Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menolong hamba-Nya sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu dan penuh kemudahan, tanpa pertolongan Allah mungkin makalah ini
tidak akan terselesaikan dengan baik.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui tentang sediaan emulsi yang kami sajikan
dari hasil pengamatan berbagai sumber. Makalah ini disusun melalui banyak rintangan, baik itu yang
datang dari diri sendiri maupun faktor lain dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan pertolongan
dari Allah maka makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini memuat tentang sediaan emulsi sebagai salah satu tugas dari dosen. Saya
mengucapkan banyak terimakasih kepada guru dan teman-teman yang telah membantu penyusunan
makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan kita rasa nasionalisme yang lebih tinggi dan wawasan
tentang sediaan emulsi. Karena makalah ini masih banyak kekurangan, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca.

Terima Kasih,

Yogyakarta, 28 Oktober 2017

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat adalah suatu bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosa,
mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau
kelainan badaniah dan rokhaniah pada manusia atau hewan, memperelok badan atau bagian badan
manusia. Secara umum sediaan farmasi mengandung dua atau lebih bahan obat dan eksipien, kombinasi
dua bahan aktif atau lebih dan juga dengan eksipien dapat menyebabkan terjadinya transformasi dan
interaksi padat-padat secara fisika maupun kimiawi.

Bermacam-macam bentuk sediaan obat telah kita ketahui, misalnya: tablet, pulveres, kapsul, pil,
suppositoria, suspensi, emulsi, sirup, aerosol, dan masih banyak bentuk sediaan lainnya. Teknologi
farmasi adalah suatu ilmu yang digunakan untuk membuat berbagai bentuk sediaan guna memperoleh
sediaan yang memenuhi standard sesuai dengan sifat zat aktif yang terkandung dan sediaan jadi yang
diinginkan. Dalam penggunaan obat untuk terapi, dibutuhkan dosis yang tepat agar mendapatkan efek
terapeutik yang diinginkan. Homogenitas sediaan akan menentukan besarnya dosis yang diberikan pada
setiap pemakaian. Salah satu sediaan yang lebih disukai pasien adalah bentuk sediaan cair, karena lebih
cepat diabsorpsi, mudah diberikan untuk pasien pada kondisi khusus dan lanjut usia, serta mudah ditelan.
Salah satu sediaan tersebut adalah emulsi.

Emulsi adalah suatu sistem heterogen yang tidak stabil secara termodinamika, yang terdiri dari
paling sedikit dua fase cairan yang tidak bercampur, dimana salah satunya terdispersi dalam cairan
lainnya dalam bentuk tetesantetesan kecil, yang berukuran 0,1-100 mm, yang distabilkan dengan
emulgator/surfaktan yang cocok.

1.2 Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah:

1. Mengetahui pengertian bentuk sediaan emulsi


2. Mengetahui keuntungan dan kerugian emulsi
3. Mengetahui cara pembuatan serta evaluasi emulsi
4. Mengetahui syarat pembuatan emulsi
5. Mengetahui tipe-tipe emulsi

1.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan emulsi?


2. Apa keuntungan dan kerugian dari sediaan emulsi?
3. Bagaimana cara pembuatan sediaan emulsi?
4. Apa syarat pembuatan emulsi?
5. Jelaskan tipe-tipe emulsi!
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi :

Ada beberapa penulis yang mendefinikan emulsi, misalnya:

Alexander : Emulsi adalah suatu dispersi yang sangat halus dan suatu cairan kedalam suatu cairan
yang lain.
Clayton : Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri 2 fase cair, yang satu terdispersi dalam yang
lain sebagai globul (butir-butir kecil)
Mc. Bain : Emulsi adalah suatu tetes-tetes kecil cairan yang terdispersi dalam cairan yang lain
dan dapat dilihat dibawah mikroskop.
P. Becher: Emulsi adalah suatu sistem heterogen terdiri dari 2 cairan yang tidak bercampur, yang
satu terdispersi didalam yang lain dalam bentuk tetes-tetes kecil yang mempunyai diameter pada
umumnya> 0,1 um.

Pada umumnya dalam bidang farmasi, secara sederhana emulsi diartikan sebagai campuran ogen dan
2 cairan yang dalam keadaan normal tidak dapat bercampur (fase air dan fase minyak), dengan
pertolongan suatu bahan penolong yang disebut emulgator.

