Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER, 2017


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY

OLEH

AHMAD WARDIMAN
10542 0354 12

PEMBIMBING
dr. IRMA SANTY, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Ahmad Wardiman

NIM : 10542 0354 12

Judul Referat : Cognitive Behavior Therapy

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu

Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Oktober 2017

Pembimbing

dr. Irma santy, Sp.KJ

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

I.1. Latar Belakang ............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3

A. Definisi Cognitive Behavioral Therapy ......................................... 3

B. Karakteristik Cognitive Behavior Therap ....................................... 4

C. Prinsip Dasar Cognitive Behavior Therapy .................................... 7

D. Tujuan Cognitive Behavior Therapy .............................................. 9

E. Tahap Pelaksanaan Cognitive Behavior Therapy ......................... 10

BAB III PENUTUP ...................................................................................... 13

3.1. Kesimpulan. ............................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berfikir merupakan ciri khas dari manusia yang membedakannya dengan

makhluk lain. Ciri inilah membuat manusia disebut sebagai anima

intelectiva, berbeda dengan anima sensitive dan anima vegetativa. Melalui

berfikir, manusia memutuskan tindakannya, karena berfikir merupakan fungsi

kognitif manusia. Manusia tidak hanya menerima rangsangan dari apa yang

dilihatnya melalui pengindraanya, mengingat peristiwa, serta menghubungkan

satu peristiwa dengan peristiwa lainnya dengan landasan hukum asosiatif, namun

mengolah informasi yang diperolehnya melalui pengalaman hidup serta fungsi

kognitifnya. Hal ini membuat berbagai asumsi mengenai informasi yang diterima

manusia di dalam benaknya dengan mempertimbangkan berbagai hal melalui

proses berfikir dan mengambil keputusan atas dasar pertimbangan yang dipikirkan

secara matang. Inilah ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.1,2

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan salah satu pendekatan

psikoterapi yang paling banyak diterapkan dan telah terbukti efektif dalam

mengatasi berbagai gangguan, termasuk kecemasan dan depresi. Asumsi yang

mendasari Cognitive Behavioral Therapy CBT, terutama untuk kasus depresi

yaitu bahwa gangguan emosional berasal dari distorsi (penyimpangan) dalam

berpikir. Perbaikan dalam keadaan emosi hanya dapat berlangsung lama kalau

dicapai perubahan pola-pola berpikir selama proses terapi. Demikian pula pada

pasien pola berpikir yang maladaptive (disfungsi kognitif) dan gangguan perilaku.

1
Dengan memahami dan merubah pola tersebut, pasien diharapkan mampu

melakukan perubahan cara berpikirnya dan mampu mengendalikan gejala gejala

dari gangguan yang dialami.1,2

Monty P. Satiadarma mengatakan bahwa penyimpangan prilaku manusia

terjadi karena adanya penyimpangan fungsi kognitif. Untuk memberbaiki perilaku

manusia yang mengalami penyimpangan tersebut terlebih dahulu harus dilakukan

perbaikan terhadap fungsi kognitif manusia. Pernyataan ini menunjukan

pentingnya pengaruh aspek kognitif terhadap perilaku manusia. Peran kognitif

dalam mempertimbangkan keputusan untuk malakukan tindakan tertentu menjadi

fokus perhatian dalam pendekatan cognitive-behavior therapy.3

CBT merupakan sebuah pendekatan yang memiliki pengaruh dari

pendekatan cognitive therapy dan behavior therapy. Oleh sebab itu, Matson &

Ollendick mengungkapkan bahwasanya CBT merupakan perpaduan pendekatan

dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Sehingga

langkah-langkah yang dilakukan oleh cognitive therapy dan behavior therapy ada

dalam konseling yang dilakukan oleh CBT. Karakteristik CBT yang tidak hanya

menekankan pada perubahan pemahaman konseli dari sisi kognitif namun

memberikan konseling pada perilaku ke arah yang lebih baik dianggap sebagai

pendekatan konseling yang tepat untuk diterapkan di Indonesia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Cognitive Behavior Therapy (CBT)

Cognitive behavior therapy adalah sebuah istilah yang digunakan untuk

menjelaskan intervensi psikoterapeutik yang bertujuan untuk mengurangi

distres psikologis dan perilaku maladaptif dengan mengubah proses kognitif.

CBT memiliki asumsi dasar bahwa afek dan perilaku sebagian besar

merupakan produk kognisi, oleh karena itu intervensi kognitif dan perilaku

dapat membawa perubahan pada pemikiran, perasaan, dan perilaku.4

Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan konseling

yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini

dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang

menyimpang. Pedekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan

dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada

konseptualisasi atau pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola

perilaku konseli. Harapan dari CBT yaitu munculnya restrukturisasi kognitif

yang menyimpang dan sistem kepercayaan untuk membawa perubahan emosi

dan perilaku ke arah yang lebih baik.2,5

Matson & Ollendick (1988: 44) mengungkapkan definisi cognitive-

behavior therapy yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara

spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian utama konseling. Fokus

konseling yaitu persepsi, kepercayaan dan pikiran.6

Para ahli yang tergabung dalam National Association of Cognitive-

Behavioral Therapists (NACBT), mengungkapkan bahwa definisi


dari cognitive-behavior therapy yaitu suatu pendekatan psikoterapi yang

3
menekankan peran yang penting berpikir bagaimana kita merasakan dan apa

yang kita lakukan.3

Bush (2003) mengungkapkan bahwa CBT merupakan perpaduan dari

dua pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior

therapy. Terapi kognitif memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan.

Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah

kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya berkaitan dengan positive thinking,

tetapi berkaitan pula dengan happy thinking. Sedangkan Terapi tingkah laku

membantu membangun hubungan antara situasi permasalahan dengan


kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar mengubah perilaku,

menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih

jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat.6,7

Pikiran negatif, perilaku negatif, dan perasaan tidak nyaman dapat

membawa individu pada permasalahan psikologis yang lebih serius, seperti

depresi, trauma, dan gangguan kecemasan. Perasaan tidak nyaman atau negatif

pada dasarnya diciptakan oleh pikiran dan perilaku yang disfungsional. Oleh
sebab itu dalam konseling, pikiran dan perilaku yang disfungsional harus

direkonstruksi sehingga dapat kembali berfungsi secara normal.

B. Karakteristik Cognitive Behavior Therapy

Terdapat beberapa karakteristik dasar dalam CBT, yaitu:

1. Memiliki panduan teoritis

CBT didasarkan pada model yang telah terbukti secara empiris dan

memberikan dasar untuk rasional, fokus, dan sifat dari intervensi ini. Oleh

karena itu, CBT bersifat kohesif dan rasional, bukan sekedar kumpulan

teknikteknik yang terpisah.4

4
2. Melibatkan kolaborasi antara terapis dan klien

CBT pada dasarnya merupakan sebuah proyek kolaborasi antara

terapis dan klien. Kedua pihak memiliki peran aktif dengan keahlian yang

berbeda. Terapis dianggap sebagai pihak yang memiliki keahlian untuk

menemukan cara yang efektif guna menyelesaikan masalah, sedangkan

klien merupakan pihak yang ahli dalam mengenali masalah berdasarkan

pengalamannya selama ini. Klien juga memiliki peran aktif dalam

mengidentifikasi tujuan, menetapkan target, bereksperimen, berlatih, dan

memonitor performa mereka.4,5

Pembagian peran ini menuntut terapis dan klien untuk saling

terbuka dan jujur selama proses terapi berlangsung. Terapis harus

menjelaskan proses yang sedang berlangsung dan kenapa proses ini terjadi,

selain itu terapis juga dapat meminta klien untuk memberikan masukan

mengenai apa yang dirasa membantu dan tidak bagi klien. Pada dasarnya,

pendekatan CBT memang dirancang untuk memfasilitasi kontrol diri yang

lebih besar dan efektif dengan adanya terapis yang memberikan framework

dimana kontrol diri tersebut dapat terjadi.4,5

3. Memiliki struktur dan berorientasi pada masalah

CBT merupakan terapi yang terstruktur dan berfokus pada

penyelesaian masalah. Awalnya terapis dan klien harus mengidentifikasi

masalah dan mendeskripsikan masalah dengan spesifik untuk kemudian

fokus dalam memecahkan atau mengurangi masalah tersebut. Setelah itu

terapis dan klien harus membuat tujuan untuk setiap masalah dan tujuan

5
ini merupakan fokus dari treatment yang diberikan. Tujuan ini dibuat

dengan berdasarkan harapan klien akan akhir dan hasil dari treatment. 5,7

4. Singkat

Jumlah sesi dalam CBT terhitung singkat, yaitu antara 6 sampai 20

sesi. Penentuan jumlah sesi dipengaruhi oleh percobaan treatment

sebelumnya dalam mengatasi masalah yang sama tetapi juga dipengaruhi

oleh masalah yang ada saat ini, klien, dan sumber daya yang tersedia. Di

bawah ini merupakan tabel yang dapat menjadi patokan dalam

menentukan jumlah sesi:5,7

Jenis Masalah Jumlah sesi

Ringan 6 sesi

Ringan menuju sedang 6-12 sesi

Sedang menuju parah 12-20 sesi

Sedang dengan disertai masalah kepribadian 12-20 sesi

Parah dengan disertai masalah kepribadian >20 sesi

Jumlah sesi ini dapat berubah tergantung kemajuan yang dicapai klien

dalam treatment. Jika terapis menilai bahwa treatment yang diberikan tidak

membantu atau tidak ada lagi kemajuan yang didapat, terapis dapat mengakhiri

treatment yang sedang berlangsung. Sedangkan apabila klien dianggap membuat

kemajuan namun masalah residual masih ada, terapis dapat melanjutkan treatment

yang sedang berlangsung. Terapis juga patut mempertimbangkan keuntungan bagi

klien untuk menangai masalah residual yang muncul secara mandiri. Hal ini dapat

dilakukan dengan memperpanjang jarak waktu antar sesi sehingga klien memiliki

6
tanggung jawab yang lebih besar untuk menangani masalah residual dan

kemunduran lainnya dan tetap dapat memiliki kesempatan untuk melakukan

pembahasan dengan terapis.

Tidak ada komitmen khusus mengenai lamanya sebuah sesi berlangsung.

Sebuah sesi dapat berlangsung selama 50 menit, ataupun 2 sampai 3 jam apabila

melibatkan in-vivo experiments. Terapi juga dapat berlangsung selama 20 menit

apabila hanya melibatkan pembahasan mengenai sesi-sei sebelumnya pada akhir

sebuah treatment. Terapis perlu ingat bahwa apabila terapis sudah memberikan

tugas-tugas rumah yang relevan dan produktif, maka mayoritas treatment sudah

dilakukan di luar jam terapi.

C. Prinsip Dasar Cognitive Behavior Therapy

Cognitive Behavior Therapy (CBT) mengandung beberapa prinsip dasar

seperti: 2,5,7

1. Prinsip kognitif

Ide utama dari prinsip kognitif ini adalah bahwa reaksi emosional

dan perilaku individu dipengaruhi dengan kuat oleh kognisi mereka, yaitu

pemikiran, kepercayaan, dan interpretasi mereka mengenai diri mereka atau

situasi yang mereka hadapi atau dengan kata lain arti yang mereka berikan

terhadap kejadian yang terjadi dalam hidup mereka. Kejadian yang ada tidak

serta merta menghasilkan suatu reaksi tertentu, karena terdapat reaksi yang

berbeda-beda dari tiap individu yang menghadapi kejadian yang sama. Jadi

ada hal lain yang menentukan reaksi individu terhadap suatu kejadian yaitu

kognisi mereka. Saat terdapat dua orang yang bereaksi secara berbeda

7
terhadap suatu kejadian yang sama, hal ini dikarenakan mereka

menginterpretasi kejadian itu dengan cara yang berbeda. Kognisi yang

berbeda menghasilkan reaksi emosi yang berbeda pula.

2. Prinsip perilaku

Perilaku juga merupakan bagian yang penting dalam

mempertahankan atau merubah keadaan psikologis seseorang. CBT percaya

bahwa perilaku memiliki dampak yang kuat terhadap pemikiran dan emosi

seseorang, merubah perilaku klien merupakan suatu cara yang dapat

diusahakan untuk mengubah pemikiran dan emosi seseorang.

3. Prinsip continuum

CBT melihat masalah kesehatan mental sebagai versi ekstrim dari proses

yang biasa terjadi bukan merupakan sebuah keadaan yang secara kualitatif

berbeda dari keadaan maupun proses normal. Atau dengan kata lain,

masalah psikologis berada di ujung lain dari sebuah kontinuum bukan

sebuah dimensi yang benar-benar berbeda. Oleh karena itu, masalah

psikologis ini dapat terjadi pada siapa saja dan teori CBT dapat

diaplikasikan kepada klien dan terapis.

4. Prinsip here and now

Fokus utama dari terapi ini adalah apa yang terjadi saat ini dan

proses apa yang sampai saat ini terjadi sehingga masalah yang ada tetap

bertahan. Tidak seperti psikoanalisa, CBT tidak melihat proses yang

membentuk masalah tersebut terjadi.

8
5. Prinsip interacting systems

CBT melihat bahwa masalah seharusnya dianalisa sebagai interaksi

yang terjadi antara individu dan lingkungan. Dalam CBT dikenal empat

sistem, yaitu kognisi, afek/emosi, perilaku, dan fisiologi. Keempat sistem

tersebut saling berinteraksi dalam proses feedback yang kompleks dan juga

berinteraksi dengan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud bukan hanya

lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan sosial, keluarga, budaya, dan

ekonomi.

D. Tujuan Cognitive Behavior Therapy

Tujuan utama dari CBT adalah untuk meningkatkan self awareness,

memfasilitasi pemahaman diri yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri

dengan mengembangkan kemampuan kognitif dan perilaku yang lebih tepat.

Pengembangan kemampuan kognitif dapat dilakukan dengan mengubah

pemikiran dan keyakinan disfungsional yang bersifat negatif, bias, dan self

critical. Terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mengembangkan

kemampuan kognitif ini, antara lain dengan edukasi, identifikasi keyakinan

disfungsional, thought monitoring, thought evaluation, dan development of

alternative cognitive processes. Sedangkan pengembangan perilaku yang lebih

adaptif dapat dilakukan dengan beberapa teknik, antara lain target setting, activity

rescheduling, dan behavioral experiment. Adanya keterampilan kognitif dan

perilaku yang baru membuat individu menghadapi situasi sulit dengan cara yang

lebih tepat.2,3,4

9
E. Tahap Pelaksanaan Cognitive Behavior Therapy

Sesi inisial dalam CBT biasanya ditujukan untuk membangun relasi dengan

klien, menggali informasi penting, dan mengidentifikasi keluhan yang muncul.

Dalam membangun relasi dengan klien, terapis dapat mengawali dengan

menanyakan perasaan dan pemikiran klien mengenai harapan klien dari terapi.

Selain itu, terapis juga dapat menjelaskan mengenai hubungan antara kognisi dan

afek dari sudut pandang CBT. Terapis juga mulai dapat membiasakan klien

terhadap CBT dan membangun hubungan yang kolaboratif serta meluruskan

konsepsi yang salah mengenai terapi. Pada awal sesi, klien sudah harus dijelaskan

bahwa tujuan utama terapi adalah untuk membuat klien belajar menjadi terapis

bagi dirinya sendiri.2,6

Informasi yang seharusnya dapat digali oleh terapis pada sesi-sesi awal

adalah diagnosis, pengalaman masa lalu, situasi hidup saat ini, masalah psikologis

yang ada, sikap terhadap treatment, dan motivasi untuk mengikuti treatment. Pada

sesi pertama, terapis juga dapat mulai mendefinisikan masalah dan membantu

klien melakukan symptom relief. Identifikasi masalah dan pengumpulan informasi

mengenai latar belakang munculnya masalah dapat dilakukan dalam beberapa

sesi. Walaupun demikian, pada sesi pertama terapis harus dapat fokus dalam

mengidentifikasi masalah secara spesifik dan menyediakan kelegaan yang cepat

bagi klien.2,9

Dalam identifikasi masalah, terapis menganalisa dari dua aspek yaitu aspek

fungsional dan aspek kognitif. Analisa fungsional bertujuan untuk

mengidentifikasi elemen masalah seperti manifestasi dari masalah, situasi dimana

10
masalah itu biasanya muncul, frekuensi, intensitas, dan durasi kemunculan

masalah, serta konsekuensi dari masalah. Analisa kognitif sendiri bertujuan untuk

mengidentifikasi pemikiran dan visualisasi yang muncul saat adanya pencetus

emosional. Hal in juga mencakup identifikasi sejauh apa seseorang merasa dapat

mengontrol pemikiran dan visualisasi tersebut, visualisasi mengenai apa yang

akan terjadi saat berada dalam situasi yang menimbulkan distres, dan

kemungkinan munculnya hal yang divisualisasikan tersebut dalam kejadian

nyata.2,9

Pada sesi awal, terapis juga membuat problem list yang mencakup simptom

spesifik, perilaku, dan masalah yang menetap. Daftar ini kemudian dibuat

prioritasnya sebagai target intervensi. Problem list dibuat secara eksplisit untuk

melihat apa yang ingin dicapai dalam treatment. Penentuan prioritas didasarkan

pada besarnya distres yang dialami, kemungkinan kemajuan yang terjadi,

keparahan simptom, dan topik ataupun tema yang terus menerus muncul. Selain

hal di atas, pada sesi pertama terapis juga sudah mulai dapat memberikan tugas

rumah kepada klien. Tugas rumah pada sesi awal biasanya diarahkan untuk

mengenali hubungan antara pemikiran, perasaan, dan perilaku.2,8

Pada sesi pertengahan, penekanan terapi bergeser dari simptom yang

dialami pasien kepada pola berpikir pasien. Koneksi antara pemikiran, emosi, dan

perilaku didemonstrasikan melalui pemeriksaan automatic thoughts. Saat klien

dapat menantang pemikiran maladaptif, klien mulai dapat mempertimbangkan

asumsi dasar yang memunculkan pemikiran tersebut. Seringkali asumsi dasar

tersebut tidak disadari oleh klien dan didapat setelah klien melihat tema dari

11
automatic thoughts yang dimilikinya. Setelah asumsi dasar ini dikenali, terapi

bertujuan untuk memodifikasi asumsi tersebut dengan mempertimbangkan

validitas, sifat adaptif, dan fungsinya bagi klien. Pada sesi-sesi selanjutnya, klien

diberikan tanggung jawab lebih untuk mengidentifikasi masalah serta solusi dan

menciptakan tugas rumah. Peran terapis berubah menjadi penasihat dan bukan

guru saat klien sudah mulai dapat menggunakan teknikteknik yang ada untuk

menyelesaikan maslaah. Frekuensi pertemuan dapat dikurangi apabila klien

menjadi lebih mampu dalam menyelesaikan masalah.2,5

Terapi diterminasi saat tujuan sudah dicapai dan klien merasa dapat

mempraktikkan perspektif dan kemampuan baru mereka secara mandiri. Saat

mendekati terminasi, klien dapat diingatkan bahwa kemunduran itu sesuatu yang

normal dan seharusnya dapat diatasi karena kemunduran sebelumnya juga dapat

diatasi. Terapis dapat meminta kepada klien untuk mendeksripsikan bagimana

masalah sebelumnya diatasi selama treatment. Terapis juga dapat menggunakan

cognitive rehearsal untuk memabntu klien memperkirakan kesulitan yang

mungkin akan ditemuinya dan bagaimana mereka akan mengatasi kesulitan

tersebut.

12
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Cognitive behavior therapy adalah suatu intervensi psikoterapeutik yang

bertujuan untuk mengurangi distres psikologis dan perilaku maladaptif dengan

mengubah proses kognitif. CBT memiliki asumsi dasar bahwa afek dan perilaku

sebagian besar merupakan produk kognisi, oleh karena itu intervensi kognitif dan

perilaku dapat membawa perubahan pada pemikiran, perasaan, dan perilaku.4

Diharapkan dengan CBT pasien dapat meningkatkan self awareness,

memfasilitasi pemahaman diri yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri

dengan mengembangkan kemampuan kognitif dan perilaku yang lebih tepat.

Pengembangan kemampuan kognitif dapat dilakukan dengan mengubah

pemikiran dan keyakinan disfungsional yang bersifat negatif, bias, dan self

critical. Terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mengembangkan

kemampuan kognitif ini, antara lain dengan edukasi, identifikasi keyakinan

disfungsional, thought monitoring, thought evaluation, dan development of

alternative cognitive processes. Sedangkan pengembangan perilaku yang lebih

adaptif dapat dilakukan dengan beberapa teknik, antara lain target setting, activity

rescheduling, dan behavioral experiment. Adanya keterampilan kognitif dan

perilaku yang baru membuat individu menghadapi situasi sulit dengan cara yang

lebih tepat.2,3,4

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Ifdil. 2012 Cognitive-Behavior Therapy (CBT). (online) diakses juni 2014

site: http://konselingindonesia.com/

2. Kaplan, Harold, et all. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri: Ilmu

pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid Dua. Tangerang: Aksara

Publiser, 2010.

3. NACBT. (2007). Cognitive-Behavioral Therapy. [Online].

Tersedia: http://www.nacbt.org/whatiscbt.htm [5 Januari 2007].

4. Stallard, P. (2004). Think Good Feel Good: A Cognitive Behavior Therapy

Workbook for Children and Young People. West Sussex: john Wiley &

Sons.

5. Beck, Judith S. (2011). Cognitive-Behavior Therapy: Basic and

Beyond (2nd ed). New York: The Guilford Press.

6. Bush, John Winston. (2003). Cognitive Behavioral Therapy: The Basics.

[Online]. Tersedia: http://cognitivetherapy.com/basics.html

7. Westbrook, D., Kennerly, & Kirk, J. (2007). An Introduction to Cognitive

Behavior Therapy: Skills and Applications. Los Angeles: Sage Punlications.

8. Nevid, JS., Rathus, SA., Greene, B., Psikologi Abnormal. Edisi kelima, jilid

1, Jakarta: Penerbit Erlangga.

9. Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003). Pendekatan Cognitive Behavior dalam

Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.

10. Maramis WF, Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2 ed. Surabaya:

Airlangga University Press; 2009.

14

Anda mungkin juga menyukai