Anda di halaman 1dari 12

LUKA DI KEMALUAN

Seseorang yang mempunyai keluhan luka di kemaluan memiliki


kemungkinan beberapa diagnosis yaitu ulkus mole, limfogranuloma venereum,
granuloma inguinal, herpes dan sifilis. Pada referat ini akan dibahas tiga
diantara diagnosis tersebut yaitu ulkus mole, limfogranuloma venereum, dan
granuloma inguinal.

A. Ulkus Mole
Ulkus mole adalah penyakit infeksi menular seksual akut, setempat,
autoinoculable, dengan gejala klinis khas berupa ulkus ditempat masuk patogen
dan biasanya disertai supurasi kelenjar getah bening regional. Penyakit ini juga
dikenal dengan sebutan chancroid, soft chancre, soft ulcer, soft sore, dan ulcer
mole (Indiatmi, 2014).
Prevalensi ulkus mole menurut Indriatmi (2015), lebih besar terjadi pada
laki laki daripada perempuan dengan perbandingan 3 : 1 sampai dengan 25 :
1. Hal ini disebabkan perempuan dapat menjadi wabah penyakit yang
asimptomatik karena ulkus berlokasi di vagina atau serviks dan tidak nyeri.
Persebaran penyakit ini juga erat kaitannya dengan para turis yang
berhubungan dengan pekerja seksual. Selain hal tersebut, orang dengan higien
pribadi yang kurang merupakan faktor resiko dari ulkus mole. Sedangkan laki
laki yang disirkumsisi beresiko lebih rendah terkena penyakit ini (Lautenshlager,
2017).
Ulkus mole dapat dijumpai di beberapa daerah yang tertinggal, seperti di
Afrika, Amerika Latin, Asia, dan Karibia. Tetapi, pervalensi ulkus mole di China,
Filipina, dan Senegal sedang menurun. Sedangkan saat ini di Eropa, ulkus
mole adalah penyakit sporadik yang jarang ditemui (Lautenshlager, 2017).
Etiologi dari ulkus mole adahal Haemophilus ducreyi yang merupakan
bakteri gram negatif yang membutuhkan medium kaya nutrisi dan hemin untuk
tumbuh. Ketika dilakukan pengecatan gram akan tampak seperti rel kereta api
atau sekawan ikan yang merupakan gambaran khas dari Haemophilus ducreyi
(Hicks, 2016).
Manifestasi klinins dari ulkus mole seringnya hanya pada lokasi tempat
patogen masuk dan jarang menimbulkan keluhan sistemik. Daerah yang mudah
mengalami abrasi, erosi, dan ekskoriasi yang disebabkan oleh trauma baik
ketika melakukan hubungan seksual atau tidak dan iritasi yang berhbungan
dengan kurangnya kebersihan perorangan merupakan tempat yang sering
dijadikan pintu masuk oleh patogen (Indriatmi, 2015).
Pasien akan mengeluhkan ulkus di kemaluannya dan adenopati inguinal.
Lesi diawali oleh papul kecil dengan eritema dan berkembang dengan cepat
menjadi pustul yang segera erosi menjadi ulkus dengan eksudat nekrotik
kuning keabu-abuan. Penderita biasanya mempunyai lebih dari satu ulkus pada
kemaluannya dan hanya terbatas pada kelenjar getah beningnya. Sifat dari
ulkus adalah berdiameter 1 2 cm (Gambar 1), sangat nyeri, tepi tidak rata dan
bergaung, berbatas tegas, serta dikelilingi oleh eritema (Indiatmi, 2015 & Hicks,
2016). Menurut Lautenschlager (2017), ulkus mole dapat melakukan
atuoinkulasi dari lesi pertamanya ke kulit yang berhadapan, hal ini dikenal
dengan kissing ulcer dan menyebar ke perineum, anus, dan skrotum.
Pada perempuan biasanya asimptomatik tetapi dapat dijumpai ulkus yang
bervariasi di fourchette dan bagian dalam labia minora. Pada laki laki dapat
dijumpai pada preputium, meatus uretra eksternum, dan gland penis (Hicks,
2016).