Komponen dari emulsi dapat digolongkan menjadi 2 macam yaitu :

A. Komponen dasar
Bahan pembentuk emulsi yang harus terdapat di dalam emulsi. Terdiri atas :
Fase dispers/fase internal/fase discontinue
Fase continue/fase external/fase luar
Emulgator untuk menstabilkan emulsi
Emulgator alam
Kuning telur : Cara Pembuatan emulsi dengan kuning telur dalam mortir luas
dan digerus dnegan stemper kuat-kuat, setelah itu dimasukkan minyaknya sedikit
demi sedikit, lalu diencerkan dengan air dan disaring dengan kasa.
Adeps lanae
Emulgator mineral
Magnesium Aluminuin Silikat ( Veegum ) : Cara Pembuatan diapaki 1%
Bentonit : Cara Pembuatan 5% bentonit yang digunakan
Emulgator buatan/sintesis
Tween : Ester dari sorbitan dengan asam lemak disamping mengandung
ikatan eter dengan oksi etilen, berikut macam-macam jenis tween :
a) Tween 20 : Polioksi etilen sorbitan monolaurat, cairan seperti minyak.
b) Tween 40 : Polioksi etilen sorbitan monopalmitat, cairan seperti
minyak.
c) Tween 60 : Polioksi etilen sorbitan monostearat, semi padat seperti
minyak.
d) Tween 80 : Polioksi etilen sorbitan monooleat, cairan seperti minyak.
Span : Ester dari sorbitan dengan asam lemak. Berikut jenis span :
a) Span 20 : Sorbitan monobiurat, cairan
b) Span 40 : Sorbitan monopulmitat, padat seperti malam
c) Span 60 : Sorbitan monooleat, cair seperti minyak
B. Komponen tambahan
Bahan tambahan yang ditambahkan pada emulsi untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Misal
corrigen saporis, corigen odoris, corrigen coloris, pengawet, dan antioksidan.

Dalam sistem disperse, cairan yang terdispersi disebut fase dispers atau fase em, sedangkan cairan
dimana terdapat fase dispers disebut medium dispers atau fase ekstem. iua fase tersebut yang berair dapat
terdiri dan air atau campuran sejumlah substansi hidrofil alkohol, glikol, gula, garam mineral, garam
organik dan lain-lain. Fase yang lain adalah fase k pada umumnya berminyak, dapat terdiri dan substansi
lipofil seperti : asam ,alkohol asam lemak, him, zat-zat aktifliposolubel, dan lain-lain.

Tipe emulsi:

Dari hasil yang didapat, emulsi mempunyai tipe:

Tipe o/w.
Tipew/o.
Tipe w/o/w
Tipe o/w/o.

Tipe w/o/w adalah emulsi multiple (ganda) dimana fase air teremulsi didalam fase minyak, sedangkan
mulsi yang terjadi teremulsi lagi didalam air. Demikian pula hal yang sama untuk tipe o/w/o.
Penggunaan emulsi:

Sediaan farmasi maupun kosmetika bentuk emulsi banyak sekali dijumpai baik untuk pemakaian
topikal maupun sistemik, misalnya: Per-oral : Kebanyakan adalah tipe o/w. Bentuk ini mempunyai
banyak keuntungan selain mudah diabsorsi, homogenitas dosis mudah didapat, dll. Per-injeksi : Pada
sediaan ini memerlukan perhatian khusus karena menyangkut preparat steril. Topikal : Dalam sediaan
farmasi topikal maupun kosmetika, tipe emulsi baik olw maupun w/o banyak sekali digunakan tergantung
maksud penggunaannya.

STABILISASI BUTIR-BUTIR TETESAN

Dalam emulsi, butir-butir tetesan (fase dispers) dapat distabilkan dengan cara:

Penurunan tegangan antarmuka.


Terbentuknya lapisan ganda listrik.
Terbentuknya film antarmuka.
1. Penurunan tegangan antarmuka.
Bila dalam suatu tabung reaksi dengan luas penampang 1 cm2 kita masukkan 1 ml air 1
ml minyak, maka kontak antara kedua cairan tersebut (yang disebut antarmuka) adalah 1 cm2 .
Bila kita umpamakan, dengan suatu pengadukan yang intensif/kuat minyak tersebut dapat ispersi
dalam air dalam bentuk tetes-tetes yang berdiameter 1 rim. Dalam keadaan demikian dispers
tersebut akan terdiri dan 1,909 x 109 butir sferis. Maka permukaan total antarmuka minyak
menjadi 6 x i04 cm2.
Penaikan yang sangat tinggi dan luas antarmuka air-minyak tersebut akan menjadi yebab
atau salah satu penyebab sehingga emulsi yang didapat menjadi tidak stabil.
Kalau kita melihat gaya-gaya yang ada antara molekul-molekul dalam suatu cairan, maka
molekul walaupun dia mobile, mempunyai gaya tank antar molekul yang serupa. Gaya ini disebut
gaya kohesi. Gaya ini juga yang menyebabkan satu cairan tetap berada dalam wadahnya, karena
molekul-molekulnya berada dalam keseimbangan.
Keadaan permukaannya berbeda (antara udara-cairan) karena molekulmolekul
dipermukaan tersebut tidak dikelilingi oleh molekul sejenisnya.
Molekul-molekul air saling melakukan gaya tarik-menarik (gaya kohesif) hanya dengan
molekul sejenis saja dan tidak hanya sedikit dengan molekul fase gas. Jadi gaya yang berada
dipermukaan ini tidak seimbang. Hasil dari gaya tersebut (resultante) adalah kearah dalam dan
mempunyai tendensi menarik molekul dipermukaan kedalam cairan, sehingga terjadi kontraksi
permukaan.
Gaya yang harus dipergunakan secara paralel pada permukaan tersebut untuk melawan
dorongan kearah dalam, dinamakan tegangan muka dan cairan ini dinyatakan dalam Newton per
meter (N/rn) atau Dyne/cm (dalam sistem cgs).
Secara fisika, tegangan muka dapat digambarkan sbb:

2. Terbentuknya lapisan ganda listrik.


Partikel-partikel cairan atau padatan dan sistem dispersi pada umumnya pembawa muatan listrik
pada permukaannya. Muatan listrik tersebut dapat berbeda-beda asalnya:
Karena ionisasi pada permukaan dan zat yang terdispersi karena terdapat dalam miliu air.
Adsorpsi pada permukaan ion-ion yang berasal dan miliu (misalnya adsorpsi molekul
SAA ionik)
3. Terbentuknya film antarmuka.
Teori ini menjelaskan adanya lapisan film yang kaku dipermukaan antara fase dispers dan
medium dispers karena adanya bahan tambahan, sehingga secara mekanis akan menghalangi itak
antara partikel. Cara terbentuknya film antarmuka bisa berlainan tergantung dan emulgator yang
dipergunakan.

EMULGATOR
Dalam bidang farmasi, emulgator yang sering dipergunakan sebagai bahan tambahan
digolongkan dalam jenis sbb:
a. Surfaktan/SAA
Surfaktan adalah suatu zat yang mempunyai gugusan hidrofil dan gugusan lipofil sekaligus
dalam molekulnya. Zat ini akan berada dipermukaan cairan atau antarmuka 2 cairan dengan
cara teradsorpsi. Gugus hidrofil akan berada pada bagian air sedangkan gugus lipofil akan
berada pada bagian minyak. Berdasarkan atas muatan yang dihasilkan kalau atiniterhidrolisa
dalam air, maka surfaktan dapat dibagi dalam 4 grup:
Surfaktan anionik : surfaktan golonganiniinkompatibel dengan semua substansi
kationik.
Surfaktan kationik: Surfaktan golonganiniinkompatibel dengan semua substansi
anionik. Surfaktan ini terutama dan garam- garam ammonium kwarterner.
Surfaktan amfoterik: Surfaktan dapat bersifat sebagai anionik ataupun kationik
tergantung dari miliu nya.
Surfaktan nonionik: Surfaktan ini tidak terionkan dalam air dan dapat
berampur/kompatible dengan substansi anionik maupun substansi kationik.
Surfaktan nonionik mempunyai karakteristik yaitu HLB (HydrophileLipophile Balance),
suatu keseimbangan antara gugus hidrofil dan gugus lipofil dalam molekulnya. Dalam nilai
HLB angka 7 adalah harga dimana molekul mempunyai afinitas yang sama terhadap air dan
minyak. Angka dibawah 7 menunjukkan bahwa surfaktan lebih bersifat lipofil, sedangkan
angka diatas 7 menunjukkan bahwa surfaktan lebih bersifat hidrofil. Terbentuknya tipe
emulsi sangat tentukan oleh harga HLB surfaktan yang dipergunakan sebagai emulgatornya.
Span dan Tween diberi nomer yang menunjukkan jenis rantai asam lemak yang meng-ester-
kan sorbitan, misalnya:

20 Asam laurat (C 12)


40 Asam palmitat (C 16)
60 Asarn stearat (C 18)
80 Asam oleat (C 18=)
65 Tri stearate
85 Tri oleat
83 Sesqui oleat (2 inti sorbitan untuk 3 asam lemak)

HYDROPHILE-LYPOPHILE BALANCE (HLB)

HLB adalah suatu karakteristik spesifik yang dipunyai oleh surfaktan nonionik yang
menunjukkan hidrofihisitas dari suatu surfaktan. Makin tinggi harga HLB makin hidrofil
suatu surfaktan dan makin rendah harga HLB makin lipofil suatu surfaktan.

PERHITUNGAN HLB

Ada beberapa peneliti yang membenikan rumus bagaimana cara menghitung harga HLB,
salah satu diantaranya adalah Griffin. Menurut Griffin perhitungan HLB adalah:

KELARUTAN SURFAKTAN DALAM AIR

Tergantung hidrofili dari surfaktan, maka surfaktan mempunyai kelarutan yang berlainan.
Sifat kelarutan atau terdispersinya dalam air dapat juga dipergunakan untuk memperkirakan
harga HLB surfaktan, yaitu bila:
HLB CAMPURAN SURFAKTAN

Jika 2 surfaktan atau lebih dicampurkan maka HLB campuran dapat diperhitungkan sbb:

Misal : Campuran surfaktan terdiri dari:

70 bagian Tween 80 (HLB = 15,0)

30 bagian Span 80 (HLB = 4,3)

HLB campuran kedua surfaktan tersebut adalah:

Selain HLB campuran surfktan dapat dihitung, surfaktan dapat saling diganti dan nilai 13
nya merupakan aditif artinya berapapun nilai HLB dan jenisnya HLB campuran merupakan
jumlah dari masing-masing nilai HLB nya.

