Treaty. Tujuan utama Single Act adalah pencapaian pasar internal yang ditargetkan untuk
dicapai sebelum 31 Desember 1992. Adapun yang menjadi hasil utama pertemuan tersebut
adalah :
- Melembagakan pertemuan reguler antara kepala negara dan atau pemerintahan negara
anggota Masyarakat Eropa, yang bertemu paling tidak setahun dua kali dengan dihadiri oleh
Presiden Komisi Eropa.
- European Political Cooperation secara resmi diterima sebagai forum koordinasi dan
konsultasi antarpemerintah.
- Seluruh persetujuan asosiasi dan kerjasama serta perluasan Masyarakat Eropa harus
mendapat persetujuan Parlemen Eropa.

2.3.5 The Treaty of Maastricht (Treaty on European Union) di Tahun 1992


Treaty on European Union (TEU) yang ditandatangani di Maastricht pada tanggal 7
Februari 1992 dan mulai berlaku tanggal 1 November 1993, mengubah European
Communities (EC) menjadi European Union (EU). Treaty on European Union (TEU)
mencakup, memasukkan dan memodifikasi traktat-traktat terdahulu (ECSC, Euratom dan
EEC). Jika Treaties establishing European Community (TEC) memiliki karakter integrasi dan
kerjasama ekonomi yang sangat kuat, maka TEU menambahkan karakter lain yaitu kerjasama
di bidang Common Foreign and Security Policy (CFSP) dan Justice and Home Affairs (JHA).
Adapun yang menjadi hasil utama dalam pertemuan tersebut menyangkut tiga pilar yaitu:
- Pilar 1: European Communities
- Pilar 2: Common Foreign and Security Policy CFSP
- Pilar 3: Justice and Home Affairs JHA
- Memberi wewenang yang lebih besar kepada Parlemen Eropa untuk ikut memutuskan
ketentuan hukum Uni Eropa melalui mekanisme co-decision procedure, di mana Parlemen
dan Dewan Uni Eropa bersama-sama memutuskan suatu produk hukum. Bidang-bidang yang
masuk dalam prosedur tersebut adalah: pergerakan bebas pekerja, pasar tunggal, pendidikan,
penelitian, lingkungan, Trans European Network, kesehatan, budaya dan perlindungan
konsumen.
- Memperpanjang masa jabatan Komisioner menjadi 5 tahun (sebelumnya 2 tahun) dan
pengangkatannya harus mendapat persetujuan Parlemen.
- Menambah area kebijakan yang harus diputuskan dengan mekanisme qualified majority
(tidak lagi unanimity), yaitu: riset dan pengembangan teknologi, perlindungan lingkungan,
dan kebijakan sosial.
- Memperkenalkan prinsip subsidiarity, yaitu membatasi wewenang institusi UE agar hanya
menangani masalah-masalah yang memang lebih tepat dibahas di level UE.

2.3.6 The Treaty of Amsterdam di Tahun 1997


Pada pertemuan mereka tanggal 17 Juni 1997 di Amsterdam, European Council (para
Kepala Negara dan Pemerintahan ke-15 negara anggota UE) merevisi TEU dan menghasilkan
sebuah traktat baru. The Treaty of Amsterdam mempunyai empat tujuan utama, yaitu:
- Memprioritaskan hak-hak warga negara dan penyediaan lapangan kerja. Meskipun
penyediaan lapangan kerja tetap merupakan kewajiban utama pemerintah nasional, Traktat
Amsterdam menekankan perlunya usaha bersama seluruh negara anggota untuk mengatasi
pengangguran, yang dianggap sebagai problem utama Eropa saat ini
- Menghapuskan hambatan terakhir menuju freedom of movement dan memperkuat keamanan,
dengan meningkatkan kerjasama negara anggota di bidang Justice and Home Affairs
- Memberi UE suara yang lebih kuat di dunia internasional dengan menunjuk seorang High
Representative for the CFSP
- Membuat struktur institusi UE lebih efisien, terutama berkaitan dengan gelombang ke-6
enlargement.
Salah satu kritik yang sering dialamatkan pada berbagai traktat mengenai Uni Eropa
adalah teks yang rumit dan sangat teknokratis. Hal tersebut membuat traktat dasar Uni Eropa
sulit dibaca dan dimengerti yang pada gilirannya juga dapat memperlemah dukungan publik
terhadap proses integrasi Eropa. Traktat Amsterdam merupakan jawaban terhadap kritikan
tersebut karena traktat ini memasukkan TEU dan TEC, dengan penomoran baru pasal-
pasalnya untuk lebih memudahkan pemahaman terhadap traktat mengenai UE. Adapun yang
menjadi hasil dari pertemuan tersebut adalah :
- Memberi wewenang Dewan Menteri untuk menjatuhkan hukuman pada negara anggota
(dengan mencabut sementara beberapa hak mereka, termasuk hak voting) jika negara
anggota tersebut melakukan pelanggaran HAM.
- Menyediakan kemungkinan dilakukannya enhanced cooperation, yaitu: beberapa negara
anggota (minimal dapat melakukan suatu kerjasama meskipun tidak semua negara anggota
menyetujuinya. Negara yang tidak (atau belum) menyetujui kerjasama tersebut dapat
bergabung di kemudian hari. Salah satu contohnya adalah bentuk-bentuk kerjasama dalam
kerangka CFSP.
- Memasukkan Schengen Agreement dalam TEU (dengan pilihan opt-out bagi Inggris dan
Irlandia).
- Menjadikan asylum, visa dan imigrasi sebagai kebijakan bersama (kecuali bagi Inggris dan
Irlandia). Dalam waktu lima tahun, negara-negara anggota dapat memutuskan apakah akan
menggunakan qualified majority voting.

2.3.7 The Treaty of Nice di Tahun 2000


Pertemuan European Council tanggal 7-9 Desember 2000 di Nice mengadopsi sebuah
traktat baru yang membawa perubahan bagi empat masalah institusional yaitu komposisi dan
jumlah Komisioner di Komisi Eropa, bobot suara di Dewan Uni Eropa, mengganti unanimity
dengan qualified majority dalam proses pengambilan keputusan dan pengeratan kerjasama.
Traktat ini mulai berlaku tertanggal 1 Februari 2003. Adapun yang merupakan hasil dari
pertemuan tersebut adalah :
- Dengan memperhatikan perluasan anggota Uni Eropa, membatasi jumlah anggota Parlemen
maksimal sebanya 732 orang dan sekaligus memberi alokasi jumlah kursi tiap negara anggota
(sudah termasuk negara anggota baru).
- Mengganti mekanisme pengambilan keputusan bagi 30 pasal dalam TEU yang sebelumnya
menggunakan unanimity dan diganti dengan menggunakan mekanisme qualified majority
voting.
- Merubah bobot suara negara-negara anggota Uni Eropa mulai 1 Januari 2005 (sudah
termasuk negara-negara anggota baru).
- Mulai 2005, Uni Eropa akan membatasi jumlah Komisioner, 1 Komisioner tiap 1 negara,
dan batas maksimum jumlah Komisioner akan ditetapkan setelah UE beranggotakan 27
negara, serta memperkuat posisi Presiden Komisi.
- Memberi dorongan bagi terselenggaranya Konvensi Masa Depan Eropa, yang digunakan
sebagai persiapan bagi penyelenggaraan Intergovernmental Conference di tahun 2003.

2.3.8 Konvensi Masa Depan Eropa dan Traktat Aksesi 10 Negara Anggota Baru
Berbagai traktat UE tersebut mungkin akan segera mengalami perubahan, sebagai
hasil dari Konvensi Masa Depan UE dan Traktat Aksesi 10 Negara Anggota Baru yang
ditandatangani tanggal 16 April 2003 dan berlaku mulai tanggal 1 Mei 2004.
Sementara ini beberapa pembahasan utama adalah di bidang:
- Penyederhanaan traktat-traktat UE kedalam satu traktat, dengan penyajian yang lebih jelas
dan lebih mudah dimengerti.
- Demarkasi kewenangan (who does what in the European Union, wewenang Uni Eropa,
wewenang negara anggota).
- Peran Parlemen negara-negara anggota dalam struktur Uni Eropa.
- Status Charter of Fundamental Rights yang diproklamirkan di Nice.

