Anda di halaman 1dari 3

TEORI KIRKPATRICK

Evaluasi pelatihan yang digunakan oleh Learning Centre PT Telkom Indonesia Tbk. Area IV Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu model evaluasi pelatihan Kirkpatrick. Model evaluasi
pelatihan Kirkpatrick merupakan model evaluasi pelatihan yang dikembangkan pertama kali oleh
Donald. L. Kirkpatrick (1959) dengan menggunakan empat level dalam mengkategorikan hasil-hasil
pelatihan. Empat level tersebut adalah level reaksi, pembelajaran, perilaku dan hasil.
Keempat level dapat dirinci sebagai berikut:
Reaksi dilakukan untuk mengukur tingkat reaksi yang didisain agar mengetahui opini dari para
peserta pelatihan mengenai program pelatihan.
Pembelajaran mengetahui sejauh mana daya serap peserta program pelatihan pada materi
pelatihan yang telah diberikan.
Perilaku diharapkan setelah mengikuti pelatihan terjadi perubahan tingkah laku peserta
(karyawan) dalam melakukan pekerjaan.
Hasil untuk menguji dampak pelatihan terhadap kelompok kerja atau organisasi secara
keseluruhan.
Penerapan model evaluasi empat level dari Kirkpatrick dalam pelatihan dapat diuraikan dengan
persyaratan yang diperlukan sebagai berikut:

a. Evaluasi tahap 1 : Reaksi (Reaction Evaluating)

Evaluasi reaksi ini sama halnya dengan mengukur tingkat kepuasan peserta pelatihan. Komponen-
komponen yang termasuk dalam level reaksi ini yang merupakan acuan untuk dijadikan ukuran.
Komponen-komponen tersebut berikut indikator-indikatornya adalah:
1. Instruktur/ pelatih. Dalam komponen ini terdapat hal yang lebih spesifik lagi yang dapat diukur
yang disebut juga dengan indikator. Indikator-indikatornya adalah kesesuaian keahlian pelatih
dengan bidang materi, kemampuan komunikasi dan ketermapilan pelatih dalam mengikut sertakan
peserta pelatihan untuk berpartisipasi.
2. Fasilitas pelatihan. Dalam komponen ini, yang termasuk dalam indikator-indikatornya adalah
ruang kelas, pengaturan suhu di dalam ruangan dan bahan dan alat yang digunakan.
3. Jadwal pelatihan. Yang termasuk indikator-indikator dalam komponen ini adalah ketepatan waktu
dan kesesuaian waktu dengan peserta pelatihan, atasan para peserta dan kondisi belajar.
4. Media pelatihan. Dalam komponen ini, indikator-indikatornya adalah kesesuaian media dengan
bidang materi yang akan diajarkan yang mampu berkomunikasi dengan peserta dan menyokong
instruktur/ pelatihan dalam memberikan materi pelatihan.
5. Materi Pelatihan. Yang termasuk indikator dalam komponen ini adalah kesesuaian materi dengan
tujuan pelatihan, kesesuaian materi dengan topik pelatihan yang diselenggarakan.
6. Konsumsi selama pelatihan berlangsung. Yang termasuk indikator di dalamnya adalah jumlah dan
kualitas dari makanan tersebut.
7. Pemberian latihan atau tugas. Indikatornya adalah peserta diberikan soal.
8. Studi kasus. Indikatornya adalah memberikan kasus kepada peserta untuk dipecahkan.
9. Handouts. Dalam komponen ini indikatornya adalah berapa jumlah handouts yang diperoleh,
apakah membantu atau tidak.
b. Evaluasi tahap 2 : Evaluasi Belajar (Learning Evaluating).

