Masalah Ekonomi Di Negara Berkembang Dan
Masalah Ekonomi Di Negara Berkembang Dan
Meskipun sudah terbiasa dengan budaya disiplin dan teratur, tetapi tetap
saja negara-negara maju menghadapi berbagai masalah ekonomi.
Masalah tersebut adalah sebagai berikut:
Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangunan.
Maka, muncul paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan
distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self-reliant
development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam
(ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut
etnis (ethnodevelopment).
Indikator Pembangunan
Untuk tujuan operasional dan analitikal, kriteria utama Bank Dunia dalam
mengklasifikasikan kinerja perekonomian suatu negara adalah Gross National Income
(GNI) atau Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita yang merupakan pendapatan
nasional bruto dibagi jumlah populasi penduduk. Bank Dunia (2003) mengklasifikasikan
negara berdasarkan tingkatan GNI per kapitanya, yaitu (1) negara berpenghasilan rendah
(low-income economies), (2) negara berpenghasilan menengah (middle-income
economies). Dalam kelompok negara berpenghasilan menengah dapat dibagi menjadi
negara berpenghasilan menengah papan bawah (lower-middle-income economies) dan
negara berpenghasilan menengah papan atas (upper-middle-income economies), (3)
negara berpenghasilan tinggi (high-income economies), (4) dunia (world) meliputi semua
negara di dunia, termasuk negara-negara yang datanya langka dan dengan penduduk
lebih dari 30.000 jiwa.
Kemiskinan tidak hanya menjadi permasalahan bagi negara berkembang, bahkan negara-
negara maju pun mengalami kemiskinan walaupun tidak sebesar negara Dunia Ketiga.
Secara umum, jenis-jenis kemiskinan dapat dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut
dan kemiskinan relatif. Pertama, kemiskinan absolut, di mana dengan pendekatan ini
diidentifikasi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. Kedua,
kemiskinan relatif, yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing
golongan pendapatan. Berbeda dengan kemiskinan absolut, kemiskinan relatif bersifat
dinamis dan tergantung di mana seseorang tinggal.
Untuk lebih mengetahui secara pasti tingkat kemiskinan suatu masyarakat maka
diciptakan indikator kemiskinan atau garis kemiskinan. Di Indonesia, garis kemiskinan
BPS menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic
needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Selain itu, terdapat garis kemiskinan
lainnya, yaitu garis kemiskinan Sajogyo dan garis kemiskinan Esmara. Sajogyo
mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang
sama dengan beras. Kelemahan dari metode ini adalah hanya menggunakan acuan satu
harga komoditi dan porsinya dalam anggaran keluarga, bahkan dalam keluarga miskin,
menurun secara cepat. Berdasarkan kelemahan tersebut Esmara mencoba untuk
menetapkan suatu garis kemiskinan pedesaan dan perkotaan yang dipandang dari sudut
pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial, seperti yang diungkapkan
secara berturut-turut dalam Susenas.
Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan, menurut Sharp et al., dapat disebabkan oleh ketidaksamaan pola kepemilikan
sumber daya, perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia dan disebabkan oleh
perbedaan akses dalam modal. Sedangkan lingkaran setan kemiskinan versi Nurkse
sangat relevan dalam menjelaskan fenomena kemiskinan yang terjadi di negara-negara
terbelakang. Menurutnya negara miskin itu miskin karena dia miskin (a poor country is
poor because it is poor).
Selain strategi di atas, ada juga Model Pertumbuhan Berbasis Teknologi atau Rural-Led
Development yang menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam sektor pertanian yang
dibuka dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan sektor pertanian menjadi sektor
yang memimpin.
Pada beberapa kasus memang dijumpai adanya studi empiris yang mendukung hipotesis
kurva U terbalik (hipotesis Kuznets), namun hal ini perlu disikapi hati-hati tergantung
dari jenis data yang dipakai, apakah data silang atau runut waktu. Hal ini penting karena
keduanya memberikan kesimpulan yang berbeda.