2.4 Kelembagaan Uni Eropa


Dalam Uni Eropa, terdapat beberapa lembaga yang menjalankan roda pemerintahan
dan menjaga agar arah dan tujuan organisasi agar dapat dicapai. Beberapa lembaga tersebut
di antaranya
- Komisi Eropa (Commission of the European Communities) ; adalah badan eksekutif Uni
Eropa. Komisi Eropa merupakan badan administrasi tertinggi dalam Uni Eropa yang ditunjuk
oleh negara-negara anggota dan secara politis bertanggung jawab kepada Parlemen Eropa.
Lembaga ini menyusun naskah perundang-undangan baru Eropa yang kemudian diajukan
kepada Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa. Lembaga ini memastikan keputusan-
keputusan yang diambil oleh Uni Eropa dilaksanakan menurut ketentuan dan juga mengawasi
penggunaan dana-dana Uni Eropa. Komisi Eropa memastikan pula agar setiap warga
mematuhi Traktat Eropa dan hukum yang berlaku di Eropa. Komisi Eropa terdiri dari 25
komisioner yang dibantu oleh kurang lebih 25.000 pegawai negeri. Presiden komisi Eropa
dipilih oleh pemerintah para negara anggota Uni Eropa dan harus mendapat persetujuan dari
Parlemen Eropa. Komisi Eropa bertindak secara independen dan tidak bisa mengikuti
instruksi dari negara yang menunjuk mereka (http://id.wikipedia.org/wiki/komisi_eropa).
- Dewan Uni Eropa ; merupakan badan legislatif dan pembuat keputusan di UE yang
keanggotaannya terdiri dari menteri-menteri dari pemerintahan negara-negara anggotanya.
Dewan ini memiliki seorang Presiden dan seorang Sekretaris Jendral, serta merupakan badan
yang memiliki otoritas paling utama dalam pengambilan keputusan di Uni Eropa dikarenakan
pembahasan isu-isu kontemporer dilakukan oleh anggota dewan yang kompatibel. Presiden
Dewan adalah seorang Menteri dari negara yang sedang memegang jabatan Kepresidenan
Dewan Eropa (European Summit), sedangkan Sekretaris Jendral adalah kepala dari
Sekretariat Dewan yang dipilih oleh negara anggota. Sekretaris Jendral juga melayani sebagai
High Representative for the Common Foreign and Security Policy (CFSP). Dewan ini
dibantu oleh Komite Perwakilan Tetap (COREPER), yang terdiri dari duta-duta besar atau
deputinya dari wakil diplomatik dari negara-negara anggota, karena anggota dewan yang
melakukan pertemuan bukan anggota tetap. Dalam setiap pertemuan dewan, menteri yang
hadir adalah ornag yang kompeten di bidangnya. Misalnya isu yang akan dipecahkan adalah
isu pangan. Maka yang hadir adalah menteri pangan masing-masing negara anggota dan
Presiden Dewan beserta Sekretaris Jenderalnya. Sehingga, akan terjadi kompatibilitas yang
maksimal dalam menangani masalah yang sedang dihadapi oleh Uni Eropa khususnya
(http://id.wikipedia.org/wiki/dewan_eropa).
- Parlemen Eropa ; Badan yang berbentuk parlementer di Uni Eropa ini dipilih oleh warga
sipil masing-masing negara setiap 5 tahun sekali. Badan ini melakukan fungsi pengontrolan
terhadap Komisi Eropa namun tidak bisa merumuskan undang-undang baru. Parlemen Eropa
hanya bisa mengamandemen atau memveto undang-undang yang diajukan. Dalam beberapa
kebijakan, parlemen hanya dijadikan sebagai konsultan karena dinilai ada beberapa kebijakan
yang memang tidak menjadi wewenang parlemen. Anggaran Uni Eropa juga dikontrol oleh
badan ini. Dengan kata lain, parlemen bertindak sebagai democratic supervisor karena
memang dipilih langsung oleh warga sipil Uni Eropa dengan kebijakan pemilihan oleh
masing-masing negara anggota yang jumlahnya ditentukan minimal 5 orang perwakilan
setiap negara dan satu negara tidak bisa memiliki lebih dari 99 kursi dalam parlemen.
Sehingga segala kebijakan yang diambil oleh parlemen murni untuk rakyat Uni Eropa sebagai
penentu hukum dan kebijakan tertinggi yang menjunjung asas-asas demokrasi.
(http://id.wikipedia.org/wiki/parlemen_eropa).
- Bank Sentral Eropa ; Salah satu tujuan pendirian Uni Eropa adalah tujuan ekonomi. Badan
ini adalah badan yang bertanggung jawab terhadap kebijakan moneter negara-negara
anggotanya yang menggunakan Euro sebagai mata uangnya. Kebijakan Bank Sentral Eropa
lebih kepada pengaturan mata uang agar tercipta kestabilan ekonomi baik itu dengan cara
menahan laju inflasi, mengatur bunga pinjaman, mengatur margin recruitment, dan
kapitalisasi untuk bank lain atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir yang
tentunya didasari kebijakan yang diterapkan di Uni Eropa yang telah disepakati bersama.
Kebijakan moneter yang diterapkan oleh Bank Sentral Eropa pada dasarnya merupakan suatu
kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal
(keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga
stabilisasi ekonomi. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka Bank
Sentral akan mengeluarkan kebijakan moneter yang dapat dipakai untuk memulihkan
keadaan ekonomi. Kebijakan moneter yang diupayakan adalah untuk mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan
kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral Eroap akan berusaha
mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat
terkendali. Terutama jika mulai terjadi gejala kemerosotan keuangan negara-negara
anggotanya. Namun, pemberian bailout ataupun bantuan tetap didasari oleh kesepakatan yang
dibicarakan tentunya (http://id.wikipedia.org/wiki/bank_sentral_eropa).
Selain beberapa lembaga tersebut, ada lembaga lain yang juga memiliki peranan
penting yakni Dewan Eropa dan Mahkamah Eropa yang didirikan sejak tahun 1952. Badan
ini merupakan badan hukum tertinggi di Uni Eropa. Seperti badan hukum lainnya,
Mahkamah Eropa memiliki beberapa tugas inti yaitu:
- Menafsirkan hukum yang berlaku di Uni Eropa dengan bentuk-bentuk mekanisme peraturan.
- Menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Uni Eropa (negara, korporasi, maupun
individu).
- Memastikan semua hukum, perundang-undangan, dan traktat di Uni Eropa dipatuhi oleh
semua elemennya.
Mahkamah Eropa dibantu oleh pengadilan-pengadilan negeri masing-masing anggota.
Terdapat 27 jaksa dalam mahkamah ini karena setiap negara hanya mengirimkan satu
jaksanya untuk duduk dalam majelis. Semua jaksa ini dipimpin oleh seorang presiden yang
ditunjuk oleh 27 jaksa anggota.

2.4.1 Kebijakan Utama


Dari sejarah awal pembentukan Uni Eropa yang dimulai dengan isu pembangunan
ekonomi, kita akan melihat bahwa kebijakan utama Uni Eropa adalah ekonomi. Namun
seiring dengan pembentukan Uni Eropa sebagai satu pemerintahan, maka kita tahu jika Uni
Eropa sekarang telah menjadi kesatuan politis yang tentu saja kebijakannya akan didasari
pada kepentingan politik negara-negara anggotanya.
Pengambilan kebijakan oleh Komisi Eropa yang selanjutnya dibawa ke Parlemen
Eropa dilandasi kebutuhan ekonomi politik Uni Eropa sendiri. Kebijakan utama Uni Eropa
berlandaskan pada 3 pilar utama, yaitu:
- Pillar 1: Komunitas Eropa
- Pillar 2: Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama
- Pillar 3: Kerja sama Polisi dan Kehakiman
Ketiga pilar inilah yang menjadi landasan kebijakan utama yang dikeluarkan dan
diterapkan secara menyeluruh pada setiap negara anggota. Kebijakan utama memang terlihat
sebagai kebijakan yang dirancang untuk internal Uni Eropa. Namun, internalitas kebijakan-
kebijakan Uni Eropa tidak terlepas nantinya dengan kebijakan eksternal Uni Eropa sebagai
organisasi kerjasama internasional.
Hampir bisa dikatakan di dalam kesatuan wilayah Uni Eropa batas negara tidak lagi
terlalu diperhatikan yang terbukti dengan penggunaan paspor Eropa. Namun, bukan berarti
masing-masing negara bisa mencaplok wilayah negara lain. Justru kesatuan ini dinilai bisa
meminimalisasi konflik wilayah yang bisa saja terjadi ketika mereka bukan bagian dari satu
kesatuan Uni Eropa.
Uni Eropa sebagai kesatuan ekonomi dinilai sebagai negara dengan pencapaian GDP
yang lumayan bagus. Akan tetapi, kemakmuran negara-negara anggotanya yang tidak sama
menjadi sandungan ketika kebijakan akan dikeluarkan. Seperti kita tahu bersama, kebijakan
untuk pencapaian ekonomi setiap negara didasarkan oleh keadaan ekonomi negara tersebut.
Di Uni Eropa ada negara maju dan negara berkembang yang memiliki kepentingan ekonomi
dan keadaan ekonomi yang jelas berbeda. Sehingga, penentuan kebijakan ekonomi akan
mengalami ketimpangan dalam pengaplikasiannya. Oleh karena itu, fungsi ekonomi dari
Bank Sentral dan negara-negara penyokong dibutuhkan untuk mengcover keadaan seperti ini.
Salah satu tujuan pendirian Uni Eropa adalah menjadikan Eropa sebagai kekuatan
ekonomi yang diperhitungkan dalam perdagangan global saat ini. Negara-negara anggota
baru Uni Eropa yang cenderung di bawah rata-rata diharapkan mampu berkembang dengan
baik karena dibantu oleh negara-negara Uni Eropa lainnya yang merupakan satu kesatuan
ekonomi dan politik dengan mereka.
Kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh Uni Eropa adalah penghematan anggaran
dengan pemotongan langsung anggaran beberapa negara anggotanya. Tentu saja ketika
anggaran masing-masing pemerintahan negara anggotanya dipotong, yang langsung
mengalami dampak adalah warga sipil. Banyak pemerintahan di 27 anggota Uni Eropa
memberlakukan pengurangan besar dalam gaji, pensiun dan karyawan untuk menangani
utang yang bertumpuk.
Pemotongan anggaran negara dan penaikan pajak di beberapa negara terjadi karena
krisis finansial yang dilakukan para bankir dan pengusaha Uni Eropa. Krisis yang saat ini
dialami oleh Uni Eropa adalah kelanjutan dari krisis Yunani yang mengguncang pasar global
dan membuat nilai tukar Euro anjlok. Hal ini membawa biaya pinjaman negara untuk rekor
tertinggi dan juga mempengaruhi negara-negara Zona Euro lainnya. Tidak hanya kepada
negara yang menggunakan Euro sebagai mata uangnya, namun negara-negara Uni Eropa
yang masih menggunakan mata uangnya sendiri juga merasakan dampaknya.
Pemetaan kebijakan Uni Eropa yang terlihat agak timpang, karena dampak kebijakan
ke dalam untuk warga sipil terasa sangat memberatkan. Dampak yang terlihat juga sangat
sistemik dan yang terjadi kemudian adalah perekonomian makro terselesaikan namun
perekonomian mikro menjadi terpuruk. Belum lagi dengan kondisi keuangan warga yang
tentunya berubah drastis ketika terjadi pemotongan gaji. Analisis yang muncul adalah
perbaikan ekonomi kesatuan Uni Eropa dengan mengorbankan perekonomian masing-masing
negara anggota. Sehingga, yang terlihat adalah Uni Eropa sebagai sebuah negara federal
dengan negara-negara anggotanya sebagai negara-negara bagian.

2.4.2 Kebijakan Eksternal


Di mata dunia, Uni Eropa adalah kekuatan ekonomi yang berpengaruh besar terhadap
pasar global setelah Amerika Serikat. Banyak hal yang dilakukan Uni Eropa sebagai kesatuan
ekonomi dan politik, di antaranya dengan memberikan bantuan dana ke negara-negara
berkembang dan negara-negara calon anggotanya. Dalam hal perpajakan dan bea cukai,
negara-negara anggota Uni Eropa menetapkan satu tarif dan kesetaraan dalam perjanjian-
perjanjian atau perundingan-perundingan internasional.
Selain bidang ekonomi dan politik, Uni Eropa melakukan kerjasama di bidang
pertahanan dan keamanan. Walaupun bukan tergolong negara great power, tetapi Uni Eropa
bisa digolongkan sudah maju dalam bidang pertahanan dan keamanannya. Hal ini tercermin
dari kerjasama dalam masalah-masalah kriminal, termasuk saling berbagi intelijen melalui
EUROPOL, Sistem Informasi Schengen, dan perjanjian tentang definisi bersama mengenai
kejahatan dan prosedur-prosedur ekstradisi.
Uni Eropa juga membentuk suatu kebijakan keamanan bersama sebagai suatu tujuan
bersama, termasuk pembentukan Satuan Reaksi Cepat Eropa untuk menjaga perdamaian
dunia, staf militer Uni Eropa dan sebuah pusat satelit Uni Eropa untuk kebutuhan intelijen
atau pengintaian. Uni Eropa juga telah mengatur tentang kebijakan asylum dan imigrasi.
Pembatasan jumlah imigran dan syarat-syarat menjadi warga negara Uni Eropa.

2.5 Keanggotaan Uni Eropa


Seiring perjalanan waktu, Uni Eropa mengalami perkembangan dan hingga tahun
2007 telah beranggotakan 27 negara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 500 juta
jiwa. Kini Uni Eropa dengan semboyan freedom, peace dan prosperity telah menjadikan
dirinya aktor global yang penting bagi dunia. Berikut adalah angota-anggota Uni Eropa
beserta tahun masuknya.

