Anda di halaman 1dari 29

1.

Hakikat Norma, Kebiasaan, Adat Istiadat dan Peraturan yang berlaku dalam
Masyarakat
1. Pengertian Norma
Menurut kamus besar bahasa Indonesia mempunyai dua arti:
a) Aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat dan
dapat digunakan sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang
sesuai, dan diterima oleh masyarakat.
b) Aturan, ukuran, atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau
membandingkan sesuatu.
Dari dua pengertian di atas dapat disimpilkan bahwa:
Norma adalah kaidah atau pedoman dalam mewujudkan suatu nilai. Kaidah atau
pedoman tersebut biasanya berwujud perintah atau larangan.
2. Tujuan Norma
Dengan adanya norma manusia akan mandapatkan jaminan perlindungan atas
dirinya dan kepentingan dalam berhubungan dengan sesamanya di masyarakat.
Dengan demikian, akan terjalin hubungan yang harmonis dalam masyarakat.
Dengan adanya jaminan perlindungan terhadap diri dan kepentingan dalam hidup
masyarakat dapat terbentuk. Keserasian hubungan diantara warga masyarakat
dapat menciptakan keamanan dan ketertiban. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa tujuan norma adalah untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam
hidup masyarakat.
3. Fungsi Norma
Norma berfungsi untuk mewujudkan keteraturan dan ketertiban dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Macam-macam norma
Ada empat macam norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara:
A. Norma Agama
Norma agama adalah serangkaian peraturan hidup yang berisi perintah, larangan,
dan ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan.
Tujuan norma agama adalah agar ilmu yang diberikan Tuhan, manusia dapat
mewujudkan tatanan kehidupan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta
dapat mewujudkan keimanannya dalam kehidupan sehari-hari. Contoh-contoh
norma agama:
1. Beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan
2. Beramal saleh dan berbuat kebijakan
3. Mencegah, melarang, dan tidak melakukan perbuatan maksiat, keji, dan mungkar.
Contoh perbuatan maksiat, keji, dan mungkar ialah: berjudi, mabuk-mabukan,
durhaka, berkhianat, menipu, berbohong, dan sebagainya.
4. Pelanggar norma agama mendapatkan sanksi secara langsung, artinya
pelanggarnya baru akan menerima sanksinya nanti diakhirat berupa siksaan di
neraka.
B. Norma Kesusilaan
Adalah aturan yang bersumber dari hati nurani manusia tentang baik buruknya suatu
perbuatan. Contoh norma-norma susila ialah:
1. Berlaku jujur
2. Bertindak adil
3. Menghargai orang lain
Sanksi bagi norma pelanggar norma kesusilaan tidak tegas, karena hanya diri
sendiri yang merasakannya, yakni merasa bersalah, menyesal, malu, dan
sebagainya.
C. Norma Kesopanan
Adalah peraturan yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok manusia didalam
masyarakat dan dianggap sebagai tuntutan pergaulan sehari-hari masyarakat itu.
Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma
kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan atau waktu. Contoh-contoh
norma kesopanan ialah:
1. Menghormati orang yang lebih tua
2. Menerima sesuatu selalu dengan tangan kanan
3. Tidak berkata-kata kotor, kasar dan sombong
4. Tidak meludah disembarang tempat.
Sanksi bagi pelanggar norma kesopanan tidak tegas, tetapi dapat diberikan oleh
masyarakat berupa cemoohan, celaan, hinaan, atau dikucilkan dan diasingkan dari
pergaulan.
D. Norma Hukum
Adalah pedoman hidup yang dibuat oleh lembaga negara atau lembaga politik suatu
masyarakat/ bangsa. Hukuman sebagai sistem norma berfungsi untuk menertibkan
dan menstabilkan kehidupan sosial. Tujuan utama norma hukum adalah
menciptakan suasanan aman dan tentram dalam masyarakat. Contoh-contoh norma
hukum ialah:
1. Harus tertib
2. Harus sesuai prosedur
3. Dilarang mencuri, merampok, membunuh dan lain-lain.
Sanksi bagi pelanggar hukum tegas, nyata, mengikat, dan bersifat memaksa.
Mereka yang melaggar norma hukum akan ditindak tegas oleh aparat penegak
hukum dan diproses melalui persidangan di pengadilan.
5. Hubungan norma, kebiasaan, adat istiadat dan peraturan
Norma mengarahkan anggota masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan
ketentuan yang tercantum didalamnya. Untuk memastikan anggota masyarakat
berperilaku sesuai dengan norma, setiap pelanggaran terhadap norma ada
sanksinya, sebaliknya, berperilaku yang sesuai dengan norma-norma, mendapat
ganjaran. Contoh, siswa yang rajin belajar mendapat pujian, sebaliknya siswa yang
ketahuan mencontek dikenakan sanksi yang sesuai.
Kebiasaan berarti sesuatu yang bisa dikerjakan. Kebiasaan adalah perbuatan yang
diulang-ulang dalam bentuk yang sama karena banyak orang menyukai dan
menganggapnya penting. Oleh karena disukai dan dianggap penting, maka
kebiasaan itu terus diperintahkan. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa
kebiasaan terus diperintahkan.
Adat Istiadat berarti tata kelakukan yang bersifat kekal dan turun temurun. Ia
diteruskan dari satu generasi kegenerasi lainnya berikutnya sebagai warisan
sehingga kuat integrasinya dengan pola prilaku masyarakat.
Peraturan berarti tatanan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk mengatur.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dikenal dengan istilah peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan adalah aturan yang telah
dibuat oleh lembaga yang berwewenang untuk dipatuhi oleh seluruh warga negara.
Jika ditinjaui dari tingkatannya ada dua tingkatan peraturan, yaitu peraturan tingkat
pusat dan peraturan tingkat daerah. Dapat disimpulkan bahwa hubungan antara
norma, kebiasaan, adat isitiadat dan peraturan ialah sebagai peraturan dan tatanan
didalam mengatur tingkahlaku yang mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur.
6. Sumber-sumber norma
Setiap norma memiliki sumber-sumber yang berbeda. Norma agama bersumber
pada firman Tuhan yang terdapat dalam kitab suci agama, norma kesusilaan
bersumber hati sanubari manusia, norma kesopanaan bersumber pada pergaulan
segolongan manusia, dan norma hukum bersumber pada peraturan perundangan
yang dibuat negara.
7. Norma-norma berdasarkan kekuatan mengikatnya
Berdasarkan kekuatan mengikatnya, norma-norma dibedakan atas empat, yaitu:
1. Cara (Usage)
Adalah jenis perbuatan yang bersifat perorangan. Penyimpangannya terhadap cara
hukumannya tidak berat, hanya berupa celaan. Contoh dari jenis perbuatan yang
bersifat perorangan (cara) ialah cara berpakaian, cara berdandan, cara makan, cara
bertelepon, dan sebagainya.
2. Kebiasaan (Folkways)
Adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan pola yang sama dan tetap
karena dianggap baik. Contohnya, mengetuk pintu saat bertamu atau saat
memasuki ruangan orang lain dan memberikan sesuatu dengan tangan kanan
adalah kebiasaan dengan baik dan sopan. Sanksi yang diberikan jika melanggar
kebiasaan umumnya masih tergolong ringan, yaitu berupa sindiran atau ejekan.
3. Tata kelakuan (Mores)
Adalah perilaku yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai perilaku yang baik dan
diterima sebagai norma pengatur dan pengawas anggota-anggotanya. Tata
kelakuan ini berwujud paksaan dan larangan sehingga secara langsung menjadi alat
agar anggota masyarakat menyesuiakan perbuatannya dengan tata kelakuan
tersebut. Saksi terhadap tata kelakuan ini tergolong berat, seperti dikucilkan secara
diam-diam dari pergaulan. Contohnya Larangan untuk berciuman, larangan kumpul
kebo, larangan melakukan hubungan seks diluar nikah, larangan membunuh atau
juga dicontohkan dengan cotoh lain seperti:
Misalnya, seseorang pembantu rumah tangga melakukan perbuatan yang tidak
pantas terhadap nyonya atau majikannya. Oleh karena perbuatannya itu, saat itu
juga mungkin langsung diberhentikan atau dipecat oleh majikannya.
4. Adat-istiadat (Coustom)
Adalah pola-pola prilaku yang diakui sebagai hal yang baik dan dijadikan sebagai
hukuman tidak tertulis dengan sanksi yang berat. Yang memberikan sanksi orang
yang mengerti seluk-beluk tentang adat, seperti pimpinan adat, pemangku adat, atau
kepala suku.
Misalnya, dalam masyarakat dikenal dengan istilah tabu atau pantangan. Sesuatu
yang ditabukan berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar. Seandainya tabu/
pantangan itu dilanggar, bencana akan menimpa seluruh warga dan si pelaku akan
dikenakan sanksi yang berat.

8. Sanksi norma
Sanksi norma dintaranya: norma agama sanksinya dosa dan bersifat tidak langsung,
norma kesusilaan sanksinya rasa menyesal, malu dan bersalah, norma kesopanan
sanksinya teguran dan cemoohan dari masyarakat, norma hukum sanksinya tegas
dan memaksa, misalnya penjara.

