Anda di halaman 1dari 36

PENDAHULUAN

Intoksikasi atau keracunan merujuk pada suatu kejadian berupa efek samping obat,

zat kimia,atau substansi asing lainnya yang berhubungan dengan dosis. Terdapat variasi

respon dan kecenderungan individual terhadap dosis obat yang diberikan. Variasi ini

terjadi baik secara genetik maupun yang didapat, karena induksi enzim, inhibisi,

maupun toleransi.

Keracunan dapat terjadi secara lokal (misalnya pada kulit, mata, maupun paru) atau

terjadi secara sistemik tergantung dari sifat kimia dan fisik zat racun tersebut,

mekanisme kerjanya, dan rute paparannya. Beratnya tingkat keracunan dan tingkat

kesembuhannya juga tergantung dari cadangan fungsional individu maupun target

organnya, yang dipengaruhi umur dan penyakit dasar.

Rute paparan suatu substansi racun dapat melalui: Ingesti/per oral (74%) , Kulit

(8,2%) , Inhalasi (6,7%) , Mata (6%) , Gigitan dan sengatan (3,9%) , Injeksi parenteral

(0,3%). Paparan racun tersering adalah dengan jenis : bahan pembersih, analgetika,

kosmetika, tumbuh-tumbuhan, obat batuk-pilek, gigitan/bisa binatang. Bahan-bahan

farmasi berperan dalam 41% kejadian keracunan dan 75% dari keracunan serius/fatal.

DIAGNOSIS

Anamnesis

Anamnesis harus mencakup: waktu, rute, lamanya terpapar, dan ruang lingkup

paparan (lokasi, kejadian yang menyertai, tujuan); nama dan jumlah masing-masing

obat, bahan kimia atau bahan-bahan yang berada di dalamnya; onset, keadaan, dan

beratnya gejala, jenis dan waktu pertolongan pertama, dan riwayat medis serta psikiatri.

Yang mencurigakan kejadian keracunan: timbulnya penyakit yang tidak dapat

dijelaskan pada seseorang yang sebelumnya sehat, adanya riwayat psikiatrik (khususnya

depresi), perubahan keadaan kesehatan baru-baru ini, status ekonomi, dan relasi sosial;
1
juga onset timbulnya penyakit sewaktu bekerja dengan bahan kimia atau sehabis makan

makanan/minuman/obat-obatan tertentu. Orang yang tiba-tiba menjadi sakit setelah

datang dari suatu negara asing atau ditangkap karena alasan kriminal harus dicurigai

terhadap body packing or body stuffing (memakan/menyembunyikan obat-obat illegal

dalam badannya).

Bila pada anamnesa tidak ditemukan riwayat paparan racun, karakteristik klinis

dapat menunjang ke arah keracunan. Keracunan khas terjadi secara cepat dan berubah

dengan cepat dibanding kelainan/penyakit lainnya. Gejala dan tanda-tanda keracunan

akut secara karakteristik timbul dalam hitungan jam setelah paparan, mencapai

puncaknya dalam beberapa jam, dan menghilang dalam beberapa jam berikutnya

sampai beberapa hari. Namun tidak adanya gejala-gejala dan tanda-tanda segera setelah

kejadian overdosis, tidaklah begitu saja menyingkirkan keracunan.

Pemeriksaan Fisik

Pertama-tama pemeriksaan fisik harus ditekankan pada tanda vital, sistim

kardiopulmoner,dan status neurologis. Berdasarkan nadi, tensi, frekuensi nafas, dan

suhu serta status mental, status fisiologik penderita dapat digolongkan menjadi: excited,

depresi, respon tidak sesuai, atau normal.

Pemeriksaan mata (menilai adakah nistagmus, menilai ukuran dan reaksi pupil),

pemeriksaan abdomen (bising usus dan ukuran kandung empedu), dan pemeriksaan

kulit (untuk luka bakar, bulae, warna, kehangatan, kelembaban, luka bekas tekanan dan

tanda-tanda tusukan) dapat mempersempit diagnosis. Menentukan derajat keracunan

adalah penting untuk menilai respon terapi. Penderita juga harus diperiksa terhadap

adanya riwayat trauma dan penyakit dasarnya.

Manifestasi neurologis keracunan biasanya berupa kejang nonfokal, kecuali:

keracunan yang disebabkan CO, teofilin, dan obat-obat yang menyebabkan hipoglikemi
2
atau hipoksia. Karenanya, penemuan manifestasi fokal harus dapat menggambarkan

dengan tepat lesi struktural pada SSP. Bila riwayat keracunan tidak jelas, semua

orifisium harus diperiksa untuk menilai adanya luka bakar kimia dan bungkus obat. Bau

nafas atau muntah dan warna kuku, kulit atau urine dapat menunjang diagnosis.

Pemeriksaan Laboratorium

Penilaian laboratorium dapat membantu mendiagnosis banding keracunan.

Metabolik asidosis dengan meningkatnya anion gap adalah karakteristik untuk

keracunan methanol, etilen glikol, dan salisilat, walaupun bisa saja terjadi pada

keracunan agen lain (kadar laktat serum < anion gap); serta keracunan yang terjadi pada

gagal hati, gagal ginjal, atau gagal nafas, kejang, atau syok (kadar laktat serum > atau

hampir = dengan anion gap. Anion gap yang rendah secara abnormal dapat terjadi

karena tingginya kadar bromida, kalsium, iodine, litium, magnesium, atau nitrat dalam

darah.

Meningkatnya osmolal gap yaitu perbedaan >10 mmol/l antara osmolalitas serum

yang diukur dari turunnya titik beku dan osmolalitas serum yang diukur dari kadar

natrium, glukosa dan BUN serum_ menunjukkan adanya zat terlarut dengan berat

molekul rendah seperti: alkohol, glikol, keton, elektrolit yang tidak terukur, atau gula

Osmolal gap juga dapat memperkirakan jumlah anion.

Adanya ketosis menunjukkan keracunan aseton, isopropil alkohol, atau salisilat.

Hipoglikemi berhubungan dengan keracunan bloker, etanol, insulin, obat hipoglikemi

oral, kinin, dan salisilat. Sedangkan hiperglikemi terjadi pada keracunan aseton,

agonis, calcium channel blocker, besi, teofilin, atau vacor. Hipokalemi dapat disebabkan

karena keracunan barium, agonis, diuretic, teofilin atau toluene. Sedangkan

hiperkalemi terjadi pada keracunan agonis, blocker, glikosida jantung atau flourida.

3
Gambaran Radiologi

Edema paru (atau ARDS) dapat disebabkan karena keracunan CO, sianida, opioid,

paraquat, phencyclidine, hipnotik sedatif, atau salisilat; juga karena inhalasi gas iritan,

asap atau uap (ammonia, metal oksida, merkuri); juga oleh anoksia yang

berkepanjangan, hipertermia, atau syok. Pneumonia aspirasi umum terjadi pada pasien

dengan, kejang dan keracunan petroleum.

Densitas radioaktif dapat terlihat pada foto abdomen pada keracunan garam

kalsium, chloral hydrate, chlorinated hydrocarbons, logam berat, bungkus obat terlarang

yang ditelan, bahan yang mengandung iodine, garam kalium, agen psychotherapeutic,

litium, pheno-thiazines, tablet salut, atau salisilat.

EKG

EKG berguna untuk mengarahkan diagnosis dan terapi. Bradikardi dan AV block

dapat terjadi pada pasien yang keracunan agonis, antiaritmia, blocker, calcium

channel blocker, obat kolinergik (karbamat dan insektisida organofosfat), glikosida

jantung, litium, magnesium, atau trisiklik antidepresan.Pemanjangan QRS dan interval

QT dapat disebabkan oleh hiperkalemia dan oleh obat-obat membran aktif.

Takiaritmia ventrikel dapat terjadi pada keracunan glikosida jantung, fluorida, obat

membran aktif, simpatomimetik, atau obat yang menyebabkan hiperkalemi, atau yang

mempotensiasi efek katekolamin endogen (misalnya kloral hidrat, hidrokarbon alifatik

dan hidrokarbon halogenasi).

Analisis urin dan darah (dan kadang-kadang cairan lambung serta sampel

kimia) dapat berguna untuk memastikan atau menyingkirkan dugaan keracunan.

Walaupun beberapa skrining test cepat untuk sejumlah penyalahgunaan obat sudah

tersedia, untuk menyelesaikan test tersebut diperlukan 2-6 jam dan penatalaksanaan

segera haruslah berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan test rutin lainnya.
4
Pemeriksaan skrining bernilai bermakna bila dilakukan pada penderita dengan

keracunan yang berat atau keracunan yang tidak jelas, yang menderita koma, kejang,

instabilitas kardiovaskuler, asidosis metabolic atau respiratorik, dan irama jantung

nonsinus.

Analisis kuantitatif berguna pada keracunan asetaminofen, aseton, alcohol

(termasuk etilen glikol), antiaritmi, antikonvulsan, barbiturat, digoksin, logam berat,

litium, paraquat, salisilat dan teofilin sebagaimana diperlukan untuk

karboksihemoglobin dan methemoglobin.

Respon terhadap antidot juga berguna untuk tujuan diagnostik. Perbaikan status

mental dan perbaikan tanda vital yang abnormal dalam beberapa menit setelah

pemberian intravena dari dekstrosa, nalokson, atau flumazenil sangat jelas

menggambarkan keracunan agen yang menyebabkan hipoglikemi, narkotik, dan

keracunan benzodiazepin. Walaupun perbaikan dari manifestasi sentral dan perifer

keracunan antikolinergik oleh fisostigmin adalah bernilai diagnostik namun antidot ini

dapat menyebabkan penderita dengan depresi SSP karena berbagai sebab dapat

terbangun kembali.

PENATALAKSANAAN UMUM KERACUNAN & OVERDOSIS

- Prinsip umum

- Perawatan suportif

- Penatalaksanaan problem respirasi

- Terapi kardiovaskuler

- Terapi SSP

- Pencegahan absorpsi racun lebih lanjut(dekontaminasi gastrointestinal dan

tempat lain)

- Percepatan eliminasi racun (karbon aktif dosis ganda, diuresis paksa,perubahan


5
pH urin, cara-cara ekstrakorporeal)

- Pemberian antidot

- Pencegahan paparan ulang

Prinsip umum penatalaksanaan keracunan dan overdosis

Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda-tanda vital,

mencegah absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun, pemberian antidot

spesifik, dan mencegah paparan ulang.

Terapi spesifik tergantung dari identifikasi racun, jalan masuk, banyaknya racun,

selang waktu timbulnya gejala, dan beratnya derajat keracunan. Pengetahuan

farmakodinamik dan farmakokinetik substansi penyebab keracuan amatlah penting.

Selama fase pretoksik, sebelum onset keracunan, prioritas pertama adalah

dekontaminasi segera berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah dan

singkat Juga disarankan pemasangan i.v. line dan monitoring jantung, khususnya pada

penderita keracunan per oral serius atau penderita dengan anamnesis yang tidak jelas.

Bila anamnesis penderita tidak jelas, dan diduga keracunan akan terjadi secara

lambat atau akan terjadi kerusakan ireversibel, sebaiknya dilakukan pemeriksaan

toksikologi darah dan urin, serta dilakukan pemeriksaan kuantitatif bila ada indikasi.

Selama absorpsi dan distribusi berlangsung, kadar racun dalam darah akan lebih tinggi

dibandingkan kadar di jaringan, sehingga tidak berhubungan dengan toksisitasnya.

Namun bila metabolit racun tinggi kadarnya dalam darah dan lebih toksik dibanding

bentuk asalnya (asetaminofen, etilen glikol, atau methanol), maka diperlukan intervensi

tambahan (antidot, dialisis).

Kebanyakan pasien yang asimtomatis setelah terpapar racun per oral dalam 4-6

jam, dapat dipulangkan dengan aman. Observasi lebih lama dibutuhkan bila terdapat

keracunan per oral yang menyebabkan lambatnya pengosongan lambung dan motilitas

usus dimana disolusi, absorpsi, dan distribusi racun dengan sendirinya juga lebih
6
lambat. Pada racun yang dalam tubuh akan diubah menjadi metabolit toksik, juga

diindikasikan observasi lebih lanjut.

Selama fase toksik, yaitu waktu antara onset keracunan sampai dengan terjadinya

efek puncak, penatalaksanaan berdasarkan pada penemuan klinis dan laboratorium.

Setelah overdosis, akan segera timbul efek-efeknya lebih awal, yang kemudian

memuncak, dan tetap bertahan lebih lama dibandingkan bila obat tersebut diberikan

pada dosis terapi. Prioritas pertama untuk dilakukan adalah resusitasi dan stabilisasi.

Terhadap semua pasien yang simtomatis harus dilakukan pemasangan i.v. line,

penentuan saturasi oksigen, monitoring jantung, dan observasi kontinu. Pemeriksaan

laboratorium dasar, EKG, dan x-ray dapat berguna.

Pada penderita dengan perubahan status mental, khususnya pada kasus koma

maupun kejang, harus dipertimbangkan pemberian glukosa i.v. (kecuali bila kadarnya

normal), naloxone, dan thiamine. Dekontaminasi dapat berguna juga.

Harus dipikirkan manfaat dan resikonya bila dilakukan upaya percepatan eliminasi

racun. Syaratnya adalah diagnosis pasti dengan konfirmasi laboratoris. Dialisis

intestinal dengan pemberian karbon aktif berulang biasanya aman dan dapat

mempercepat eliminasi. Terapi diuresis dan khelasi hanya mempercepat eliminasi

sejumlah kecil racun, serta memiliki potensi komplikasi. Metode ekstrakorporeal

efektif untuk mengeluarkan banyak racun, tetapi biaya dan resikonya juga besar,

sehingga penggunaanya terbatas pada.keracunan berat.

Selama fase resolusi, perawatan suportif dan monitoring harus kontinu dilakukan

sampai abnormalitas klinis, laboratoris, maupun EKG membaik. Karena bahan-bahan

kimia dalam darah lebih dulu dieliminasi dibandingkan yang dari jaringan, maka

kadarnya dalam darah selalu lebih rendah dari kadarnya di jaringan sehingga tidak

berkorelasi dengan toksisitasnya.. Hal ini menjadi dasar prosedur ekstrakorporeal.

Redistribusi dari jaringan dapat menyebabkan peningkatan balik racun dalam darah
7
setelah selesainya prosedur ini. Bila metabolit racun yang menyebabkan efek toksiknya,

maka pada penderita yang telah asimtomatis tetap harus diberikan terapi karena masih

terdapat potensi toksik kadarnya metabolitnya dalam darah (asetaminofen, etilen glikol,

dan methanol).

Perawatan suportif

Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan homeostasis

fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap, dan untuk mencegah serta mengobati

komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus dekubitus, edema otak & paru, pneumonia,

rhabdomiolisis, gagak ginjal, sepsis, penyakit thromboembolik, dan disfungsi organ

menyeluruh akibat hipoksia atau syok berkepanjangan. Indikasi untuk perawatan di ICU

adalah sebagai berikut:

Penderita keracunan berat (koma, depresi nafas, hipotensi, abnormalitas

konduksi jantung, aritmia jantung, hipo/hipertermi, kejang)

Penderita yang perlu monitoring ketat, antidot, maupun terapi percepatan

eliminasi racun

Penderita dengan kemunduran klinis progresif

Penderita dengan penyakit dasar yang signifikan

Penderita keracunan ringan sampai sedang dapat dikelola pada pelayanan

kesehatan umum, intermediate care unit, diobservasi di UGD, tergantung dari lamanya

kejadian keracunan dan monitoring yang diperlukan (observasi klinis intermiten vs

kontinu, monitoring jantung dan pernafasan).

Penderita percobaan bunuh diri membutuhkan observasi dan pemeriksaan kontinu

untuk mencegah mereka melukai diri sendiri, sampai tidak mungkin lagi dilakukan

upaya-upaya lebih lanjut.

8
Penatalaksanaan problem respirasi

Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi isi lambung amat penting untuk

dilakukan pada penderita : depresi SSP atau kejang, karena komplikasi ini dapat

meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Karena penilaian klinis fungsi respirasi sering

tidak akurat, perlunya oksigenasi dan ventilasi paling baik ditentukan dari pemeriksaan

oksimetri atau analisa gas darah. Reflek muntah bukanlah indikator yang dapat

dipercaya untuk menilai perlunya intubasi. Paling baik dilakukan intubasi profilaksis

pada penderita yang tidak mampu berespon terhadap suara, maupun yang tidak mampu

duduk atau minum tanpa dibantu.

Ventilasi mekanik diperlukan pada penderita depresi nafas, hipoksia, dan untuk

memfasilitasi sedasi terapeutik atau paralysis untuk mencegah hipertermia, asidosis, dan

rhabdomiolisis yang berhubungan dengan hiperaktivitas neuromuskuler.

Edema paru yang diinduksi obat biasanya jenis yang non-kardiak. Edema paru

kardiak biasanya pada penderita depresi SSP dan penderita abnormalitas konduksi

jantung Pengukuran tekanan arteri pulmoner penting untuk mengetahui etiologi dan

dapat langsung sebagai terapi.

Pada gagal nafas berat yang reversibel, dilakukan pengukuran ekstrakorporeal

( oksigenasi membran, perfusi venoarterial, bypass kardiopulmoner), ventilasi parsial

cairan (perfluorokarbon), dan terapi oksigen hiperbarik.

Terapi kardiovaskuler

Mempertahankan perfusi normal jaringan amat penting untuk pemulihan tuntas

ketika racun sudah dieliminasi. Bila terjadi hipotensi yang tidak responsif dengan

ekspasi volume, dapat diberikan norepinefrin, epinefrin atau dopamine dosis tinggi.

Pada gagal jantung berat yang reversibel, dapat dilakukukan tindakan intraaortic

balloon pump counterpulsation, dan tehnik perfusi venoarterial atau kardiopulmoner.


9
Pada keracunan -blocker dan calcium channel blocker, efektif diberikan glukagon dan

kalsium. Terapi antibodi antidigoxin dan pemberian Mg diindikasikan untuk kasus

keracunan glikosida jantung yang berat.

SVT yang berkaitan dengan hipertensi dan eksitasi SSP hampir selalu disebabkan

karena agen yang mengakibatkan eksitasi fisiologik secara menyeluruh. Kebanyakan

kasusnya berupa keracunan ringan atau sedang dan hanya memerlukan observasi atau

sedasi nonspesifik dengan benzodiazepin. Sedangkan SVT tanpa hipertensi pada

umumnya merupakan akibat sekunder dari vasodilatasi atau hipovolemia, dan berespon

dengan pemberian cairan. Terapi spesifik diindikasikan untuk kasus berat atau yang

berhubungan dengan instabilitas hemodinamik, nyeri dada, atau pada EKG dijumpai

iskemia.

Untuk penderita dengan hiperaktivitas simpatik, terapi dengan kombinasi dan

blocker (labetalol), calcium channel blocker (verapamil atau diltiazem), atau kombinasi

blocker vasodilator (esmolol dan nitroprusside) merupakan terapi terpilih. Untuk

penderita keracunan antikolinergik, terapi terpilihnya adalah pemberian physostigmine.

Pada VT (ventricular tachyarrhytmia) umumnya aman bila diberikan lidokain dan

fenitoin. Namun pemberian blocker dapat berbahaya, kecuali bila aritmia jelas

disebabkan karena hiperaktivitas simpatis. Obat antiaritmi kelas IA, IC, dan III

merupakan kontraindikasi untuk diberikan pada VT karena antidepresan trisiklik dan

karena obat-obatan membran aktif (karena efek elektrofisiologik yang mirip), tetapi

pemberian sodium bicarbonate dapat membantu.

Penderita dengan torsade de pointes dan pemanjangan interval QT, pemberian Mg

sulfat dan overdrive pacing (dengan isoproterenol atau pacemaker) akan membantu.

Rekaman EKG invasive (esofagel atau intracardiak), dibutuhkan untuk

menentukan dari mana takikardia kompleks lebar berasal (ventricular atau

supraventricular).
10
Bila penderita secara hemodinamik stabil, lebih baik diobservasi saja daripada

diterapi dengan obat yang potensial proaritmia. Aritmia dapat resisten terhadap terapi

sampai keseimbangan asam-basa, elektrolit, oksigenasi, dan gangguan suhu dikoreksi.

Terapi SSP

Hiperaktivitas neuromuskuler dan kejang dapat selanjutnya mengarah ke

hipertermia, asidosis laktat, dan rhabdomiolisis dengan komplikasinya, dan harus

diterapi secara agresif. Kejang akibat stimulasi berlebihan reseptor katekolamin (pada

keracunan simpatomimetik atau halusinogen dan putus obat) atau kejang akibat

menurunnya aktivitas GABA (keracunan INH) atau kejang karena reseptor glisin

(keracunan strichnin), paling baik diterapi dengan peningkatan efek GABA seperti

dengan pemberian : benzodiazepin dan barbiturat. Terapi dengan ke-2 obat ini sekaligus

lebih efektif karena masing-masing bekerja dengan efek yang berlainan. Benzodiazepin

meningkatkan frekuensi, sedangkan barbiturat memanjangkan lamanya waktu

pembukaan saluran klorida dalam merespon GABA.

Kejang yang disebabkan INH, yang menghambat sintesis GABA memerlukan

piridoksin dosis tinggi yang memfasilitasi sintesis GABA. Kejang yang berasal dari

destabilisasi membran (keracunan blocker antidepresan siklik) akan memerlukan anti

konvulsan membran aktif seperti fenitoin sebagaimana yang meningkatkan GABA..

Pada keracunan dopaminergik sentral (seperti phencyclidine), pemberian agen

yang aktivitasnya berlawanan seperti haloperidol, akan berguna. Pada keracunan

antikolinergik dan sianida, diperlukan terapi antidot spesifik. Sedangkan kejang yang

terjadi sekunder akibat iskemi, edema, atau abnormalitas metabolik, harus dikoreksi dari

penyakit dasarnya. Pada kejang refrakter diindikasikan upaya paralisis neuromuskuler.

Monitoring EEG dan terapi berkelanjutan penting untuk mencegah kerusakan

11
neurologik permanen. Keadaan suhu yang ekstrim, abnormalitas metabolik, disfungsi

hati & ginjal, dan komplikasi sekunder harus diterapi sesuai standar.

Pencegahan Absorpsi Racun

a. Dekontaminasi Gastrointestinal

Perlu tidaknya dilakukan dekontaminasi gastrointestinal dan prosedur mana yang

akan dipakai, tergantung dari : waktu sejak racun tertelan, toksisitas bahan yang telah &

akan terjadi kemudian, availabilitas, efikasi, dan kontraindikasi dari prosedur; serta

beratnya keracunan dan resiko komplikasi. Studi pada binatang dan sukarelawan

menunjukkan bahwa efektivitas dari karbon aktif, lavase lambung, dan sirup ipecac

menurun sesuai jangka waktu keracunan. Tidak cukup data untuk

menunjang/mengekslusi manfaat penggunaan hal-hal tsb. pada keracuan yang sudah

lebih dari 1 jam.

Rata-rata waktu terapi dekontaminasi gastrointestinal yang disarankan adalah

lebih dari 1 jam setelah keracunan pada anak dan lebih dari 3 jam pada dewasa dari

sejak racun tertelan sampai timbul gejala/tanda keracunan. Sebagian besar penderita

akan sembuh dari keracunan dengan semata-mata perawatan suportif yang baik, namun

komplikasi dari dekontaminasi gastrointestinal khususnya aspirasi, dapat

memanjangkan proses ini. Karena itu prosedui ini dilakukan secara selektif dan bukan

rutin. Prosedur ini jelas tidak diperlukan bilamana toksisitas diperkirakan minimal atau

waktu terjadinya efek toksik maksimal sudah terlewati tanpa efek signifikan.

Karbon aktif lebih efektif digunakan, kontraindikasinya & komplikasinya lebih

sedikit, lebih tidak invasive, sedikit lebih disukai, dibandingkan ipecac atau lavase

lambung. Karbon aktif merupakan metoda dekontaminasi gastrointestinal yang terpilih

untuk sebagian besar kasus keracunan. Karbon aktif disiapkan sebagai suspensi dalam

air, baik sendiri atau dengan suatu katartik. Diberikan per oral melalui botol susu pada
12
bayi atau melalui cangkirsedotan, atau NGT berkaliber kecil. Dosis yang

direkomendasikan : 1 gr/kgBB dengan 8 ml pelarut untuk tiap gram karbon aktif. Untuk

memperbaiki rasanya, dapat ditambahkan pemanis (sorbitol), atau penambah rasa (ceri,

coklat, atau cola) dalam suspensinya.

Karbon menyerap racun dalam lumen usus, sehingga memungkinkan kompleks

karbon-toksin dievakuasi melalui feses. Kompleks tsb. dapat juga dikeluarkan dari

lambung dengan induksi muntah atau lavase. Secara in vitro, karbon menyerap >= 90%

dari sebagian besar jenis racun bila diberikan dalam jumlah10x lipat berat racun.

Bahan kimia yang terionisasi (asam & basa mineral), garam sianida yang

terdisosiasi amat cepat, flourida, Fe, lithium, dan senyawa anorganik lainnya, tidak

diserap dengan baik oleh karbon. Pada studi binatang dan sukarelawan, karbon rata-rata

akan menyerap 73% ingestan bila diberikan dalam 5 menit setelah pemberian ingestan,

menyerap 51% bila diberikan dalam 30 menit, dan 36% dalam 1 jam. Karbon paling

tidak sama efektifnya dengan sirup ipecac atau lavase lambung. Dalam eksperimen,

lavase yang diikuti dengan pemberian karbon aktif lebih efektif daripada karbon aktif

saja; pemberian karbon aktif sebelum dan sesudah lavase lebih efektif lagi. Namun

kenyataannya pada penderita keracunan yang diberikan karbon aktif saja, hasilnya lebih

baik daripada kombinasi seperti di atas.

Efek samping karbon aktif meliputi : mual, muntah, dan diare atau konstipasi.

Karbon aktif juga menghambat penyerapan obat-obatan yang diberikan per oral.

Komplikasi pemberian karbon aktif meliputi : obstruksi mekanik dari jalan nafas,

aspirasi, muntah, obstruksi usus, dan infeksi. Kontraindikasi karbon aktif : penderita

dengan keracunan agen korosif, karena akan mengaburkan endoskopi.

Lavase lambung dikerjakan dengan cara memberikan dan mengaspirasi secara

bergantian cairan sebanyak 5 ml/kgBB melalui tube orogastrik No.28 (French) pada

anak dan No. 40 pada dewasa. Kecuali pada bayi, tap cairan dapat dilakukan. Penderita
13
dalam posisi Trendelenburg dan left lateral decubitus untuk mencegah aspirasi (kecuali

bila sudah dipasang ETT). Efektivitas lavase kira-kira sama dengan ipecac.

Komplikasi lavase tersering adalah aspirasi (terjadi pada >10% penderita),

khususnya pada lavase yang kurang benar. Komplikasi serius berupa lavase trakheal,

perforasi esofagus dan gaster, terjadi kira-kira pada hampir 1% penderita. Karenanya

dokter harus melakukan sendiri pemasangan tube lavage dan mengkonfirmasi letaknya

dan pasien juga harus kooperatif atau diberi sedasi bila perlu selama prosedur.

Kontraindikasi lavage lambung adalah pada keracunan bahan korosif atau

petroleum distilate peroral karena bisa saja terjadi perforasi gastroesofageal dan

aspiration induced hydrocarbon pneumonitis.

Irigasi usus dilakukan dengan cara memberikan cairan pembersih usus yang

mengandung elektrolit dan polietilen glikol (Golytely, Colyte) peroral atau dengan tube

gastric dengan kecepatan > 0,5 liter/jam pada anak-anak dan 2 liter/jam pada dewasa,

sampai diperoleh cairan rectum yang jernih. Pasien harus dalam posisi duduk. Irigasi

seluruh usus mungkin sama efektifnya dengan prosedur dekontaminasi yang lain. Irigasi

usus dapat dilakukan pada penderita yang tertelan benda asing, bungkus obat illegal,

obat yang lepas lambat atau tablet salut dan agen yang tidak dapat diserap oleh karbon

aktif misalnya (logam berat).

Kontraindikasi irigasi usus pada penderita obstuksi usus, ileus, hemodinamik

yang tidak stabil, dan jalan nafas yang tidak terlindungi.

Garam-garam katartik (disodium fosfat, magnesium sitrat dan sulfat, serta

sodium sulfat), atau golongan sakarida (manitol, sorbitol), merangsang evakuasi rektal

dari isi lambung dan usus. Katartik yang paling efektif ialah sorbitol dengan dosis 1-2

gram/kgBB. Katartik tunggal tidak mencegah absorpsi bahan yang tertelan dan

sebaiknya tidak digunakan untuk dekontaminasi usus. Penggunaan utamanya adalah

untuk mencegah konstipasi pada pemberian karbon aktif.


14
Efek samping katartik berupa kram perut, mual, dan kadang-kadang

muntah.Komplikasi dosis katartik yang berulang berupa hipermagnesemia dan diare

yang hebat. Katartik dikontraindikasi kan pada penderita keracunan bahan korosif

peroral dan pada penderita yang sedang diare. Katartik yang mengandung magnesium

tidak boleh dipakai pada penderita gagal ginjal.

Dilusi (minum air sebanyak 5 cc/kgBB atau cairan jernih lainnya) harus

dilakukan sesegera mungkin dilakukan setelah tertelan bahan korosif (asam-basa).

Namun dilusi juga meningkatkan kecepatan disolusi (dengan sendirinya absorpsi) dari

kapsul, tablet, dan bahan padat lainnya, sehingga sebaiknya tidak digunakan pada

keracunan karena bahan-bahan ini.

Pada keadaan yang jarang, diperlukan tindakan endoskopik atau pembedahan

untuk mengeluarkan racun, seperti misalnya keracunan tertelan benda asing yang

potensial toksik, dimana benda ini gagal untuk transit di GI tract, keracunan logam berat

dalam jumlah yang potensial mematikan (arsen, besi, merkuri, thalium) atau bahan yang

bersatu dengan isi lambung atau bezoar (barbiturat, glutetimid, logam berat, lithium,

meprobamat, preparat lepas lambat). Penderita yang menjadi toksik karena kokain

akibat kebocoran dari banyak bungkus obat yang ditelan membutuhkan intervensi bedah

segera.

b. Dekontaminasi pada tempat-tempat lain

Bilasan segera dan berulang-ulang dengan air, saline, atau cairan jernih lainnya

yang dapat diminum merupakan terapi inisial untuk eksposur topikal (kecuali logam

alkali, kalsium oksida, fosfor). Untuk irigasi mata dipilih salin sedangkan untuk

dekontaminasi kulit paling baik dilakukan triple wash (air-sabun-air). Paparan racun

melalui inhalasi harus diobati dengan udara segar atau oksigen.

15
Percepatan eliminasi racun

Keputusan untuk tindakan ini harus berdasarkan pada toksisitas yang nyata atau

yang diperkirakan dan didasarkan juga pada efektivitas, biaya, dan resiko terapi.

a. Karbon aktif dosis multipel

Dosis oral karbon aktif yang berulang dapat mempercepat eliminasi substansi

yang sebelumnya diabsorpsi dengan cara mengikatnya dalam usus lalu diekskresikan

melalui empedu, disekresikan oleh sel-sel gastrointestinal, atau difusi pasif kedalam

lumen usus (absorpsi balik atau exsorpsi enterokapiler). Dosis yang direkomendasikan

0,5-1 gram/kgBB tiap 2-4 jam, diberikan untuk mencegah regurgitasi pada pasien

dengan motilitas gastrointestinal yang berkurang. Secara eksperimen terapi ini

mempercepat eliminasi hampir semua substansi. Efektifitas farmakokinetiknya

mendekati seperti hemodialisis untuk beberapa agen (misalnya fenobarbital, teofilin).

Terapi dosis multipel ini tidak efektif dalam mempercepat eliminasi dari klorpropamid,

tobramisin, atau bahan yang tidak bisa diserap oleh karbon. Komplikasinya berupa

obstruksi usus, pseudoobstruksi, dan infark usus nonoklusif pada penderita-penderita

dengan motilitas usus yang rendah.

b. Diuresis paksa dan perubahan pH urin

Diuresis dan iontrapping melalui perubahan pH urin dapat mencegah reabsorpsi

renal dari racun yang mengalami ekskresi oleh filtrasi glomerulus dan sekresi aktif

tubuler. Karena membran lebih permeable terhadap molekul yang tidak terion

dibandingkan yang dapat terion, racun-racun yang asam (pKa rendah) akan diionisasi

dan terkumpul dalam urin yang basa. Sebaliknya racun-racun yang sifatnya basa akan

diionisasi dan dikumpulkan dalam urin yang asam.

16
Diuresis salin dapat mempercepat ekskresi renal dari alkohol, bromida, kalsium,

fluorida, lithium, meprobamat, kalium, dan INH.

Diuresis basa (pH urin >= 7,5 dan output urin 3-6 cc/kgBB/jam) mempercepat

eliminasi dari herbisida chlorphenoxyacetic acid, klorpropamid, diflunisal, fluorida,

metotreksat, fenobarbital, sulfonamid, dan salisilat.

Kontraindikasi diuresis paksa meliputi gagal jantung kongestif, gagal ginjal, dan

edema otak. Parameter asam-basa, cairan, dan elektrolit harus dimonitor dengan cermat.

Diuresis asam mempercepat eliminasi renal dari amfetamin, klorokuin, kokain,

anestetik local, phencyclidine, kinidin, kinin, strychnine, simpatomimetik, antidepresan

trisiklik, dan tokainid. Namun penggunaannya banyak dilarang karena potensial terjadi

komplikasi dan efektifitas kliniknya tidak banyak.

c. Pengeluaran racun secara ekstrakorporeal

Dialisis peritoneal, hemodialisis, hemoperfusi karbon atau resin, hemofiltrasi,

plasmaferesis, dan tranfusi ganti dapat dilakukan untuk mengeluarkan toksin dari aliran

darah. Kandidat untuk terapi-terapi ini adalah :

a) penderita dengan keracunan berat yang mengalami deteriorasi klinis walaupun

sudah diberi terapi suportif yang agresif;

b) penderita yang potensial mengalami toksisitas yang berkepanjangan,

ireversibel, atau fatal;

c) penderita dengan kadar racun darahnya dalam tingkat yang berbahaya;

d) penderita yang dalam tubuhnya tidak mampu dilakukan detoksifikasi alami

seperti pada penderita gagal hati atau gagal ginjal;

e) serta penderita keracunan dengan penyakit dasar/komplikasinya yang berat

17
Agen yang akan dieliminasi dengan cara dialisis harus memiliki BM rendah(<500

Da), larut dalam air, berikatan lemah dengan protein, volume distribusi kecil (< 1

liter/kgBB), eliminasi memanjang (waktu paruh panjang), dan memiliki bersihan

dialisis yang tinggi relatif terhadap bersihan total dari badan. Berat molekul, kelarutan

dalam air, atau ikatan dengan protein, tidak mengurangi efektivitas metode

ekstrakorporeal yang lainnya.

Indikasi dialisis untuk kasus keracunan berat dengan : barbiturat, bromida, chloral

hydrate, ethanol, etilen glikol, isopropyl alcohol, lithium, methanol, procainamide,

teofilin, salisilat, dan mungkin logam berat.

Walaupun hemoperfusi mungkin lebih efektif dalam mengeluarkan beberapa

racun, namun metode ini tidak sekaligus mengoreksi abnormalitas asam-basa dan

elektrolit.

Indikasi hemoperfusi pada keracunan berat yang disebabkan : karbamazepin,

kloramfenikol, disopiramid, dan sedatif-hipnotik (barbiturat, ethchlorvynol,

glutethimide, meprobamat, methaqualone), paraquat, fenitoin, prokainamid, teofilin,

dan valproat.

Baik metode dialisis maupun metode hemoperfusi, sama-sama memerlukan

akses vena sentral dan antikoagulan sistemik, serta dapat menyebabkan hipotensi

sementara. Hemoperfusi juga dapat mengakibatkan hemolisis, hipokalsemia, dan

trombositopenia.

Dialisis peritoneal dan transfusi ganti lebih kurang efektivitasnya, tetapi metode

ini dapat digunakan bila tidak dapat dikerjakan prosedur ekstrakorporeal lainnya, baik

karena terdapat kontraindikasi, maupun secara tehnis sulit (misalnya pada bayi).

Tranfusi ganti mengeluarkan racun-racun yang mempengaruhi eritrosit (seperti pada

methemoglobinemia, atau arseninduced hemolysis).

18
d. Tehnik eliminasi lainnya

Logam berat dapat lebih cepat dieliminasi dengan khelasi. Pengeluaran karbon

monoksida dapat ditingkatkan dengan pemberian oksigen hiperbarik.

Pemberian antidot

Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan : menetralisir racun

(reaksi antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk ikatan kimia), mengantagonis efek

fisiologis racun (mengaktivasi kerja sistem saraf yang berlawanan, memfasilitasi aksi

kompetisi metabolik/ reseptor substrat tsb.).

Kasus keracunan yang memerlukan antidot spesifik adalah keracunan :

asetaminofen, agen antikolinergik, antikoagulan, benzodizepin, -blocker, CCB, CO,

glikosida jantung, agen kolinergik, sianida, reaksi distonik karena induksi obat, etilen

glikol, fluorida, logam berat, hydrogen sulfida, agen hipoglikemik, INH, metHb-emia,

narkotik, simpatomimetik, Vacor, dan gigitan/bisa binatang tertentu.

Antidot mengurangi morbiditas dan mortalitas, namun sebagian besar juga

potensial toksik. Penggunaan antidot agar aman membutuhkan identifikasi yang benar

keracunan spesifik atau sindromnya.

Pencegahan Paparan Ulang

Keracunan merupakan penyakit yang dapat dicegah. Orang dewasa yang pernah

terpapar racun karena kecelakaan harus mentaati instruksi penggunaan obat dan bahan

kimia yang aman (sesuai yang tertera pada labelnya). Penderita yang menurun

kesadarannya harus dibantu dalam meminum obatnya. Kesalahan dosis obat oleh

petugas kesehatan membu-tuhkan pendidikan khusus bagi mereka. Penderita harus

diingatkan untuk menghindari lingkungan yang terpapar bahan kimia penyebab

19
keracunan. Departemen Kesehatan dan instansi terkait juga harus diberi laporan bila

terjadi keracunan di lingkungan tertentu/tem- pat kerja.

Pada anak-anak dan penderita overdosis yang disengaja, upaya terbaik adalah

membatasi jangkauan terhadap racun/obat/bahan/minuman tsb.

Penderita depresi atau psikotik harus menerima penilaian psikiatrik, disposisi,

dan follow-up. Bila mereka diberi resep obat harus dengan jumlah yang terbatas dan

dimonitor kepatuhan minum obatnya, serta dinilai respon terapinya.

20
KERACUNAN OBAT SPESIFIK

1. ASETAMINOFEN

Efek toksik :

- Keracunan akut

- Bila terjadi dalam 2-4 jam setelah paparan: mual, muntah, diaphoresis, pucat,

depresi SSP.

- Bila sudah 24-48 jam : - tanda-tanda hepatotoksis (nyeri abdomen RUQ,

hepatomegali ringan)

- Prothrombine time memanjang

- Bilirubin serum meningkat

- Aktivitas transaminase meningkat

- Gangguan fungsi ginjal

- Keracunan berat : terjadi gagal hati dan ensefalopati.

- prothrombine time memanjang >2x

- Bilirubin serum >4 mg/dl

- pH <7,3

- kreatinin serum >3,3

- Keracunan kronik : sama seperti keracunan akut. Namun pada penderita

alkoholik, dapat sekaligus terjadi insufisiensi hati & ginjal yang berat, disertai

dehidrasi, ikterus, koagulopathi, hipoglikemi, dan ATN.

Terapi :

- Bila keracunan terjadi dalam 4 jam setelah overdosis : diberi karbon aktif

21
- Keracunan dalam 8-10 jam setelah minum obat tersebut berikan:

- Antidot : N-acetylcysteine p.o. yang dilarutkan dalam cairan

(bukan alkohol, bukan susu) dengan perbandingan 3:1. Loading

dose : 140 mg/kgBB. Maintenance dose 70 mg/kgBB tiap 4 jam

(dapat diulang sampai 17x). Efek samping : mual, muntah,

epigastric discomfort.

- Anti emetik (metoclopramide, domperidone, atau ondansetron)

- Harus dilakukan monitoring fungsi hati dan ginjal.

- Pada keracunan berat sekali : dilakukan transplantasi hati.

2. OBAT ANTI KOLINERGIK

Keracunan akut terjadi dalam 1 jam setelah overdosis. Keracunan kronik dalam

1-3 hari setelah pemberian terapi dimulai.

Efek toksik :

a) Manifestasi SSP : agitasi, ataksia, konfusi, delirium, halusinasi, gangguan

pergerakan (choreo-athetoid dan gerakan memetik)

b) Letargi

c) Depresi nafas

d) Koma

e) Manifestasi di saraf perifer : menurun/hilangnya bising usus, dilatasi pupil,

kulit & mukosa menjadi kering, retensi urine, meningkatnya nadi, tensi,

respirasi, & suhu

f) Hiperaktivitas neuromuskuler, yang dapat mengarah ke terjadinya

rhabdomiolisis dan hipertermi

22
g) Overdosis AH1 (difenhidramin) : kardiotoksik dan kejang

h) Overdosis AH2 (astemizol dan terfenadin) : pemanjangan interval QT dengan

takiaritmia ventrikel, khususnya torsade de pointes

Terapi :

1. Karbon aktif

2. Koma : intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik

3. Agitasi : diberikan preparat benzodiazepin

4. Agitasi yang tidak terkontrol dan delirium, antidot : physostigmine (inhibitor

asetilkolin-esterase). Dosis : 1-2 mg i.v. dalam 2-5 menit (dosis dapat diulang)

5. Kontraindikasi physostigmine : penderita dengan kejang, koma, gangguan

konduksi jantung, atau aritmia ventrikel.

3. BENZODIAZEPIN

Efek toksik :

a) Eksitasi paradoksal

b) Depresi SSP (mulai tampak dalam 30 menit setelah overdosis)

c) Koma dan depresi nafas (pada ultra-short acting benzodiazepin dan kombinasi

benzodiazepin-depresan SSP lainnya)

Terapi overdosis benzodiazepin :

a) Karbon aktif

b) Respiratory support bila perlu

c) Flumazenil (antagonis kompetitif reseptor benzodiazepin)


23
Dosis : 0,1 mg i.v. dengan interval 1 menit sampai dicapai efek yang diinginkan

atau mencapai dosis kumulatif (3 mg)

Bila terjadi relapse, dapat diulang dengan interval 20 menit, dengan dosis

maksimum 3 mg/jam.

Efek samping : kejang ( pada penderita dengan stimulan dan trisiklik

antidepresan, atau penderita ketergantungan benzodiazepin).

Kontraindikasi : kardiotoksisitas dengan anti depresan trisiklik.

4. -BLOCKER

Efek toksik :

Terjadi dalam jam setelah overdosis dan memuncak dalam 2 jam

1. Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP

2. -blocker dengan ISA (+) : hipertensi, takikardi

3. Efek toksik pada SSP : kejang

4. Kulit : pucat & dingin

5. Jarang : bronkospasme dan edema paru

6. Hiperkalemi

7. Hipoglikemi

8. Metabolik asidosis (sebagai akibat dari kejang, shock, atau depresi nafas)

9. EKG : berbagai derajat AV block, bundle branch block, QRS lebar, asistol

10. Khusus sotalol : pemanjangan interval QT, VT, VF, dan torsade de pointes

Terapi :

a) Karbon aktif

b) Pada bradikardi dan hipotensi : atropin, isoproterenol, dan vasopresor

c) Pada keracunan berat :


24
1. Glukagon; dosis inisial : 5-10 mg dilanjutkan1-5 mg/jam via infus

2. Calcium

3. Insulin dosis tinggi + glukosa + kalium

4. Pacu jantung (internal/eksternal)

5. IABP

a) Pada kejadian bronkospasme : inhalasi -agonis, epinefrin s.c., aminofilin

i.v.

b) Pada sotalol-induced ventricular tachyarrhythmia : lidokain, Mg, overdrive

pacing

c) Pada overdosis atenolol, metoprolol, nadolol, dan sotalol : dapat dilakukan

prosedur ekstrakorporeal

5. CALCIUM CHANNEL BLOCKER (CCB)

Efek toksik

mulai terjadi dalam 2-18 jam, berupa :

a) Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP

b) Gol. Dihidropiridin : takikardi reflektif

c) Kejang

d) Hipotensi iskemi mesenteric; iskemi/infark miokard edema paru

e) EKG : berbagai derajat AV block, QRS lebar dan pemanjangan interval QT

(terutama karena verapamil); gambaran iskemi/infark, asistol

f) Metabolik asidosis (sekunder terhadap shock)

g) Hiperglikemi

25
Terapi :

a) Karbon aktif

b) Pada bradikardi simptomatis :

a. atropin

b. Calcium, dosis inisial : CaCl2 10% 10cc atau Ca glukonas 10% 30 cc i.v.

dalam >2 menit (dapat diulang sampai 4x).

i. Bila terjadi relaps setelah dosis inisial, diberikan infus calcium

kontinu : 0,2 cc/kgBB/jam sampai maksimal 10cc/jam.

c. isoproterenol

d. glukagon (dosis seperti pada overdosis -blocker)

e. electrical pacing (internal/eksternal)

c) Pada iskemi : mengembalikan perfusi jaringan dengan cairan

d) Khusus pada overdosis verapamil, dilakukan usaha-usaha untuk

mengembalikan metabolisme miokard dan meningkatkan kontraktilitas

miokard dengan : regular insulin dosis tinggi (0,1 0,2 U/kgBB bolus i.v.

diikuti dengan 0,1 1 U/kgBB/jam, bersama dengan glukosa 25 gr bolus,

diikuti infus glukosa 20% 1 gr/kgBB/jam, serta kalium)

e) Bila masih hipotensi walaupun bradikardi sudah teratasi, diberikan cairan.

f) Amrinone, dopamine, dobutamin, dan epinefrin (tunggal/kombinasi)

g) Pada shock refrakter : I A B P.

6. KARBON MONOKSIDA

Efek toksik :

1) Hipoksia jaringan, dengan : metabolisme anaerob, asidosis laktat, peroksidasi

lemak, dan pembentukan radikal bebas.

2) Nafas pendek, dispnea, takipnea,


26
3) Sakit kepala, emosi labil, konfusi, gangguan dalam mengambil keputusan,

4) Kekakuan, dan pingsan

5) Mual, muntah, diare

6) Pada keracunan berat : edema otak, koma, depresi nafas, edema paru,

7) Gangguan kardiovaskuler : nyeri dada iskemik, aritmia, gagal jantung, dan

hipotensi

8) Pada penderita koma dapat timbul blister dan bula di tempat-tempat yang

tertekan

9) Creatin kinase serum meningkat

10) Laktat dehidrogenase serum meningkat

11) Nekrosis otot mioglobinuria gagal ginjal

12) Gangguan lapang pandang, kebutaan , dan pembengkakan vena disertai edema

papil atau atrofi optik

13) Metabolik asidosis

14) Menurunnya saturasi O2 (dinilai dari CO-oxymetry)

15) Biasanya tampak sianosis (jarang terlihat kulit dan mukosa berwarna merah ceri)

16) Penderita yang sampai tidak sadar beresiko mengalami sekuele neuropsikiatrik

(perubahan kepribadian, gangguan kecerdasan, buta, tuli, inkoordinasi, dan

parkinsonism) dalam 1-3 minggu setelah paparan

7. GLIKOSIDA JANTUNG

Dicurigai keracunan bila pada penderita yang mendapatkan digoksin denyut jantung

yang sebelumnya cepat/normal menjadi melambat atau terdapat irama jantung yang

ireguler dengan konsisten.

27
Efek toksik :

a) Menurunnya otomatisitas SA node dan konduksi AV node

b) Tonus simpatis : otomatisitas otot, AV node, dan sel-sel konduksi;

meningkatnya after depolarization

c) EKG : bradidisritmia, triggered takidisritmia, sinus aritmia, sinus bradikardi,

berbagai derajat AV block, kontraksi ventrikel premature, bigemini, VT, VF

d) Kombinasi dari takiaritmia supraventrikel dan AV block (mis.: PAT dengan AV

block derajat 2; AF dengan AV block derajat 3) atau adanya bi-directional

VT ) sangat sugestif untuk menilai adanya keracunan glikosida jantung

e) Muntah

f) Konfusi, delirium

g) Halusinasi, pandangan kabur, fotofobi, skotomata, kromotopsia

h) Keracunan akut : takiaritmia dan hiperkalemi

i) Keracunan kronik : bradiaritmia dan hipokalemia

Terapi :

1. Karbon aktif dosis berulang

2. Koreksi K, Mg, Ca

3. Koreksi hipoksia

4. Pada sinus bradikardi dan AV block derajat 2/3 : atropin, dopamine,

epinefrin, dan dapat saja fenitoin (100 mg i.v. tiap 5 menit sampai 15

mg/kg), serta isoproterenol

5. Pada takiaritmia ventrikel : Mg sulfat, fenitoin, lidokain, bretilium, dan

amiodaron

6. Pada disritmia yang life-threatening : terapi antidot dengan digoxin-

specific Fab-fragmen antibodies i.v. dalam >15-30 menit. Tiap vial


28
antidot (40 mg) dapat menetralisir 0,6 mg digoksin. Biasanya pada

keracunan akut diperlukan 1-4 vial; pada kronik 5-15 vial.

7. Pada keracunan akut yang berat dengan kadar kalium serum >= 5,5

mEq/lt (walaupun tanpa disritmia), antidot harus diberikan.

8. Electrical pacing (bukan pacing untuk profilaksis)

9. Bila perlu defibrilasi dengan energi rendah (mis.: 50W.s)

10. Obat-obatan golongan NSAID

Efek toksik :

a) Mual, muntah, nyeri perut

b) Mengantuk, sakit kepala

c) Glikosuri, hematuri, proteinuri

d) Jarang : gagal ginjal akut, hepatitis

e) Diflunisal dapat mengakibatkan : hiperventilasi, takikardi, dan berkeringat

f) Asam mefenamat dan fenilbutazon dapat mengakibatkan : koma, depresi

nafas, kejang, kolaps kardiovaskular. Fenilbutazon relatif sering

mengakibatkan : asidosis metabolic.

g) Ibuprofen : asidosis metabolik, koma, dan kejang

h) Ketoprofen dan naproxen : kejang

Terapi :

1) Karbon aktif dosis berulang

2) Pada gagal hati/ginjal dan pada keracunan berat, hemoperfusi dapat berguna.

29
SALISILAT (termasuk aspirin)

Keracuna salisilat diidentifikasi dari test urine ferri chloride (+) berwarna ungu.

Efek toksik (mulai terjadi dalam 3-6 jam setelah overdosis >= 150 mg/kgBB) :

a. Muntah, berkeringat, takikardi, hiperpnea dehidrasi dan menurunnya

fungsi ginjal

b. Demam, tinitus, letargi, konfusi

c. Pada awalnya terjadi alkalosis respiratorik dengan kompensasi ekskresi

bikarbonat melalui urine

d. Selanjutnya asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap dan

ketosis

e. Alkalemia dan asiduria paradoksal

f. Peningkatan hematokrit, jumlah leukosit, dan jumlah trombosit

g. Hipernatremia, hiperkalemia, hipoglikemia

h. Prothrombin time memanjang

i. Pada keracunan berat dapat terjadi : koma, depresi nafas, kejang, kolaps

kardiovaskuler, serta edema otak & paru(non-kardiak & kardiak). Saat

ini terjadi asidemia dan asiduria (asidosis metabolik dengan

alkalosis/asidosis respiratorik).

Terapi overdosis salisilat :

1) Karbon aktif dosis berulang masih berguna walaupun keracunan sudah terjadi

dalam 12-24 jam

2) Pada penderita yang menelan >500 mg/kgBB salisilat, sebaiknya dilakukan

lavase lambung dan irigasi seluruh usus

3) Endoskopi berguna untuk diagnostik dan untuk mengeluarkan bezoar lambung

4) Pada penderita dengan perubahan status mental, sebaiknya kadar glukosanya

terus dipantau
30
5) Saline i.v. sampai beberapa liter

6) Suplemen glukosa

7) Oksigen

8) Koreksi gangguan elektrolit dan metabolik

9) Pada koagulopati diberikan vitamin K i.v.

10) Alkalinisasi urine (sampai pH 8) dan diuresis saline. Kontraindikasi diuresis :

edema otak/paru, gagal ginjal

11) 50-150 mmol bikarbonat (+ kalium) yang ditambahkan pada 1 lt cairan infus

saline-dekstrose dengan kecepatan 2-6 cc/kgBB/jam

12) Monitor kadar elektrolit, calcium, asam-basa, pH urine, dan balans cairan

13) Hemodialisis dilakukan pada intoksikasi berat (kadar salisilat mendekati/>100

mg/dl setelah overdosis akut, atau bila ditemukan kontraindikasi/kegagalan

prosedur di atas

11. INSEKTISIDA ORGANOFOSFAT(malathion, parathion) dan KARBAMAT

Menyebabkan akumulasi asetilkolin pada sinaps muskarinik dan nikotinik serta

SSP, karena enzim asetilkoliesterase dihambat secara ireversibel. Organofosfat lebih

toksis dibanding karbamat.

Efek toksik: (rata-rata terlihat dalm -2 jam setelah intoksikasi) :

a) Efek muskarinik : mual, muntah, kram perut, inkontinensia urine et alvi,

meningkatnya sekresi bronkus, batuk, wheezing, dispnea, berkeringat, salvias,

miosis, pandangan kabur, lakrimasi, frekuensi (urine).

b) Pada kasus berat : bradikardi, block konduksi jantung, hipotensi, dan edema

c) paru

d) Efek nikotinik berupa : twitching, fasikulasi, lemah badan, hipertensi, takikardi.


31
e) Pada kasus berat : paralysis dan gagal nafas.

f) Efek pada SSP : ansietas, restlessness, tremor, konfusi, lemah badan, kejang, dan

koma.

g) Penyebab kematian : toksisitas paru

SLUDGE/BBB mnemonic

o S = Salivation

o L = Lacrimation

o U = Urination

o D = Defecation

o G = GI symptoms

o E = Emesis

o B = Bronchorrhea

o B = Bronchospasm

o B = Bradycardia

DUMBELS mnemonic

o D = Diarrhea and diaphoresis

o U = Urination

o M = Miosis

o B = Bronchorrhea, bronchospasm, and bradycardia

o E = Emesis

o L = Lacrimation

o S = Salivation

32
Terapi :

1) Pakaian yang terkena ditanggalkan dan kulit dicuci dengan sabun & air.

2) Pemberian karbon aktif

3) Pemberian oksigen dan bantuan nafas

4) Terapi kejang

5) Pada efek muskarinik yang terjadi : diberikan atropin (antagonis reseptor

muskarinik) 0,5 2 mg i.v. tiap 5-15 menit sampai sekresi bronkus mengering.

Dosis dapat diulang/diberikan via infus kontinu bila terjadi toksisitas rekuren.

6) Untuk mengatasi efek nikotinik dapat diberikan : pralidoxim (2-PAM) yang

mereaktivasi enzim kolinesterase. Digunakan pada keracunan organofosfat saja.

Dosis : 1-2 gr i.v.dalam 5-30 menit tergantung dari beratnya intoksikasi; dapat

diulang dengan interval 30 menit bila respon tidak lengkap. Injeksi cepat dat

menyebabkan : takikardi, spasme laring, kekakuan otot, dan kelemahan.

7) Bila efek toksik masih rekuren, dapat diberikan dosis ulangan tiap 4-6 jam atau

infus kontinu (500 mg/jam).

8) Terapi kejang dengan benzodiazepin secara agresif

12. OBAT SIMPATOMIMETIK

(amfetamin, efedrin, pseudoefedrin, fenilefrin, fenilpropanolamin, salmeterol,

dll.) Intoksikasi terjadi dalam 30-60 menit setelah ingesti obat.

Efek toksik berupa :

a) Mual, muntah, kram perut, dan sakit kepala; hipertensi serta takikardi

b) Efek stimulasi : hipertensi dan refleks bradikardi, bahkan AV block

c) -agonis selektif : takikardi dengan hipotensi (akibat vasodilatasi), hipokalemi

d) Combativeness, halusinasi dengar & lihat, dilatasi pupil, mulut kering, pucat,

dan takipnea
33
e) Komplikasi berupa : asidosis laktat, rhabdomiolisis, perdarahan intrakranial

Terapi :

1. Karbon aktif

2. Hiperaktivitas neuromuscular dan kejang diterapi dengan : barbiturat atau

benzodiazepin

3. Pada hipertensi simtomatik/berat : adrenergik bloker non-selektif (labetalol) atau

antagonis -adrenergik selektif (fentolamin) diberikan dengan dosis : 1-5 mg i.v.

tiap 5 menit sampai respon tercapai dengan/tanpa -bloker kardioselektif

(esmolol)

4. Pada takikardi berat/simtomatik : propranolol atau -bloker kardioselektif

5. Takiaritmia ventrikel : diobati dengan lidokain dan propranolol

6. Hipertermi diterapi dengan : pendinginan eksternal dengan sedasi, bila perlu

diberi agen paralysis.

13. TEOFILIN (inhibitor enzim fosfodiesterase)

Efek toksik :

(terjadi dalam -2 jam setelah ingesti)

a) Mual, muntah

b) Eksitasi psikomotor

c) Pucat, berkeringat

d) Takipnea, takikardi

e) Tremor otot

f) Keracunan berat ditandai dengan : koma, kejang, depresi nafas, aritmia

jantung, hipotensi dan rhabdomiolisis

g) Dapat terjadi takiaritmi atrial/ventrikel, termasuk VF.


34
h) Pada keracunan akut : hipotensi, ketosis, asidosis metabolikc,

hiperamilasemia, hiperglikemi, hipokalemi, hipokalsemi, hipofosfatemi

Terapi :

1) Karbon aktif dosis berulang

2) Irigasi usus seluruhnya

3) Anti emetik

4) Benzodiazepin dan barbiturat untuk terapi kejang dan hiperaktivitas

neuromuskuler ;

5) Paralysis farmakologik bila refrakter.

6) Takiaritmia diobati dengan : propranolol i.v.

7) SVT diterapi dengan -1 bloker selektif (esmolol)

8) VT dengan lidokain atau anti aritmia lainnya

9) Hipotensi : ekspansi volum dan -agonis (norepinefrin)

10) Pada keracunan berat : hemodialisis dan hemoperfusi

DAFTAR PUSTAKA

35
Linden,C.H., Burns,M.J., Poisoning and Drug Overdosage in Harrisons Principles

of Internal Medicine Vol.2, 16th edition, International Edition, McGraw-Hill, 2005

36

Anda mungkin juga menyukai