Dislokasi Temporomandibular Joint Dan Avulsi
Dislokasi Temporomandibular Joint Dan Avulsi
Dislokasi Temporomandibular Joint Dan Avulsi
DOSEN PEMBIMBING:
DISUSUN OLEH:
CITRA VEONY FINASTIKA
G1G012034
2016
AVULSI DAN DISLOKASI TEMPOROMANDIBULAR JOINT (TMJ)
A. AVULSI
1. Definisi dan Etiologi Avulsi
Avulsi adalah kondisi keluarnya gigi dari soket akibat trauma (Harty dan Ogston, 2012).
Kondisi ini dapat dilihat secara klinik dan foto rontgen. Riyanti (2010) menyatakan penyebab utama
avulsi adalah adanya trauma dentoalveolar yang terdiri dua jenis, yaitu trauma langsung dan tidak
langsung. Trauma langsung terjadi apabila benturan langsung mengenai gigi, sedangkan trauma
tidak langsung terjadi apabila benturan mengenai bagian rahang yang selanjutnya menyebabkan
gigi pada rahang tersebut membentur gigi antagonisnya dan terjadi fraktur.
Menurut Riyanti (2010), trauma didefinisikan sebagai kerusakan atau luka yang biasanya
disebabkan oleh tindakan-tindakan fisik berupa berkontak dengan kerasnya terhadap suatu benda
sehingga menyebabkan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur. Trauma dapat terjadi
melalui beberapa hal antara lain kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan kerja,
tindakan kriminal, dan perkelahian. Pada anak-anak, trauma dapat terjadi saat bermain, terjatuh,
dan kekerasan terhadap anak Faktor predisposisi terjadinya fraktur dentoalveolar yang dapat
menyebabkan avulsi pada gigi anterior yaitu posisi dan keadaan gigi, seperti malokusi kelas I tipe
2, kelas II divisi 1 atau overjet lebih dari 3 mm, hypoplasia email, anak dengan cerebral palsy, dan
anak dengan kebiasaan mengisap ibu jari (Cameron dan Widmer, 2003)..
2. Pemeriksaan Avulsi
Pemeriksaan avulsi terdiri dari beberapa aspek antara lain riwayat kejadian (history), riwayat
kesehatan (medical history), dan evaluasi neurologis (neurological evaluation) (McCafferty dan
OConnell, 2012). Riwayat kejadian (history) mencakup kapan, dimana, dan bagaimana riwayat
terjadinya avulsi. Riwayat kesehatan (medical history) mencakup adanya alergi terhadap obat-
obatan, riwayat rawat inap, adanya penyakit yang dapat mempengaruhi perawatan, tanda-tanda
tetanus, dan riwayat cedera pada rongga mulut. Evaluasi neurologis (neurological evaluation)
diperlukan segera apabila diketahui pasien hilang kesadaran, sakit kepala, mual atau muntah sejak
cedera. Pemeriksaan avulsi meliputi (Trope, 2002; McCafferty dan OConnell, 2012):
a. Pemeriksaan ekstraoral (extraoral examination)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya memar, parestesia, atau bengkak
pada wajah yang mengindikasikan terjadinya fraktur wajah. Apabila terdapat fraktur
wajah dapat dilakukan rujukan untuk melakukan bedah maksilofasial (McCafferty dan
OConnell, 2012).
2
b. Pemeriksaan gigi (dental examination)
Pemeriksaan ini untuk mengetahui kondisi perkembangan akar apakah sudah terbentuk
sempurna, gigi yang berdekatan dengan gigi yang cedera, dan media penyimpanan gigi
yang avulsi apakah sudah disimpan dilarutan yang tepat atau belum (McCafferty dan
OConnell, 2012)
c. Pemeriksaan soket dan tulang alveolar
Pemeriksaan ini untuk mengetahui kondisi soket apakah masih memungkinkan untuk
dilakukan replantasi atau tidak. Cara melakukan pemeriksaannya yaitu dengan menekan
pada permukaan fasial dan palatal soket kemudian dibersihkan dengan larutan salin.