KASUS :
PT Galuh Cempaka bergerak dalam bidang pertambangan intan, PT tersebut
membuang limbah industri ke aliran sungai yang dapat membahayakan bagi kesehatan dan
keselamatan masyarakat sekitar. Menurut data yang didapatkan dari siaran pers WALHI
Kalimantan selatan, pencemarn yang dilakukan oleh PT. Galuh Cempaka tersebut
mengakibatkan tingkat keasaaman air sungai mencapai ph 2,97. Hal ini sangat bertentangan
dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan, yaitu
tingkat ph normal air sungai sebesar 6 hingga 9 ph. Selain itu efek dari penambangan tersebut
mengancam ketahanan pangan dikota Banjarbaru. Lumbung padi kota banjarbaru terancam
dengan aktivitas penambangan PT Galuh Cempaka. Dampak lingkungan ini juga menuruni
fungsi sungai sebagai pengatur tata air, minimal pada tiga sungai di kelurahan palam.
Penyebabnya tak lain pengelolaan tambang yang carut marut dimana perencanaan
pertambangan tidak mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar dan terkesan arogan.
Setelah ditelusuri ternyata dokumen AMDAL yang dibuat PT Galuh Cempaka cacat
hukum dan pada implementasinya juga tidak dijalankan. Dengan kata lain dokumen amdal
hanya sebagai persyaratan administrasi belaka. Dampak langsung yang terjadi adalah
penurunan kualitas air yang menyebabkan rusaknya fungsi biologis. Hal ini terlihat dari ikan-
ikan yang mati, tidak mengalirnya air secara normal bahkan dua sungai tidak berfungsi.
Belum lagi genangan air banjir yang mengakibatkan terendamnya ribuan hektare sawah
masyarakat yang berakibat pada keterlambatan panen untuk musim tanam. Jika hal ini terus
dibiarkan dapat mengakibatkan penurunan kualitas air yang akan mengancam kepunahan
biota air. Sungai yang tidak berfungsi sebagai pengatur tata air akan mengakibatkan krisis
yang lebih jauh dan berdampak besar berupa krisis ketahanan pangan yang dapat
mengakibatkan krisis ekonomi. Masalah ini dianggap sebagai kejahatan korporasi lingkungan
karena sudah jelas melanggar UU yang telah ditatapkan, yaitu UU No 23 Tahun 1997,
Tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab VI Pasal 20 ayat 1 Tanpa suatu keputusan
izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.
Kejahatan lingkungan adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang atau kelompok
atau Badan hukum yang bersifat merusak dan mencemari lingkungan. Dalam kacamata
krimonologi, kejahatan lingkungan memiliki perbedaan dengan kejahatan konvensional. Ciri
utama dari kejahatan ini adalah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan (korporasi) dalam
menjalankan usahanya.
Permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan PT Galuh Cempaka
seakan menjadi benalu yang menguras sumber kekayaan alam, dan sekaigus memberikan
dampak kerusakan bagi lingkungan yang akhirnya akan memberikan kerugian yang sangat
besar bagi kehidupan masyarakat di Indonesia.

Solusinya
Menurut saya kenapa kasus tersebut bisa terjadi karena kurangnya kontrol dari
pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan yang mengadakan eksploitasi di bumi nusantara
ini. Selain itu, pelaksanaan kententuan hukum yang berlaku terhadap pelaku kejahatan
lingkungan terasa masih setengah-setengah. Pelaku kejahatan lingkungan tidak mendapatkan
stigma masyarakat yang berat dan melekat. Karena apa yang dilakukan oeh pelaku kejahatan
tidak memberikan dampak secara langsung melainkan secara lamban namun sangat fatal. Hal
ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang kejahatan lingkungan
itu sendiri. Meskipun sudah jelas dicantumkan dalam UU tentang pelanggaran yang berkaitan
dengan lingkungan, tetapi masih banyak dari masyarakat yang tidak mengetahui tolak ukur
untuk menentukan apakah suatu kejahatan masuk ke dalam kategori kejahatan lingkungan
atau tidak. Masyarakat baru akan sadar ketika telah jatuh korban dan muncunya berbagai
masalah yang diakibatkan oleh pencemaran lingkungan tersebut, seperti masalah penyakit
kulit yang terjadi pada kasus PT Galuh Cempaka.
Seharusnya untuk menangani permasalahan ini peran pemerintah sangat dibutuhkan
karena dalam karakteristik kejahatan korporasi, pembuktian apakah suatu perusahaan
melakukan kejahatan atau tidak, hanya bisa dilakukan oleh pemerintah atau Badan Hukum
yang bersangkutan. Selain itu sosialisasi tentang kejahatan korporasi akan lebih baik apabila
ada inisiatif dari pemerintah untuk mengadakan peningkatan pengenalan mengenai kejahatan-
kejahatan seperti apa saja yang bisa dikatakan sebagai kejahatan korporasi.
Kejahatan korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan
hidup, yaitu tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah korporasi
bernama Galuh cempaka. Dampak yang diakibatkan adanya perbuatan oleh korporasi
tersebut merugikan tidak hanya secara material, namun juga telah merugikan lingkungan
hidup masyarakat. Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak kejahatan.
Dalam kasus ini ditemukan beberapa pelanggaran hukum yang bisa dijerat dengan pasal-
pasal dalam undang-undang antara lain hukum lingkungan hidup (UULH), hukum pidana
(KUHP) dan hukum perdata (KUHPer).
Terkait dengan PT Galuh Cempaka, menurut organisasi non pemerintah yang fokus
pada persoalan lingkungan ini, perusahaan tersebut telah melakukan kejahatan korporasi
yaitu sengaja melakukan pembuangan limbah atau zat ke aliran sungai yang dapat
membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan orang byk. Perbaikan sistem pengolahan air
limbah (sispal) yang dilakukan PT Galuh Cempaka adalah suatu keharusan yang dilakukan
oleh sebuah perusahaan.
Sanksi dapat dijatuhkan kepada perorangan yaitu setiap orang yang memberi perintah
maupun yang melaksanakan perintah, dalam kejadian ini, korporasi dapat juga dijadikan
tersangka sesuai dalam pasal 45 dan pasal 46 UU No.23/1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup, dan didalam RUU KUHP paragraph 7 tentang korporasi yang dimulai dari
pasal 44-49.
Melihat polanya maka dalam pandangan diatas, kejahatan ini bukanlah suatu
peristiwa yang berdiri sendiri. Kesalahan dalam pengurusan yang telah berlangsung lama
menjadi salah satu faktor utama pendorong terjadinya kejahatan tersebut termasuk regulasi
yang mengaturnya. Belum lagi lemahnya penegakan hukum yang berimplikasi pada semakin
tingginya tingkat kejahatan tersebut. Parahnya oknum aparat penegak hukum juga menjadi
bagian dari praktek atau modus bagaimana kejahatan ini berlangsung dan dilakukan terus
menerus.
Di Indonesia adalah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah
undang-undang nomor 23 thun 1997 tentang lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi
pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability. Meskipun tidak digariskan secara jelas
seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini
terdapat tiga bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan
regulasi yang sudah ada, yaitu : dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam
Psaal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang jalan. Dapat pula dibebankan kepada organ
atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai
pemimpin dalam melakukan tindak pidana, seperti yang diatur dalam Pasal 20 UU
No,31/1999 tentang tindak pidana korupsi dan UU No.31/2004 tentang perikanan kemudian
kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai
pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada korporasi, contohnya seperti
dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999 tentang tindak pidana korupsi.
Penting untuk melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkungan yang terjadi.
Sehingga kasus ini juga bisa dijadikan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
untuk melindungi warga Negara dan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan hidupnya.
Eksploitasi dan eksplorasi telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan
pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No.23 tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41
hingga pasal 45 undang-undang tersebut. Dalam ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945,
bahwasannya bumi. Air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat dan digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Masalah ini tidak akan pernah selesai tanpa ada inisiatif dari kita semua untuk
menanggulanginya. Sebagai individu ataupun masyarakat, kita juga memiliki kewajiban
untuk menjaga lingkungan kita. Lebih baik kita siaga sejak dini daripada baru akan
menyadarinya saat berbagai masalah yang baru muncul akibat pencemaran lingkungan.
Sebagai penegak hukum, seharusnya masalah seperti ini harus ditangani secara serius, karena
permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan korporasi tersangka sangat sulit ditangkap
ataupun dikenali. Sesuai dengan fungsinya baik secara mikro maupun makro, sebuah bisnis
yang baik harus memiliki etika dan tanggung jawab social. Nantinya, jika sebuah perusahaan
memiliki etika dan tanggung jawab social yang baik, bukan hanya lingkungan makro dan
mikronya saja yang akan menikmati keuntungan, tetapi juga perusahaan itu sendiri. Oleh
karena itu, sebuah perusahaan harus mementingkan yang namanya etika bisnis. Agar ketika
dia menjalani bisnisnya, tidak merugikan pihak manapun, dan sebuah perusahaan harus
mempunyai tempat pembuangan limbah sendiri. Para pelaku bisnis harus mempertimbangkan
standar etika demi kebaikan dan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang. Untuk
penanganan masalah lingkungan tersebut sebaiknya Bapedal segera turun tangan, jangan
sampai berlarut-larut yang bisa berdampak pada sosial masyarakat. Pembangunan disamping
dapat membawa kepada kehidupan yang lebih baik juga mengandung resiko karena dapat
menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Untuk meminimalkan terjadinya
pencemaran dan kerusakan tersebut perlu diupayakan adanya keseimbangan antara
pembagunan dengan kelestarian lingkungan hidup, peningkatan kegiatan ekonomi melalui
sektor industrialisasi tidak boleh merusak sektor lain.