Tahun Masuk Negara-Negara Anggota Uni Eropa


1952 Belgia, Belanda, Jerman, Perancis, Italia dan Luxemburg
1973 Denmark, Irlandia dan Inggris
1981 Yunani
1986 Portugal dan Spanyol
1995 Austria, Finlandia dan Swedia
2004 Cyprus, Rep.Ceko, Estonia, Lithuania, Slovakia, Slovenia, hungaria,
Latvia, Malta dan Polandia
2007 Romania dan Bulgaria
Sumber : http://arezt.blogspot.com/2011/01/masyarakat-ekonomi-eropa-mee.html
2.5.1 Syarat-Syarat Keanggotaan
Menyimak potensi besar yang dimiliki oleh Uni Eropa sebagai wadah ekonomi dan
politik memberikan daya tarik sendiri bagi banyak negara di Eropa yang mempunyai hasrat
untuk bergabung terutama negara-negara baru pasca Perang Dingin sebagai proses
Balkanisasi. Oleh karenanya, pihak Uni Eropa mengencangkan sabuk dan seleksi ketat
terhadap negara-negara Eropa yang berkeinginan bergabung ke dalam organisasi ini.
Berikut ini disajikan mengenai komposisi suara yang berdasarkan polling dari
populasi penduduk negara anggota Eropa :
Populasi
No Nama Negara Suara
(juta)
1 Jerman 29 82,0
2 Kerajaan Inggris 29 59,4
3 Prancis 29 59,1
4 Italia 29 57,7
5 Spanyol 27 39,4
6 Polandia 27 38,6
7 Rumania 14 22,3
8 Belanda 13 15,8
9 Yunani 12 10,6
10 Republik Ceko 12 10,3
11 Belgia 12 10,2
12 Hungaria 12 10,0
13 Portugal 12 9,0
14 Swedia 10 8,9
15 Austria 10 8,1
16 Bulgaria 10 7,7
17 Slovakia 7 5,4
18 Denmark 7 5,3
19 Finlandia 7 5,2
20 Lituania 7 3,7
21 Irlandia 7 3,7
22 Latvia 4 2,4
23 Slovenia 4 2,0
24 Estonia 4 1,4
25 Cyprus 4 0,8
26 Luxemburg 4 0,4
27 Malta 3 0,4
Total 345 490
Sumber : http/ Arya FernandesBlogs.com/2008/09/11/keanggotaan-uni-eropa.html

Masalah-masalah yang menyangkut syarat keanggotaan sebenarnya sudah dibicarakan


pada berbagai pertemuan. Bila ditelisik dari sejumlah dokumen/traktat Uni Eropa,
persyaratan keanggotaan Uni Eropa dapat dirujuk melalui dua dokumen/traktat. Pertama,
kriteria geografis yang dirumuskan dalam Treaty Maastricht, 1992. Dalam ayat O Traktat
Maastricht, hanya negara-negara Eropa yang dapat mengajukan diri sebagai bagian Uni
Eropa, tidak bagi negara-negara non-Eropa. Kedua, kriteria politik, ekonomi dan legislatif
yang dirumuskan dalam Copenhagen Criteria 1993 berupa pemerintahan yang demokratis,
penegakan hukum, penegakan hak azasi manusia, dan penghargaan atas kelompok minoritas.
Sementara, indikator ekonomi diturunkan melalui penerapan ekonomi pasar. Sebagai catatan,
dalam The Copenhagen Criteria dijelaskan bahwa yang dimaksud pemerintahan yang
demokratis meliputi adanya partisipasi publik, kesetaraan/persamaan hak, pemilu yang
demokratis, liberalisme politik (mendirikan partai politik), kebebasan pers, dan kebebasan
berpendapat/berorganisasi.

2.5.2 Masalah Keanggotaan Cyprus dan Turki


Dari beberapa kriteria yang diberikan tersebut nampaknya menimbulkan pro dan
kontra ketika Cyprus masuk sebagai anggota Uni Eropa ke-25 tertanggal 1 Mei 2004. Pro dan
kontra tersebut dapat dilacak dari kesejarahan Cyprus. Secara geografis, Cyprus merupakan
sebuah pulau kecil yang berada di Laut Tengah. Masyarakatnya terpengaruh dari dua jenis
negara yaitu Yunani dan Turki. Cyprus pernah didatangi oleh orang-orang dari Yunani,
Asyria, Mesir, Romawi, dan Turki yang berkunjung dan kemudian menetap di pulau terbesar
ketiga di Laut Mediterania tersebut (http://bolozerblogs.com/2010/09/23/konflik-membelah-
tanah-siprus). Cyprus adalah negara yang pertama kali dimasuki oleh ajaran agama
Kristen dan mayoritas masyarakat Cyprus pun memeluk agama Kristen Ortodoks. Ketika
kekuasaan Byzantium runtuh, datanglah kekhalifahan Usmani yang datang membawa ajaran
Islam pada pertengahan abad ke-16 (Lucas, 1993 : 117). Kepemimpinan Usmani ini
memberikan izin tinggal kepada 20.000 penduduk Muslim. Tentulah tidak disadari bahwa
pemukiman tersebut pada akhirnya dapat melahirkan konflik etnis yang berkepanjangan
antara keturunan Yunani yang Kristen yang terkonsentrasi di bagian selatan dan keturunan
Turki yang Islam yang terkonsentrasi di bagian utara.
Kekhalifahan Usmani lalu mengadakan perjanjian dengan Inggris untuk
mengantisipasi serbuan Rusia setelah di sejumlah wilayah pasukannya dipukul mundur oleh
Rusia. Perjanjian itu menyatakan Cyprus di bawah administrasi Inggris, meski tetap termasuk
dalam daerah kekuasaan Turki Usmani. Pada masa inilah masyarakat Turki banyak
berimigrasi ke Cyprus dan membentuk keluarga sehingga budaya Turki cukup melekat di
Cyprus. Pada akhirnya ketika pecah Perang Dunia I, perjanjian itu dibatalkan karena Turki
yang memihak kepada Jerman dan otomatis membuat Inggris membatalkan hak Turki atas
Cyprus (Astrid, 2011 : 105). Pasca Cyprus, kini Turki menjadi pemberitaan internasional
usaha negososiasi dari tahun 1963 hingga kini belum juga terealisasi. Secara geografis, hanya
3% dari wilayah Turki yang berada di Eropa (Istanbul Barat) (http://www.mail-
archive.com/ppiindia@yahoogroups.com/msg30235.html).
Ada beberapa kendala yang menjadi faktor penghambat lambatnya penerimaan Turki
sebagai anggota Uni Eropa. Pertama, faktor sejarah, sektarian dan budaya Turki yang
bertolak belakang dengan negara-negara Eropa pada umumnya. Turki memiliki latar
belakang budaya yang cukup berbeda dengan negara-negara Eropa lainnya, sejarah Islam
yang sangat kaya dan sangat penting yang menjadi suatu sejarah besar bagi perkembangan
Islam di Eropa dan Timur Tengah terutama pada zaman Kekaisaran Ottoman (Ansary, 2010 :
217-220). Kekayaan sejarah Islam tersebut di satu pihak menjadi suatu kebanggaan yang
sangat besar bagi Turki sebagai negara yang berhasil menyebarluaskan Islam ke hampir
seluruh penjuru dunia, namun di lain pihak hal tersebut juga mempengaruhi cara pandang
negara-negara Eropa bahkan keputusan Uni Eropa dalam hal penolakan Turki untuk menjadi
anggota tetap Uni Eropa.
Selain itu hal yang juga dianggap sebagai ancaman adalah jumlah populasi Turki
sebesar 74 juta jiwa setelah Jerman yang berjumlah 82 juta jiwa di mana populasi Jerman
merupakan yang terbesar di Eropa. Jumlah populasi sangat menentukan kebijakan Uni Eropa.
Sebab, salah satu sistem polling di Uni Eropa ditentukan dari jumlah populasi. Oleh
karenanya, tidak diragukan lagi, keanggotaan Turki dalam Uni Eropa dapat mempengaruhi
posisi Jerman dan Perancis ( http://digilib.ui.ac.id/helper/viewKoleksi-eprints).
Populasi masyarakat Turki yang mayoritas beragama Islam menjadi sebuah dilema
dan perdebatan yang cukup hangat di dalam setiap pertemuan yang isinya membahas bakal
masuknya Turki ke dalam Uni Eropa, walaupun di dalam kreteria bakal calon anggota,
masalah sektarian tidak terlalu bergaung namun tetap saja menjadi isu sensitif yang bisa
menimbulkan pro dan kontra. Sedangkan di sisi lain, masyarakat Eropa merupakan
representasi masyarakat Kristen. Dengan masuknya Turki ke dalam organisasi Kristen,
dikhawatirkan akan merusak struktur yang telah tertata dengan baik.
Kedua, faktor politik dan keamanan ; konflik segitiga yang melibatkan Turki, Yunani
dan Cyprus Yunani menjadi masalah pelik yang tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Konflik
bermula dari pertentangan antara etnis Cyprus Yunani yang berdiam di bagian selatan dan
bertindak sebagai mayoritas penduduk dengan Cyprus Turki yang berdiam di bagian utara.
Keberadaan Cyprus sebagai sebuah negara merdekapun tidak mendapat pengakuan dari Turki
dengan tetap menempatkan militernya di Cyprus Utara diikuti pula dengan pengukuhan
negara Cyprus Utara.
Melihat kompleksitas masalah yang ada, maka akan sulit bagi Turki untuk
menyelesaikan masalah Cyprus dalam waktu dekat dengan memuaskan semua pihak yang
terlibat. Selama masalah Cyprus belum selesai, hal itu akan berpengaruh negatif terhadap
prospek keanggotaan Turki dalam Uni Eropa.
Ketiga, faktor ekonomi ; ekonomi Turki yang jauh berbeda dengan negara-negara Uni
Eropa lainnya dikhawatirkan akan menjadi suatu masalah bagi Uni Eropa dan menjadi beban
di masa yang akan datang. Sebagai negara anggota Uni Eropa (jika Turki diterima) maka
Turki berhak mendapatkan bantuan perekonomian dari negara-negara Uni Eropa melalui
Regional Policy. Pertimbangan untung rugi menjadi faktor yang sangat mempengaruhi
keputusan Uni Eropa menolak keanggotaan Turki.
Keempat, faktor demokrasi ; kondisi demokrasi Turki menjadi sorotan Uni Eropa.
Turki dianggap belum mampu untuk menegakkan demokrasi di negaranya, hal ini ditandai
dengan masih banyaknya pelanggaran HAM yang sering terjadi di negara tersebut. Kekuatan
militer yang sangat dominan terhadap sipil di Turki dan metode militerisme yang kerap
digunakan untuk menangani berbagai masalah yang terjadi di negara tersebut menjadi tolak
ukur lemahnya demokrasi di Turki. Hal tersebut tampak pada cara-cara penanganan
pemerintah Turki terhadap pemberontakan Suku Kurdi di Turki Tenggara yang oleh Uni
Eropa dianggap kurang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Kelima, faktor sistem politik dasar ; antara Turki dengan negara-negara yang
tergabung di dalam Uni Eropa memiliki perbedaan karakteristik menyangkut sistem politik
dasar sehingga tujuan dari Uni Eropa berupa terwujudnya integrasi politik bila Turki masuk
menjadi anggota tidak mungkin bisa dicapai.
Dari keadaan tersebut, nampaknya bisa ditarik benang merah bahwa sejak berdirinya
Negara Republik Turki, Kemal Attaturk yang pada saat itu menjadi Presiden pertama Turki
memutuskan untuk berkiblat pada Barat khususnya masyarakat Eropa dan bergabung dengan
NATO dengan bantuan Amerika Serikat yang mempunyai kepentingan terhadap Turki.
Keputusan ini didukung oleh letak geografis Turki yang sangat strategis di mana pada saat itu
terdapat dua Blok (Barat dan Timur) yang sama-sama menginginkan Turki bergabung
bersama mereka.
Keinginan Turki untuk disejajarkan dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya dengan
bergabung menjadi anggota tetap Uni Eropa memang mendapat suatu kesulitan, bahkan hal
ini diperparah setelah Perang Dingin berakhir di mana fungsi dan posisi politik Turki bagi
bangsa-bangsa Eropa anggota NATO sudah tidak lagi terlalu penting. Bubar dan berakhirnya
Pakta Warsawa sebagai akibat kekalahan pihak Soviet telah memandai bahwa fungsi utama
Turki sebagai ujung tombak NATO telah berakhir pula.
Namun ada gambaran timpang yang perlu diulas bahwa walaupun lamaran
keanggotaan Turki sebagai anggotan tetap Uni Eropa telah dimentahkan secara terang-
terangan terutama oleh Jerman dan Perancis, namun Uni Eropa tetap saja membuka kran
perundingan yang membahas bakal calon anggota tetap Turki. Dalam hal ini ternyata bekerja
motif ekonomi, politik dan geografis yang dimiliki Turki dan tidak bisa dikesampingkan serta
menjadi daya tarik bagi Uni Eropa untuk tetap menjalin hubungan sehingga mereka
melakukan pembiaran yang cukup lama terhadap hasil perundingan bahkan pernah meminta
Turki menjadi Mitra Istimewa Uni Eropa saja. Tentu saja Turki menolak tawaran itu karena
apa yang mereka lakukan selama ini yakni dengan melakukan reformasi besar-besaran demi
tercapainya kriteria anggota tetap Uni Eropa adalah dengan tujuan pensejajaran diri dengan
negara-negara Eropa lainnya. Dari keadaan itu akan memberikan dampak ekonomis berupa
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bertolak dari berbagai faktor yang menghambat laju Turki sebagai anggota tetap Uni
Eropa memperlihatkan adanya diskriminasi negara-negara Eropa terhadap Turki bila
dibandingkan negara-negara lainnya. Di bidang ekonomi misalnya keadaan ekonomi Turki
ketika mengajukan lamaran tidak jauh berbeda dengan keadaan ekonomi yang diperlihatkan
oleh Yunani dan Portugal ketika mengajukan lamaran serupa. Sedangkan di bidang HAM,
keadaan HAM yang menyedihkan bukan saja terjadi di Turki, tetapi juga terjadi pada
Irlandia. Namun akhirnya Irlandia sendiri lolos seleksi sebagai anggota Uni Eropa di tahun
1973 (http//www.kompas.com/2010/03/31/turki-minta-bantuan-jerman).
Dengan keadaan itu, Turki masih saja tetap bertahan dengan pendirian untuk terus
mengadakan perubahan dan mereformasi negaranya agar dapat diterima sebagai anggota Uni
Eropa berlandaskan atas alasan-alasan ekonomi walaupun mendapat berbagai halangan
karena dengan masuknya turki yang memiliki polulasi penduduk yang tinggi akan
mempangruhi arah kebijakan Uni eropa yang menggunakan system polling antarnegara
berbasis populasi, di mana populasi (http://www.mail-
archive.com/ppiindia@yahoogroups.com/msg30235.html).

2.6 Kedudukan Uni Eropa Dalam Subyek Hukum Internasional


Proses unifikasi Eropa berjalan dengan referendum yang diadakan di Perancis,
Belanda dan lain-lain mengenai dokumen yang disebut sebagai konstitusi Eropa. Konstitusi
merupakan ciri utama sebuah negara. Namun konstitusi Eropa memiliki perbedaan karena ia
harus dipahami sebagai konstitusi dari sebuah kesepakatan yang membentuk Uni Eropa. Agar
konstitusi Eropa bisa diberlakukan, maka dibutuhkan persetujuan dari negara anggota
(unanimous approve) sehingga dirasakan ada pengaruh dari hukum internasional di mana
negara yang menjadi penentu. Satu saja ada suara sumbang, maka konstitusi tidak bisa
diberlakukan.
Selain memiliki konstitusi, Uni Eropa juga membentuk Parlemen Eropa yag dipilih
secara langsung oleh rakyat negara anggota. Sebagai kontrol terhadap hukum agar berjalan
sesuai dengan aturan, maka dibentuklah Pengadilan Eropa. Selain dengan adanya konstitusi,
parlemen dan pengadilan, di dalam Uni Eropa juga terdapat lembaga hukum lain seperti
Dewan Uni Eropa dan Komisi Eropa. Tiap institusi di dalam tubuh Uni Eropa memiliki
presiden tersendiri serta bertanggung jawab terhadap lembaganya.
Dalam dinamikanya, nampaknya Uni Eropa sangat berhasrat membentuk The United
States Of Europe. Sejak berubah nama dari Masyarakat Ekonomi Eropa menjadi Uni Eropa,
wadah ini memberikan daya tarik bagi negara-negara lainnya.
Tercatat bahwa rancangan besar bagi masa depan Eropa yang dituangkan dalam
Konstitusi Uni Eropa, ternyata tidak memperoleh tanggapan positif dari rakyat. Melalui
referendum yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 2005, rakyat Perancis dan, tiga hari
kemudian, rakyat Belanda secara jelas menunjukkan penolakkan mereka terhadap rancangan
tersebut. Secara prinsip penolakan rakyat Perancis dan Belanda merupakan akhir dari
Konstitusi Eropa, karena Konstitusi Eropa hanya akan berlaku jika semua negara anggota Uni
Eropa yang saat itu terdiri dari 25 negara menyetujuinya.
Penolakan rakyat Perancis dan Belanda terhadap Konstitusi Eropa merupakan
pukulan berat bagi para pendukung integrasi Eropa. Sekalipun berbagai jajak pendapat
sebelum referendum cenderung menunjukkan indikasi ke arah tersebut, para pendukung
integrasi Eropa nampak sangat tidak siap menerima kenyataan bahwa sebagian besar rakyat
Perancis dan Belanda, dua dari enam negara penggagas integrasi Eropa tidak menginginkan
integrasi Eropa lebih jauh.
Para pendukung integrasi Eropa cenderung melihat hasil referendum di kedua negara
sebenarnya bukan mencerminan penolakan rakyat kedua negara terhadap Konstitusi Eropa,
melainkan merupakan protes terhadap politik atau elit politik nasional mereka masing-
masing. Sekalipun referendum Konstitusi Uni Eropa yang sebenarnya dimaksudkan untuk
membuat keputusan yang menyangkut masalah bersama Eropa, keputusan yang diambil oleh
rakyat kedua negara ternyata sepenuhnya didominasi oleh logika politik nasional. Rakyat
Perancis menggunakan referendum Konstitusi Eropa untuk melampiaskan ketidaksenangan
mereka terhadap pemerintahan Chirac dan para elit politiknya, sedangkan rakyat Belanda
menggunakan referendum untuk menunjukkan kekecewaan mereka terhadap perkembangan
politik nasional yang ditandai dengan menurunnya kesejahteraan dan rasa ketidakamanan
secara drastis.
Beranjak dari keadaan tersebut, kedudukan Uni Eropa sebagai subyek hukum
internasional apakah merupakan negara ataupun sebatas organisasi perlu dianalisis lebih jauh.
Uni Eropa untuk bisa dikategorikan sebagai subyek hukum internasional, negara sebagai
pribadi hukum internasional harus memiliki kualifikasi. Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933
menyatakan sebagai berikut :
The state as a person of international law sould posses the following qualification
a. A permanent population (adanya masyarakat)
b. A defined territory (adanya daerah/wilayah)
c. Government (adanya pemerintahan)
d. Capacity to enter into relations with other states (kemampuan untuk melakukan kerjasama
dengan negara lain).
Keempat kualifikasi tersebut nampaknya melekat pada Uni Eropa sebagai sebuah
organisasi sehingga seolah Uni Eropa dianggap sebagai sebuah negara. Di lain pihak, untuk
bisa dikategorikan sebagai subyek hukum internasional, organisasi internasional harus
memiliki kriteria kepribadian internasional. Salah satu pendapat yang patut dikemukakan
berkenaan dengan kepribadian internasional dari suatu organisasi internasional adalah
pendapat yang dikemukakan oleh Ian Brownile :
The criteria of legal personality in organization may be summarized as follwow :
a. A permanent association of states, with lawful object, equipped with organs (merupakan
persekutuan antara negara-negara secara permanen dengan tujuan yang sesuai atau tidak
bertentangan dengan hukum dan dilengkapi organ-organ lainnya).
b. A distinction,in terms legal powers and purposes, between the organization and its member
state (adanya suatu pembedaan dalam kekuasaan hukum dan maksud-maksud serta tujuan
dari organisasi internasional atau pada satu pihak dengan negara-negara anggota pada lain
pihak).
c. The existence of legal power exercisable on the international plane and not sololy within the
system of one of more state (adanya suatu kekuasaan hukum yang dapat dilaksanakan
organisasi internasional, tidak saja dalam hubungannya dengan sistem hukum nasional dari
suatu negara tetapi juga dalam level internasional).
Dengan berpatokan pada kriteria mengenai kepribadian hukum dan organisasi
internasional, maka dapat diketahui bahwa kedudukan Uni Eropa dalam subyek hukum
internasional adalah sebagai suatu organisasi internasional yang selangkah lebih maju.
Maksudnya ada unsur-unsur pembentuk negara yang melekat pada Uni Eropa, namu tujuan
dan fungsinya sebatas integrasi ekonomi dan politik, bukan membentuk unifikasi-unifikasi
baru yang berujung pada pemunculan The United States of Europe.

2.7 Peranan Uni Eropa Dalam Bidang Ekonomi Regional dan Internasional
Peranan Uni Eropa dalam Bidang ekonomi tidak perlu disangsikan lagi. Hal tersebut
beranjak dari masuknya negara-negara Eropa yang merepresentasikan simbol-simbol
kemapanan ekonomi seperti Jerman, Perancis dan Inggris di dalamnya. Salah satu bentuk
keseriusan Uni Eropa untuk membentuk wadah integrasi ekonomi yang independen dan
mematahkan supremasi ekonomi negara adi daya seperti Amerika Serikat terutama di ranah
Eropa sebelum melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi ke luar Eropa.
Pada awal tahun 1987, 12 negara anggota Uni Eropa membuat pasar tunggal untuk
barang, jasa, dan modal, yang baru dapat diselesaikan tahun 1992 dengan menghasilkan 282
peraturan sehubungan dengan pasar tunggal Eropa. Sekarang, berdasarkan survei oleh
Boddewyn and Grosse ditemukan adanya pertumbuhan standarisasi pemasaran yang
dilakukan oleh perusahaan USA di Uni Eropa menyangkut perbedaan antara negara Uni
Eropa baik di bidang selera, kebiasaaan, peraturan pemerataan untuk barang konsumsi dan
barang industri. Temuan ini mendorong Uni Eropa membuat harmonisasi dalam segala
bidang. Terakhir yang dilakukan adalah pembentukan Economic and Monetary Union (EMU)
termasuk pembentukan European Central Bank dan mata uang tunggal Eropa (EURO) di
tahun 1999 dan berlaku per Januari 2002.
Uni Eropa menginginkan negara yang merdeka dalam suatu negara seperti negara
Federasi dengan derajat yang berbeda. Penyatuan mata uang Eropa menjadi Euro pada masa
itu diikuti oleh 12 negara kecuali Inggris (United Kingdom), Swedia dan Finlandia. Ke-12
negara yang menyatukan uangnya menjadi Euro disebut Euro Zone.
Adapun yang menjadi syarat negara-negara anggota bergabung dengan Zone Euro
- Tingkat inflasi tidak lebih dari 1,5% di atas tingkat inflasi dari anggota lain yang memiliki
inflasi paling rendah
- Tingkat suku bunga jangka panjang dari obligasi pemerintah tidak lebih dari 2%.
- Masing-masing negara harus menjaga nilai tukar mata uangnya tidak melebihi margin (band)
yang ditetapkan sistem moneter Eropa.
- Defisit anggaran pemerintah tidak melebihi 3% dari GDP.
- Posisi hutang luar negeri pemerintah tidak melebihi 60% dari GD.
Sedangkan yang menjadi kebijakan perdagangan Uni Eropa meliputi :
a. Internal Market
- Pelarangan creosote-treated wood
- Ecolabel
- Larangan pada Penggunaan Produk yang tidak Berwawasan
- Lingkungan
- Food Label & Food Safety
- White paper On chemicals
b. Perdagangan Internasional
- Tarif
- GSP
- Dumping dan subsidi
- Tekstil
- Small and Medium Enterprises di UE (UKM).
- Peran Aktif Perdagangan Uni Eropa
Uni Eropa kini dianggap sebagai salah satu mitra dagang yang terkemuka dan paling
terbuka di antara semua mitra dagang di dunia. Uni Eropa juga merupakan pasar tunggal
terbesar di dunia. Secara bersama-sama, ke-27 Negara Anggota Uni Eropa mewakili hanya
7% dari jumlah penduduk dunia, namun mereka mewakili hampir 20% dari impor dan ekspor
dunia. Seperangkat peraturan perdagangan, cukai, dan prosedur administrasi berlaku bagi
seluruh kawasan Uni Eropa, yang mempermudah akses para eksportir negara-negara yang
sedang berkembang ke Uni Eropa. Ke-27 Negara Anggota Uni Eropa juga merundingkan
perjanjian-perjanjian perdagangan sebagai sebuah blok, melalui Komisi Eropa.
Mata uang tunggal Eropa, euro (), akan membantu pasar tunggal mencapai
potensinya secara penuh. Enambelas dari 27 Negara Anggota Uni Eropa saat ini telah
menggunakan euro, sehingga menghilangkan ketidakpastian yang terkait dengan
ketidakstabilan nilai tukar. Efek penciptaan perdagangan (trade creation) dihasilkan oleh
dampak positif terhadap pertumbuhan Euro yang ekonomis, yang juga menguntungkan
Indonesia sebagai suatu peluang untuk memperluas pinjaman luar negerinya.
Tujuan strategis Uni Eropa adalah untuk membuka pasarnya sendiri yang juga
dilakukan oleh negara-negara lain. Uni Eropa berupaya untuk secara bertahap menghilangkan
hambatan-hambatan terhadap perdagangan, pada laju yang dapat diterima baik oleh Uni
Eropa maupun Negara-negara lain, menyelesaikan perselisihan secara damai, dan membentuk
sebuah badan dengan peraturan yang disepakati secara internasional untuk melindungi dari
diskriminasi, sekaligus meningkatkan transparansi dan pengawasan masyarakat.
Membuka perdagangan merangsang perekonomian secara keseluruhan, dengan
meningkatnya pendapatan negara-negara eksportir, sekaligus memberikan kepada konsumen
pilihan barang atau jasa yang lebih beragam dengan harga yang lebih murah. Uni Eropa
melihat keterbukaan progresif terhadap perdagangan sebagai satu bagian dari strategi
pembangunan yang telah mengangkat ratusan juta orang keluar dari kemiskinan di negara-
negara sedang berkembang, dan dapat melakukan hal yang sama untuk ratusan juta orang
lainnya. Apabila disertai dengan kebijakan-kebijakan pendukung yang tepat dan digunakan
dengan benar, maka kebijakan-kebijakan perdagangan dapat memberikan peluang bagi
peningkatan pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Pembangunan merupakan
suatu prinsip mendasar bagi strategi perdagangan Uni Eropa, yang bertujuan untuk
mendukung integrasi negara-negara sedang berkembang secara bertahap ke dalam ekonomi
dunia dan sistem perdagangan multilateral.
Salah satu alat Uni Eropa yang paling efisien dalam mendukung negara-negara
sedang berkembang untuk melakukan integrasi secara bertahap tersebut adalah apa yang
disebut dengan Generalised System of Preferences (GSP) (preferensi berupa fasilitas
keringanan bea masuk untuk negara-negara yang sedang berkembang), yang memberikan
akses istimewa untuk barang-barang yang diproduksi di negara-negara sedang berkembang.
Akses istimewa ini berkontribusi dalam membuat Uni Eropa menjadi pasar ekspor terbesar
untuk negara-negara sedang berkembang.
Melalui sistem GSP, ekspor Indonesia juga dapat memasuki Uni Eropa dengan bea
masuk yang lebih rendah atau nol atas berbagai produk. Pada tahun 2007, Indonesia
merupakan salah satu penerima manfaat terbesar dari sistem GSP di dunia dengan jumlah
ekspor yang mendapatkan perlakuan istimewa ke Uni Eropa mencapai total 3 miliar.
Cara terbaik untuk memajukan liberalisasi perdagangan yang bermanfaat bagi semua
adalah melalui wadah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang beranggotakan 153
negara. Melalui peran pentingnya dalam perundingan perdagangan internasional, Uni Eropa
adalah pendukung gigih WTO yang memainkan peran kunci dalam perundingan-perundingan
perdagangan internasional dalam usaha menuju perdagangan yang adil dan globalisasi yang
terkontrol dalam putaran perundingan perdagangan multilateral yang disebut dengan Agenda
Pembangunan Doha (Doha Development Agenda/DDA) (http://www.mail-
archive.com/ppiindia@yahoogroups.com/msg30235.html).
Agenda Pembangunan Doha terdiri atas pembukaan pasar lebih lanjut dan pembuatan
peraturan tambahan, yang didasari oleh komitmen untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk mengintegrasikan negara-negara sedang berkembang ke dalam sistem
perdagangan dunia, khususnya dengan memperkuat bantuan untuk membangun kapasitas.
Tujuan utama Putaran Doha adalah untuk menempatkan pembangunan di tengah-tengah
sistem perdagangan dunia dalam satu cara yang akan membantu mereka dalam memerangi
kemiskinan.

2.7.1 Kemitraan Dagang Uni Eropa


Sebagai entitas baru simbol kemapanan ekonomi dan politik, tentu saja Uni Eropa
memerlukan mitra kerja sebagai arena kerja dalam melakukan transaksi ekspor dan impor.
Berbagai bentuk kemitraan perdagangan dibangun atas motif rasionalitas. Beberapa bentuk
kemitraan usaha itu digalang dengan blok atau negara-negara di dunia seperti dengan
Amerika Serikat, Rusia, Cina, Jepang, ASEAN serta beberapa negara di kawasan benua
lainnya.
Hubungan kemitraan antara Uni Eropa dengan Jepang, Cina maupun Amerika Serikat
nampaknya tidak terlalu menemui banyak hambatan, oleh karena itu, pada kesempatan ini
kami memfokuskan kemitraan dagang yang coba digalang oleh Uni Eropa dengan Rusia yang
secara geografis berada pada satu kawasan. Dalam hubungan dagang itu, motif ekonomi
bukan menjadi satu-satunya alasan, namun juga bekerja motif-motif lainnya. Selain itu akan
dibahas pula mengenai poin-poin penting yang menjadi acuan kemitraan Indonesia dengan
Uni Eropa melalui wadah organisasi ASEAN.
Salah satu partner penting Uni Eropa di kawasan Eropa sendiri adalah Rusia. Dalam
menggalang kerjasama Uni Eropa dan Rusia telah disepakati Partnership and Cooperation
Agreement (PCA) dalam pertemuan tingkat Tinggi di Den Haag tanggal 25 November 2004.
Adapun yang menjadi poin penting dari kesepakatan tersebut adalah :
- Kesepakatan dalam bidang ekonomi (Common Economic Space) mencakup perdagangan,
investasi, kerjasama industri dan kebijakan perusahaan.
- Dalam bidang yang kedua disepakati untuk memperkuat kerjasama dalam bidang keadilan
dan masalah dalam negeri untuk mengantisipasi ancaman bersama kejahatan terorganisir,
terorisme dan masalah ilegal lain yang menyeberangi perbatasan. Akan tetapi Uni Eropa
menegaskan dalam pelaksanaan agar mengutamakan nilai-nilai bersama yaitu demokrasi, hak
azasi manusia(HAM) dan penegakan hukum.
- Dalam bidang ketiga, bermaksud untuk mengintensifkan kerjasama pada isu keamanan dan
krisis menejemen.
- Bidang keempat, dirancang untuk memperkuat hubungan antar penduduk yang diharapkan
dapat memberikan sumbangan dalam meningkatkan persaingan ekonomi Uni Eropa dan
Rusia
Kerjasama antara Uni Eropa dan Rusia menggunakan dua pendekatan berbeda jadi
melalui interaksi Uni Eropa secara keseluruhan dan interaksi Rusia dengan anggota negara-
negara Uni Eropa secara bilateral.
Uni Eropa sebagai sebuah bentuk kawasan ekonomi yang dianggap paling mapan
sebenarnya masih sangat membutuhkan Rusia untuk bergabung, mengingat sumber-sumber
daya alam dan sumber-sumber ekonomi Rusia yang sangat besar, namun salah satu kesulitan
Uni Eropa adalah belum seimbangnya kemapanan integrasi ekonomi dengan kemapanan
keamanan di Eropa. Jika dalam satu sisi Eropa mencoba mandiri secara ekonomi yaitu
dengan cara membuat mata uang tunggal (Euro) dan pasar bersama (common market) yang
salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi pengaruh Amerika dalam kawasan Eropa . Di
sisi lain dalam masalah-masalah keamanan mereka justru masih sangat tergantung dengan
Amerika Serikat. Selama Amerika masih bisa bermain dominan dalam kawasan Eropa maka
akan sangat sulit Uni Eropa untuk mengajak Rusia bergabung kedalamnya
Anggota Uni Eropa sudah hampir menarik seluruh eks negara Eropa Tengah dan
Timur yang pada masa Perang Dingin negara tersebut adalah sekutu Uni Soviet. Dengan
semakin kuatnya Uni Eropa telah menjadi daya tarik bagi negara sekitarnya untuk menjadi
anggota. Uni Eropa harus menjalani seleksi yang ketat, setiap calon harus melaksanakan
kebebasan, keamanan, keadilan dan setelah menjadi negara anggota Uni Eropa masih
diberlakukan suatu ketentuan tentang pelaksanaan hak asasi manusia, transparansi dan
pemerintahan yang
baik.
Selain dengan Rusia, Uni Eropa juga melakukan hubungan kemitraan dengan
Indonesia. Hingga saat ini Uni Eropa merupakan mitra dagang nomor satu Indonesia. Selain
tujuan utama ekspor Indonesia, nilai ekspor Indonesia juga telah mencapai satu milyar Euro.
Selain mengekspor ke Uni Eropa sebagai timbal balik Uni Eropa juga sebagai negara donor
terbesar bagi Indonesia dalam upaya pengembangan/mengembangkan perusahaan-perusahaan
yang ada di Indonesia.
Peran ASEAN pun sangat menentukan dalam menjalin kerjasama dengan Uni Eropa
karena disadari atau tidak, ASEAN pun kini sedang meniru langkah-langkah Uni Eropa
dalam membangun perekonomian kawasannya.
Di lain pihak, selain mengadaka hubungan dengan negara-negara yang memliki aset
ekonomi yang potensial, Uni Eropa juga telah menandatangani FTA (Free Trade Area)
bilateral dengan beberapa negara berkembang (Southern Common Market) (Khor, 2010 :
194). Free Trade Area sendiri merupakan dimensi pembangunan dan hubungan kemitraan
antara negara maju dengan negara berkembang khususnya yang melibatkan Amerika Serikat,
Jepang Uni Eropa dengan negara-negara berkembang.
Adapun cakupan yang yang menjadi ruang bahasan FTA meliputi akses pasar dalam
barang, jasa, sektor jasa spesisifik, hak kekayaan intelektual (HKI), peraturan tentang isu non
perdagangan (investasi, pembelanjaan pemerintah, kebijakan kompetisi), standar tenaga kerja
dan standar lingkungan dan makanan. Pada perkembangannya kemudian muncul kontradiksi
di mana pengadaan FTA tersebut sesungguhnya akan memberikan dampak negative di
samping dampak positif berupa semakin luasnya akses pasar bagi negara berkembang. Dalam
proses perdagangan bebas, negara-negara berkembang akan memiliki nilai tawar lemah
terhdap penawaran maupun permintaan (Khor, 2010 : 50-53).
Peranan signifikan yang diperlihatkan oleh Uni Eropa dalam kancah ekonomi
tampaknya belumlah lengkap bila tanpa menunjukkan data-data kuantitatif yang
menggambarkan dinamika perekonomiannya. Data-data kuantitatif tersebut dapat dilihat pada
table di bawah ini

