PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Blok Edokrinologi adalah blok ke empat belas semester III dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk
menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang.
Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis
pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Nn.A, 28 tahun, karyawan di sebuah perusahaan swasta, diantar ke IGD sebuah RS karena
penurunan kesadaran sejak 6 jam yang lalu.Dari aloanamnesis, sejak seminggu yang lalu
pasien mengalami demam tinggi, batuk pilek dan sakit tenggorokkan. Pasien juga sering
mengalami diare, frekuensi 4-6 kali/hari, tanpa disertai darah dan lendir. Dalam beberapa
bulan terakhir pasien sering gugup,keluar keringat banyak, mudah cemas , sulit tidur dan bila
mengerjakan sesuatu selalu terburu-buru. Pada pemeriksaan fisik, kesadaran : Delirium ;TD
90/60 mmHG , Nadi 120x menit/regular, RR 24 x/menit, suhu 39,6 C. Kepala : exopthalmus
(+), mulut : faring hiperemis ,oral hygiene buruk. Leher : struma diffusa (+), kaku kuduk (-).
Jantung : takikardi ; paru: bunyi nafas normal. Abdomen : dinding perut lemas; hati dan limpa
tak teraba, bising usus meningkat. Ekstremitas : telapak tangan lembab, tremor (+), reflex
patologis (-).
Pemeriksaan laboratorium:
Kimia darah : Glukosa darah, test fungsi ginjal dan hati normal, elektrolit serum normal. Test
fungsi tiroid: TSH 0,001 m U/L (menurun), T4 bebas 6,20 ng/dL ( meningkat).
2
I. Klarifikasi Istilah
NO ISTILAH DEFINSI
3
II. Identifikasi Masalah
Masalah Alasan Concern
Pemeriksaan laboratorium:
Darah rutin : Hb : 11g%, WBC : 24,000/mm3
Kimia darah : Glukosa darah, test fungsi ginjal dan
Tidak sesuai
hati normal, elektrolit serum normal. Test fungsi harapan *
tiroid: TSH 0,001 m U/L (menurun), T4 bebas 6,20
ng/dL ( meningkat).
4
III. Analisis Masalah
1. Nn.A, 28 tahun, karyawan di sebuah perusahaan swasta, diantar ke IGD sebuah RS
karena penurunan kesadaran sejak 6 jam yang lalu.
a) Apa yang menyebabkan penurunan kesadaran pada Nn.A?
Jawab :
-Adanya peningkatan aktivitas sekresi hormon tiroid akibat adanya respon autoimun
dan terganggunya aktivitas pada sistem saraf pusat (SSP) dimana hormon tiroid
berperan penting dalam perkembangan normal sistem saraf, khususnya SSP.
(Sherwood 2011)
5
5. N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis
6. I : Intoksikasi
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan penurunan
kesadaran
7. T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada.
8. E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.
( Harsono , 1996 )
6
e) Apakah dampak dari penurunan kesadaran sejak 6 jam yang lalu ?
Jawab :
Edema otak
Gagal ginjal
Kelainan asam basa
Hipoksia
Gangguan faal hemostasis dan perdarahan
Gangguan metabolism atau hipoglikemia dan gangguan keseimbangan
elektrolit atau hipokalsemia
Kerentanan terhadap infeksi
Gangguan sirkulasi
2. Dari aloanamnesis, sejak seminggu yang lalu pasien mengalami demam tinggi, batuk
pilek dan sakit tenggorokkan.Pasien juga sering mengalami diare, frekuensi 4-6
kali/hari, tanpa disertai darah dan lendir.
a) Bagaimana patofisiologi dan penyebab demam tinggi terkait kasus?
Jawab :
Hormon tiroid meningkatkan aktivitas metabolisme hampir seluruh jaringan tubuh.
Bila sekresi hormon ini banyak sekali, maka kecepatan metabolisme basal meningkat
jauh diatas nilai normal. Meningkatnya metabolisme jaringan mempercepat
pemakaian oksigen dan memperbanyak pelepasan jumlah produk akhir metabolisme
dari jaringan yang pada akhirnya meningkatkan produksi panas kemudian panas
tersebut disalurkan ke permukaan tubuh untuk dieliminasi ke lingkungan
(kalorigenesis). Kadar tiroid yang besar dapat menghasilkan panas dalam jumlah besar
sehingga suhu tubuh meningkat, akibatnya terjadi vasodilatasi kulit sehingga resistensi
perifer berkurang.
Dalam hal ini oral hygine yang buruk menunjukkan adanya suatu infeksi yang terjadi.
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit,
dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi
imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan
pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen
akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello
& Gelfand, 2005).
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan set point termostat di
pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih
7
rendah dari suhu set point yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme
untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme
volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas
dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh
naik ke set point yang baru tersebut (Sherwood, 2001).
8
IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan
dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel
tersebut pada permukaannya memiliki reseptor IgE. Sel eosinofil, makrofag, dan
trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE, tetapi dengan afinitas yang lemah.
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen
yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada
permukaan mastosit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke
dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam
proses degranulasi ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah
terkandung dalam granul-granul (performed) di dalam sitoplasma yang mempunyai
sifat biologik, yaitu histamin, Eosinofil Chemotatic Factor-A (ECF-A), Neutriphil
Chemotactic Factor (NFC), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator
tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
Histamin menyebabkan vasodilatasi, penurunan tekanan kapiler &
permeabilitas, sekresi mucus.
Sekresi mucus yang berlebihan itulah yang menyebabkan pilek.
c) Bagaimana patofisiologi dan penyebab sakit tengorokkan terkait kasus?
Jawab : Hal ini tidak ada kaitannya dengan hipertiroid Nn. A. Melainkan merupakan
gejala tersendiri yang mengisyartkan bahwa Nn. A sedang dalam keadaan infeksi.
Keadaan infeksi ini dapat disebabkan oleh oral hygiene yang buruk dari Nn.A,
sehingga mekanisme pertahanan tubuh untuk melawan bakteri yang masuk adalah
inflamasi sehingga terjadi sakit tenggorokan. Penurunan daya tahan tubuh secara
sistemik atau gangguan mikrobial lokal, misalnya kebersihan mulut buruk, maka
bakteri dan produknya yang merupakan faktor virulen (lipopolisakarida=LPS) akan
melakukan interaksi dengan sel-sel tertentu di rongga mulut. Pertama-tama Tonsil
yang bertindak sebagai mekanisme pertahanan tubuh di mulut akan berespons
terhadap stimulasi bakteri dan tubuh melakukan respons imunologis dengan
mengaktivasi sel-sel mediator inflamasi yang dapat menyebabkan gangguan
metabolism jaringan ikat sebagai tanda klinis awal radang pada tonsil.
Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh
baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan dihancurkan oleh
makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena
infeksi akibat dari penjagaan higiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktor-
faktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kuman-kuman
9
semuanya, akibat kuman yang bersarang di tonsil dan akan menimbulkan peradangan
tonsil yang kronik. Tonsilitis kronik dapat menimbulkan gejala lokal ataupun sistemik.
Gejala yang bisa terjadi adalah mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu
makan menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang akibat daripada gejala sistemik
tonsilitis kronik. Gejala lokal pula termasuklah nyeri tenggorok atau merasa tidak enak
di tenggorok, nyeri telan ringan kadang-kadang seperti benda asing (pancingan) di
tenggorok.
Intinya: Sakit tenggorokan biasanya disebabkan adanya infeksi yang
menyebabkan iritasi atau inflamasi pada tenggorokan. Hal ini megakibatkan respon
nyeri pada ujung saraf bebas pada tenggorokan sehingga terasa sakit.
Makna klinis adalah diare yang dialami adalah diare akut akibat infeksi
Pembagian diare akut berdasarkan proses patofisiologi enteric infection, yaitu
membagi diare akut atas mekanisme inflamatory, non inflammatory, dan penetrating.
11
3. Dalam beberapa bulan terakhir pasien sering gugup,keluar keringat banyak, mudah
cemas , sulit tidur dan bila mengerjakan sesuatu selalu terburu-buru.
Jawab :
Etiologi : Peningkatan hormon tiroid dalam sirkulasi diatas normal
Mekanisme:
Hormon tiroid meningkat Proliferasi reseptor spesifik katekolamin di
el sasaran Sel sasaran sensitive terhadap catecolamin Komponen-
komponen yang menciptakan kecemasan Gugup
Atau
Hormon tiroid meningkat Aktivitas CNS Aktivitas simpatis
Epinefrin dan Kortisol Gugup
13
Mekanisme : krisis tiroid ini merangsang saraf simpatik. Berikutnya, peningkatan
hormon tiroid meningkatkan keadaan reseptor beta-adrenergik sehingga menambah
efek katekolamin. Pelepasan neurotransmiter katekolamin yang berlebihan itu
menyebabkan depolarisasi Na dan K yang cepat, kemudian terjadi disosiasi pikiran
sehingga terjadi delirium.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel sel tubuh dalam merespon hormon
tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem
organ dan merupakan bentuk paling berat tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan
dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya
pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya
intake hormon tiroid oleh sel sel tubuh. Pada derajat tertentu , respon sel terhadap
hormon ini sudah terlalu tinggi sehingga menyebabkan penurunan kesadaran
(delirium).0020
Hormon tiroid menyebabkan peningkatan Na chanel , K chanel dan ATP fase chanel.
Dan juga efinefrin yang berkaitan dengan reseptor alfa 2 di otak sehingga konduksi
yang cepat pada sistem saraf pusat yang berlebihan sehingga timbul disosiasi pikiran
dan penuruna kesadaran.
14
Sulit tidur sendiri dikarenakan terjadinya hipersekresi dari hormon tiroid yang
akibatnya adalah meningkatnya metabolisme seluler sehingga tubuh menjadi panas.
Thermoregulator di hipothalamus merespon dengan berusaha menurunkan suhu tubuh
dengan mengeluarkan keringat. Selain itu, hipersekresi dari hormon tiroid ini juga
meningkatkan katekolamin sehingga menyebabkan gugup dan mudah cemas. Jantung
berdebar dan pernafasan yang meningkat juga menyebabkan gangguan sirkulasi, hal
ini yang menyebabkan nona A sulit tidur.
Kelenjar tiroid memproduksi dua jenis hormon aktif, yaitu levotiroksin (T4)
dan triiodotironin (T3). Kedua hormon tiroid tersebut disintesis oleh kelenjar tiroid
akibat stimulasi hormon penstimulasi tiroid (TSH). Sebagian besar (85%) hormon
tiroid yang disekresikan dalam peredaran darah oleh kelenjar tiroid adalah T4,
selebihnya (15%) adalah T3. Di dalam hepar, ginjal dan otot rangka, T4 diubah oleh
5-monodeiodinase menjadi T3. Selain T4 dan T3, baru-baru ini diidentifikasi adanya
derivat hormon tiroid yang disebut tironamin (TAM) yang juga mempunyai aktivitas
fisiologis. TAM merupakan hormon tiroid hasil proses dekarboksilasi T4 yang
berlangsung dalam sitoplasma. Hormon tiroid memengaruhi irama jantung melalui
efeknya pada saluran-saluran ion kardiomiosit. (Anggoro Budi Hartopo, 2013).
