SKRIPSI
MORARIO
040805043
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI CACING TANAH DI KAWASAN
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. MOEIS DAN DI PERKEBUNAN
RAKYAT DESA SIMODONG KECAMATAN SEI SUKA
KABUPATEN BATU BARA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Sumatera Utara
MORARIO
040805043
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2009
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Morario
NIM : 040805043
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
PERSETUJUAN
Diluluskan di
Medan, Juli 2009
Komisi Pembimbing :
Pembimbing II Pembimbing I
Diketahui/Disetujui Oleh
Departemen Biologi FMIPA USU
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
PERNYATAAN
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa
kutipan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
MORARIO
040805043
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha
Pengasih dan Penyayang atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian yang berjudul Komposisi dan Distribusi Cacing Tanah
di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis dan di Perkebunan Rakyat
Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara. Sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Sumatera Utara.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Arlen H.J, M.Si
selaku dosen pembimbing 1 dan Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku dosen pembimbing 2
yang telah memberikan bimbingan, motivasi, arahan, serta dukungannya hingga
selesainya penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si dan Mayang Sari Yeanny, M.Si selaku dosen
penguji yang telah memberikan masukan dan arahan demi kesempurnaan penulisan
skripsi ini.
Penulis
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
ABSTRAK
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
THE COMPOSITION AND DISRIBUTION OF EARTHWORM
COMMUNITY IN PT. MOEIS ESTATE AND SIMODONG ESTATE SEI
SUKA DISTRICT BATU BARA
ABSTRACT
The results of research showed that on location I found 4 species, they are:
Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus, Megascolex cempii dan Pheretima
posthuma. Location II it was 4 species, they are: Pontoscolex corethrurus, Drawida
sp, Peryonix excavatus, dan Pheretima posthuma. The highest population density
found ini location presented by Pontoscolex corethrurus with the number for 20,89
organism/m2. While the highest existence frequency with the number 60,00%. There
are 3 species of earthworm that alive better in each location, they Pontoscolex
corethrurus, Peryonix excavatus dan Drawida sp. To assess the index morista (
distribution) >1 and < 1 in each location pertained by in groups and regular
distribution. The similarities index of earthworm found between location I and
location II with the number 75,00%.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR ISI
halaman
Lembar Pengesahan ii
Persetujuan iii
Pernyataan iv
Penghargaan v
Abstrak vi
Abstrack vii
Daftar Isi viii
Daftar Tabel ix
Daftar Gambar x
Daftar Lampiran xi
Bab 1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 2
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Hipotesis 3
1.5 Manfaat Penelitian 3
Bab 2. Tinjauan Pustaka
2.1 Tanaman Kelapa Sawit 4
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit 4
2.1.2 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit 4
2.1.3 Ekologi Tanaman Kelapa Sawit 5
2.1.4 Manfaat Tanaman Kelapa Sawit 6
2.2 Klasifikasi Cacing Tanah 6
2.3 Morfologi Cacing Tanah 7
2.4 Ekologi Cacing Tanah 8
2.5 Peranan Cacing Tanah 12
Bab 3. Bahan Dan Metoda
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 14
3.2 Deskripsi Area 14
3.3 Metoda Penelitian 15
3.4 Pelaksanaan Penelitian 15
3.4.1 Pengambilan Sampel Cacing Tanah 15
3.4.2 Identifikasi Spesies Cacing Tanah 16
3.5 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah 16
3.6 Analisa Data 17
Bab 4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Spesies Cacing Tanah yang Ditemukan pada Setiap 19
Lokasi
4.2 Kepadatan dan Kepadatan Relatif Populasi Cacing Tanah 24
4.3 Komposisi Cacing Tanah 25
4.4 Frekuensi Kehadiran dan Konstansi 26
4.5 Jenis Cacing Tanah Yang Memiliki Nilai 27
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Kepadatan Relatif (KR) 10% dan
Frekuensi Kehadiran (FK) 25%
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR TABEL
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR GAMBAR
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR LAMPIRAN
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
BAB 1
PENDAHULUAN
Kelapa kelapa sawit (Elaeis guinensis) merupakan tanaman tropis yang memiliki nilai
komoditas yang penting. Perkebunan kelapa kelapa sawit komersial pertama di
Indonesia mulai diusahakan pada tahun 1911 di Aceh dan Sumatera Utara. Luas
perkebunan kelapa kelapa sawit terus bertambah dari 1272 ha pada tahun 1916
menjadi 92.307 ha pada tahun 1938. Hingga tahun 2000 masih tercatat luas areal
perkebunan kelapa kelapa sawit di Indonesia sekitar 3.174.726 ha. Luas perkebunan
kelapa kelapa sawit di Sumatera Utara yaitu sekitar 451.725 ha (Naibaho, 1988).