Tabel I
Pertumbuhan riil (% per
GDP harga dasar 1990 (milliar US $)
Kawasan tahun)
1991 1991 1994 2001 1993 2000 2010 2015 2025
- - - -
2000 1993 2000 2010
Amerika Utara 2,7 1,6 3,1 2,6 6.889 8.542 11.069 12.601 16.600
USA 2,5 1,7 2,8 2,0 5.808 7.069 8.617 9.513 11.597
Eropa 2,3 0,3 3,2 3,1 6.418 7.997 10.859 12.506 7.462
Uni Eropa 2,3 0,5 3,1 2,2 4.496 5.807 7.912 7.777 9.026
Asia Timur 5,6 5,8 5,5 5,6 5.902 8.596 14.860 19.207 32.924
Asia Timur 7,5 8,6 7,0 6,8 3.693 5.916 11.463 15.457 28.352
(kecuali Jepang)
Cina 8,5 11,5 7,2 7,5 1.743 2.843 5.861 8.220 16.169
ASEAN 6,6 6,2 6,8 6,8 1.121 1.781 3.434 4.592 8.228
Dunia 3,6 2,6 4,0 4,0 22.249 29.342 43.566 52.914 80.596
Sumber : Tommy TB. Koh. The United States and East Asia ; Conlict and Co-operation hal 3
dalam Tilaar, 1997 hal 59.

Grafik I

Sumber : World Bank tahun 2001 dalam Tilaar, 1997: 65


Untuk melihat sampai sejauh mana peranan perdagangan Internasional dalam
menunjang aktivitas ekonomi negara dapat dilihat dari proporsi perdagangan internasional
(ekspor + impor) terhadap GDP (Gross Domestik Bruto). GDP adalah ukuran atas nilai pasar
output berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi baik tanah , tenaga
kerja, dan modal yang dihasilkan dalam suatu negara dalam periode waktu tertentu.
Tinggi rendahnya angka prosentase perdagangan internasional terhadap GDP suatu
negara juga menunjukan tinggi rendahnya tingkat saling ketergantungan negara tersebut
dengan negara lain dalam bidang ekonomi.
Dalam grafik 1 di atas menunjukan bahwa negara-negara yang tergabung ke dalam
Euro zone memiliki prosentase 73,3% dari GDP dibanding Amerika Serikat 23,97% dari
GDP. Hal ini berarti peranan perdagangan Internasional lebih penting dalam membangun
ekonomi negara-negara Uni Eropa dibanding Amerika Serikat sehingga aktivitas ekonomi
negara-negara Uni Eropa tergantung dari aktivitas ekonomi negara-negara lain dibanding
Amerika Serikat dan Jepang.

Tabel II
The big five GDP in the world 2001
Peringkat Negara GDP (Juta Dollar) Proporsi
1 Amerika Serikat 10.171.400 32,5 %
2 Uni Eropa 7.883.467 25,20 %
3 Jepang 4.245.191 13,57 %
4 Cina 1.159.017 3,70 %
5 Kanada 677.178 2,16 %
Dunia 31.283.839 100 %
Sumber : World Bank tahun dalam Tilaar, 1997 hal 62.

Data Bank Dunia di tahun 2001 menunjukan GDP Uni Eropa menduduki peringkat ke
2 dengan 25,2% dari GDP dunia seperti yang tercantum dalam tabel II. Amerika Serikat tetap
menduduki peringkat pertama dengan 32,51% dari GDP dunia, disusul Jepang, China dan
Canada. Peringkat kedua dari GDP dunia akan membawa pengaruh yang cukup besar bagi
perekonomian dunia, artinya perekonomian dunia secara otomatis akan diwarnai oleh
aktivitas ekonomi negara-negara Uni Eropa.
Besar kecilnya GDP yang diperoleh suatu negara menunjukan intensitas aktivitas
ekonomi mereka, Makin tinggi tinggi intensitas aktivitas ekonomi negara tertentu akan
ditunjukan dengan semakin tingginya GDP negara tersebut. Sehingga, secara otomatis akan
memberi peluang bagi negara lain untuk melakukan aktivitas ekonomi dengan negara-negara
ber GDP besar.

2.7.2 Masalah-Masalah Finansial


2.7.2.1 Krisis Negara-Negara Anggota
Diterapkannya sistem pasar bebas dalam kuota perdagangan Uni Eropa memang harus
menyediakan korban jiwa bagi negara-negara anggota yang rentan terhadap dinamika pasar.
Lagi pula penerimaan terhadap anggota baru kala itu terkesan mudah bila melihat prasyarat
yang ada berupa kemapanan ekonomi negara yang bersangkutan dengan kenyataan yang ada.
Misalkan saja diterimanya Portugal, Spanyol dan Yunani menjadi anggota UE. Pada dasarnya
mereka adalah negara-negara yang belum memperlihatkan kemajuan dalam perekonomian,
namun tetap diterima sebagai anggota UE. Konsekuensinya bisa dilihat pada perkembangan
selanjutnya. Ada beberapa negara anggota Uni Eropa yang mengalami krisis finansial
sehingga memerlukan penanganan khusus.
Kasus di beberapa negara anggota Uni Eropa dipicu oleh pelanggaran atas Pakta
Stabilitas. Di antaranya, rasio utang tidak boleh melebihi 60% dari produk domestik bruto
(PDB) dan pinjaman tahunan tidak boleh lebih dari 3% PDB. Semua negara yang bermata
uang Euro harus mematuhi pakta itu. Tetapi, justru itulah yang dilanggar negara-negara
anggota Uni Eropa yang disebut GIPSI (Greek/Yunani, Italia , Portugal , Spanyol dan
Irlandia. Sebab, utangnya sudah jauh di atas level maksimum.
Berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF), pada 2010 rasio utang terhadap
PDB Yunani sebesar 124,9%, Italia 120,1%, Portugal 84,6%, Irlandia 82,9%, dan Spanyol
66,3%. Untuk saat ini, Portugal , merupakan salah satu negara yang paling terdampak
besarnya rasio utang. Resep untuk menghadapinya adalah pengetatan makro ekonomi.
Anggaran negara itu pun harus diciutkan. Tetapi, di lain pihak, pengetatan tersebut justru
menimbulkan masalah pengangguran. Tingginya rasio utang GIPSI menjadi masalah bagi
zona Euro secara keseluruhan karena memiliki mata uang sama yaitu Euro. Apapun tindakan
yang diambil pengutang besar, berpengaruh pada negara-negara Eropa yang lain. Sehingga,
negara dengan rasio utang tinggi tidak mungkin menghindari bailout dari negara dengan rasio
utang rendah http://www.kompas.com/2010/03/04/yunani-menanti-bantuan-uni-eropa.
. Negara Eropa lain yang rasio utangnya rendah, tidak menginginkan mata uangnya
melemah akibat negara-negara tetangganya yang memiliki kadar utang tinggi. Padahal, setiap
krisis utang, bakal menyeret mata uangnya melemah. Faktanya, Jika Euro terus melemah,
kekayaan orang Jerman, Perancis, Belanda dan negara Eropa lainnya juga ikut tergerus. Daya
beli pun melemah dan tingkat konsumsi pun cenderung turun. Pendapatan nasional negara
bersangkutan bakal melemah. Maka, tidak ada jalan lain selain melakukan bailout negara-
negara pengutang besar itu.
Tetapi, bailout pun masih menyisakan dilema. Sebab, bailout diikuti dengan
banyaknya syarat. Salah satunya adalah pemotongan pengeluaran negara. Dalam situasi ini
rakyat biasanya berontak. Subsidi pendidikan, pengangguran, pangan dan Bahan Bakar
Minyak (BBM) akan berkurang yang notabene tidak diinginkan rakyat.
Apalagi orang orang Eropa sudah terbiasa hidup mewah. Tetapi, memang dalam
situasi utang yang membengkak, tidak ada jalan lain selain bailout. Jika utang sudah terlalu
besar, penghematan harus dilakukan. Pilihannya tidak banyak. Pengeluaran dipotong atau
pajaknya dinaikkan di mana rakyat tidak rela.
Dalam ekonomi, tidak ada sesuatu tanpa biaya. Jika pengeluaran besar, pajaknya pun
harus besar. Jika tidak mau pajak besar, utang harus besar. Hanya saja, sebagai anggota Uni
Eropa, tidak boleh utang melebihi syarat-syarat tadi, melampaui 60% PDB.
Alhasil, sesungguhnya Eropa rapuh karena utang negara-negara anggotanya melebih batas
itu (http ://www.kompas.com/2010/04/30/yunani-sepakat-dengan-uni-eropa).