01/07/12
KASUS LUMPUR LAPINDO SEBAGAI KEJAHATAN
KORPORASI
A. Prolog
Kejahatan yang terjadi pada kasus sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah suatu kejahatan
yang tidak berhenti ketika pelaku berhasil di jebloskan ke dalam penjara atau memberikan ganti kerugian.
Kejahatan ini akan menimbulkan dampak yang akumulatif dan cenderung melahirkan suatu bentuk
kejahatan baru. Destructive logging/perusakan hutan adalah contoh konkret yang selanjutnya dapat
melahirkan rentetan bencana berupa banjir, longsor, kekeringan, gagal panen, gagal tanam dan kebakaran
hutan. Bahkan dampak dari destructive logging dapat menimbulkan hilangnya nyawa dan harta benda bagi
mereka yang tertimpa bencana ikutan tersebut.
Berikutnya ketidak sigapan negara dalam menanggulangi bencana akan melahirkan pelanggaran
terhadap hak-hak penggungsi (akibat tersingkir dari tempat hidupnya) yang di nyatakan secara tegas dalam
berbagai perjanjian atau kesepakatan internasional termasuk covenant on economic social and political
right. Inilah yang WALHI sebutkan sebagai kejahatan yang dapat melahirkan akumulasi dampak dan
kejahatan lainnya. Lingkup kejahatan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup sangatlah luas.
Antara lain terdapat pada sektor kehutanan, perikanan dan kelautan, pertambangan mineral dan sumber-
sumber energi fosil serta sumberdaya air. Dimana sector tersebut adalah sektor yang paling sering dikelola
secara destructive. Melihat polanya maka dalam pandangan diatas, kejahatan ini bukanlah suatu peristiwa
yang berdiri sendiri. Kesalahan dalam pengurusan yang telah berlangsung lama menjadi salah faktor utama
pendorong terjadinya kejahatan tersebut termasuk regulasi yang mengaturnya. Belum lagi lemahnya
penegakan hukum yang berimplikasi pada semakin tingginya tingkat kejahatan tersebut. Parahnya,
(oknum) aparat penegak hukum juga menjadi bagian dari praktek/modus bagaimana kejahatan ini
berlangsung dan dilakukan terus menerus.
Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat
dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitasaktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan
harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai kejahatan kerah putih. Sally. A. Simpson yang
mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah conduct of a corporation, or
employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law (melakukan
suatu korporasi, atau karyawan yang bertindak atas nama sebuah perusahaan, yang dilarang
dan dikenai sanksi hukum). Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite
mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan
perilaku kriminal kelas sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang
digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hokum pidana, tetapi juga
pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.Kedua, baik korporasi (sebagai subyek hukum
perorangan legal persons) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors),
dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan
kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan
untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan
organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional
(internal) dan sub-kultur organisasional.

B. Kasus
Banjir lumpur panas Lapindo di Sidoarjo adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi
pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur yang terjadi sejak tanggal 27 Mei 2006. Semburan lumpur panas telah mengakibatkan tergenangnya
kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi
aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lokasi semburan lumpur panas berada di Kecamatan Porong, di
bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 kilometer sebelah selatan Kota Sidoarjo. Kecamatan ini
berbatasan dengan Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan di sebelah selatan. Lokasi semburan hanya
berjarak 150-500 meter dari sumur BanjarPanji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik
Lapindo Brantas sebagai pelaksana teknis blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur
panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut.
Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori yang berhubungan dengan asal semburan. Pertama,
semburan lumpur berhubungan dengan kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur "kebetulan" terjadi
bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Lokasi tersebut merupakan kawasan
pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari
lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-
Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-
Banyuwangi.
C. Analisis
Korporasi yang saat ini sedang mendapat sorotan atas dugaan pelanggaran terhadap lingkungan
yang sedang terjadi adalah Lapindo brantas Inc. yang terkait dengan luapan lumpur dan gas di Porong
Sidoarjo Jawa Timur. Telah 200 hari sejak pertama kali lumpur itu menyembur dari sumur galian milik
Lapindo Brantas Inc., salah satu dari berbagai anak perusahaan milik PT. Energi Mega Persada Tbk
(EMP). Lapindo Brantas didirikan khusus untuk mengeksploitasi sumur-sumur yang ada di Blok Brantas,
dalam hal ini, Lapindo Brantas/EMP ibaratnya hanya sebagai operator, sedangkan saham Blok Brantas
tersebut dimiliki bersama oleh PT. Energi Mega Persada Tbk, PT. Medco Energi Tbk, dan Santoz LTD-
Australia Perusahaan-perusahaan yang menguasai saham di Lapindo Brantas/EMP merupakan perusahaan
yang juga memiliki berbagai kilang minyak dan gas yang tersebar seantero Nusantara.
Perbuatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok Brantas yang telah terjadi
selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat Lapindo Brantas menjadi tersangka utama dalam
dugaan adanya pelanggaran terhadap UUPLH sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan
terjadinya kejahatan korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari semburan lumpur
tersebut masih diselidiki oleh pihak yang berwenang, namun korban serta lingkungan yang rusak terus
bertambah besar dan luas jumlahnya, tanpa ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti
menenggelamkan Kec. Porong dan sekitarnya. Yang sangat jelas terlihat saat ini adalah Lapindo
Brantas/EMP sebagai pemegang hak
eksploitasi dan eksplorasi dari BP Migas telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan
pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal
45 undangundang tersebut. Namun tentunya dalam hal Lapindo, jika nantinya tidak dapat ditemukan
bahwa penyebab menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan bencana ini merupakan kealpaan atau
kesengajaan dalam kegiatan pengeboran sudah tentu Lapindo sebagai korporasi tidak dapat dijatuhi
hukuman. Dan hal ini akan membuat masyarakat yang mencari keadilan akan terkoyak.
Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang
Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi
doktrin vicarious liability. Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda,
berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana
dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu :
1. Dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang
Jalan.
2. Dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka
yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20
ayat
3. UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang Perikanan
4. Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai
pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal
20 ayat 1 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
kejahatan korporasi adalah merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi, yang tentunya berkaitan dengan hubungan keperdataan, artinya hubungan yang menimbulkan
tindak pidana tersebut adalah perbuatan perdata. Melakukan pengeboran yang bertujuan sebagai kegiatan
penambangan gas di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc., menurut pengertian kejahatan korporasi
adalah merupakan perbuatan perdata, sedangkan hal yang berlanjut mengenai adanya kesalahan manusia
atau human error dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain adalah merupakan perbuatan tindak pidana.
Human error yang dilakukan oleh Lapindo Brantas adalah tidak dipasangnya pipa selubung dalam
aktivitas pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana itu terjadi. Pemasangan chasing (pipa selubung)
yang tidak dilakukan lebih awal oleh Lapindo ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari sebuah
korporasi dengan tidak dilaksanakannya standar keselamatan sebelum pelaksanan pengeboran.
Kejahatan korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup, yaitu
tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah korporasi bernama Lapindo
Brantas Incorporated. Dampak yang diakibatkan adanya perbuatan oleh korporasi tersebut merugikan tidak
hanya secara material, namun juga telah merugikan lingkungan hidup masyarakat Sidorajo. Hal seperti ini
dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak kejahatan. Dalam kasus Lapindo ditemukan beberapa
pelanggaran hukum yang bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam undang-undang antara lain hukum
lingkungan hidup (UULH), hukum Pidana (KUHP) dan hukum Perdata (KUHPer).
Sanksi dapat dijatuhkan kepada perorangan yaitu setiap orang yang memberi perintah maupun yang
melaksanakan perintah, dalam kejadian ini, korporasi dapat juga dijadikan tersangka sesuai dalam Pasal 45
dan Pasal 46 UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan didalam RUU KUHP
Paragraf 7 tentang Korporasi yang dimulai dari pasal 44-49. Hingga saat ini tindakan nyata dari Lapindo
Brantas (Lapindo) sebagai pemegang izin eksplorasi dan eksplotasi pada Blok Brantas baru sebatas
pemberian ganti rugi terhadap kerusakan fisik yang diderita warga sekitar daerah bencana. Sementara
upaya menghentikan semburan lumpur dan upaya penanggulangan dampak kerusakan dan pencemaran
lingkungan sebagai akibat lain dari bencana tersebut belum ditangani secara benar dan sistematis.
definisi tentang perusakan lingkungan hidup yang terdapat dalam Pasal 1 angka 14 memuat unsure-unsur
sebagai berikut :
1. adanya tindakan, tindakan yang dilakukan adalah pengeboran migas oleh PT. Lapindo Brantas dalam
rangka mengeksplorasi dan ekplotasi sumber migas di Blok Brantas tersebut.
2. yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak terhadap perubahan fisik dan/ atau hayati lingkungan,
semburan dan luberan lumpur yang masih terjadi saat ini memuat kandungan bahan-bahan berbahaya dan
beracun (B3) yang mengakibatkan perubahan langsung terhadap perubahan fisik lingkungan hidup di Kec.
Porong dan sekitarnya yang belum ada kepastian sampai berapa lama lagi luberan lumpur ini akan
berlanjut.
3. yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang
berkelanjutan, melihat fakta luberan dan semburan lumpur yang semakin hari semakin meningkat sudah
jelas tidak akan terjadi pembangunan di Kec. Porong Sidoarjo dan sekitarnya tersebut, daerah ini akan
terisolasi dan tidak ada yang dapat memperkirakan akan sampai berapa lama, bahkan jalan tol antara
Surabaya-Gempol yang melewati daerah semburan lumpur ini diperkirakan akan ditutup dan tidak dapat
dilewati kendaraan tranportasi orang dan barang.
Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian Koran Kompas, penerapan sistem tanggung
jawab pidana mutlak dapat langsung menempatkan Lapindo sebagai pelaku kejahatan korporasi
lingkungan125. Berbeda dari sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya unsur
kesengajaan atau kealpaan dalam pembuktian sebuah perbuatan pidana, dalam sistem tanggung jawab
pidana mutlak, hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa, yang artinya adalah dalam
melakukan perbuatan tersebut, terdakwa telah mengetahui atau menyadari potensi hasil dari perbuatannya
dapat merugikan pihak lain, maka keadaan ini telah cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana
kepadanya. Hal ini tentu saja dapat dilakukan oleh hakim sebagai living interpretator yang dapat
menangkap semangat keadilan yang hidup ditengahtengah masyarakat dan hakim juga dapat mematahkan
kekakuan normative prosedural undang-undang karena seiring dengan perkembangan hukum dan
beradabnya negara-negara di seluruh dunia, hakim tidak lagi sekedar hanya mulut atau corong undang-
undang (la bouche de la loi).
D. Epolog
Penting untuk melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkungan yang terjadi dan juga
mengembalikan harkat dan martabat masyarakat korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc. sehingga
kasus ini juga bisa dijadikan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melindungi
warga Negara dan kepentingan ekonomi, social dan lingkungan hidupnya. Kasus lumpur panas di Kec.
Porong Sidoarjo Jawa Timur ini harus diungkapkan dengan tuntas dan maksimal, dimana aparat penegak
hokum harus melibatkan pihak-pihak terkait yang tidak saja mengerti akan norma-norma hukum
Indonesia, tetapi juga penyelidikan seharusnya melibatkan penyidik sipil dari instansi tertentu yang
menangani masalah lingkungan baik dari pemerintahan, pakar-pakar ahli bidang lingkungan maupun
anggota-anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan. Pengusutan tidak saja dilakukan
dijajaran karyawan PT. Lapindo Brantas saja, tapi harus juga diusut dari jajaran top managerial, karena
kasus ini tidak lagi merupakan kasus lingkungan biasa yang akan selesai dengan hanya menerapkan sanksi
berupa sanksi denda/administrasi.
1. Analisis Dampak Dari Lumpur Lapindo (Yis Andispa)
Perbuatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok Brantas yang telah terjadi
selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat Lapindo Brantas menjadi tersangka utama dalam
dugaan adanya pelanggaran terhadap UUPLH sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan
terjadinya kejahatan korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari semburan lumpur
tersebut masih diselidiki oleh pihak yang berwenang, namun korban serta lingkungan yang rusak terus
bertambah besar dan luas jumlahnya, tanpa ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti
menenggelamkan Kec. Porong dan sekitarnya. Yang sangat jelas terlihat saat ini adalah Lapindo
Brantas/EMP sebagai pemegang hak
eksploitasi dan eksplorasi dari BP Migas telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan
pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal
45 undang-undang tersebut. Namun tentunya dalam hal Lapindo, jika nantinya tidak dapat ditemukan
bahwa penyebab menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan bencana ini merupakan kealpaan atau
kesengajaan dalam kegiatan pengeboran sudah tentu Lapindo sebagai korporasi tidak dapat dijatuhi
hukuman. Dan hal ini akan membuat masyarakat yang mencari keadilan akan terkoyak.
Hingga saat ini pertanggungjawaban atas kejadian luapan lumpur lapindo pun belum jelas, ganti
rudi yang diberikan oleh pihak Lapindo Brantas terhadap masyarakat ternyata tidak memberikan suatu
keadaan yang cukup, masih banyak masyarakat yang mengeluhkan tentang ganti rugi yang tidak sepadan
dengan apa yang masyarakat miliki sebelumnya. Hal ini mengakibatkan banyaknya warga yang terlantar
dan tidak mempunyai suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan.
Hal yang sangat menjadi perhatian dalam kasus ini yaitu tentang pencemaran lingkungan dimana
luapan lumpur lapindo telah menenggelamkan beberapa desa. Hal inilah yang seharusnya menjadi
perhatian pemerintah untuk menindak lanjuti permasalahan yang hingga saat ini belum terselesaikan.
Seharusnya pemerintah bertindak tegas agar dampak lingkungan dari lumpur lapindo tidak meluas.
2. Analisis Tentang Subjek/Pelaku Kejahatan Korporasi Dalam Lumpur Lapindo
Subyek yang mengakibatkan Dampak dari Lumpur Lapindo, diakarenakan adanya Human error
yang dilakukan oleh Lapindo Brantas, dimana tidak dipasangnya pipa selubung dalam aktivitas
pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana itu terjadi. Pemasangan chasing (pipa selubung) yang
tidak dilakukan lebih awal oleh Lapindo ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari sebuah korporasi
dengan tidak dilaksanakannya standar keselamatan sebelum pelaksanan pengeboran. Bahwa Banjir lumpur
panas Lapindo di Sidoarjo merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran
Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang
terjadi sejak tanggal 27 Mei 2006. Semburan lumpur panas telah mengakibatkan tergenangnya kawasan
permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur.
3. Kesimpulan Dampak Dari Lumpur Lapindo

Bahwa pelanggaran kejahatan ekonomi yang di timbulkan oleh korporasi (Lumpu Lapindo)
telah mencemarkan lingkungan di sekitarnya, terlebih lagi telah menenggelamkan beberapa
desa di sekitar bencana tersebut.
Bahwa semburan lumpur lapindo telah merugikan warga yang tempat tinggalnya terendam
lumpur, dengan ganti rugi yang tidak menunjang kehidupan harus diperhatikan secara serius
oleh pemerintah.
Bahwa subjek/petinggi korporasi harus bertanggungjawab atas terjadinya luapan lumpur
lapindo yang menenggelamkan rumah warga.
Sebagai penegak hukum, seharusnya masalah seperti ini harus di tangani secara serius,
karena permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan korporasi tersangka sangat sulit di
tangkap/pun di kenali.
Penyelesaian Persengketaan dalam Kasus Lingkungan
Hidup
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Air merupakan sesuatu yang sangat vital bagi kelangsungan hidup makhluk hidup
maupun ekosistemnya. Kegunaan dari air pun sangat beragam di antaranya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dalam kehidupan. Maka dari itu, kelestarian dan kebersihan air harus
kita jaga. Namun faktanya, sekarang ini air yang bersih sesuai dengan standar kualitas air
sudah sulit ditemukan karena tercemar oleh lingkungan yang merupakan akibat dari
perbuatan manusia itu sendiri.
Pencemaran air adalah masuknya atau di masukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air menurun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukannya. Kualitas air sangat berpengaruh terhadap kesehatan bagi makhluk hidup.
Untuk itu maka, marilah kita bersama-sama menjaga, melestarikan, dan tidak membuang
limbah yang dapat mengakibatkan pencemaran air.[1]

1.2 Perumusan Masalah


Sesuai dengan makalah ini yang berjudul Penyelesaian Persengketaan dalam Kasus
Lingkungan Hidup maka masalah yang dibahas dapat dirumuskan :
a. Pengertian Pencemaran Air.
b. Efek Pencemaran Air.
c. Indikator Pencemaran Air
d. Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Lingkungan.
e. Contoh dan Penyelesaian Kasus di dalam Hukum Lingkungan.

1.3 Tujuan penulisan


Tujuan dari disusunnya makalah yang berjudul Penyelesaian Persengketaan dalam
Kasus Lingkungan Hidup ini adalah untuk melengkapi tugas hukum lingkungan.

1.4 Manfaat penulisan


Adapun manfaat dari penyusunan makalah yang berjudul Penyelesaian
Persengketaan dalam Kasus Lingkungan Hidup ini adalah menambah wawasan para
pembaca, khususnya para mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
mengenai pengertian dari pencemaran air beserta efek dan indikatornya, penyelesaian
sengketa dalam hukum lingkungan, dan mengenai contoh kasus serta penyelesaiannya.
1.5 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah studi pustaka.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pencemaran Air


Pencemaran air yaitu masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan
atau komponen lain kedalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Kualitas air sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan bagi makhluk hidup.
Pada dasarnya air dapat dibedakan menjadi dua yaitu air laut yang asin dan air tawar
yang terdapat di darat, keduanya pun merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup yang
ada di bumi. Air laut merupakan sumber kehidupan bagi berbagai jenis ikan, tanaman atau
rumput laut, organisme yang hidup di air asin. Sedangkan air tawar merupakan sumber
kehidupan bagi makhluk hidup yang ada di darat seperti manusia, hewan dan tanaman.
Daerah pegunungan atau hutan yang jauh dari kegiatan industri dengan udara yang
sejuk dan bersih, air huajn mengandung karbondiokasida, gas oksigen, dan gas nitrogen, serta
bahan bahan tersuspensi seperti debu dan partikel pertikel yang terbawa dari atmosfer.
Sedangkan air permukaan dan air sumur pada umumnya mengandung bahan bahan terlarut
seperti Na, Mg, Ca dan Fe. Jadi, air yang tidak tercemar, merupakan air yang tidak
mengandung bahan bahan asing tertentu dalam jumlah yang melebihi batas yang ditetapkan
sehingga air tersebut dapat digunakan secara normal untuk berbagai keperluan.
Kualitas air pada dasarnya dapat dilakukan pengujian untuk membuktikan apakah air
layak untuk dikonsumsi. Penetapan standar sebagai batas mutu minimal yang harus di penuhi
telah di tentukan oleh standar baik internasional, nasional maupun perusahaan. Pengujian air
minum pada dasarnya terdiri dari tiga hal yaitu pengujian fisik, kimia, dan mikrobiologi.
Pengujian fisika, untuk mengetahui rasa dan bau dari air yang diuji. Pengujian kimia, untuk
mengetahui komposisi kimia yang terkandung dalam air. Sedangkan pengujian mikro biologi,
untuk mengetahui kandungan mikro organisme lainnya yang terdapat dalam air.

