Anda di halaman 1dari 4

HASNIDAR P3400216005 [Corporate Social Responsibility]

Sejarah Pendirian Perusahaan

Ralph W. Estes dalam bukunya Tiranny of The Bottom Line menceritakan tentang fenomena orang-
orang yang pada awalnya baik menjadi berperilaku buruk pada saat mereka masuk dalam suatu
perusahaan. Hal ini disebabkan karena adanya praktek Tiranny of The Bottom Line yang diterapkan di
dalam perusahaan-perusahaan besar tersebut. Tiranny of The Bottom Line menceritakan tentang
kekacauan korporasi yang terjadi di Amerika, yaitu: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang membawa
dampak sosial dan ekonomi yang sangat besar bagi jutaan orang Amerika, tapi disisi lain gaji CEO
menjulang tinggi tak terjangkau bagai bumi dan langit dibandingkan dengan pekerja, limbah pabrik yang
mencemari tanah, air, dan udara, produk tidak sehat yang beredar di pasaran, kecelakaan kerja, dan
kejahatan kerah putih di Wall Street yang pada akhirnya merugikan semua orang.
Ralph memaparkan beberapa akar permasalahan dari terbentuknya tirani ini, yaitu diantaranya
adalah terdapatnya pergeseran arah tujuan perusahaan, kekuasaan perusahaan tanpa akuntabilitas,
dan terbentuknya kerajaan korpokrasi. Dalam buku Tiranny of The Bottom Line telah diuraikan
bahwasannya sistem perusahaan saat ini lebih mengedepankan laba ketimbang manusia, dan
pertanggungjawaban yang tidak jelas oleh perusahan- perusahan tersebut kepada para stakeholder.
Dalam konteks perusahaan, Ralph menyebutkan tekanan untuk mencari profit yang sebesar-besarnya
telah menyebabkan perusahaan kehilangan kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya
dalam melindungi konsumen, memberikan produk terbaik yang sesuai dengan kebutuhan konsumen,
mengembangkan pekerja-pekerjanya dan membuat mereka sejahtera, serta turut menjaga
lingkungannya.
Dapat dikatakan bahwa Tiranny of The Bottom Line tersebut berawal dari munculnya teori
keagenan dan sistem kapitalisme. Menurut Gorz disebutkan, dalam kapitalisme, faktor-faktor produksi
seperti sumber daya alam, alat-alat produksi dan tenaga kerja dikombinasikan sedemikian rupa untuk
menciptakan kemungkinan terbesar bagi tercapainya penimbunan keuntungan. Sementara agency
theory menempatkan pihak agen (manajemen perusahaan) dan principal (investor) sebagai pihak yang
memiliki akses dan mendapatkan kontribusi (keuntungan) terbesar dari perusahaan. Perusahaan
dianggap hanya bertanggung jawab untuk menghasilkan laba sebesar-besarnya bagi kepentingan para
investor.
Sebagai contoh dokter-dokter di rumah sakit misalnya, tentu mereka faham betul bagaimana
seharusnya menangani pasien dengan baik. Nilai-nilai kemanusiaan yang mereka miliki, sumpah
profesi yang telah mereka jalani, tentu mendorong mereka untuk berbuat yang terbaik bagi pasien.
Namun tekanan pemilik rumah sakit seringkali menyebabkan dokter kehilangan nurani. Ibu hamil tua

