Anda di halaman 1dari 18

HEMATOLOGI

NORMOKROM NORMOSITER

1.1 Pengertian Normokrom Normositer


Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas
hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah.
Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari
dasar perubahan patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemikiran
fisik yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan laboratorium.
Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro
menunjukkan ukuran sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan
warnanya. Sudah dikenal tiga klasifikasi besar, yaitu anemia hipokrom
makrositer, anemia hipokrom mikrositer, dan anemia normokrom normositer.
Anemia Normokrom Normositer merupakan jenis anemia dimana ukuran
dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam
jumlah yang normal tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia
normokrom normositer (MCV didalam batasan normal, 80-100), antara lain:
1. Pasca perdarahan akut
2. Anemia aplastik-hipoplastik
3. Anemia hemolitik terutama yang didapat
4. Akibat penyakit kronis
5. Anemia mieloplastik
6. Gagal ginjal kronis
7. Mielofibrosis
8. Sindroma mielodisplastik
9. Leukemia akut

1.2 Penyakit
1.2.1 Anemia Aplastik
1. Pengertian
Anemia Aplastik, adalah kondisi dimana sumsum tidak dapat
berproduksi maksimal sehingga sel darah baru tidak mencukupi untuk
proses penggantian sel darah lama. Pada kasus anemia biasa,
umumnya hanya jumlah sel darah merah yang rendah, tetapi pada
anemia aplastik, jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan platelet
menjadi sangat rendah. Dicurigai penyebab anemia aplastik ini adalah
gangguan sistem imun, atau disebut gangguan autoimun. Dimana sel
darah putih menyerang sumsum. Jika anemia aplastik ini tidak diobati,
maka resiko kematian akan muncul dalam waktu 6 bulan.

2. Klasifikasi dan Etiologi


Anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua faktor penyebab, yaitu
faktor primer dan sekunder. Secara sederhana anemia aplastik dapat
diklasifikasi sebagai berikut.
a. Penyebab Primer
1. Idiopatik (paling banyak)

2. Anemia Fanconi

3. c. Dyskeratosis congenita

b. Penyebab Sekunder

1. Zat kimia

2. Obat-obatan

3. Infeksi

4. Radiasi

Gangguan kongenital yang paling umum terjadi adalah anemia


Fanconi. Penyakit ini dapat menyerang anak-anak dan biasanya
dikarenakan defek pada DNA Repair dan aplasia yang sering disertai
kelainan rangka, pigmentasi pada kulit dan abnormalitas pada ginjal.
Pemaparan pada bahan-bahan kimia, obat-obatan dan radiasi juga
dapat merusak sel induk. Obat-obatan dapat menekan hematopoiesis
secara idiosinkratik ataupun secara terduga.
Obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi pada sumsum tulang
dapat dibagi dua:
a. Sering atau selalu menyebabkan depresi sumsum tulang
1. Sitostatika

b. Kadang-kadang menyebabkan depresi sumsum tulang

1. Antikonvulsan, misalnya: metilhidantoin


2. Antibiotik, misalnya: kloramfenikol, sulfonamide,
penicillin dan lain-lain

3. Analgesik, misalnya: fenilbutazon

4. Relaksan otot, misalnya: meprobamat


Obat seperti kloramfenikol diduga dapat menyebabkan anemia
aplastik. Misalnya pemberian kloramfenikol pada bayi sejak berumur
2 3 bulan akan menyebabkan anemia aplastik setelah berumur 6
tahun.
America Medical Association juga telah membuat daftar obat-obat
yang dapat menimbulkan anemia aplastik. Lihat tabel berikut.

Obat-obat yang sering


dihubungkan dengan
Anemia Aplastik
1. Azathioprine
2. Karbamazepine
3. Inhibitor carbonic
anhydrase
4. Kloramfenikol
5. Ethosuksimide
6. Indomethasin
7. Imunoglobulin limfosit
8. Penisilamine
9. Probenesid
10. Quinacrine
11. Obat-obat sulfonamide
12. Sulfonilurea
13. Obat-obat thiazide
14. Trimethadione
Zat-zat kimia yang sering menjadi penyebab anemia aplastik
misalnya benzen, arsen, insektisida, dan lain-lain. Zat-zat kimia
tersebut biasanya terhirup ataupun terkena (secara kontak kulit) pada
individu.
Radiasi juga dianggap sebagai penyebab anemia aplastik ini karena
dapat mengakibatkan kerusakan pada stem cell atau sel induk ataupun
menyebabkan kerusakan pada lingkungan sel induk. Contoh radiasi
yang dimaksud antara lain pajanan sinar X yang berlebihan ataupun
jatuhan radioaktif (misalnya dari ledakan bom nuklir).
Paparan oleh radiasi berenergi tinggi ataupun sedang yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang akut
dan kronis maupun anemia aplastik. Terutama sel-sel germinal dan sel
hematopoietik. Sel-sel tersebut merupakan sel yang paling mudah
mengalami kerusakan tersebut.
Selain radiasi, infeksi juga dapat menyebabkan anemia aplastik.
Misalnya seperti infeksi virus Hepatitis C, EBV, CMV, parvovirus,
HIV, dengue dan lain-lain.
Dari semua faktor penyebab anemia aplastik diatas, faktor yang paling
banyak terjadi ialah faktor idiopatik. Dimana penyebabnya anemia
aplastik ini masih belum jelas.

3. Patofisiologi
Ada dua hal yang menjadi patofisiologi anemia aplastik.
a. Kerusakan pada sel induk pluripoten
Gangguan pada sel induk pluripoten ini menjadi penyebab utama
terjadinya anemia aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami
gangguan gagal membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah
yang baru.
Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten
ataupun karena fungsinya yang menurun.
Penanganan yang tepat untuk individu anemia aplastik yang
disebabkan oleh gangguan pada sel induk adalah terapi transplantasi
sumsum tulang.
b. Kerusakan pada microenvironment
Ditemukan gangguan pada mikrovaskuler, faktor humoral (misal
eritropoietin) maupun bahan penghambat pertumbuhan sel. Hal ini
mengakibatkan gagalnya jaringan sumsum tulang untuk berkembang.
Gangguan pada microenvironment merupakan kerusakan lingkungan
sekitar sel induk pluripoten sehingga menyebabkan kehilangan
kemampuan sel tersebut untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel darah.
Selain itu pada beberapa penderita anemia aplastik ditemukan cell
inhibitors atau penghambat pertumbuhan sel. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya limfosit T yang menghambat pertumbuhan sel-sel
sumsum tulang.
Sampai saat ini, teori yang paling dianut sebagai penyebab anemia
aplastik adalah gangguan pada sel induk pluri poten.

4. Gejala Klinis
Pada penderita anemia aplastik dapat ditemukan tiga gejala utama
yaitu, anemia, trombositopenia, dan leukopenia. Ketiga gejala ini
disertai dengan gejala-gejala lain yang dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
- Anemia biasanya ditandai dengan pucat, mudah lelah, lemah,
hilang selera makan, dan palpitasi.
- Trombositopenia, misalnya: perdarahan gusi, epistaksis, petekia,
ekimosa dan lain-lain.
- Leukopenia ataupun granulositopenia, misalnya: infeksi.
Selain itu, hepatosplenomegali dan limfadenopati juga dapat
ditemukan pada penderita anemia aplastik ini meski sangat jarang
terjadi.
5. Pemeriksaan dan diagnosis
Ada dua jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
anemia aplastik, yaitu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
laboratorium.
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis penderita anemia aplastik diperoleh:
a. Pucat
b. Perdarahan pada gusi, retina, hidung, dan kulit.
c. Tanda-tanda infeksi, misalnya demam.
d. Pembesaran hati (hepatomegali)
e. Tanda anemia Fanconi, yaitu bintik Caf au lait dan postur tubuh
yang pendek.
f. Tanda dyskeratosis congenita, yaitu jari-jari yang aneh dan
leukoplakia.
Pemeriksaan Laboratorium

Darah Tepi

Granulosit < 500 /mm3

Trombosit < 20.000 /mm3

Retikulosit < 1.0 % (atau bahkan hampir tidak ada)
Pada penderita anemia aplastik ditemukan kadar retikulosit yang
sedikit atau bahkan tidak ditemukan. Sedangkan jumlah limfosit dapat
normal atau sedikit menurun.
Dari ketiga kriteria darah tepi di atas, dapat ditentukan berat tidaknya
suatu anemia aplastik yang diderita oleh pasien. Cukup dua dari tiga
kriteria di atas terpenuhi, maka si individu sudah dapat digolongkan
sebagai penderita anemia aplastik berat.
Sumsum Tulang
Hiposeluler < 25%
Pemeriksaan sumsum tulang ini dilakukan pemeriksaan biopsi dan
aspirasi.

6. Prognosis
Kondisi semakin buruk jika ditemukan:
- Neutrofil < 0.5 x 109
- Platelet < 20 x 109
- Retikulosit < 40 x 109
Sebelum era transplantasi sumsum tulang tulang, angka mortalitas
sangatlah tinggi. Kira-kira 65% sampai 80%. Dengan adanya
transplantasi sumsum tulang, angka mortalitas ini dapat dipastikan
turun.
Transplantasi sumsum tulang ini sangatlah baik dilakukan bagi mereka
yang berumur dibawah 25 tahun dan lebih baik lagi bila dilakukan
pada anak-anak.

7. Penatalaksanaan
Terapi Suportif
Transfusi darah dan platelet sangat bermanfaat, namun harus
digunakan dengan bijaksana dan baik karena dapat terjadi sensitisasi
pada sel dan imunitas humoral pasien anemia aplastik. Bila terjadi hal
yang demikian, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua
atau saudara kandung).
Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik
Terapi dengan Growth factor sebenarnya tidak dapat memperbaiki
kerusakan sel induk. Namun terapi ini masih dapat dijadikan pilihan
terutama untuk pasien dengan infeksi berat.
Penggunaan G-CSF (granulocyte-colony stimulating factor) terbukti
bermanfaat memulihkan neutrofil pada kasus neutropenia berat.
Namun hal ini tidak berlangsung lama. G-CSF harus dikombinasikan
dengan regimen lain misalnya ATG/CsA untuk mendapatkan hasil
terapi yang lebih baik.
Transplantasi Sumsum Tulang (SCT, Stem Cell Transplantation)
Transplantasi sumsum tulang ini dapat dilakukan pada pasien anemia
aplastik jika memiliki donor yang cocok HLA-nya (misalnya saudara
kembar ataupun saudara kandung). Terapi ini sangat baik pada pasien
yang masih anak-anak.
Transplantasi sumsum tulang ini dapat mencapai angka keberhasilan
lebih dari 80% jika memiliki donor yang HLA-nya cocok. Namun
angka ini dapat menurun bila pasien yang mendapat terapi semakin
tua. Artinya, semakin meningkat umur, makin meningkat pula reaksi
penolakan sumsum tulang donor. Kondisi ini biasa disebut GVHD
atau graft-versus-host disease.
Terapi imunosupresif
Terapi imunosupresif dapat dijadikan pilihan bagi mereka yang
menderita anemia aplastik. Terapi ini dilakukan dengan konsumsi
obat-obatan. Obat-obat yang termasuk terapi imunosupresif ini antara
lain antithymocyte globulin (ATG) atauantilymphocyte
globulin (ALG), siklosporin A (CsA) dan Oxymethalone.
Regimen terbaik adalah kombinasi dari ATG dan siklosporin. Namun
kedua obat ini juga dapat berpotensi toksik. ATG dapat memproduksi
pyrexia, ruam dan hipotensi sedangkan siklosporin dapat
menyebabkan nefrotoksik dan hipertensi.
Oxymethalon juga memiliki efek samping diantaranya, retensi garam
dan kerusakan hati.
Orang dewasa yang tidak mungkin lagi melakukan terapi transplantasi
sumsum tulang, dapat melakukan terapi imunosupresif ini.

1.2.2 Anemia Pasca Perdarahan


1. Definisi
Anemia Karena Perdarahan adalah berkurangnya jumlah sel darah
merah atau jumlah hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang
disebabkan oleh perdarahan.

2. Etiologi
Perdarahan hebat merupakan penyebab tersering dari anemia.
Jika kehilangan darah, tubuh dengan segera menarik cairan dari
jaringan diluar pembuluh darah sebagai usaha untuk menjaga agar
pembuluh darah tetap terisi. Akibatnya darah menjadi lebih encer
dan persentase sel darah merah berkurang.
Pada akhirnya, peningkatan pembentukan sel darah merah akan
memperbaiki anemia. Tetapi pada awalnya anemia bisa sangat
berat, terutama jika timbul dengan segera karena kehilangan darah
yang tiba-tiba, seperti yang terjadi pada:
a. Kecelakaan
b. Pembedahan
c. Persalinan
d. Pecahnya pembuluh darah.
Yang lebih sering terjadi adalah perdarahan menahun (terus
menerus atau berulang-ulang), yang bisa terjadi pada berbagai
bagian tubuh: Perdarahan hidung dan wasir : jelas terlihat.
Perdarahan pada tukak lambung dan usus kecil atau polip dan
kanker usus besar) : mungkin tidak terlihat dengan jelas karena
jumlah darahnya sedikit dan tidak tampak sebagai darah yang
merah di dalam tinja; jenis perdarahan ini disebut perdarahan
tersembunyi.
Perdarahan karena tumor ginjal atau kandung kemih; bisa
menyebabkan ditemukannya darah dalam air kemih. Perdarahan
menstruasi yang sangat banyak.

3. Gejala Klinis
Hilangnya sejumlah besar darah secara mendadak dapat
menyebabkan 2 masalah:
a. Tekanan darah menurun karena jumlah cairan di dalam
pembuluh darah berkurang
b. Pasokan oksigen tubuh menurun karena jumlah sel darah
merah yang mengangkut oksigen berkurang.
Kedua masalah tersebut bisa menyebabkan serangan jantung,
stroke atau kematian. Anemia yang disebabkan oleh perdarahan
bisa bersifat ringan sampai berat, dan gejalanya bervariasi. Anemia
bisa tidak menimbulkan gejala atau bisa menyebabkan:
a. pingsan
b. pusing
c. haus
d. berkeringat
e. denyut nadi yang lemah dan cepat
f. pernafasan yang cepat.
Penderita sering mengalami pusing ketika duduk atau berdiri
(hipotensi ortostatik). Anemia juga bisa menyebabkan kelelahan
yang luar biasa, sesak nafas, nyeri dada dan jika sangat berat bisa
menyebabkan kematian. Berat ringannya gejala ditentukan oleh
kecepatan hilangnya darah dari tubuh. Jika darah hilang dalam
waktu yang singkat (dalam beberapa jam atau kurang), kehilangan
sepertiga dari volume darah tubuh bisa berakibat fatal.

Jika darah hilang lebih lambat (dalam beberapa hari, minggu atau
lebih lama lagi), kehilangan sampai dua pertiga dari volumer darah
tubuh bisa hanya menyebabkan kelelahan dan kelemahan atau
tanpa gejala sama sekali.

4. Manifestasi klinis menurut Brunner dan Suddart (2001):


a. Pengaruh yang timbul segera
Akibat kehilangan darah yang cepat terjadi reflek cardia
vaskuler yang fisiologis berupa kontraksi orteiola, pengurangan
cairan darah atau komponennya ke organ tubuh yang kurang
vital (otak dan jantung). Gejala yang timbul tergantung dari
cepat dan banyaknya darah yang hilang dan apakah tubuh masih
dapat mengadakan kompensasi. Kehilangan darah 200 ml pada
orang dewasa yang terjadi dengan cepat dapat lebih berbahaya
daripada kehilangan darah sebanyak 3000ml dalam waktu yang
lama.
b. Pengaruh lambat
Beberapa jam setelah perdarahan terjadi pergeseran cairan
ekstraseluler dan intravaskuler yaitu agar isi iontravaskuler dan
tekanan osmotik dapat dipertahankan tetapi akibatnya terjadi
hemodilati. Gejala yang ditemukan adalah leukositosis (15.000-
20.000/mm3) nilai hemoglobin, eritrosit dan hematokrit merendah
akibat hemodilasi. Untuk mempertahankan metabolisme, sebagai
kompensasi sistem eritropoenik menjadi hiperaktif, kadang-
kadang terlihat gejala gagal jantung. Pada orang dewasa keadaan
hemodelasi dapat menimbulkan kelainan cerebral dan infark
miokard karena hipoksemia. Sebelum ginjal kembali normal akan
ditemukan oliguria atau anuria sebagai akibat berkurangnya aliran
ke ginjal.
5. Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung kepada kecepatan hilangnya darah dan
beratnya anemia yang terjadi. Satu-satunya pengobatan untuk
kehilangan darah dalam waktu yang singkat atau anemia yang
berat adalah transfusi sel darah merah. Selain itu, sumber
perdarahan harus ditemukan dan perdarahan harus dihentikan.
Jika darah hilang dalam waktu yang lebih lama atau anemia tidak
terlalu berat, tubuh bisa menghasilkan sejumlah sel darah merah
yang cukup untuk memperbaiki anemia tanpa harus menjalani
transfusi. Zat besi yang diperlukan untuk pembentukan sel darah
merah juga hilang selama perdarahan.
Karena itu sebagian besar penderita anemia juga mendapatkan
tambahan zat besi, biasanya dalam bentuk tablet.

1.2.3 Anemia Hemolitik


Anemia hemolitik adalah anemia yang disebakan adanya
peningkatan destruksi eritrosit yang melebihi kemampuan kompensasi
eritropoiesis sumsum tulang. Sel darah merah usianya sekitar 120 hari
tetapi pada anemia hemolitik usianya berkurang. Lisis dari sel darah
merah normal terjadi di makrofag sumsum tulang, hati dan lien.
A. Etiologi dan Klasifikasi
Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena 1) Defek
molekular hemoglobinopati atau enzimopati 2) Abnormalitas struktur dan
fungsi membran-membran 3) faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau
autoantibodi.
Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi :
1. Anemia hemolisis herediter,
yang termasuk kelompok ini adalah:
a) Defek enzim / enzimopati
1. Defek jalur Embden Meyerhof
1. Defisiensi piruvat kinase
2. Defisiensi glukosa fosfat isomerase
3. Defisiensi fosfogliserat kinase
2. defek jalur heksosa monofosfat
4. Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
5. Defisiensi glutation reduktase
b) Hemoglobinopati
- Thalasemia
- Anemia Sickle cell
- Hemoglobinopati lain
c) Defek membran (membranopati) : sferositosis herediter
2. Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini adalah:
a) Anemia hemolisis imun, misalnya ; idiopatik, keganasan, obat-obatan,
kelainan autoimun, transfusi.
b) Mikroangiopati, misalnya ; Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP),
Sindroma Uremik Hemolitik (SUH), Koagulasi Intravaskular (KID),
preeklampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik.
c) Infeksi, misalnya ; infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium

B. Patofisiologi
Defisiensi isozim piruvat kinase yang ditemukan dalam sel darah merah
menimbulkan anemia hemolitik. Piruvat kinase adalah enzim kunci dalam
glikolisis. Enzim ini mengkatalisis langkah akhir dan merupakan satu dari
dua enzim yang menghasilkan ATP. Defisiensi enzim ini pada sel darah
merah menyebabkan penimbunan zat antara glikolisis, termasuk 2,3-BPG.
Peningkatan kadar 2,3-BPG menurunkan afinitas hemoglobin terhadap
oksigen, dan secara parsial mengkompensasi penurunan kemampuan darah
mengangkut oksigen akibat penurunan jumlah sel darah merah. Jumlah sel
darah merah menurun karena penurunan pembentukan ATP mempengaruhi
pompa kation di membran sel. Ca2+ masuk ke dalam sel, sementara K + dan
H2O keluar dari sel. Sel eritrosit mengalami dehidrasi dan difagositosis oleh
sel-sel di limpa. Umur eritrosit jadi lebih memendek. Seiring dengan
penurunan jumlah eritrosit, jumlah retikulosit meningkat. Retikulosit
berkembang menjadi sel darah merah baru.5
Defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase dapat mengakibatkan anemia
hemolitik, hemolisis disebabkan oleh spesies oksigen reaktif. Selengkapnya
dapat dijelaskan pada gambar berikut :

Gambar 9 : Glikolisis

1. Pemeliharaan integritas integritas membran eritrosit bergantung pada


kemapuan eritrosit menghasilkan ATP dan NADPH dari glikolisis.
2. NADPH dihasilkan dari jalur pentosa fosfat
3. NADPH digunakan untuk mereduksi glutation teroksidasi menjadi
glutation tereduksi, glutation penting untuk menyingkirkan H2O2 dan
peroksida lemak yang terbentuk oleh spesies oksigen reaktif (ROS)
4. pada eritrosit individu yang sehat, pembentukan ion superoksida yang
terjadi terus menerus dari oksidasi nonenzimatik hemoglobin merupakan
sumber spesies oksigen reaktif. Sistem pertahan glutation terganggu akibat
defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase, infeksi, obat-obatan tertentu, dan
glikosida purin pada buncis fava.
5. Akibatnya terbentuk badan Heinz (kumpulan hemoglobin yang
mengalami pengikatan silang) pada membran sel dan menyebabkan sel
mengalami stres mekanis sewaktu sel mencoba untuk mengalir melalui
kapiler yang sempit. Kerja ROS pada membran sel serta sters mekanis
akibat berkurangnya daya lentur (deformabilitas) menimbulkan hemolisis.

Pendeknya usia sel darah merah tidak selalu menyebabkan anemia


karena adanya kompensasi dengan peningkatan sel darah merah oleh
sumsum tulang. Jika destruksi sel darah masih dalam kapasitas sumsum
tulang untuk meningkatkan output, maka akan terjadi suatu keadaan
hemolitik tanpa anemia. Ini disebut sebagai compensated haemolytic
disease. Sumsum tulang bisa meningkatkan outputnya sebanyak 6 hingga 8
kali lipat dengan meningkatkan proposi sel untuk eritropoiesis (erythroid
hyperplasia) dan dengan menambah volume untuk aktivitas sumsum tulang.
Ditambah dengan pelepasan prematur sel darah merah immatur (retikulosit).
Sel tersebut lebih besar dari sel yang matur dan mewarnai dengan biru muda
pada apus darah tepi. Hasil tersebut disebut sebagai polychromasia.
Retikulosit dapat dihitung secara akurat sebagai persentase dari semua sel
darah merah pada apus darah dengan menggunakan pewarnaan supravital
untuk RNA residual. (cth; methylene biru)

C. Lokasi Hemolisis
1. Hemolisis Ekstravaskular
Pada kebanyakan kondisi hemolitik, destruksi sel darah merah
adalah di ekstravaskular. Sel darah merah disingkirkan dari sirkulasi oleh
makrofag di RES, khususnya lien.
2. Hemolisis Intravaskular
Apabila sel darah merah terdestruksi dalam sirkulasi, hemoglobin
terlepas dan akan terikat pada haptoglobin plasma tetapi mengalami saturasi.
Hb plasma bebas yang banyak ini akan difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan
masuk ke urin, walaupun sebagian kecil direabsorbsi oleh tubulus renal.
Dalam sel tubular renal, Hb pecah dan terdeposit di sel sebagai
haemosiderin. Sebagian Hb plasma yang bebas dioksidasi menjadi
methemoglobin, yang berpecah lagi menjadi globin dan ferrihaem.
Hemopexin plasma mengikat ferrihaem namun jika kapasitas pengikatannya
melebihi maka ferrihaem bersatu dengan albumin membentuk
methaemalbumin. Hati berperan penting dalam mengeliminasi Hb yang
terikat dengan haptoglobin dan haemopexin dan sisa Hb bebas.
C. Bukti hemolisis
Peningkatan destruksi sel darah merah menyebabkan;
1. peningkatan bilirubin serum (unconjugated)
2. kelebihan urobilinogen urin ( akibat pemecahan bilirubin di intestinal)
3. penurunan haptoglobin plasma
4. kenaikan LDH serum
Peningkatan produksi sel darah merah menyebabkan ;
1. retikulositosis
2. hiperplasia eritroid dari sumsum tulang
Pada beberapa anemia hemolitik terdapat sel darah merah abnormal seperti ;
1. sferosit
2. sickle sel
3. fragmen sel darah merah

D. Tanda dan Gejala Klinis


Dapat asimptomatik, maupun akut dan berat. Pada bentuk berat dan
akut, pada umumnya berupa :
1. Mendadak mual, panas badan, muntah, menggigil, nyeri perut, pinggang
dan ekstrimitas, lemah badan, sesak nafas, pucat
2. Gangguan kardiovaskuler
3. BAK warna merah/gelap
Bentuk kronis, keluhan lemah badan berlangsung dalm periode
beberapa minggu sampai bulan. Bentuk asimptomatik biasanya tanpa gejala.
Bentuk sedang berat : pucat, subikterik, splenomegali, petekhie, purpura
(Sindrom Evans), hemolisis kongenital. Dapat terjadi komplikasi berupa
kolelitihiasis/kolesistitis, hepatitis pasca transfusi, hemokromatosis.

F. Diagnosis Banding
- Anemia pernisiosa
- Anemia defisiensi Fe stadium awal
- Anemia pasca perdarahan masif
- Eritroleukemi
- Anemia aplastik
- Myelofibrosis
G. Terapi
1. Tergantung etiologi
a) Anemia Hemolitik autoimun :
- Glukokortikoid : Prednison 40 mg/m2 luas permukaan tubub (LPT)/hari.
Respon biasanya terlihat setelah 7 hari, retikulosit meningkat, Hb
meningkat 2-3 gr %/minggu. Bila Hb sudah mencapai 10 gr%, dosis
steroid dapat diturunkan dalam 4-6 minggu sampi 20 mg/m 2 LPT/bari;
kemudian diturunkan salam 3-4 bulan. Beberapa kasus memerlukan
prednison dosis pemeliharaan 5-10 mg selang sehari
- Splenoktomi : pada kasus yang tidak berespon dengan pemberian
glukokortikoid
- Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan
splenoktomi
- Azatioprin : 80 mg/m2/hari, atau
- Siklofosfamid : 60-75 mg/m2/hari
- Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan. kemudian tappering off,
biasanya dikombinasikan dengan Prednison 40 mg/m2 LPT/hari. Dosis
prednison diturunkan bertahap dalam waktu 3 bulan
- Obat imunosupresif intravena : 0,4 gr/kgBB/hari sampai 1 gr/kgBB/hari
selama 5 hari
- Danazol : 600-800 mg/hari, bila ada respon, dosis diturunkan menjadi 200-
400 mg/hari.
- Diberikan bersama dengan Prednison.
- Plasmaferess
b) Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan
c) Stop obat-obat yang diduga menjadi penyebab
d) Kelainan congenital, misalnya: Talasemia
Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr %
Desferal untuk mencegah penumpukan besi :
Diberikan bila serum Feritin mencapai 1000 g/dL biasanya setelah
transfusi labu ke 12
Dosis inisial 20 mg/kgBB, diberikan 8-12 jam infus SC di dinding anterior
abdomen, selama 5 hari/minggu.
Diberikan bersama dengan 100-200 mg vitamin C per oral untuk
meningkatkan ekskresi Fe
Pada keadaan pemunpukan Fe bcrat, terutama disertai komplikasi jantung
dan endokrin, deferoxamine diberikan 50 mg/kgBB secara infus kontinue
IV.
Sferositosis herediter.
Splenektomi, umur optimal 6-7 thn, Kl limfopeni, hipogamaglobulinemi
2. Bila perlu transfusi darah : washed red cell (pada hemolitik autoimun) atau
packed red cell
3. Pada hemolisis kronik diberikan Asam Folat 0,15-0,3 mg/hari untuk
mencegah krisis megaloblastik
4. HUS (Hemolytic Uremic Syndrome) :
Adanya Triad : Hemolitik mikroangiopati, trombositopeni, GGA
Terapi suportif, perhatikan kesimbangan cairan, transfusi (pertahankan Hb
9 gr%), jangan beri suspensi trombosit
Dialisis
5. TTP (Thrombotic Thrombocytopenic Purpura)
Adanya pentad : gangguan neurologik, anemia hemolitik, trombositopenia.
gangguan fungsi ginjal, demam.
Terapi : Kortikosteroid, prednison 200 mg/hari atau metil prednisolon 0,75
mg/kg IV tiap 12 jam, bila tidak ada respon, dilakukan plasmaferesis denuan
FFP 3-4 L/hari

Anda mungkin juga menyukai