Pada level evaluasi ini untuk mengetahui sejauh mana daya serap peserta program pelatihan pada
materi pelatihan yang telah diberikan, dan juga dapat mengetahui dampak dari program pelatihan
yang diikuti para peserta dalam hal peningkatan knowledge, skill dan attitude mengenai suatu hal
yang dipelajari dalam pelatihan. Pandangan yang sama menurut Kirkpatrick, bahwa evaluasi
pembelajaran ini untuk mengetahui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
diperoleh dari materi pelatihan. Oleh karena itu diperlukan tes guna utnuk mengetahui kesungguhan
apakah para peserta megikuti dan memperhatikan materi pelatihan yang diberikan. Dan biasanya
data evaluasi diperoleh dengan membandingkan hasil dari pengukuran sebelum pelatihan atau tes
awal (pre-test) dan sesudah pelatihan atau tes akhir (post-test) dari setiap peserta. Pertanyaan-
pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga mencakup semua isi materi dari pelatihan.

c. Evaluasi tahap 3 : Tingkah Laku (Behavior Evaluating).

Evaluasi level 3 dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh perubahan yang terjadi pada diri peserta
pada saat dia kembali ke lingkungan pekerjaannya setelah mengikuti training, khususnya perubahan
pada behavior ketiga domain kompetensi (knowledge, skills, dan attitudes). Pertanyaan pada
evaluasi ini adalah: perubahan perubahan dalam job behavior apa saja yang terjadi setelah seorang
pegawai mengikuti training tertentu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada tiga hal penting
yang harus diperhatikan yaitu pertama, eks-peserta tidak dapat merubah behavior-nya sampai dia
memperoleh kesempatan untuk melakukannya. Kedua, sangat sukar untuk memperkirakan kapan
perubahan itu akan terjadi dan ketiga, bisa jadi eks-peserta tadi menerapkan pengetahuan dan
keterampilan barunya dalam pekerjaanya sehari-hari sekembalinya dari training, namun kemudian
tidak melakukannya lagi di kemudian hari.

Dengan kata lain, evaluasi level 3 ini tak cukup hanya sekedar mengukur perubahan yang terjadi
pada behavior eks-peserta, namun lebih jauh lagi perlu dievaluasi pula sejauhmana perubahan yang
terjadi tersebut dapat diterapkan dalam praktek kerja sehari-harinya. Evaluasi ini perlu dilakukan
karena bisa saja perubahan yang dialami oleh eks-peserta training berupa meningkatnya
pengetahuan, bertambahnya keterampilan, atau berubahnya perilaku dalam kinerja pada
kenyataanya tidak dapat membawa pengaruh besar ketika dicoba untuk diterapkan dalam
pekerjaannnya, hal mana disebabkan oleh adanya faktor-faktor non-training yang menjadi
penghambat, misalnya sistem operasional yang kurang handal, lingkungan kerja yang kurang
kondusif dan sebagainya. Memperhatikan pentingnya penerapan perubahan behavior dalam praktek
kerja sehari-hari,

d. Evaluasi Tahap 4: Evaluasi Hasil (Result Evaluating)

Evaluasi level 4 sebagai evaluasi yang paling penting sekaligus paling sulit dilakukan, yaitu
sejauhmana training yang dilakukan memberikan dampak/hasil(result) terhadap peningkatan kinerja
eks-peserta, unit kerja, maupun perusahaan secara keseluruhan.
e. Jack Philips mengembangkan teori Kirkpatrick hingga level 5 yaitu model Return on Training
Investment(ROTI) merupakan level evaluasi terakhir untuk melihat cost-benefit setelah
pelatihan dilaksanakan. Kegunaan model ini agar pihak manajemen perusahaan melihat
pelatihan bukan sesuatu yang mahal dan hanya merugikan pihak keuangan, akan tetapi
pelatihan merupakan suatu investasi. Sehingga dapat dilihat dengan menggunakan hitungan
yang akurat keuntungan yang dapat diperoleh setelah melaksanakan pelatihan, dan hal ini
tentunya dapat memberikan gambaran lebih luas, apabila ternyata dari hasil yang diperoleh
ditemukan bahwa pelatihan tersebut tidak memberikan keuntungan baik bagi peserta
maupun bagi perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai