Hakikat Norma, Kebiasaan, Adat Istiadat dan Peraturan yang berlaku dalam
Masyarakat
1. Pengertian Norma
Menurut kamus besar bahasa Indonesia mempunyai dua arti:
a) Aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat dan
dapat digunakan sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang
sesuai, dan diterima oleh masyarakat.
b) Aturan, ukuran, atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau
membandingkan sesuatu.
Dari dua pengertian di atas dapat disimpilkan bahwa:
Norma adalah kaidah atau pedoman dalam mewujudkan suatu nilai. Kaidah atau
pedoman tersebut biasanya berwujud perintah atau larangan.
2. Tujuan Norma
Dengan adanya norma manusia akan mandapatkan jaminan perlindungan atas
dirinya dan kepentingan dalam berhubungan dengan sesamanya di masyarakat.
Dengan demikian, akan terjalin hubungan yang harmonis dalam masyarakat.
Dengan adanya jaminan perlindungan terhadap diri dan kepentingan dalam hidup
masyarakat dapat terbentuk. Keserasian hubungan diantara warga masyarakat
dapat menciptakan keamanan dan ketertiban. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa tujuan norma adalah untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam
hidup masyarakat.
3. Fungsi Norma
Norma berfungsi untuk mewujudkan keteraturan dan ketertiban dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Macam-macam norma
Ada empat macam norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara:
A. Norma Agama
Norma agama adalah serangkaian peraturan hidup yang berisi perintah, larangan,
dan ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan.
Tujuan norma agama adalah agar ilmu yang diberikan Tuhan, manusia dapat
mewujudkan tatanan kehidupan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta
dapat mewujudkan keimanannya dalam kehidupan sehari-hari. Contoh-contoh
norma agama:
1. Beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan
2. Beramal saleh dan berbuat kebijakan
3. Mencegah, melarang, dan tidak melakukan perbuatan maksiat, keji, dan mungkar.
Contoh perbuatan maksiat, keji, dan mungkar ialah: berjudi, mabuk-mabukan,
durhaka, berkhianat, menipu, berbohong, dan sebagainya.
4. Pelanggar norma agama mendapatkan sanksi secara langsung, artinya
pelanggarnya baru akan menerima sanksinya nanti diakhirat berupa siksaan di
neraka.
B. Norma Kesusilaan
Adalah aturan yang bersumber dari hati nurani manusia tentang baik buruknya suatu
perbuatan. Contoh norma-norma susila ialah:
1. Berlaku jujur
2. Bertindak adil
3. Menghargai orang lain
Sanksi bagi norma pelanggar norma kesusilaan tidak tegas, karena hanya diri
sendiri yang merasakannya, yakni merasa bersalah, menyesal, malu, dan
sebagainya.
C. Norma Kesopanan
Adalah peraturan yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok manusia didalam
masyarakat dan dianggap sebagai tuntutan pergaulan sehari-hari masyarakat itu.
Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma
kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan atau waktu. Contoh-contoh
norma kesopanan ialah:
1. Menghormati orang yang lebih tua
2. Menerima sesuatu selalu dengan tangan kanan
3. Tidak berkata-kata kotor, kasar dan sombong
4. Tidak meludah disembarang tempat.
Sanksi bagi pelanggar norma kesopanan tidak tegas, tetapi dapat diberikan oleh
masyarakat berupa cemoohan, celaan, hinaan, atau dikucilkan dan diasingkan dari
pergaulan.
D. Norma Hukum
Adalah pedoman hidup yang dibuat oleh lembaga negara atau lembaga politik suatu
masyarakat/ bangsa. Hukuman sebagai sistem norma berfungsi untuk menertibkan
dan menstabilkan kehidupan sosial. Tujuan utama norma hukum adalah
menciptakan suasanan aman dan tentram dalam masyarakat. Contoh-contoh norma
hukum ialah:
1. Harus tertib
2. Harus sesuai prosedur
3. Dilarang mencuri, merampok, membunuh dan lain-lain.
Sanksi bagi pelanggar hukum tegas, nyata, mengikat, dan bersifat memaksa.
Mereka yang melaggar norma hukum akan ditindak tegas oleh aparat penegak
hukum dan diproses melalui persidangan di pengadilan.
5. Hubungan norma, kebiasaan, adat istiadat dan peraturan
Norma mengarahkan anggota masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan
ketentuan yang tercantum didalamnya. Untuk memastikan anggota masyarakat
berperilaku sesuai dengan norma, setiap pelanggaran terhadap norma ada
sanksinya, sebaliknya, berperilaku yang sesuai dengan norma-norma, mendapat
ganjaran. Contoh, siswa yang rajin belajar mendapat pujian, sebaliknya siswa yang
ketahuan mencontek dikenakan sanksi yang sesuai.