Gambar 1. Ulkus mole pada penis (Hicks, 2016)


Selain lesi yang berupa ulkus dapat dijumpai limfadenopati yang lebih
sering pada laki laki daripada perempuan. Kelenjar akan membesar, nyeri,
kemudian bergabuung dengan kulit yang eritem (Hicks, 2016)
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pengecatan gram
dari bahan ulkus yang akan dijumpai gambaran basil gram-negatif yang
tersusun seperti rel kereta api atau sekawan ikan. Selain itu dapat melakukan
isolasi H. ducreyi dari lesi atau aspirasi kelenjar getah bening dan tes PCR
(Indriatmi, 2015).
Diagnosis ulkus mole ditegakkan berdasarkan riwayat, keluhan dan
gejala, serta pemeriksaan laboratorium untuk menemukan patogennya.
Berdasarkan CDC, dikatakan diagnosis sudah confirmed jika pemeriksaan
laboratorium menemukan agen penyebab yaitu H. ducreyi dan dikatakan
probable jika terdapat kriteria dibawah ini yaitu pasien memiliki satu atau lebih
dari ulkus genitas, pasien tidak mempunyai bukti terinfeksi T. Pallidum dengan
pemeriksaan darkfield atau serologis, ulkus genital dan limfadenopati regional
bila ada seperti yang ada di ulkus mole, dan tes HSV dari eksudat ulkus negatif
(Hicks, 2016)
Tatalaksana farmakologi ulkus mole adalah dengan pemberian antibiotik
dengan tujuan mengeradikasi bakteri. Pilihan lini pertama adalah Seftriakson
250mg dosis tunggal, injeksi intramuskular dan Azitromisin 1g dosis tunggal
per oral. Pilihan lini kedua adalah Siprofloksasin 500mg dua kali sehari selama
3 hari per oral dan Eritromisin 500mg empat kali sehari sealama 7 hari per oral
(Lautenshlager, 2017).
Selain pengobatan farmakologi, informasi yang jelas tentang penyakit ini
harus disampaikan pada pasien yaitu ulkus mole adalah penyakit infeksi
menular seksual yang disebabkan oleh bakteri bernama H. ducreyi dan menjadi
kofaktor penularan HIV. Pengobatan akan berhasil jika patuh dan
menghabiskan antibiotik yang diberikan. Pasien juga harus istirahat dari
kegiatan seksual sampai dinyatakan sembuh dan telah melakukan terapi
secara lengkap (Lautenshlager, 2017). Melakukan kompres, irigasi atau
merendam ulkus dengan larutan salin dapat membantu menghilangkan debris
nekrotik serta mempercepat penyembuhan ulkus (Indriatmi, 2015).
Prognosis dari ulkus mole adalah baik bila melakukan pengobatan secara
teratur dan lengkap. Keberhasilan terapi dapat dilihat dalam 3 hari kemudian
yang ditandai dengan keluhan menghilang dan ulkus akan membaik dalam
waktu 1 2 minggu kemudian. Jika tidak ada perubahan klinis, perlu dicurigai
penyebab lain seperti HIV, sifilis dan herpes atau pasien tidak memetuhi
pengobatan. (Hicks, 2016).
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari penyakit ini adalah
tidak berganti ganti pasangan, menggunakan kondom dengan benar,
menjaga kebersihan alat genital. Jika pasien telah terdiagnosis ulkus mole
sebaiknya pasangan pasien diperiksa dan diberi tatalaksna bila 10 hari
sebelumnya mempunyai riwayat melakukan hubungan seksual bersama pasien
dan menghabiskan antibiotik yang diberikan dokter. Pasien juga
direkomendasikan melakukan tes sifilis dan HIV 3 bulan setelah menghabiskan
antibiotik (Lautenschlage, 2017).