2.2 Efek Pencemaran Air


Efek pencemaran air dijelaskan sebagai berikut :
A. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Air
Pelepasan atau pembuangan air dapat mempengaruhi kualitas lingkungan hidup atau
perairan umum akan merubah ekosistemnya penguraian tersebut merupakan suatu klasifikasi
kualitas air di daerah perairan yang menggunakan biota sebagai indek seperti berikut ini :
1. Zone oligosaprobic
Hampir semua jumlah zat organik dibusukkan dengan melayang bebas (aerobik) konsentrasi
oksigen larutan (DO) mendekati titik jenuhnya. BOD lebih kecil dari tiga PPM kondisi
sedimen dasar adalah non organik.
2. Zone -mesosaprobic
DO nya tinggi; BOD minimal tiga PPM. Kondisi aerobic masih mengambang.
3. Zone -mesosaprobic
DO nya rendah; BOD meningkat. Pembusukan anaerobic banyak terjadi di dasar
sedimen, warna sedimen dasar tidak hitam. Bau H2S tidak teramati sejumlah alga naik
terutama yang berwarna hijau-biru.
4. Zone polysaprobic
BOD tinggi. Hampir tidak ada DO karena konsentrasi yang tinggi zat zat organik.
Pembusukan anaerobic terjadi di zone atas atau dasar. Bau senyawa belerang seperti
H2S teramati.
Bahan pencemar yang menjadi peran utama dalam trasformasi lingkungan hidup
yaitu :
a. Bau busuk yang menyengat
b. Pencemaran sedimen dasar
c. Padatan terlalut (SS)
d. Mikro-organisme
e. Kenaikan suhu
f. Perubahan pH

B. Pengaruh Pada Kesehatan Bagi Manusia


Air yang telah tercemar oleh organisme pathogen dapat secara langsung
mempengaruhi kesehatan tubuh manusia. Tipe pencemaran yang disebabkan zat racun yang
dapat mempengaruhi kesehatan tubuh manusia dapat diamati melalui :
1) Pengaruh zat racun pasa benda hidup, seharusnya diuji dari dua aspek.
a. Kemungkinan hidup organisme tertentu dalam air yang mengandung racun tertentu dan batas
konsentrasinya.
b. Proses konsentrasi zat racun oleh berbagai organisme bagian dari ekosistem umum melalui
rantai makanan.
2) Pengaruh zat racun pada kesehatan manusia.
a. Pengaruh keracunan akibat meminum air tercemar secara langsung
b. Pengaruh keracunan akibat makan ikan atau produksi laut lainnya dimana zat racun sudah
diakumulasi
c. Pengaruh akibat makan produksi pertanian yang zat racunnya telah diakumulasi dengan cara
air irigasi atau tanah tercemar
C. Pengaruh Pada Industri Pertanian
Kelebihan jumlah nitrogen pada tumbuhan dapat menyebabkan pertumbuhan yang
tidak produktif dari tanamman dan mengakibatkan kerusakan oleh hama sehingga terjadi
pembuahan yang kurang sempurna.Sumber utama pemasok nitrogen yang berlebihan seperti
dari air limbah domestik.

2.3 Indikator Pencemaran Air


Eksploitasi sumber air tanah secara berlebihan yang tidak mempertimbangkan daya
dukung lingkungan serta upaya konservasi lingkungan yang tidak seimbang, akan
mempengaruhi kualitas air. Di samping itu juga kurangnya kesadaran berbagai pihak baik
langsung maupun tidak langsung seperti membuang limbah akan mengakibatkan pencemaran
air semakin meningkat. Pada dasarnya, polutan air dapat dibedakan menjadi dua yaitu limbah
degradable dan non-degradable. Limbah degradable yaitu limbah yang dapat terdekomposisi
atau dapat dihilangkan dari perairan dengan proses biologis ilmiah seperti limbah domestik.
Sedangkan limbah non-degradable adalah limbah yang tidak dapat dihilangkan dari perairan
dengan proses biologis ilmiah, seperti limbah radiologi dan senyawa organik.
Pengujian diperlukan untuk menentukan sifat - sifat air sehingga dapat diketahui
apakah suatu air terpolusi atau tidak, antara lain :
a. Nilai pH, keasaman dan alkalinitas;
b. Suhu;
c. Warna, bau dan rasa;
d. Jumlah padatan;
e. Nilai BOD/COD;
f. Pencemaran mikroorganisme patogen;
g. Kandungan minyak;
h. Kandungan logam berat;
i. Kandungan bahan radioaktif.
Indikator pencemaran air dapat diketahui dan diamati baik secara visual maupun
pengujian seperti :
a. Perubahan pH atau konsentrasi ion Hidrogen.
Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH antara 6,5-7,5.
Untuk air minum sebaiknya memiliki pH antara 6,5-8,5. Air yang memiliki pH yang lebih
kecil daripada pH normal akan bersifat asam, sedang air yang mempuyai pH lebih besar dari
pH normal akan bersifat basa.
b. Kesadahan
Kesadahan air disebabkan oleh ion-ion magnesium atau kalsium yang terdapat di air dalam
bentuk sulfat, klorida, dan hidrogen karbonat. Kesadahan air alam biasanya di sebabkan oleh
garam karbonat atau garam asamnya.
c. Perubahan warna, bau, dan rasa
Air normal tidak bewarna, sehingga tampak bersih, bening, dan jernih. Timbulnya bau pada
air lingkungan merupakan indikasi kuat bahwa air tersebut telah tercemar. Air yang normal
juga pada dasarnya juga tidak mempunyai rasa. Rasa yang menyimpang tersebut biasanya
disebabkan oleh adanya polusi. Bau yang tidak normal pada air umumnya mempunyai rasa
yang tidak normal pula.
d. Adanya endapan, koloid, dan bahan terlarut
Endapan, koloid, dan bahan terlarut berasal dari adanya limbah industri yang berbentuk
padat. Limbah industri yang berbentuk padat, bila tidak dapat larut sempurna akan
mengendap dan yang dapat larut sebagian akan menjadi koloid.
e. Mikroorganisme dan kenaikan suhu air
Mikroorganisme yang terdapat di dalam air berasal dari berbagai sumber seperti udara, tanah,
sampah, lumpur, tanaman, bangkai hewan, kotoran hewan, manusia, bahan organik, dll. Air
dapat merupakan medium pembawa mikroorganisme pathogen yang berbahaya bagi
kesehatan.
f. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut merupakan parameter mutu air yang penting karena nilai oksigen terlarut
dapat menunjukan tingkat pencemaran atau tingkat pengolahan air limbah.

2.4 Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Lingkungan


Penyelesaian masalah yang timbul dalam kasus lingkungan dapat dilakukan melalui
pengadilan maupun diluar pengadilan. Khusus untuk penyelesaian sengketa malalui
pengadilan, maka tetap mengacu pada ketiga pendekatan instrumen yaitu hukum perdata,
hukum administrasi dan hukum pidana. Ketiga instrumen tersebut merupakan instrumen
utama dalam penegakkan hukum lingkungan. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan berikut ini
:

A. Penyelesaian Masalah Lingkungan Melalui Instrumen Hukum Administrasi


Penyelesaian masalah lingkungan melalui instrumen hukum administratif bertujuan
agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan,
berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula. Oleh karena itu, fokus dari sanksi
administratif adalah perbuatannya, sedangkan sanksi dari hukum pidana adalah
orangnya. Selain itu, sanksi hukum tidak hanya diajukan kepada pembuat, tetapi juga kepada
mereka yang potensial menjadi pembuat (pelanggar).[2]
Mas Ahmad Santosa mengatakan bahwa paling tidak terdapat 4 (empat) peraturan
perundang undangan yang dapat dijadikan dasar bagi penegakan hukum administrasi yaitu :
1. Hinder Ordonantie (S. 1926 226);
2. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
3. PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air jo. PP No. 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;
4. PP No. 19 Tahun 1994 jo. PP No. 12 Tahun 1995 tentangPengelolaan Limbah B-3,
sebagaimana telah diubah dengan PP No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 85 Tahun 1999.
Sementara itu dalam pasal 48 PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air dinyatakan: Setiap penanggung jawab usaha
dan ataukegiatan yang melanggar ketentuan pasal 24 ayat (1), pasal 25, pasal 26 , pasal 32,
pasal 34 , pasal 35, pasal 37, pasal 38, pasal 40, dan pasal 42, bupati atau walikota
berwenang menjatuhkan sanksi administrasi.
Ketentuan pasal diatas membarikan gambaran bahwa pemerintah daerah kabupataen
atau kota secara hukum memiliki kewenangan dalam pengaturan izin terhadap kegiatan
pengelolaan sumbar daya air. Namum demikian dalam konsep hukum administrasi terdapat 4
(empat ) sanksi hukum administratif tang terdiri atas, paksaan administratif, penutupan
perusahaan, larangan memakai peralatan tertentu, uang paksaan dan penarikan izin.
J.B.J.M ten Berg[3] menguraikan instrumen penegakan hukum administrasi, melipiti
pengawasan dan penerapan sanksi. Sementar itu, instrumen penegakan hukum administrasi
terhadap hukum lingkungan hidup, menurut Philipus M. Hadjon terdiri dari empat hal pokok,
keempatnya berkaitan dengan penggunaan wewenang penegakkan hukum administrasi
yaitu[4] :
1. legitimasi
2. instrumen hukum administrasi
3. norma hukum administrasi
4. kumulasi sanksi : kumulasi eksternal dan kumulasi
Sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentangPemerintahan Daerah yang
kemudian diganti UU No. 32 Tahun 2004, yang menyerahkan masalah lingkunagn hidup
kepada pemerintahan daerah, maka di setiap daerah, baik provinsi maupun kabupaten atau
kota telah memiliki kelembagaan pengelolaan lingkungan yang kuat dengan mandat yang
jelas. Strategi dikembangkan di setiap kota atau kabupaten (pendekatan Atur Dan Awasi ,
Ekonomi, Perilaku, dan Tekanan publik).
B. Penyelesaian Sengketa Secara Perdata
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui instrumen Hukum Perdata, menurut Mas
Ahmad Santosa untuk menentukan seseorang atau badan hukum bertanggung jawab terhadap
kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran atau perusakan lingkungan, penggugat dituntut
membuktikan adanya pencemaran, serta kaitan antara pencemaran dan kerugian yang
diderita.
. Pembuktian dalam kasus lingkungan, khususnya delik, karena kasus kasus
pencemaran sering kali di tandai oleh sifat sifat khususnya antara lain[5] :
a. Penyebab tidak selalu dari sumber tunggal, akan tetapi berasal dari berbagai sumber (
multisources);
b. Melibatkan disiplin disiplin ilmu lainnya serta menuntut keterlibatan pakar pakar di luar
hukum sebagai saksi;
c. Sering kali akibat yang diderita tidak timbul seketika, akan tetapi selang beberapa lama
kemudian ( long period of latency).
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 maupun hukum acara percata (HIR), sistem
pembuktian perdata di Indonesia tidak menganut prinsip pembuktian terbalik.
UU No. 23 Tahun 1997 hanya mengenal Stryct liability dimana penggugat tidak perlu lagi
membuktikan unsur kesalahan tergugat. Namun beban pembuktian tentang kausalitas
(kerugian yang dikemukakan merupakan akibat dari tergugat) tetap berada pada tergugat.
Berbagai konsep dari teori di atas perlu dikaji lebih dalam untuk dapat bermanfaat bagi
pengembangan hukum pembuktian dalam kasus lingkungan. Momentumpenyempurnaan ini
merupakan momentum yang tepat untuk merespon kesulitan pembuktian selama ini dengan
mengkaji kemungkinan penerapan berbagai konsep di atas, sekaligus teori teori
pembuktian lainnya seperti metode epidemiologis, cilinical maupun community trials dan
sebagainya. Dengan demikian penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara perdata, terjadi
karena pada satu sisi masyarakat dirugikan atas pengelolaan lingkungan hidup yang
menyimpang dari aturan yang sebenarnya.

C. Penyelesaian Sengketa Dengan Instrumen Hukum Pidana


Penyelesaian sengketa lingkungan selain dapat didekati dari sudut pandang instrumen
hukum administrasi dan instrumen hukum perdata, juga dapat didekati dari instrumen hukum
pidana. Penerapan hukum pidana lingkungan ini tetap dikaitkan dengan perbuatan pidana
seseorang atau badanhukum. Khusus perbuatan pidana menurut Hermin Hadiati Koeswadji,
perbuatan diartikan (dalam arti perbuatan pidana) sebagai keadaan yang dibuat oleh seorang,
barang sesuatu yang dilakukan, kalimat mana menunjuk baik kepada akibatnya (yaitu berupa
kejadian tertentu) maupun kepada yang menimbulkan akibat (tingkah laku seseorang).[6]
Peraturan penegakan hukum lingkungan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997
dibandingkan dengan peraturan penegakan hukum yang termuat dalam UU No. 4 Tahun 1982
mempunyai perbedaan yang sangat mencolok. Perbedaan tersebut diulas oleh Mas Ahmad
Santosa yang mengatakan bahwa hal yang baru mengenai penegakan hukum pidana dalam
UU No. 23 Tahun 1997 ini adalah keberadaan Penyidikan Pegawai Negeri Sipil ( PPNS )
lingkungan yang memiliki kewenangan melakukan peyelidikan dan penyidikan, pengaturan
generic crimes yang bersifat delik material dan specific crimes yang bersifat delik formal,
serta bpengaturan lebih rinci tentang tindak pidana korporasi dan pertanggungjawaban unsur
pimpinan dalam korporasi

2.5 Contoh Kasus dan Penyelesaian


KASUS LIMBAH TAHU ( PN SIDOARJO, 1998)
Perkara ini diajukan oleh jaksa penuntut umum sebagai delik lingkungan yaitu
pencemaran air Kali Surabaya akibat limbah tahu dan limbah kotoran babi oleh terdakwa
Bambang Goenawan, direktur PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo serta diputus PN Sidoarjo
Tanggal 6 Mei 1989 Nomor : 122/Pid/1989/PN.Sda
Duduk perkaranya menurut surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tertanggal 6