Kebiasaan berarti sesuatu yang bisa dikerjakan. Kebiasaan adalah perbuatan yang
diulang-ulang dalam bentuk yang sama karena banyak orang menyukai dan
menganggapnya penting. Oleh karena disukai dan dianggap penting, maka
kebiasaan itu terus diperintahkan. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa
kebiasaan terus diperintahkan.
Adat Istiadat berarti tata kelakukan yang bersifat kekal dan turun temurun. Ia
diteruskan dari satu generasi kegenerasi lainnya berikutnya sebagai warisan
sehingga kuat integrasinya dengan pola prilaku masyarakat.
Peraturan berarti tatanan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk mengatur.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dikenal dengan istilah peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan adalah aturan yang telah
dibuat oleh lembaga yang berwewenang untuk dipatuhi oleh seluruh warga negara.
Jika ditinjaui dari tingkatannya ada dua tingkatan peraturan, yaitu peraturan tingkat
pusat dan peraturan tingkat daerah. Dapat disimpulkan bahwa hubungan antara
norma, kebiasaan, adat isitiadat dan peraturan ialah sebagai peraturan dan tatanan
didalam mengatur tingkahlaku yang mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur.
6. Sumber-sumber norma
Setiap norma memiliki sumber-sumber yang berbeda. Norma agama bersumber
pada firman Tuhan yang terdapat dalam kitab suci agama, norma kesusilaan
bersumber hati sanubari manusia, norma kesopanaan bersumber pada pergaulan
segolongan manusia, dan norma hukum bersumber pada peraturan perundangan
yang dibuat negara.
7. Norma-norma berdasarkan kekuatan mengikatnya
Berdasarkan kekuatan mengikatnya, norma-norma dibedakan atas empat, yaitu:
1. Cara (Usage)
Adalah jenis perbuatan yang bersifat perorangan. Penyimpangannya terhadap cara
hukumannya tidak berat, hanya berupa celaan. Contoh dari jenis perbuatan yang
bersifat perorangan (cara) ialah cara berpakaian, cara berdandan, cara makan, cara
bertelepon, dan sebagainya.
2. Kebiasaan (Folkways)
Adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan pola yang sama dan tetap
karena dianggap baik. Contohnya, mengetuk pintu saat bertamu atau saat
memasuki ruangan orang lain dan memberikan sesuatu dengan tangan kanan
adalah kebiasaan dengan baik dan sopan. Sanksi yang diberikan jika melanggar
kebiasaan umumnya masih tergolong ringan, yaitu berupa sindiran atau ejekan.
3. Tata kelakuan (Mores)
Adalah perilaku yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai perilaku yang baik dan
diterima sebagai norma pengatur dan pengawas anggota-anggotanya. Tata
kelakuan ini berwujud paksaan dan larangan sehingga secara langsung menjadi alat
agar anggota masyarakat menyesuiakan perbuatannya dengan tata kelakuan
tersebut. Saksi terhadap tata kelakuan ini tergolong berat, seperti dikucilkan secara
diam-diam dari pergaulan. Contohnya Larangan untuk berciuman, larangan kumpul
kebo, larangan melakukan hubungan seks diluar nikah, larangan membunuh atau
juga dicontohkan dengan cotoh lain seperti:
Misalnya, seseorang pembantu rumah tangga melakukan perbuatan yang tidak
pantas terhadap nyonya atau majikannya. Oleh karena perbuatannya itu, saat itu
juga mungkin langsung diberhentikan atau dipecat oleh majikannya.
4. Adat-istiadat (Coustom)
Adalah pola-pola prilaku yang diakui sebagai hal yang baik dan dijadikan sebagai
hukuman tidak tertulis dengan sanksi yang berat. Yang memberikan sanksi orang
yang mengerti seluk-beluk tentang adat, seperti pimpinan adat, pemangku adat, atau
kepala suku.
Misalnya, dalam masyarakat dikenal dengan istilah tabu atau pantangan. Sesuatu
yang ditabukan berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar. Seandainya tabu/
pantangan itu dilanggar, bencana akan menimpa seluruh warga dan si pelaku akan
dikenakan sanksi yang berat.
8. Sanksi norma
Sanksi norma dintaranya: norma agama sanksinya dosa dan bersifat tidak langsung,
norma kesusilaan sanksinya rasa menyesal, malu dan bersalah, norma kesopanan
sanksinya teguran dan cemoohan dari masyarakat, norma hukum sanksinya tegas
dan memaksa, misalnya penjara.