Dibukanya beberapa areal baru perkebunan kelapa kelapa sawit oleh Perusahaan
Perkebunan Swasta Nasional (PBSN), Perkebunan Negara, dan Perkebunan Rakyat
membawa implikasi baru, mulai dari penyediaan lahan hingga dampak lingkungan
yang ditimbulkan, khususnya tanah sebagai habitat cacing tanah.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Pengelolaan perkebunan kelapa kelapa sawit PT. Moies yang lebih intensif
dimana adanya teknik budi daya tanaman dengan mengubah kondisi tanah baik secara
fisik, biologis maupun secara kimia, sedangkan pengelolaan perkebunan kelapa sawit
rakyat di Desa Simodong kurang intensif dan lebih sederhana. Berdasarkan kondisi
tersebut maka faktor fisik-kimia tanah dan jenis tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang
terdapat pada di dua lokasi perkebunan tentulah berbeda, dimana hal itu sangat
mempengaruhi komposisi komunitas dan distribusi cacing tanah.
1.2 Permasalahan
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Adanya perbedaan pengelolaan tanah perkebunan kelapa sawit di PT. Moeis
dan perkebunan kelapa sawit rakyat di Desa Simodong, sehingga berbeda komposisi
komunitas dan distribusi cacing tanah di dua kawasan perkebunan kelapa sawit
tersebut. Namun hingga saat ini belum diketahui bagaimana perbedaan komposisi
komunitas dan distribusi cacing tanah di dua kawasan perkebunan kelapa sawit
tersebut.
1.4 Hipotesis
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledone
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq.
Tanaman kelapa sawit dibedakan atas 2 bagian, yakni: bagian vegetatif dan bagian
generatif. Bagian vegetatif tanaman kelapa sawit terdiri dari akar berupa akar serabut,
batang dan daun. Batang tidak bercabang dan tidak memiliki kambium. Pada ujung batang
terdapat titik tumbuh yang terus berkembang membentuk daun. Batang berfungsi sebagai
penyimpan dan pengangkut bahan makanan untuk tanaman serta sebagai penyangga
mahkota daun. Daun kelapa sawit membentuk suatu pelepah bersirip genap dan bertulang
sejajar. Panjang pelepah dapat mencapai 9 meter. Pelepah daun sejak mulai terbentuk
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
sampai tua mencapai waktu 7 tahun; jumlah pelepah dalam 1 pohon dapat mencapai 60
pelepah. Jumlah anak daun tiap pelepah dapat mencapai 380 helai. Panjang anak daun
dapat mencapai 120 cm (Risza, 1994).
Bagian generatif tanaman kelapa sawit terdiri dari bunga dan buah. Kelapa sawit
mulai berbunga pada umur 12 bulan. Pembungaan kelapa sawit termasuk monoccious
artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak pada satu
tandan yang sama. Namun terkadang dijumpai juga dalam 1 tandan terdapat bunga jantan
dan bunga betina. Bunga seperti itu disebut bunga banci (hermaprodit). Buah kelapa sawit
termasuk buah batu yang terdiri dari 3 bagian yakni; lapisan luar (epicarpium) yang
disebut kulit luar, lapisan tengah (mesocarpium) yang disebut daging buah, mengandung
minyak sawit dan lapisan dalam (endocarpium) yang disbut inti, mengandung minyak
inti. Diantar inti dan daging buah terdapat lapisan tempurung (cangkang) yang keras. Biji
kelapa sawit terdiri dari 3 bagian yaitu; kulit biji (spermodermis), tali pusat (funiculus)
dan inti biji atau nucleus seminis (Risza, 1994).
Pada prisnsipnya kelapa sawit dapat tumbuh dan bereproduksi di hampir semua jenis
tanah namun hendaknya memenuhi kriteria berikut; keasaman tanah (pH) 5,0-6,5,
kemiringan lahan 0-15, kedalaman air tanah 80-150 cm dari permukaan, drainase
yang baik, kesuburan kimia yang cukup (diketahui dari hasil analisa tanah). Iklim juga
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa
sawit. Kelapa sawit hanya dapat tumbuh dan bereproduksi dengan baik di daerah yang
beriklim tropis (Hadi,2004).
Curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan kelapa sawit yaitu 2.500-3000 mm
per tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun. Curah hujan yang terlalu tinggi
mengakibatkan proses penyerbukan dan fotosintesis kurang optimal. Radiasi matahari
juga dibutuhkan dalam jumlah yang cukup untuk proses fotosintesis, yaitu 1.800 jam
penyinaran per tahun dengan lama penyinaran yang optimal 6-7 jam per hari. Suhu
optimal rata-rata yang diperlukan oleh kelapa sawit yaitu 27-32C dengan kelembaban
udara optimal 80-90% (Hadi,2004).
Kelapa sawit merupakan tanaman tropis penghasil minyak nabati yang rendah
kolesterol dan dapat diolah lebih lanjut menjadi suatu produk yang tidak hanya
dikonsumsi untuk kebutuhan pangan (minyak goreng, margarin, lemak dan lain-lain)
tetapi juga untuk kebutuhan lain seperti sabun, deterjen, BBM. Tandan kelapa sawit
dapat dimanfaatkan menjadi pupuk, kompos dan bahan bakar. Batang kelapa sawit
dapat dimanfaatkan menjadi bahan bangunan. Lumpur (sludge) kelapa sawit dapat
dimanfaatkan menjadi sabun, pupuk dan pakan ternak (Hadi,2004).
Cacing tanah merupakan hewan Invertebrata dari filum Annelida, kelas Chaetopoda
dan ordo Oligochaeta. Famili dari ordo ini yang sering ditemukan adalah:
a. Famili Moniligastridae, contoh genus: Moniligaster.
b. Famili Megascolidae, contoh genus: Pheretima, Peryonix, Megascolex.
c. Famili Acanthodrilidae, contoh genus: Diplocardia.
d. Famili Eudrilidae, contoh genus: Eudrilus.
e. Famili Glossoscolecidae, contoh genus: Pontoscolex corethrurus.
f. Famili Sparganophilidae, contoh genus: Sparganophilus.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
g. Famili Tubificidae, contoh genus: Tubifex.
h. Famili Lumbricidae, contoh genusnya yaitu: Lumbricus, Eiseniella, Bimastos,
Dendrobaena, Octalasion, Eisenia, Allobophora (John, 2007).
Hegner & Engeman (1978) menjelaskan bahwa cacing tanah tidak mempunyai
kepala, tetapi mempunyai mulut pada ujungnya (anterior) yang disebut protomium.
Bagian belakang mulut terdapat bagian badan yang sedikit segmennya dinamakan
klitelium yang merupakan pengembangan segmen-segmen, biasanya mempunyai
warna yang sedikit menonjol atau tidak dibandingkan dengan bagian tubuh lain.
Cacing tanah juga tidak mempunyai alat pendengar, tetapi peka sekali terhadap
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
sentuhan dan getaran. Cacing tanah juga tidak mempunyai mata, tetapi peka sekali
terhadap sentuhan dan getaran, sehingga dapat mengetahui kecenderungan untuk
menghindari cahaya, selain itu cacing juga tidak mempunyai gigi.
Pada bagian bawah (ventral) terdapat pori-pori yang letaknya tersusun atas
setiap segmen dan berhubungan dengan alat ekskresi (nephredia) yang ada dalam
tubuh. Nephredia ini mengeluarkan zat-zat sisa yang telah berkumpul di dalam rongga
tubuh (rongga selomik) berupa cairan. Fungsi pori-pori adalah untuk menjaga
kelembaban kulit cacing tanah agar selalu basah karena cacing tanah bernafas melalui
kulit yang basah tersebut. Kulit luar (kutikula) selalu dibasahi oleh kelenjar-kelenjar
lendir (kelenjar mukus). Lendir ini terus diproduksi cacing tanah untuk membasahi
tubuhnya agar dapat bergerak dan melicinkan tubuhnya (Rukmana, 1999).
Secara sistematik, cacing tanah bertubuh tanpa kerangka yang tersusun oleh
segmen-segmen fraksi luar dan fraksi dalam yang saling berhubungan secara integral,
diselaputi oleh epidermis (kulit) berupa kutikula (kulit kaku) berpigmen tipis dan setae
(lapisan daging semu di bawah kulit) kecuali pada dua segmen pertama yaitu pada
bagian mulut (Hanafiah, 2005).