Apabila gumpalan darah dan debris sudah hilang, perlu diperiksa dinding soket untuk
mengetahui kemungkinan terjadi abses atau kolaps (Trope, 2002).
d. Pemeriksaan radiografis
Pemeriksaan radiografis penting dilakukan untuk mengetahui adanya fraktur tulang
alveolar ataupun rahang, selain itu untuk mengetahui adanya kondisi patologis jaringan
lunak di sekitar soket atau tempat lainnya akibat trauma (Trope, 2002).
e. Pertimbangan biologis dan pertimbangan lainnya
Pertimbangan biologis meliputi kondisi ligamen periodontal dan jaringan pulpa yang
dapat diketahui dari banyaknya paparan udara, bakteri, dan iritan. Faktor pertimbangan
lain meliputi alasan untuk mempertahankan ligamen periodontal berdasarkan
kontaminasi permukaan gigi dan berapa lama waktu gigi di luar mulut yang akan
menentukan prognosis (McCafferty dan OConnell, 2012).
f. Media penyimpanan
Gigi avulsi sebaiknya dilakukan replantasi segera pada saat kejadian untuk
meningkatkan penyembuhan. Beberapa media penyimpanan yang dapat digunakan
diantaranya (Arrizza dan Ramadhan, 2010).
1) Viaspan yaitu cairan yang digunakan untuk mengawetkan organ-organ yang akan
ditransplantasikan. Cairan ini memiliki osmolalitas 320 mOsm/kg yang
memungkinkan pertumbuhan sel dengan baik memiliki pH sekitar 7,4 pada suhu
kamar.
2) Susu dapat digunakan untuk menjaga vitalitas ligamen periodontal selular manusia,
karena memliki pH dan osmolalitas yang kompatibel dengan sel dari ligamen
periodontal.
3
3) Larutan salin yang memiliki osmolalitas 280 mOsm/kg bersifat kompatibel, namun
tidak memiliki kandungan nutrisi seperti magnesium, kalsium dan glukosa yang
diperlukan untuk oleh sel-sel ligamen periodontal
4) Saliva dapat digunakan dalam waktu singkat. Penggunaan lebih dari 1 jam dapat
merusak sel-sel ligamen periodontal karena saliva normalnya mengandung
mikroorganisme.
3. Kegawatdaruratan Avulsi
Avulsi dapat menyebabkan kondisi kegawatdaruratan antara lain adanya gigi yang tertelan
yang dapat menyebabkan hambatan jalan nafas, serta luka kompleks pada soket gigi yang
memungkinkan terjadinya invasi bakteri dan menimbulkan infeksi akut apabila tidak dilakukan
debridemen yang adekuat, khususnya untuk mengurangi jumlah bakteri stafilokokus dan
streptokokus yang bersifat patogen pada kulit atau mukosa daerah yang mengalami perlukaan
(Pedersen, 1996).
4
5. Prosedur Reposisi
Replantasi merupakan perawatan terbaik pada kasus gigi avulsi yaitu dengan memasukkan
kembali gigi yang telah terlepas ke dalam soket gigi (replantasi) dengan segera setelah terjadinya
cedera. Keberhasilan replantasi tergantung lamanya waktu gigi berada di luar mulut dan kondisi
ekstraoral sebelum replantasi. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain apabila
replantasi tidak dapat dilakukan segera maka gigi avulsi perlu disimpan dalam media penyimpanan
untuk melindungi viabilitas sel-sel permukaan akar dan hindari untuk memegang, mengikis atau
menggosok akar gigi. Perlakuan terhadap gigi yang avulsi yang benar yaitu gigi dipegang pada
bagian mahkota dengan hati-hati, apabila gigi terkontaminasi dengan tanah atau kotoran maka
cuci mahkota dan akar gigi menggunakan air kran yang mengalir atau salin dalam syringe, namun
tidak diperbolehkan pemberian medikamentosa dan disinfektan pada permukaan akar karena
dapat menyebabkan kerusakan jaringan periodontal (Arrizza dan Ramadhan, 2010).
Prosedur reposisi gigi avulsi yang berada di luar soket gigi dalam waktu 2 jam (Richard dan
Mahmoud, 1999) adalah sebagai berikut.
a. Gigi avulsi direndam dalam salin fisiologis
b. Pasien diinstruksikan melakukan rontgen untuk mengetahui adanya fraktur alveolar
c. Periksa soket gigi serta angkat fragmen tulang bila aveolarnya menutup menggunakan
instrumen dengan hati-hati
d. Irigasi soket dengan salin
e. Ambil gigi avulsi dengan tang cabut pada mahkotanya. Apabila masuh terdapat debris dapat
dibersihkan dengan kassa yang dibasahi salin
f. Gigi dimasukkan kembali dalam soket menggunakan tang dan tekan dengan tekanan ringan
menggunakan jari. Instruksikan pasien untuk menggigit kassa hingga gigi kembali pada
oklusinya
g. Lakukan suturasi pada laserasi jaringan lunak terutama bagian servikal
h. Splinting gigi selama 1-2 minggu untuk stabilisasi
i. Pemberian medikamentosa berupa antibiotik untuk infeksi mulut ringan hingga sedang dan
analgesik ringan. Pemberian suntikan tetanus dapat dilakukan apabila suntikan dilakukan
lebih dari 5 tahun yang lalu.
j. Instruksikan pasien untuk diet lunak sementara waktu.
Sedangkan prosedur reposisi gigi avulsi yang berada di luar soket gigi lebih dari 2 jam
(Richard dan Mahmoud, 1999), yaitu:
a. Instruksikan pasien melakukan rontgen untuk melihat kemungkinan adanya fraktur pada soket
gigi
5
b. Bersihkan debris dan serpihan jaringan lunak yang menempel pada permukaan akar
c. Rendam gigi dalam larutan natrium fluoride 2,4% pH hingga 5,5 selama 5-20 menit, apabila
gigi telah disimpan dalam media fisiologis maka Perendaman tidak diperlukan
d. Gigi dipegang dengan kain yang dibasahi cairan fluor. Lalu dilakukan tindakan ekstirpasi
pulpa gigi, dibersihan, dibentuk lalu diisi
e. Anastesi pada daerah soket lalu ambil bekuan darah dengan hati-hati dan diirigasi salin
f. Masukkan gigi ke dalam soket dengan hati-hati pada letak dan oklusi yang tepat
g. Splinting gigi selama 3-6 minggu
h. Instruksikan pasien untuk kontrol berkala setelah 2 minggu. Hasil reposisi yang baik
diindikasikan dengan hilangnya mobilitas gigi, tidak adanya keluhan spontan dari pasien,
warna gingiva normal, dan perkusi cenderung berkurang (Pedersen, 1996).
B. DISLOKASI TMJ
1. Definisi dan Etiologi Dislokasi TMJ
Dislokasi didefinisikan sebagai pergerakan kondilus ke arah depan dari eminensia artikulare
yang memerlukan beberapa bentuk manipulasi untuk mereduksinya. Hal ini yang membedakan
dengan subluksasi dimana pasien dapat mengembalikan kondilus ke dalam fosa secara normal.
Dislokasi mandibula merupakan suatu gangguan yang sering terjadi pada praktik kedokteran gigi
(Gazali dan Kasim, 2004).
Dislokasi dapat terjadi satu sisi (unilateral) maupun dua sisi (bilateral) dan dapat bersifat akut
atau emergency, kronis atau long standing, serta kronis yang bersifat rekuren yang dikenal dengan
dislokasi habitual. Dislokasi mandibular dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu
dislokasi ke arah anterior, posterior, lateral, dan superior. Dislokasi ke arah anterior terjadi apabila
kondilus bergerak ke anterior dari eminensia artikulare, merupakan bentuk dislokasi yang paling
sering terjadi dan patologis. Dislokasi ke arah posterior terjadi apabila terdapat fraktur basis cranii
atau di depan tulang meatus. Dislokasi ke arah lateral dibagi menjadi dua divisi yaitu divisi 1 yang
merupakan subluksasi lateral dan divisi 2 yang merupakan keadaan dimana kondilus tertekan ke
lateral dan masuk ke fosa temporal. Dislokasi ke arah superior merupakan dislokasi ke arah fosa
kranialis bagian tengah yang biasanya berhubungan dengan fraktur pada fosa glenoidalis (Gazali
dan Kasim, 2004).
Menurut Gazali dan Kasim (2004), etiologi dislokasi antara lain pasien yang memiliki fosa
mandibular dangkal serta kondilus yang tidak berkembang dengan baik, anatomi abnormal serta
kerusakan stabilisasi ligamen yang akan memiliki kecenderungan rekuren, membuka mulut terlalu
lebar atau lama, riwayat trauma mandibular yang biasanya disertai multiple trauma, kelemahan
6
kapsuler yang berhubungan dengan subluksasi kronis, dan diskoordinasi otot-otot karena
pemakaian obat-obatan atau gangguan neurologis.
7
2) Foto rontgen panoramik. Foto ini merupakan rontgen yang paling akurat dalam
mendeteksi dan mengenali fraktur mandibula dan letak dislokasi
3) CT scan dan MRI. CT scan dan MRI dapat menunjukkan dislokasi, namun tidak
diindikasikan pada kasus dislokasi sederhana. MRI khusus digunakan untuk melihat
kelainan struktur TMJ pada kasus adanya rasa sakit kronis pada rahang yang
berkaitan dengan sindroma TMJ.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan subyektif, obyektif, dan penunjang yang
menunjukkan adanya dislokasi mandibular, dan menentukan apakah dislokasi ini merupakan jenis
akut dan terjadi insidentil atau kronis yang terlambat dilakukan reposisi. Dislokasi rekuren yang
seing terjadi dengan frekuensi cukup tinggi akan berbeda penatalaksanaanya dengan dislokasi
akut atau kronis (long standing).
8
c. Trauma Hemartrosis
Ditandai dengan adanya keterbatasan pembukaan mandibular, nyeri sendi akut, dan
keluhan menggigit menjadi salah. Diagnosa dilakukan dengan mempertimbangkan adanya
maloklusi berupa gigitan terbuka pada sisi yang terkena secara akut, pembengkakan di
daerah sendi, terdapat peningkatan ruang artikular pada radiografi, dan tidak adanya
fraktur pada radiografi. Penatalaksanaan meliptui diet lunak, kompres dengan es pada
daerah selama 24 jam pertama, kemudian kompres hangat 6-8 kali perhari, pemberian
agen anti inflamasi, dan observasi untuk perbaikan.
9
Apabila reposisi terlambat dilakukan dan menyebabkan spasme otot bertambah kuat, dapat
diberikan anastesi lokal pada daerah sendi untuk mengurangi spasme otot pterygoideus lateralis
dan masseter, serta rasa sakit pada daerah sekitar kapsula sendi. Muscle relaxan dapat diberikan
dengan injeksi intra vena diazepam untuk merelaksasikan otot-otot yang spasme dan apabila
diperlukan relaksasi yang luas maka dapat diberikan narkose umum (Gazali dan Kasim, 2004).
Terapi untuk kasus dislokasi lama (long standing) atau terlambat penatalaksanaanya adalah
sebagai berikut (Bradley dkk. 1994 dalam (Gazali dan Kasim, 2004).
a. Reduksi manual
b. Reduksi tidak langsung dengan penarikan melalui sudut, sigmoid notch, atau prosesus
koronoideus, serta dengan penekanan kondilus
c. Reduksi langsung melalui pembedahan sendi
d. Condylectomy dan osteotomy.
Terapi pada kasus dislokasi rekuren dapat dilakukan secara konservatif yaitu dengan
imobilisasi menggunakan interdental wiring selama 4-6 minggu atau menggunakan cairan
sklerosing intra articular. Penatalaksanaan pembedahan pada kasus ini dilakukan dengan
mengikuti metode dasar bedah yaitu.
a. Pengencangan mekanis dari kapsul
b. Mengikat bagian sendiri atau mandibula ke struktur yang terfiksasi
c. Membuat hambatan mekanis pada jalur kondilus
d. Mengurangi gangguan pada jalur kondilus
e. Mengurangi tekanan otot
Jika dislokasi diakibatkan trauma maka reposisi harus diikuti dengan tindakan
penatalaksanaan fraktur. Semua tindakan bedah dan/ atau dengan adanya riwayat trauma
sebaiknya dirujuk ke ahli bedah mulut.
10
DAFTAR PUSTAKA
Arrizza, A. M., Ramadhan, A.F., 2010, Coconut Water (Cocos Nucifera) as Strorage Media for the
Avulsed Tooth, Journal of Dentistry Indonesia, 17 (3) : 74-79.
Cameron, A.C., Widmer, R. P., 2003, Handbook of Pediatric Dentistry, 2nd edition, Mosby, Philadelphia.
Gazali, M dan Kasim, A., 2003, Dislokasi Mandibula ke Arah Anterior, Jurnal Kedokteran Gigi, Edisi
Khusus KOMIT KG: 119-124.
Harty, F. J., dan Ogston, R., 1995, Kamus Kedokteran Gigi, EGC, Jakarta.
McCafferty, J., OConnell, A., 2012, Treatment of The Avulsed Anterior Tooth, Journal of The Irish
Association, 57(6): 319-322.
Pedersen, G.W., 1996, Buku Ajar Praktis (Bedah Mulut), Edisi 1, EGC, Jakarta.
Richard, E.W. dan Mahmoud, T., 1999, Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsi, Edisi 2, EGC, Jakarta.
Riyanti, E., 2010, Penatalaksanaan Trauma Gigi pada Anak, Universitas Padjajaran, Bandung.
Trope, M., 2002, Clinical Management of The Avulsed Tooth: Present Strategies and Future Direction,
Journal Dental Traumatology, 18: 1-11.
11