KASUS :
PT Galuh Cempaka bergerak dalam bidang pertambangan intan, PT tersebut
membuang limbah industri ke aliran sungai yang dapat membahayakan bagi kesehatan dan
keselamatan masyarakat sekitar. Menurut data yang didapatkan dari siaran pers WALHI
Kalimantan selatan, pencemarn yang dilakukan oleh PT. Galuh Cempaka tersebut
mengakibatkan tingkat keasaaman air sungai mencapai ph 2,97. Hal ini sangat bertentangan
dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan, yaitu
tingkat ph normal air sungai sebesar 6 hingga 9 ph. Selain itu efek dari penambangan tersebut
mengancam ketahanan pangan dikota Banjarbaru. Lumbung padi kota banjarbaru terancam
dengan aktivitas penambangan PT Galuh Cempaka. Dampak lingkungan ini juga menuruni
fungsi sungai sebagai pengatur tata air, minimal pada tiga sungai di kelurahan palam.
Penyebabnya tak lain pengelolaan tambang yang carut marut dimana perencanaan
pertambangan tidak mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar dan terkesan arogan.
Setelah ditelusuri ternyata dokumen AMDAL yang dibuat PT Galuh Cempaka cacat
hukum dan pada implementasinya juga tidak dijalankan. Dengan kata lain dokumen amdal
hanya sebagai persyaratan administrasi belaka. Dampak langsung yang terjadi adalah
penurunan kualitas air yang menyebabkan rusaknya fungsi biologis. Hal ini terlihat dari ikan-
ikan yang mati, tidak mengalirnya air secara normal bahkan dua sungai tidak berfungsi.
Belum lagi genangan air banjir yang mengakibatkan terendamnya ribuan hektare sawah
masyarakat yang berakibat pada keterlambatan panen untuk musim tanam. Jika hal ini terus
dibiarkan dapat mengakibatkan penurunan kualitas air yang akan mengancam kepunahan
biota air. Sungai yang tidak berfungsi sebagai pengatur tata air akan mengakibatkan krisis
yang lebih jauh dan berdampak besar berupa krisis ketahanan pangan yang dapat
mengakibatkan krisis ekonomi. Masalah ini dianggap sebagai kejahatan korporasi lingkungan
karena sudah jelas melanggar UU yang telah ditatapkan, yaitu UU No 23 Tahun 1997,
Tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab VI Pasal 20 ayat 1 Tanpa suatu keputusan
izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.
Kejahatan lingkungan adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang atau kelompok
atau Badan hukum yang bersifat merusak dan mencemari lingkungan. Dalam kacamata
krimonologi, kejahatan lingkungan memiliki perbedaan dengan kejahatan konvensional. Ciri
utama dari kejahatan ini adalah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan (korporasi) dalam
menjalankan usahanya.
Permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan PT Galuh Cempaka
seakan menjadi benalu yang menguras sumber kekayaan alam, dan sekaigus memberikan
dampak kerusakan bagi lingkungan yang akhirnya akan memberikan kerugian yang sangat
besar bagi kehidupan masyarakat di Indonesia.
Solusinya
Menurut saya kenapa kasus tersebut bisa terjadi karena kurangnya kontrol dari
pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan yang mengadakan eksploitasi di bumi nusantara
ini. Selain itu, pelaksanaan kententuan hukum yang berlaku terhadap pelaku kejahatan
lingkungan terasa masih setengah-setengah. Pelaku kejahatan lingkungan tidak mendapatkan
stigma masyarakat yang berat dan melekat. Karena apa yang dilakukan oeh pelaku kejahatan
tidak memberikan dampak secara langsung melainkan secara lamban namun sangat fatal. Hal
ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang kejahatan lingkungan
itu sendiri. Meskipun sudah jelas dicantumkan dalam UU tentang pelanggaran yang berkaitan
dengan lingkungan, tetapi masih banyak dari masyarakat yang tidak mengetahui tolak ukur
untuk menentukan apakah suatu kejahatan masuk ke dalam kategori kejahatan lingkungan
atau tidak. Masyarakat baru akan sadar ketika telah jatuh korban dan muncunya berbagai
masalah yang diakibatkan oleh pencemaran lingkungan tersebut, seperti masalah penyakit
kulit yang terjadi pada kasus PT Galuh Cempaka.
Seharusnya untuk menangani permasalahan ini peran pemerintah sangat dibutuhkan
karena dalam karakteristik kejahatan korporasi, pembuktian apakah suatu perusahaan
melakukan kejahatan atau tidak, hanya bisa dilakukan oleh pemerintah atau Badan Hukum
yang bersangkutan. Selain itu sosialisasi tentang kejahatan korporasi akan lebih baik apabila
ada inisiatif dari pemerintah untuk mengadakan peningkatan pengenalan mengenai kejahatan-
kejahatan seperti apa saja yang bisa dikatakan sebagai kejahatan korporasi.
Kejahatan korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan
hidup, yaitu tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah korporasi
bernama Galuh cempaka. Dampak yang diakibatkan adanya perbuatan oleh korporasi
tersebut merugikan tidak hanya secara material, namun juga telah merugikan lingkungan
hidup masyarakat. Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak kejahatan.
Dalam kasus ini ditemukan beberapa pelanggaran hukum yang bisa dijerat dengan pasal-
pasal dalam undang-undang antara lain hukum lingkungan hidup (UULH), hukum pidana
(KUHP) dan hukum perdata (KUHPer).
Terkait dengan PT Galuh Cempaka, menurut organisasi non pemerintah yang fokus
pada persoalan lingkungan ini, perusahaan tersebut telah melakukan kejahatan korporasi
yaitu sengaja melakukan pembuangan limbah atau zat ke aliran sungai yang dapat
membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan orang byk. Perbaikan sistem pengolahan air
limbah (sispal) yang dilakukan PT Galuh Cempaka adalah suatu keharusan yang dilakukan
oleh sebuah perusahaan.
Sanksi dapat dijatuhkan kepada perorangan yaitu setiap orang yang memberi perintah
maupun yang melaksanakan perintah, dalam kejadian ini, korporasi dapat juga dijadikan
tersangka sesuai dalam pasal 45 dan pasal 46 UU No.23/1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup, dan didalam RUU KUHP paragraph 7 tentang korporasi yang dimulai dari
pasal 44-49.
Melihat polanya maka dalam pandangan diatas, kejahatan ini bukanlah suatu
peristiwa yang berdiri sendiri. Kesalahan dalam pengurusan yang telah berlangsung lama
menjadi salah satu faktor utama pendorong terjadinya kejahatan tersebut termasuk regulasi
yang mengaturnya. Belum lagi lemahnya penegakan hukum yang berimplikasi pada semakin
tingginya tingkat kejahatan tersebut. Parahnya oknum aparat penegak hukum juga menjadi
bagian dari praktek atau modus bagaimana kejahatan ini berlangsung dan dilakukan terus
menerus.
Di Indonesia adalah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah
undang-undang nomor 23 thun 1997 tentang lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi
pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability. Meskipun tidak digariskan secara jelas
seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini
terdapat tiga bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan
regulasi yang sudah ada, yaitu : dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam
Psaal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang jalan. Dapat pula dibebankan kepada organ
atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai
pemimpin dalam melakukan tindak pidana, seperti yang diatur dalam Pasal 20 UU
No,31/1999 tentang tindak pidana korupsi dan UU No.31/2004 tentang perikanan kemudian
kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai
pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada korporasi, contohnya seperti
dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999 tentang tindak pidana korupsi.
Penting untuk melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkungan yang terjadi.
Sehingga kasus ini juga bisa dijadikan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
untuk melindungi warga Negara dan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan hidupnya.
Eksploitasi dan eksplorasi telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan
pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No.23 tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41
hingga pasal 45 undang-undang tersebut. Dalam ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945,
bahwasannya bumi. Air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat dan digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Masalah ini tidak akan pernah selesai tanpa ada inisiatif dari kita semua untuk
menanggulanginya. Sebagai individu ataupun masyarakat, kita juga memiliki kewajiban
untuk menjaga lingkungan kita. Lebih baik kita siaga sejak dini daripada baru akan
menyadarinya saat berbagai masalah yang baru muncul akibat pencemaran lingkungan.
Sebagai penegak hukum, seharusnya masalah seperti ini harus ditangani secara serius, karena
permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan korporasi tersangka sangat sulit ditangkap
ataupun dikenali. Sesuai dengan fungsinya baik secara mikro maupun makro, sebuah bisnis
yang baik harus memiliki etika dan tanggung jawab social. Nantinya, jika sebuah perusahaan
memiliki etika dan tanggung jawab social yang baik, bukan hanya lingkungan makro dan
mikronya saja yang akan menikmati keuntungan, tetapi juga perusahaan itu sendiri. Oleh
karena itu, sebuah perusahaan harus mementingkan yang namanya etika bisnis. Agar ketika
dia menjalani bisnisnya, tidak merugikan pihak manapun, dan sebuah perusahaan harus
mempunyai tempat pembuangan limbah sendiri. Para pelaku bisnis harus mempertimbangkan
standar etika demi kebaikan dan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang. Untuk
penanganan masalah lingkungan tersebut sebaiknya Bapedal segera turun tangan, jangan
sampai berlarut-larut yang bisa berdampak pada sosial masyarakat. Pembangunan disamping
dapat membawa kepada kehidupan yang lebih baik juga mengandung resiko karena dapat
menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Untuk meminimalkan terjadinya
pencemaran dan kerusakan tersebut perlu diupayakan adanya keseimbangan antara
pembagunan dengan kelestarian lingkungan hidup, peningkatan kegiatan ekonomi melalui
sektor industrialisasi tidak boleh merusak sektor lain.
01/07/12
KASUS LUMPUR LAPINDO SEBAGAI KEJAHATAN
KORPORASI
A. Prolog
Kejahatan yang terjadi pada kasus sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah suatu kejahatan
yang tidak berhenti ketika pelaku berhasil di jebloskan ke dalam penjara atau memberikan ganti kerugian.
Kejahatan ini akan menimbulkan dampak yang akumulatif dan cenderung melahirkan suatu bentuk
kejahatan baru. Destructive logging/perusakan hutan adalah contoh konkret yang selanjutnya dapat
melahirkan rentetan bencana berupa banjir, longsor, kekeringan, gagal panen, gagal tanam dan kebakaran
hutan. Bahkan dampak dari destructive logging dapat menimbulkan hilangnya nyawa dan harta benda bagi
mereka yang tertimpa bencana ikutan tersebut.
Berikutnya ketidak sigapan negara dalam menanggulangi bencana akan melahirkan pelanggaran
terhadap hak-hak penggungsi (akibat tersingkir dari tempat hidupnya) yang di nyatakan secara tegas dalam
berbagai perjanjian atau kesepakatan internasional termasuk covenant on economic social and political
right. Inilah yang WALHI sebutkan sebagai kejahatan yang dapat melahirkan akumulasi dampak dan
kejahatan lainnya. Lingkup kejahatan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup sangatlah luas.
Antara lain terdapat pada sektor kehutanan, perikanan dan kelautan, pertambangan mineral dan sumber-
sumber energi fosil serta sumberdaya air. Dimana sector tersebut adalah sektor yang paling sering dikelola
secara destructive. Melihat polanya maka dalam pandangan diatas, kejahatan ini bukanlah suatu peristiwa
yang berdiri sendiri. Kesalahan dalam pengurusan yang telah berlangsung lama menjadi salah faktor utama
pendorong terjadinya kejahatan tersebut termasuk regulasi yang mengaturnya. Belum lagi lemahnya
penegakan hukum yang berimplikasi pada semakin tingginya tingkat kejahatan tersebut. Parahnya,
(oknum) aparat penegak hukum juga menjadi bagian dari praktek/modus bagaimana kejahatan ini
berlangsung dan dilakukan terus menerus.
Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat
dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitasaktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan
harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai kejahatan kerah putih. Sally. A. Simpson yang
mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah conduct of a corporation, or
employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law (melakukan
suatu korporasi, atau karyawan yang bertindak atas nama sebuah perusahaan, yang dilarang
dan dikenai sanksi hukum). Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite
mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan
perilaku kriminal kelas sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang
digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hokum pidana, tetapi juga
pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.Kedua, baik korporasi (sebagai subyek hukum
perorangan legal persons) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors),
dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan
kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan
untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan
organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional
(internal) dan sub-kultur organisasional.
B. Kasus
Banjir lumpur panas Lapindo di Sidoarjo adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi
pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur yang terjadi sejak tanggal 27 Mei 2006. Semburan lumpur panas telah mengakibatkan tergenangnya
kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi
aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lokasi semburan lumpur panas berada di Kecamatan Porong, di
bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 kilometer sebelah selatan Kota Sidoarjo. Kecamatan ini
berbatasan dengan Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan di sebelah selatan. Lokasi semburan hanya
berjarak 150-500 meter dari sumur BanjarPanji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik
Lapindo Brantas sebagai pelaksana teknis blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur
panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut.
Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori yang berhubungan dengan asal semburan. Pertama,
semburan lumpur berhubungan dengan kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur "kebetulan" terjadi
bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Lokasi tersebut merupakan kawasan
pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari
lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-
Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-
Banyuwangi.
C. Analisis
Korporasi yang saat ini sedang mendapat sorotan atas dugaan pelanggaran terhadap lingkungan
yang sedang terjadi adalah Lapindo brantas Inc. yang terkait dengan luapan lumpur dan gas di Porong
Sidoarjo Jawa Timur. Telah 200 hari sejak pertama kali lumpur itu menyembur dari sumur galian milik
Lapindo Brantas Inc., salah satu dari berbagai anak perusahaan milik PT. Energi Mega Persada Tbk
(EMP). Lapindo Brantas didirikan khusus untuk mengeksploitasi sumur-sumur yang ada di Blok Brantas,
dalam hal ini, Lapindo Brantas/EMP ibaratnya hanya sebagai operator, sedangkan saham Blok Brantas
tersebut dimiliki bersama oleh PT. Energi Mega Persada Tbk, PT. Medco Energi Tbk, dan Santoz LTD-
Australia Perusahaan-perusahaan yang menguasai saham di Lapindo Brantas/EMP merupakan perusahaan
yang juga memiliki berbagai kilang minyak dan gas yang tersebar seantero Nusantara.
Perbuatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok Brantas yang telah terjadi
selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat Lapindo Brantas menjadi tersangka utama dalam
dugaan adanya pelanggaran terhadap UUPLH sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan
terjadinya kejahatan korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari semburan lumpur
tersebut masih diselidiki oleh pihak yang berwenang, namun korban serta lingkungan yang rusak terus
bertambah besar dan luas jumlahnya, tanpa ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti
menenggelamkan Kec. Porong dan sekitarnya. Yang sangat jelas terlihat saat ini adalah Lapindo
Brantas/EMP sebagai pemegang hak
eksploitasi dan eksplorasi dari BP Migas telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan
pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal
45 undangundang tersebut. Namun tentunya dalam hal Lapindo, jika nantinya tidak dapat ditemukan
bahwa penyebab menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan bencana ini merupakan kealpaan atau
kesengajaan dalam kegiatan pengeboran sudah tentu Lapindo sebagai korporasi tidak dapat dijatuhi
hukuman. Dan hal ini akan membuat masyarakat yang mencari keadilan akan terkoyak.
Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang
Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi
doktrin vicarious liability. Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda,
berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana
dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu :
1. Dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang
Jalan.
2. Dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka
yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20
ayat
3. UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang Perikanan
4. Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai
pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal
20 ayat 1 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
kejahatan korporasi adalah merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi, yang tentunya berkaitan dengan hubungan keperdataan, artinya hubungan yang menimbulkan
tindak pidana tersebut adalah perbuatan perdata. Melakukan pengeboran yang bertujuan sebagai kegiatan
penambangan gas di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc., menurut pengertian kejahatan korporasi
adalah merupakan perbuatan perdata, sedangkan hal yang berlanjut mengenai adanya kesalahan manusia
atau human error dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain adalah merupakan perbuatan tindak pidana.
Human error yang dilakukan oleh Lapindo Brantas adalah tidak dipasangnya pipa selubung dalam
aktivitas pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana itu terjadi. Pemasangan chasing (pipa selubung)
yang tidak dilakukan lebih awal oleh Lapindo ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari sebuah
korporasi dengan tidak dilaksanakannya standar keselamatan sebelum pelaksanan pengeboran.
Kejahatan korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup, yaitu
tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah korporasi bernama Lapindo
Brantas Incorporated. Dampak yang diakibatkan adanya perbuatan oleh korporasi tersebut merugikan tidak
hanya secara material, namun juga telah merugikan lingkungan hidup masyarakat Sidorajo. Hal seperti ini
dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak kejahatan. Dalam kasus Lapindo ditemukan beberapa
pelanggaran hukum yang bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam undang-undang antara lain hukum
lingkungan hidup (UULH), hukum Pidana (KUHP) dan hukum Perdata (KUHPer).
Sanksi dapat dijatuhkan kepada perorangan yaitu setiap orang yang memberi perintah maupun yang
melaksanakan perintah, dalam kejadian ini, korporasi dapat juga dijadikan tersangka sesuai dalam Pasal 45
dan Pasal 46 UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan didalam RUU KUHP
Paragraf 7 tentang Korporasi yang dimulai dari pasal 44-49. Hingga saat ini tindakan nyata dari Lapindo
Brantas (Lapindo) sebagai pemegang izin eksplorasi dan eksplotasi pada Blok Brantas baru sebatas
pemberian ganti rugi terhadap kerusakan fisik yang diderita warga sekitar daerah bencana. Sementara
upaya menghentikan semburan lumpur dan upaya penanggulangan dampak kerusakan dan pencemaran
lingkungan sebagai akibat lain dari bencana tersebut belum ditangani secara benar dan sistematis.
definisi tentang perusakan lingkungan hidup yang terdapat dalam Pasal 1 angka 14 memuat unsure-unsur
sebagai berikut :
1. adanya tindakan, tindakan yang dilakukan adalah pengeboran migas oleh PT. Lapindo Brantas dalam
rangka mengeksplorasi dan ekplotasi sumber migas di Blok Brantas tersebut.
2. yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak terhadap perubahan fisik dan/ atau hayati lingkungan,
semburan dan luberan lumpur yang masih terjadi saat ini memuat kandungan bahan-bahan berbahaya dan
beracun (B3) yang mengakibatkan perubahan langsung terhadap perubahan fisik lingkungan hidup di Kec.
Porong dan sekitarnya yang belum ada kepastian sampai berapa lama lagi luberan lumpur ini akan
berlanjut.
3. yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang
berkelanjutan, melihat fakta luberan dan semburan lumpur yang semakin hari semakin meningkat sudah
jelas tidak akan terjadi pembangunan di Kec. Porong Sidoarjo dan sekitarnya tersebut, daerah ini akan
terisolasi dan tidak ada yang dapat memperkirakan akan sampai berapa lama, bahkan jalan tol antara
Surabaya-Gempol yang melewati daerah semburan lumpur ini diperkirakan akan ditutup dan tidak dapat
dilewati kendaraan tranportasi orang dan barang.
Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian Koran Kompas, penerapan sistem tanggung
jawab pidana mutlak dapat langsung menempatkan Lapindo sebagai pelaku kejahatan korporasi
lingkungan125. Berbeda dari sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya unsur
kesengajaan atau kealpaan dalam pembuktian sebuah perbuatan pidana, dalam sistem tanggung jawab
pidana mutlak, hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa, yang artinya adalah dalam
melakukan perbuatan tersebut, terdakwa telah mengetahui atau menyadari potensi hasil dari perbuatannya
dapat merugikan pihak lain, maka keadaan ini telah cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana
kepadanya. Hal ini tentu saja dapat dilakukan oleh hakim sebagai living interpretator yang dapat
menangkap semangat keadilan yang hidup ditengahtengah masyarakat dan hakim juga dapat mematahkan
kekakuan normative prosedural undang-undang karena seiring dengan perkembangan hukum dan
beradabnya negara-negara di seluruh dunia, hakim tidak lagi sekedar hanya mulut atau corong undang-
undang (la bouche de la loi).
D. Epolog
Penting untuk melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkungan yang terjadi dan juga
mengembalikan harkat dan martabat masyarakat korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc. sehingga
kasus ini juga bisa dijadikan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melindungi
warga Negara dan kepentingan ekonomi, social dan lingkungan hidupnya. Kasus lumpur panas di Kec.
Porong Sidoarjo Jawa Timur ini harus diungkapkan dengan tuntas dan maksimal, dimana aparat penegak
hokum harus melibatkan pihak-pihak terkait yang tidak saja mengerti akan norma-norma hukum
Indonesia, tetapi juga penyelidikan seharusnya melibatkan penyidik sipil dari instansi tertentu yang
menangani masalah lingkungan baik dari pemerintahan, pakar-pakar ahli bidang lingkungan maupun
anggota-anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan. Pengusutan tidak saja dilakukan
dijajaran karyawan PT. Lapindo Brantas saja, tapi harus juga diusut dari jajaran top managerial, karena
kasus ini tidak lagi merupakan kasus lingkungan biasa yang akan selesai dengan hanya menerapkan sanksi
berupa sanksi denda/administrasi.
1. Analisis Dampak Dari Lumpur Lapindo (Yis Andispa)
Perbuatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok Brantas yang telah terjadi
selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat Lapindo Brantas menjadi tersangka utama dalam
dugaan adanya pelanggaran terhadap UUPLH sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan
terjadinya kejahatan korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari semburan lumpur
tersebut masih diselidiki oleh pihak yang berwenang, namun korban serta lingkungan yang rusak terus
bertambah besar dan luas jumlahnya, tanpa ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti
menenggelamkan Kec. Porong dan sekitarnya. Yang sangat jelas terlihat saat ini adalah Lapindo
Brantas/EMP sebagai pemegang hak
eksploitasi dan eksplorasi dari BP Migas telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan
pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal
45 undang-undang tersebut. Namun tentunya dalam hal Lapindo, jika nantinya tidak dapat ditemukan
bahwa penyebab menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan bencana ini merupakan kealpaan atau
kesengajaan dalam kegiatan pengeboran sudah tentu Lapindo sebagai korporasi tidak dapat dijatuhi
hukuman. Dan hal ini akan membuat masyarakat yang mencari keadilan akan terkoyak.
Hingga saat ini pertanggungjawaban atas kejadian luapan lumpur lapindo pun belum jelas, ganti
rudi yang diberikan oleh pihak Lapindo Brantas terhadap masyarakat ternyata tidak memberikan suatu
keadaan yang cukup, masih banyak masyarakat yang mengeluhkan tentang ganti rugi yang tidak sepadan
dengan apa yang masyarakat miliki sebelumnya. Hal ini mengakibatkan banyaknya warga yang terlantar
dan tidak mempunyai suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan.
Hal yang sangat menjadi perhatian dalam kasus ini yaitu tentang pencemaran lingkungan dimana
luapan lumpur lapindo telah menenggelamkan beberapa desa. Hal inilah yang seharusnya menjadi
perhatian pemerintah untuk menindak lanjuti permasalahan yang hingga saat ini belum terselesaikan.
Seharusnya pemerintah bertindak tegas agar dampak lingkungan dari lumpur lapindo tidak meluas.
2. Analisis Tentang Subjek/Pelaku Kejahatan Korporasi Dalam Lumpur Lapindo
Subyek yang mengakibatkan Dampak dari Lumpur Lapindo, diakarenakan adanya Human error
yang dilakukan oleh Lapindo Brantas, dimana tidak dipasangnya pipa selubung dalam aktivitas
pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana itu terjadi. Pemasangan chasing (pipa selubung) yang
tidak dilakukan lebih awal oleh Lapindo ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari sebuah korporasi
dengan tidak dilaksanakannya standar keselamatan sebelum pelaksanan pengeboran. Bahwa Banjir lumpur
panas Lapindo di Sidoarjo merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran
Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang
terjadi sejak tanggal 27 Mei 2006. Semburan lumpur panas telah mengakibatkan tergenangnya kawasan
permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur.