Warna cacing tanah tergantung pada ada tidaknya dan jenis pigmen yang
dimilikinya. Sel atau butiran pigmen ini berada di dalam lapisan otot di bawah
kulitnya. Paling tidak sebagian warna juga disebabkan oleh adanya cairan kulomik
kuning. Warna pada bagian dada dan perut umumnya lebih muda dari pada bagian
lainnya, kecuali pada Megascolidae yang berpigmen gelap, berwarna sama. Cacing
tanah yang tanpa atau berpigmen sedikit, jika berkulit transparans biasanya terlihat
berwarna merah atau pink. Apabila kutikulanya sangat irridescent, seperti pada
Lumbricus dan Dendrobaena maka akan terlihat biru (Hanafiah, 2005).
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana
cacing tanah itu berada. Lingkungan yang disebut disini adalah totalitas kondisi-
kondisi fisik, kimia, biotik dan makanan yang secara bersama-sama dapat
mempengaruhi populasi cacing tanah (Satchell, 1967 dalam John, 1984). Selanjutnya
dijelaskan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap populasi cacing tanah
adalah: kelembaban, suhu, pH tanah, bahan organik tanah, serta vegetasi yang terdapat
disana sebagai berikut:
a. Kelembaban
Menurut Rukmana (1999) kelembaban yang ideal untuk cacing tanah adalah
antara 15%-50%, namun kelembaban optimumnya adalah antara 42%-60%.
Kelembaban tanah yang terlalu tinggi atau terlalu basah dapat menyebabkan cacing
tanah berwarna pucat dan kemudian mati. Sebaliknya bila kelembaban tanah terlalu
kering, cacing tanah akan segera masuk ke dalam tanah dan berhenti makan serta
akhirnya mati.
b. Suhu
Kehidupan hewan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu yang ekstrim
tinggi atau rendah dapat mematikan hewan tanah. Disamping itu suhu tanah pada
umumnya juga mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme hewan
tanah. Tiap spesies hewan tanah memiliki kisaran suhu optimum (Odum, 1996).
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Kesuburan cacing tanah di suatu habitat sangat dipengaruhi oleh perbedaan
suhu, contohnya jumlah kokon yang dihasilkan oleh Allolobophora caliginosa dan
beberapa spesies Lumbricus jumlahnya bertambah 4 kali lipat ada kisaran suhu 6 16
0
C. Kokon dari Allolobophora chlorotica menetas dalam waktu 36 hari pada suhu 29
0
C, 49 hari pada suhu 15 0C dan 112 hari pada suhu 10 0C bila tersedia air yang cukup
(Wallwork, 1970).
Suhu yang ekstrim tinggi atau rendah dapat mematikan cacing tanah. Suhu
tanah pada umumnya dapat mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan
metabolisme. Tiap spesies cacing tanah memiliki kisaran suhu optimum tertentu,
contohnya L.rubellus kisaran suhu optimumnya 15 18 0C, L. terrestris 10 0C,
sedangkan kondisi yang sesuai untuk aktivitas cacing tanah di permukaan tanah pada
waktu malam hari ketika suhu tidak melebihi 10,5 0C (Wallwork, 1970).
c. pH
Kemasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing tanah sehingga
menjadi faktor pembatas penyebaran dan spesiesnya. Umumnya cacing tanah tumbuh
baik pada pH sekitar 7,0, namun L.terrestis dijumpai pada pH 5,2 5,4. Beberapa
spesies tropis genus Megascolex hidup pada tanah masam dengan pH 4,5 4,7 dan
Bimastos lonnbergi pada pH 4,7 5,1, bahkan Dendrobaena octaedra tahan pada pH
di bawah 4,3 (Hanafiah, 2005).
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena itu pH
merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah spesies yang dapat hidup pada
tanah tertentu. Dari penelitian yang telah dilakukan secara umum didapatkan cacing
tanah menyukai pH tanah sekitar 5,8-7,2 karena dengan kondisi ini bakteri dalam
tubuh cacing tanah dapat bekerja optimal untuk mengadakan pembusukan.
