Normokrom Normositer
Normokrom Normositer
NORMOKROM NORMOSITER
1.2 Penyakit
1.2.1 Anemia Aplastik
1. Pengertian
Anemia Aplastik, adalah kondisi dimana sumsum tidak dapat
berproduksi maksimal sehingga sel darah baru tidak mencukupi untuk
proses penggantian sel darah lama. Pada kasus anemia biasa,
umumnya hanya jumlah sel darah merah yang rendah, tetapi pada
anemia aplastik, jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan platelet
menjadi sangat rendah. Dicurigai penyebab anemia aplastik ini adalah
gangguan sistem imun, atau disebut gangguan autoimun. Dimana sel
darah putih menyerang sumsum. Jika anemia aplastik ini tidak diobati,
maka resiko kematian akan muncul dalam waktu 6 bulan.
2. Anemia Fanconi
3. c. Dyskeratosis congenita
b. Penyebab Sekunder
1. Zat kimia
2. Obat-obatan
3. Infeksi
4. Radiasi
3. Patofisiologi
Ada dua hal yang menjadi patofisiologi anemia aplastik.
a. Kerusakan pada sel induk pluripoten
Gangguan pada sel induk pluripoten ini menjadi penyebab utama
terjadinya anemia aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami
gangguan gagal membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah
yang baru.
Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten
ataupun karena fungsinya yang menurun.
Penanganan yang tepat untuk individu anemia aplastik yang
disebabkan oleh gangguan pada sel induk adalah terapi transplantasi
sumsum tulang.
b. Kerusakan pada microenvironment
Ditemukan gangguan pada mikrovaskuler, faktor humoral (misal
eritropoietin) maupun bahan penghambat pertumbuhan sel. Hal ini
mengakibatkan gagalnya jaringan sumsum tulang untuk berkembang.
Gangguan pada microenvironment merupakan kerusakan lingkungan
sekitar sel induk pluripoten sehingga menyebabkan kehilangan
kemampuan sel tersebut untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel darah.
Selain itu pada beberapa penderita anemia aplastik ditemukan cell
inhibitors atau penghambat pertumbuhan sel. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya limfosit T yang menghambat pertumbuhan sel-sel
sumsum tulang.
Sampai saat ini, teori yang paling dianut sebagai penyebab anemia
aplastik adalah gangguan pada sel induk pluri poten.
4. Gejala Klinis
Pada penderita anemia aplastik dapat ditemukan tiga gejala utama
yaitu, anemia, trombositopenia, dan leukopenia. Ketiga gejala ini
disertai dengan gejala-gejala lain yang dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
- Anemia biasanya ditandai dengan pucat, mudah lelah, lemah,
hilang selera makan, dan palpitasi.
- Trombositopenia, misalnya: perdarahan gusi, epistaksis, petekia,
ekimosa dan lain-lain.
- Leukopenia ataupun granulositopenia, misalnya: infeksi.
Selain itu, hepatosplenomegali dan limfadenopati juga dapat
ditemukan pada penderita anemia aplastik ini meski sangat jarang
terjadi.
5. Pemeriksaan dan diagnosis
Ada dua jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
anemia aplastik, yaitu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
laboratorium.
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis penderita anemia aplastik diperoleh:
a. Pucat
b. Perdarahan pada gusi, retina, hidung, dan kulit.
c. Tanda-tanda infeksi, misalnya demam.
d. Pembesaran hati (hepatomegali)
e. Tanda anemia Fanconi, yaitu bintik Caf au lait dan postur tubuh
yang pendek.
f. Tanda dyskeratosis congenita, yaitu jari-jari yang aneh dan
leukoplakia.
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Tepi
Granulosit < 500 /mm3
Trombosit < 20.000 /mm3
Retikulosit < 1.0 % (atau bahkan hampir tidak ada)
Pada penderita anemia aplastik ditemukan kadar retikulosit yang
sedikit atau bahkan tidak ditemukan. Sedangkan jumlah limfosit dapat
normal atau sedikit menurun.
Dari ketiga kriteria darah tepi di atas, dapat ditentukan berat tidaknya
suatu anemia aplastik yang diderita oleh pasien. Cukup dua dari tiga
kriteria di atas terpenuhi, maka si individu sudah dapat digolongkan
sebagai penderita anemia aplastik berat.
Sumsum Tulang
Hiposeluler < 25%
Pemeriksaan sumsum tulang ini dilakukan pemeriksaan biopsi dan
aspirasi.
6. Prognosis
Kondisi semakin buruk jika ditemukan:
- Neutrofil < 0.5 x 109
- Platelet < 20 x 109
- Retikulosit < 40 x 109
Sebelum era transplantasi sumsum tulang tulang, angka mortalitas
sangatlah tinggi. Kira-kira 65% sampai 80%. Dengan adanya
transplantasi sumsum tulang, angka mortalitas ini dapat dipastikan
turun.
Transplantasi sumsum tulang ini sangatlah baik dilakukan bagi mereka
yang berumur dibawah 25 tahun dan lebih baik lagi bila dilakukan
pada anak-anak.
7. Penatalaksanaan
Terapi Suportif
Transfusi darah dan platelet sangat bermanfaat, namun harus
digunakan dengan bijaksana dan baik karena dapat terjadi sensitisasi
pada sel dan imunitas humoral pasien anemia aplastik. Bila terjadi hal
yang demikian, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua
atau saudara kandung).
Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik
Terapi dengan Growth factor sebenarnya tidak dapat memperbaiki
kerusakan sel induk. Namun terapi ini masih dapat dijadikan pilihan
terutama untuk pasien dengan infeksi berat.
Penggunaan G-CSF (granulocyte-colony stimulating factor) terbukti
bermanfaat memulihkan neutrofil pada kasus neutropenia berat.
Namun hal ini tidak berlangsung lama. G-CSF harus dikombinasikan
dengan regimen lain misalnya ATG/CsA untuk mendapatkan hasil
terapi yang lebih baik.
Transplantasi Sumsum Tulang (SCT, Stem Cell Transplantation)
Transplantasi sumsum tulang ini dapat dilakukan pada pasien anemia
aplastik jika memiliki donor yang cocok HLA-nya (misalnya saudara
kembar ataupun saudara kandung). Terapi ini sangat baik pada pasien
yang masih anak-anak.
Transplantasi sumsum tulang ini dapat mencapai angka keberhasilan
lebih dari 80% jika memiliki donor yang HLA-nya cocok. Namun
angka ini dapat menurun bila pasien yang mendapat terapi semakin
tua. Artinya, semakin meningkat umur, makin meningkat pula reaksi
penolakan sumsum tulang donor. Kondisi ini biasa disebut GVHD
atau graft-versus-host disease.
Terapi imunosupresif
Terapi imunosupresif dapat dijadikan pilihan bagi mereka yang
menderita anemia aplastik. Terapi ini dilakukan dengan konsumsi
obat-obatan. Obat-obat yang termasuk terapi imunosupresif ini antara
lain antithymocyte globulin (ATG) atauantilymphocyte
globulin (ALG), siklosporin A (CsA) dan Oxymethalone.
Regimen terbaik adalah kombinasi dari ATG dan siklosporin. Namun
kedua obat ini juga dapat berpotensi toksik. ATG dapat memproduksi
pyrexia, ruam dan hipotensi sedangkan siklosporin dapat
menyebabkan nefrotoksik dan hipertensi.
Oxymethalon juga memiliki efek samping diantaranya, retensi garam
dan kerusakan hati.
Orang dewasa yang tidak mungkin lagi melakukan terapi transplantasi
sumsum tulang, dapat melakukan terapi imunosupresif ini.
2. Etiologi
Perdarahan hebat merupakan penyebab tersering dari anemia.
Jika kehilangan darah, tubuh dengan segera menarik cairan dari
jaringan diluar pembuluh darah sebagai usaha untuk menjaga agar
pembuluh darah tetap terisi. Akibatnya darah menjadi lebih encer
dan persentase sel darah merah berkurang.
Pada akhirnya, peningkatan pembentukan sel darah merah akan
memperbaiki anemia. Tetapi pada awalnya anemia bisa sangat
berat, terutama jika timbul dengan segera karena kehilangan darah
yang tiba-tiba, seperti yang terjadi pada:
a. Kecelakaan
b. Pembedahan
c. Persalinan
d. Pecahnya pembuluh darah.
Yang lebih sering terjadi adalah perdarahan menahun (terus
menerus atau berulang-ulang), yang bisa terjadi pada berbagai
bagian tubuh: Perdarahan hidung dan wasir : jelas terlihat.
Perdarahan pada tukak lambung dan usus kecil atau polip dan
kanker usus besar) : mungkin tidak terlihat dengan jelas karena
jumlah darahnya sedikit dan tidak tampak sebagai darah yang
merah di dalam tinja; jenis perdarahan ini disebut perdarahan
tersembunyi.
Perdarahan karena tumor ginjal atau kandung kemih; bisa
menyebabkan ditemukannya darah dalam air kemih. Perdarahan
menstruasi yang sangat banyak.
3. Gejala Klinis
Hilangnya sejumlah besar darah secara mendadak dapat
menyebabkan 2 masalah:
a. Tekanan darah menurun karena jumlah cairan di dalam
pembuluh darah berkurang
b. Pasokan oksigen tubuh menurun karena jumlah sel darah
merah yang mengangkut oksigen berkurang.
Kedua masalah tersebut bisa menyebabkan serangan jantung,
stroke atau kematian. Anemia yang disebabkan oleh perdarahan
bisa bersifat ringan sampai berat, dan gejalanya bervariasi. Anemia
bisa tidak menimbulkan gejala atau bisa menyebabkan:
a. pingsan
b. pusing
c. haus
d. berkeringat
e. denyut nadi yang lemah dan cepat
f. pernafasan yang cepat.
Penderita sering mengalami pusing ketika duduk atau berdiri
(hipotensi ortostatik). Anemia juga bisa menyebabkan kelelahan
yang luar biasa, sesak nafas, nyeri dada dan jika sangat berat bisa
menyebabkan kematian. Berat ringannya gejala ditentukan oleh
kecepatan hilangnya darah dari tubuh. Jika darah hilang dalam
waktu yang singkat (dalam beberapa jam atau kurang), kehilangan
sepertiga dari volume darah tubuh bisa berakibat fatal.
Jika darah hilang lebih lambat (dalam beberapa hari, minggu atau
lebih lama lagi), kehilangan sampai dua pertiga dari volumer darah
tubuh bisa hanya menyebabkan kelelahan dan kelemahan atau
tanpa gejala sama sekali.
B. Patofisiologi
Defisiensi isozim piruvat kinase yang ditemukan dalam sel darah merah
menimbulkan anemia hemolitik. Piruvat kinase adalah enzim kunci dalam
glikolisis. Enzim ini mengkatalisis langkah akhir dan merupakan satu dari
dua enzim yang menghasilkan ATP. Defisiensi enzim ini pada sel darah
merah menyebabkan penimbunan zat antara glikolisis, termasuk 2,3-BPG.
Peningkatan kadar 2,3-BPG menurunkan afinitas hemoglobin terhadap
oksigen, dan secara parsial mengkompensasi penurunan kemampuan darah
mengangkut oksigen akibat penurunan jumlah sel darah merah. Jumlah sel
darah merah menurun karena penurunan pembentukan ATP mempengaruhi
pompa kation di membran sel. Ca2+ masuk ke dalam sel, sementara K + dan
H2O keluar dari sel. Sel eritrosit mengalami dehidrasi dan difagositosis oleh
sel-sel di limpa. Umur eritrosit jadi lebih memendek. Seiring dengan
penurunan jumlah eritrosit, jumlah retikulosit meningkat. Retikulosit
berkembang menjadi sel darah merah baru.5
Defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase dapat mengakibatkan anemia
hemolitik, hemolisis disebabkan oleh spesies oksigen reaktif. Selengkapnya
dapat dijelaskan pada gambar berikut :
Gambar 9 : Glikolisis
C. Lokasi Hemolisis
1. Hemolisis Ekstravaskular
Pada kebanyakan kondisi hemolitik, destruksi sel darah merah
adalah di ekstravaskular. Sel darah merah disingkirkan dari sirkulasi oleh
makrofag di RES, khususnya lien.
2. Hemolisis Intravaskular
Apabila sel darah merah terdestruksi dalam sirkulasi, hemoglobin
terlepas dan akan terikat pada haptoglobin plasma tetapi mengalami saturasi.
Hb plasma bebas yang banyak ini akan difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan
masuk ke urin, walaupun sebagian kecil direabsorbsi oleh tubulus renal.
Dalam sel tubular renal, Hb pecah dan terdeposit di sel sebagai
haemosiderin. Sebagian Hb plasma yang bebas dioksidasi menjadi
methemoglobin, yang berpecah lagi menjadi globin dan ferrihaem.
Hemopexin plasma mengikat ferrihaem namun jika kapasitas pengikatannya
melebihi maka ferrihaem bersatu dengan albumin membentuk
methaemalbumin. Hati berperan penting dalam mengeliminasi Hb yang
terikat dengan haptoglobin dan haemopexin dan sisa Hb bebas.
C. Bukti hemolisis
Peningkatan destruksi sel darah merah menyebabkan;
1. peningkatan bilirubin serum (unconjugated)
2. kelebihan urobilinogen urin ( akibat pemecahan bilirubin di intestinal)
3. penurunan haptoglobin plasma
4. kenaikan LDH serum
Peningkatan produksi sel darah merah menyebabkan ;
1. retikulositosis
2. hiperplasia eritroid dari sumsum tulang
Pada beberapa anemia hemolitik terdapat sel darah merah abnormal seperti ;
1. sferosit
2. sickle sel
3. fragmen sel darah merah
F. Diagnosis Banding
- Anemia pernisiosa
- Anemia defisiensi Fe stadium awal
- Anemia pasca perdarahan masif
- Eritroleukemi
- Anemia aplastik
- Myelofibrosis
G. Terapi
1. Tergantung etiologi
a) Anemia Hemolitik autoimun :
- Glukokortikoid : Prednison 40 mg/m2 luas permukaan tubub (LPT)/hari.
Respon biasanya terlihat setelah 7 hari, retikulosit meningkat, Hb
meningkat 2-3 gr %/minggu. Bila Hb sudah mencapai 10 gr%, dosis
steroid dapat diturunkan dalam 4-6 minggu sampi 20 mg/m 2 LPT/bari;
kemudian diturunkan salam 3-4 bulan. Beberapa kasus memerlukan
prednison dosis pemeliharaan 5-10 mg selang sehari
- Splenoktomi : pada kasus yang tidak berespon dengan pemberian
glukokortikoid
- Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan
splenoktomi
- Azatioprin : 80 mg/m2/hari, atau
- Siklofosfamid : 60-75 mg/m2/hari
- Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan. kemudian tappering off,
biasanya dikombinasikan dengan Prednison 40 mg/m2 LPT/hari. Dosis
prednison diturunkan bertahap dalam waktu 3 bulan
- Obat imunosupresif intravena : 0,4 gr/kgBB/hari sampai 1 gr/kgBB/hari
selama 5 hari
- Danazol : 600-800 mg/hari, bila ada respon, dosis diturunkan menjadi 200-
400 mg/hari.
- Diberikan bersama dengan Prednison.
- Plasmaferess
b) Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan
c) Stop obat-obat yang diduga menjadi penyebab
d) Kelainan congenital, misalnya: Talasemia
Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr %
Desferal untuk mencegah penumpukan besi :
Diberikan bila serum Feritin mencapai 1000 g/dL biasanya setelah
transfusi labu ke 12
Dosis inisial 20 mg/kgBB, diberikan 8-12 jam infus SC di dinding anterior
abdomen, selama 5 hari/minggu.
Diberikan bersama dengan 100-200 mg vitamin C per oral untuk
meningkatkan ekskresi Fe
Pada keadaan pemunpukan Fe bcrat, terutama disertai komplikasi jantung
dan endokrin, deferoxamine diberikan 50 mg/kgBB secara infus kontinue
IV.
Sferositosis herediter.
Splenektomi, umur optimal 6-7 thn, Kl limfopeni, hipogamaglobulinemi
2. Bila perlu transfusi darah : washed red cell (pada hemolitik autoimun) atau
packed red cell
3. Pada hemolisis kronik diberikan Asam Folat 0,15-0,3 mg/hari untuk
mencegah krisis megaloblastik
4. HUS (Hemolytic Uremic Syndrome) :
Adanya Triad : Hemolitik mikroangiopati, trombositopeni, GGA
Terapi suportif, perhatikan kesimbangan cairan, transfusi (pertahankan Hb
9 gr%), jangan beri suspensi trombosit
Dialisis
5. TTP (Thrombotic Thrombocytopenic Purpura)
Adanya pentad : gangguan neurologik, anemia hemolitik, trombositopenia.
gangguan fungsi ginjal, demam.
Terapi : Kortikosteroid, prednison 200 mg/hari atau metil prednisolon 0,75
mg/kg IV tiap 12 jam, bila tidak ada respon, dilakukan plasmaferesis denuan
FFP 3-4 L/hari