3. Kesimpulan Dampak Dari Lumpur Lapindo
Bahwa pelanggaran kejahatan ekonomi yang di timbulkan oleh korporasi (Lumpu Lapindo)
telah mencemarkan lingkungan di sekitarnya, terlebih lagi telah menenggelamkan beberapa
desa di sekitar bencana tersebut.
Bahwa semburan lumpur lapindo telah merugikan warga yang tempat tinggalnya terendam
lumpur, dengan ganti rugi yang tidak menunjang kehidupan harus diperhatikan secara serius
oleh pemerintah.
Bahwa subjek/petinggi korporasi harus bertanggungjawab atas terjadinya luapan lumpur
lapindo yang menenggelamkan rumah warga.
Sebagai penegak hukum, seharusnya masalah seperti ini harus di tangani secara serius,
karena permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan korporasi tersangka sangat sulit di
tangkap/pun di kenali.
Penyelesaian Persengketaan dalam Kasus Lingkungan
Hidup
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
3.1 Simpulan
Pencemaran air yaitu masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau
komponen lain kedalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Kualitas air sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan bagi makhluk hidup.
Efek dari pencemaran air antara lain pengaruhnya terhadap lingkungan hidup, pengaruhnya
pada kesehatan bagi manusia, dan pengaruhnya pada industri pertanian.
Indikator adanya pencemaran air dapat dilihat dari :
a. Nilai pH, keasaman dan alkalinitas;
b. Suhu;
c. Warna, bau dan rasa;
d. Jumlah padatan;
e. Nilai BOD/COD;
f. Pencemaran mikroorganisme patogen;
g. Kandungan minyak;
h. Kandungan logam berat;
i. Kandungan bahan radioaktif.
Penyelesaian sengketa dalam hukum lingkungan dapat diselesaikan di dalam maupun di luar
pengadilan. Apabila sengketa hukum lingkungan ini diselesaikan di dalam pengadilan maka
dapat digunakan tiga instrumen hukum, yaitu instrumen hukum administrasi, instrumen
hukum perdata, maupun instrumen hukum pidana.
3.2 Saran
Pemerintah seharusnya lebih menaruh perhatian lagi dalam upaya pengelolaan
maupun pelestarian lingkungan hidup. Tidak hanya sekedar dalam pembuatan regulasi atau
peraturan perundang-undangan saja tetapi juga pada pengawasan penegakannya, terutama
pada proses penegakan di dalam pengadilan. Jangan sampai terjadi majelis hakim di suatu
peradilan dapat lalai dalam memutus suatu perkara karena perbedaan penafsiran hukum atau
peraturan perundang-undangan. Mungkin perlu ditunjuk majelis hakim yang tidak hanya
berkompeten di bidang hukum tetapi juga memiliki kepedulian terhadap lingkungan yang
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan :
Undang_Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok
Lingkungan Hidup
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Literatur :
Hermin Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Ibid; hlm 2.
Ibid; hlm. 107.
Ibid; hlm. 224-225.
Ibid; hlm. 226.
Ibid; hlm. 228.
J.B.J.M Ten Berg. Dalam Philipus M. Hadjon Penegakan HukumAdministrasi.
Dalam Kaitannya dengan Ketentuan pasal 20 ayat (3) UU No. 4Tahun 1982
tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (makalah, tanpa
tahun), hlm 1.
Mas Ahmad Santosa, Good Governance, op cit hlm. 296
Pramudya Sunu, Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001, PT. Gramedia
Sunu, Pramudya. 2001. Melindungi Lingkungan. Jakarta : PT Grasindo
Supriadi. 2006. Hukum Lingkungan Indonesia.jakarta : PT Grafika Offset
Internet :
http://id.wikipedia.org/wiki/Pencemaran_air
diakses pada 7 November 2012 pukul 16.29 WIB
http://www.sentra-edukasi.com/2010/04/macam-macam-pencemaran-lingkungan-
upaya.html#.UIFEO65UniQ
diakses pada 7 November 2012 pukul 16.37 WIB
[1] Pramudya Sunu, Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 97.
[2] Ibid; hlm. 107
[3] J.B.J.M ten berg. Dalam philipus M. Hadjon penegakan hukum administrasi. Dalam kaitannya
dengan ketentuan pasala 20 ayat (3) UU No. 4 tahun 1982 tentang ketentuan ketentuan pokok
pengelolaan lingkungan Hidup (makalah, tanpa tahun), hlm 1.
[4] Ibid; hlm 2
[5] Mas Ahmad Santosa, Good Governance, op cit hlm. 296
[6] Hermin Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
[7] Ibid; hlm. 224-225
[8] Ibid; hlm. 226
[9] Ibid; hlm. 228.
Posted by Christian Pieter Sthepanus Purba at 12/05/2012 10:03:00 AM