Anda di halaman 1dari 12

PEMODELAN NERACA AIR DI DAS DURIANGKANG,

KOTABATAM, KEPULAUAN RIAU1

Oleh :
Irfan B. Pramono dan Rahardyan Nugroho Adi2
2

2
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan.
Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959
Email: bpt.kpdas@gmail.com; ibpramono@yahoo.com; d11lb@yahoo.com

ABSTRAK
Jumlah air di bumi adalah tetap dan terbatas, hanya sejumlah 42,7 ribu km3 yang menjadi
sumber utama penghidupan dan kehidupan makhluk hidup di bumi ini. Dengan jumlah
air tawar yang jumlahnya sangat terbatas tersebut maka penggunaannya harus
dilakukan secara bijak. Di pulau Batam Kepulauan Riau, ketersediaan air kawasan saat ini
mulai menjadi masalah dan diperkirakan 3 tahun yang akan datang akan menglami
defisit air karena ketersediaan tidak seimbang dengan kebutuhan airnya. Seiring dengan
pertambahan penduduk yang cepat menyebabkan kebutuhan air di pulau Batam
menjadi meningkat pula. Sumber air untuk memenuhi kebutuhan air di pulau Batam
diperoleh dari beberapa dam buatan yang membendung beberapa sungai yang ada di
pulau Batam. Salah satu sungai yang dibendung adalah sungai Duriangkang. Namun
demikian sungai Duriangkang ini belum mempunyai pencatatan data secara kontinyu
sehingga diperlukan pemodelan neraca air untuk menganalisis ketersediaan air di DAS
Duriangkang
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui neraca air dan ketersediaan air DAS
Duriangkang. Metode yang digunakan adalah analisis neraca air yang dikembangkan
oleh Thornthwaite Mather. Metode ini mendasarkan pada data masukan berupa curah
hujan bulanan dan temperature bulanan. Luaran dari metode ini adalah berupa limpasan
bulanan. Kemudian proses yang terjadi di dalam DAS didekati dengan tingkat
evapotranspirasi dan kemampuan tanah menahan air.
Hasil perhitungan neraca air di DAS Duriangkang dengan menggunakan data hujan
bulanan dan temperatur bulanan mulai tahun 2001 sampai dengan 2011 menunjukkan
bahwa fluktuasi limpasan bulanan di DAS Duriangkang berkisar antara 361,56 mm
sampai dengan 1.353,91 mm. Fluktuasi hasil air tahunan di DAS Duriangkang cukup besar
yang disebabkan karena penggunaan lahan yang ada di DAS Duriangkang yang mampu
menyimpan air hujan melalui proses infiltrasi. Rata-rata fluktuasi hasil air selama 11 tahun
(2001 2011) terakhir berkisar dari 30,13 sampai dengan 112,83 mm. Untuk mengatasi
permasalahan fluktuasi hasil air yang cukup besar tersebut maka pembuatan bendung
merupakan suatu keharusan sehingga air sungai tidak langsung terbuang ke laut tetapi
dapat tertampung terlebih dahulu pada dam sehngga ketersediaan air kawasan tetap
terjaga.
Kata Kunci : Neraca air, DAS Duriangkang, Pulau Batam

1
Disampaikan dalam Seminar Nasional Pengelolaan DAS Terpadu untuk
Kesejahteraan Masyarakat diselenggarakan oleh BPTKPDAS dan Fakultas
Pertanian UNIBRAW di Malang, pada tanggal 30 September 2014.

576
I. PENDAHULUAN

Air merupakan salah satu kebutuhan utama bagi kehidupan semua


makhluk hidup dan ekosistem di muka bumi. Supangat (2005)
mengemukakan bahwa air adalah esensial kehidupan terutama bagi
manusia, dalam setiap gerak kehidupannya tidak terlepas dari air,
bahkan 70 % dari tubuh manusia didominasi oleh air dalam berbagai
bentuk cairan. Hehanussa (1999) mengemukakan hanya sekitar 42,7
ribu km3 yang menjadi sumber utama penghidupan dan kehidupan
makhluk hidup di bumi ini. Dengan jumlah air tawar yang jumlahnya
sangat terbatas tersebut maka penggunaannya harus dilakukan secara
bijak.

Ketersediaan air dalam kegiatan pembangunan di berbagai tempat


saat ini sering mengalami permasalahan. Salah satu permasalahan
yang sering ditemui adalah adanya ketersediaan sumberdaya air.
Berkaitan dengan kelangkaan ketersediaan sumberdaya air kawasan,
hal ini disebabkan karena distribusi air di berbagai tempat tidak sama.
Disamping itu jumlah air yang tersedia sangat tergantung dari lokasi
maupun kondisi iklim setempat terutama curah hujannya. Supangat
(2005) mengemukakan bahwa faktor utama yang sangat penting
sebagai penentu keberadaan air baik kuantitas maupun kualitas adalah
kegiatan manusia.

Pulau Batam di Provinsi Kepulauan Riau, ketersediaan air kawasan saat


ini mulai menjadi masalah dan diperkirakan 3 tahun yang akan datang
akan menglami defisit air karena ketersediaan tidak seimbang dengan
kebutuhan airnya. Seiring dengan pertambahan penduduk yang cepat
menyebabkan kebutuhan air di pulau Batam menjadi meningkat pula.
Sumber air untuk memenuhi kebutuhan air di pulau Batam diperoleh
dari beberapa dam buatan yang membendung beberapa sungai yang
ada di pulau Batam. Salah satu sungai yang dibendung adalah sungai
Duriangkang. DAS Duriangkang merupakan salah satu dari 2 (dua) DAS
prioritas di Provinsi Kepulauan Riau sesuai dengan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan nomor SK.328/Menhut-II/2009. Status DAS
Duriangkang yang termasuk kategori prioritas menunjukkan bahwa
DAS tersebut memerlukan prioritas pengelolaan agar kondisi daerah
tangkapan air menjadi lebih baik. Hal ini terkait dengan keberadaan

577
waduk atau dam terbesar di Kota Batam yang memerlukan upaya
pelestarian. Namun demikian sungai Duriangkang ini belum
mempunyai pencatatan data secara kontinyu sehingga diperlukan
pemodelan neraca air untuk menganalisis ketersediaan air di DAS
Duriangkang

II. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi neraca air dan


ketersediaan air di DAS Duriangkang, Batam, Kepulauan Riau.

III. METODOLOGI

Salah satu metode pendekatan untuk pemodelan neraca air dan


prediksi ketersediaan air suatu kawasan adalah model Thornthwaite
Mather (1957). Pramono dan Rahardyan (2001) mengemukakan bahwa
pendekatan neraca air ini merupakan pendekatan yang bersifat
kontinyu dengan data bulanan. Model ini cukup sederhana karena
hanya memerlukan data masukan yang relatif mudah diperoleh.
Kemudian bahan dan peralatan yang diperlukan adalah sebagai
berikut :

1. Peta Dasar (Topografi, Jenis Tanah, Penggunaan Lahan)


2. Data klimatologi (hujan dan temperatur) lokasi kajian dan
sekitarnya
3. Peralatan Survei Tanah, Meteran, GPS
4. Perangkat Lunak Pengolah Data (spread sheet) dan ArcView atau
ArcGIS.

Pada perhitungan neraca air metode Thornthwaite Mather (1957),


beberapa data yang diperlukan yaitu : 1). Suhu rata-rata bulanan, 2).
Curah hujan rata-rata bulanan, 3)..Letak lintang, 4). Nilai pF 2,54 dan pF
4,2, dan 5). Kedalaman zona perakaran tanaman.(Pramono dan
Rahardyan, 2001).

Adapun tahapan perhitungan neraca air metode Thornthwaite Mather


(1957) adalah sebagai berikut (Pramono dan Rahardyan, 2001) :

578
1. Temperatur
Untuk mengetahui temperatur di wilayah kajian, nilai
temperaturnya dapat dihitung dengan metode ekstrapolasi data
temperature dari stasiun klimatologi terdekat. Syarat untuk dapat
melakukan ekstrapolasi adalah elevasi antara kedua tempat ini
sudah diketahui. Ekstrapolasi dilakukan dengan menggunakan
persamaan Mock (1973) yaitu :

Tx = 0,006 ( E Ex ) + T
Dalam hal ini :
Tx = suhu udara hasil ekstrapolasi E = elevasi pada stasiun
iklim
Ex = elevasi daerah yang diektrapolasi T = suhu udara terukur
pada stasiun iklim
2. Perhitungan Indeks Panas
Indeks panas 1 tahun merupakan jumlah nilai indeks panas
bulanan (i). Untuk menghitung nilai indeks panas bulanan (i)
dilakukan dengan menggunakan persamaan :
I = (T/5)1,514
T = temperatur bulanan
Setelah indeks panas bulanan (Januari Desember) diperoleh
kemudian dijumlahkan, hasilnya merupakan indeks panas tahunan
( I ).
3. Perhitungan Evapotranspirasi Potensial Sebelum Terkoreksi
Pada tahap ini adalah menentukan nilai evapotranspirasi potensial
sebelum terkoreksi dengan menggunakan tabel 4, bagian II dan
Tabel 5 dari Thornthwaite-Mather Dasar untuk menentukan nilai
ini adalah rata-rata temperatur bulanan dan nilai indeks panas.
Untuk temperatur diatas 26,5 C nilai evapotranspirasi potensial
sebelum terkoreksinya dicari pada tabel 5, sedangkan untuk
temperatur di bawah 26,5 C diperoleh dari table 4 bagian II.
Dalam perhitungan nilai evapotranspirasi potensial sebelum
terkoreksi ini jika rata-rata temperaturnya dibawah 0 C maka nilai
evapotranspirasi potensial sebelum terkoreksinya adalah sama
dengan 0.
4. Perhitungan Evapotranspirasi Potensial Terkoreksi
Nilai evapotranspirasi potensial terkoreksi diperoleh dengan
mengalikan faktor koreksi dengan nilai evapotranspirasi sebelum
terkoreksi. Faktor koreksi ditentukan berdasarkan letak lintang

579
wilayah kajian. Nilai faktor koreksi diperoleh dari tabel 6 atau 7
dari Thornthwaite-Mather.
5. Hujan ( P )
Perhitungan rata-rata hujan bulanan wilayah kajian dilakukan
dengan menggunakan metode poligon Thiessen. Data curah hujan
dikumpulkan dari beberapa stasiun hujan terdekat di sekitar
wilayah kajian. Perhitungan hujan dilakukan dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut :

Dalam hal ini :


R = Rata-rata curah hujan
R 1 , R 2 ..... R n = Curah hujan di tiap-tiap titik pengamatan dan n
adalah jumlah titik
pengamatan
A 1 , A 2 , .... A n = luas wilayah yang yang mewakili tiap titik
pengamatan
6. Perhitungan P PE
Perhitungan P PE yaitu untuk menentukan periode kelebihan
dan kekurangan kelembaban. Hal ini diperlukan untuk mengetahui
perbedaan antara curah hujan dan evapotranspirasi potensial. Jika
nilai P PE negatif, menunjukkan bahwa jumlah curah hujan yang
jatuh tidak mampu menambah kebutuhan air pada areal yang
tertutup oleh vegetasi. Jika nilai P PE positif, menunjukkan
bahwa jumlah kelebihan air yang tersedia selama periode tertentu
dalam satu tahun dapat mengisi kembali kelembaban tanah dan
limpasan.
7. Perhitungan Akumulasi Potensi Kehilangan Air (Accumulated
Potential Water Loss/ APWL)
Perhitungan akumulasi potensi kehilangan air diperlukan untuk
mengetahui potensi kehilangan air pada bulan kering.
Perhitungannya dilakukan dengan memulainya dari bulan dengan
nilai P PE yang negatif. Kemudian secara berurutan dijumlahkan
dengan nilai P PE bulan berikutnya sampai dengan bulan dengan

580
nilai P PE negatif yang terakhir. Perhitungan nilai APWL ini
bersifat komulatif.
8. Perhitungan Cadangan Lengas Tanah (ST)
Terdapat dua cara perhitungan cadangan lengas tanah (ST)
pertama adalah berdasarkan nilai air tersedia, kedalaman zona
perakaran, dan luas penggunaan lahan yang ada di lokasi
kajian.Nilai air tersedia diperoleh dari hasil analisis sampel tanah
(parameter pF 2,54 dan pF 4,2). Kedalaman zone perakaran
diperoleh dari survei lapang dan luas penggunaan lahan dari
analisis peta penggunan lahan. Untuk APWL yang bernilai positif
nilai cadangan lengas tanah dihitung berdasarkan :

cadangan lengas tanah tiap penggunaan lahan


ST = --------------------------------------------------------------
% luas zona perakaran per penggunaan lahan

Kemudian untuk nilai APWL yang bernilai negatif, diperoleh dari


tabel 23 33 Thornthwaite-Mather dengan berdasarkan pada nilai
ST yang positif. Cara kedua perhitungan cadangan lengas tanah
(ST) adalah berdasarkan analisis sampel tanah (parameter tekstur)
dari masing-masing unit lahan yang dibuat berdasarkan bentuk
lahan, penggunaan lahan dan jenis tanah. Disamping itu juga
bergantung pada jenis tanaman dominan di setiap unit lahan.
Kemudian nilai cadangan lengas tanah dicari pada tabel 10
Thornthwaite-Mather.
9. Perubahan Lengas Tanah ( ST)
Nilai perubahan lengas tanah dihitung berdasarkan selisih antara
cadangan lengas tanah bulan berjalan dengan cadangan lengas
tanah bulan sebelumnya.
10. Perhitungan Evapotranspirasi Aktual (AE)
Perhitungan nilai evapotranspirasi aktual diilakukan berdasarkan
pada :
jika P > EP maka AE = EP
jika P < EP maka AE = P + nilai mutlak dari perubahan lengas tanah
11. Perhitungan Defisit (D)
Nilai defisit (D) dihitung berdasarkan pada selisih antara EP dan EA
12. Perhitungan Surplus (S)
Nilai surplus dihitung dengan menggunakan rumus S = (P EP) -
perubahan ST ( ST)

581
13. Perhitungan Limpasan (Runoff)
Perhitungan nilai limpasan merupakan langkah terakhir
perhitungan neraca air metode Thornthwaite Mather. Nilai
limpasan diperoleh berdasarkan nilai surplus air yang besarnya
diasumsikan berkisar 50 % dari nilai surplus yang tersedia untuk
menjadi limpasan setiap bulannya dan akan dialirkan pada bulan
berikutnya. Total jumlah limpasan dalam satu tahun adalah
merupakan nilai predikasi ketersediaan air di wilayah kajian.

Hasil akhir dari hasil perhitungan neraca air tersebut adalah berupa
total prediksi limpasan selama satu tahun di lokasi kajian yang identik
dengan prediksi ketersediaan air lokasi kajian.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian dilaksanakan di DAS Duriangkang, Kota Batam, Kepulauan Riau.


Pada Gambar 1 disajikan peta administrasi dan topografi DAS
Duriangkang, Kota Batam, Kepulauan Riau sebagai DAS kajian.

Gambar 1. Peta administrasi dan Topografi DAS Duriangkang

Berdasarkan peta tersebut di atas, DAS Duriangkang dapat dirinci


menjadi beberapa jenis penggunaan lahan seperti disajikan pada Tabel
1 berikut ini.

582
Tabel 1. Jenis Penggunaan Lahan dan Luasannya di DAS Duriangkang
Je nis Penutupan Lahan Luas (ha) %
Badan jalan 11.5 5.2
Pemukiman jarang 46.9 21.3
Pemukiman padat 87.6 39.8
Semak belukar 20.7 9.4
Tanah terbuka 53.6 24.3
Total 220.3 100.0
Dari beberapa jenis penggunaan lahan yang ada di DAS Duriangkang,
sebagian besar luasan adalah berupa pemukiman. Sedangkan yang
tertutup vegetasi yang hanya berupa semak belukar hanya sebesar 20
Ha. Dengan kondisi demikian maka potensi lahan yang diduga mampu
menyimpan atau menginfiltrasi air hujan yang jatuh adalah hanya yang
berada di penggunaan lahan berupa semak belukar dengan luasan
sebesar 20 Ha saja sedangkan jenis penggunaan lahan yang lainnya
kecil kemungkinannya mampu meresapkan air ke dalam tanah tanpa
introduksi teknologi.
Selanjutnya perhitungan hasil air DAS Duriangkang dengan
pendekatan model Thornthwaite Mather dilakukan dengan
menggunakan data temperatur dan curah hujan bulanan mulai tahun
2001 2011. Rekapitulasi hasil perhitungan neraca air dan ketersediaan
air DAS Duriangkang disajikan pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Neraca Air dan Ketersediaan
Air DAS Duriangkang
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des JUMLAH Rata-rata
2001 145.18 72.59 36.29 74.91 97.51 48.76 41.56 41.46 20.52 113.44 87.03 155.75 935.01 77.92
2002 125.24 62.62 31.31 15.65 7.83 29.69 36.53 18.26 9.13 4.57 2.28 169.88 512.99 42.75
2003 331.62 165.81 83.02 41.51 20.75 10.38 5.19 2.59 40.59 93.98 62.80 167.64 1025.87 85.49
2004 279.30 139.65 85.94 42.97 66.04 33.02 56.19 28.10 14.05 7.02 3.51 10.00 765.79 63.82
2005 99.38 49.69 24.84 12.42 105.27 52.63 26.32 34.84 21.71 110.04 149.83 80.15 767.12 63.93
2006 366.58 183.29 91.64 68.08 34.10 76.83 38.59 20.98 10.49 5.24 2.62 384.55 1282.99 106.92
2007 288.86 144.43 72.21 36.10 33.61 45.08 55.22 57.29 66.44 95.90 100.76 235.12 1231.03 102.59
2008 48.94 34.70 126.97 63.25 31.62 15.81 57.58 45.47 69.53 91.95 74.28 97.88 757.99 63.17
2009 25.24 12.62 10.43 5.21 2.61 13.58 30.47 51.92 38.25 47.31 73.46 50.47 361.56 30.13
2010 16.17 8.09 26.66 43.60 30.86 38.71 53.53 26.77 74.18 46.77 64.69 32.35 462.37 38.53
2011 335.55 167.77 83.89 41.94 20.97 22.76 11.56 76.46 72.53 157.44 206.53 156.50 1353.91 112.83

Berdasarkan Tabel 2 tersebut di atas nampak bahwa jumlah hasil air


tahunan DAS Duriangkang berkisar antara 361,56 mm (terendah)
sampai dengan 1.353,91 mm (tertinggi). Hasil air terendh terjadi pada
tahun 2009 dan hasil air tertinggi terjadi pada tahun 2011. Jika di rata-
ratakan pada tahun tersebut (2009) hasil airnya adalah 30,13

583
mm/bulan dan pada tahun 2011 hasil airnya adalah sebesar 112,83
mm/bulan. Jika dibandingkan, perhitungan hasil air yang diperoleh
mulai tahun 2001 sampai dengan 2011 tersebut fluktuasi hasil air di DAS
Duriangkang cukup besar.

Di lain pihak jumlah curah hujan tahunan DAS Duriangkang yang


diperoleh dari stasiun hujan bandara Hang Nadim, kota Batam
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Curah Hujan Bulanan Kota Batam Tahun 2001 - 2011
Tahun J P M A M J J A S O N D Jumlah
2001 275 58 172 262 273 130 195 188 141 354 200 368 2616
2002 221 48 43 129 224 197 190 97 129 112 206 481 2077
2003 636 108 146 151 42 60 97 211 221 294 171 416 2553
2004 689 21 173 77 204 76 188 115 134 125 135 130 2067
2005 259 14 75 168 351 72 162 190 151 345 329 154 2270
2006 489 90 105 260 141 277 143 154 86 95 135 990 2965
2007 483 66 181 134 196 202 212 206 218 272 245 513 2928
2008 138 155 369 144 77 137 313 180 236 261 196 265 2471
2009 12 43 274 73 147 234 194 220 167 203 239 171 1977
2010 30 45 306 209 171 192 215 122 287 166 222 89 2054
2011 655 9 91 177 105 212 147 288 211 389 395 250 2929
Dari Tabel 3 tersebut di atas nampak bahwa jumlah curah hujan
tahunan terendah terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 1.977 mm/
tahun dan tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 2.965 mm/
tahun. Dari Tabel 3 tersebut di atas nampak bahwa curah hujan yang
turun di DAS Duriangkang relatif cukup tinggi karena jumlah curah
hujan tahunannya lebih dari 2000 mm/ tahun kecuali tahun 2009 (1.977
mm/ tahun), namun demikian secara keseluruhan curah hujan DAS
Duriangkang relatif cukup besar.

Selanjutnya jika dibandingkan antara curah hujan sebagai masukan


dan hasil air sebagai luaran nampak bahwa dari curah hujan yang turun
di DAS Duriangkang hanya sebagian saja yang keluar sebagai hasil air.
Hal ini disebabkan karena berdasarkan peta penggunaan lahan DAS
Duriangkang, nampak bahwa sebagian besar luas DAS Duriangkang
adalah pemukiman, badan jalan, dan tanah kosong sehingga
kemungkinan penggunaan lahan tersebut menyerap tanah dengan
proses infiltrasi sangat kecil. Dari kondisi yang demikian maka
sebagian besar curah hujan yang jatuh di DAS Duriangkang sebagian
besar akan menjadi aliran langsung. Sementara itu hasil pendekatan
perhitungan hasil air dengan model Thornthwaite Mather seperti

584
tersaji pada Tabel 2 nampak bahwa hasil air tahunan di DAS
Duriangkan hanya kecil. Hal ini jika dihubungkan dengan penggunaan
lahannya, memang hanya sebagian kecil saja penggunaan lahan yang
mampu menyimpan air hujan untuk diresapkan ke dalam tanah yaitu
pada penggunaan lahan berupa semak belukar yang luasannya hanya
sebesar 20 Ha saja sehingga menyebabkan hasil air DAS Duriangkang
sangat kecil jika dibandingkan dengan masukan curah hujan
tahunannya

Untuk mengatasi permasalahan fluktuasi hasil air yang cukup besar


tersebut maka pembuatan bendung merupakan suatu keharusan
sehingga air sungai tidak langsung terbuang ke laut tetapi dapat
tertampung terlebih dahulu pada dam sehngga ketersediaan air
kawasan tetap terjaga. Dengan kondisi yang demikian, maka perlu
penanganan yang serius terkait keberadaan dam penampung tersebut
agar supaya dam tidak berkurang volumenya sebagai akibat dari
sedimentasi yang masuk ke dalam dam. Disamping itu kualitas air di
dalam dam harus tetap terjaga sehingga dapat memenuhi standar
untuk digunakan sebagai air baku untuk memenuhi kebutuhan air baik
untuk rumah tangga maupun untuk keperluan industri.

Selanjutnya terkait perhitungan hasil air model Thorthnwaite Mather


yang digunakan, berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa prediksi
hasil air tahunan jika dibandingkan dengan hasil pengamatan
langsung, model ini dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Hasil
penelitian yang sama di lokasi lain nampak bahwa antara prediksi dan
pengamatan langsung tidak ada perbedaan yang mencolok. Hasil
perbandingan disajikan pada Gambar 2 berikut ini.

585
Perbandingan Runoff Pengukuran Langsung dan
Perhitungan
400
300
Runoff

200
Runoff Hitung
100 Runoff Ukur
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan

Gambar 2. Perbandingan antara Prediksi dan Pengukuran Langsung

V. KESIMPULAN

1. Hasil prediksi hasil air DAS Duriangkang adalah berkisar antara


361,56 mm sampai dengan 1.353,91 mm.
2. Fluktuasi hasil air tahunan di DAS Duriangkang cukup besar yang
disebabkan karena penggunaan lahan yang ada di DAS
Duriangkang yang mampu menyimpan air hujan melalui proses
infiltrasi.
3. Rata-rata fluktuasi hasil air selama 11 tahun (2001 2011) terakhir
berkisar dari 30,13 sampai dengan 112,83 mm.
4. Untuk mengatasi permasalahan fluktuasi hasil air yang cukup
besar tersebut maka pembuatan bendung merupakan suatu
keharusan sehingga air sungai tidak langsung terbuang ke laut
tetapi dapat tertampung terlebih dahulu pada dam sehngga
ketersediaan air kawasan tetap terjaga.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, R.N., et.al., 2005. Pengaruh Tanaman Kayuputih TerhadapTata Air.


Laporan Penelitian, Balai Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wilayah
Indonesia Bagian Barat. Surakarta.

586
Bruijnzeel, L.A., 1982. Hydrological and Biogeochemical aspects of Man-
made Forest in South-central Java. Indonesia. Nuffic Project
ITC/GUA/VU.

Hehanussa, P.E., 1999. Ketersediaan Air Dalam Perspektif Abad-21,


Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia. Prosiding Seminar
Ketersediaan Air Bersih dan Hak Azasi Manusia. Kerjasama
Masyarakat Hidrologi Indonesia dengan Panitia Nasional
Program Hidrologi dan Himpunan Ahli Teknik Hidraulika.
Tanggal 25 Pebruari 1999. Bogor.

Mock, F.J., 1973. Land Capability Appraisal Indonesia : Water Availability


Appraisal. Bogor : FAO.

Pramono, I.B. dan Rahardyan N.A., 2001. Pedoman Teknis Perhitungan


Neraca Air dengan Metode Thornthwaite-Mather. Info
DAS. Balai Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta.
Surakarta.

Seyhan, E., 1990. Dasar-Dasar Hidrologi, (Diterjemahkan oleh Ir. Sentot


Subagyo). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Supangat, A.B., 2005. Kajian Kesetimbangan Tata Air Dalam Rangka


Perencanaan Tata Ruang Di Wilayah Sub DAS Cirasea.
Thesis S-2. Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota
Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Suryatmojo, H., 2006. Konsep Neraca Air. diunduh dari :


http://mayong.staff.ugm.ac.id/ site/?page_id=115) tanggal
31 Jan 2011.

Thornwhaite, C. W. and J. R. Mather. 1957. Instruction and Tables for


Computing Evapotranspiration and Water Balance.
Publication in Climatology. Drexel Institute of Technology,
Laboratory of Climatology.

587

Anda mungkin juga menyukai