B. Limfogranuloma Venereum
Limfogranuloma venereum adalah penyakit ulkus genital dan merupakan
infeksi menular seksual sistemik yang mengenai sistem saluran pembuluh limfe
dan kelenjar limfe, terutama pada daerah genital, inguinal, anus dan rektum
(Zenilman, 2015 dan Sentono, 2014).
Penyakit yang disebut dengan limfopatia venerium dan penyakit Nicolas-
Favre ini endemik di negara beberapa negara tropik dan subtropik seperti
Afrika, Asia tenggara, Asia tengah, dan Amerika selatan. Sementara di
Indonesia belum pernah dilaporkan kejadian limfogranuloma venereum, hal ini
mungkin dikarenakan pemeriksaan penunjang yang kurang lengkap atau
pelaporannya yang kurang baik (Djuanda, 2015). Penderita limfogranuloma
venereum lebih banyak ditemukan pada laki laki daripada perempuan. Hal ini
dimungkinkan karena kejadian lebih sering pada laki laki yang homoseksual
walaupun heteroseksual juga dapat terinfeksi (Zenilman, 2015).
Limfogranuloma venereum disebabkan oleh infeksi Chlamydia
trachomatis yang merupakan parasit obligat intrasel yaitu mikroorganisme yang
mempunyai sifat seperti bakteri dan virus. Organisme C. Trachomatis
mempunyai 3 serovas yaitu L1, L2, dan L3 (Sentono, 2014) .
Gambaran klinis dari limfogranuloma venereum tergantung perjalanan
penyakitnya yaitu stadium pertama, stadium kedua, dan apabila tidak diobati
dapat ke stadium komplikasi. Stadium pertama atau lesi primer ditandai dengan
ulkus dangkal atau erosi, papul, dan vesikel yang berbentuk seperti herpes.
Lesi primer biasanya tidak khas, tidak sakit, dan akan muncul 3 30 hari
setelah terinfeksi kemudian menghilang dengan cepat tanpa meninggalkan
skar. Pada laki laki lesi muncul di sulkus koronarius, frenulum, preputium,
penis, uretra, dan skrotum. Sedangkan pada perempuan berlokasi di dinding
prosterior vagina, portio, bagian posterior serviks, dan vulva. Lesi primer juga
dapat asimptomatik dan muncul seperti gambaran uretritis, servikitis, atau
proktitis (Batteiger, 2015 dan Sentono, 2014).
Stadium kedua disebut degan sindrom ingunial dan simptom sistemik
yang umumnya teradi pada laki laki dan jarang ditemui pada perempuan. Hal
ini karena pada perempuan lesi primer terletak pada bagian dalam vagina yang
akan drainase ke kelenjar limfe daerah pelvis. Kelenjar yang terkena adalah
kelenjar getah bening inguinal medial yang akan membesar, nyeri,dan akan
berkonfluens (Gambar 2). Konsistensi kelenjar juga bervariasi, yaitu keras,
kenyal dan lunak yang dapat ruptur dengan spontan dan menghasilkan abses
atau fistula. Sign of groove (Greenbalts sign) yaitu dua atau tiga kelompok
kelenjar yang berdekatan dan memanjang di bagian proksimal dan dipisahkan
oleh sulkus merupakan bentuk khas. Gejala sistemik yang muncul pada
stadium ini adalah demam, sakit kepala, mialgia, menggigil, nausea, dan
anoreksia. Pada perempuan jarang terjadi sindrom inguinal tetapi mengalami
nyeri pinggang dan peradangan nodus limfatik daera pelvis. Penyembuhan dari
limfogranulmoa venereum akan menghasilkan skar di daerah inguinal tetapi
tidak menyebabkan sekuel. Hanya beberapa dari kasus saja yang mengalami
ruptur bubo dan lainnya mengeras dan akan involusi perlahan lahan
(Batteiger, 2015 dan Senton, 2014).

Gambar 2. Sindrom Inguinal (Zenilman, 2015)


Jika tidak diobati pasien akan mengalami fase lanjutan yang merupakan
komplikasi dari penyakit ini yaitu sindrom genital yang dapat berupa elefantiasis
labia, elefantiasis skrotum, elefantiasis penis dan jika meluas dapat
menyebabkan elefantiasis genito-anorektalis (Djuanda, 2015). Selain sindrom
genital, dapat juga sindrom anorektal yang akan terjadi perdaraha anus, sakit
perut bawah, konstipasi, diare serta protokolitis dengan gejala fistel anak, abses
perirektal dan fistel rektovagina (Sentono, 2014)
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan adalah tes GPR yang
mengukur peningkatan globulin, pengecatan Giemsa dari pus bubo untuk
menemukan inklusi Chlamydia, tes Frei dengan cara menyuntikan antigen ke
bubo, tes serologi yaitu terdiri ddari complement fixation test, radio isotop
prespiration, dan immunofluorescene typing dan kultur yang dilakukan dalam
yolk sac embrio ayam (Sentono, 2014).
Penegakan diagnosis linfogranuloma venereum sulit ditegakkan karena
keterbatasan dalam mendiagnosis. Hal ini dikarenakan tidak ada karateristik
spesifik dan pemeriksaan penunjang yang kurang terstandarisasi. Tetapi,
umumnya ditegakkan secara persumtif berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang yang ada (Djuanda, 2015).
Menurut CDC dalam Zenilman (2015), terapi yang direkomendasikan
adalah doksisiklin 100mg dua kali sehari selama 21 hari sebagai eredikasi
patogen dan lini keduanya adalah eritromisin 500mg empat kali sehari. Pada
abses yang berfluktuasi sebaiknya dilakukan aspirasi. Sementara tindakan
pembedahan dapat dilakukan untuk elefantiasis dan sindrom anorektal
berujuan untuk mengambil kelenjar yang mengalami fibrosis dan radang.
Drainase dilakukan pada abses perianal dan perirektal. Pada pasien
elefantiasis penis dan skrotum dapat dilakukan operasi plastik (Djuanda, 2015
dan Sentono, 2014)
Prognosis pada limfogranuloma venereum pada stadium pertama dan
kedua baik jika patuh dalam pengobatan. Sedangkan pada stadium komplikasi
berprognosis buruk (Djuanda, 2015)
Pencegahan primer dari penyakit ini adalah mendorong perubahan
perilaku untuk mencegah penyakit IMS seperti tidak berganti ganti pasangan,
menjahui prostitusi, serta menggunakan kondom. Selain itu juga
mengindentifikasi atau skrining ke populasi tinggi resiko untuk mengetahui
seseorang apakah terinfeksi sebelum menularkannya ke orang lain.
Pencegahan sekunduer ditujukan untuk seseorang yang sudah terdiagnosis
yaitu melakukan pemeriksaan ulang setelah 3 bulan menerima pengobatan
(Batteiger, 2015). Pasangan penderita yang mempunyai riwayat hubungan
seksual 60 hari sebelum terdiagnosis juga harus diperiksa dan jika
asimptomatik dapat diberikan azitromisin 1 gram single dose atau doksisiklin
100mg dua kali sehari selama satu minggu (Zenilman, 2015).

C. Granuloma Inguinal
Granuloma inguinal adalah penyakit ulkus yang dapat berupa
granulomatosa, progresif tidak nyeri pada genitalia, perianal, dan inguinal.
Penyakit ini juga dikenal dengan nama donovanosis, granuloma vereneum,
granuloma inguinal dan granuloma tropikum (Indriatmi, 2015)
Keberadaan penyakit ini sudah jarang ditemukan, termasuk di daerah
yang sebelumnya endemis, yaitu di Papua New Guinea, Australia Tengah,
Brazilia, Karibia, dan beberapa bagian India. Hal ini dikarenakan peningkatan
kualitas layanan kesehatan dan gaya hidup yang sehat. Tetapi, penyakit ini
masih dapat ditemukan di daerah terpencil yang endemik (Ballard, 2015).
Penyakit ini disebabkan oleh Klebsiella granulomatis yang merupakan
basil gram-negatif yang kadang berbentuk kokus. Penularan dapat melalui
kontak seksual maupun non-seksual seperti pada anak yang tidak aktif seksual
yang disebabkan oleh autoinkulasi. Kontak kulit yang tidak intak dengan feses
juga dapat menjadi tempat masuk infeksi (Indriatmi, 2015).
Gambaran klinis dari granuloma inguinal adalah papul atau nodul kecil
subkutan tunggal atau multipel yang muncul setelah masa inkubasi yang cukup
lama yaitu 8 sampai dengan 80 hari. Kemudian lesi akan mengalami erosi,
menimbulkan ulkus berbatas tegas yang berwarna merah keunguan dan mudah
berdarah (Gambar 3). Ulkus yang terbentuk tanpa rasa nyeri, tunggal atau
multipel, tidak teratur, dan berbatas tegas (Ballard 2016 dan Indriatmi, 2015).

Gambar 3. Lesi primer granuloma inguinal (Ballard, 2015)


Jika terdapat lesi multipel akan bergabung menjadi ulkus yang besar dan
beberapa melakukan autoinokulasi sehingga menyebabkan lesi baru. Ulkus
akan terasa nyeri jika terjadi infeksi sekunder. Granuloma inguinal menyebar
secara subkutaneus dan dapat bersifat progresif dan destruktif (Gambar 4).
Gambar 4. Lesi yang bersifat progresif dan destruktif (Ballard, 2015)
Hal ini akan terlihat berwarna merah daging, mudah berdarah dengan
cairan seropurulen yang berbau busuk. Ulkus akan terlihat seperti kanker bila
menetap dan meluas selama beberapa tahun (Indriatmi, 2015). Jika terjadi
penyembuhan spontan akan terbentuk skar yang akan membentuk deformitas
(Gambar 5). Pada penyakit ini jarang menimbulkan limfadenopati dan gejala
sistemik. Tetapi biasanya gejala sistemik lebih sering ditemukan pada wanita
yang memiliki lesi primer di serviks (Ballard, 2015).

Gambar 5. Skar pada granuloma inguinal (Ballard, 2015)


Menurut OFarrell (2016), terdapat empat varian klinis yaitu
Ulserogranulomatosa yaitu jaringan granulosi merah yang mudah berdarah ;
hipertropik yaitu lesi yang menyerupai veruka dalam jumlah banyak ; nekrotik
yaitu ulkus dalam dengan destruksi jariangan ; skleroti yaitu fibrosis dan dapat
disertai striktura.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan tissue smear dari
kerokan tepi jaringan ulkus yang kemudian dilakukan pengecatan giemsa,
wright atau leishman. Kemudian dilakukan pemeriksaan histologi untuk
menemukan badan donovan (Gambar 6) dan organisme yang berbentuk seperti
peniti (safety pin) atau pegangan telepon (Indriatmi, 2015). Selain pemeriksaan
histologi, dapat dilakukan kultur, PCR dan serologi tetapi pemeriksaan ini jarang
dilakukan. Jika pemeriksaan apusan jaringan selalu mendapatkan hasil negatif,
perlu dilakukan biopsi untuk menyingkirkan keganasan (Ballard, 2015).
Menurut Indriatmi (2015), penegakan diagnosis granuloma inguinal
berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan lainnya untuk menyingkirkan
diagnosis bandingnya. Penemuan badan donovan pada pemeriksaan histologi
dengan pengecatan giemsa baik dari apusan jaringan atau biopsi merupakan
ciri khas penyakit ini.

Gambar 6. Badan Donovan (Ballard, 2015)


Pengobatan granuloma inguinal memiliki beberapa prinsip yaitu lama
pengobatan paling tidak selama 3 minggu atau hingga sembuh dan bila
bersamaan dengan infeksi HIV pengobatan akan lebih lama. Rekomendasi lini
pertama pengobatan penyakit ini adalah azitromisin 1gram peroral setiap 1
minggu. Azitromisin menjadi lini pertama karena terkonsentrasi di dalam
makrofag dan dilepaskan perlahan dari jaringan serta memiliki waktu paruh
yang panjang sehingga efektif untuk melawan Klebsiella granulomatis (Ballard,
2015 dan Indriatmi, 2015). Lini kedua adalah kotrimoksazol 960mg dua kali
sehari, doksisiklin 100mg dua kali sehari, dan untuk ibu hamil dapat diberikan
eritromisin 500mg empat kali sehari (OFarell, 2016).
Prognosis dari kasus ini jika pada stadium dini adalah baik dan akan
menghasilkan kesembuhan total. Tetapi, jika pada kasus yang sudah lanjut
dapat terjadi destruksi jaringan yang memiliki prognosis yang kurang baik
(Indiriatmi, 2015).
Pencegahan granuloma inguinal sama seperti penyakit infeksi menular
seksual lainnya yaitu menghindari seks bebas, tidak berganti pasangan
seksual, menggunakan kondom serta melakukan skrinning kesehatan. Bila
sudah terdiagnosis penyakit ini harus melakukan pengobatan secara baik dan
sampai selesai.
DAFTAR PUSTAKA

Ballard, R.C. (2015) Klebsiella Granulomatis (Donovanosis, Granuloma


Inngunale), dalam Bannet, J.E., Dolin, R. dan Blaser, M.J, Mandell,
Dauglas, and Bannetts Principle and Practice of Infectious Disease (Ed.
8), Elsevier, Philadelphia.

Batteiger, B.E dan Tan, M. (2015) Chlamydia trachomatis (Trachoma, Genital


Infections, Perinatal Infections, and Lymphogranuloma Venereum), dalam
Bannet, J.E., Dolin, R. dan Blaser, M.J, Mandell, Dauglas, and Bannetts
Principle and Practice of Infectious Disease (Ed. 8), Elsevier, Philadelphia.

Djuanda, A. dan Nilasari, H. (2014) Limfogranuloma Venereum, dalam Menaldi,


S.L., Barmono, K., dan Indriatmi, W. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin,
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Hicks, C.B. (2016) Chancroid, diakses di


https://www.uptodate.com/contents/chancroid?source [diupdate pada 30
Juni 2016 dan diakses pada 19 November 2017]

Indriatmi, W. (2014) Ulkus Mole, dalam Daili, S.F., Indriatmi, W., Zubier, F.
Infeksi Menular Seksual, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indoesia, Jakarta.

Indriatmi, W. (2015) Granuloma Inguinale, dalam Menaldi, S.L., Barmono, K.,


dan Indriatmi, W. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Indriatmi, W. (2015) Ulkus Mole, dalam Menaldi, S.L., Barmono, K., dan
Indriatmi, W. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Lautenschlager, S., Kemp, M., Christensen, J.J., Mayans, M.W., dan Moi, H.
(2016) 2017 European Guideline For The Management of Chancroid,
International Journal of STD & AIDS, 0(0) 1-6
Sentono, H.K. (2014) Limfogranuloma Venereum, S.F., Indriatmi, W., dan
Zubier, F. Infeksi Menular Seksual, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.

OFarrell, N. (2016) 2016 European Guideline on Donovanosis, SAGA Journal.

Zinelman, J.M. (2015) Lymphogranuloma Venereum, diakses di


https://www.uptodate.com/contents/lymphogranuloma-venereum?
source=search_result&search=lymphogranuloma
%20venereum&selectedTitle=1~43 [diupdate pada 23 Desember 2015
dan diakses pada 19 November 2017].

Anda mungkin juga menyukai