Peran hormone tiroksin (T4):
1. Pengaturan metabolism tubuh
3. Regulasi pertumbuhan fisik maupun mental
4. Perkembangan organ reproduksi dan pertahanan terhadap infeksi
Peran hormone triiodotironin (T3):
Pematangan dan pertumbuhan jaringan dengan cara meningkatkan metabolism
protein, lemak, dan glukosa, selain itu juga mensintesis protein kontraktil seperti
myosin dan membran reseptor. Fungsi tiroid diatur oleh hormone perangsang tiroid
(TSH) yang disekresikan oleh hipofisis, dibawah kendali hormon-hormon pelepasan
tirotropin (TRH) yang disekresikan oleh hypothalamus melalui sistem umpan balik
dari hipofisis ke hypothalamus. Faktor utama yang memengaruhi laju sekresi TRH
dan TSH adalah kadar hormon tiroid yanga bersikulasi dan laju metabolik
tubuh.(Bloom dan Fawcett, 2002)
15
4. Pada pemeriksaan fisik, kesadaran : Delirium ;TD 90/60 mmHG , Nadi 120x menit/regular, RR
24 x/menit, suhu 39,6 C. Kepala : exopthalmus (+), mulut : faring hiperemis ,oral hygiene buruk.
Leher : struma diffusa (+), kaku kuduk (-). Jantung : takikardi ; paru: bunyi nafas normal.
Abdomen : dinding perut lemas; hati dan limpa tak teraba, bising usus meningkat. Ekstremitas
: telapak tangan lembab, tremor (+), reflex patologis (-).
16
Hati dan limpa tidak Bising usus meningkat tidak normal
teraba
Bising usus = 3x /
menit
Telapak tangan tidak Telapak tangan lembab dan tremor
lembab tidak normal
Ekstremitas
Tremor (-) Tidak adanya refleks patologis
Refleks patologis (-) adalah normal
Mekanisme
Kesadaran: delirium Dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon
tiroid hipermetabolisme berat yang melibatkan
banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling
berat dari tirotoksikosis hiperaktivitas adrenergik +
hipersekresi hormon tiroid interaksi tiroid
katekolamin dapat mengakibatkan peningkatan
kecepatan reaksi kimia, meningkatkan konsumsi
nutrien dan oksigen oleh jaringan tubuh apabila
terus menerus, stok oksigen akan habis terjadi
penurunan oksigen di otak penurunan kesadaran
17
Nadi : 140x/menit Hipersekresi T3 oleh sel folikel tiroid pada pasien hipertir
reguler , takikardia oid juga mengakibatkan peningkatan
jumlah Reseptor adrenergik. Oleh karena itu, terjadi
respon terhadap Reseptor adrenergik berlebih saat
hormon T3 dilepaskan ke jaringan.Saat terjadi
stimulasi terhadap medula adrenal untuk biosintesis
katekolamin oleh hormon T3 dan saat hormon
katekolamin itu dilepaskan, maka hormon Epinefrin
dan Norepinefrin dilepaskan ke jaringan dan berikatan
dengan reseptor 1, mengakibatkan
peningkatan kerja otot jantung, sehingga denyut
jantung meningkat bersamaan dengan meningkatnya
cardiac output. Oleh karena itu, terjadi takikardia.
Suhu : 390C Pada keadaan hipertiroidisme, peningkatan hormon tiroid
akan meningkatkan aktivasi Na+-K+-ATPase yang
meningkatkan kecepatan transpor ion natrium dan kalium
melalui membran sel di beberapa jaringan. Hal inilah yang
menyebabkan peningkatan metabolisme tubuh dan
peningkatan jumlah panas dalam tubuh
Kepala : eksoftalmus (+) Fibroblas orbita mengekspresikan reseptor TSH di
permukaannya fibroblast mengalami diferensiasi
menuju adiposit matang dan mengeluarkan
glikosaminoglikan hidrofilik ke interstitial sebagai
respon terhadap antibodi anti reseptor TSH di darah
dan sitokin kombinasi infiltrasi limfosit, sel mast,
sel plasma, pengendapan glikosaminoglikan,
adipogenensis dalam jaringan ikat orbita
eksoftalmus tersensitasinya Ab sitotoksik terhadap
antigen TSH-R fibroblast orbita,otot orbita dan
jaringan tiroid inflamasi pada jaringan fibroblas
orbita reaksi autoimun pada jaringan ikat di dalam
rongga mata Jaringan ikat dengan jaringan
lemaknya menjadi hiperplasik sehingga bola mata
terdorong keluar dan otot mata terjepit eksoftalmus.
18
Mulut : faring hiperemis Adanya infeksi pada daerah di sekitar faring, sehingga
(+) menyebabkan terjadinya pelebaran pemubuluh darah
untuk memudahkan transpor leukosit untuk mengatasi
infeksi
Mulut : oral hygiene Terjadinya hiperemis menyebabkan penurunan produksi
buruk saliva sehingga memudahkan bakteri untuk tumbuh, selain
itu bisa juga karena pasien malas menjaga kebersihan
mulut, gigi dan gusinya.
Leher : struma difusa (+) Defisiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan
menyebabkan peningkatan produksi TSH. Peningkatan
TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi
sel kelenjar tiroid yang menormalisir level hormon
tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk
struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk
inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida
dan goitrogen.
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor
agonis TSH. Yang termasuk stimulator tsh adalah
reseptor antibodi tsh, kelenjar hipofise yang resisten
terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau
di kelenjar hipofise dan tumor yang memproduksi
human chorionic gonadotropin.
Auto imunitas jar. Tiroid pelepasan Ig yang berikatan
dengan reseptor TSH (TSI) aktivasi terus menerus
cAMP sel-sel tiroid mengalami hiperplasia diffuse
enlargment
Abdomen : dinding perut Tiroid dapat meningkatkan kecepatan sekresi getah
lemas, bising usus pencernaan dan pergerakan saluran cerna. Pada hipertiroid,
efek yang ditimbulkan ialah peningkatan saluran cerna
meningkat
yang terdeteksi dengan bising usus yang meningkat.
19
Pada keadaan hipertiroid yang diderita oleh Nn. SS akibat
dari infeksi yang dialaminya menyebabkan
metabolisme basal meningkat. Laju metabolisme ini
menghasilkan produksi panas yang berlebih dan
menyebabkan suhu tubuh meningkat. Hipothalamus
sebagai termoregulator menurunkan setpoint suhu
pada tubuh dengan cara berkeringat banyak diseluruh
tubuh. Mekanisme kompensasi ini dapat dirasakan
dengan adanya rasa lembab di ekstremitas (telapak
tangan).
20
d) Bagaimana gambaran makroskopi dari struma diffusa dan exopthalmus?
Jawab :
21
kesehatan mempengaruhi praktik oral hygiene. Kendati demikian, pengetahuan itu
sendiri tidaklah cukup. Klien juga harus termotivasi untuk melakukan oral hygiene.
d. Status kesehatan
Klien paralisis atau memiliki restriksi fisik pada pada tangan mengalami penurunan
kekuatan tangan atau ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan hygiene mulut
(Phipp, 1995).
e. Cacat jasmani/mental bawaan.
Kondisi cacat dan gangguan mental menghambat kemampuan individu untuk
melakukan perawatan diri secara mandiri.
f) Bagaimana penjagaan oral hygiene yang baik?
Jawab :
Sikatlah gigi dengan benar minimal 2 kali sehari; pagi sehabis sarapan dan
malam sebelum tidur. Pastikan sikat gigi Anda bersih sebelum digunakan
Jangan tunggu sikat gigi Anda mekar. Ganti sikat gigi setiap 3-4 bulan sekali.
Pilih sikat gigi berbulu lembut dengan kepala sikat yang dapat menjangkau semua
bagian gigi
Sebagai indera pengecap yang terbilang sensitif, lidah adalah bagian yang
paling sering terpapar makanan yang masuk ke mulut, karenanya rajinlah menyikat
lidah
Gunakan pasta gigi yang mengandung fluoride
Gunakan cairan antiseptik untuk berkumur setelah gosok gigi
Gunakan benang gigi sekali sehari untuk mengangkat plak yang tidak dapat
disentuh oleh sikat gigi dan obat kumur
Kunyah permen karet tanpa gula untuk meningkatkan aliran air liur yang dapat
membersihkan partikel makanan dan asam penyebab kerusakan gigi
Hindari makanan yang banyak mengandung gula dan manis
Minum air putih setelah makan
Biasakanlah untuk makan buah-buahan segar karena seratnya dapat membantu
menghilangkan kotoran yang ada di gigi
Konsumsi makanan yang seimbang dan kaya kalsium, seperti susu, keju, telur,
ikan teri, bayam, katuk, sawi, dan agar-agar
Hindari stres dan jaga daya tahan tubuh, antara lain dengan mengonsumsi
vitamin C dan makan makanan bergizi
Melakukan pemeriksaan berkala ke dokter gigi setiap enam bulan sekali.
22
g) Bagaimana anatomi dan histologi dari kelejar tiroid?
Jawab :
23
sirkulasi, hormon tiroid akan terikat oleh protein yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid
binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat albumin (thyroxine binding
prealbumine, TBPA).
Hormon stimulator tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) memegang peranan
terpenting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus
anterior kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal sebagai negative feedback sangat
penting dalam proses pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Dengan demikian,
sekresi tiroid dapat mengadakan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan di dalam
maupun di luar tubuh. Juga dijumpai adanya sel parafolikuler yang menghasilkan
kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan
kadar kalsium serum terhadap tulang.
24
h) Jelaskan tipe pembesaran kelenjar tiroid ?
Jawab :
Klasifikasi
1. Berdasarkan fisiologisnya :
a. Eutiroid : aktivitas kelenjar tiroid normal
b. Hipotiroid : aktivitas kelenjar tiroid yang kurang dari normal
c. Hipertiroid : aktivitas kelenjar tiroid yang berlebihan
2. Berdasarkan klinisnya :
a. Non-Toksik (eutiroid dan hipotiroid)
Difusa : endemik goiter, gravida
Nodusa : neoplasma
b. Toksik (hipertiroid)
Difus : grave, tirotoksikosis primer
Nodusa : tirotoksikosis skunder
Mikroskopis :
- Dilapisi kolumner tinggi,lebih ramai dari pada biasanya,berisi koloid dengan tepi
berenda-renda
- Jaringan limfoid banyak
- Kadang membentuk papil ke dalam lumen acini , koloid didalam lumen folikel
tampak pucat, dengan tepi belekuk-lekuk
- Hipertrofi dan hiperplasia sel sel epitel folikel tiroid
25
j) Bagaimana DD dari tonjolan di leher?
Jawab : TBC, kanker KGB dan hogkin Limfoma.
26
5. Pemeriksaan laboratorium:
Kimia darah : Glukosa darah, test fungsi ginjal dan hati normal, elektrolit serum normal. Test
fungsi tiroid: TSH 0,001 m U/L (menurun), T4 bebas 6,20 ng/dL ( meningkat).
Jawab :
Hb : 11g%
Kadar hemoglobin Nona A dibawah batas normal, dimana batas normal hemoglobin
wanita dewasa normal adalah 12 g%.
WBC : 24,000/mm3
Kadar sel darah ;utih nona A juga meningkat/ diatas kadar normal (5.000
10.000/mm3. Hal ini dikarenakan terjadinya infeksi terutama akibat oral hygiene nona
A yang buruk. Kadar leukositnya yang tinggi pun dikarenakan autoimun Graves
diseasenya yang menyebabkan terbentuknya TSI (Thyroid Stimulating
Immunoglobulin) yang akan berikatan dengan reseptor TSH di kelenjar tiroid akan
membuat tubuh merespon dengan mengaktivasi TBII sehingga terbentuklah
kompleks antigen antibodi. Terbentuknya kompleks antigen antibodi biasanya akan
mengaktifkan makrofag yang menyebabkan terjadinya leukositosis.
Mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar
tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T4) dan
triiodotironin (T3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating
hormon (TSH). Artinya, bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat
dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel
tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus,
sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini
menekan produksi TSH dikelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan
bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi sama sekali.
27
Pada pasien Hipertiroid, dapat dilihat bahwa terjadinya hipersekresi hormon tiroid (T3
maupun T4).
28
c) Bagaimana mekanisme pembentukkan hormone tiroid dan regulasinya?
Jawab :
A. Konsentrasi yodida (I-): kelenjar tiroid bersama dengan beberapa jaringan
epitel lainnya, mampu memekatkan I- dengan melawan gradien elektrokimia yang
kuat. Proses ini tergantung pada energi dan berkaitan dengan pompa Na+/ K+ yang
tergantung ATP ase. Aktivitas pompa I- tiroid dapat dipisahkan dari tahap bio
sintesis hormon berikutnya melalui penghambatan organifikasi I- dengan obat-obat
golongan tiourea. Rasio yodida dalam tiroid terhadap yodida dalam serum (rasio T
: S) pada manusia dengan diet yodium yang normal adalah sekitar 25 : 1 yang
merupakan pencerminan aktivitas pompa atau mekanisme pemekatan. Aktivitas ini
terutama dikendalikan oleh TSH.
29
Enzim tersendiri untuk perangkaian tersebut masih belum ditemukan, dan karena
reaksi perangkaian ini merupakan proses oksidasi, kita memperkirakan bahwa
enzim tiroperoksidase yang sama mengkatalisasi reaksi ini dengan merangsang
pembentukan radikal bebas yodotirosin.
a.
31
3,5-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga
32
g) Apa faktor risiko dari WD?
Jawab :
Turunan/genetik
Gender. Perempuan lebih berisiko terkena hipertiroid dari pada laki-laki
Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain
Terapi yodium radioaktif
Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati
secara adekuat
Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi
akut, alergi obat yang berat atau infark miokard
Stop pemberian OAT saat terapi obat masih berlangsung.
Infeksi
Stroke
Trauma
33
Kortikosteroid
d. Menurunkan kadar hormon secara langsung
Dengan plasmaferesis, tukar plasma, dialisis peritoneal, transfusi tukar, dan charcoal
plasma perfusion
e. Terapi definitif
Yodium radioaktif dan pembedahan (tiroidektomi subtotal ataua total)
b) Obat antiadrenergic
Pemberian beta-bloker seperti propanol dengan dosis 20-40 mg oral atau 1-5 mg
intravena setiap 6 jam. Pada pasien dengan kontraindikasi terhadap beta-bloker, dapat
diganti dengan guanetidin dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari dosis terbagi atau reserpin
2,5-5 mg/4-6 jam.
34
3. Pada kasus ini, faktor pencetus krisis tiroid adalah infeksi, sehingga pemberian
antibiotik dapat dilakukan. Namun harus ditemukan bukti dan sumber dari infeksi
tersebut.
35
IV. Keterkaitan Antar Masalah Dan Learning Issues
Histopatologi
Anatomi dan
Kelenjar tiroid Anatomi leher terkait kelenjar
histologi
tiroid
Kedokteran
Textbook
Pengertian Patofisiologi Gejala khusus
Hipertiroid
Hipertiroid Hipertiroid hipertiroid Pakar
36
V. Learning Issues
1. KELENJAR TIROID
2. HORMON TIROID
3. HIPERTIROID
4. GRAVES DISEASE
5. KRISIS TIROID
37
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea 2
dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada
setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini
digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan
dengan kelenjar tyroid atau tidak.
38
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari Arteri {a.} Tiroidea Superior (cabang dari a.Karotis
Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi
oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus
perifolikular (Djokomoeljanto, 2001). Nodus Lymfatikus {nl} tyroid berhubungan secara
bebas dengan pleksus trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas
istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl.
Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk
menduga penyebaran keganasan.
B. Fisiologi kelenjar dan hormon tiroid
Kelenjar tiroid berperan mempertahankan derajat metabolisme dalam jaringan pada titik
optimal. Hormon tiroid merangsang penggunaan O2 pada kebanyakan sel tubuh, membantu
mengatur metabolisme lemak dan hidrat arang, dan sangat diperlukan untuk pertumbuhan
serta maturasi normal. Apabila tidak terdapat kelenjar tiroid, orang tidak akan tahan dingin,
akan timbul kelambanan mental dan fisik, dan pada anak-anak terjadi retardasi mental dan
dwarfisme. Sebaliknya, sekresi tiroid yang berlebihan meninbulkan penyusutan tubuh,
gugup, takikardi, tremor, dan terjadi produksi panas yang berlebihan.
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang kemudian berubah
menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3). Iodium nonorganik yang diserap dari
saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-
40 kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid. T3 dan T4
yang dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk koloid di dalam tiroid. Sebagian
39
besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar
yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormon tiroid akan terikat oleh protein
yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat
albumin (thyroxine binding prealbumine, TBPA).
Hormon stimulator tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) memegang peranan terpenting
untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar
hipofisis. Proses yang dikenal sebagai negative feedback sangat penting dalam proses
pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Dengan demikian, sekresi tiroid dapat mengadakan
penyesuaian terhadap perubahan-perubahan di dalam maupun di luar tubuh. Juga dijumpai
adanya sel parafolikuler yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur
metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang.
Pengukuran TSH menjadi hasil test yang jelas dari fungsi tiroid pada banyak keadaan. Nilai
TSH berkisar antara rentang luar mayor dari kasus primer penyakit tiroid. Jika TSH tidak
normal, lihat nilai dari T4 bebas/ free T4 (fT4). Ketika ada faktor resiko, lihat free T3 (fT3)
ketika fT4 normal dan diduga ada tirotoksikosis.
40
C. Histologi Kelenjar Tiroid
Secara histologis, kelenjar tiroid tersusun dari
1. Folikel-folikel dengan epithetlium simplex kuboideum yang mengelilingi suatu massa
koloid. Sel epitel tersebut akan berkembang menjadi bentuk kolumner katika folikel lebih
aktif (seperti perkembangan otot yang terus dilatih).
2. Cellula perifolliculares (sel C) yang terletak di antara beberapa folikel yang berjauhan.
Tiroid terdiri dari nodula-nodula yang tersusun dari folikel-folikel kecil yang dipisahkan satu
dengan lainnya oleh suatu jaringan ikat. Setiap folikel dibatasi oleh epitel kubus dan diisi
oleh bahan proteinaseosa berwarna merah muda yang disebut koloid.
Sel-sel epitel folikel merupakan tempat sintesis hormon tiroid dan mengaktifkan
pelepasannya dalam sirkulasi. Zat koloid, triglobulin, merupakan tempat hormon tiroid
disintesis dan pada akhirnya disimpan. Dua hormon tiroid utama yang dihasilkan oleh folikel-
folikel adalah tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Sel pensekresi hormon lain dalam kelenjar
tiroid yaitu sel parafolikular yang terdapat pada dasar folikel dan berhubungan dengan
membran folikel, sel ini mensekresi hormon kalsitonin, suatu hormon yang dapat
merendahkan kadar kalsium serum dan dengan demikian ikut berperan dalam pengaturan
homeostasis kalsium.
Tiroksin (T4) mengandung empat atom yodium dan triiodotironin (T3) mengandung tiga
atom yodium. T4 disekresi dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dengan T3, tetapi
apabila dibandingkan milligram per milligram, T3 merupakan hormon yang lebih aktif
daripada T4.
41
Gambar. Kelenjar Tiroid
Sel Parafolikular disebut juga clear cell atau cell C. Sel terletak diantara sel folikel, antara
folikel tiroid, atau antara sel folikel dengan membrana basalis folikel. Bisa ditemukan
sendirian atau dalam kelompok di anatara sel folikel. Sel parafolikular tidak mencapai lumen.
Lebih besar dari sel folikel, inti besar, bulat, sitoplasma dengan granula terwarna pucat,
terdapat granula sekretoris kecil. Berfungsi menghasilkan dan sekresi hormon kalsitonin
(tirokalsitonin). Hormon ini dilepaskan secara langsung ke dalam jaringan ikat, segera masuk
pembuluh darah. Fungsi hormon kalsitonin adalah menurunkan konsentrasi kalsium dalam
plasma dengan cara menekan resorpsi tulang oleh osteoklas.
Mikroskopis:
Terdiri dari acini/folikel thyroid, dilapisi epitel kuboid. Lumen berisi massa koloid,
dikelilingi sel parafolikular atau sel C, dan kaya akan pembuluh darah.
42
Pembesaran kelenjar (nodul) tiroid dapat merupakan suatu kelainanradang, hiperplasia atau
neoplasma, dimana secara klinis kadang sulit dibedakan.
Radang
Tiroiditis atau radang kelenjar tiroid mencakup sejumlah kelainan pada tiroid dari radang
akut supuratif sampai terjadinya proses kronik. Tiroiditis akut jarang dijumpai.Berupa lesi
berwarna merah, terasa nyeri, dan demam.Termasuk disini yakni tiroiditis granulomatous
(subakut, deQuervains), tiroiditis limfositik (Hashimotos disease), dan struma Riedel.
Goiter atau Struma
Ditandai dengan adanya pembesaran kelenjar tiroid; nodular atau difus.Disebut juga
adenomatous goiter, endemik goiter, atau multinodular goiter.Keadaan ini biasanya
disebabkan adanya hiperplasia kelenjar tiroid oleh karena defisiensi iodine.Keadaan ini dapat
mengenai keseluruhan daripada kelenjar atau muncul secara fokal dan membentuk nodul
yang soliter.Merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada biopsi aspirasi.
Neoplasma
Neoplasma tiroid mencakup neoplasma jinak (adenoma folikular) dan neoplasma ganas
(karsinoma).Nodul tiroid dapat diraba secara klinis sekitar 5-10% populasi orang dewasa di
Amerika Serikat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan apakah nodul
tiroid tersebut jinak atau ganas.
Beberapa hal yang mengarahkan diagnosis nodul tiroid jinak, antara lain:
Ada riwayat keluarga menderita penyakit autoimun (Hashimoto tiroiditis) atau
menderita nodul tiroid jinak.
Adanya disfungsi hormon tiroid (hipo atau hipertiroidisme)
Nodul yang disertai rasa nyeri
Nodul yang lunak dan mudah digerakkan
Struma multinodosa tanpa adanya nodul yang dominan
Gambaran kistik pada USG.
Beberapa hal yang mendukung kemungkinan kearah keganasan pada nodul tiroid, yaitu :
Usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 70 tahun
Jenis kelamin laki-laki
Disertai gejalagejala disfagi atau distoni
Adanya riwayat radiasi leher
Adanya riwayat keluarga menderita karsinoma tiroid.
Nodul yang padat, keras dan sulit digerakkan
Adanya limfadenopati servikal
Gambaran solid atau campuran pada USG.
43
Karsinoma tiroid
Karsinoma tiroid merupakan penyakit yang jarang ditemukan.Tumor ini banyak mendapat
perhatian dari kalangan medik, karena sering ditemukan pada umur belasan tahun dan ukuran
tumor yang relatif kecil, bahkan sering tersembunyi atau sulit diraba walaupun sudah terjadi
metastasis.
Karsinoma tiroid umumnya tergolong keganasan yang pertumbuhan dan perjalanan
penyakitnya lambat, serta morbiditas dan mortalitas yang rendah, walau sebagian kecil ada
yang tumbuh cepat dan sangat ganas dengan prognosis yang buruk.Tentunya hal ini
merupakan tantangan bagi dokter untuk menentukan secara cepat apakah nodul tersebut jinak
atau ganas.
2. HORMON TIROID
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang kemudian berubah
menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3). Iodium nonorganik yang diserap dari
saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-
40 kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid. T3 dan T4
yang dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk koloid di dalam tiroid. Sebagian
besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar
yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormon tiroid akan terikat oleh protein
yaitu globulin pengikat tiroid Thyroid Binding Globulin (TBG) atau prealbumin pengikat
albumin Thyroxine Binding Prealbumine (TBPA). Hormon stimulator tiroid Thyroid
Stimulating Hormone (TSH) memegang peranan terpenting untuk mengatur sekresi dari
kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal
sebagai umpan balik negatif sangat penting dalam proses pengeluaran hormon tiroid ke
sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat adanya sel parafolikular yang menghasilkan
kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar
kalsium serum terhadap tulang (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid yaitu Thyroid
Stimulating Hormone (TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis. Kelenjar ini
secara langsung dipengaruhi dan diatur aktifitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam
sirkulasi yang bertindak sebagai umpan balik negatif terhadap lobus anterior hipofisis dan
terhadap sekresi hormon pelepas tirotropin yaitu Thyrotropin Releasing Hormone (TRH)
dari hipotalamus (Guyton & Hall, 2006).
44
Sebenarnya hampir semua sel di tubuh dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung
oleh hormon tiroid. Efek T3 dan T4 dapat dikelompokkan menjadi beberapa
kategori yaitu : (Sherwood, 2011).
45
folikel-folikel adalah tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Sel pensekresi hormon lain dalam
kelenjar tiroid yaitu sel parafolikular yang terdapat pada dasar folikel dan berhubungan
dengan membran folikel, sel ini mensekresi hormon kalsitonin, suatu hormon yang dapat
merendahkan kadar kalsium serum dan dengan demikian ikut berperan dalam pengaturan
homeostasis kalsium.
Tiroksin (T4) mengandung empat atom yodium dan triiodotironin (T3) mengandung
tiga atom yodium. T4 disekresi dalam jumlah lebih banyak dibandingka n dengan
T3, tetapi apabila dibandingkan milligram per milligram, T3 merupakan hormon yang lebih
aktif daripada T 7
1. Fungsi
Fungsi utama hormon tiroid T3 dan T4 adalah mengendalikan aktivitas metabolik seluler.
Kedua hormon ini bekerja sebagai alat pacu umum dengan mempercepat proses
metabolisme. Efeknya pada kecepatan metabo lis me ser ing dit imbu lkan o leh
peningkatan kadar enzim-enzim spesifik yang turut berperan dalam konsumsi oksigen,
dan oleh perubahan sifat responsif jaringan terhadap hormon yang lain. Hormon tiroid
mempengaruhi replikasi sel dan sangat penting bagi perkembangan otak. Adanya hormon
tiroid dalam jumlah yang adekuat juga diperlukan untuk pertumbuhan normal. Melalui
efeknya yang luas terhadap metabolisme seluler, hormon tiroid mempengaruhi setiap sistem
organ yang penting.6
Kelenjar tiroid berfungsi untuk mempertahankan tingkat metabolisme di berbagai jaringan
agar optimal sehingga mereka berfungsi normal. Hormon tiroid merangsang konsumsi O2
pada sebagian besar sel di tubuh, membantu mengatur metabolisme lemak dan karbohidrat,
dan penting untuk pertumbuhan dan pematangan normal.8
Hormon-hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan
metabolisme energi. Efek-efek ini bersifat genomic, melalui pengaturan ekspresi gen, dan
yang tidak bersifat genomic, melalui efek langsung pada sitosol sel, membran sel, dan
mitokondria. Hormon tiroid juga merangsang pertumbuhan somatis dan berperan dalam
perkembangan normal sistem saraf pusat.7 Hormon ini tidak esensial bagi kehidupan, tetapi
ketiadaannya menyebabkan perlambatan perkembangan mental dan fisik, berkurangnya
daya tahan tubuh terhadap dingin, serta pada anak-anak timbul retardasi mental dan
kecebolan (dwarfisme). Sebaliknya, sekresi tiroid yang berlebihan menyebabkan badan
menjadi kurus, gelisah, takikardia, tremor, dan kelebihan pembentukan panas.
46
2. Sistem Hormon
Dua jenis hormon berbeda yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid membentuk hormon tiroid
yaitu tiroksin dan triiodotironin. Kedua hormon ini merupakan asam amino dengan sifat unik
yang mengandung molekul iodium yang terikat pada struktur asam amino.6,8
2.1 Tiroksin (T4)
Hormon tiroksin (T4) mengandung empat atom iodium dalam setiap molekulnya.6,7
Hormon ini disintesis dan disimpan dalam keadaan terikat dengan protein di dalam sel-sel
kelenjar tiriod; pelepasannya ke dalam aliran darah terjadi ketika diperlukan. Kurang lebih
75% hormon tiroid terikat dengan globulin pengikat- protein (TBG; thyroid-binding
globulin). Hormon tiroid yang lain berada dalam keadaan terikat dengan albumin dan
prealbumin pengikat tiroid.6 Bentuk T4 yang terdapat secara alami dan turunannya dengan
atom karbon asimetrik adalah isomer L. D-Tiroksin hanya memiliki sedikit aktivitas bentuk
L.8
Hormon tiroid yang bersirkulasi dalam plasma terikat pada protein plasma, diantaranya :7
(1) globulin pengikat tiroksin (TBG).
(2) prealbumin pengikat tiroksin (TBPA)
(3) albumin pengikat tiroksin (TBA).
Dari ketiga protein pengikat tiroksin, TBG mengikat tiroksin yang paling spesifik. Selain
itu, tiroksin mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein pengikat ini di bandingkan
dengan triiodotironin.7 Secara normal 99,98% T4 dalam plasma terikat atau sekitar 8 g/dL
(103 nmol/L); kadar T4 bebas hanya sekitar 2 ng/dL (Gambar 2).
Hanya terdapat sedikit T4 dalam urin. Waktu paruh biologiknya panjang (6-7 hari), dan
volume distribusinya lebih kecil jika dibandingkan dengan cairan ekstra seluler (CES)
sebesar 10L, atau sekitar 15% berat tubuh.8
47
disekresikan. Sewaktu disekresi, koloid diambil oleh sel-sel tiroid, ikatan peptida mengalami
hidrolisis, dan T3 serta T4 bebas dilepaskan ke dalam kapiler.8
Triiodotironin mempunyai afinitas yang lebih kecil terhadap protein pengikat TBG
dibandingkan dengan tiroksin, menyebabkan triiodotironin lebih mudah berpindah ke
jaringan sasaran. Faktor ini yang merupakan alasan mengapa aktivitas metabolik
triiodotironin lebih besar.7 T3 mugkin dibentuk melalui kondensasi monoidotirosin (MIT)
dengan diidotirosin (DIT). Dalam tiroid manusia normal, distribusi rata-rata senyawa
beriodium untuk T3 adalah 7%. Kelenjar tiroid manusia mensekresi sekitar 4 g (7 nmol)
T3. Kadar T3 plasma adalah sekitar 0,15 g/dL (2,3 nmol/L), dari 0,15 g/dL yang secara
normal terdapat dalam plasma, 0,2% (0,3 ng/dL) berada dalam keadaan bebas. Sisa 99,8%
terikat pada protein, 46% pada TBG dan sebagian besar sisanya pada albumin, dengan
pengikatan transtiretin sangat sedikit (Tabel 1).8
48
3. HIPERTIROID
I. Hipertiroid
Menurut American Thyroid Association dan American Association of Clinical
Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi berupa peningkatan kadar
hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid melebihi normal.
Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau tingginya kadar hormon
tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran darah. Peningkatan kadar hormon tiroid
menyebabkan paparan berlebihan pada jaringan-jaringan tubuh yang menyebabkan
munculnya berbagai manifestasi klinik yang terkait dengan fungsi hormon tiroid dalam
berbagai proses metabolisme .
1. Etiologi
Hipertiroidisme dapat terjadi akibat disfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus.
Beberapa penyakit yang menyebabkan Hipertiroid adalah sebagai berikut:
a. Penyakit Graves
Penyakit ini disebabkan oleh kelenjar tiroid yang oberaktif dan merupakan penyebab
hipertiroid yang paling sering dijumpai. Penyakit ini biasanya turunan. Wanita 5 kali lebih
sering daripada pria. Di duga penyebabnya adalah penyakit autoimun, dimana antibodi yang
49
ditemukan dalam peredaran darah, yaitu tyroid stimulating. Immunogirobulin (TSI
antibodies), Thyroid peroksidase antibodies (TPO) dan TSH receptor antibodies (TRAB).
b. Toxic Nodular Goiter
Benjolan leher akibat pembesaran tiroid yang berbentuk biji padat, bisa satu atau banyak.
Kata toxic berarti hipertiroid, sedangkan nodule atau biji itu tidak terkontrol oleh TSH
sehingga memproduksi hormon tiroid yang berlebihan.
50
Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid dipaksa mensekresikan hormon hingga diluar batas,
sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori kelenjar tiroid membesar.
Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin termasuk akibat dari sifat
hormon tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas
normal. Bahkan akibat proses metabolisme yang menyimpang ini, terkadang penderita
hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur.
Efek pada kepekaan sinaps saraf yang mengandung tonus otot sebagai akibat dari
hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya tremor otot yang halus dengan frekuensi 10-15
kali perdetik, sehingga penderita mengalami gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang
takikardi atau diatas normal juga merupakan salah satu efek hormon tiroid pada sistem
kardiovaskuler. Eksopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi autoimun yang
mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokuler, akibatnya bola mata
terdesak keluar.
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi
sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin
atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk
dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga
menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia. Dermopati Graves
(miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam jaringan fibroblast
didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi glikosaminoglikans.
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien tiroid sangat bergantung pada stadiumnya. Pada stadium yang
ringan sering terjadi tanpa keluhan. Demikian pula pada orang usia lanjut, lebih dari 70 tahun,
gejala yang khas juga sering tidak tampak. Namun jika sudah memasuki tahap selanjutnya
sering timbul beberapa keluhan seperti :
a. Peningkatan frekuensi denyut jantung
b. Peningkatan tonus otot, tremor, iritabilitas, peningkatan kepekaan terhadap
katekolamin
c. Peningkatan laju metabolisme basal, peningkatan pembentukan panas, intoleran
terhadap panas, keringat berlebihan
d. Penurunan berat badan (tampak kurus), peningkatan rasa lapar (nafsu makan baik)
e. Peningkatan frekuensi buang air besar
f. Gondok (biasanya), yaitu peningkatan ukuran kelenjar tiroid
g. Gangguan reproduksi
h. Tidak tahan panas
51
i. Cepat letih
j. Tanda bruit
k. Haid sedikit dan tidak tetap
l. Mata melotot (exoptalmus).
Manifestasi klinis yang paling sering adalah penurunan berat badan, kelelahan, tremor :
gugup berkeringat banyak, tidak tahan panas, palpasi dan pembesaran tiroid.
4. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosa, perlu dilakukan pemeriksaan tentang ada atau tidaknya
pembesaran di daerah leher dan tes darah. Dalam tes darah, bila kadar thyroxine stimulating
hormone (TSH) melebihi 20 mikro-unit per liter, berarti pasien terkena hipertiroid.
Normalnya, kadar TSH 1-5 mikro-unit per liter. Mengenai benjolan, perlu diperhatikan
bagaimana benjolannya, sebab pada penyakit gondok (hipotiroid), juga terdapat benjolan.
Hanya saja pembesaran di sekitar leher pada penyakit gondok tak merata, yaitu biasanya di
bagian depan leher, sedangkan pada hipertiroid, pembesaran yang terjadi merata di sekitar
leher sehingga kurang kelihatan. Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah :
a. TSH serum (biasanya menurun)
b. T3, T4 (biasanya meningkat)
c. Test darah hormon tiroid
d. X-ray scan, CAT scan, MRI scan (untuk mendeteksi adanya tumor)
5. Penatalaksanaan
Beberapa faktor harus dipertimbangkan, ialah :
a. Faktor penyebab hipertiroid
b. Umur penderita
c. Berat ringannya penyakit
d. Ada tidaknya penyakit lain yang menyertai
e. Tanggapan penderita terhadap pengobatannya
f. Sarana diagnostik dan pengobatan serta pengalaman dokter dan klinik yang
bersangkutan.
Pada dasarnya pengobatan penderita hipertiroidi meliputi :
a. Pengobatan Umum
b. Pengobatan Khusus
c. Pengobatan dengan Penyulit
Pengobatan Umum:
a. Istirahat.
52
Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin meningkat. Penderita
dianjurkan tidak melakukan pekerjaan yang melelahkan/mengganggu pikiran balk di rmah
atau di tempat bekerja. Dalam keadaan berat dianjurkan bed rest total di Rumah Sakit.
b. Diet.
Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini antara lain karena :
terjadinya peningkatan metabolisme, keseimbangan nitrogen yang negatif dan keseimbangan
kalsium yang negatif.
c. Obat penenang.
Mengingat pada PG sering terjadi kegelisahan, maka obat penenang dapat diberikan. Di
samping itu perlu juga pemberian psikoterapi.
Pengobatan Khusus
a. Obat antitiroid.
Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah thionamide, yodium, lithium, perchlorat dan
thiocyanat.
Obat yang sering dipakai dari golongan thionamide adalah propylthiouracyl (PTU), 1 -
methyl - 2 mercaptoimidazole (methimazole, tapazole, MMI), carbimazole. Obat ini bekerja
menghambat sintesis hormon, tetapi tidak menghambat sekresinya, yaitu dengan
menghambat terbentuknya monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT), serta
menghambat coupling diiodotyrosine sehingga menjadi hormon yang aktif. PTU juga
menghambat perubahan T4 menjadi T3 di jaringan tepi, serta harganya lebih murah sehingga
pada saat ini PTU dianggap sebagai obat pilihan.
Obat antitiroid diakumulasi dan dimetabolisme di kelenjar gondok sehingga pengaruh
pengobatan lebih tergantung pada konsentrasi obat dalam kelenjar dari pada di plasma. MMI
dan carbimazole sepuluh kali lebih kuat daripada PTU sehingga dosis yang diperlukan hanya
satu persepuluhnya.
Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300 - 600 mg perhari untuk PTU atau 30 - 60 mg per
hari untuk MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam atau sebagai dosis tunggal setiap
24 jam. Dalam satu penelitian dilaporkan bahwa pemberian PTU atau carbimazole dosis
tinggi akan memberi remisi yang lebih besar.
Secara farmakologi perbedaan antara PTU dengan MMI/CBZ, antara lain adalah
1) MMI mempunyai waktu paruh dan akumulasi obat yang lebih lama dibanding PTU di
dalam kelenjar tiroid. Waktu paruh MMI 6 jam sedangkan PTU + 11/2 jam.
2) Penelitian lain menunjukkan MMI lebih efektif dan kurang toksik dibanding PTU.
53
3) MMI tidak terikat albumin serum sedangkan PTU hampir 80% terikat pada albumin
serum, sehingga MMI lebih bebas menembus barier plasenta dan air susu,13 sehingga untuk
ibu hamil dan menyusui PTU lebih dianjurkan.
Jangka waktu pemberian tergantung masing-masing pen- derita (6 - 24 bulan) dan dikatakan
sepertiga sampai setengahnya (50 - 70%) akan mengalami perbaikan yang bertahan cukup
lama. Apabila dalam waktu 3 bulan tidak atau hanya sedikit memberikan perbaikan, maka
harus dipikirkan beberapa ke- mungkinan yang dapat menggagalkan pengobatan (tidak
teratur minum obat, struma yang besar, pernah mendapat pengobatan yodium sebelumnya
atau dosis kurang).
Efek samping ringan berupa kelainan kulit misalnya gatal-gatal, skin rash dapat
ditanggulangi dengan pemberian anti histamin tanpa perlu penghentian pengobatan. Dosis
yang sangat tinggi dapat menyebabkan hilangnya indera pengecap, cholestatic jaundice dan
kadang-kadang agranulositosis (0,2 - 0,7%), kemungkinan ini lebih besar pada penderita
umur di atas 40 tahun yang menggunakan dosis besar.13 20 21 22 23 Efek samping lain yang
jarang terjadi. a.l. berupa : arthralgia, demam rhinitis, conjunctivitis, alopecia, sakit kepala,
edema, limfadeno- pati, hipoprotombinemia, trombositopenia, gangguan gastrointestinal.
b. Yodium.
Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut tetapi dalam masa 3
minggu efeknya akan menghilang karena adanya escape mechanism dari kelenjar yang
bersangkutan, sehingga meski sekresi terhambat sintesa tetap ada. Akibatnya terjadi
penimbunan hormon dan pada saat yodium dihentikan timbul sekresi berlebihan dan gejala
hipertiroidi meng- hebat.
Pengobatan dengan yodium (MJ) digunakan untuk memperoleh efek yang cepat seperti pada
krisis tiroid atau untuk persiapan operasi. Sebagai persiapan operasi, biasanya diguna- kan
dalam bentuk kombinasi. Dosis yang diberikan biasanya 15 mg per hari dengan dosis terbagi
yang diberikan 2 minggu sebelum dilakukan pembedahan.9 Marigold dalam penelitian- nya
menggunakan cairan Lugol dengan dosis 1/2 ml (10 tetes) 3 kali perhari yang diberikan '10
hari sebelum dan sesudah operasi.
c. Penyekat Beta (Beta Blocker).
Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroid diakibatkan oleh adanya hipersensitivitas pada
sistim simpatis. Meningkatnya rangsangan sistem simpatis ini diduga akibat meningkatnya
ke- pekaan reseptor terhadap katekolamin.
Penggunaan obat-obatan golongan simpatolitik diperkirakan akan menghambat pengaruh
hati.Reserpin, guanetidin dan pe- nyekat beta (propranolol) merupakan obat yang masih
diguna- kan.16 Berbeda dengan reserpin/guanetidin, propranolol lebih efektif terutama dalam
54
kasus-kasus yang berat.24 Biasanya dalam 24 - 36 jam setelah pemberian akan tampak
penurunan gejala.
Khasiat propranolol:
1) penurunan denyut jantung permenit
2) penurunan cardiac output
3) perpanjangan waktu refleks Achilles
4) pengurangan nervositas
5) pengurangan produksi keringat
6) pengurangan tremor
Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat menghambat konversi T4 ke T3
di perifer. Bila obat tersebut dihentikan, maka dalam waktu 4 - 6 jam hipertiroid dapat
kembali lagi. Hal ini penting diperhatikan, karena penggunaan dosis tunggal propranolol
sebagai persiapan operasi dapat me- nimbulkan krisis tiroid sewaktu operasi.8 24
Penggunaan pro- pranolol a.l. sebagai : persiapan tindakan pembedahan atau pemberian
yodium radioaktif, mengatasi kasus yang berat dan krisis tiroid.
d. Ablasi kelenjar gondok.
Pelaksanaan ablasi dengan pembedahan atau pemberian I 131
1) Tindakan pembedahan
Indikasi utaina untuk melakukan tindakan pembedahan adalah mereka yang berusia muda
dan gagal atau alergi terhadap obat-obat antitiroid. Tindakan pembedahan berupa
tiroidektomi subtotal juga dianjurkan pada penderita dengan keadaan yang tidak mungkin
diberi pengobatan dengan I (wanita hamil atau yang merencanakan kehamilan dalam waktu
dekat).
Indikasi lain adalah mereka yang sulit dievaluasi pengobatan- nya, penderita yang
keteraturannya minum obat tidak teijamin atau mereka dengan struma yang sangat besar dan
mereka yang ingin cepat eutiroid atau bila strumanya diduga mengalami antara keganasan,
dan alasan kosmetik.
Untuk persiapan pembedahan dapat diberikan kombinasi kematian dapat diturunkan sampai
thionamid, yodium atau propanolol guna mencapai ke- adaan eutiroid. Thionamid biasanya
diberikan 6 - 8 minggu sebelum operasi, kemudian dilanjutkan dengan pemberian larut- an
Lugol selama 10 - 14 hari sebelum operasi. Propranolol dapat diberikan beberapa minggu
sebelum operasi, kombinasi obat ini dengan Yodium dapat diberikan 10 hari sebelum ope-
rasi.
Tujuan pembedahan yaitu untuk mencapai keadaan eutiroid yang permanen. Dengan
penanganan yang baik, maka angka kematian dapat diturunkan sampai 0.
55
2) Ablasi dengan I 131.
Sejak ditemukannya I 131 terjadi perubahan dalam bidang pengobatan hipertiroidi.
Walaupun dijumpai banyak komplikasi yang timbul setelah pengobatan, namun karena
harganya murah dan pemberiannya mudah, cara ini banyak digunakan.
Tujuan pemberian I131 adalah untuk merusak sel-sel kelenjar yang hiperfungsi. Sayangnya
I131 ini temyata menaikan angka kejadian hipofungsi kelenjar gondok (30 70% dalam
jollow up 10 20 tahun) tanpa ada kaitannya dengan besarnya dosis obat yang diberikan.
Di samping itu terdapat pula peningkatan gejala pada mata sebanyak 1 5% dan
menimbulkan kekhawatir- an akan terjadinya perubahan gen dan keganasan akibat peng-
obatan cara ini, walaupun belum terbukti.
Penetapan dosis 1131 didasarkan atas derajat hiperfungsi serta besar dan beratnya kelenjar
gondok. Dosis yang dianjurkan 140 160 micro Ci/gram atau dengan dosis rendah 80
micro Ci/gram.
Dalam pelaksanaannya perlu dipertimbangkan antara lain : dosis optimum yang diperlukan
kelenjar tiroid, besar/ukuran dari kelenjar yang akan diradiasi, efektivitas I131 di dalam
jaringan dan sensitivitas jaringan tiroid terhadap I131.
Pengobatan PG Dengan Penyulit
1) PG dan Kehamilan
Angka kejadian PG dengan kehamilan 0,2%. Selama kehamilan biasanya PG mengalami
remisi, dan eksaserbasi setelah melahirkan.