2.8 Peranan Uni Eropa Dalam Bidang Politik Keamanan dan Ketertiban Regional dan
Internasional
Nampaknya, antara politik dan keamanan pertahanan memiliki korelasi yang cukup
erat. Kemapanan pertahanan dan keamanan sebuah negara ataupun organisasi internasional
seperti Uni Eropa berdampak terhadap pengaruh dan kekuatan dari kebijakan politik luar
negeri yang diterapkan. Dalam konteks ini, negara-negara yang Eropa yang tergabung ke
dalam NATO yang di satu sisi merasa terpinggirkan peranannya di dalam menentukan arah
dan kebijakan strategi perang terutama yang menyangkut keamanan dan ketertiban daerah
Balkan dan di sisi lain sudah tidak cocok lagi dengan dominasi Amerika Serikat melakukan
satu bentuk resistensi dengan membentuk Pakta Pertahanan dan Keamanan di kawasan Uni
Eropa.
Seorang Tony Blair, Perdana Menteri Inggris dan Chirac, Presiden Perancis yang
memulai pertemuan dengan agenda membahas rencana pembentukan Pakta Pertahanan dan
Keamanan di Kawasan Eropa yang independen bertempat di St. Malo di tahun 1998.
Pertemuan ini dianggap sebagai tonggak awal berdirinya Common European Security and
Defence Policy (CESDP) yang kemudian berdirilah European Security and Defence Policy
(ESDP) di tahun 1999.
Kami pikir, ESDP merupakan satu langkah maju dan upaya jitu dari Uni Eropa untuk
memutus mata rantai supremasi pertahanan dan keamanan Amerika Serikat yang disimbolkan
dengan NATO terutama dalam kaitan dengan pertahanan dan keamanan di daratan Eropa.
Namun fakta justru berkata lain. Nampaknya ESDP belum bisa melepaskan diri dari
pengaruh NATO. Ada beberapa faktor yang menjadi penghambatnya yaitu :
- Uni Eropa tidak memiliki banyak tenaga militer (inadequate military forces). Meskipun
disebutkan bahwa Uni Eropa memiliki sekitar dua juta warga negara laki-laki dan dua juta
warga negara wanita yang bisa dikerahkan untuk berperang (angka ini dikatakan lebih besar
dari jumlah potensial angkatan AS untuk terjun ke medan perang). Namun, hal ini juga terkait
mengenai permasalahan yang kedua, bahwa Uni Eropa memiliki budget yang terbatas untuk
menyuplai anggaran pertahanan dan keamanannya. AS mungkin menganggarkan dana untuk
urusan Pertahanan dan Keamanan lebih dari 3.5% dari GDP-nya. Atau bahkan, di masa
Perang Irak, AS di bawah pemerintahan George W. Bush menganggarkan dana APBNnya
untuk urusan pertahanan dan keamanan hampir mencapai 50% dari total pemasukan negara.
Angka ini berbeda jauh apabila dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang sebagian
besar menganggarkan dana pertahanan dan keamanannya kurang dari 2% dari GDP mereka
(termasuk Inggris dan Prancis). Keadaan ini juga dianalogikan dalam pengisian bahan bakar
pesawat tempur di mana Uni Eropa (dalam hal ini Inggris dan Prancis) secara bersama-sama
hanya bisa mengisi sekitar 24 tangki bahan bakar. Sedangkan Amerika Serikat mampu
mengisi sekitar 150 tangki bahan bakar pesawat tempur mereka. Angka ini hampir mencapai
perbandingan 1:6. Secara matematis, kekuatan Uni Eropa hanya sekitar 1/6 dari kemampuan
NATO untuk bisa melancarkan kegiatan pertahanan dan keamanannya. Ditambah lagi
perlengkapan militer serta peralatan perang Uni Eropa yang masih dibilang kurang memadai
untuk pertahanan dan keamanan bagi Uni Eropa. Di lain pihak, Uni Eropa juga masih
ketinggalan jauh di bidang intelijen dalam hal penginderaan satelit. Amerika Serikat dengan
NASA-nya dilengkapi dengan perlengkapan astronomikal yang canggih beserta satelit-satelit
yang mereka miliki mampu mendeteksi ancaman musuh ataupun serangan.
- Terjadi konflik intern ; Kadang kala, ESDP juga tidak berada dalam satu kebulatan suara.
Misalnya pada masa Perang Irak. Uni Eropa terpecah antara kubu yang didukung oleh
Inggris, Italia, Spanyol (negara-negara tersebut dikenal sebagai New Europe) serta beberapa
negara Uni Eropa di sekitar wilayah Eropa Timur vis-- vis dengan Prancis dan Jerman serta
didukung oleh sebagian kecil negara Uni Eropa. Inggris mendukung agresi AS di Irak,
sedangkan Jerman dan Prancis menolak hal tersebut. Dalam banyak kasus, ESDP selalu
mendukung operasi yang dilakukan oleh NATO. Oleh karenanya, ESDP belum nampak
seperti aktor keamanan global yang independen dan menentukan arah kebijakan luar
negerinya sendiri tanpa harus mengekor pada setiap kebijakan dan operasi yang dilancarkan
oleh NATO. Konflik intern perebutan pengaruh di dalam tubuh ESDP merupakan masalah
krodit yang menerpa negara-negara Eropa dan hanya bisa dilacak akar konfliknya dari aspek
historis. Konflik Inggris dan Perancis tentu saja tidak bisa lepas dari kemelut Perang Seratus
Tahun, Perang Tujuh Tahun dan Politik Kontinental Napoleon Bonaparte yang kembali
membuka luka lama antara Inggris dan Perancis (Astrid, 2011 : 165). Sedangkan konflik
Jerman dan Perancis memiliki cerita yang sama di mana keduanya saling menginvasi wilayah
masing. Begitu pula konflik Jerman dan Inggris yang dimulai pada Perang Dunia I dan
berlanjut di masa Perang Dunia II di mana Jerman mengalami kegagalan ketika ingin
menginvasi Inggris. Sejauh ini Inggris masih dianggap sebagai pemegang kendali ESDP.
Meskipun pada awalnya pembicaraan mengenai pembentukan sistem pertahanan dan
keamanan Uni Eropa dilakukan oleh Prancis dan Inggris, namun yang paling banyak
mengambil alih kemudi dari ESDP adalah Inggris. Sementara Jerman, yang dulunya
merupakan sebuah kekuatan besar yang disegani pada tahun 1945-an nampaknya saat ini
lebih memilih untuk bersikap pasif.
- Uni Eropa tidak memiliki tradisi power politics ataupun energetic political action. Hal ini
mungkin dapat dilihat dari sejarah awal mula integrasi Uni Eropa di mana negara-negara di
Eropa berkeinginan untuk menciptakan Eropa yang damai. Akibat perang-perang yang sering
berkepanjangan di benua tersebut menyebabkan negara-negara di benua Eropa berupaya
untuk meleburkan diri di dalam sebuah integrasi dan berupaya untuk mengeliminasi konflik
ataupun perang yang berpotensi pecah di kemudian hari. Oleh karena itu pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan neofungsionalis yang menggunakan instrumen ekonomi dan
pasar sebagai langkah awal pembentukannya. Sedangkan upaya-upaya perbincangan yang
mengarah kepada sistem pertahanan dan keamanan tidak pernah mencapai keberhasilan.
Urusan militer serta pertahanan dan keamanan dianggap merupakan hal yang tabu dalam
kesatuan integrasi Uni Eropa. ECSC sendiri pada mulanya merupakan forum yang ditujukan
untuk melucuti potensi militer negara-negara Eropa, yang pada waktu itu merupakan upaya
Prancis untuk mencegah Jerman kembali berkuasa sebagai kekuatan militer di Eropa terkait
dengan tambang batu bara potensial di Ruhr, Jerman yang menjadi perebutan negara-negara
Eropa. Sebenarnya sudah banyak forum yang ditujukan untuk membahas masalah masalah
pertahanan dan keamanan Eropa. Pada tahun 1950, Rene Pleven, Perdana Menteri Prancis
mengusulkan dibentuknya European Defence Community. Namun ditolak oleh negara ECSC
lainnya. Kemudian pada bulan Agustus 1954, negara-negara ECSC kembali mengajukan
sistem pertahanan dan keamanan yang disebut Perjanjian Western European Union (WEU)
namun justru Prancis yang kemudian menolak hal tersebut. Demikian seterusnya, hingga
akhirnya permasalahan mengenai sistem militer ataupun pertahanan dan keamanan bagi Uni
Eropa dianggap sebagai hal yang tabu. Barulah kemudian di tahun 1998 melalui pertemuan
St. Malo di Prancis, Inggris di bawah Tony Blair dan Prancis dengan Presiden Chirac mulai
membicarakan kembali mengenai upaya sistem pertahanan dan keamanan Uni Eropa melalui
pembentukan ESDP.
Berkiblat pada apa yang menjadi kelemahan dari ESDP, dalam proyek kerjasamanya
dengan NATO terdapat slogan penting yakni no 3-D, no decoupling, no duplication, no
discrimination. Sehingga dalam mengamati hubungan antara NATO dengan ESDP muncul
sebuah permasalahan baru bahwa ESDP dan NATO merupakan satu kesatuan angkatan
bersenjata, ataukah terdapat pembagian kerja (division of labour) dalam hubungan ESDP
dengan NATO dalam sistem operasi militer. Mengingat kebanyakan upaya perdamaian yang
dilakukan ESDP mengurusi permasalahan yang bersifat civillian (conflict prevention and
crisis management, humanitarian and evacuation missions, dan lain sebagainya).
Kekurangan ESDP dalam hal kapabilitas di segala aspek bidang pertahanan dan
keamanan membuat kredibilitasnya juga turut dipertanyakan. Apalagi dalam isu untuk
menjadi aktor keamanan global.
Sejauh ini, ESDP atau Uni Eropa nampaknya belum mampu menentukan posisi
berdirinya (stand position) sendiri. ESDP belum mampu berdiri secara independen untuk
menentukan arah kebijakan luar negeri serta pertahanan dan keamanan Uni Eropa. Seperti
status ESDP sendiri yang termasuk dalam komponen Common Foreign and Security Policy
(CFSP) Uni Eropa. Selama ini ESDP masih merupakan modal (aset) bagi Amerika Serikat
untuk melancarkan kepentingannya.
Dalam studi hubungan internasional adalah sangat urgen bagi sebuah entitas politik,
khususnya negara untuk memiliki sistem pertahanan dan keamanan. Di samping itu kualitas
angkatan bersenjata yang dimiliki juga menjadi kuat atau tidaknya sistem pertahanan dan
keamanan suatu negara. Hal ini dapat dilihat dari keahlian dan keterampilan angkatan
bersenjata yang dimiliki, anggaran pertahanan dan keamanan yang dialokasikan, sistem dan
teknologi yang digunakan, bahkan masalah strategi dan intelijen. Kualitas dan kapabilitas
suatu sistem pertahanan dan keamanan tersebut juga bisa menyangkut permasalahan politik.
Kesatuan pertahanan dan keamanan ESDP kadang kala dianggap toothless (ompong).
Dari analisis di atas, kami beranggapan bahwa kemapanan pertahanan dan keamanan
sebuah kawasan ikut menentukan pula sejauh mana pengaruh dari arah kebijakan politik yang
dilakukan. Jika cara-cara politik dengan diplomasi tidak mampu memberikan pengaruh yang
signifikan bagi perubahan, maka komponen perang di mana militer sebagai instrumennya
bisa dijadikan kekuatan represif terhadap musuh atau lawan politik.
Hal tersebut nampaknya juga berlaku dari berbagai isu politik yang coba diulas oleh
Uni Eropa dalam kancah Internasional. Dari kacamata politik, Uni Eropa sebenarnya telah
berperan besar dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan internasional yang
memiliki dimensi politik. Seperti pada konflik Palestina dengan Israel. Dalam konteks ini Uni
Eropa ikut mengecam dan mengutuk agresi militer yang dilakukan oleh Israel di Jalur Gaza,
apalagi ketika terjadi penyerangan oleh tentara Israel terhadap kapal-kapal bantuan
kemanusian Uni Eropa untuk penduduk Palestina
(http://www.Konspirasi.com/2010/06/15/uni-eropa-kutuk-israel) ; konflik Libya : negara-
negara Eropa menyuarakan kebulatan untuk mengecam agresifitas khadafi terhadap
warganya dan telah melakukan elanggaran HMA berat sehingga memintanya untuk segera
lengser, Konflik Mesir : Para pemimpin 27 negara Uni Eropa menuntut agar transisi menuju
demokrasi di Mesir dimulai aman dan tertib. Mereka juga mengecam kekerasan yang terjadi
di Mesir (http//www.Kompas.com/2011/02/05/pemimpin-uni-eropa-harap-transisi-mesir).
Namun sudah dikatakan sebelumnya, bahwa penyelesaian isu-isu yang berdimensi
politik dan berskala luas tersebut hanya bersifat wacana. Uni Eropa tidak mempunyai power
berupa kemapanan pertahanan dan masih mengekor pada Amerika Serikat dengan instrument
NATO.

