Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Stevens-Johnson merupakan kelainan pada kulit yang serius, di mana


kulit dan selaput lendir bereaksi keras terhadap obat atau infeksi. Seringkali, Stevens-
Johnson sindrom diawali dengan gejala mirip flu, diikuti dengan ruam merah atau
keunguan yang menyakitkan yang menyebar dan lecet, akhirnya menyebabkan lapisan
atas kulit mati.
Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa
hal yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus] Mekanisme
terjadinya sindrom pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya.
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi medis darurat yang biasanya
membutuhkan perawatan di rumah sakit. Perawatan berfokus pada menghilangkan
penyebab yang mendasari, mengontrol gejala dan mengurangi komplikasi.
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui manifestasi SJS dan
tatalaksananya.

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi


mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/
bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium serta mata
disertai gejala umum bervariasi dari ringan sampai berat.
Menurut Websters New World Medical Dictionary, SSJ didefinisikan sebagai
reaksi alergi sistemik (sistemik = menyerang keseluruhan tubuh) dengan karakteristik
berupa rash atau kemerahan yang mengenai kulit dan selaput lendir, termasuk selaput
lendir mulut. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi) terhadap obat
atau virus tertentu.
Nama ini berasal dari Dr. Albert Mason Stevens dan Dr. Frank Chambliss
Johnson, dokter anak di Amerika pada tahun 1922 bersama-sama mempublikasikan
kumpulan gejala ini dalam American Journal Penyakit Anak.
Sinonimnya antara lain: sindrom de Friessinger- Rendu, eritema poliform
bulosa, sindrom mukokutaneo-okular, dermatostomatitis, eritema eksudativum
multiform mayor, eritema multiformis tipe Herba, dan ektodermosis erosiva
pluriorifisialis.

2. Epidemiologi

Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi yang jarang terjadi, di Amerika


Serikat, terdapat 300 kejadian melaporkan sekitar 2,6 menjadi 6,1 kasus per juta orang
per tahun. Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak.
Sebagian besar terjadi pada dekade ke 2 dan ke 4 kehidupan, namun kasus ini telah
dilaporkan terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan. Perempuan lebih sering terkena

2
daripada pria dengan rasio 2:3. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras
Kaukasia.
Suatu studi di Jerman barat melaporkan insiden SSJ dan NET 0,93 dan 1,1
kasus perjuta populasi pertahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada semua ras. Studi
epidemiologi menunjukkan bahwa wanita lebih banyak dari pria, dengan rasio pria
dibanding wanita berkisar antara 0,5:0,7 (Mockenhaupt,1998; Klein, 2006).
Di Indonesia jarang terjadi, hanya sekitar 1-6 per juta orang. Dengan kata lain,
rata-rata jumlah kasus sindrom ini hanya sekitar 0,03%. Penelitian menunjukkan
bahwa SSJ adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang yang mengkonsumsi
antibiotik penisilin yang terkena SSJ.

3. Etiologi
Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3)
keganasan, dan (4) idiopatik.

Obat dan keganasan yang paling sering terlibat sebagai etiologi pada orang
dewasa dan orang tua.
Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi daripada keganasan atau
reaksi terhadap suatu obat.
Oxicam NSAID dan sulfonamides yang paling sering terlibat di negara-negara
barat. Di Asia Tenggara, allopurinol adalah yang paling sering.
Obat seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin telah ditentukan sebelumnya,
ditemukan lebih dari dua pertiga dari semua pasien dengan sindrom Stevens-
Johnson (SSJ). Antikonvulsi karbamazepin, asam valproat, lamotrigin, dan
barbiturat juga telah terlibat. Mockenhapupt et al menekankan bahwa
antikonvulsi-induced SSJ terjadi pada 60 hari pertama penggunaan. Hallgren et
al melaporkan ciprofloxacin dapat menginduksi sindrom Stevens Johnson pada
pasien muda di Swedia. Metry et al melaporkan sindrom Stevens Johnson

3
terjadi pada 2 pasien HIV yang diobati dengan nevirapine. Para penulis
berspekulasi bahwa masalah ini dapat juga disebabkan oleh non nukleosida
reverse transcriptase inhibitor yaitu indinavir.
Infeksi virus yang telah dilaporkan menyebabkan SSJ adalah herpes simplex
virus (HSV), AIDS, infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis, gondok,
venereum lymphogranuloma (LGV), infeksi rickettsia, dan variola.
Penyebab bakteri adalah grup A beta streptokokus, difteri, brucellosis,
mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularemia, dan tifus. Sebuah kasus
baru-baru ini dilaporkan SSJ timbul setelah infeksi Mycoplasma pneumoniae.
Coccidioidomycosis, dermatofitosis, dan histoplasmosis adalah kemungkinan
yang disebabkan oleh jamur.
Malaria dan trikomoniasis telah dilaporkan sebagai penyebab protozoa.
Pada anak-anak, Epstein-Barr virus dan enterovirus telah diidentifikasi.
Berbagai karsinoma dan limfoma telah dikaitkan.
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah idiopatik pada 25-50% kasus.

