Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. KARIADI SEMARANG
PERIODE 7 Agustus 29 September 2017

Disusun oleh :

Andhyta Dewandari T 1061621004 Putri Selfitri V. 1061621033


Annis Riska H. 1061621007 Retno Ayu W. 1061621035
Dea Fitria Mitha P. 1061621011 Sri Sulistyorini 1061621037
Desy Putri S. 1061621012 Winantya S. 1061621042
Dewi Kurnianingtyas S. 1061621014 Zuhriyah I. A. 1061621043
Puput Rosalina 1061621032

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


RSUP Dr. KARIADI
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


2.1 Instalasi Gas Medis
Penggunaan gas medis pada sarana pelayanan kesehatan diatur berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 4/Menkes/SK/XI/20016.
2.1.1 Defenisi Gas Medis
1. Gas medis adalah gas dengan spesifikasi khusus yang dipergunakan untuk
pelayanan medis fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Gas medis adalah gas dengan spesifikasi khusus yang digunakan untuk
pelayanan medis pada sarana kesehatan
3. Instalasi pipa gas medis adalah seperangkat prasarana perpipaan beserta
peralatan yang menyediakan gas medis tertentu yang dibutuhkan untuk
penyaluran gas medis ke titik outlet ke ruang tindakan dan ruang perawatan.
4. Sentral gas medis adalah seperangkat prasarana peralatan dan atau tabung
gas/liquid yang menyimpan beberapa gas medis tertentu yang dapat disalurkan
melalui pipa instalasi gas medis.
5. Outlet adalah keluaran gas medis melalui dinding.
2.1.2 Penyimpanan Gas Medis
Persyaratan penyimpanan gas medis:
1. Tabung-tabung gas medis harus disimpan berdiri, dipasang penutup kran dan
dilengkapi tali pengaman untuk menghindari jatuh pada saat terjadi
goncangan.
2. Lokasi penyimpanan harus khusus dan masing-masing gas medis dibedakan
tempatnya.
3. Penyimpanan tabung gas medis yang berisi dan tabung gas medis yang kosong
dipisahkan untuk memudahkan pemeriksaan dan penggantian.
4. Lokasi penyimpanan diusahakan jauh dari sumber panas, listrik dan oli atau
sejenisnya.
5. Gas medis yang sudah cukup lama disimpan, agar dilakukan uji atau tes
kepada produsen untuk mengetahui kondisi gas medis tersebut (Depkes RI,
2002).
2.1.3 Pendistribusian Gas Medis
1. Distribusi gas medis dilayani dengan menggunakan troly yang biasanya
ditempatkan dekat dengan pasien.
2. Pemakaian gas diatur melalui flowmeter pada regulator.
3. Regulator harus dites dan dikalibrasi.
4. Penggunaan gas medis sistem tabung hanya bisa dilakukan 1 tabung untuk 1
orang.
5. Tabung gas beserta troly harus bersih dan memenuhi syarat sanitasi (higienis)
(Depkes RI, 2002).
BAB III

1.2 Tujuan
Tujuan dilakukan Pratek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSUP Dr. Kariadi
adalah agar mahasiswa dapat :
1. Mengamati secara langsung tugas dan fungsi Instalasi Farmasi di RSUP
Dr.Kariadi Semarang.
2. Memahami peran dan tanggung jawab Apoteker di Instalasi Farmasi RSUP
Dr.Kariadi Semarang.
3. Mengetahui struktur organisasi, tugas dan fungsi manajemen Instalasi Farmasi
RSUP Dr.Kariadi Semarang.
4. Melihat, mengenal, dan mengikuti kegiatan pengelolaan perbekalan farmasi di
RSUP Dr.Kariadi Semarang yang meliputi kegiatan pengadaan, pendistribusian,
penyimpanan dan produksi.
5. Mengetahui sistem pelayanan obat dan perbekalan farmasi di RSUP Dr.Kariadi
Semarang.

1.3 Manfaat
Manfaat dari Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSUP Dr. Kariadi
Semarang adalah agar mahasiswa :
1. Mengetahui dan memahami tugas serta tanggung jawab apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian di rumah Sakit.
2. Memperoleh pengetahuan dan pengalaman mengenai praktik kefarmasian di
instalasi farmasi rumah sakit.
3. Mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh pada pendidikan
formal agar mampu diterapkan pada dunia kerja nyata di lapangan.
4. Meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawab sebagai seorang apoteker yang professional.
5. Mengasah dan memperdalam ilmu tentang penerapan farmasi klinik di rumah
sakit.

1.4 Pelaksanaan
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang bertempat di RSUP. Dr. Kariadi
Semarang diikuti oleh mahasiswa dari Sekolah Tinggi Farmasi Yayasan Pharmasi
Semarang. PKPA dilaksanakan mulai tanggal 7 Agustus 29 September 2017.
Kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa terbagi ke dalam 8 stase, yaitu:
1. Logistik Farmasi
2. Farmasi Klinik
3. Depo Farmasi Rajawali dan Handling Steril
4. Depo Farmasi Bedah Sentral
5. Depo Farmasi Rawat Jalan, PIO dan Konseling
6. Depo Farmasi Sitostatika, Handling Sitostatika, dan Farmasi Klinik
7. Depo Farmasi Rawat Intensif dan Farmasi Klinik
8. Depo Farmasi IGD dan Depo Farmasi Jantung
Mahasiswa yang mengikuti PKPA terdiri dari 11 mahasiswa, tiap kelompok
terdiri dari 2-3 orang untuk mengikuti setiap stase (depo) dalam jangka waktu 6 hari
untuk setiap stasenya serta ditambah 3 hari untuk kunjungan Instalasi Central
Sterilization Supply Departemen (CSSD) dan Unit Pengelolaan Limbah Farmasi
Rumah Sakit dan Gas Medis.
BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Definisi dan Klasifikasi Rumah Sakit


2.1.1 Definisi Rumah Sakit
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Rumah sakit diselenggarakan berdasarkan pada nilai kemanusiaan, etika,
profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak, antidiskriminasi, pemerataan,
perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Hal ini
bertujuan untuk mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit, sumber daya manusia di rumah sakit, meningkatkan mutu,
mempertahankan standar pelayanan rumah sakit, memberikan kepastian hukum
kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan rumah sakit
(Depkes RI, 2009).
2.1.2 Klasifikasi Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
rumah sakit dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya.
1. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan menjadi
rumah sakit umum dan rumah sakit khusus, sebagai berikut:
a. Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan kepada semua bidang dan jenis penyakit.
b. Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama
pada satu bidang atau jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu,
golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
2. Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dibagi menjadi rumah sakit publik dan
rumah sakit privat, sebagai berikut:
a. Rumah sakit publik adalah rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit
pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelola
Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, contoh : rumah sakit
departemen kesehatan, rumah sakit pemerintah daerah provinsi, rumah sakit
pemerintah daerah kabupaten/kota, rumah sakit TNI. Rumah sakit polri, dan
rumah sakit pertamina.
b. Rumah sakit privat adalah rumah sakit yang dikelola oleh badan hukum
dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero, comtoh:
rumah sakit yayasan, rumah sakit perusahaan.
Menurut PerMenKes Nomor 56 Tahun 2014 tentang Rumah Sakit, dalam
rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan,
rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan
kemampuan pelayanan rumah sakit.
1. Klasifikasi rumah sakit umum terdiri atas:
a. Rumah sakit umum kelas A, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 5 spesialis penunjang medik, 12
spesialis lain, dan 16 subspesialis dasar.
b. Rumah Sakit umum kelas B, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 5 spesialis penunjang medik, minimal
8 spesialis dari 12 spesialis lain, dan minimal 2 subspesialis dari 4
subspesialis dasar.
c. Rumah sakit umum kelas C, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik paling sedikit 4 spesialis dasar, dan 3 spesialis penunjang medik, 1
pelayanan spesialis gigi dan mulut.
d. Rumah sakit umum kelas D, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik paling sedikit 2 spesialis dasar, 2 pelayanan medik spesialis
penunjang.
2. Klasifikasi rumah sakit khusus terdiri dari :
- Rumah sakit khusus kelas A
- Rumah sakit khusus kelas B
- Rumah sakit khusus kelas C
Rumah sakit khusus harus mempunyai fasilitas dan kemampuan, paling sedikit
meliputi :
1. pelayanan
a. pelayanan medik paling sedikit terdiri dari pelayanan gawat darurat,
pelayanan medik umum, pelayanan medik spesialis dasar sesuai dengan
kekhususan, pelayanan medik spesialis dan atau subspesialis sesuai
kekhususan, pelayanan spesialis medik penunjang.
b. pelayanan kefarmasian
c. pelayanan keperawatan
d. pelayanan penunjang klinik
e. pelayanan penunjang nonklinik
2. sumber daya manusia, paling sedikit terdiri dari tenaga medis, tenaga
kefarmasian, tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan.
3. peralatan

2.2 Struktur Organisasi dan Akreditasi Rumah Sakit


2.2.1 Struktur Organisasi
Setiap rumah sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien, dan
akuntabel. Organisasi rumah sakit paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit
atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur
penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi
umum dan keuangan. Organisasi rumah sakit disusun dengan tujuan untuk mencapai
visi dan misi rumah sakit dengan menjalankan tata kelola perusahaan yang baik
(Good Corporate Governance) dan tata kelola klinis yang baik (Good Clinical
Governance) (Anonim, 2009).
Struktur organisasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045 tahun
2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen
Kesehatan berbeda-beda untuk setiap kelas rumah sakit, yaitu:
1. RSU Kelas A : dipimpin oleh seorang Direktur Utama yang membawahi paling
banyak 4 Direktorat. Setiap Direktorat terdiri dari paling banyak 3
bidang/bagian yang masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 Seksi
atau tiap bagian terdiri dari paling banyak 3subbagian.
2. RSU Kelas B Pendidikan : dipimpin seorang Direktur Utama yang membawahi
paling banyak 3 Direktorat. Tiap Direktorat membawahi paling banyak 3
Bidang/Bagian. Masing-masing Bidang terdiri dari paling banyak 3 Seksi dan
masing-masing Bagian terdiri dari paling banyak 3 Subbagian.
3. RSU Kelas B Non Pendidikan : dikepalai oleh seorang Direktur Utama yang
membawahi paling banyak 2 Direktorat. Setiap Direktorat memiliki paling
banyak 3 Bidang/Bagian. Tiap Bidang terdiri dari paling banyak 3 Seksi atau
tiap Bagian terdiri dari paling banyak 3Sub bagian.
4. RSU Kelas C : dipimpin seorang Direktur yang membawahi paling banyak 2
Bidang dan 1 Bagian. Setiap Bidang terdiri dari paling banyak 3 Seksi dan
setiap Bagian terdiri dari paling banyak 3Sub bagian.
5. RSU Kelas D : dipimpin oleh seorang Direktur yang membawahi 2 Seksi dan 3
Subbagian.
(Anonim, 2006)
2.2.2 Akreditasi Rumah Sakit
Akreditasi Rumah Sakit, selanjutnya disebut Akreditasi, adalah pengakuan
terhadap Rumah Sakit yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara
Akreditasi yang ditetapkan oleh menteri, setelah dinilai bahwa Rumah Sakit itu
memenuhi Standar Pelayanan Rumah Sakit yang berlaku untuk meningkatkan mutu
pelayanan Rumah Sakit secara berkesinambungan (Anonim, 2012).
Standar Pelayanan Rumah Sakit adalah semua standar pelayanan yang berlaku di
Rumah Sakit antara lain standar prosedur operasional, standar pelayanan medis, dan
standar asuhan keperawatan (Anonim, 2012).
Menurut PMK Nomor 12 tahun 2012, akreditasi bertujuan untuk:
1. Meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit
2. Meningkatkan keselamatan pasien Rumah Sakit
3. Meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat, sumber daya manusia
Rumah Sakit dan Rumah Sakit sebagai institusi
4. Mendukung program Pemerintah dibidang kesehatan
Penyelenggaraan Akreditasi nasional meliputi persiapan Akreditasi, bimbingan
Akreditasi, pelaksanaan Akreditasi dan kegiatan pasca Akreditasi. Pelaksanaan
Akreditasi meliputi survey Akreditasi dan penetapan status Akreditasi.

2.3 Instalasi Farmasi Rumah Sakit


Menurut PMK No 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit, Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang
menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit.
Instalasi farmasi dirumah sakit dipimpin oleh seorang apoteker dan dibantu
oleh beberapa orang apoteker dan tenaga teknis kefarmasin. Instalasi Farmasi
merupakan tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas
seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian yang terdiri atas pelayanan paripurna,
mencakup perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan perbekalan kesehatan,
dispensing obat, pengendalian mutu dan pengendalian distribusi dan penggunaan
seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit serta pelayanan farmasi klinik. Dalam
penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di rumah sakit dapat dibentuk satelit farmasi
sesuai kebutuhan yang merupakan bagian dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit
(Anonim, 2016).
Tugas instalasi farmasi rumah sakit menurut PMK No 72 Tahun 2016 sebagai
berikut:
1. menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh
kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai
prosedur dan etik profesi;
2. melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien;
3. melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna memaksimalkan efek terapi dan
keamanan serta meminimalkan risiko;
4. melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;
5. berperan aktif dalam Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
6. melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan Pelayanan
Kefarmasian;
7. memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium
Rumah Sakit.
Sedangkan fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit sebagai berikut.
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
a. memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit
b. merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai secara efektif, efisien dan optimal;
c. mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang
berlaku;
d. memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit;
e. menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku;
f. menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian;
g. mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah Sakit;
h. melaksanakVan pelayanan farmasi satu pintu;
i. melaksanakan pelayanan Obat unit dose/dosis sehari;
j. melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai (apabila sudah memungkinkan);
k. mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
l. melakukan pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang sudah tidak dapat digunakan;
m. mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
n. melakukan administrasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai.
2. Pelayanan farmasi klinik
a. mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau permintaan Obat;
b. melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. melaksanakan rekonsiliasi Obat;
d. memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik berdasarkan Resep
maupun Obat non Resep kepada pasien/keluarga pasien;
e. mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
f. melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain;
g. memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;
h. melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO)
a) Pemantauan efek terapi Obat;
b) Pemantauan efek samping Obat;
c) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
i. melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. melaksanakan dispensing sediaan steril
a) Melakukan pencampuran Obat suntik
b) Menyiapkan nutrisi parenteral
c) Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik
d) Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak stabil
k. melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga kesehatan lain,
pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di luar Rumah Sakit;
l. melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).

2.4 Panitia Farmasi dan Terapi


Dalam pengorganisasian Rumah Sakit dibentuk Tim Farmasi dan Terapi (TFT)
yang merupakan unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah
Sakit mengenai kebijakan penggunaan Obat di Rumah Sakit yang anggotanya terdiri
dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, Apoteker
Instalasi Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya. TFT mewakili hubungan
komunikasi antara para staf medis rumah sakit dengan staf farmasi terkait dengan
penggunaan obat. TFT dapat diketuai oleh seorang dokter, dan sekretaris TFT adalah
apoteker. Jika rumah sakit mempunyai ahli farmakologi klinik maka sebagai ketua
adalah dari tim farmakologi. TFT harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2
(dua) bulan sekali dan untuk Rumah Sakit besar rapat diadakan sekali dalam satu
bulan. Rapat TFT dapat mengundang pakar dari dalam maupun dari luar Rumah Sakit
yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan TFT, memiliki pengetahuan
khusus, keahlian-keahlian atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi TFT.
TFT mempunyai fungsi dan ruang lingkup sebagai berikut.
1. Mengembangkan formularium rumah sakit dan merevisinya
2. Melakukan evaluasi untuk menerima atau menolak produk obat baru atau dosis
obat yang diusulkan oleh anggota staf medis
3. Menetapkan pengelolaan obat di rumah sakit dan yang termasuk kategori khusus
4. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-
kebijakan dan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan obat di
rumah sakit
5. Melakukan tinjauan penggunaan obat di rumah sakit sesuai standar diagnosa dan
terapi.
6. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat
7. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan menyangkut obat kepada staf medis dan
perawat.

2.5 Formularium Rumah Sakit


Formularium rumah sakit merupakan daftar obat yang disepakati staf medis,
disusun oleh Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah
Sakit. Penyusunan formularium rumah sakit mengacu kepada formularium nasional.
Formularium rumah sakit harus tersedia untuk semua penulis resep, pemberi obat,
dan penyedia obat di rumah sakit. Evaluasi terhadap formularium rumah sakit harus
secara rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan rumah sakit.
Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan berdasarkan
pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan Obat agar dihasilkan
Formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan
pengobatan yang rasional.
Tahapan proses penyusunan formularium rumah sakit menurut PMK No. 72
Tahun 2016 adalah sebagai berikut:
1. membuat rekapitulasi usulan obat dari masing-masing Staf Medik Fungsional
(SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan medik;
2. mengelompokkan usulan obat berdasarkan kelas terapi;
3. membahas usulan tersebut dalam rapat TFT, jika diperlukan dapat meminta
masukan dari pakar;
4. mengembalikan rancangan hasil pembahasan TFT, dikembalikan ke masing-
masing SMF untuk mendapatkan umpan balik;
5. membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF;
6. menetapkan daftar obat yang masuk ke dalam formularium rumah sakit;
7. menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi; dan
8. melakukan edukasi mengenai formularium rumah sakit kepada staf dan
melakukan monitoring.

2.6 Pengelolaan Perbekalan Farmasi


Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian, dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan kefarmasian.
Sistem pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai diatur
dalam UU no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pada pasal 15 disebutkan bahwa
pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di rumah sakit
harus dilakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu. Dengan kebijakan
pengelolaan sistem satu pintu, instalasi farmasi sebagai satu-satunya penyelenggara
pelayanan kefarmasian sehingga tidak ada pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan BMHP yang dilakukan diluar instalasi farmasi (Anonim, 2009).
Menurut PMK No. 72 tahun 2016 tentang kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi :
1. Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan; berdasarkan:
a. formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi
b. standar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang telah
ditetapkan
1) pola penyakit
2) efektifitas dan keamanan
3) pengobatan berbasis bukti
4) mutu
5) harga
6) ketersediaan di pasaran
Kriteria pemilihan Obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit antara lain:
1) mengutamakan penggunaan Obat generik;
2) memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan
penderita;
3) mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas;
4) praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan;
5) praktis dalam penggunaan dan penyerahan;
6) menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien;
7) memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan
biaya langsung dan tidak lansung; dan
8) Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence based
medicines) yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang
terjangkau
2. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan
periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat
jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan untuk
menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara
lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan
disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
Perencanaan harus mempertimbangkan hal-hal berikut.
a. anggaran yang tersedia;
b. penetapan prioritas;
c. sisa persediaan;
d. data pemakaian periode yang lalu;
e. waktu tunggu pemesanan; dan
f. rencana pengembangan.
3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu.
Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan,
penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana,
pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak,
pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran. Pengadaan dapat dilakukan melalui
beberapa cara berikut :
a. Pembelian
Untuk Rumah Sakit pemerintah pembelian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan
jasa yang berlaku.
b. Produksi
Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu dan
terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit tersebut.
c. Sumbangan/Dropping/Hibah
4. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi,
jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat
pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait penerimaan
barang harus tersimpan dengan baik.
5. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan obat dan perbekalan kesehatan yang diterima pada tempat yang dinilai
aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat dan
perbekalan kesehatan. Penyimpanan harus mempertimbangkan persyaratan
kefarmasian yang meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya,
kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk sediaan,
dan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan disusun
secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First
In First Out (FIFO) disertai sistem informasi manajemen. Penyimpanan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang penampilan dan penamaan
yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus
diberi penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan obat
(Anonim, 2016).
6. Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap
menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu (Anonim, 2014).
Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara:
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh instalasi farmasi dalam
jenis dan jumlah yang sangat dibutuhkan. Setiap hari dilakukan serah terima kembali
pengelolaan obat floor stock kepada petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan.
b. Sistem Resep Perorangan (Individual Prescribing)
Pendistribusian berdasarkan resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap
melalui instalasi farmasi.
c. Sistem Unit Dosis (Unit Dose Dispensing)
Dalam sistem ini pendistribusian berdasarkan resep perorangan yang disiapkan
dalam unit dosis tunggal atau ganda, untuk penggunaan satu kali dosis. Sistem unit
dosis ini digunakan untuk pasien rawat inap.
d. Sistem Kombinasi
Merupakan sistem pendistribusian bagi pasien rawat inap dengan menggunakan
kombinasi metode distribusi.
7. Penarikan dan Pemusnahan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai .
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemusnahan dilakukan untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai bila:
a. produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
b. telah kadaluwarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan; dan
d. dicabut izin edarnya
Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM).
8. Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan penggunaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. pengendalian
penggunaan sediaan farman, dan bahan medis habis pakai dapat dilakukan oleh
instalasi farmasi harus bersama dengan tim farmasi dan terapi (TFT) di rumah sakit.
Tujuan pengendalian persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai adalah untuk:
a. penggunaan obat sesuai dengan formularium rumah sakit;
b. penggunaan obat sesuai dengan diagnosis dan terapi;
c. memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta
pengembalian pesanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai
Cara untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai adalah:
a. melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving);

b. melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu tiga bulan
berturut-turut (death stock);
c. Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.
(Anonim, 2016)
9. Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk
memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu.
Kegiatan administrasi terdiri dari:
a. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang meliputi perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, pendistribusian, pengendalian persediaan, pengembalian,
pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai. Pelaporan dibuat secara periodik yang dilakukan Instalasi Farmasi
dalam periode waktu tertentu (bulanan, triwulanan, semester atau pertahun).
Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku.
Pencatatan dilakukan untuk:
1) persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM;
2) dasar akreditasi Rumah Sakit;
3) dasar audit Rumah Sakit; dan
4) dokumentasi farmasi.
Pelaporan dilakukan sebagai:
1) komunikasi antara level manajemen;
2) penyiapan laporan tahunan yang komprehensif mengenai kegiatan di Instalasi

Farmasi;
3) laporan tahunan
b. Administrasi Keuangan
Apabila Instalasi Farmasi harus mengelola keuangan maka perlu
menyelenggarakan administrasi keuangan. Administrasi keuangan merupakan
pengaturan anggaran, pengendalian dan analisa biaya, pengumpulan informasi
keuangan, penyiapan laporan, penggunaan laporan yang berkaitan dengan semua
kegiatan Pelayanan Kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam periode bulanan,
triwulanan, semesteran atau tahunan.
c. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak terpakai karena
kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan cara membuat usulan
penghapusan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai kepada
pihak terkait sesuai dengan prosedur yang berlaku (Anonim, 2016).

2.7 Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit


Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life)
terjamin (Anonim, 2016). Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan di rumah sakit
meliputi:
1. Pengkajian dan pelayanan resep
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian
informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan
terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error). Apoteker harus melakukan
pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan
persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
a. nama, umur, jenis kelamin,berat badan dan tinggi badan pasien;
b. nama, nomorijin, alamatdan paraf dokter;
c. tanggal resep; dan
d. ruangan/unit asal resep.
Persyaratan farmasetik meliputi:
d. nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan;
e. dosis dan jumlah obat
f. stabilitas; dan
g. aturan dan cara penggunaan.
Persyaratan klinis meliputi:
a. ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat;
b. duplikasi pengobatan;
c. alergi dan reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD);
d. kontraindikasi;dan interaksi obat
2. Penelusuran riwayat penggunaan obat
Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan
informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang
digunakan. Riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam
medik/pencatatan penggunaan obat pasien. Kegiatan ini meliputi penelusuran
riwayat penggunaan obat kepada pasien atau keluarganya serta menilai pengaturan
penggunaan obat pasien.
3. Rekonsiliasi obat
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan
dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah
terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi,
kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi
pada pemindahan pasien dari satu rumah sakit kerumah sakit lain, antarruang
perawatan, serta pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan
primer dan sebaliknya. Tahap dalam rekonsiliasi obat sebagai berikut.
a. Pengumpulan data
b. Komparasi, yaitu membandingkan data obat yang pernah, sedang, dan akan
digunakan
c. Konfirmasi ke dokter jika menemukan masalah
d. Komunikasi kepada pasien/keluarga tentang perubahan terapi
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini
dan komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat,
profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar rumah sakit (Anonim,
2016).
Kegiatan PIO yang dapat dilakukan di rumah sakit meliputi:
a. menjawab pertanyaan;
b. menerbitkan buletin,leaflet, poster, newsletter;
c. menyediakan informasi bagi Tim Farmasi dan Terapi sehubungan dengan
penyusunan Formularium Rumah Sakit;
d. bersama dengan Tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
e. melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawatjalan dan rawat inap;
f. melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya; dan
g. melakukan penelitian.
(Anonim, 2016)
5. Konseling
Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi obat dari apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Pemberian
konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko
reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness
yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient
safety). Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas
kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif apoteker, rujukan dokter, dan keinginan
pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan
kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap apoteker (Anonim, 2016).
6. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi
klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi
obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang
rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta professional
kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah
sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program rumah sakit yang
biasa disebut dengan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko reaksi
obat yang tidak dikehendaki (ROTD) (Anonim, 2016).
Tahapan PTO sebagai berikut.
a. pengumpulan data pasien;
b. identifikasi masalah terkait Obat;
c. rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat;
d. pemantauan; dan
e. tindak lanjut
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim
yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnose dan terapi
(Anonim, 2016).
MESO bertujuan untuk:
a. menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat,
tidak dikenal, frekuensinya jarang;
b. menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru saja
ditemukan;
c. mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan / mempengaruhi
angka kejadian dan hebatnya ESO;
d. meminimalkan risiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki; dan
e. mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki

Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO antara lain:


a. mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO);
b. mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi
mengalami ESO;
c. mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo;
d. mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub Tim Farmasi dan
Terapi;
e. melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
(Anonim, 2016)
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan
obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. EPO
bertujuan untuk:
a. mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat;
b. membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu;
c. memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat;dan
d. menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.
10. Dispensing sediaan steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di instalasi farmasi rumah sakit
dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi
petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian
obat. Kegiatan dalam dispensing sediaan steril meliputi:
a. Pencampuran obat suntik
b. Penyiapan nutrisi parenteral
c. Penanganan sediaan sitostatik
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena
indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari apoteker kepada dokter. PKOD
bertujuan untuk mengetahui kadar obat dalam darah dan memberikan rekomendasi
kepada dokter yang merawat (Anonim, 2016).

2.8 Central Sterile Supply Department (CSSD)


Instalasi Pusat Sterilisasi (CSSD) adalah unit pelayanan non structural yang
berfungsi memberikan pelayanan sterilisasi yang sesuai standar/pedoman dan
memenuhi kebutuhan barang steril di rumah sakit.
Prinsip dasar Operasional dari CSSD adalah:
1. Setiap rumah sakit harus memiliki pusat sterilisasi mandiri yang mampu
memberikan pelayanan sterilisasi di rumah sakit dengan baik.
2. Memberikan pelayanan sterilisasi bahan dan alat medik untuk kebutuhan unit-unit
di rumah sakit selama 24 jam (Depkes RI, 2009).
Tatalaksana pelayanan penyediaan barang steril terdiri dari:
1. Perencanaan dan penerimaan barang
a. Linen
b. Instrumen
c. Sarung tangan dan bahan habis pakai
2. Pencucian
a. linen dilakukan di bagian rumah tangga
b. Instrumen
c. Sarung tangan
3. Pengemasan dan pemberian tanda
a. Linen
b. Instrumen
c. Sarung tangan
Sterilisasi bahan medik perlu memperhatikan beberapa tahap, antara lain:
1. Dekontaminasi
2. Pengemasan
3. Metode Sterilisasi yang digunakan
4. Pengujian Alat sterilisasi
5. Fasilitas Alat dan Zat kimia

Gambar 1. Alur kerja di Instalasi Pusat Steril (CSSD) (Depkes RI, 2009).
2.9 Sanitasi dan Pengelolaan Limbah Rumah Sakit
Beradasarkan PMK No.1204/Menkes/SK/X/2004 sanitasi adalah upaya
kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan. Sanitasi
lingkungan rumah sakit mempunyai arti sebagai upaya menciptakan kesehatan
lingkungan yang baik di rumah sakit. Misalnya, menyediakan air bersih,
menyediakan tempat sampah dan lain-lain. Rumah sakit sebagai sarana pelayanan
kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi
tempat penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan
dan gangguan kesehatan, untuk menghindari resiko dan gangguan kesehatan maka
perlu penyelenggaraan kesehatan lingkungan rumah sakit sesuai dengan persyaratan
kesehatan. Sanitasi lingkungan rumah sakit meliputi pengendalian berbagai faktor
lingkungan fisik, kimiawi, biologi, dan sosial psikologi rumah sakit.
Berdasarkan PMK No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan
lingkungan rumah sakit adalah meliputi penyehatan bangunan dan ruangan,
penyehatan makanan dan minuman, penyehatan air, penyehatan tempat pencucian
umum termasuk tempat pencucian linen, pengendalian serangga dan tikus,
sterilisasi/desinfeksi, perlindungan radiasi, penyuluhan kesehatan lingkungan,
pengendalian infeksi nosokomial, dan pengelolaan sampah/limbah.
Petugas yang berwenang dalam pelaksanaan usaha sanitasi rumah sakit
merupakan kunci dalam panitia/komite keamanan dan harus melaksanakan tugasnya
dalam pengawasan infeksi. Kualifikasi tenaga kesehatan lingkungan rumah sakit
adalah tenaga sanitarian, serendah-rendahnya adalah berkualifikasi diploma (D3) di
bidang kesehatan lingkungan, atau tenaga lain yang telah mengikuti pelatihan khsusu
bidang kesehatan lingkungan rumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah atau
pihak lain terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Anonim, 2004).
Berdasarkan Permenkes No. 1204/Menkes/SK/X/2004 yang dimaksud dengan
llimbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit
dalam bentuk padat, cair dan gas .Berdasarkan Undang-undang No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit pasal 10 dijelaskan bahwa bangunan Rumah Sakit harus
mempunyai ruang pengolahan sampah. Selain itu, pada pasal 11 diantara prasarana
yang harus dimiliki Rumah Sakit adalah Instalasi Pengelolaan limbah. Prasarana
instalasi pengelolaan limbah ini harus memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta
keselamatan dan kesehatan kerja penyelenggaraan Rumah Sakit. Prasarana harus
dalam keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik. Pengoperasian dan
pemeliharaan prasarana Rumah Sakit harus dilakukan oleh petugas yang mempunyai
kompetensi di bidangnya, harus didokumentasi dan dievaluasi secara berkala dan
berkesinambungan.
Rumah Sakit harus mempunyai fasilitas sendiri yang ditetapkan KepMenkes RI
No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
Sakit yaitu :
1. Pengelolaan Limbah Padat Medis
Limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius,
limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah
kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan
kandungan logam berat yang tinggi. Setiap Rumah sakit harus melakukan reduksi
limbah dimulai dari sumber dan harus mengelola dan mengawasi penggunaan bahan
kimia yang berbahaya, beracun dan setiap peralatan yang digunakan dalam
pengelolaan limbah medis mulai dari pengumpulan, pengangkutan, dan pemusnahan
harus melalui sertifikasi dari pihak yang berwenang.
Pewadahan limbah medis padat harus memenuhi persyaratan dengan
penggunaan wadah dan label seperti pada gambar 2, dan daur ulang tidak bisa
dilakukan oleh rumah sakit kecuali untuk pemulihan perak yang dihasilkan dari
proses film sinar X. Limbah sitotoksis dikumpulkan dalam wadah yang kuat, anti
bocor, dan diberi label bertuliskan Limbah Sitotoksik.
Gambar 2. Penandaan Wadah Limbah
2. Pengelolaan Limbah Padat Non Medis
Limbah padat non medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan di
rumah sakit di luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman dan halaman
yang dapat dimanfaatkan kembali apalagi ada teknologinya. Limbah padat non medis
harus dilakukan pemilahan antara limbah yang dapat dimanfaatkan dengan yang tidak
dapat dimanfaatkan kembali. Tempat pewadahan limbah padat non medis juga harus
memenuhi persyaratan yang berlaku. Pengangkutan dari ruangan ke tempat
penampungan sementara limbah padat non medis harus menggunakan troli tertutup.
3. Pengelolaan Limbah Cair
Limbah cair adalah semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari
kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan kimia
beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan. Limbah cair harus
dikumpulkan dalam container yang sesuai dengan karakteristik bahan kimia dan
radiologi, volume, dan prosedur penanganan dan penyimpanannya. Rumah sakit
harus memiliki instalasi pengolahan limbah cair sendiri atau bersama-sama secara
kolektif dengan bangunan disekitarnya yang memenuhi persyaratan teknis.
4. Pengelolaan Limbah Gas
Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari
kegiatan pembakaran di rumah sakit seperti incinerator, dapur, perlengkapan
generator, anastesi dan pembuatan obat sitotoksik. Monitoring limbah gas berupa
NO2, SO2, logam berat, dan dioksin dilakukan minimal 1 (satu) kali setahun.
Jika limbah rumah sakit tidak dikelola secara benar, sampah/limbah
terkontaminasi yang membawa mikroorganisme ini dapat menular pada petugas yang
kontak dengan sampah tersebut termasuk masyarakat pada umumnya. Sampah/limbah
terkontaminasi meliputi darah, nanah, urin, tinja dan duh tubuh lain serta bahan-
bahan yang kontak dengannya, misal bekas pembalut luka. Sampah/limbah dari
kamar operasi (jaringan tubuh, darah, kasa, kapas, dan lain-lain) dan dari
laboratorium (darah, tinja, dahak, urin, bikan mikrobiologi), alat-alat yang dapat
melukai misalnya jarum, pisau yang dapat menularkan penyakitpenyakit seperti
hepatitis B, hepatitis C, AIDS, juga digolongkan sebagai sampah terkontaminasi.
Sampah lain yang tidak mengandung infeksius, tetapi digolongkan berbahaya
karena mempunyai potensi berbahaya pada lingkungan meliputi :
a. Bahan-bahan kimia atau farmasi, misal kaleng bekas, botol atau kotak yang
mengandung obat kadaluarsa, vaksin, reagen, desinfektan seperti formaldehid,
glutaraldehid, bahan-bahan organik seperti aseton dan kloroform
b. Sampah sitostatika
c. Sampah yang mengandung logam berat, misal air raksa dari termometer yang
pecah, tensimeter, bahan-bahan bekas gigi, dan kadmium dari baterai yang
dibuang
d. Wadah bekas berisi gas dan tidak dapat di daur ulang, misal kaleng penyembur
yang berbahaya dan dapat meledak apabila dibakar.
Terdapat beberapa konsep tentang pengelolaan lingkungan antara lain reduksi
limbah pada sumbernya (source reduction), minimisasi limbah, produksi bersih dan
teknologi bersih, pengelolaan kualitas lingkungan menyeluruh (Total quailty
environmental management/TQEM) dan Continous quality improvement /CQI)
(Adisasmito, 2007).
Penanganan dan penampungan limbah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Pemisahan dan pengurangan. Limbah dipilah-pilah dengan mempertimbangkan
hal-hal yaitu kelancaran penanganan dan penampungan, pengurangan jumlah
limbah yang memerlukan perlakuan khusus, dengan pemisahan limbah B3 dan
non B3, diusahakan sedapat mungkin menggunakan bahan kimia non B3,
pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis limbah untuk
mengurangi biaya, tenaga kerja, dan pembuangan, pemisahan limbah berbahaya
dari semua limbah pada tempat penghasil limbah akan mengurangi kemungkinan
kesalahan petugas dan penanganan.
2. Penampungan Sarana penampungan harus memadai, diletakkan pada tempat yang
pas, aman, dan higienis. Pemadatan merupakan cara yang paling efisien dalam
penyimpanan limbah yang bisa dibuang dan ditimbun. Namun tidak boleh
dilakukan untuk limbah infeksius dan benda tajam.

2.10 Gas Medis

Menurut KepMenKes tahun 2002 pasal 1 yang dimaksud gas medis adalah gas
dengan spesifikasi khusus yg dipergunakan untuk pelayanan medis pada sarana
kesehatan. Instalasi pipa gas medis adalah seperangkat prasarana perpipaan beserta
peralatan yg menyediakan gas medis tertentu yg dibutuhkan untuk menyalurkan gas
medis ke titik outlet diruang tindakan & perawatan. Sentral gas medis adalah
seperangkat prasarana beserta peralatan & atau tabung gas/liquid yg menyimpan
beberapa gas medis tertentu yg dpt disalurkan melalui pipa instalasi gas medis
sedangkan Instalasi gas medis (IGM) adalah seperangkat sentral gas medis, instalasi
pipa gas medis sampai outlet. Gas medis yang digunakan di rumah sakit adalah
elemen pendukung kehidupan yang berpengaruh langsung dalam mempertahankan
hidup pasien. Oleh karena itu, pada bagian dimana gas medis digunakan, gas tersebut
harus bersih, memiliki kemurnian tinggi dan tersedia dengan tekanan yang stabil.
Jenis Gas Medis yang dapat digunakan melalui Instalasi Gas Medis meliputi :
- Oxygen ( O2 )
- Nitrous Oxide ( N2O )
- Nitrogen (N2)
- Karbon dioksida (CO2)
- Udara tekan (compressed air)
Dalam sistem Gas Medis, silinder gas tekanan tinggi, compressor dan pompa
vacuum di sentralisasi di suatu tempat, kemudian gas-gas dan udara tersebut
dialirkan ke ruangan melalui pemipaan. Instalasi Gas Medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Keamanan
b. Desain : kran, presurre, alarm, tanda peringatan, kapasitasnya
c. Lokasi
d. Penyimpanan
e. Alat penunjang lainnya
Pengujian Instalasi Gas Medis
- Diuji & diperiksa secara berkala minimal 1 x dalam 3 tahun
- Tabung gas medis harus diuji secara periodik selama dalam periode masa
berlaku
- Pengujian dilakukan oleh institusi yg berwenang
Semua gas medis harus dilengkapi dengan sertifikat analisa kualitas yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Penyediaan Gas Medis di sarana
pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui tabung Gas Medis dan/atau
penyaluran melalui instalasi pipa Gas Medis. Penggunaan tabung Gas Medis
harus memenuhi persyaratan:
Memiliki sertifikat test yg masih berlaku
Kepala tabung memeliki tutup & segel
Kran tabung mempunyai ulir yang baik & jenis ulir yg berbeda
Tabung di cat dengan warna yang berbeda
oksigen putih
nitrogen oksida biru
karbon dioksida hitam
nitrogen abu-abu
udara tekan hijau
Kelengkapan tabung Gas Medis meliputi :
Nama jenis gas medis dari bawah ke atas dengan warna yang jelas
Diberi label
Diberi stiker tanda hazard
Tanda kepemilikan tabung gas medis
Penyimpanan Gas Medis yang akan digunakan untuk pelayanan :
Disimpan berdiri, dipasang penutup kran & dilengkapi tali pengaman
Lokasi harus khusus & di bedakan tempatnya
Tabung gas medis isi & kosong dipisahkan
Diusahakan jauh dari sumber panas, listrik & oli
Gas medis yg sdh cukup lama disimpan agar dilakukan uji/test ttg kondisi gas
medis tsb
Pendistribusian Gas Medis :
Menggunakan trolly yg di tempatkan berdekatan dg pasien
Pemakaian gas diatur melalui flow meter pada regulator
Regulator hrs di test & dikalibrasi
Satu tabung digunakan utk 1 pasien
Trolly harus bersih

Anda mungkin juga menyukai