PENDAHULUAN
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
2. Epidemiologi
2
daripada pria dengan rasio 2:3. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras
Kaukasia.
Suatu studi di Jerman barat melaporkan insiden SSJ dan NET 0,93 dan 1,1
kasus perjuta populasi pertahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada semua ras. Studi
epidemiologi menunjukkan bahwa wanita lebih banyak dari pria, dengan rasio pria
dibanding wanita berkisar antara 0,5:0,7 (Mockenhaupt,1998; Klein, 2006).
Di Indonesia jarang terjadi, hanya sekitar 1-6 per juta orang. Dengan kata lain,
rata-rata jumlah kasus sindrom ini hanya sekitar 0,03%. Penelitian menunjukkan
bahwa SSJ adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang yang mengkonsumsi
antibiotik penisilin yang terkena SSJ.
3. Etiologi
Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3)
keganasan, dan (4) idiopatik.
Obat dan keganasan yang paling sering terlibat sebagai etiologi pada orang
dewasa dan orang tua.
Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi daripada keganasan atau
reaksi terhadap suatu obat.
Oxicam NSAID dan sulfonamides yang paling sering terlibat di negara-negara
barat. Di Asia Tenggara, allopurinol adalah yang paling sering.
Obat seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin telah ditentukan sebelumnya,
ditemukan lebih dari dua pertiga dari semua pasien dengan sindrom Stevens-
Johnson (SSJ). Antikonvulsi karbamazepin, asam valproat, lamotrigin, dan
barbiturat juga telah terlibat. Mockenhapupt et al menekankan bahwa
antikonvulsi-induced SSJ terjadi pada 60 hari pertama penggunaan. Hallgren et
al melaporkan ciprofloxacin dapat menginduksi sindrom Stevens Johnson pada
pasien muda di Swedia. Metry et al melaporkan sindrom Stevens Johnson
3
terjadi pada 2 pasien HIV yang diobati dengan nevirapine. Para penulis
berspekulasi bahwa masalah ini dapat juga disebabkan oleh non nukleosida
reverse transcriptase inhibitor yaitu indinavir.
Infeksi virus yang telah dilaporkan menyebabkan SSJ adalah herpes simplex
virus (HSV), AIDS, infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis, gondok,
venereum lymphogranuloma (LGV), infeksi rickettsia, dan variola.
Penyebab bakteri adalah grup A beta streptokokus, difteri, brucellosis,
mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularemia, dan tifus. Sebuah kasus
baru-baru ini dilaporkan SSJ timbul setelah infeksi Mycoplasma pneumoniae.
Coccidioidomycosis, dermatofitosis, dan histoplasmosis adalah kemungkinan
yang disebabkan oleh jamur.
Malaria dan trikomoniasis telah dilaporkan sebagai penyebab protozoa.
Pada anak-anak, Epstein-Barr virus dan enterovirus telah diidentifikasi.
Berbagai karsinoma dan limfoma telah dikaitkan.
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah idiopatik pada 25-50% kasus.
4
Sumber:http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=54
&seg_id=1021
4. Patogenesis
Patogenesisnya masih belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
alergi tipe III dan IV. Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks
antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim
dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi alergi
tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi oleh suatu antigen, berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat
dalam jaringan tubuh. Akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam
jaringan atau pembuluh darah maka kompleks tersebut mengaktifkan
komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator terutama macrophage
chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan
merusak jaringan di sekitarnya dan mengakibatkan reaksi radang.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi
dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48
jam setelah terpajan antigen. Dalam hal ini tidak ada peran antibodi. Akibat
sensitisasi tersebut sel Th1 melepaskan limfokin antara lain MIF, MAF.
Makrofag yang diaktifkan melepas berbagai mediator (sitokin, enzim, dsb)
sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
5
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang
diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat,
infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang
mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak
terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin
dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa
menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari
temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi
allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 frekuensi fenotif di Eropa umumnya
3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B
berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
5. Gejala klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum
begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang
berat kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit
akut dapat disertai gejala prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam tinggi,
malese, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit menelan, nyeri dada,
muntah, pegal otot, dan atralgia yang sangat bervariasi.
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput
lendir di orifisium, dan kelainan mata.
a. Kelainan kulit
Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae,
dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi
memiliki gambaran yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan
erythema multiforme, lesi ini hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa
vesikel, purpura, atau nekrotik, dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut
6
lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi bulosa dan kemudian pecah menyebabkan
erosi yang luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang
ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kulit lepuh sangat longgar dan
mudah lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10% dari
permukaan tubuh yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis epidermis toksik,
30% atau lebih dari permukaan tubuh yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena
akan terasa sakit. Pada beberapa orang, rambut dan kuku rontok.
7
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3
8
Gambar 2 Gambar 2 Gambar 3
c. Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen,
blefarokonjungtivitis, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis,
kelopak mata edema, penuh dengan nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa
sakit. Pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan
kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa
okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan
sampai 31 tahun.
9
Gambar 3 Gambar 2
Keterangan : eritema-erosi (gb.1) dan konjungtivitis (gb.2)
Sumber : 1. http://en.wikipedia.org/wiki/Stevens%E2%80%93Johnson_syndrome
2. http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm
6. Diagnosa
10
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
Nekrosis sel epidermal di adneksa
Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
7. Diagnosis banding
11
Pasien Anak-anak, bayi < 5 Dewasa Dewasa, anak > 3 tahun
tahun
Gejala klinis Eritem muka, Akut Gejala prodormal
leher, inguinal, Gejala prodormal Trias :
axila (24 jam) KU buruk Kulit: eritem, vesikel,
generalis (24-48 Eritem generalisata, bula dan purpura,
jam) bula vesikel, bula, Mukosa:orifisium
dinding kendur. purpura mulut, faring, traktus
Epidermolisis Kulit, mukosa bibir- respiratorius,
Nikolsky sign + mulut, orifisium esophagus
Mukosa jarang genital (pseudomembran)
PA : celah pada Epidermolisis + Mata
sratum Nikolsky sign + Epidermolisis
granulosum PA : celah pada Nikolsky sign
subepidermal PA : kelainan dermis
sedikit sampai
nekrolisis epidermal
Komplikasi Selulitis, Akut Tubular Nekrosis Bronkopneumonia
pneumonia,
septikemia
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Edisi 5, 2007.
12
telapak kaki, punggung tangan, dan permukaan ekstensor ekstremitas dan
wajah. Pada keadaan berat mengenai seluruh tubuh.
Gejala prodromal terjadi pada 50% kasus, biasanya 1-14 hari sebelum
lesi kulit berkembang. Gejala berupa demam, malaise, mialgia, arthralgia, sakit
kepala, sakit tenggorokan, batuk, mual, muntah, dan diare. Timbul sensasi
terbakar di daerah yang terkena.
Lesi berupa eritem, meluas menjadi makula atau papula berevolusi
menjadi lesi yang khas bentuk iris (target lesion), terdiri 3 bagian yaitu bagian
tengah berupa vesikel atau eritema keunguan dikelilingi lingkaran konsentris
yang pucat kemudian lingkaran yang merah. Vesikulobulosa berkembang
dalam makula yang sudah ada sebelumnya, papula, atau bercak. Keterlibatan
mata terjadi pada 10% kasus EM, konjungtivitis purulen kebanyakan bilateral
dengan lakrimasi yang meningkat. Membran mukosa terjadi pada sekitar 25%
dari kasus EM, biasanya ringan, dan biasanya melibatkan rongga mulut.
Sumber:
http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg_id
=1021
13
8. Komplikasi
9. Pengobatan
14
Segera menghentikan penggunaan obat penyebab yang dicurigai.
Kortikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,
kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid
sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek
samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid
menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antibiotika yang diberikan
jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak
bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena,
diberikan 2 kali/hari. Selain itu obat lain juga dapat digunakan misalnya
siprofloksasin 2 x 400 mg iv dan seftriakson 2 g iv sehari.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis,
untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk
cetirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari, > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Pada SSJ yang berat diiberikan terapi cairan dan elektrolit, serta diet tinggi
kalori dan protein secara parenteral. Dapat diberikan infus, misalnya dekstrose
5%, Nacl 9%, dan Ringer laktat berbanding 1:1:1 dalam satu labu, setiap 8 jam.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin perak.
Pada kasus purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau
1000 mg iv sehari.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase, betadine gargle, dan untuk bibir yang
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya
krim urea 10%.
15
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam
fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan
terjadinya kekeringan pada bola mata.
Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah
terjadinya perlekatan konjungtiva.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dengan dosis 0,2-0,75 g / kg berat badan per
hari selama empat hari berturut-turut. Pemberian IVIG akan menghambat
reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.
Transfusi darah 300 cc selama 2 hari jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari.
Efek transfusi darah (whole blood) ialah imunorestorasi. Bila terdapat
leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah pemberian transfusi leukosit
cepat menjadi normal. Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan
leukosit, jadi meningkatkan daya tahan tubuh.
Indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET ialah :
- Bila telah diobati dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan.
- Bila terdapat purpura generalisata
- Jika terdapat leukopenia
Setelah sembuh dari SSJ tidak boleh menggunakan kembali agen atau senyawa
yang penyebab. Obat dari kelas farmakologis yang sama dapat digunakan asalkan obat
tersebut secara struktural berbeda dengan obat penyebabnya. Karena faktor genetik
diduga berperan dalam kerusakan kulit dan timbulnya lepuh akibat obat, sehingga obat
yang dicurigai tidak boleh digunakan dalam darah pasien. Tidak ada statistik khusus
tentang risiko penggunaan ulang obat yang salah atau kemungkinan desensitisasi pada
pasien dengan SSJ.
10. Prognosis
16
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi
mengancam nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan
tepat, maka prognosis cukup memuaskan.
Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi
sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada
keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat menyebabkan
kematian. Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti kegagalan pernafasan, gagal
ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis. Sampai dengan 15% dari semua pasien
dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ) meninggal akibat kondisi ini. Bakteremia dan
sepsis meningkatkan resiko kematian.
Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variable yang digunakan untuk
meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN.
Skor SCORTEN
Faktor prognosis Skor mortalitas
Umur > 40 tahun SCORTEN 0-1 > 3.2%
Keganasan SCORTEN 2 > 12.1%
Denyut jantung > 120 x/menit SCORTEN 3 > 35,3%
Persentase detasemen epidermis > SCORTEN 4 > 58.3%
10% SCORTEN 5 atau lebih > 90%
BUN level >10 mmol/L
Kadar glukosa serum > 14 mmol /
L
Kadar bikarbonat < 20 mmol / L
17
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. Kelima. Jakarta. Balai
2. Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta. EGC. Hal 141-
142.
Departement of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: April 11, 2017.
2017.
20