1
HASNIDAR P3400216005 [Corporate Social Responsibility]

yang tidak seharusnya disesar malah disesar, pasien miskin sulit dilayani, bahkan mereka yang sekarat
dibiarkan tetap merintih sebelum ada orang yang bisa menggaransi bagaimana keuangannya nanti.
Tyranny of the bottom line sesungguhnya bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan pada siapa
saja. Tyranny ini muncul akibat manusia terjebak pada kepentingan-kepentingan jangka pendeknya.
Sehingga seakan-akan hari depan telah mati. Karena berlomba memenuhi kepentingan hari ini, banyak
orang yang tidak peduli dengan prinsip, nilai, akal sehat, maupun hati nurani.
Ralph Estes juga menguraikan bahwa saat ini para manajer perusahaan telah membuat
keputusan- keputusan mereka dengan berpedoman pada definisi yang sempit dan kurang memadai
tentang pemahaman atas keuntungan. Meski standar- standar lain dari waktu ke waktu diumumkan,
bottom line adalah satu- satunya standar kinerja yang secara kontinyu dan konsisten digunakan oleh
manajer. Dalam menimbang keputusan sehari-hari , moralitas pribadi dan niat baik manajer seringkali
dikorbankan demi tindakan- tindakan yang bisa merugikan stakeholder, tapi diharapkan dapat
meningkatkan bottom line. Bukan berarti mereka orang jahat. Ini berarti mereka berada dalam
cengkeraman system evaluasi kinerja perusahaan yang tidak pernah dirancang untuk
mempertanggungjawabkan kinerja perusahaan.
Salah satu teori etika adalah utilitarianisme (berasal dari bahasa latin utilis yang berarti
bermanfaat). Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu
harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam
rangka pemikiran utilitarianisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the
greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.
Teori ini cocok sekali dengan pemikiran ekonomis, karena cukup dekat dengan Cost-Benefit Analysis.
Manfaat yang dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung sama seperti kita menghitung untung dan rugi
atau kredit dan debet dalam konteks bisnis.
Jadi benar adanya dimana yang menjadi penyebab manajer yang baik menjadi buruk adalah
karena mereka terjebak pada kondisi penilaian kinerja yang sangat utilitarian dan parsial sehingga
mereka harus mendapatkan laba setinggi-tingginya, tanpa peduli perbuatannya merugikan publik atau
tidak. Banyak contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari memperlihatkan manajemen perusahaan yang
bertindak merugikan publik demi mencari keuntungan/laba semata.
Hal itulah yang akhirnya menjadi pertanyaan bagi kami seorang akademisi, sebenarnya seperti
apa konsep kinerja akuntansi apabila dihubungkan dengan semakin tidak manusiawinya perusahaan
dalam mencari keuntungan. Seperti halnya kita ketahui untuk mengetahui keberlangsungan hidup dan
mengetahui perkembangan suatu perusahaan digunakan alat ukur atas kinerja manajemen
perusahaan. Ukuran kinerja yang digunakan perusahaan ada beberapa jenis yaitu diantaranya: ROA,
ROI, dan EVA.