November 1988, primer dan subsidair sebagai berikut: terdakwa Bambang Goenawan alias
Oei Ling Gwat, lahir di Surabaya, umur 48 tahun, jenis kelamin laki laki, kebangsaan
Indonesia, keturunan China, tempat tinggal JL. Ngagel No. 125 127 Surabaya, agama
Katolik, pekerjaan Direktur PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo dihadapkan ke pengadilan
negeri Sidoarjo dengan dakwaan bahwa antara bulan Maret 1986 - Juli 1988, di perusahaan
PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo yang terletak di desa Sidomulyo. kecamatan Krian,
kabupaten Sidoarjo, telah terjadi perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup
atau tercemarnya lingkungan hidup dengan cara terdakwa sebagai pengusaha PT.
Sidomakmur yang memproduksi tahu, membuang air limbah ke Kali Surabaya yang
mengandung BOD 3095,4 mg/I dan mengandung COD 12293 mg/I dan juga sebagai
pengusaha PT. Sidomulyo yang berupa peternakan babi membuang limbah kotoran babi ke
Kali Surabaya yang mengandung BOD 426,3 mg/I dan mengandung COD 1802,9
sebagaimana hasil dari pemeriksaan air limbah yang dilakukan oleh badai teknik kesehatan
Lingkungan tanggal 20 Juli 1988 No. 261/ Pem/ BTKL.Pa/VII/1988. Kandungan limbah
tersebut melebihi ambang batas yang ditetapkan SK Gubernur Jawa Timur No 43 Tahum
1987, yaitu maksimum BOD 30 mg/I dan COD 80 mg/I.
Terdakwa sebagai pengusaha PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo telah membuat
instansi (septictank) yang tidak memenuhi daya tampung limbah kedua perusahaan tersebut,
sehingga kotoran atau limbah meluber keluar dan mengalir ke Kali Surabaya. Pembuangan
air limbah tersebut menyebabkan menurunnya kualitas air Kali Surabaya dan menyebabkan
air kekurangan oksigen yang mengakibatkan matinya kehidupan dalam air serta sangat sukar
untuk diolah menjadi air bersih untuk bahan baku PDAM.
Jadi terdakwa Bambang Goenawan didakwa telah melanggar pasal 22 ayat 1 dan 2
Undang Undang No. 4 Tahun 1982.
Pada tanggal 23 Februari 1989, tuntutan pidana dibacakan, pada pokoknya berbunyi :
Menyatakan terdakwa Bambang Goenawan bersalah karena kelalaiannya melakukan
perbuatan menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup pasal 22 ayat 2 UU No. 4 Tahun
1982 (dakwaan subsidair).
Menjatuhkan pidana terhadap Bambang Goenawan selama 6 (enam) bulan dalam
masa percobaan 1 (satu) tahun dan denda Rp 1.000.0000,00 subsidair 2 (dua) bulan
kurungan. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya sebesar Rp 2.500,00 .
Pledoi penasihat hukum dibacakan pada tanggal 11 Maret 1989 dengan kesimpulan :
1. Menolak dakwaan dan tuntutan penuntut umum yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah
melakukan perbuatan kelalaian sebagaimana dimaksud pada tuntutannya (23 Februari 1989).
2. Menyatakan batal demi hukum dakwaan sehingga melanggar pasal 143 (3) KUHAP atau
menyatakan dakwaan jaksa kurang cukup bukti dan tidak beralasan, menurut hukum harus
ditolak.
3. Menyatakan dakwaan Bambang Goenawan tidak bersalah melakukan perbuatan pidana
sebagaimana yang didakwakan dan karena itu membebaskannya dari segala tuduhan hukum
atau melepaskan dari segala tuduhan hukum atau melepaskan dari segala tuntutan hukum
(vide pasal 191 KUHP).
4. Menyatakan untuk merehabilitasi nama baik terdakwa di mata umum (vide pasal 97 KUHP).
5. Membebankan biaya perkara ini pada Negara.
Dalam pemeriksaan terhadap Rochim Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Sidoarjo,
diperoleh keterangan bahwa diketemukan adanya sejumlah ikan yang mengambang di
permukaan air Kali Surabaya, tetapi tidak dapat dipastikan apakah ikan yang mengambang di
permukaan air Kali Surabaya itu sebagai akibat dari tercemarnya Kali Surabaya yang
disebabkan oleh limbah tahu industri yang dibuang terdakwa ke kali tersebut. Selain banyak
faktor yang menyebabkan ikan bisa mati lemas, juga mengingat banyaknya perusahaan lain
yang menbuang limbah ke Kali Surabaya.
Saksi Soekarsono Dirja Sukarta, B.A. Pejabat PDAM Pejabat PDAM Surabaya
menyatakan bahwa pernah kadar kimia air Kali Surabaya yang diolah menjadi air minum
sangat tinggi, sehingga PDAM harus mengeluarkan biaya tinggi untuk menormalkan kembali
kadar air tersebut, namun tidak dapat dipastikan kalau kejadian itu disebabkan oleh limbah
tahu yang dibuang terdakwa ke Kali Surabaya. Yang pasti, kejadian itu akibat dari
tercemarnya Kali Surabaya, tetapi siapa sesungguhnya yang mencemarkan, saksi tidak dapat
menentukan , karena pada kenyataannya banyak perusahaan yang membuang air limbah
pabriknyaa ke Kali Surabaya.
Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara telah mengadakan
pemeriksaan di lokasi perusahaan dengan konfirmasi keterangan terdakwa sendiri dengan
hasil sebagai berikut:
1. Di lokasi, yang dibuang itu adalah bekas air rendaman kedelai bercampur kulit kedelai yang
mengalir melalui saluran-saluran kecil di dalam pabrik menuju septic tank.
2. Tidak ada air yang dibuang setelah kedelai dimasak, karena yang ditinggal hanya sari air
kedelai - diendapkan menjadi tahu. Ampasnya di tampung pada tempat penampungan untuk
di konsumsi oleh ternak.
3. Air cucian atau rendaman diendapkan di beberapa septic tank dialirkan ke selokan menuju
danau kecil di lokasi perusahaan.
4. Dalam pembuatan tahu tidak menggunakan cuka.
5. Di sekitar pekarangan pabrik ada beberapa kelompok septic tank yang masing-masing
berukuran panjang 4 m, lebar 3 m, dalam 3 m, yang dahulu digunakan sebagai bak
penampungan atau pengendapan, penyaringan dan pembuangan air ke kali. Sekarang tidak
digunakan lagi karena limbah setelah diendapkan pada kelompok bak penampungan pertama
langsung mengalir ke danau-danau kecil pada lahan di lokasi perusahaan.
6. Pada kandang babi terdapat 10 petak kandang.
7. Limbah cucian ternak dan kotoran babi dari dalam kandang mengalir ke kiri kanan melalui
parit-parit bersemen ke selokan besar lebar 2 m, dalam 1 m, panjang 500 m.
8. Terdapat septic tank limbah ternak babi yang tidak terpakai lagi dan ditutup atas perintah
Sekwilda Tingkat 2 Sidoarjo.
9. Sekarang tidak ada lagi pembuangan limbah dalam keadaan bagaimanapun ke Kali Surabaya
karena semua saluran pembuangan ditutup dengan beton semen.
10. Kedua perusahaan tersebut mempunyai ijin dan mempunyai syarat serta ditinjau Sekwilda
Kabupaten Sukoarjo.
11. Air limbah telah dibuatkan bak pengendapan dan tidak benar sampai meluber ke Kali
Surabaya, terkecuali hujan turun lebat, mau tidak mau terjadi perembesan dan masuk ke kali
Surabaya bersama sama dengan air hujan
12. Air yang dipergunakan memproses tahu diambil dari Kali Surabaya berdasarkan surat ijin
dari gubernur Jawa Timur yang sudah ada dan telah dimiliki oleh terdakwa.