Dalam pengobatan, yodium radioaktif merupakan kontraindikasi karena pada bayi dapat
terjadi hipotiroidi yang ireversibel. Penggunaan propranolol masih kontroversiil. Beberapa
peneliti memberikan propranolol pada kehamilan, dengan dosis 40 mg 4 kali sehari tanpa
menimbulkan gangguan pada proses kelahiran, tanda-tanda teratogenesis dan gangguan
fungsi tiroid dari bayi yang baru dilahirkan. Tetapi beberapa peneliti lain mendapatkan
gejala-gejala proses kelahiran yang terlambat, terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin,
plasenta yang kecil, hipoglikemi dan bradikardi pada bayi yang baru lahir.
Umumnya propranolol diberikan pada wanita hamil dengan hipertiroidi dalam waktu kurang
dari 2 minggu bilamana diper- siapkan untuk tindakan operatif.
Pengobatan yang dianjurkan hanya pemberian obat antitiroid dan pembedahan. Untuk
menentukan pilihan tergantung faktor pengelola maupun kondisi penderita. PTU merupa kan
obat antitiroid yang digunakan, pemberian dosis sebaiknya serendah mungkin. Bila terjadi
efek hipotiroidi pada bayi, pemberian hormon tiroid tambahan pada ibu tidak bermanfaat
mengingat hormon tiroid kurang menembus plasenta.
56
Pembedahan dilakukan bila dengan pemberian obat antitiroid tidak mungkin. Sebaiknya
pembedahan ditunda sampai tri- mester I kehamilan untuk mencegah terjadinya abortus
spontan.
2) Eksoftalmus
Pengobatan hipertiroidi diduga mempengaruhi derajat pe- ngembangan eksoflmus. 2 Selain
itu pada eksoftalmus dapat diberikan terapi a.l. : istirahat dengan berbaring terlentang, kepala
lebih tinggi; mencegah mata tidak kering dengan salep mata atau larutan metil selulose 5%;
menghindari iritasi mata dengan kacamata hitam; dan tindakan operasi; dalam keadaan yang
berat bisa diberikan prednison peroral tiap hari.
3) Krisis tiroid
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan tirotoksikosis yang sekonyong-konyong menjadi
hebat dan disertai a.l. adanya panas badan, delirium, takikardi, dehidrasi berat dan dapat
dicetuskan oleh antara lain : infeksi dan tindakan pembedahan.
Prinsip pengelolaan hampir sama, yakni mengendalikan tiro- toksikosis dan mengatasi
komplikasi yang teijadi. Untuk mengendalikan tirotoksikosis dapat digunakan terapi
kombinasi dengan dosis tinggi misalnya PTU 300 mg tiap 6 jam, KJ 10 tetes tiap 6 jam,
propranolol 80 mg tiap 6 jam (IV 2 4 mg tiap 4 jam) dan dapat diberikan glukokortikoid
(hidrokortison 300 mg).13 Sedangkan untuk mengatasi komplikasinya ter- gantung kondisi
penderita dan gejala yang ada. Tindakan hams secepatnya karena angka kematian penderita
ini cukup besar.
6. Faktor Risiko
a. Terjadinya hipertiroidisme
Menurut Anonim (2008), faktor-faktor risiko seseorang untuk
terkena hipertiroidisme sebagai berikut:
1) Memiliki riwayat gangguan tiroid sebelumnya seperti goiter atau
pernah menjalani operasi kelenjar tiroid.
2) Memiliki riwayat penyakit autoimun seperti diabetes mellitus dan
gangguan hormonal.
3) Adanya riwayat gangguan tiroid di keluarga.
4) Mengkonsumsi iodine dalam jumlah berlebihan secara kronik.
5) Menggunakan obat-obatan yang mengandung iodine seperti
57
amiodarone.
6) Berusia lebih dari 60 tahun.
b. Kambuh (relapse)
Terjadinya kekambuhan setelah pengobatan hipertiroidisme
terutama dengan obat antitiroid cukup tinggi dengan persentase 30 70% (Bartalena, 2011).
Kekambuhan pada pasien hipertiroidisme dapat terjadi satu tahun setelah pengobatan
dihentikan hingga bertahun-tahun setelahnya. Secara umum faktor-faktor risiko terjadi
kekambuhan hipertiroidisme adalah sebagai berikut:
1) Berusia kurang dari 40 tahun.
2) Ukuran goiter tergolong besar.
3) Merokok.
4) Serum TSH-receptor Antibody (TSAb) masih terdeteksi di akhir pengobatan dengan
obat anti tiroid.
5) Faktor psikologis seperti depresi.
7. Komplikasi
Komplikasi hipertiroidisme yang dapat mengancam nyawa adalah krisis tirotoksik (thyroid
storm). Hal ini dapat berkembang secara spontan pada pasien hipertiroid yang menjalani
terapi, selama pembedahan kelenjar tiroid, atau terjadi pada pasien hipertiroid yang tidak
terdiagnosis. Akibatnya adalah pelepasan HT dalam jumlah yang sangat besar yang
menyebabkan takikardia, agitasi, tremor, hipertermia (sampai 1060F), dan apabila tidak
diobati dapat menyebabkan kematian.
Komplikasi lainnya adalah penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati
Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid. Hipertiroid
yang terjadi pada anak-anak juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan.
8. Diagnosis
Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis yang
dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan radiodiagnostik.
Menurut Ghandour dan Reust (2011), untuk menegakkan diagnosis hipertiroidisme, perlu
dilakukan pemeriksaan kadar TSH serum, T3 bebas, T4 bebas, dan iodine radioaktif seperti
pada gambar I.
58
4. GRAVES DISEASE
Graves Disease
Graves Disease merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi
terhadap reseptor TSH pada folikel tiroid sehingga merangsang kelenjar tiroid untuk terus
membentuk homron tiroid. Graves Disease merupakan gabungan dari pengaruh genetik dan
lingkungan. Jenis kelamin perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki. Oftalmopati
pada penyakit ini disebabkan oleh peranan sitokin yang mengakibatkan terjadinyaperubahan
struktural pada jaringan otot mata.
GD terdiri atas komponen tirotoksikosis struma difus, oftalmopati, dermopati (myxedema
lokal), dan akropakia. Manifestasi tirotoksikosis berupa hiperaktivitas, iritabilitas, disforia, tidak
tahan terhadap udara panas, keringat berlebihan, palpitasi, lelah, penurunan berat badan (namun
nafsu makan meningkat, diare, poliuria, oligomenorea, dan penurunan libido. Adapun gejala
sistemik dari GD adalah sebagai berikut:
Sistem Organ Gejala
Umum Mudah lelah, lemah
Neuropsikiatrik Gelisah, insomnia, iritabel
Mata berair, fotofobia, sensasi benda asing, nyeri,
Mata
eksoftalmus, pandangan ganda, gangguan penglihatan
Kardiovaskular Berdebar-debar, edema, nyeri dada
Respiratorik Sesak napas
Gastrointestinal Peningkatan mortilitas usus, sering buang air besar
Renal Poliuria, polidipsia
Gangguan siklus menstruasi, perubahan volume menstruasi,
Reproduksi
impotensi, ginekomastia
Tremor, mudah lelah, kelemahan otot proksimal, paralisis
Neuromuskular
periodik
Skeletal Nyeri punggung, riwayat fraktur, mudah lelah
Hematologi Mudah memar
Tidak tahan panas, penurunan berat badan, nafsu makan tetap
Metabolik
atau meningkat, kontrol gula pada pasien diabetes memburuk
Miksedema, lembab, berkeringat, onikolisis, alopesia, vitiligo,
Dermatologi
miksedema pretibial
Alur Pemeriksaan
59
Pemeriksaan fisis dapat berupa retraksi atau lag kelopak mata, eksoftalmus, takikardi,
fibrilasi atrial, ginekomastia, tremor, kulit yang hangat dan lembab, kelemahan otot, dan
myopati proksimal.
60
Struma ovarii (ektopik)
Gondok multinodular toksik
Penyakit graves
Pemeriksaan neurologi menunjukkan adanya peningkatan refleks, wasting otot, dan myopati
proksimal yang tidak disertai fasikulasi.
Pada pemeriksaan kelenjar tiroid dapat ditemukan pembesaran difus yang disertai bruit
akibat oeningkatan vaskularisasi kelenjar tiroid.
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat penurunan TSH dan peningkatan FT4.
Pemeriksaan FT3 dilakukan pada kondisi klinis tirotoksikosis namun hasil FT4 normal.
Kondisi ini dijumpai pada T3 tirotoksikosis.
Pemeriksaan radiologis dan EKG dilakukan untuk mendeteksi adanya penyakit penyerta.
Diagnosis GD ditegakkan bila ditemukan trias berikut: tirotoksitosis disertai struma difus
dan oftalmopati. Diagnosis banding tirotoksikosis adalah sebagai berikut:
Tatalaksana
Penatalaksanaan bertujuan untuk mencapai remisi, yaitu keadaan dimana pasien masih
dalam keadaan eutiroid setelah OAT dihentikan selama satu tahun. Terdapat tiga modalitas terapi
GD yaitu tirostatika/obat antitiroid (OAT), tirodektomi/tidakan bedah, dan terapi radioiodin.
OAT terdiri dari 2 golongan, yaitu golongan tionamid (Propiltiourasil/PTU) dan golongan
imidazol (Metimazol, Tiamazol, Karbimazol). Tujuan pemberian OAT adalah untuk
menurunkan konsentrasi hormon tiroid di perifer, dan bekerja pada intratiroidal, ekstratiroidal,
dan mengenali proses imunologi pada GD.
Pada kelenjar tiroid, OAT menghambat proses sintesis hormon tiroid dengan menghambat
proses oksidasi dan organifikasi iodium, inhibisi coupling iodotirosin, serta memengaruhi
struktur dan biosintesis tiroglobulin. Pada jaringan ekstratiroidal, OAT menghambat konversi T4
61
menjadi T3. Secara imunologi, OAT memengaruhi respon imun pada GD dengan mekanisme
yang masih kontroversial.
OAT dapat diberikan dengan 2 cara, yaitu titrasi, dimana diberikan dosis tinggi di awal
sampai tercapai kondisi eutiroid, lalu dosis dikurangi sampai dosis kecil yang efektif hingga
tercapainya remisi, dan blok-substitusi, yaitu dengan diberikan dosis besar secara terus menerus
dan apabila mencapai keadaan hipotiroidisme maka ditambah hormon tiroksin hingga
eutiroidisme kembali. Dosis awal pemberian PTU adalah 300-600 mg/hari, maksimal 2000
mg/hari. Dosis awal Metimazol dan Tiamazol adalah 20-40 mg/hari. Relaps biasanya terjadi
dalam 3-6 bulan setelah obat dihentikan. Apabila terjadi relaps, maka dapat dipertimbangkan
untuk diberikan OAT kembali, terapi bedah, terapi radioiodin, ataupun terapi definitif.
Efek samping dari pemberian OAT yang sering terjadi adalah urtikaria, demam, malaise,
alergi, eksantema, nyeri otot, dan artralgia. Keluhan pada gastrointestinal, perubahan rasa dan
kecap, artritis, dan agranulositosis juga dapat terjadi. Efek sampig yang sangat jarang terjadi
adalah trombositopenia, anemia aplastik, anemia aplastik, hepatitis, vaskulitis, dan hipoglikemia.
Tirodektomi dapat dipertimbangkan pada pasiesn yang sudah menjalani pengoabatan dengan
OAT namun mengalami relaps. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan, edema
laring, hipoparatiroidisme, dan cedera nervus laringeus rekurens.