2.9 Prospek Uni Eropa Dalam Kancah Ekonomi dan Politik Pertahanan
Berbicara masalah prospek Uni Eropa ke depan tentu saja tidak hanya memakai satu
sudut pandang, namun berbagai sudut pandang sehingga memberikan gambaran yang
menyeluruh dari segala aspek yang dikaji. Dari sisi ekonomi, Uni Eropa merupakan wadah
yang potensial dan memiliki daya tarik tersendiri baik di negara-negara yang terletak di
kawasan Eropa untuk ikut serta bergabung ataupun negara atau blok yang terletak di kawasan
lain untuk sekedar menjalin hubungan dagang. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari daya tarik
dari keberadaan negara-negara anggota yang merupakan lambang supremasi ekonomi Eropa
seperti Inggris, Perancis dan Jerman.
Potensi ekonomi yang coba dibangun itu ternyata juga mampu menarik minat dari
negara-negara Eropa Tengah dan Timur pecahan Uni Soviet untuk turut serta bergabung.
Namun karena terkendala pada masalah persyaratan, penggabungan itu masih dalam proses
dan akan bisa terealisasi jika telah mampu memenuhi kriteria yang dibebankan. Dari keadaan
tersebut nampaknya Rusia sebagai negara ikon di kawasan Eropa Timur merasa tersingkirkan
jika semua negara di kawasan Eropa Timur dan Tengah menjadi anggota Uni Eropa. Tidak
termasuknya Rusia ke dalam organisasi Uni Eropa dengan berbagai bentuk penolakan berupa
belum mapannya pertahanan dan keamanan yang diperlihatkan Uni Eropa karena masih
bergantung dengan NATO walaupun telah membentuk ESDP juga menjadi kendala karena di
satu sisi Uni Eropa membutuhkan Rusia sebagai mitra kerja.
Terlepas dari permasalahan ekonomi yang memberikan potensi menggiurkan,
berbagai bentuk ketimpangan pun terjadi. Belum seimbangnya independensi ekonomi dengan
kinerja politik dan kemanan menjadi satu catatan serius yang harus dibenahi ke depannya.
Munculnya ESDP kami pikir merupakan satu terobosan baru yang coba diperlihatkan negara-
negara Eropa untuk segera keluar dari kebesaran nama Amerika Serikat dengan instrument
militer berupa NATO. Terbentuknya ESDP adalah satu langkah maju dari negara-negara
Eropa untuk segera keluar dari kemelut intern yang sesungguhnya menjadi bomerang ratusan
tahun lamanya bagi kemajuan bersama di mana masalah keamanan dan pertahanan dianggap
tabu untuk dibicarakan.
Namun melihat dinamika dunia yang begitu cepat terjadi, keberadaan pakta
pertahanan dan keamanan merupakan masalah yang urgen untuk segera direalisasikan. Oleh
karenanya, ESDP harus mulai membangun asetnya sendiri. Di samping itu upaya yang sangat
diperlukan oleh ESDP tidak hanya semata-mata Rapid Reaction Force (RRF) tetapi juga
Rapid Reaction Decision. Untuk itulah ESDP perlu memperkuat aspek-aspek sipilnya
terlebih dahulu, misalnya dalam hal upaya perencanaan dan misi strategis ataupun strategi-
strategi tempur dan strategi pertahanan dan keamanan. Kemudian berupaya untuk
membangun modal-modal militernya untuk bisa tampil lebih meyakinkan sebagai aktor
keamanan global. Selain itu kebulatan pandangan dan pemikiran serta suara antarnegara
anggota Uni Eropa yang terlibat dalam ESDP tidak boleh terpecah lagi dan harus menemukan
kabulatan suaranya untuk berdiri pada stand posisinya sendiri dan tidak terpengaruh dengan
kekuatan ataupun kepentingan suatu entitas politik lainnya, yang mungkin justru
mengganggu kedaulatan Uni Eropa. Jika hal ini bisa dilakoni oleh ESDP, kami pikir ke
depannya ESDP akan mampu tidak hanya mampu berkembang sebagai penyeimbang
hegemoni militer Amerika Serikat, namun bisa lebih dari itu.
Bila aspek-aspek pertahanan dan keamanan telah terpenuhi sebagai unsur yang
memberikan kekuatan bagi arah kebijakan politik, di masa yang akan dating, suara Uni Eropa
bukan lagi dianggap sumbang atau sebelah mata, bahkan mampu menjadi suara yang
berpengaruh beranjak dari kemapanan pertahanan yang diperlihatkan sebelumnya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab pembahasan tersebut maka dapatlah disimpulkan
beberapa poin mengenai Uni Eropa yakni :
1. Uni Eropa merupakan organisasi supranasional yang terbentuk atas dasar pengalaman sejarah
bangsa Eropa yang porak poranda akibat berbagai perang besar berdimensi luas seperti
Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang dilanjutkan dengan Perang Dingin. Pembentukan
awal dilakukan dengan cara-cara pengintegrasian kekuatan ekonomi negara-negara Eropa.
Dengan semakin berdinamikanya kehidupan, makin merubah paradigma orientasi Uni Eropa
yang semula fokus pada perekonomian namun juga kerap membahas isu-isu politik
pertahanan dan keamanan dunia.
2. Uni Eropa dalam posisinya sebagai subyek hukum internasional merupakan organisasi
internasional yang selangkah lebih maju, maksudnya ada beberapa kriteria negara yang
melekat di dalam organisasi ini seperti adanya konstitusi, lembaga hukum, wilayah,
pemerintahan hingga masyarakat yang menjadi unsur utama pembentuk negara.
3. Dalam kancah perekonomian regional maupun internasional, Uni Eropa merupakan satu
kekuatan baru yang merepresentasikan kemandirian negara-negara Eropa. Dinamikanya ke
arah kemajuan tidak bisa dianggap sebelah mata bila berpijak pada fakta empiris berupa
makin melesatnya GDP Uni Eropa dan bahkan menempati urutan kedua setelah AS. Ini
menunjukkan bahwa Uni Eropa sebagai kekuatan ekonomi mempunyai pemgaruh yang kuat
serta memiliki mitra usaha yang luas baik dengan blok maupun negara negara di kawasan
lainnya. Bukan hanya itu, keikutsertaannya di dalam FTA (Free Trade Area), turut
memberikan warna bagi kebijakan perekonomian dunia antara negara-negara maju selain
Jepang dan Amerika Serikat dengan negara-negara berkembang.
4. Peran Uni Eropa di kancah politik dan pertahanan dunia masih perlu melakukan
pembenahan. Pembentukan ESDP yang dianggap sebagai simbol kemapanan politik
pertahanan Eropa atas Amerika Serikat dengan instrument militernya berupa NATO terkesan
prematur. Hal ini beranjak dari kenyataan bahwa ESDP sendiri masih mengekor pada NATO
dan sering kalah pamor dalam menentukan kebijakan dan bahkan menyangkut keamanan
negara-negara Balkan sekalipun yang dianggap sebagai halaman belakang Eropa. Dalam
urusan kebijakan di daerah Timur Tengah pun, Uni Eropa masih belum mampu
memperlihatkan supremasinya dan terkesan berlindung di balik kekuatan Amerika sehingga
segala kebijakan politiknya mengenai isu-isu politik di daerah-daerah konflik mampu disetir
searah dengan kepentingan Amerika Serikat. Namun keberadaan ESDp bisa dianggap satu
langkah maju menuju kemandirian Eropa secara keseluruhan.
5. Ketika kekuatan militer dari Uni Eropa sebagai instrumen untuk menjaga keamanan dan
ketertiban tidak mampu berbicara banyak dan sering mengekor pada kekuatan Amerika
Serikat, maka secara otomatis akan mempengaruhi kebijakan yang menyangkut isu-isu
politik dunia.
6. Secara umum, prospek cerah nampaknya sudah diperlihatkan oleh Uni Eropa sebagai suatu
organisasi multinasional yang selangkah lebih maju. Di bidang ekonomi, perannya tidak
disangsikan lagi. Sehingga banyak negara maupun blok di kawasan lain yang tertarik
mengadakan hubungan kerjasama berasaskan atas dasar rasionalitas. Sedangkan di bidang
pertahanan, pembentukan ESDP merupakan satu langkah awal untuk berbenah diri,
merecovery kejayaan Eropa di masa lalu serta sebagai ajang perimbangan kekuatan untuk
mematahkan hegemoni Amerika Serikat yang telah lama bermain dan kerap menggunakan
Uni Eropa yang nota bene sering mengekor sebagai wahana penanaman pengaruh di daerah
konflik dan pendukung segala kebijakan yang dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai