Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat. Kesehatan juga
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan dan papan.
Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan dewasa ini, memahami etika Kesehatan
merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat. Kesehatan juga merupakan salah
satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan dan papan.
Tenaga Kesehatan merupakan sumber daya manusia kesehatan yang pada satu sisi adalah
unsur penunjang utama dalam pelayanan kesehatan, pada sisi lain, ternyata kondisinya saat
ini masih jauh dari kurang, baik pada kuantitas maupun kualitasnya. Disini perlu perhatian
pemerintah pada peningkatan dan pemberdayaan SDM Kesehatan secara profesional.
Utamanya dalam pembentukan Sikap dan Perilaku Profesional SDM Kesehatan melalui jalur
pendidikan formal maupun non formal. Disamping itu, masalah yang perlu mendapat
perhatian dari pemerintah mengenai SDM Kesehatan ini adalah kurang efisien, efektif, dan
profesionaliesme dalam menanggulangi permasalahan kesehatan. Masih lemahnya
kemampuan SDM Kesehatan dalam membuat perencanaan pelayanan kesehatan serta sikap
perilaku mereka dalam mengantisipasi permasalahan kesehatan yang terjadi, ternyata tidak
sesuai dengan harapan masyarakat. Yang mana dapat dilihat masih lemahnya tingkat
pengawasan terhadap kinerja petugas kesehatan dalam melayani kesehatan publik.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui dinamika keluarga dan aspek aspek dalam dinamika keluarga.
2. Mengetahui macam macam krisis yang ada dalam keluarga hingga langkah langkah
dalam menghadapi krisis tersebut
3. Mengetahui perilaku masyarakat dalam menyikapi perilaku sehat dan sakit.
4. Mengetahui usaha masyarakat dalam mencari pelayanan kesehatan

1.3 Rumusan Masalah


1. apa yang dimaksud dengan dinamika keluarga ?
2. apa saja aspek yang ada dalam dinamika keluarga ?
3. apa definisi dari krisis dalam keluarga ?
4. apa saja reaksi keluarga dalam menghadapi krisis ?
5. sebutkan macam macam krisis keluarga ?
6. apa saja faktor yang mempengaruhi reaksi dalam menghadapi krisis keluarga ?
7. langkah langkah apa saja yang dilakukan dalam menghadapi krisis keluarga ?
8. apa pengertian dari perilaku sehat ?
9. apa faktor pembagian perilaku kesehatan?
10. apa definisi dari perilaku sakit ?
11. apa penyebab perilaku sakit ?
12. faktor apa saja yang memepengaruhi perilaku sakit ?
13. apa saja tahap tahap dari perilaku sakit ?
14. apa dampak dari sakit ?
15. bagaimana perilaku masyarakat dalam usaha mencari pelayanan kesehatan ?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dinamika Keluarga
2.1.1 Definisi Dinamika Keluarga
Dinamika keluarga adalah suatu interaksi atau hubungan pasien dengan anggota keluarga
dan juga bisa mengetahui bagaimana kondisi keluarga di lingkungan sekitarnya. Keluarga
diharapkan mampu memberikan dukungan dalam upaya kesembuhan pasien.
Dinamika keluarga juga merupakan interaksi (hubungan) antara individu dengan
lingkungan sehingga dapat diterima dan menyesuaikan diri baik dalam lingkungan keluarga
maupun kelompok sosial yang sama.
Dinamika Keluarga merupakan proses dimana keluarga melakukan fungsi, mengambil
keputusan, memberi dukungan kepada anggota keluarganya, dan melakukan koping terhadap
perubahan dan tantangan hidup sehari-hari.
Keluarga tidak ubahnya seperti negara. Ada pimpinan, menteri, rakyat, kebijakan, dan
aturan. Layaknya negara, dinamika politik keluarga pun mesti dinamis. Karena dengan
begitulah, keluarga menjadi hidup, hangat, dan produktif.
Orang belajar banyak tentang berbagai hal melalui keluarga. Mulai masalah pendidikan,
hubungan sosial antar anggota keluarga, ekonomi, pertahanan, komunikasi, organisasi, dan
politik.
Tidak semua pimpinan keluarga peka dengan dinamika yang ada. Kadang terlalu tegang
menyikapi kesenjangan antara idealita dengan realita. Ketidakpekaan dan ketegangan inilah
yang sering membuat dinamika keluarga menjadi buruk. Para anggota keluarga menjadi ikut
kikuk, bungkam, dan takut. Sehingga komunikasi antar anggota keluarga juga tidak berjalan
dengan baik. Jadi, dinamika dalam keluarga adalah hal yang memang sudah seharusnya
terjadi. Yang diperlukan adalah rasa tenggang rasa, menerima masukan dan kemauan untuk
berubah.

2.1.2 Aspek-Aspek Dinamika keluarga


Tiap anggota keluarga memiliki perasaan dan idea tentang diri sendiriyang biasa dikenal
dengan harga diri atau self-esteem.
Tiap keluarga memiliki cara tertentu untuk menyampaikan pendapat dan pikiran mereka
yang dikenal dengan komunikasi.
Tiap keluarga memiliki aturan permainan yang mengatur bagaimana mereka seharusnya
merasa dan bertindak yang berkembang sebagai system nilai keluarga.
Tiap keluarga memiliki cara dalam berhubungan dengan orang luar dan institusi di luar
keluarga yang dikenal sebagai jalur ke masyarakat.

2.2 Krisis Keluarga


2.2.1 Pemahaman tentang Krisis
Kata krisis adalah kata yang sering kita dengar di mana-mana. Krisis moneter
Indonesia, krisis keuangan global, krisis Timur Tengah adalah sebagian istilah yang sering
digunakan akhir-akhir ini. Memang semua orang dan semua institusi mengalami krisis dalam
proses kehidupannya, termasuk juga keluarga.
Krisis keluarga merupakan salah satu dampak negatif era globalisasi yang cenderung
sedang berkecamuk saat ini. Seperti kondisi keluarga di Barat yang setiap hari semakin
mengkhawatirkan. Para psikolog, sosiolog, dan bahkan para pakar politik turut memberikan
perhatian mereka kepada dampak-dampak akibat krisis keluarga ini. Karena keruntuhan atau
kelemahan keluarga akan memberikan dampak negatif kepada masyarakat dan bangsa.
Karena itu penting bagi kita untuk mengenal apa itu krisis dalam keluarga, serta bagaimana
cara mengatasinya.
2.2.2 Macam macam krisis dalam keluarga
1. Krisis Keluarga karena perceraian
Organisassi wanita se-Asia Fasifik(Pan Pacific South East AsiaWomens
Asosiation.PPSEAWA) dalam konferensinya yang ke-20 di Kuala Lumpur Malayasia,
menyimpulkan bahwa Kerusakan yang terjadi dalam keluarga di abad 20 semakin
memburuk. Perceraian dan perpisahan menempati posisi tertinggi. Malah di perkirakan
sekitar 40%-50% generasi mendatang akan menjadi keluarga yang broken home akibat
perceraian orang tuanya atau mereka yang hanya mempunyai orang tua tunggal(Single
Parent).
Hasil penilitian dari beberapa ahli, seperti, Mc. Demott. Moorison, Offord dkk,
Sugar,Westmen & kalter (Adam & Gullota, 1983:253:254)yaitu bahwa remaja yang orang
tuanya bercerai, cenderung menunjukan ciri-cri: berperilaku nakal, mengalami despresi,
melakukan hubungan seksual secara aktif dan kecenderungan terhadap obat-obatan terlarang.

2. Krisis keluarga karena perselingkuhan


Perselingkuhan yang terjadi antara suami istri sebenarnya tidak terlepas dari urusan
pribadi masing-masing. Perlu di sadari bahwa dalam perkawinan terdapat dua orang yang
mempunyai karakter dan temperamen yang sangat berbeda satu sama lain. Sebagai hasil
pembentukan dari pola asuh orang tua di masa lalu, pengaruh lingkungan, dan juga unsur
genetika ( keturunan).
Di Amerika Serikat di sebutkan 75% para suami selingkuh dan 40% para istri juga
selingkuh, dalam 5 tahun pertama dari 5 perkawinan, 3 berakhir dengan perceraian. Dalam 3
dekade terakhir ini 70% perkawinan di AS berakhir dengan perceraian. Melihat angka-angka
ini banyak pria dan wanita memilih hidup bersama tanpa menikah, dan kalau terjadi
perpisahan tidak ada resiko dari segi hukum.
Sementara itu, di kalangan pria bekerja, di dapatkan data bahwa empat dari lima pria-pria
yang di survei pernah berselingkuh hingga tahapan berhubungan intim
Akibat perselingkuhan sepanjang tahun 1986 saja di Indonesia, telah tercatat angka
perceraian mencapai angka 2% dari 140.000(2800 perceraian ).

3. Krisis keluarga karena perkawinan antar agama


Perkawinan antar agama sering terjadi, khususnya di Negara indonesia, agar perkawinan
bisa berlangsung, maka di lakukan kompromi semu dengan jalan misalnya : pada suatu saat
suami ikut/ masuk agama istri dan kawin secara agama istrinya. Dan di saat yang lain
istri/ikut masuk agama suami dan kawin dengan tata cara agama suami dan juga sering di
lanjutkan di kantor Catatan sipil. Namun, dalam perjalanan perkawinan selanjutnya suami
atau istri berbalik kembali memeluk agama semula yang di anutnya.
Perbedaan agama dalam perkawinan, dapat merupakan stesor psikososial untuk
terjadinya terjadinya berbagai bentuk konflik (krisis) kejiwaan. Yang pada akhirnya sulit
terwujudnya keluarga yang sehat dan bahagia. (Dadang H. 2006:101 & 103).

4. Krisis Keluarga Karena Perkawinan Antar Warga Negara


Yang dimaksud dengan perkawinan antara warga Negara adalah perkawinan antar
seorang yang berwarganegara Indonesia (WNI) dengan orang yang berwarna Negara asing.
Selanjutnya Dadang menyampaikan permasalahan -permasalahan yang timbul akibat
perkawinan antara WNI dan WNA yang berkecenderungan berdampak krisis dalam
keluarga. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Latar belakang social yang berbeda.
Hukum perkawinan yang berlaku di negeri asalnya berbeda.
Motif pria WNA.
Wanita WNI lemah dalam hukum.
Indonesia menganut asas ius sanguinis partikal.
Motif tindak kejahatan.

5. Krisis keluarga karena perkawinan Siri (di bawah tangan )


Belakangan ini terjadi pergesekan makna suci pernikahan. fenomena ini di tandai dengan
mareknya prosesi pernikahan siri atau nikah di bawah tangan. Meski sah menurut agama
namun pernikahan secara sembunyi-sembunyi tidak ada perlindungan hukum
perkawinan(tidak ada buku nikah).
Dampak negatif dari pernikahan siri dapat menimbulkan krisis identitas keluarga,
terutama yang menyangkut hak-hak kaum wanitanya. Disamping itu pengakuan yang pernah
dan utuh bagi sang anak dan keturunannya.

6. Krisis keluarga karena perkawinan mengalami penyimpangan seksual


Penyimpangan social merupakan perilaku abnormal yang terkait dengan pemuasan
seksualnya. Yang berdampak kepada perilaku suami (maladjusted), karena sering merintangi
penyesuaian personal dan sosial.

Tipe-tipe penyimpangan seksual


Sadisme, adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau
menyakiti lawan jenisnya.
Masochisme, adalah sebaliknya dari sadisme yaitu cara memperoleh kepuasan sex yang
dilakukan seseorang melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.
Homosex (pria dengan pria),dan lesbiansme (wanita dengan wanita), merupakan masalah
identitas social di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis
kelaminnya sama.
Secara pesikologis , perilaku homo sex, tersebut merupakan hasil belajar melalui
conditioning atau pembiasan pada awal kehidupan, atau terjadi sebagai akibat dari kekeliruan
hubungan dalam keluarga atau perlakuan orang tua patologis.
2.2.3. Reaksi keluarga dalam menghadapi Krisis Keluarga
Dalam hal menghadapi krisis keluarga, reaksi anggota keluarga bisa berbeda-beda, yang
sering menimbulkan dinamika yang baru, atau bahkan krisis susulan.
Bisa juga anggota keluarga memiliki reaksi yang sama dalam menghadapi krisis, baik
secara negatif maupun secara positif.
Beberapa contoh reaksi yang muncul dalam mengahadapi krisis keluarga:
a. Reaksi negatif yang umum
Menyalahkan atau mencari kambing hitam, mungkin pada diri sendiri, kepada anggota keluarga
yang lain, orang luar atau bahkan kepada Allah
Menyangkal: Merasa tidak ada masalah, atau berpura-pura tidak ada masalah, mungkin karena
takut dianggap gagal atau jelek oleh orang lain
Mengeraskan hati: Mengakui keberadaan masalah, namun berusaha menguatkan diri dengan
cara yang negatif, bahkan menolak untuk mencari pertolongan ketika tidak dapat menghadapi
krisis tersebut
Melupakan masalah: Mengakui keberadaan masalah dan kemudian berusaha untuk
menghilangkannya dari pikiran
Mengabaikan atau meremehkan masalah: Mengakui keberadaan masalah, namun mengecilkan
arti atau pengaruhnya dalam hidup.
Melarikan diri dari masalah: Beberapa orang lari dari masalah dengan melakukan hal-hal
tertentu, yang sering membawa masalah yang baru. Beberapa lagi lari ke fantasi atau
penyakit. Beberapa orang yang lain justru berusaha menjauhkan diri dari orang-orang lain.
Bertumpu pada satu reaksi tertentu. Beberapa orang hanya memiliki reaksi emosionil yang
terbatas, misalnya ketika ia takut, sedih, khawatir, kecewa atau frustasi, yang menjadi reaksi
hanyalah marah.

b. Reaksi yang positif


Mengakui keberadaan krisis, dampak dan emosi-emosi yang ditimbulkan oleh krisis tersebut:
Terbuka di hadapan diri sendiri, orang lain dan Tuhan.
Secara obyektif berusaha memahami krisis tersebut dan memisahkan mana yang tanggung
jawab pribadi, mana yang tanggung jawab bersama, mana hal yang berada di dalam kendali
dan di luar kendali
Secara realistis dan bertahap mencari jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi
Belajar dan berusaha untuk fleksibel dan beradaptasi dengan perubahan yang ada.
Berkomunikasi: Mencari dukungan dan pertolongan dari luar, apalagi untuk hal-hal yang di luar
kemampuan diri

2.2.4 Faktor yang mempengaruhi reaksi seseorang dalam menghadapi Krisis Keluarga
Ada beberapa hal yang mempengaruhi reaksi-reaksi tersebut, antara lain:
Tingkat kedewasaan orang: yang berhubungan dengan keterampilannya mengatasi emosi dan
tekanan
Pemahaman tentang krisis itu sendiri: bagaimana seseorang melihat krisis
Pengalaman selama ini ketika menghadapi krisis: bagaimana keberhasilan atau kegagalannya
selama ini ketika menghadapi krisis, yang akan mempengaruhi baik keterampilannya maupun
kepercayaan dirinya.
Keterampilan dalam memecahkan masalah: yaitu kemampuan mencari jalan keluar dari
masalah yang sedang dihadapi
Adanya sumber daya yang mendukung: misalnya pelatihan, konseling, teman-teman, buku-
buku dll.
2.2.5 Langkah-langkah dalam menghadapi Krisis keluarga
Ada beberapa langkah yang secara umum dilakukan agar dapat menangani krisis dalam
keluarga secara maksimal. Langkah-langkah ini berlaku secara umum dan perlu diketahui
baik oleh mereka yang sedang mengalami krisis, maupun orang yang ingin menolong
keluarga yang sedang dilanda krisis. Langkah-langkah ini juga hanya bersifat panduan, dan
tidak harus terjadi secara berurutan. Langkah-langkah dalam menghadapi krisis keluarga
antara lain:
1. Pengakuan dan Pengenalan akan krisis
Penting bagi seluruh keluarga untuk secara bersama-sama mengetahui keberadaan krisis.
Sangat berat bagi anggota keluarga yang mau keluar dari krisis, tapi ada anggota lain yang
tidak peduli, tidak tahu, atau menyangkal keberadaan krisis. Keluarga juga perlu seobyektif
mungkin untuk mengenali apa sebenarnya yang menjadi sumber krisis tersebut. Dan bukan
untuk saling menyalahkan, namun lebih ke arah mencari sebab-sebab dari krisis tersebut.

2. Mencari dukungan
Keluarga juga serealistis mungkin mencari dukungan dari luar. Ada beberapa alasan
seseorang membutuhkan dukungan dari luar:
Kondisi krisis didefinisikan sebagai kondisi yang dialami yang tidak dapat ditangani dengan
cara-cara yang biasa dilakukan. Artinya memang ada masalah dalam mengatasi kondisi yang
terjadi karena ada sesuatu yang baru terjadi, dan mungkin membutuhkan orang lain untuk
bisa keluar dari situasi yang baru ini.
Keluarga yang sedang berada di dalam krisis, kemungkinan besar tidak bisa melihat secara
obyektif apa yang menjadi masalah maupun sumber masalah. Beberapa anggota keluarga
mungkin terlalu stress dan tegang untuk berpikir secara jernih. Beberapa yang lain mungkin
lebih terfokus dalam menyalahkan dan bukan mencari jalan keluar. Mungkin ada yang lebih
tertarik untuk menyelamatkan diri sendiri, dan mengabaikan kepentingan keluarga.
Karenanya penting agar ada orang luar yang dapat melihat situasi dengan lebih jernih.
Dukungan juga dibutuhkan karena kemungkinan seseorang yang sedang mengalami masalah
sedang menderita tekanan batin dan emosional yang besar. Mungkin akan membutuhkan
orang lain yang bisa menjadi tempat mencurahkan hati dan mengeluarkan uneg-uneg atau apa
yang dirasakan. Meskipun juga perlu berhati-hati untuk melibatkan orang luar dalam masalah
keluarga. Karena terkadang keberadaan orang luar justru malah menambah masalah. Atau
mereka sebenarnya tidak kompeten untuk membantu. Atau masalah yang terjadi terlalu
sensitif untuk diketahui oleh orang luar. Karena itulah penting bagi anggota keluarga untuk
memiliki komunitas yang aman, dan terlebih lagi mau berdoa bersama-sama untuk
menghadapi masalah.

3. Melihat prioritas tindakan


Sering ketika ada masalah atau krisis terjadi ada tindakan yang harus diambil, dan hal itu
harus terjadi dalam waktu yang singkat atau mendesak. Jika seseorang belum mengenali
masalahnya secara obyektif, maka akan kesulitan untuk mengambil keputusan. Ada beberapa
hal yang harus dicermati:
Periksa mana yang bersifat darurat
Ada hal-hal yang harus ditangani sedini mungkin dan kalau tidak terjadi dapat
mengakibatkan krisis yang semakin berkepanjangan. Misalnya ada anggota keluarga yang
sedang depresi berat dan sedang merencanakan bunuh diri. Dalam hal ini anggota keluarga
yang lain mungkin harus meninggalkan semua pekerjaan dan mencari solusi untuk masalah
ini.

Periksa hal-hal yang prinsipil atau dianggap prinsipil yang tidak boleh diganggu gugat.
Ketika masalah terjadi, sering ada rambu-rambu yang (menurut seseorang) tidak boleh
dilewati, atau ada juga kebiasaan (ritual) yang harus dilakukan. Misalnya ada kehamilan di
luar nikah, dan orang tua berprinsip : tidak boleh menikah dengan orang tidak seiman. Atau
ada masalah keuangan, dan ada yang berprinsip : tidak boleh rumah yang ditempati ini dijual,
karena ini warisan, dll. Sering hal-hal yang dianggap prinsipil akan menjadi sumber
pertengkaran di dalam menghadapi masalah. Penting bagi seseorang untuk merumuskan
mana yang prinsipil dan mana yang tidak.

Periksa mana yang bersifat sementara atau berlangsung lama/seterusnya.


Perlu melihat apakah masalah yang sedang terjadi bersifat sementara, atau berlangsung
terus. Tindakan yang harus diambil pun tentu akan berbeda. Jika terjadi krisis karena kepala
keluarga meninggal, tentu kita tidak bisa mengharapkan bahwa almarhum akan memenuhi
kebutuhan keluarga seterusnya (walau mungkin ada pensiun). Tapi jika krisis yang terjadi
adalah karena seorang remaja yang sedang kehilangan kepercayaan diri, tentu harus disikapi
dengan cara yang berbeda.
4. Mencari alternatif solusi atau pilihan-pilihan
Sering mereka yang sedang mengalami krisis terpaku dengan solusi tertentu, mungkin
yang berasal dari pengalaman pribadi (dulu), atau berdasarkan saran orang lain yang pernah
mengalami peristiwa yang mirip atau serupa. Namun yang sering terjadi krisis menuntut
perubahan yang berbeda, karena ini merupakan masalah yang tidak bisa ditanggulangi oleh
cara-cara biasa. Dalam hal ini memang seseorang diminta untuk bersikap lebih kreatif,
terbuka pada ide-ide baru, dan mau memberi waktu untuk memeriksa pilihan-pilihan yang
dimiliki.
Dalam hal ini perlu anggota keluarga duduk bersama dan membicarakan pilihan-pilihan
dan alternatif solusi yang ditawarkan. Tidak semua pilihan itu akan diterima oleh semua
pihak. Karenanya penting untuk berkepala dingin dan berdiskusi dengan sehat agar dapat
melihat pilihan-pilihan yang ada dengan lebih sehat.

5. Membuat perubahan secara fleksibel


Krisis terjadi karena ada perubahan dalam situasi yang tidak tertanggulangi, dan biasanya
menuntut perubahan dalam kehidupan sebelum krisis itu bisa tertangani. Artinya krisis
memang menuntut perubahan. Namun dalam melakukan perubahan seseorang perlu
melakukannya dengan cara yang sehat.

6. Fokus dalam memecahkan masalah

7. Membangun keluarga yang tahan krisis


Membangun keluarga yang tahan krisis dimulai dari membangun karakter orang-orang di
dalam keluarga, serta mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik bersama-sama. Lewat
karakter dan kebiasaan yang baik inilah, keterampilan menghadapi krisis dibangun.
Berikut adalah beberapa keterampilan dan kebiasaan baik yang perlu dibangun dalam
keluarga. Ini adalah hal-hal yang penting dimiliki keluarga yang sehat :
Memiliki jalur komunikasi yang baik
Perlu dibiasakan agar tiap anggota keluarga bisa terbuka satu sama lain, dan bisa
berkomunikasi dengan cara-cara yang baik satu sama lain. Riset mengatakan bahwa hal yang
paling merusak keluarga adalah komunikasi yang tidak sehat.

Memiliki kebersamaan
Perlu ada kebersamaan dalam nilai, tujuan dan interaksi satu sama lain. Ini dibangun
dengan melakukan kegiatan bersama-sama: bermain bersama, belajar bersama.

Memiliki komunitas pendukung


Artinya memiliki jaringan dan sumber daya yang lain di luar keluarga. Ketika mengalami
krisis, maka dukungan dari orang-orang yang yang terpercaya akan memberikan kontribusi
yang besar dalam menghadapi krisis.

Fleksibel dan bisa beradaptasi


Yang ditekankan disini adalah keterampilan untuk berubah dan menghadapi perubahan.
Keluarga akan melewati tahap-tahap dan masalah tertentu yang menuntut perubahan. Ketika
memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan itu, keluarga akan dapat
menghadapi krisis dengan lebih baik.

Bertumbuh dan belajar


Di sini adalah kemampuan untuk mempelajari hal-hal yang baru, atau mengambil
hikmah dari peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi.

Memiliki keterampilan menghadapi stress/tekanan


Apa yang keluarga lakukan untuk melepaskan atau melewati masa-masa yang penuh
tekanan :
Memiliki keterampilan memecahkan masalah
Kreativitas dan kemampuan untuk secara sehat dan realistis memecahkan masalah yang
sedang mengganggu

Memiliki sikap yang positif dalam menghadapi kegagalan


Banyak krisis yang ditimbulkan oleh kegagalan atau kesalahan dari anggota keluarga
sendiri. Bagaimana kebiasaan keluarga menghadapi kegagalan atau kesalahan akan
mempengaruhi saat keluarga dilanda krisis.

2.3 Perilaku Kesehatan


2.3.1. Definisi Perilaku Kesehatan
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas, baik yang dapat diamati langsung maupun
yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.
Skinner (1938) seorang ahli psikologis, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon
atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu :

1. Perilaku tertutup (covert behavior)


Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup, misalnya
ibu hamil tahu pentingnya periksa kehamilan.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata, misalnya seorang
ibu memeriksakan kehamilannya.

2.3.2. Pembagian perilaku kesehatan


Perilaku seseorang atau subyek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik dari
dalam maupun dari luar subyek.
1. Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007), perilaku kesehatan terbagi
menjadi tiga teori penyebab masalah kesehatan yang meliputi :
a. Faktor predisposisi (Predisposing factors)
Merupakan faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku
seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi.
Seseorang dengan pengetahuan yang rendah akan berdampak pada perilaku perawatan,
contohnya pada penderita hipertensi. Seseorang dengan pengetahuan yang cukup tentang
perilaku perawatan hipertensi maka secara langsung akan bersikap positif dan menuruti
aturan pengobatan, disertai munculnya keyakinan untuk sembuh, tetapi terkadang masih ada
yang percaya dengan pengobatan alternatif bukan medis yang dipengaruhi oleh kebiasaan
masyarakat yang sudah membudaya.
b. Faktor pemungkin (Enabling factors)
Merupakan faktor yang memungkinkan atau menfasilitasi perilaku atau tindakan artinya
bahwa faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku
kesehatan. Contohnya lingkungan yang jauh atau jarak dari pelayanan kesehatan yang
memberikan kontribusi rendahnya perilaku perawatan pada penderita hipertensi.

c. Faktor penguat (Reinforcing factors)


Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku antara lain :
Dukungan Petugas Kesehatan
Dukungan Petugas sangat membantu, sebab petugas adalah yang merawat dan sering
berinteraksi, sehingga pemahaman terhadap kondisi fisik maupun psikis lebih baik, dengan
sering berinteraksi akan sangat mempengaruhi rasa percaya dan menerima kehadiran petugas
bagi dirinya, serta motivasi atau dukungan yang diberikan petugas sangat besar artinya
contohnya terhadap ketaatan pasien untuk selalu mengontrol tekanan darahmya secara rutin
(Purwanto,1999).

Dukungan keluarga
Dukungan keluarga sangatlah penting karena keluarga merupakan unit terkecil dalam
masyarakat dan sebagai penerima asuhan keperawatan. Oleh karena itu keluarga sangat
berperan dalam menentukan cara asuhan yang diperlukan oleh anggota keluarga yang sakit,
apabila dalam keluarga tersebut salah satu anggota keluarganya ada yang sedang mengalami
masalah kesehatan maka sistem dalam keluarga akan terpengaruhi. (Friedman, 1998).

2. Becker,1979 membuat klasifikasi tentang perilaku kesehatan, diantaranya adalah :


a) Perilaku hidup sehat
Kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Perilaku
ini mencakup : Menu seimbang, Olahraga teratur, Tidak merokok, Tidak meminum-minuman
keras dan narkoba, Istirahat yang cukup, berperilaku positif.

b) Perilaku sakit
Respon seseorang terhadap sakit dan penyakit. Persepsinya terhadap sakit, pengetahuan
tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit dan sebagainya.

c) Perilaku peran sakit


Perilaku ini mencakup :
Tindakan untuk memperoleh kesembuhan
Mengenal atau mengetahui fasilitas atau sasaran pelayanan penyembuhan penyakit yang
layak.
Mengetahui hak, misalnya memperoleh perawatan.
3. Perilaku kesehatan mencakup :
a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit. Perilaku terhadap sakit dan penyakit sesuai
dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni :
Peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behavior). Misalnya, makan
makanan yang bergizi, olah raga.
Pencegahan penyakit (health prevention behavior). Misalnya tidur memakai selambu untuk
mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasi. Termasuk perilaku untuk tidak menularkan
penyakit kepada orang lain.
Pencarian pengobatan (health seeking behavior). Misalnya usaha-usaha mengobati
penyakitnya sendiri atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern
(puskesmas, mantri, dokter praktek).
Pemulihan kesehatan(health rehabilitation behavior). Misalnya melakukan diet, mematuhi
anjuran-anjuran dokter.

b. Perilaku terhadap system pelayanan kesehatan.


Respon seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan modern maupun tradisional.
Perilaku ini menyangkut respon terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas
kesehatan dan obat-obatannya, yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan
penggunaan fasilitas, petugas dan obat-obatan.

c. Perilaku terhadap makanan(nutrition behavior)


Respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku
ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek kita terhadap makanan serta unsur-
unsur yang terkandung didalamnya (zat gizi), pengelolaan makanan sehubungan kebutuhan
tubuh kita.

d. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior)


Adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan
manusia.Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan itu sendiri. Perilaku ini antara lain
mencakup :
Perilaku sehubungan air bersih termasuk didalamnya komponen, manfaat, dan penggunaan
air bersih untuk kepentingan kesehatan.
Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut segi-segi hygiene,
pemeliharaan teknik, dan penggunaannya.
Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair.
Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, yang meliputi ventilasi, pencahayaan, lantai.
Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang-sarang nyamuk (vector).

2.4. Perilaku Sakit


2.4.1. Definisi Perilaku Sakit
Perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit yang meliputi: cara seseorang memantau
tubuhnya,mendefinisika dan menginterpretasikan gejala yang dialami, melakukan upaya
penyembuhan, dan penggunaan system pelayanan kesehatan.
Seorang individu yang merasa dirinya sedang sakit, perilaku sakit bisa berfungsi
sebagai mekanisme koping.
Menurut Parsons, perilaku spesifik yang tampak bila seseorang memilih peran sebagai
orang sakit, yaitu orang sakit tidak dapat disalahkan sejak mulai sakit, dikecualikan dari
tanggungjawab pekerjaan, social dan pribadi, kemudian orang sakit dan keluarganya
diharapkan mencari pertolongan agar cepat sembuh.
Menurut Cockerham, meskipun konsep Parsons tersebut tidak berguna untuk
memahami peran sebagai orang sakit, namun tidak terlalu tepat untuk :menerangkan variasi
perilaku sakit, dipakai pada penyakit kronis, keadaan dan situasi yang mempengaruhi
hubungan pasien-dokter, atau untuk menerangkan perilaku sakit masyarakat kelas bawah.
Juga menurut Meile, konsep Parsons tersebut tidak cocok dipakai pada orang sakit jiwa.

2.4.2. Penyebab Perilaku Sakit


Menurut Mechanic sebagaimana diuraikan oleh Solito Sarwono (1993) bahwa
penyebab perilaku sakit itu sebagai berikut :
Dikenal dan dirasakan nyata tanda dan gejala yang menyimpang dari keadaan normal.
Anggapan dan gejala serius yang dapat menimbulkan bahaya.
Gejala penyakit dirasakan akan menimbulkan dampak terhadap hubungan keluarga,
hubungan kerja, dan kegiatan kemasyarakatan.
Frekuensidanpersisten (terus-menerus, menetap) tandadangejala yang dapatdilihat.
Kemungkinan individu untuk terserang penyakit.
Adanya informasi, pengetahuan, dan anggapan budaya tentang penyakit.
Adanya perbedaan interpretasi tentang gejala penyakit.
Adanya kebutuhan untuk mengatasi gejala penyakit.
Tersedianya berbagai sarana pelayanan kesehatan, seperti: fasilitas ,tenaga, obat-obatan,
biaya, dan transportasi.
Menurut Sri KusmiyatidanDesmaniarti (1990), terdapat 7 perilaku orang sakit yang
dapatdiamati, yaitu:
Fearfullness (merasa ketakutan), umumnya individu yang sedang sakit memilik perasaan
takut. Bentuk ketakutannya, meliputi takut penyakitnya tidak sembuh, takut mati, takut
mengalami kecacatan, dan takut tidak mendapat pengakuan dari lingkungan sehingga merasa
diisolasi.
Regresi, salah satu perasaan yang timbul pada orang sakit adalah ansietas (kecemasan).
Untuk mengatasi kecemasan tersebut, salah satu caranya adalah dengan regresi (menarikdiri)
dari lingkungannya.
Egosentris, mengandung arti bahwa perilaku individu yang sakit banyak mempersoalkan
tentang dirinya sendiri. Perilaku ego sentris, ditandai dengan hal hal berikut : Hanya ingin
menceritakan penyakitnya yang sedang diderita, Tidak ingin mendengarkan persoalan orang
lain, hanya memikirkan penyakitnya sendiri, Senang mengisolasi dirinya baik dari keluarga,
lingkungan maupun kegiatan.
Terlalu memperhatikan persoalan kecil, yaitu perilaku individu yang sakit dengan melebih
lebihkan persoalan kecil. Akibatnya pasien menjadi cerewet, banyak menuntut, dan banyak
mengeluh tentang masalah sepele. Reaksi emosional tinggi, yaitu perilaku individu yang sakit
ditandai dengan sangat sensitive terhadap hal hal remeh sehingga menyebabkan reaksi
emosional tinggi.
Perubahan persepsi terhadap orang lain, karena beberapa factor diatas, seorang penderita
sering mengalami perubahan persepsi terhadap orang lain.
Berkurangnya minat, individu yang menderita sakit di samping memiliki rasa cemas juga
kadang kadang timbul stress. Faktor psikologis inilah salah satu sebab berkurangnya minat
sehingga ia tidak mempunyai perhatian terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungannya.

2.4.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Sakit


a. Faktor Internal
Persepsi individu terhadap gejala dan sifat sakit yang dialami.
Klien akan segera mencari pertolongan jika gejala tersebut dapat mengganggu rutinitas
kegiatan sehari-hari.
Misalnya: Tukang Kayu yang menderita sakit punggung, jika ia merasa hal tersebut bisa
membahayakan dan mengancam kehidupannya maka ia akan segera mencari bantuan.
Akan tetapi persepsi seperti itu dapat pula mempunyai akibat yang sebaliknya. Bisa saja
orang yang takut mengalami sakit yang serius, akan bereaksi dengan cara menyangkalnya
dan tidak mau mencari bantuan.
Asal atau Jenis penyakit
Pada penyakit akut dimana gejala relatif singkat dan berat serta mungkin mengganggu
fungsi pada seluruh dimensi yang ada, Maka klien bisanya akan segera mencari pertolongan
dan mematuhi program terapi yang diberikan.
Sedangkan pada penyakit kronik biasanya berlangsung lama (>6 bulan) sehingga jelas
dapat mengganggu fungsi diseluruh dimensi yang ada.

b. Faktor Eksternal
Gejala yang Dapat Dilihat
Gejala yang terlihat dari suatu penyakit dapat mempengaruhi Citra Tubuh dan Perilaku
Sakit.
Misalnya: orang yang mengalami bibir kering dan pecah-pecah mungkin akan lebih cepat
mencari pertolongan dari pada orang dengan serak tenggorokan, karena mungkin komentar
orang lain terhadap gejala bibir pecah-pecah yang dialaminya.

Kelompok Sosial
Kelompok sosial klien akan membantu mengenali ancaman penyakit, atau justru
meyangkal potensi terjadinya suatu penyakit.
Misalnya: Ada 2 orang wanita, sebut saja Ny. A dan Ny.B berusia 35 tahun yang berasal
dari dua kelompok sosial yang berbeda telah menemukan adanya benjolan pada Payudaranya
saat melakukan SADARI. Kemudian mereka mendiskusikannya dengan temannya masing-
masing. Teman Ny. A mungkin akan mendorong mencari pengobatan untuk menentukan
apakah perlu dibiopsi atau tidak; sedangkan teman Ny.B mungkin akan mengatakan itu
hanyalah benjolan biasa dan tidak perlu diperiksakan ke dokter.

Latar Belakang Budaya


Latar belakang budaya dan etik mengajarkan sesorang bagaimana menjadi sehat,
mengenal penyakit, dan menjadi sakit. Dengan demikian perawat perlu memahami latar
belakang budaya yang dimiliki klien.
Ekonomi
Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap terhadap
gejala penyakit yang ia rasakan. Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika merasa
ada gangguan pada kesehatannya.

Kemudahan Akses Terhadap Sistem Pelayanan


Dekatnya jarak klien dengan RS, klinik atau tempat pelayanan medis lain sering
mempengaruhi kecepatan mereka dalam memasuki sistem pelayanan kesehatan.
Demikian pula beberapa klien enggan mencari pelayanan yang kompleks dan besar dan
mereka lebih suka untuk mengunjungi Puskesmas yang tidak membutuhkan prosedur yang
rumit.

Dukungan Sosial
Dukungan sosial disini meliputi beberapa institusi atau perkumpulan yang bersifat
peningkatan kesehatan.

2.4.4. Tahap-tahap Perilaku Sakit


1. Tahap I (Mengalami Gejala)
Pada tahap ini pasien menyadari bahwa ada sesuatu yang salah Mereka mengenali
sensasi atau keterbatasan fungsi fisik tetapi belum menduga adanya diagnosa tertentu.
Persepsi individu terhadap suatu gejala meliputi:
Kesadaran terhadap perubahan fisik (nyeri, benjolan, dll);
Evaluasi terhadap perubahan yang terjadi dan memutuskan apakah hal tersebut merupakan
suatu gejala penyakit;
Respon emosional.
Jika gejala itu dianggap merupakan suatu gejal penyakit dan dapat mengancam
kehidupannya maka ia akan segera mencari pertolongan.

2. Tahap II (Asumsi Tentang Peran Sakit)


Terjadi jika gejala menetap atau semakin berat. Orang yang sakit akan melakukan
konfirmasi kepada keluarga, orang terdekat atau kelompok sosialnya bahwa ia benar-benar
sakit sehingga harus diistirahatkan dari kewajiban normalnya dan dari harapan terhadap
perannya.
Menimbulkan perubahan emosional seperti: menarik diri/depresi, dan juga perubahan
fisik. Perubahan emosional yang terjadi bisa kompleks atau sederhana tergantung beratnya
penyakit, tingkat ketidakmampuan, dan perkiraan lama sakit.
Seseorang awalnya menyangkal pentingnya intervensi dari pelayanan kesehatan,
sehingga ia menunda kontak dengan sistem pelayanan kesehatan akan tetapi jika gejala itu
menetap dan semakin memberat maka ia akan segera melakukan kontak dengan sistem
pelayanan kesehatan dan berubah menjadi seorang klien.

3. Tahap III (Kontak dengan Pelayanan Kesehatan)


Pada tahap ini klien mencari kepastian penyakit dan pengobatan dari seorang ahli,
mencari penjelasan mengenai gejala yang dirasakan, penyebab penyakit, dan implikasi
penyakit terhadap kesehatan dimasa yang akan datang.
Profesi kesehatan mungkin akan menentukan bahwa mereka tidak menderita suatu
penyakit atau justru menyatakan jika mereka menderita penyakit yang bisa mengancam
kehidupannya. Klien bisa menerima atau menyangkal diagnosa tersebut.
Bila klien menerima diagnosa mereka akan mematuhi rencana pengobatan yang telah
ditentukan, akan tetapi jika menyangkal mereka mungkin akan mencari sistem pelayanan
kesehatan lain, atau berkonsultasi dengan beberapa pemberi pelayanan kesehatan lain sampai
mereka menemukan orang yang membuat diagnosa sesuai dengan keinginannya atau sampai
mereka menerima diagnosa awal yang telah ditetapkan.
Klien yang merasa sakit, tapi dinyatakan sehat oleh profesi kesehatan, mungkin ia akan
mengunjungi profesi kesehatan lain sampai ia memperoleh diagnosa yang diinginkan
Klien yang sejak awal didiagnosa penyakit tertentu, terutama yang mengancam
kelangsungan hidup, ia akan mencari profesi kesehatan lain untuk meyakinkan bahwa
kesehatan atau kehidupan mereka tidak terancam. Misalnya: klien yang didiagnosa mengidap
kanker, maka ia akan mengunjungi beberapa dokter sebagai usaha klien menghindari
diagnosa yang sebenarnya.

4. Tahap IV (Peran Klien Dependen)


Pada tahap ini klien menerima keadaan sakitnya, sehingga klien bergantung pada
pemberi pelayanan kesehatan untuk menghilangkan gejala yang ada. Klien menerima
perawatan, simpati, atau perlindungan dari berbagai tuntutan dan stress hidupnya.
Secara sosial klien diperbolehkan untuk bebas dari kewajiban dan tugas normalnya,
semakin parah sakitnya, semakin bebas.
Pada tahap ini klien juga harus menyesuaikan dengan perubahan jadwal sehari-hari.
Perubahan ini jelas akan mempengaruhi peran klien di tempat ia bekerja, rumah maupun
masyarakat.

5. Tahap V (Pemulihan dan Rehabilitasi)


Merupakan tahap akhir dari perilaku sakit, dan dapat terjadi secara tiba-tiba, misalnya
penurunan demam.
Penyembuhan yang tidak cepat, menyebabkan seorang klien butuh perawatan lebih
lama sebelum kembali ke fungsi optimal, misalnya pada penyakit kronis.
Tidak semua klien melewati tahapan yang ada, dan tidak setiap klien melewatinya
dengan kecepatan atau dengan sikap yang sama. Pemahaman terhadap tahapan perilaku sakit
akan membantu perawat dalam mengidentifikasi perubahan perubahan perilaku sakit klien
dan bersama-sama klien membuat rencana perawatan yang efektif.

2.4.5. Dampak Sakit


1. Terhadap Perilaku dan Emosi Klien
Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda tergantung pada asal penyakit, reaksi
orang lain terhadap penyakit yang dideritanya, dan lain-lain.
Penyakit dengan jangka waktu yang singkat dan tidak mengancam kehidupannya akan
menimbulkan sedikit perubahan perilaku dalam fungsi klien dan keluarga. Misalnya seorang
Ayah yang mengalami demam, mungkin akan mengalami penurunan tenaga atau kesabaran
untuk menghabiskan waktunya dalam kegiatan keluarga dan mungkin akan menjadi mudah
marah, dan lebih memilih menyendiri.
Sedangkan penyakit berat, apalagi jika mengancam kehidupannya.dapat menimbulkan
perubahan emosi dan perilaku yang lebih luas, seperti ansietas, syok, penolakan, marah, dan
menarikdiri.
Perawat berperan dalam mengembangkan koping klien dan keluarga terhadap stress,
karena stressor sendiri tidak bisa dihilangkan.

2. Terhadap Peran Keluarga


Setiap orang memiliki peran dalam kehidupannya, seperti pencari nafkah, pengambil
keputusan, seorang profesional, atau sebagai orang tua. Saat mengalami penyakit, peran-
peran klien tersebut dapat mengalami perubahan.
Perubahan tersebut mungkin tidak terlihat dan berlangsung singkat atau terlihat secara
drastis dan berlangsung lama. Individu / keluarga lebih mudah beradaptasi dengan perubahan
yang berlangsung singkat dan tidak terlihat.
Perubahan jangka pendek : klien tidak mengalami tahap penyesuaian yang
berkepanjangan. Akan tetapi pada perubahan jangka panjang : Klien memerlukan proses
penyesuaian yang sama dengan Tahap Berduka.
Peran perawat adalah melibatkan keluarga dalam pembuatan rencana keperawatan.
3. Terhadap Citra Tubuh
Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang terhadap penampilan fisiknya.
Beberapa penyakit dapat menimbulkan perubahan dalam penampilan fisiknya, dan
klien/keluarga akan bereaksi dengan cara yang berbeda-beda terhadap perubahan tersebut.
Reaksi klien/keluarga terhadap perubahan gambaran tubuh itu tergantung pada:
Jenis Perubahan (mis: kehilangan tangan, alat indera tertentu, atau organ tertentu)
Kapasitas adaptasi
Kecepatan perubahan
Dukungan yang tersedia.

4. Terhadap Konsep Diri


Konsep Diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya sendiri, mencakup
bagaimana mereka melihat kekuatan dan kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.
Konsep diri tidak hanya bergantung pada gambaran tubuh dan peran yang dimilikinya
tetapi juga bergantung pada aspek psikologis dan spiritual diri. Perubahan konsep diri akibat
sakit mungkin bersifat kompleks dan kurang bisa terobservasi dibandingkan perubahan peran.
Konsep diri berperan penting dalam hubungan seseorang dengan anggota keluarganya
yang lain. Klien yang mengalami perubahan konsep diri karena sakitnya mungkin tidak
mampu lagi memenuhi harapan keluarganya, yang akhirnya menimbulkan ketegangan dan
konflik. Akibatnya anggota keluarga akan merubah interaksi mereka dengan klien.

5. Terhadap Dinamika Keluarga


Dinamika Keluarga meruapakan proses dimana keluarga melakukan fungsi, mengambil
keputusan, memberi dukungan kepada anggota keluarganya, dan melakukan koping terhadap
perubahan dan tantangan hidup sehari-hari.

2.5. Perilaku mencari pelayanan kesehatan


Masyarakat atau anggota masyarakat pada umumnya mempunyai perilaku yang berbeda-
beda terkait dengan sakit dan penyakit. Perilaku tersebut tercermin dalam respons yang
dilakukan apabila mereka diserang penyakit dan merasakan sakit mulai dari tidak bertindak
atau hingga tidak melakukan apa-apa. Berikut adalah perilaku masyarakat dalam mencari
yankes untuk mengobati sakit yang dideritanya :
a. Tidak bertindak/kegiatan apa-apa (no action).
Alasannya antara lain bahwa kondisi yang demikian tidak mengganggu kegiatan atau
kerja mereka sehari-hari. Anggapan bahwa tanpa bertindak gejala yang dideritanya akan
lenyap dengan sendirinya, fasilitas kesehatan yang diperlukan sangat jauh letaknya, para
petugas kesehatan tidak simpatik, judes, tidak responsive, dan sebagainya, akhirnya alasan
takut dokter, takut pergi ke rumah sakit, takut biaya, dan sebagainya.

b. Tindakan mengobati sendiri (self treatment)


Alasan orang atau masyarakat percaya kepada diri sendiri, dan karena pengalaman
yang lalu usaha-usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini
mengakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan.

c. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy).


Masyarakat pedesaan khususnya, pengobatan tradisional ini masih menduduki tempat
teratas dibandingdengan pengobatan-pengobatan yang lain. Pada masyarakat yang masih
sederhana, masalah sehat-sakit adalah lebih bersifat budaya dari pada gangguan-gangguan
fisik. Identik dengan pencarian pengobatan pun lebih berorientasi kepada sosial-budaya
masyarakat dari pada hal-hal yang dianggapnya masih asing.
Dukun yang melakukan pengobatan tradisional merupakan bagian masyarakat, berada
ditengah-tengah masyarakat, dekat dengan masyarakat, dan pengobatan yang dihasilkan
adalah kebudayaan masyarakat, lebih diterima oleh masyarakat dari pada dokter, mantri,
bidan, dan sebagainya yang masih asing bagi mereka seperti juga pengobatan yang dilakukan
dan obatnya juga merupakan kebudayaan mereka.
d. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop) dan
sejenisnya, termasuk ketukang-tukang jamu.
Obat-obat yang mereka dapatkan pada umumnya adalah obat yang tidak memakai
resep sehingga sukar untuk dikontrol.
e. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah
atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan kedalam balai pengobatan,
Puskesmas, dan Rumah Sakit.
f. Mencari pengobatan kefasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter
praktek (private medicine).

Dari uraian-uraian di atas tampak jelas bahwa persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit
sangat berbeda pada setiap individu, kelompok dan masyarakat. Persepsi masyarakat
terhadap sehat-sakit erat hubungannya dengan perilaku pencarian pengobatan, berdasarkan
perbedaan persepsi mempengaruhi atas dipakai atau tidak dipakainya fasilitas kesehatan yang
disediakan. Apabila persepsi sehat-sakit masyarakat belum sama dengan konsep sehat-sakit,
maka jelas masyarakat belum tentu atau tidak mau menggunakan fasilitas yang diberikan,
Notoatmodjo (2007:206)

Tahap Penundaan Pencarian Bantuan


Appraisal delay : waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mengetahui bahwa gejala tersebut
serius.
Illness delay : jarak waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui bahwa gejala tersebut
merupakan gejala penyakit dan keputusan untuk mencari pengobatan.
Utilization delay : waktu antara keputusan untuk mencari pengobatan dan pelaksanaannya.

Alasan untuk Berbagai Tahap Penundaan


Tidak adanya rasa sakit.
Tidak mengetahui bahwa gejala itu serius.
Biaya pengobatan.
Kesibukan kerja.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dinamika keluarga adalah suatu interaksi atau hubungan pasien dengan anggota keluarga
dan juga bisa mengetahui bagaimana kondisi keluarga di lingkungan sekitarnya. Aspek
Dinamika keluarga : Tiap anggota keluarga memiliki perasaan dan idea tentang diri sendiri,
Tiap keluarga memiliki cara tertentu untuk menyampaikan pendapat dan pikiran mereka,
Tiap keluarga memiliki aturan permainan, Tiap keluarga memiliki cara
dalam berhubungan dengan orang luar dan institusi di luar keluarga.
Krisis keluarga merupakan salah satu dampak negatif era globalisasi yang cenderung
sedang berkecamuk saat ini. Macam macam krisis dalam keluarga :
7. Krisis Keluarga karena perceraian
8. Krisis keluarga karena perselingkuhan
9. Krisis keluarga karena perkawinan antar agama
10. Krisis Keluarga Karena Perkawinan Antar Warga Negara
11. Krisis keluarga karena perkawinan Siri (di bawah tangan )
12. Krisis keluarga karena perkawinan mengalami penyimpangan seksual
Reaksi keluarga dalam menghadapi Krisis Keluarga : reaksi negatif yang umum dan
reaksi yang positif. Faktor yang mempengaruhi reaksi seseorang dalam menghadapi Krisis
Keluarga : Tingkat kedewasaan, Pemahaman tentang krisis, Keterampilan dalam
memecahkan masalah, Adanya sumber daya yang mendukung. Ada beberapa langkah yang
secara umum dilakukan agar dapat menangani krisis dalam keluarga secara maksimal, yaitu :
Pengakuan dan Pengenalan akan krisis, Mencari dukungan, Melihat prioritas tindakan,
Mencari alternatif solusi atau pilihan-pilihan, Membuat perubahan secara fleksibel, Fokus
dalam memecahkan masalah, Membangun keluarga yang tahan krisis.
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas, baik yang dapat diamati langsung maupun
yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Lawrence Green (1980) dalam
Notoatmodjo (2007), perilaku kesehatan terbagi menjadi tiga teori, yaitu : Faktor predisposisi
(Predisposing factors), Faktor pemungkin (Enabling factors), Faktor penguat (Reinforcing
factors). Menurut Becker,1979 membuat klasifikasi tentang perilaku kesehatan, diantaranya
adalah : Perilaku hidup sehat, Perilaku sakit dan Perilaku peran sakit.
Perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit yang meliputi: cara seseorang memantau
tubuhnya,mendefinisika dan menginterpretasikan gejala yang dialami, melakukan upaya
penyembuhan, dan penggunaan system pelayanan kesehatan.
Penyebab Perilaku Sakit Menurut Sri Kusmiyatidan Desmaniarti (1990), terdapat tujuh
perilaku orang sakit yang dapat diamati, yaitu: Fearfullness, Regresi, Egosentris, Terlalu
memperhatikan persoalan kecil, Perubahan persepsi terhadap orang lain dan Berkurangnya
minat. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Sakit yaitu : Faktor Internal dan Faktor
Eksternal. Tahap-tahap Perilaku Sakit : Tahap I (Mengalami Gejala), Tahap II (Asumsi
Tentang Peran Sakit), Tahap III (Kontak dengan Pelayanan Kesehatan), Tahap IV (Peran
Klien Dependen) dan Tahap V (Pemulihan dan Rehabilitasi). Dampak Sakit : Terhadap
Perilaku dan Emosi Klien, Terhadap Peran Keluarga, Terhadap Citra Tubuh, Terhadap
Konsep Diri, Terhadap Dinamika Keluarga.
Berikut adalah perilaku masyarakat dalam mencari yankes untuk mengobati sakit yang
dideritanya : Tidak bertindak/kegiatan apa-apa (no action), Tindakan mengobati sendiri (self
treatment), Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy),
Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop) dan
sejenisnya, termasuk ketukang-tukang jam, Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas
pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga, Mencari
pengobatan kefasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter praktek (private
medicine). ada tahap Penundaan masyarakat dalam mencari bantuan kesehatan, yaitu :
Appraisal delay, Illness delay , Utilization delay. Mereka pun mempunyai alasan untuk
berbagai tahap penundaan : Tidak adanya rasa sakit, Tidak mengetahui bahwa gejala itu
serius, Biaya pengobatan dan Kesibukan kerja.
DAFTAR PUSTAKA

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.


Effendy, Nasrul. 1998. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC.
Ekasari, Mia Fatma, dkk. 2008. Keperawatan Komunitas Upaya Memandirikan
Masyarakat untuk Hidup Sehat. Jakarta: Trans Info Media.
Go Nursing. 2008. Keperawatan Keluarga Sebuah Pengantar.
http://ilmukeperawatan.wordpress.com/2008/04/07/keperawatan-keluarga-sebuah-pengantar/.
Slamet, Juli Soemirat. 2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Friedman, M. M. (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek.(Family nursing
teori and practice). Edisi 3. Alih bahasa Ina debora R. L. Jakarta: EGC
Tri Kurniawati, Irma. 2008. Gambaran Pemanfaatan-Literatur. www.lontar.ui.ac.id.
http://andhablog.blogspot.com/2009/04/perilaku-sakit.html
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3747/1/fkm-juanita5.pdf)
http://www.scribd.com/doc/75657031/DINAMIKA-KELUARGA
http://hikmatpembaharuan.wordpress.com/
http://rizkipkip.blogspot.com/2013/05/perilaku-pencarian-pelayanan-kesehatan.html
http://g00dlucky.blogspot.com/2013/04/perilaku-pencarian-pelayanan-kesehatan.html

Anda mungkin juga menyukai