2
HASNIDAR P3400216005 [Corporate Social Responsibility]

Dalam bukunya, Ralph Estes memberikan solusi agar manajemen mengubah system evaluasi
kinerja perusahaan. Perkenalkan system yang valid dan relevan karena manajer akan menghasilkan
tindakan- tindakan dan keputusan yang lebih laras dengan seluruh tujuan perusahaan yang sering kali
cukup kuat dalam mengartikulasikan tujuan- tujuan social yang bertanggung jawab.
Bila perusahaan, melalui system penilaiannya, sungguh- sungguh bergerak untuk
mengevaluasi para manajer tidak berdasarkan satu dimensi saja, tetapi pada keseimbangan yang
mereka capai diantara beberapa dimensi, maka para manajer akan tanggap dan segera mencari
keseimbangan itu. Untuk memudahkan pemahaman kita terhadap bagaimana merubah system penilain
kinerja, karena ukuran kinerja keuangan dengan ROA, ROI, dan EVA dianggap sudah tidak memadai
lagi, maka salah satunya dengan dikembangkan pengukuran baru bernama Balanced Scorecard (BSC).
Pengukuran ini dimulai sejak tahun 1990 ketika Nolan Norton Institute, sebuah badan riset
KPMG mensponsori penelitian yang berlangsung selama satu tahun yang melibatkan berbagai
perusahaan. Balanced Scorecard terdiri atas empat perspektif, yaitu: keuangan, pelanggan, internal,
serta inovasi dan pembelajaran. Keempat perspektif tersebut dimaksudkan untuk menciptakan
keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang, antara ukuran keuangan dan non non-
keuangan, antara indikator lagging dan indikator leading, dan antara perspektif kinerja eksternal dan
internal. Namun, ada beberapa hal yang tidak dibahas dalam Balanced Scorecard. Tidak ada
pembahasan sama sekali tentang lingkungan yang merupakan factor penentu bagi keberlangsungan
pemasok bahan baku dan juga tidak dibahas dampak sosial dari keberadaan perusahaan. Triyuwono
(2004) menyatakan bahwa keempat perspektif dalam BSC semuanya menekankan pada orientasi laba
(profit oriented). Perspektif pelanggan maupun pembelajaran dan pertumbuhan hanyalah sarana untuk
memaksimalkan profit. Selain itu juga, Kaplan dan Norton masih mempertanyakan akan adanya
perspektif lain dalam pengukuran kinerja perusahaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep BSC telah dikembangkan menjadi SBSC (sustainability
balance scorecard) dimana Figge (2001) menjadi pelopor yang mengembangkan konsep SBSC dalam
tulisan artikelnya. Sehingga dapat dikatakan dalam pengukuran kinerja perusahaan, keberlanjutan lah
hal yang mnejadi isu saat ini dalam menilai kinerja perusahaan, dimana aspek sosial dan lingkungan
yang perlu dipertimbangkan oleh perusahaan
Di Indonesia sendiri dalam perkembangan CSR di Indonesia dimulai dari sejarah
Perkembangan Kemitraan dan Bina Program (PKBL). PKBL adalah pembinaan usaha kecil yang
dilakukan oleh negara sesuai dengan Peraturan Nomor 3 Tahun 1983. Pada tahun 2007 Pemerintah
mengeluarkan UU No.40 tahun 2007, yang mengatur pelaksanaan CSR suatu perusahaan. Di Asia,
investor juga semakin menarik bagi kinerja perusahaan yang memenuhi kriteria Lingkungan, Sosial dan

3
HASNIDAR P3400216005 [Corporate Social Responsibility]

Pemerintahan (LSP). Investor saat ini mempertimbangkan isu-isu LSP ketika membuat pilihan investasi
mereka
Dari penjelasan di atas dikatakan bahwa bentuk pengukuran kinerja perusahaan tidak hanya
dari segi aspek ekonomi atau profit saja tetapi perlu mempertimbangkan buttom line yang lain dalam
pengukuran kinerja yang dianggap wajib untuk saat ini yaitu lingkungan dan sosial. John Elkington
tahun 1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line (TBL atau 3BL)
Konsep The Triple Buttom Line yang dianggap sebagai bentuk pengukuran kinerja
perusahaan yang paling seimbang saat ini dikarenakan, mengadung 3 unsur penting di dalamnya yaitu
Profit, People dan Planet. 3P People, Planet and Profit. Singkat kata, ketiganya merupakan pilar yang
mengukur nilai kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Pada perusahaan sektor swasta, penerapan tanggung jawab sosial (Corporate Social
Responsibility/CSR) pun merupakan salah satu bentuk implementasi TBL.
Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan
kepentingan stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan yang dilakukan
perusahaan) daripada kepentingan shareholder (pemegang saham).
1. Profit di sini lebih dari sekadar keuntungan. Profit di sini berarti menciptakan fair
trade dan ethical trade dalam berbisnis.
2. People menekankan pentingnya praktik bisnis suatu perusahaan yang mendukung kepentingan
tenaga kerja. Lebih spesifik konsep ini melindungi kepentingan tenaga kerja dengan menentang
adanya eksplorasi yang mempekerjakan anak di bawah umur, pembayaran upah yang wajar,
lingkungan kerja yang aman dan jam kerja yang dapat ditoleransi. Bukan hanya itu, konsep ini
juga meminta perusahaan memperhatikan kesehatan dan pendidikan bagi tenaga kerja.
3. Planet berarti mengelola dengan baik penggunaan energi terutama atas sumber daya alam
yang tidak dapat diperbarui. Mengurangi hasil limbah produksi dan mengolah kembali menjadi
limbah yang aman bagi lingkungan, mengurangi emisi CO2 ataupun pemakaian energi,
merupakan praktik yang banyak dilakukan oleh perusahaan yang telah menerapkan konsep
ini.

Anda mungkin juga menyukai