4
Sumber:http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=54
&seg_id=1021

4. Patogenesis
Patogenesisnya masih belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
alergi tipe III dan IV. Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks
antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim
dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi alergi
tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi oleh suatu antigen, berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat
dalam jaringan tubuh. Akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam
jaringan atau pembuluh darah maka kompleks tersebut mengaktifkan
komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator terutama macrophage
chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan
merusak jaringan di sekitarnya dan mengakibatkan reaksi radang.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi
dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48
jam setelah terpajan antigen. Dalam hal ini tidak ada peran antibodi. Akibat
sensitisasi tersebut sel Th1 melepaskan limfokin antara lain MIF, MAF.
Makrofag yang diaktifkan melepas berbagai mediator (sitokin, enzim, dsb)
sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan.

5
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang
diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat,
infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang
mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak
terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin
dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa
menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari
temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi
allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 frekuensi fenotif di Eropa umumnya
3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B
berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.

5. Gejala klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum
begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang
berat kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit
akut dapat disertai gejala prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam tinggi,
malese, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit menelan, nyeri dada,
muntah, pegal otot, dan atralgia yang sangat bervariasi.
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput
lendir di orifisium, dan kelainan mata.
a. Kelainan kulit
Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae,
dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi
memiliki gambaran yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan
erythema multiforme, lesi ini hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa
vesikel, purpura, atau nekrotik, dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut

6
lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi bulosa dan kemudian pecah menyebabkan
erosi yang luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang
ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kulit lepuh sangat longgar dan
mudah lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10% dari
permukaan tubuh yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis epidermis toksik,
30% atau lebih dari permukaan tubuh yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena
akan terasa sakit. Pada beberapa orang, rambut dan kuku rontok.

Peluruhan luas epidermis dari sindrom Stevens-Johnson.


Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview

7
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3

Keterangan : eritema-deskuamasi (gb.1), eritema-erosi-krusta-hemoragic (gb.2) ,


dan plak(gb.3).
Sumber : http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm

b. Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%), kemudian
disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung
(8%), dan anus (4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah
hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut dapat
terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam
yang tebal. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
Kerusakan pada lapisan mulut biasanya sangat menyakitkan dan mengurangi
kemampuan pasien untuk makan atau minum dan sulit menutup mulut sehingga
air liurnya menetes. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus
respiratorius bagian atas, dan esofagus. Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernafas. Kelainan pada lubang alat genital akan
menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa sakit. Kadang-kadang selaput lendir
saluran pencernaan dan pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak
napas.

8
Gambar 2 Gambar 2 Gambar 3

Keterangan : vesikel-krusta (gb.1), eritema-erosi (palatum durum) (gb.2), dan


krusta (gb.3).
Sumber : http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm

c. Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen,
blefarokonjungtivitis, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis,
kelopak mata edema, penuh dengan nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa
sakit. Pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan
kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa
okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan
sampai 31 tahun.

9
Gambar 3 Gambar 2
Keterangan : eritema-erosi (gb.1) dan konjungtivitis (gb.2)
Sumber : 1. http://en.wikipedia.org/wiki/Stevens%E2%80%93Johnson_syndrome

2. http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm

6. Diagnosa

Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan


kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis
terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi disertai gejala prodormal. Selain itu
didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat
dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi bila meninggi
penyebabnya adalah infeksi sekunder, terdapat peningkatan eosinofil jika penyebabnya
alergi. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun
dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar. Biopsi kulit direncanakan
bila lesi klasik tak ada. Gambaran histopatologinya sesuai dengan eritema multiforme,
bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang
menyeluruh. Kelainan berupa :
Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial
Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar

10
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
Nekrosis sel epidermal di adneksa
Spongiosis dan edema intrasel di epidermis

Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi untuk membantu


membedakan sindrom Steven Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh
subepidermal lainnya. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah
dalam urin. Pemeriksaan elektrolit di lakukan untuk mengetahui apakah terjadi
gangguan keseimbangan asam basa. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro
duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan. Dan fototoraks untuk
mengetahui adanya komplikasi pneumonitis.

7. Diagnosis banding

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)

Dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET


terlihat lebih buruk daripada SSJ. Pada penyakit ini terdapat epidermolisis yang
menyeluruh yaitu lebih dari 30% epidermis yang terkelupas (tanda Nikolsky
positif).

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease)


Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas
pada kulit. Biasanya mukosa jarang terkena.

SSSS NET SSJ


Etiologi Staphylococcus Obat Obat, infeksi,
aureus, infeksi Reaksi graft vs host keganasan, post
mata, infeksi THT vaksinasi, radiasi,
makanan.

11
Pasien Anak-anak, bayi < 5 Dewasa Dewasa, anak > 3 tahun
tahun
Gejala klinis Eritem muka, Akut Gejala prodormal
leher, inguinal, Gejala prodormal Trias :
axila (24 jam) KU buruk Kulit: eritem, vesikel,
generalis (24-48 Eritem generalisata, bula dan purpura,
jam) bula vesikel, bula, Mukosa:orifisium
dinding kendur. purpura mulut, faring, traktus
Epidermolisis Kulit, mukosa bibir- respiratorius,
Nikolsky sign + mulut, orifisium esophagus
Mukosa jarang genital (pseudomembran)
PA : celah pada Epidermolisis + Mata
sratum Nikolsky sign + Epidermolisis
granulosum PA : celah pada Nikolsky sign
subepidermal PA : kelainan dermis
sedikit sampai
nekrolisis epidermal
Komplikasi Selulitis, Akut Tubular Nekrosis Bronkopneumonia
pneumonia,
septikemia
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Edisi 5, 2007.

Eritema multiforme (EM)

Onset mendadak progresif cepat, distribusi simetris, mengenai kulit dan


/ atau mukokutan, dengan perubahan warna konsentris dalam beberapa atau
semua lesi. Lesi menyebar secara sentripetal yaitu mengenai telapak tangan dan

12
telapak kaki, punggung tangan, dan permukaan ekstensor ekstremitas dan
wajah. Pada keadaan berat mengenai seluruh tubuh.
Gejala prodromal terjadi pada 50% kasus, biasanya 1-14 hari sebelum
lesi kulit berkembang. Gejala berupa demam, malaise, mialgia, arthralgia, sakit
kepala, sakit tenggorokan, batuk, mual, muntah, dan diare. Timbul sensasi
terbakar di daerah yang terkena.
Lesi berupa eritem, meluas menjadi makula atau papula berevolusi
menjadi lesi yang khas bentuk iris (target lesion), terdiri 3 bagian yaitu bagian
tengah berupa vesikel atau eritema keunguan dikelilingi lingkaran konsentris
yang pucat kemudian lingkaran yang merah. Vesikulobulosa berkembang
dalam makula yang sudah ada sebelumnya, papula, atau bercak. Keterlibatan
mata terjadi pada 10% kasus EM, konjungtivitis purulen kebanyakan bilateral
dengan lakrimasi yang meningkat. Membran mukosa terjadi pada sekitar 25%
dari kasus EM, biasanya ringan, dan biasanya melibatkan rongga mulut.

Sumber:
http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg_id
=1021

13
8. Komplikasi

Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi lain


ialah kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok, pada mata
dapat terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan karena gangguan lakrimasi. [12]
Pada gastroenterologi teriadi esofageal striktur, pada genitourinari dapat terjadi
nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, jaringan parut pada penis, vagina stenosis, dan
pada kutaneus terdapat jaringan parut dan deformitas kosmetik. Infeksi dapat kambuh
karena penyembuhan ulserasi yang lambat.

9. Pengobatan

Pertama, dan paling penting adalah harus segera menghentikan penggunaan


obat penyebab yang dicurigai. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan.
Orang dengan SSJ biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien NET dirawat dalam
unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari
infeksi. Pasien SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim,
yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit
dan makanan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk membantu
pemulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder
seperti sepsis.
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/NET.
Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari
pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak
dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko
terjadinya infeksi yang gawat, apalagi pada ODHA dengan sistem kekebalan yang
sudah lemah.
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah :

14
Segera menghentikan penggunaan obat penyebab yang dicurigai.
Kortikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,
kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid
sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek
samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid
menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antibiotika yang diberikan
jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak
bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena,
diberikan 2 kali/hari. Selain itu obat lain juga dapat digunakan misalnya
siprofloksasin 2 x 400 mg iv dan seftriakson 2 g iv sehari.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis,
untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk
cetirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari, > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Pada SSJ yang berat diiberikan terapi cairan dan elektrolit, serta diet tinggi
kalori dan protein secara parenteral. Dapat diberikan infus, misalnya dekstrose
5%, Nacl 9%, dan Ringer laktat berbanding 1:1:1 dalam satu labu, setiap 8 jam.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin perak.
Pada kasus purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau
1000 mg iv sehari.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase, betadine gargle, dan untuk bibir yang
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya
krim urea 10%.

15
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam
fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan
terjadinya kekeringan pada bola mata.
Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah
terjadinya perlekatan konjungtiva.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dengan dosis 0,2-0,75 g / kg berat badan per
hari selama empat hari berturut-turut. Pemberian IVIG akan menghambat
reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.
Transfusi darah 300 cc selama 2 hari jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari.
Efek transfusi darah (whole blood) ialah imunorestorasi. Bila terdapat
leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah pemberian transfusi leukosit
cepat menjadi normal. Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan
leukosit, jadi meningkatkan daya tahan tubuh.
Indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET ialah :
- Bila telah diobati dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan.
- Bila terdapat purpura generalisata
- Jika terdapat leukopenia

Setelah sembuh dari SSJ tidak boleh menggunakan kembali agen atau senyawa
yang penyebab. Obat dari kelas farmakologis yang sama dapat digunakan asalkan obat
tersebut secara struktural berbeda dengan obat penyebabnya. Karena faktor genetik
diduga berperan dalam kerusakan kulit dan timbulnya lepuh akibat obat, sehingga obat
yang dicurigai tidak boleh digunakan dalam darah pasien. Tidak ada statistik khusus
tentang risiko penggunaan ulang obat yang salah atau kemungkinan desensitisasi pada
pasien dengan SSJ.

10. Prognosis

16
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi
mengancam nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan
tepat, maka prognosis cukup memuaskan.
Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi
sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada
keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat menyebabkan
kematian. Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti kegagalan pernafasan, gagal
ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis. Sampai dengan 15% dari semua pasien
dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ) meninggal akibat kondisi ini. Bakteremia dan
sepsis meningkatkan resiko kematian.
Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variable yang digunakan untuk
meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN.

Skor SCORTEN
Faktor prognosis Skor mortalitas
Umur > 40 tahun SCORTEN 0-1 > 3.2%
Keganasan SCORTEN 2 > 12.1%
Denyut jantung > 120 x/menit SCORTEN 3 > 35,3%
Persentase detasemen epidermis > SCORTEN 4 > 58.3%
10% SCORTEN 5 atau lebih > 90%
BUN level >10 mmol/L
Kadar glukosa serum > 14 mmol /
L
Kadar bikarbonat < 20 mmol / L

17
18
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis


erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Etiologi SSJ
sukar ditentukan dengan pasti, pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun
terhadap obat yang paling sering adalah oxicam NSAID, sulfonamide, fenitoin, dan
penisilin. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan reaksi hipersensitivitas tipe IV.
SSJ menyebabkan pengelupasan kulit kurang dari 10% permukaan tubuh,
pada selaput lendir dapat menimbulkan krusta kehitaman, dan pada mata menyebabkan
konjungtivitis purulenta. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk
mendiagnosis SSJ kecuali pemeriksaan histopatologis. Diagnosis banding dari
Sindrom Steven Johnson yaitu Nekrolisis Epidermal Toksik, Staphylococcal Scalded
Skin Syndrom, dan Eritema Multiforme. Dan komplikasi pada SSJ yang paling sering
terjadi adalah bronkopneumonia.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dilakukan dengan menghentikan obat
penyebab, memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara
parenteral pada penderita dengan keadaan umum berat. Penggunaan steroid sistemik
masih kontroversi. IVIG dapat diberikan untuk mencegah kerusakan kulit yang lebih
lanjut dan antibiotik spektrum luas untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi
mengancam nyawa. Jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup
memuaskan. Pada kasus ini tingkat mortalitas dapat ditentukan dengan nilai
SCORTEN.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. Kelima. Jakarta. Balai

Penerbit FKUI. Hal 163-165.

2. Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta. EGC. Hal 141-

142.

3. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1.

Departement of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: April 11, 2017.

Available at: www.jipmer.edu

4. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In:

Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

5. Stevens-Johnson Syndrome. Available at Stevens-Johnson Syndrome. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview. Accessed on April 11,

2017.

20

Anda mungkin juga menyukai