Radioiodin menggunakan iodium radioaktif untuk menghancurkan sel-sel tiroid secara
progresif. Radioiodinasi dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama maupun lini kedua
pada pasien yang mengalami relaps setelah pengobatan OAT. Terapi ini dikontraindikasikan
pada ibu hamil dan menyusui.
Prognosis
Apabila tidak ditatalaksana secara optimal, kondisi tirotoksikosis akan mengakibatkan
berbagai komplikasi, seperti penyakit jantung tiroid, aritmia, krisis tiroid, dan eksoftalmos
maligna. Terjadinya remisi dipengaruhi oleh faktor sebelum pengobatan (ukuran struma, kadar
hormon sebelum terapi, penanda imunologi, jangka waktu sebelum diobati, usia, jenis kelamin,
oftalmopati, dan kebiasaan merokok) dan faktor pengobatan (dosis, durasi, respon, dan regimen
terapi).
62
5. KRISIS TIROID
Krisis Tiroid
A. Definisi
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh demam
tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna. Awalnya,
timbul hipertiroidisme yang ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan
gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis. Krisis tiroid dicetuskan oleh tindakan operatif,
infeksi, atau trauma.
B. Etiologi
Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular toksik, nodul toksik,
tiroiditis Hashimoto, tiroiditas deQuevain, karsinoma tiroid folikular metastatik, dan tumor
penghasil TSH. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit
Graves (goiter difus toksik). Meskipun tidak biasa terjadi, krisis tiroid juga dapat merupakan
komplikasi dari operasi tiroid. Faktor pencetus lain termasuk:
Trauma dan tekanan
Infeksi, terutama infeksi paru-paru
Pembedahan tiroid pada pasien dengan overaktivitas kelenjar tiroid
Mengentikan obat-obatan yang diberikan pada pasien hipertiroidisme
Dosis penggantian hormone tiroid yang terlalu tinggi
Pengobatan dengan radioaktif yodium
Kehamilan
Serangan jantung atau kegawatdaruratan jantung
C. Epidemiologi
Frekuensi
Frekuensi tirotoksikosis dan krisis tiroid pada anak-anak tidak diketahui. Insiden
tirotoksikosis meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Tirotoksikosis mempengaruhi
sebanyak 2% pada wanita yang lebih tua. Pada anak-anak frekuensinya kurang dari 5% dari
semua kasus tirotoksikosis. Penyakit graves merupakan penyebab umum terjadinya
tirotoksikosis pada anak-anak. Dan dilaporkan mempengaruhi 0,2-0,4% populasi anak dan
remaja. Sekitar 1-2% neonatus yang lahir dari ibu dengan penyakit graves menderita
tirotoksikosis.
Tingkat mortalitas dan morbiditas
63
Krisis tiroid bersifat akut, merupakan kegawatdaruratan dan mengancam jiwa. Angka
mortalitas pada dewasa sangat tinggi (90%) jika diagnosa dini tidak ditegakkan atau pada
pasien yang telambat terdiagnosa. Dengan kontrol tirotoksikosis yang baik, dan pengelolaan
krisis tiroid yang tepat, tingkat mortalitas pada dewasa berkurang hingga 20%.
Jenis kelamin
Tirotoksikosis 3-5 kali lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki, khususnya pada
dewasa muda. Krisis tiroid berpengaruh terhadap sebagian kecil persentase pasien
tirotoksikosis. Insiden ini lebih tinggi pada wanita. Namun tidak ada data spesifik mengenai
insiden jenis kelamin tersebut.
Usia
Tirotoksikosis pada neonatal terjadi 1-2% dari neonatus yang lahir dari ibu yang menderita
graves disease. Bayi usia kurang dari 1 tahun hanya 1% yang menderita tirotoksikosis. Lebih
dari dua per tiga dari semua kasus tirotoksikosis terjadi pada anak-anak berusia 10-15 tahun.
Secara keseluruhan tirotoksikosis umumnya terjadi pada decade ke tiga dan ke empat
kehidupan. Karena pada kanak-kanak, tirotoksikosis lebih mungkin terjadi pada remaja.
Krisis tiroid lebih umum terjadi pada kelompok usia ini. Meskipun krisis tiroid dapat terjadi
di segala usia.
D. Patofisiologi
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH) yang
merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating hormone
(TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya,
kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama
oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat
dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk
yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat
sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon
tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini melibatkan
autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG,
tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang
merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid dirangsang
terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan
karena peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan
dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid
dan TBG yang diperantarai oleh 3,5-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain
64
itu, antibodi ini juga merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar
tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid
yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ dan
merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan
pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon
tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh
sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk
bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat
meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan
kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun
norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah diajukan
untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid
yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar
hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain
yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang
sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan
reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid
terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti
pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar
plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan
mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik dari
sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca operasi
mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai
tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi,
selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine
(RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap
hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek
simpatik langsung dari hormon tiroid sebagai akibat kemiripan strukturnya dengan
katekolamin.
E. Gambaran klinis
65
Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau gejala-gejala seperti
iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan kurang dengan berat badan sangat turun,
keringat berlebih dan intoleransi suhu, serta prestasi sekolah yang menurun akibat penurunan
rentang perhatian. Riwayat penyakit sekarang yang umum dikeluhkan oleh pasien adalah
demam, berkeringat banyak, penurunan nafsu makan dan kehilangan berat badan. Keluhan
saluran cerna yang sering diutarakan oleh pasien adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, dan
jaundice. Sedangkan keluhan neurologik mencakup gejala-gejala ansietas (paling banyak
pada remaja tua), perubahan perilaku, kejang dan koma.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur konsisten melebihi 38,5oC.
Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi 41oC dan keringat berlebih.
Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan antara lain hipertensi dengan tekanan nadi yang
melebar atau hipotensi pada fase berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi tidak
bersesuaian dengan demam. Tanda-tanda gagal jantung antara lain aritmia (paling banyak
supraventrikular, seperti fibrilasi atrium, tetapi takikardi ventrikular juga dapat terjadi).
Sedangkan tanda-tanda neurologik mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan
tanda piramidal transien, tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis mencakup
tanda orbital dan goiter.
Karena tingkat mortalitas krisis tiroid amat tinggi, maka kecurigaan krisis saja cukup menjadi
dasar mengadakan tindakan agresif. Kecurigaan akan terjadi krisis apabila terdapat triad :
Menghebatnya tanda tirotoksikosis
Kesadaran menurun
Hipertermia
F. Gambaran laboratoris
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris.
Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh ditunda karena
menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan
status tiroid, biasanya akan ditemukan konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan
bermanfaat hanya jika pasien belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin
tidak akan didapat dengan cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan segera.
Temuan biasanya mencakup peningkatan kadar T3, T4 dan bentuk bebasnya, peningkatan
uptake resin T3, penurunan kadar TSH, dan peningkatan uptake iodium 24 jam.
Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan tetapi hal ini jarang terjadi.
Tes fungsi hati umumnya menunjukkan kelainan yang tidak spesifik, seperti peningkatan
kadar serum untuk SGOT, SGPT, LDH, kreatinin kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada
66
analisis gas darah, pengukuran kadar gas darah maupun elektrolit dan urinalisis dilakukan
untuk menilai dan memonitor penanganan jangka pendek.
G. Penatalaksanaan
Pengobatan harus segera diberikan,jangan tunda pengobatan jika dicurigai terjadinya krisis
tiroid. Kalau mungkin dirawat di Intensiv Care Unit untuk mempermudah pemantauan tanda
vital, untuk pemasangan monitoring invasive, pemberian obat-obat inotropik jika diperlukan.
Penatalaksanaan krisis tiroid :
Perawatan suportif
Atasi factor pencetus segera
Koreksi gangguan cairan dan elektrolit
Kompres atau pemberian antipiretik, asetaminofen lebih dipilih
Atasi gagal jantung dengan oksigen, diuretik, dan digitalis.
Mengoreksi hipertiroidisme dengan cepat, dengan cara:
a. Memblok sintesis hormone baru : PTU dosis besar (loading dose 600-1000mg) diikuti
dosis 200 mg PTU tiap 4 jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg. atau dengan metimazol
dosis 20 mg tiap 4 jam bisa tanpa atau dengan dosis inisial 60-100mg.
b. Memblok keluarnya cikal bakal hormone dengan solusio lugol ( 10 tetes tiap 6-8 jam)
atau SSKI ( Larutan Iodida jenuh, 5 tetes setiap 6 jam), diberikan 2 jam setelah pemberian
PTU. Apabila ada, berikan endoyodin (NaI) IV, kalau tidak solusio lugol/SSKI tidak
memadai
c. Menghambat konversi perifer dari T4 menjadi T3 dengan propanolol, ipodat,
penghambat beta dan/atau kortikosteroid. propanolol dapat digunakan, sebab disamping
mengurangi takikardi juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer. Pemberian
propanolol 60-80mg tiap 6 jam per oral atau 1-3 mg IV. Pemberian hidrokortison dosis stress
(100mg tiap 8 jam atau deksametason 2mg tiap 6 jam). Rasional pemberiannnya adalah
karena defisiensi steroid relative akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer
T4
Untuk antipiretik digunakan asetaminofen jangan aspirin ( aspirin akan melepas ikatan
protein-hormon tiroid, hingga free hormone meningkat)
Mengobati factor pencetus (misalnya infeksi) dengan pemberian antibiotic bila
diperlukan.
Respon pasien (klinis dan membaiknya kesadaran) umumnya terlihat dalam 24 jam,
meskipun ada yang berlanjut hingga seminggu.
67
Tujuan dari terapi medis yang diberikan adalah untuk memblokade efek perifer, inhibisis
sintesis hormone, blokade pelepasan hormone, dan pencegahan konversi T4 menjadi T3.
Pemulihan keadaan klinis menjadi eutiroid dapat berlangsung hingga 8 minggu. Beta bloker
mengurangi hiperaktivitas simpatetik dan mengurangi konversi perifer T4 menjadi
T3.Guanetidin dan Reserpin juga dapat digunakan untuk memblokade simpatetik jika adanya
kontraindikasi atau toleransi terhadap beta bloker. Iodide dan lithium bekerja memblokade
pelepasan hormone tiroid. Thionamid mencegah sintesis baru hormone tiroid.
a. Menghambat sintesis hormon tiroid
Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI) digunakan untuk
menghambat sintesis hormon tiroid. PTU juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di
sirkulasi perifer dan lebih disukai daripada MMI pada kasus-kasus krisis tiroid. Sedangkan
MMI merupakan agen farmakoogik yang umum digunakan pada keadaan hipertiroidisme.
Keduanya menghambat inkorporasi iodium ke TBG dalam waktu satu jam setelah diminum.
Riwayat hepatotoksisitas atau agranulositosis dari terapi tioamida sebelumnya merupakan
kontraindikasi kedua obat tersebut. PTU diindikasikan untun hipertiroidisme yang
disebabkab oleh penyakit Graves. Laporan penelitian yang mendukungnya menunjukkan
adanya peningkatan risiko terjadinya toksisitas hati atas penggunaan PTU dibandingkan
dengan metimazol. Kerusakan hati serius telah ditemukan pada penggunaan metimazol pada
lima kasus (tiga diantaranya meninggal). PTU sekarang dipertimbangkan sebagai terapi obat
lini kedua kecuali pada pasien yang alergi atau intoleran terhadap metimazol atau untuk
wanita dengan kehamilan trimester pertama. Penggunaan metimazol selama kehamilan
dilaporkan menyebabkan embriopati, termasuk aplasia kutis, meskipun merupakan kasus
yang jarang ditemui.
Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala dan tanda kerusakan hati,
terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi dimulai. Untuk suspek kerusakan hati,
hentikan bertahap terapi PTU dan uji kembali hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan
perawatan suportif. PTU tidak boleh digunakan pada pasien anak kecuali pasien alergi atau
intoleran terhadap metimazol dan tidak ada lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan
edukasi pada pasien agar menghubungi dokter jika terjadi gejala-gejala berikut: kelelahan,
kelemahan, nyeri perut, hilang nafsu makan, gatal, atau menguningnya mata maupun kulit
pasien.
68
atau cairan jenuh kalium iodida dapat digunakan untuk tujuan ini. Terapi iodium harus
diberikan setelah sekitar satu jam setelah pemberian PTU atau MMI. Perlu diketahui bahwa
iodium yang digunakan secara tunggal akan membantu meningkatkan cadangan hormon
tiroid dan dapat semakin meningkatkan status tirotoksik. Bahan kontras yang teiodinasi untuk
keperluan radiografi, yaitu natrium ipodat, dapat diberikan untuk keperluan iodium dan untuk
menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer. Kalium iodida dapat menurunkan
aliran darah ke kelenjar tiroid dan hanya digunakan sebelum operasi pada tirotoksikosis.
Pasien yang intoleran terhadap iodium dapat diobati dengan litium yang juga mengganggu
pelepasan hormon tiroid. Pasien yang tidak dapat menggunakan PTU atau MMI juga dapat
diobati dengan litium karena penggunaan iodium tunggal dapat diperdebatkan. Litium
menghambat pelepasan hormon tiroid melalui pemberiannya. Plasmaferesis, pertukaran
plasma, transfusi tukar dengan dialisis peritoneal, dan perfusi plasma charcoal adalah teknik
lain yang digunakan untuk menghilangkan hormon yang berlebih di sirkulasi darah. Namun,
sekarang teknik-teknik ini hanya digunakan pada pasien yang tidak merespon terhadap
penanganan lini awal. Preparat intravena natrium iodida (diberikan 1 g dengan infus pelan
per 8-12 jam) telah ditarik dari pasaran.
d. Penanganan suportif
Terapi cairan dan elektrolit yang agresif diperlukan untuk mengatasi dehidrasi dan hipotensi.
Keadaan hipermetabolik yang berlebihan dengan peningkatan transit usus dan takipnu akan
69
membawa pada kehilangan cairan yang cukup bermakna. Kebutuhan cairan dapat meningkat
menjadi 3-5 L per hari. Dengan demikian, pengawasan invasif disarankan pada pasien-pasien
lanjut usia dan dengan gagal jantung kongestif. Agen yang meningkatkan tekanan darah dapat
digunakan saat hipotensi menetap setelah penggantian cairan yang adekuat. Berikan pulan
cairan intravena yang mengandung glukosa untuk mendukung kebutuhan gizi. Multivitamin,
terutama vitamin B1, dapat ditambahkan untuk mencegah ensefalopati Wernicke.
Hipertermia diatasi melalui aksi sentral dan perifer. Asetaminofen merupakan obat pilihan
untuk hal tersebut karena aspirin dapat menggantikan hormon tiroid untuk terikat pada
reseptornya dan malah meningkatkan beratnya krisis tiroid. Spons yang dingin, es, dan
alkohol dapat digunakan untuk menyerap panas secara perifer. Oksigen yang dihumidifikasi
dingin disarankan untuk pasien ini.
Penggunaan glukokortikoid pada krisis tiroid dikaitkan dengan peningkatan angka harapan
hidup. Awalnya, glukokortikoid digunakan untuk mengobati kemungkinan insufisiensi relatif
akibat percepatan produksi dan degradasi pada saat status hipermetabolik berlangsung.
Namun, pasien mungkin mengalami defisiensi autoimun tipe 2 dimana penyakit Graves
disertai oleh insufisiensi adrenal absolut. Glukokortikoid dapat menurunkanuptake iodium
dan titer antibodi yang terstimulasi oleh hormon tiroid disertai stabilisasi anyaman vaskuler.
Sebagai tambahan, deksametason dan hidrokortison dapat memiliki efek menghambat
konversi T4 menjadi T3. Dengan demikian, dosis glukokortikoid, seperti deksametason dan
hidrokortison, sekarang rutin diberikan.
Meskipun seringkali muncul pada pasien lanjut usia, dekompensasi jantung juga dapat
muncul pada pasien yang muda dan bahkan pada pasien tanpa penyakit jantung sebelumnya.
Pemberian digitalis diperlukan untuk mengendalikan laju ventrikel pada pasien dengan
fibrilasi atrium. Obat-obat anti-koagulasi mungkin diperlukan untuk fibrilasi atrium dan
dapat diberikan jika tidak ada kontraindikasi. Digoksin dapat digunakan pada dosis yang
lebih besar daripada dosis yang digunakan pada kondisi lain. Awasi secara ketat kadar
digoksin untuk mencegah keracunan. Seiring membaiknya keadaan pasien, dosis digoksin
dapat mulai diturunkan. Gagal jantung kongestif muncul sebagai akibat gangguan
kontraktilitas miokardium dan mungkin memerlukan pengawasan dengan kateter Swan-
Ganz.
Keadaan hiperadrenergik telah dilaporkan pada pasien hipertiroid. Hilangnya tonus vagal
selama tirotoksikosis dapat memicu iskemia miokardial transien dan pengawasan jangka
panjang elektrokardiogram (EKG) dapat meningkatkan deteksi takiaritmia dan iskemia
miokardial tersebut. Blokade saluran kalsium mungkin merupakan terapi yang lebih cocok
70
dengan melawan efek agonis kalsium yang terkait hormon tiroid pada miokardium dan
memperbaiki ketidakseimbangan simpatovagal.
e. Efek samping
Efek samping PTU yang pernah dilaporkan adalah perdarahan atau gusi mudah berdarah,
kerusakan hati (anoreksia, pruritus, nyeri perut kanan atas, peningkatan kadar transaminase
hingga tiga kali nilai normal), infeksi (terjadi akibat agranulositosis), pruritus hingga
dermatitis eksfoliatif, vaskulitis maupun ulkus oral vaskulitik, dan pioderma gangrenosum.
Meskipun termasuk rekomendasi D, beberapa pendapat ahli masih merekomendasikan
bahwa obat ini harus tetap dipertimbangkan sebagai lini pertama terapi penyakit Graves
selama kehamilan. Risiko kerusakan hati serius, seperti gagal hati dan kematian, telah
dilaporkan pada dewasa dan anak, terutama selama enam bulan pertama terapi.
Agranulositosis adalah efek samping yang jarang terjadi pada penggunaan obat anti-tiroid
dan merupakan etiologi atas infeksi yang didapat dari komunitas dan mengancam jiwa pasien
yang menggunakan obat-obat ini. Manifestasi klinis yang sering muncul adalah demam
(92%) dan sakit tenggorokan (85%). Diagnosis klinis awal biasanya adalah faringitis akut
(46%), tonsilitis akut (38%), pneumonia (15%) dan infeksi saluran kencing (8%). Kultur
darah positif untuk Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
Capnocytophaga species. Kematian disebabkan oleh infeksi yang tidak terkendali, krisis
tiroid dan gagal organ yang multipel. Basil Gram negatif, seperti Klebsiella pneumoniae dan
P. aeruginosa, merupakan patogen yang paling sering ditemui pada isolat klinis. Antibiotik
spektrum luas dengan aktifitas anti-pseudomonas harus diberikan pada pasien dengan
agranulositosis yang disebabkan oleh obat anti-tiroid yang menampilkan manifestasi klinis
infeksi yang berat.
H. Komplikasi
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain hipoparatiroidisme,
kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada tiroidektomi subtotal atau terapi
RAI, gangguan visual atai diplopia akibat oftalmopati berat, miksedema pretibial yang
terlokalisir, gagal jantung dengan curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan
kelemahan otot proksimal.1 Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid
yang jarang terjadi. Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia 50 tahun yang mengalami
henti jantung satu jam setelah masuk rumah sakit dilakukan pemeriksaan sampel darah
sebelumnya. Hal yang mengejutkan adalah kadar plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan
kadar asam laktat meningkat hingga 6,238 mM. Dengan demikian, jika krisis tiroid yang
71
atipik menunjukkan keadaan normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat, perlu
dipertimbangkan untuk menegakkan diagnosis krisis tiroid lebih dini karena kondisi ini
memerlukan penanganan kegawatdaruratan. Penting pula untuk menerapkan prinsip-prinsip
standar dalam penanganan kasus krisis tiroid yang atipik.
I. Prognosis
Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian keseluruhan akibat
krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi terdapat laporan penelitian yang
menyebutkan hingga 75%, tergantung faktor pencetus atau penyakit yang mendasari
terjadinya krisis tiroid. Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis
biasanya akan baik.
J. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang ketat setelah diagnosis
ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik hanya setelah dilakukan blokade
hormon tiroid dan/atau beta-adrenergik. Krisis tiroid setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme
terjadi akibat: 1) penghentian obat anti-tiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum
pemberian RAI dan ditahan hingga 5-7 hari setelahnya); 2) pelepasan sejumlah besar hormon
tiroid dari folikel yang rusak; dan 3) efek dari RAI itu sendiri. Karena kadar hormon tiroid
seringkali lebih tinggi sebelum terapi RAI daripada setelahnya, banyak para ahli
endokrinologi meyakini bahwa penghentian obat anti-tiroid merupakan penyebab utama
krisis tiroid. Satu pilihannya adalah menghentikan obat anti-tiroid (termasuk metimazol)
hanya 3 hari sebelum dilakukan terapi RAI dan memulai kembali obat dalam 3 hari
setelahnya. Pemberian kembali obat anti-tiroid yang lebih dini setelah terapi RAI dapat
menurunkan efikasi terapi sehingga memerlukan dosis kedua. Perlu pula dipertimbangkan
pemeriksaan fungsi tiroid sebelum prosedur operatif dilakukan pada pasien yang berisiko
mengalami hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan sindroma McCune-Albright).
72
VII. Kerangka Konsep
Nn.A , 28
tahun
73
VIII. Kesimpulan
Guyton dan Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran (Edisi 9). Jakarta : EGC.
Hamdan,H.2013.(Online,http://hamdan-hariawanfkp13.web.unair.ac.id/artikel_detail-
88249askep%20endokrinaskep%20krisis%20tiroid.html, diakses pada 13 Desember 2016
pukul 19.40)
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Schraga ED. Hyperthyroidism , thyroid storm , and Graves disease. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/324556-print.
Tim Penyusuan Panduan Skill Lab Blok 3.1. 2011. PENUNTUN SKILLS LAB, Edisi Ke-1.
Padang : Fakultas Kedokteran Universitas Andalas [Online] (diakes dalam
http://repository.unand.ac.id/15476/4/Penuntun_Skill_Lab_3.pdf pada 1 Januari 2014)
Isselbacher, Kurt J., et al. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison Ed. 13 Vol. 5.
Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W., et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV Jilid II. Jakarta: FK UI.
Tanto, Chris., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Ed. IV Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius.
74