Dalam pemeriksaan perkara di temukan ketidaksesuaian alat bukti mengenai besarnya


BOD dan COD dari limbah tahu. Perbedaan hasil penilitian laboratorium tentang kadar BOD
dan COD yang bervariasi membuat majelis hakim ragu ragu terhadap kebenaran dari
besarnya BOD dan COD tersebut, sehingga ditetapkan asas In Dubio Pro Reo (putusan yang
menguntungkan bagi terdakwa) majelis hakim menetapkan bahwa besarnya BOD dan COD
yang terkandung dalam limbah industri tahu terdakwa adalah sebesar 17,54 m/I dan 68,58
m/I sesuai dan seperti hasil penelitian pada Balai Pengembangan dan Penelitian Industri
Kanwil Departemen Perindustrian Jawa Timur, Surabaya, tanggal 4 Juni 1988.
Di samping itu, menurut majelis hakim karena tidak adanya hasil penelitian itu sendiri
tentang akibat yang timbul dari limbah yang dibuang ke kali, maka kasus tersebut tidak dapat
di pertanggungjawabkan kepada terdakwa. Dengan demikian menurut hukum, tidak terbukti
limbah yang dibuang terdakwa itu menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup, sehingga
perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak kejahatan dan bukan pula merupakan
pelanggaran. Oleh karenanya, pada tanggal 6 Mei 1989 putusan PN Sidoarjo :
1. Menyatakan Bambang Goenawan alias Oei Ling Gwat telah melakukan perbuatan
membuang limbah industri tahu ke Kali Surabaya, tetapi perbuatan itu bukan merupakan
perbuatan tindak pidana, yakni tidak menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup.
2. Menyatakan oleh karena itu terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
3. Membebankan biaya perkara kepada Negara.
4. Menetapkan surat sutrat yang diperiksa sebagai alat bukti tetap terlampir dalam berkas.
Berkaitan dengan adanya putusan PN Sidoarjo di atas , Siti Sundari Rangkuti
menyatakan bahwa baik jaksa maupun hakim sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu hukum
pidana, sedangkan pledoi penasehat hukum tidak mengandung argumentasi yang
mencerminkan pengusaan materi hukum lingkungan. Kepolisian, Kejaksaan dan juga
Penasehat Hukum berpendapat bahwa perbuatan melanggar baku mutu air limbah identik
dengan mencemarkan air Kali Surabaya yang merupakan tindakan pidana lingkungan dan
terkena pasal 22 UULH. Dari sudut pandang yang demikian dapatlah dimengerti, mengapa
sampai terjadi perbedaan persepsi dalam proses pemeriksaan perkara pencemaran kali
Surabaya tersebut yang dapat dibahas dalam pemikiran hukum lingkungan.[7]
Perbuatan terdakwa sesuai dengan pemeriksaan air limbah oleh laboratorium Balai
Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) sebagai saksi ahli, terbukti melanggar Baku Mutu Air
Limbah yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 44
Tahun 1987 Tentang Penggolongan dan Baku Mutu Air Limbah di Jawa Timur, dan bukan
mencemarkan air Kali Surabaya yang tunduk pada pasal 22 UULH. Air Kali Surabaya yang
menjadi pencemaran akibat perbuatan terdakwa yaitu korban pencemaran, tidak pernah
diajukan sebagai alat bukti untuk syarat pembuktian hubungan kausal antara limbah terdakwa
dengan cemarnya air yang merupakan salah satu unsur delik lingkugan. Dengan demikian
pertimbangan hakim tentang asas In Dubio Pro Reo (yang menguntungkkan bagi terdakwa)
karena perbedaan hasil pemeriksaan tentang besarnya BOD dan COD yang terkandung dalam
limbah tahu oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Kanwil Dep. Perindustrian
Jawa Timur dengan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dalam kasus ini, menjadi tidak
relevan. Walaupun belum sepenuhnya berlandaskan pemikiran hukum lingkungan
kepemidanaan, namun putusan Majelis Hakim cukup beralasan, yaitu terdakwa terbukti
melakukan pembuangan limbah industry tahu ke kali Surabaya, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan satu tindak pidana, yakni tidak menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup.
Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Dapat dimengerti, karena alat buktinya
limbah tahu, bukan air kali Surabaya yang sudah tercemar secara kumulatif. Air mempunyai
sifat self-purification kalau hanya menerima limnbah. Dengan demikian perbuatan
terdakwa merupakan pelanggaran hukum lingkungan administratif yang sanksinya diatur
dalam pasal putusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 414 Tahun 1987 tentang
Penggolongan dan Baku Mutu Air Limbah di Jawa Timur.
Dari rumusan pasal 8 di atas, jelaslah bahwa sanksi perbuatan mekanggar Baku Mutu
Air Limbah tidak diatur sewaktu terjadinya kasus limbah tahu Sidoarjo baik sanksi
administrasi maupun sanksi pidana. Semua peraturan hukum yang dimaksud dalam pasal 8
tersebut tidak mengatur tentang perbuatan Melanggar Baku Mutu Air Limbah. Dapat
dimengerti, karena pada waktu itu (1987), pembuat peraturan masih dalam proses belajar
tentang hukum lingkungan. Hal ini terbukti dalam hal dari perbedaan pengaturan sanksi yang
kemudian diberlakukan terhadap perlanggaran sejenis, yaitu pasal 33 PP No. 20 Tahun 1990
tentang Pengendalian Pencemaran Air.
Dengan berlakunya keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No.
136 Tahun 1994 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Industri Atau Kegiatan Usaha
Lainnya di Jawa Timur, tanggal 21 November 1994, Keputusan Gubernur KDH tingkat I
Jawa Timur No. 414 Tahun 1987 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari ketentuan di atas Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa perbuatan
Melanggar Baku Mutu Air Limbah penyelesaiannya bukan melalui jalur pengadilan tetapi
merupakan pelanggaran hukum lingkungan administratif dengan konsekuensi sanksi
administrasi. Dewasa ini perbuatan tersebut tunduk pada pasal 33 PP No.20 Tahun 1990
tentang Pengendalian Pencemaran Air jo. Keputusan Gubernur KDH tungkat I Jawa Timur
No. 136 Tahun 1994.[8]
Setelah keputusan PN Sidoarjo memutuskan membebaskan terdakwa dari segala
hukuman maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan
Mahkamah Agung menyatakan mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi Jaksa
Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sidoarjo tanggal 6 Mei 1989 No.
122/pid/1988/PN.Sad. Mahkamah Agung dalam putusan rek. 1479/K/pid/1989, tanggal 20
Maret 1993 memutuskan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan kejahatan karena kelalaiannya melakukan oerbuatan yang menyebabkan
tercemarnya lingkungan hidup. Kendatipun demikian, terdakwa hanya dihukum kurungan
3 (tiga) bulan dengan waktu percobaan 6 (enam) bulan, di samping itu terdakwa juga
dihukum dengan pidana denda dengan Rp 1.000.000, 00 (satu juta rupiah).
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut, Siti Sundari Rangkuti mengatakan
bahwa perlu dikaji Ratio Decidendi yang melandasi putusan, khususnya masalah pencemaran
itu:
1. MA mengakui bahwa merupakan kewenangan aparatur tata usaha Negara untuk menentukan
batas kadar keamanan untuk masing masing objek lingkungan yang harus dilindungi.
Sehubungan dengan itu, oleh pejabat TUN ditentukan pula standar kadar limbah yang boleh
dibuang ke air. Masalahnya adalah mengapa keputusan pejabat TUN yang dilanggar
dikenakan sanksi pidana oleh MA?
2. Pertimbangan MA yang cukup memprihatinkan adalah menimbang bahwa walaupun secara
individu membuang limbah melebihi yang diperbolehkan An sich memang baru merupakan
perbuatan yang potensial dapat mencemarkan lingkungan, namun hal itu tidak berlaku dalam
perkara ini, karena dalam perkara ini kesalahan terdakwa merupakan satu dari sekian banyak
perusahaan yang membuang limbahnya ke sungai itu, maka pembuangan limbah yang
melampaui ambang batas yang diperbolehkan yang dilakukan terdakwa (yang ternyata
bersama sama dengan perusahaan lain itu) harus dianggap mencemarkan air sungai
tersebut.
3. MA berpendapat bahwa, berdasarkan keterangan keterangan terdakwa, saksi saksi serta
bukti surat surat yang dihasilkan dalam persidangan, terdakwa harus dinyatakan telah
terbukti lalai memenuhi syarat- syarat pembuangan limbah yang baik dengan demikian,
terdakwa harus dinyatakan terbukti akan dakwaan subsidair.
Dari berkas perkara putusan MA termaksud, tidak ditemukan argumentasi hukum
lingkungan bahwa karena kelalaiannya terdakwa terbukti melakukan perbuatan menyebabkan
tercemarnya air kali yang pembuktiannya menyimpang dari pasal 183 KUHAP yang
berbunyi: hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurang nya 2 alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa sesuatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sampai
sekarang belum ada aturan hukum yang menyatakan bahwa perbuatan melanggar Baku Mutu
Air Limbah adalah tindak pidana, yang berarti terdakwa tidak melakukan delik lingkungan,
sehingga dapat dikatakan bahwa MA melanggar asas legalitas
(pasal 1 KUHP).
Menurut Siti Sundari Rangkuti, sebenarnya kasus Sidoarjo dapat diproses sebagai
perkara pidana pencemaran air Kali Surabaya dengan syarat agar unsur-unsur delik
lingkungan sebagai delik materiil berhasil dibuktikan. Untuk dapat dijadikan alat bukti adalah
air Kali Surabaya, bukan air limbah tahu sehingga dapat dibuktikan unsur hubungan kausal
antara perbuatan terdakwa dengan tercemarnya air Kali Surabaya. Dasar hukum yang berlaku
adalah keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur No. 413 Tahun 1987 tentang
Penggolongan dan Baku Mutu Air di Jawa Timur. Prosedur pembuktian didasarkan pada
baku mutu air sebelum limbah tahu dibuang. Apabila setelah air limbah tahu di buang ke Kali
Surabaya, penggolongan dan baku mutu air berubah menjadi turun kualitasnya, melalui
ketentuan dalam keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur No. 413 Tahun 1987, maka
dapat dikatakan bahwa perbuatan terdakwa melanggar pasal UULH (sekarang pasal 41-44
UULPH) Tentang Tindak Pidana Lingkungan sebagaimana diketahui, delik lingkungan hanya
menyangkut perbuatan konkrit. [9]
Dengan mengkaji putusan MA tentang kasus limbah tahu di atas sebagai bahan
pemikiran dapatlah dikemukakan bahwa putusan MA itu :
1. Melanggar asas legalitas.
2. Melanggar baku mutu air limbah tanpa dasar hukum yang konkrit yang dinyatakan sebagai
delik.
3. Pengertian delik pencemaran air dalam pasal 22 UULH tidak dikaitkan dengan pasal 1 angka
7 UULH;
4. Tidak sesuai dengan pasal 183 KUHAP tentang alat bukti.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Pencemaran air yaitu masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau
komponen lain kedalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Kualitas air sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan bagi makhluk hidup.
Efek dari pencemaran air antara lain pengaruhnya terhadap lingkungan hidup, pengaruhnya
pada kesehatan bagi manusia, dan pengaruhnya pada industri pertanian.
Indikator adanya pencemaran air dapat dilihat dari :
a. Nilai pH, keasaman dan alkalinitas;
b. Suhu;
c. Warna, bau dan rasa;
d. Jumlah padatan;
e. Nilai BOD/COD;
f. Pencemaran mikroorganisme patogen;
g. Kandungan minyak;
h. Kandungan logam berat;
i. Kandungan bahan radioaktif.
Penyelesaian sengketa dalam hukum lingkungan dapat diselesaikan di dalam maupun di luar
pengadilan. Apabila sengketa hukum lingkungan ini diselesaikan di dalam pengadilan maka
dapat digunakan tiga instrumen hukum, yaitu instrumen hukum administrasi, instrumen
hukum perdata, maupun instrumen hukum pidana.

3.2 Saran
Pemerintah seharusnya lebih menaruh perhatian lagi dalam upaya pengelolaan
maupun pelestarian lingkungan hidup. Tidak hanya sekedar dalam pembuatan regulasi atau
peraturan perundang-undangan saja tetapi juga pada pengawasan penegakannya, terutama
pada proses penegakan di dalam pengadilan. Jangan sampai terjadi majelis hakim di suatu
peradilan dapat lalai dalam memutus suatu perkara karena perbedaan penafsiran hukum atau
peraturan perundang-undangan. Mungkin perlu ditunjuk majelis hakim yang tidak hanya
berkompeten di bidang hukum tetapi juga memiliki kepedulian terhadap lingkungan yang
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan :
Undang_Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok
Lingkungan Hidup
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Literatur :
Hermin Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Ibid; hlm 2.
Ibid; hlm. 107.
Ibid; hlm. 224-225.
Ibid; hlm. 226.
Ibid; hlm. 228.
J.B.J.M Ten Berg. Dalam Philipus M. Hadjon Penegakan HukumAdministrasi.
Dalam Kaitannya dengan Ketentuan pasal 20 ayat (3) UU No. 4Tahun 1982
tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (makalah, tanpa
tahun), hlm 1.
Mas Ahmad Santosa, Good Governance, op cit hlm. 296
Pramudya Sunu, Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001, PT. Gramedia
Sunu, Pramudya. 2001. Melindungi Lingkungan. Jakarta : PT Grasindo
Supriadi. 2006. Hukum Lingkungan Indonesia.jakarta : PT Grafika Offset

Internet :
http://id.wikipedia.org/wiki/Pencemaran_air
diakses pada 7 November 2012 pukul 16.29 WIB

http://www.sentra-edukasi.com/2010/04/macam-macam-pencemaran-lingkungan-
upaya.html#.UIFEO65UniQ
diakses pada 7 November 2012 pukul 16.37 WIB

[1] Pramudya Sunu, Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 97.
[2] Ibid; hlm. 107
[3] J.B.J.M ten berg. Dalam philipus M. Hadjon penegakan hukum administrasi. Dalam kaitannya
dengan ketentuan pasala 20 ayat (3) UU No. 4 tahun 1982 tentang ketentuan ketentuan pokok
pengelolaan lingkungan Hidup (makalah, tanpa tahun), hlm 1.
[4] Ibid; hlm 2
[5] Mas Ahmad Santosa, Good Governance, op cit hlm. 296
[6] Hermin Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
[7] Ibid; hlm. 224-225
[8] Ibid; hlm. 226
[9] Ibid; hlm. 228.
Posted by Christian Pieter Sthepanus Purba at 12/05/2012 10:03:00 AM

Anda mungkin juga menyukai