Pada umumnya ada 3 macam indikator distribusi pendapatan yang sering digunakan
dalam penelitian. Pertama, indikator distribusi pendapatan perorangan. Kedua, kurva
Lorenz. Ketiga, koefisien gini. Masing-masing indikator tersebut mempunyai relasi satu
sama lainnya. Semakin jauh kurva Lorenz dari garis diagonal maka semakin besar
ketimpangan distribusi pendapatannya. Begitu juga sebaliknya, semakin berimpit kurva
Lorenz dengan garis diagonal, semakin merata distribusi pendapatan. Sedangkan untuk
koefisien gini, semakin kecil nilainya, menunjukkan distribusi yang lebih merata.
Demikian juga sebaliknya.
Studi empiris menunjukkan bahwa bentuk kurva Lorenz untuk kasus negara berkembang
pada umumnya semakin menjauhi dibandingkan dengan negara maju. Apabila dilihat
koefisien gini, negara maju mempunyai nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan
negara berkembang.
Masalah Dualisme Pembangunan
Industrialisasi di dunia sangat erat kaitannya dengan revolusi industri yang terjadi di
Inggris pada abad ke-18. Revolusi industri yang terjadi di negara maju ternyata
mendorong negara-negara lain untuk bereaksi dengan 2 cara. Pertama, berusaha untuk
meniru model revolusi industri. Kedua dengan melakukan kontak dagang. Usaha untuk
meniru tersebut banyak dilakukan oleh negara-negara di kawasan Amerika Utara dan
Eropa Barat. Hal tersebut menjadi titik tolak mulainya pembagian dunia menjadi negara
industri dan nonindustri. Revolusi industri menyebar dengan cepat di negara-negara yang
melakukan revolusi pertanian khususnya di Eropa Barat dan Amerika Utara, sedangkan
di negara dengan produktivitas pertanian yang rendah, seperti Eropa Tengah dan Eropa
Selatan atau Amerika Latin dan Cina kemajuan industrinya berjalan relatif lambat.
Teori dualisme Boeke amat populer pada pertengahan 1950-an karena menerangkan
mengapa perekonomian daerah jajahan (Eastern/Colonial Economy) amat berbeda secara
fundamental dengan perekonomian negara-negara Barat yang berdasarkan mekanisme
pasar. Oleh karena itu, Boeke berpendapat bahwa teori ekonomi konvensional dari Barat
jelas tidak dapat diterapkan di negara-negara Timur. Ia mengusulkan perlunya disusun
teori dengan kerangka yang sama sekali baru. Teori baru ini jelas lebih kompleks
karena harus memperhitungkan kondisi dualistik dengan 2 sistem sosial yang berbeda,
saling mempengaruhi, dan saling berbenturan.
Meskipun banyak kritikus Belanda yang mengkaji seluruh ataupun sebagian teori Boeke
bertahun-tahun sejak Perang Dunia II, namun boleh dikatakan tidak ada pemikiran yang
muncul menentang Boeke (Mackie, 1980). Boeke tetap merupakan ilmuwan yang
berpengaruh dari tahun 1929 hingga kematiannya pada tahun 1956. Kritik yang paling
gencar terhadap teori Boeke datang dari Benjamin Higgins (1955). Kritik yang lain datang
dari Sadli (1957) dan Mackie (1980).
Studi yang dilakukan oleh Chris Manning, Hal Hill, Ross McLeod, dan Howard Dick
menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia bukan dualisme, melainkan
mengandung banyak segmentasi pasar. Keempat pakar ini memberikan kontribusi yang
amat berharga terhadap pemahaman mengenai struktur ekonomi mikro Indonesia.
Studi Hal Hill (1980) agaknya lebih condong mendukung adanya dualisme teknologi,
bukan dualisme sosial, yang dilontarkan oleh Higgins. Hill menunjukkan relevansi konsep
dualisme teknologi dalam industri tenun Indonesia. Kendati demikian, Hill menunjukkan
bahwa konsep dualisme teknologi kurang tepat diterapkan dalam kasus industri tenun
Indonesia. Ia melihat dualisme teknologi memiliki relevansi untuk industri pemintalan
Indonesia.
Manning mencatat terdapat banyak perbedaan upah dan praktik-praktik di pasar tenaga
kerja di berbagai segmen industri manufaktur Indonesia. Berbeda dengan dikotomi
prakapitalis-kapitalis versi Boeke, ia menekankan yang terjadi di pasar tenaga kerja bukan
dualisme melainkan diferensiasi akibat perbedaan teknologi.
Dick menyimpulkan bahwa kondisi dualisme yang tidak berubah hanyalah ilusi. Ia
mencatat adanya 3 gelombang teknologi baru yang melanda kepulauan Indonesia dalam
teknologi alat pelayaran yang mengakibatkan adanya dualisme teknologi.
Strategi pembangunan berdimensi manusia menawarkan konsep yang lebih luas dan
menyeluruh yang meliputi semua pilihan-pilihan kebutuhan manusia pada semua
tingkatan masyarakat dan semua tahapan pembangunan. Konsep ini meletakkan
pembangunan di sekitar manusia, bukan manusia di sekitar pembangunan. Elemen
penting dari pembangunan manusia adalah tersedianya pilihan-pilihan bagi masyarakat
untuk dapat hidup sehat dan panjang umur, memperoleh pendidikan, dan memperoleh
akses bagi sumber daya yang diperlukan untuk standar hidup yang layak, dan memperoleh
kebebasan politik sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara.
Besarnya investasi suatu negara dalam pembangunan manusia yang terlihat dalam
proporsi pengeluaran publik untuk sektor pendidikan dan kesehatan dalam anggaran
belanja negaranya dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana sebuah negara
memperhatikan pembangunan manusianya.
Pada tahun 2000 penduduk Indonesia berada pada tahap transisi antara penduduk muda
menjadi penduduk tua. Hasil pembangunan di bidang kependudukan di Indonesia terlihat
dari perubahan komposisi penduduk menurut umur yang tercermin dari semakin
rendahnya proporsi penduduk tidak produktif dan semakin rendahnya angka beban
tanggungan.
Proporsi penduduk usia kerja dalam angkatan kerja mengalami peningkatan pada tahun
1999-2001. TPAK di Indonesia menunjukkan jumlah yang lebih tinggi di daerah
perdesaan dibandingkan di perkotaan karena tingkat partisipasi sekolah untuk SLTP dan
SLTA lebih tinggi di daerah perkotaan.
Kesenjangan gender yang terjadi di negara berkembang disebabkan oleh adanya norma
sosial yang mempengaruhi pilihan-pilihan dan perilaku rumah tangga dan faktor lembaga
legal formal yang mempengaruhi kegiatan ekonominya
Salah satu indikator integrasi wanita dalam pembangunan adalah akses terhadap
pendidikan dalam hal ini digunakan ukuran tingkat partisipasi sekolah yang
menunjukkan seberapa banyak penduduk usia sekolah yang telah memanfaatkan fasilitas
pendidikan yang ada.
Perbandingan antara indeks pembangunan yang berhubungan dengan gender (GDI) dan
indeks pembangunan manusia (HDI) dapat digunakan untuk melihat seberapa besar
kesenjangan gender (gender disparity) di suatu daerah.
Migrasi
Urbanisasi secara luas didefinisikan dengan perpindahan penduduk desa yang menuju
kota sehingga mengakibatkan semakin besarnya proporsi penduduk yang tinggal di
perkotaan. Tingkat urbanisasi di Indonesia cenderung terus meningkat dari waktu ke
waktu. Perkembangan kota yang lebih cepat mengakibatkan terjadinya urbanisasi yang
bersifat prematur. Artinya, urbanisasi desa kota terjadi sebelum industri di kota mampu
berdiri sendiri. Migrasi dari desa ke kota ini diyakini merupakan faktor utama
penyumbang pertumbuhan kota.
Alasan orang untuk melakukan migrasi, menurut Survei Penduduk Antarsensus (SUPAS)
1995 adalah (1) perubahan status perkawinan dan ikut saudara kandung/famili lain
sebesar, (2) karena pekerjaan sebesar, (3) karena pendidikan sebesar, (4) karena
perumahan, dan (5) lain-lain.
Pendatang baru di kota karena tidak memperoleh pekerjaan mencoba mengadu nasibnya
dengan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi kota sebagai self employment yang akhir
akhir ini dikenal sebagai sektor informal.
Secara umum, alasan mengapa negara berkembang harus berutang adalah tingkat
tabungan dalam negeri yang rendah sehingga harus mencari dana lain untuk membiayai
investasi dan minimnya persediaan devisa untuk mengimpor barang-barang, seperti
mesin-mesin pabrik atau bahan baku. Hal tersebut berkaitan erat dengan Likuiditas
Nasional, yaitu ketersediaan baik mata uang lokal maupun asing untuk kebutuhan
pembayaran impor ataupun membayar utang. Atas dasar inilah muncul konsep Guidotti
Rule bahwa setidaknya negara dapat dikatakan aman apabila mempunyai persediaan
devisa yang cukup untuk kebutuhan pembiayaan satu tahun ke depan.
Beban utang yang berlebihan apalagi bila dikelola dengan buruk, dapat menjerumuskan
negara ke dalam krisis. Hal ini sudah ditunjukkan dengan fenomena krisis baik yang
terjadi di Amerika Latin maupun di Asia. Dilihat dari faktor penyebabnya, Faktor
penyebabnya bukan semata-mata negara peminjam tetapi juga disebabkan dari aspek
internasional. Misalnya, saja kekurang hati-hatian bank internasional dalam memberikan
dana pinjaman ke negara berkembang.
Sering kali krisis utang disertai dengan pelarian modal ke luar negeri (capital flight)
sehingga makin memperburuk perekonomian negara tersebut. Capital flight menyebabkan
turunnya investasi dalam negeri, yang berakibat pada rendahnya output nasional.
Rendahnya output nasional berakibat meningkatnya tingkat DSR. Tingginya tingkat DSR
menimbulkan adanya spekulasi yang mendorong adanya modal yang mengalir ke luar
negeri. Demikian seterusnya sehingga proses yang berjalan merupakan vicious circle.
Setidaknya terdapat lima dampak negatif dari beban utang luar negeri bagi negara
tersebut, yaitu pertama, menimbulkan efek negatif terhadap tingkat tabungan di dalam
negeri (domestic saving rate); kedua, mempertahankan overvalued currency sehingga
mempermudah impor untuk tujuan-tujuan yang tidak produktif; ketiga, sebagian besar
dana utang luar negeri sektor pemerintah dibelanjakan di negara pemberi utang, bukan di
negara penerima utang; keempat, pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri jelas
mengalihkan dana yang dapat digunakan sebagai investasi domestik; dan kelima,
membuat pemerintah negara berkembang pengutang besar untuk mengintensifkan
penerimaan pajak sehingga dapat menyebabkan kondisi investasi yang tidak kondusif dan
pelarian modal ke luar negeri (capital flight).
Krisis utang di luar negeri tidak saja membuat negara berkembang menderita, tetapi juga
negara dan institusi donor yang selama ini memberi pinjaman. Mereka kuatir bahwa
negara kreditor tidak mampu membayar kembali utang-utangnya. Pada perkembangannya
timbul beberapa solusi krisis ini, di antaranya pendirian institusi pengelolaan utang, HIPC
Initiative, dan Debt for Nature Swap.
Peranan investasi asing langsung mempunyai peranan penting bagi perekonomian negara
khususnya negara berkembang yang memiliki stok tabungan yang minim. Namun
demikian, survei yang dilakukan oleh UNCTAD menunjukkan bahwa negara maju pun
sebenarnya memerlukan investasi asing. Hal tersebut dapat dilihat dari aliran FDI yang
berasal dari negara maju menuju ke negara maju lainnya.
Pada umumnya investasi asing dapat berupa FDI atau investasi portofolio. Perbedaannya
adalah FDI lebih bersifat jangka panjang dan biasanya terjadi transfer teknologi dan
manajerial yang dapat diadopsi oleh negara tuan rumah (host country). Sebaliknya,
investasi portofolio bersifat jangka pendek dan implikasinya adalah modal tersebut dapat
bergerak pindah dari suatu negara ke negara lain (mobilitas ini disebut juga uang
panas). Oleh karena itu, suatu negara sangat rentan terhadap keberadaan investasi
portofolio ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan TNC di beberapa negara memiliki peranan
yang penting dalam meningkatkan produktivitas ekonomi negara tersebut. Dalam skala
global, besarnya peranan TNC dapat dilihat dari besarnya tenaga kerja yang diserap,
jumlah penjualan di dunia serta aliran FDI yang meningkat dari tahun ke tahun (World
Investment Report 2002). Pada umumnya TNC terkemuka di dunia di dominasi oleh
negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang dan Eropa. Namun, dalam
perkembangannya, terdapat 5 TNC yang berasal dari negara berkembang, seperti
Venezuela (Petroleos de Venezuela) dan Malaysia (Petronas).
Menurut Dicken (1992), peranan TNC dapat dijelaskan (1) TNC dapat mengendalikan
ekonomi di lebih satu negara; (2) kemampuan TNC untuk memanfaatkan perbedaan
geografis antarnegara dan daerah khususnya dalam segi faktor endowments (termasuk
kebijakan pemerintah); (3) kemampuan TNC untuk memindahkan sumber daya dan
operasi lintas lokasi dalam skala global. Kontribusi TNC bagi host country adalah
bertambahnya stok modal, transfer pengetahuan, dan praktik manajerial dan organisasi.
Strategi pembangunan industri yang umum digunakan di suatu negara adalah substitusi
impor (inward-looking) dan promosi ekspor (outward-looking). Strategi substitusi impor
identik dengan proteksionisme yang dilakukan pemerintah untuk melindungi industri
yang masih muda agar dapat bersaing, sedangkan strategi promosi ekspor identik dengan
usaha peningkatan ekspor untuk meningkatkan pendapatan nasional.
Strategi substitusi impor diminati oleh banyak negara berkembang setidaknya karena 2
alasan berikut. Pertama, strategi substitusi impor yang pada dasarnya diterapkan untuk
memenuhi permintaan domestik akan barang-barang konsumsi tidak selalu memerlukan
teknologi maju untuk memproduksinya. Kedua, bagian yang paling menarik dari strategi
substitusi impor adalah kemungkinan penghematan devisa melalui penurunan belanja
negara dalam bentuk valuta asing yang pada gilirannya akan menurunkan defisit
perdagangan.
Keuntungan penerapan strategi promosi ekspor adalah meningkatnya nilai ekspor sebuah
negara yang dapat meningkatkan pemasukan negara berupa mata uang asing sehingga
meningkatkan cadangan devisa. Namun, penerapan strategi ini berpotensi menyebabkan
kenaikan pengeluaran untuk impor seiring dengan kenaikan pendapatan suatu negara
yang pada akhirnya menimbulkan pengaruh negatif pada neraca perdagangan negara
yang bersangkutan.
Permasalahan struktural pada industri Indonesia adalah (1) tingginya tingkat konsentrasi
dalam perekonomian dan banyaknya monopoli, baik yang terselubung maupun terang-
terangan pada pasar yang diproteksi, (2) dominasi kelompok bisnis pemburu rente (rent-
seeking) ternyata belum memanfaatkan keunggulan mereka dalam skala produksi dan
kekuatan finansial untuk bersaing di pasar global, (3) lemahnya hubungan intra industri,
sebagaimana ditunjukkan oleh minimnya perusahaan yang bersifat spesialis yang mampu
menghubungkan klien bisnisnya yang berjumlah besar secara efisien, (4) struktur industri
Indonesia terbukti masih dangkal, dengan minimnya sektor industri menengah, (5) masih
kakunya BUMN sebagai pemasok input maupun sebagai pendorong kemajuan teknologi,
(6) investor asing masih cenderung pada orientasi pasar domestik (inward oriented), dan
sasaran usahanya sebagian besar masih pada pasar yang diproteksi.
Struktur industri Indonesia cenderung oligopolistik karena (1) adanya proteksi (tata
niaga), (2) besarnya modal yang diperlukan untuk investasi, (3) tingginya teknologi yang
digunakan, (4) adanya preferensi terhadap produk.
Daya saing negara amat berlainan dengan daya saing perusahaan karena setidaknya 2
alasan (1) dalam realitas, yang bersaing bukan negara, tetapi perusahaan dan industri.
Kebanyakan orang menganalogkan daya saing negara identik dengan daya saing
perusahaan. Apabila negara Indonesia memiliki daya saing, belum tentu seluruh
perusahaan dan industri Indonesia memiliki daya saing di pasar domestik maupun
internasional, (2) mendefinisikan daya saing negara lebih problematik daripada daya
saing perusahaan. Apabila suatu perusahaan tidak dapat membayar gaji karyawannya,
membayar pasokan bahan baku dari para pemasok, dan membagi dividen, maka
perusahaan itu akan bangkrut dan terpaksa ke luar dari bisnis yang digelutinya.
Perusahaan memang bisa bangkrut, namun negara tidak memiliki bottom line alias tidak
akan pernah ke luar dari arena persaingan.
Pengembangan Usaha Kecil
Ada 2 definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, menurut UU No 9 Tahun
1995 adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal
Rp1 miliar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha, paling banyak Rp200 juta. Kedua, menurut BPS mengklasifikasikan industri
berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4
orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan
pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999:
250).
Usaha kecil pada umumnya memiliki karakteristik (1) tidak adanya pembagian tugas yang
jelas antara bidang administrasi dan operasi, (2) rendahnya akses industri kecil terhadap
lembaga-lembaga kredit formal, (3) sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum
dipunyainya status badan hukum, (4) dilihat menurut golongan industri tampak bahwa
hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha
industri makanan, minuman dan tembakau, kelompok industri barang galian bukan
logam, industri tekstil, dan industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk
perabotan rumah tangga. Masing-masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh
industri kecil yang ada.
PRIVATISASI BUMN
Gelombang Privatisasi Dunia
Proses privatisasi BUMN tidak saja dalam terjadi di negara berkembang, namun juga di
negara-negara maju. Kebijaksanaan privatisasi baik di negara maju maupun negara
berkembang dalam rangka untuk membebaskan pemerintah dari campur tangan dalam
bidang ekonomi yang merupakan bidang yang semestinya dilakukan oleh sektor swasta.
Reformasi BUMN mengandung makna yang lebih luas dan memerlukan sebuah grand
strategi reformasi BUMN. Reformasi seharusnya mencakup setidaknya 2 dimensi utama,
yaitu internal korporat BUMN dan positioning BUMN dalam konfigurasi sistem ekonomi
nasional (Kuncoro, 2002). Tanri akhirnya memutuskan program privatisasi dilakukan
melalui penjualan lewat mitra strategik (strategic partner) di banding lewat penawaran
publik melalui bursa saham. Yang dikarenakan: pertama, pasar modal baru mengalami
depresi akibat krisis moneter. Kedua, penjualan lewat mitra strategik dianggap lebih baik
daripada penawaran publik terutama dalam memperbaiki manajemen BUMN maupun
peningkatan akses mereka terhadap pasar dan teknologi.