PERBANDINGAN SURFAKTAN PADA SUATU HLB

Kadang - kadang dalam menggunakan campuran surfaktan kita tidak selalu harus
menghitung HLB dari surfaktan-surfaktan yang telah diketahui perbandingannya, tetapi kita
harus menggunakan campuran surfaktan pada suatu nilai HLB tertentu.

Untuk itu kita harus menghitung berapa perbandingan surfaktan yang harus dipergunakan.
Contoh : Kita akan membuat emulsi pada HLB 12,0 dengan menggunakan surfaktan
campuran Tween-80 dan Span-80. Maka rumus yang kita pergunakan untuk menghitung
perbandingan tersebut adalah:

HLB optimum untuk campuran fase minyak.

Misal akan dibuat emulsi tipe o/w dan fase minyak yang terdiri dari campuran: 30 % esense
mineral, 50 % cotton oil, 20 % kior parafin yang diemulsikan dalam air. HLB optimum
campuran adalah:

Untuk itu dibuat emulsi pada range HLB 8-10. Tentunya hasil akan didapat bahwa emulsi
ing baik pada HLB 8,8 seperti pada perhitungan tersebut, baik itu dengan mempergunakan
surfaktan tunggal atau campuran.

Penentuan harga HLB Optimum emulsi o/w HLB optimum emulsi o/w ditentukan
dengan mengemulsikan fase minyak sebanyak 20% kurang, kemudian dipergunakan
emulgator surfaktan sebanyak 2,5% - 5% sedemikian rupa sehingga diperoleh harga range
HLB antara 4-18 dengan interval 2.
Minyak yang emulsikan bila pada cair dapat dicampurkan dengan emulgator pada suhu
kamar sedangkan minyak yang pa padat dicampurkan pada suhu 10C diatas titik lebur . Air
ditambahkan dengan pengadukan, pada suhu kamar untuk fase minyak yang cair atau 15C
lebih tinggi dari suhu fase minyaknya. Setelah didapat emulsi, dibuat lagi seperti diatas
dengan interval HLB yang lebih.

Tanda-tanda emulsi pada HLB optimum adalah:

Emulsi paling stabil.


Viskositasnya paling rendah.
Diameter rata-rata partikel paling kecil.
Ada reflek biru pada dinding botol, atau reflek kemerahan bila disinarkan pada
matahari.
b. HIDROKOLOID.
Emulgator hidrokoloid dapat menstabilkan emulsi dengan cara membentuk lapisan yang
rigiclikaku, bersifat viskoelastik pada permukaan minyak-air. Zat ini bersifat larut dalam air
(menjadi koloid dengan adanya air), dan akan membentuk emulsi tipe o/w. Prinsip
mekanisme penstabilan emulsi tersebut adalah:
Pembentukan lapisan kaku-viskoelastik pada permukaan minyak-air.
Penaikan viskositas miliu.
Pembentukan agregat dengan cara adsorpsi makromolekul yang sama pada
permukaan partikel dengan hubungan jembatan hidrokarbon.
Karena sifat tersebut, dapat terjadi misalnya emulsi parafin cair dengan emulgator PGA
akan terflokulasi tergantung jumlah PGA yang dipergunakan. Yang termasuk emulgator
hidrokoloid:
i. Gom : Gom arab; tragacanth.
ii. Ganggang laut : Agar-agar; alginat; caragen.
iii. Biji-bijian: Guar gum.
iv. Selulosa: Karboksimetilselulosa (CMC); metilselulosa (MC).
v. Collagen : Gelatin.
vi. Lain-lain : polimer sintetik,; protein; dll.
c. ZAT PADAT YANG TERDISPERSI
Supaya zat ini dapat berfungsi sebagai emulgator maka padatan ini harus mempunyai
partikel yang jauh lebih kecil daripada ukuran partikel fase dispers dan mempunyai sifat
basahan pada permukaan 2 cairan.
Dalam sistem terner air-minyak-padatan maka bila:
Jika YPM> YAM + YPA ---> padatan tersuspensi dalam fase air.
Jika YPA> YPA + YPM ---> Padatan tersuspensi dalam fase minyak.
Jika YAM > YPA + YPM atau salah satu tidak lebih besar dari jumlah 2 lainnya
---> padatan terkonsentrasi di permukaan air-minyak

Makin halus padatan, semakin naik sifat sebagai emulgator. Dari sini dapat dijelaskan
mengapa oksida-oksida atau hidroksida yang dibuat baru (recenter paratus) dan hidrat
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan bentuk keringnya.
PEMBUATAN EMULSI.

Cara pencampuran

1) Bila menggunakan surfaktan.


Surfaktan yang larut dalam minyak ----> larutkan dalam minyak.
Surfaktan yang larut dalam air ----> dilarutkan dalam air. Kemudian fase minyak
ditambahkan fase air. Cara ini digunakan bila diinginkan terbentuknya sabun hasil
reaksi, sebagai emulgator.
Fase minyak ditambah surfaktan (misalnya Tween dan Span)
Dipanaskan kurang lebih 60-70 C kemudian fase air ditambah kan porsi per porsi
sambil diaduk hingga terbentuk emulsi, kemudian didinginkan sampai temperatur
kamar sambil dilakukan pengadukan. Temperatur dinaikkan supaya viskositas masa
turun, sehingga mempermudah Radukan. Dengan demikian akan mempermudah
terjadinya emulsifikasi. Cara ini biasa dilakukan untuk pembuatan emulsi tipe o/w.
2) Bila menggunakan hidrokoloid atau padatan yang terdispersi.
Metode Anglosaxon
Dibuat musilago antara emulgator dengan sebagian air, kemudian minyak dan air
ditambahkan kit demi sedikit secara bergantian sambil diaduk.
Metoda continental (4-2-1)
Minyak 4 bagian ditambah gom 1 bagian dihomogenkan dalarn mortir kering,
kemudian bahkan 2 bagian air, diaduk hingga terjadi korpus emusi, kemudian
ditambahkan sisa air sedikit-sedikit sampai habis sambil diaduk.

Pengawetan emulsi.

Emulsi seperti juga suspensi karena sifat bahan yang digunakan sering mudah ditumbuhi
mikroba. Cara yang paling baik adalah dengan menggunakan bahan yang sedikit terkontaminasi
mikroba atau dengan menambahkan preservative/pengawet.

Pengawet sebaiknya mempunyai sifat : toksisitas rendah, stabil (dalam panas dan nanan,
dapat campur dengan bahan lain, efektif sebagai antimikroba. Selain karena mikroba, emulsi
dapat juga rusak karena oksidasi, maka pengawet emulsi pula berupa antioksidan.

Alat untuk membuat emulsi

Semua alat pembuat emulsi mempunyai karakteristik sebagai berikut :

Memperkecil ukuran partikel dan sekaligus menghomogenkan campuran.


Hanya memperkecil ukuran partikel saja.

Dalam pelaksanaannya efektifitas memperkecil ukuran partikel atau efektifitas


penghomogenannya bisa berlainan tergantung jenis alat yang dipergunakan.

I. Pengaduk (mixer)
Jenis pengaduk ini bermacam ragamnya tergantung dan banyak volume cairan,
kekentalan, dsb. Alat ini mempunyai sifat menghomogenkan dan sekaligus memperkecil
ukuran partikel walaupun efek menghomogenkan cairan lebih dominan.
Selain spesifikasi untuk tiap alatnya, harus dijaga sekali agar tidak terlalu banyak
udara yang ikut terdispersi kedalarn cairan dan menjadi buih. Karena semua yang
terdispersi akan mengkonsumsi/mempergunakan sebagian surfaktan sehingga terjadi
gelembung atau busa. Adanya busa ini terutama akan mengganggu pembacaan volume
bila dilakukan pemasukan kedalam wadah.
Pengecilan ukuran partikel terjadi karena benturan antara partikel dengan partikel
yang lain serta antara partikel dengan dinding serta dengan pengaduknya. Untuk
menghindari ini bisa dilakukan antara lain:
Dengan memasang 4 buffle dengan posisi 900 masing-masing mempunyai lebar
1/12 diameter tempat pencampuran.
Dengan memasang sudip yang ditaruh didinding (untuk volume kecil).
Pengaduk ditempatkan ketepi atau dimiringkan.
II. Homogenizer.
Alat ini mempunyai karakteristik memperkecil ukuran partikel yang sangat
efektif namun tidak menghomogenkan campuran. Pengecilan partikel terjadi karena cara
kerja alat ini yaitu dengan menekan cairan, dipaksa melalui suatu celah yang sempit yang
kemudian dibenturkan ke suatu dinding atau ditumbukkan pada tipeniti metal yang ada
dalam celah tersebut. Cara ini sangat efektif sehingga bisa didapatkan diameter partikel
rata-rata < 1 um.
III. Colloid mill
Prinsip kerja alat ini adalah dengan menggilas partikel sehingga didapatkan ukuran
yang kecil. Kalau dan prinsip kerja tersebut alat ini tidak efektif untuk menghomogenkan
cairan, dalam prakteknya bagian rotor alat ini dilengkapi dengan sejenis baling-baling
sehingga menghasilkan efektifitas pengadukan cairannya.
IV. Ultra Turrax.
Prinsip kerja alat ini adalah dengan cara memberikan gelombang ultrasonik
melalui dengan frekwensi 20-50 kilocycles/ detik. Dengan adanya gelombang tersebut
akan mengakibatkan partikel pecah menjadi ukuran yang lebih kecil. Alat ini cocok untuk
pembuatan emulsi yang cair atau dengan viskositas menengah.

KETIDAK STABILAN EMULSI.

Ketidak stabilan emulsi yang dimaksud adalah suatu peristiwa perubahan fisik dan emulsi
yang terjadi sewaktu pembuatan atau setelah penyimpanan. Karena perubahan fisik tersebut,
dikatakan emulsi tidak stabil. Peristiwa tersebut adalah:

I. Emulsi pecah/breaking.
Pecahnya emulsi ini karena terjadi penurunan luas antarmuka antara fase
dispers dan medium dispers yang relatif sangat cepat sampai suatu luas
antarmuka yang minimal, sehingga kelihatan terjadi 2 fase yang memisah total
(peristiwa koalesensi). Penurunan luas antarmuka ini sebagai upaya menurunkan
energi bebas permukaan karena tegangan antarmuka yang sangat tinggi.
Peristiwa ini kebanyakan bersifat irreversible.
II. Creaming.
Adalah suatu peristiwa dimana emulsi terbagi menjadi 2 bagian, yang
satu lebih banyak mengandung fase intern sedang yang lain mengandung lebih
banyak fase ekstem. Keadaan ini masih bersifat reversible. Peristiwa creaming ini
merupakan peristiwa flokulasi, yang bilamana proses berlanjut dapat terjadi
peristiwa koalesensi (jecahnya emulsi). Perbedaan peristiwa ini dapat
digambarkan sbb: Flokulasi : o o ---> oo Koalesensi : o o ---> oo ---> 0
III. Inversi.
Adalah peristiwa dimana terjadi pembalikan tipe emulsi, yang semula
o/w menjadi w/o atau sebaliknya. Penyebab peristiwainidapat bermacam-macam
misalnya : suhu, komposisi bahan penyusun emulsi. Pada umumnya peristiwa ini
hanya terjadi pada emulsi yang menggunakan surfaktan sebagai emulgatomya,
dan pada suatu harga HLB yang dekat dengan perubahan sifat hidrofil dan lipofil.
Pada emulsi dengan emulgator hidrokoloid peristiwa ini hampir tidak pemah
terjadi karena hidrokoloid lebih bersifat hidrofil.

KONTROL EMULSI

Kontrol emulsi dimaksudkan untuk mengetahui sifat fisika dari emulsi dan dipergunakan
untuk mengevaluasi kestabilan emulsi Dalam bidang produksi keseragaman sifat fisika
tersebut terutama dan batch satu ke batch yang lain sangat penting. Pemakai tidak selalu
mempergunakan sediaan dengan nomer batch yang sama apalagi untuk konsumen yang rutin
mempergunakannya. Kontrol emulsi ada beberapa cara:

a. Determinasi tipe emulsi.


Metoda pengenceran : dalam tabung reaksi yang benisi air ditambahkan
beberapa tetes emulsi. Bila terjadi campuran homogen atau emulsi
terencerkan oleh air maka emulsi bertipe o/w dan sebaliknya.
Metoda pewarnaan : emulsi tipe o/w akan terwarnai oleh zat wama yang
larut dalam air. Demikian sebaliknya untuk emulsi yang bertipe w/o
dapat diwarnai oleh zat wama yang larut dalam minyak.
Konduktibilitas elektnik : pada umumnya air merupakan konduktor yang
lebih baik dibanding minyak. Bila emulsi dapat menghantar aliran listrik
maka emulsi tersebut bertipe o/w. Sebaliknya bila tidak menghantar
listrik bertipe w/o. Jika suatu emulsi distabilkan dengan surfaktan
nonionik kemungkinan konduktabilitasnya lemah sekali. Untuk
mendeteksi dapat ditambahkan NaCl.
b. Distribusi granulometrik.
Dengan mengetahui distribusi granulometrik dan partikel fase dispers
dan diameter rata-rata nya, makainibisa untuk mengevaluasi kestabilan emulsi vs
waktu. Bila terjadi peristiwa koalesensi, diameter rata-rata partikel akan berubah
menjadi lebih besar. Pada umumnya sediaan emulsi berupa sediaan yang
mempunyai konsentrasi yang tinggi, haliniakan menyulitkan penghitungan
distribusi granulometriknya. Untuk mengatasi hal ini dilakukan pengenceran
sediaan tsb.
Ada beberapa cara untuk menetapkan distribusi granulometrik partikel
pada emulsi:
Mikroskopik: Dengan menggunakan mikrometer baik secara visual
dengan mata atau dengan bantuan computer.
Optik: dengan alat difraksi sinar
Elektronik: dengan Coulter Counter, namun ini sulit dilaksanakan
untuk emulsi tipe w/o
Sentrifugasi : carainiberdasarkan rumus Stokes, dengan menghitung
perbedaan bobot jenis tiap fraksi emulsi. Dengan cara ini dapat
diketahui distribusi ukuran partikel nya.
c. Determinasi sifat rheologi.
Kontrol sifat rheologi emulsi termasuk penting, karena perubahan
konsistensi dapat disebabkan karena proses : fabrikasi atau penyimpanan,
sehingga dapat mempengaruhi pamakaiannya. Misal : mudah tidaknya
penggunaan pada parenteral, ketepatan pengambilan dosis, kemudahan dan
regularitas pengisian, kemudahannya dalam penggunaan pada kulit untuk produk
kosmetika. Dalam hal stabilitas fisika, perubahan viskositas akan mempengaruhi
pengendapan ataupun terjadinya creaming. Tidak hanya viskositasnya saja
namun setiap perubahan sifat rheologi akan mempengaruhi kestabilan emulsi.
Banyak faktor yang mempengaruhi sifat alir dan emulsi antara lain :
Fase intern: fraksi volume, interaksi partikel : flokulasi, koalesensi,
ukuran partikel, viskositas fase intern, jenis kimia.
Fase ekstern: Viskositas yang tergantung pula pada susunan kimia,
adanya pengental, elektrolit, dan pH.
Emulgator.
Jenis kimia.
Konsentrasi.
Ketebalan dan sifat rheologi dan film antarmuka kedua fase.
d. Test penyimpanan yang dipercepat.
Test ini dimaksudkan untuk memperpendek waktu pengamatan suatu
sediaan emulsi. Dalam prakteknya agar diperoleh gambaran yang Iebih
mendekati keadaan yang sesungguhnya perlu dicari korelasi antara kondisi
pengamatan yang dipercepat dengan pengamatan sesungguhnya dalam kondisi
normal.
Ada beberapa cara test pada penyimpanan yang dipercepat:
Temperatur 40 600C : dengan penyimpanan pada suhu yang relatif
lebih tinggi, maka viskositasnya akan menurun tergantung sifat
emulsi tersebut. Penurunan viskositas akan mempengaruhi kestabilan
fisika emulsi.
Sentrifugasi dengan pengusingan pada kecepatan tertentu berarti
akan menaikkan harga g (gravitasi) pada rumus Stokes. Dengan
demikian terjadi pemisahan partikel yang lebih cepat pula.
Shock termik emulsi disimpan pada temperatur tinggi dan rendah
secara bergantian pada waktu tertentu. Misal pada suhu 60C selama
1 hari kemudian dilanjutkan pada suhu 4C selama sehari ini
diulangi sampai masing-masing 4 kali, kemudian didiamkan pada
temperatur kamar untuk kemudian dilakukan pembacaan hasil.

Cara Membedakan Tipe Emulsi

Dikenal beberapa cara membedakan tipe emulsi yaitu:

a. Dengan pengenceran fase.


Setiap emulsi dapat diencerkan pada fase eksternalnya. Dengan prinsip tersebut, emulsi tipe o/w
dapat diencerkan dengan air sedangkan emulsi tipe w/o dapat diencerkan dengan minyak.
b. Dengan pengecatan/pemberian warna.
Zat warna akan tersebar rata dalam emulsi apabila zat tersebut larut dalam fase external dari
emulsi tersebut. Misalnya
Emulsi + larutan Sudan III dapat memberi warna merah pada emulsi tipe w/o, karena
sudan III larut dalam minyak
Emulsi + larutan metilen blue dapat memberi warna biru pada emulsi tipe o/w karena
metilen blue larut dalam air
c. Dengan kertas saring.
Bila emulsi diteteskan pad akertas saring, kertas saring menjadi basah maka tipe emulsi o/w, bila
timbul noda minyak pada kertas berarti emulsi tipe w/o.
d. Dengan konduktivitas listrik.
Alat yang dipakai adalah kawat dan stopkontak, kawat dengan tahanan 10 K watt, lamp neon
watt, dihubungkan secara seri. Elektroda dicelupkan dalam cairan emulsi. Lampu neon akan
menyala bila elektroda dicelupkan dalam cairan emulsi tipe o/w, akan mati jika dicelupkan pada
emulsi tipe w/o.

Beberapa keuntungan sediaan emulsi antara lain :

a. Dapat membentuk sediaan yang saling tidak bercampur menjadi dapat bersatu membentuk
sediaan yang homogen dan stabil.
b. Sebagai alternatif bagi pasien yang tidak bisa minum tablet.
c. Dapat menutupi rasa tidak enak obat daam bentuk cair, contoh minyak ikan.

Beberapa kerugian sediaan emulsi antara lain :

a. Sediaan emulsi kurang praktis daripada sediaan lainnya.


b. Sediaan emulsi mempunyai stabilitas yang rendah daripada sediaan tablet karena cairan
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
c. Takaran dosisnya menjadi kurang teliti.

Evaluasi Sediaan Emulsi

Organoleptis : Meliputi pewarnaan, bau, rasa dan dari seeiaan emulsi pada penyimpanan pada
suhu endah 5oC dan tinggi 35oC pada penyimpanan masing-masing 12 jam.
Volume Terpindahkan (FI IV. Halaman 1089)
Untuk penetapan volume terpindahkan, pilih tidak kurang dari 30 wadah, dan selanjutnya ikuti
prosedur berikut untuk bentuk sediaan tersebut. Kocok isi dari 10 wadah satu persatu.
Prosedur:
Tuang isi perlahan-lahan dari tiap wadah ke dalam gelas ukur kering terpisah dengan kapasitas
gelas ukur tidak lebih dari dua setengah kali volume yang diukur dan telah dikalibrasi, secara
hati-hati untuk menghindarkan pembentukkan gelembung udaa pada waktu penuangan dan
diamkan selama tidak lebih dari 30 menit.
Jika telah bebas dari gelembung udara, ukur volume dari tiap campuran: volume rata-rata larutan
yang diperoleh dari 10 wadah tidak kurang dari 100 %, dan tidak satupun volume wadah yang
kurang dari 95 % dari volume yang dinyatakan pada etiket. Jika A adalah volume rata-rata kurang
dari 100 % dari yang tertera pada etiket akan tetapi tidak ada satu wadahpun volumenya kurang
dari 95 % dari volume yang tertera pada etiket, atau B tidak lebih dari satu wadah volume kurang
dari 95 %, tetapi tidak kurang dari 90 % dari volume yang tertera pada etiket, lakukan pengujian
terdadap 20 wadah tambahan. Volume rata-rata larutan yang diperoleh dari 30 wadah tidak
kurang dari 100 % dari volume yang tertera pada etiket, dan tidak lebih dari satu dari 30 wadah
volume kurang dari 95 %, tetapi tidak kurang dari 90 % seperti yang tertera pada etiket.
Penentuan viskositaas : Dilakukan terhadap emulsi, pengukuran viskositas dilakukan dengna
viskometer brookfield pada 50 putaran permenit (Rpm).
Daya hantar listrik : Emulsi yang sudah dibuat dimasukkan dalam gelas piala kemudian
dihubungkan dengan rangkaian arus listrik. Jika mampu menyala maka emulsi tipe minyak dalam
air. Jika sistem tidak menghantarkan listrik maka emulsi tipe air dalam minyak.
Metode pengenceran : Emulsi yang sudah dibuat dimasukkan dalam gelas piala kemudian
diencerkan dengan air. JIka dapat diencerkan maka emulsi tipe minyak dalam air dan sebaliknya.
Metode percobaan cincin: Jika satu tetes emulsi yang diuji diteteskan pada kertas saring maka
emulsi minyak dalam air dalam waktu singkat membentuk cincin air disekeliling tetesan.
Metode warna : Beberapa tetes larutan bahan pewarna lain ( metilen ) dicampurkan ke dalam
contoh emulsi. Jika selurih emulsi berwarna seragam maka emulsi yang diuji berjenis minyak
dalam air, oleh karena air adalah fase luar. Sampel yang diuji bahan warna larut sudan III dalam
minyak pewarna homogen pada sampel berarti sampel tipe air dalam minyak karena pewarna
pelarut lipoid mampu mewarnai fase luar.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Emulsi merupakan jenis koloid dengan fase terdispersinnya berupa fase cair dengan medium
pendispersinya bisa berupa zat padat, cair, ataupun gas. Emulsi merupakan sediaan yang mengandung dua
zat yang tidak dapat bercampur, biasanya terdiri dari minyak dan air, dimana cairan yang satu terdispersi
menjadi butir-butir kecil dalam cairan yang lain.

Dalam emulsi, butir-butir tetesan (fase dispers) dapat distabilkan dengan cara, penurunan
tegangan antarmuka, terbentuknya lapisan ganda listrik, terbentuknya film antarmuka.

Dengan mengetahui sistem emulsi maka kita akan mengetahui sifat sifat emulsi, stabil atau
tidak stabilnya suatu emulsi serta faktor apa yang membuat emulsi tidak stabil sehingga kita akan dapat
menentukan zat pengemulsi untuk dapat menstabilkannya. Sebagai contoh detergen yang digunakan
untuk mencuci disini detergen berfungsi sebagai emulgator yang dapat menstabilkan emulsi air dan
minyak sehingga minyak dapat mudah lepas dari pakaian. Selain itu dalam bidang industri contohnya
pembuatan saus salad, saus salad dari asam cuka dan minyak yang awalnya stabil saat pengocokan namun
setelah pengocokan dihentikan kedua fase akan terpisah lagi sehingga dibutuhkan kuning telur sebagai
emulgator.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ansel, Howard C, 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi 4. Jakarta : UI-Press
2. Anief, Moh. 2007. Farmasetika. Gajah Mada University Press:Yogyakarta
3. Dirjen POM, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : DEPKES RI
4. Departemen Farmakologi dan Teraupetik, 2009. Farmakologi Dan Terapi Edisi V. Jakarta :
Balai penerbit FKUI
5. Lachman, Leon dkk, 2008. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta : UI-Press
6. Kibbe arthur, 1986. Hand Book Of Pharmaceutical Excipient. London : United Kingdom
7. Sean C, Sweetman, 2009. Martindale The Complete Drug Reference. London : United Kingdom
8. Wartel, Lund, 1994. Codex The Pharmacuetical. London : Press

Anda mungkin juga menyukai