Penyebaran vertikal maupun horizontal cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah
(Edwards & Lofty, 1977).
d. Bahan Organik
Distribusi bahan organik dalam tanah berpengaruh terhadap cacing tanah, karena
terkait dengan sumber nutrisinya sehingga pada tanah miskin bahan organik hanya
sedikit jumlah cacing tanah yang dijumpai. Namun apabila cacing tanah sedikit,
sedangkan bahan organik segar banyak, pelapukannya akan terhambat (Hanafiah,
2005).
e. Vegetasi
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Suin (1982) menyatakan bahwa pada tanah dengan vegetasi dasarnya rapat,
cacing tanah akan banyak ditemukan, karena fisik tanah lebih baik dan sumber
makanan yang banyak ditemukan berupa serasah. Menurut Edwards & Lofty (1977)
faktor makanan, baik jenis maupun kuantitas vegetasi yang tersedia di suatu habitat
sangat menentukan keanekaragaman spesies dan kerapatan populasi cacing tanah di
habitat tersebut. Pada umumnya cacing tanah lebih menyenangi serasah herba dan
kurang menyenangi serasah pohon gugur dan daun yang berbentuk jarum. Selanjutnya
dijelaskan bahwa cacing tanah lebih menyenangi daun yang tidak mengandung tanin.
2.5. Peranan Cacing Tanah
Secara umum peranan cacing tanah merupakan sebagai bioamelioran (jasad hayati
penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam memperbaiki
sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan
mineral, sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah (Hanafiah, 2005).
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Co, Hg dan Zn oleh cacing tanah tertentu yang jumlahnya selaras dengan kenaikan
dosis lumpur organik (Hanafiah, 2005).
Kegiatan cacing tanah menerowongi tanah dapat membentuk pori mikro yang
mantap dan sambung menyambung melancarkan daya antar air, memudahkan proses
pertukaran gas, menyediakan medium yang baik bagi pertumbuhan akar
(Notohadiprawiro, 1998).
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
BAB 3
Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2009 di 2 (dua) lokasi yaitu kawasan
perkebunan kelapa sawit PT. Moeis dan perkebunan kelapa sawit milik rakyat di Desa
Simodong, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batu Bara, Propinsi Sumatera Utara.
a. Lokasi 1
Lokasi 1 terletak di kawasan perkebunan kelapa sawit PT. Moeis. Lokasi ini secara
geografis terletak pada 03 18 22,4 LU dan 99 20 4,6 BT. dengan luas lahan
sekitar 107,6 ha, yang ditanam kelapa sawit pada tahun tanam 1991 atau telah
berumur sekitar 18 tahun.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Gambar 3.1 Foto Lokasi I Areal Kebun Kelapa Sawit PT. Moeis
b. Lokasi 2
Gambar 3.2 Foto lokasi II Areal Kebun Kelapa Sawit Milik Rakyat
Pada masing-masing titik sampel yang telah ditentukan dibuat plot berukuran
30 x 30 cm dengan kedalaman 20 cm sebanyak 25 plot dan diambil tanahnya dengan
menggunakan sekop/cangkul, kemudian ditempatkan dalam lembaran plastik.
Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 07.00 09.00 WIB. Selanjutnya cacing
tanah yang ada pada tanah tersebut disortir. Cacing tanah yang didapatkan
dikumpulkan dan dibersihkan dengan air serta dihitung jumlahnya, kemudian
dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah berisi formalin 4%, setelah itu
diawetkan dengan alkohol 70% (Suin, 1997). Cacing tanah yang diawetkan ini dibawa
ke Laboratorium Sistematika Hewan FMIPA USU untuk diidentifikasi.
Tanah pada masing-masing plot sampel diukur kelembaban relatif, suhu, kadar air,
dan kadar organik tanah. Pengukuran kelembaban relatif, pH dan suhu tanah
dilakukan sebelum tanah diambil dari kuadrat tersebut. Kelembaban relatif dan pH
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
diukur dengan menggunakan Soil Tester dan suhu tanah diukur dengan menggunakan
Soil Thermometer.
Pengukuran kadar air dan kadar organik tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu
Tanah Fakultas Pertanian USU. Tanah yang telah disortir cacing tanah dibersihkan
dari sisa-sisa tumbuhan dan hewan tanah lainnya yang masih ada, kemudian diaduk-
aduk sampai rata dan diambil sebanyak 20 gram tanah untuk dianalisis. Selanjutnya
sampel tanah ini dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 2 jam sehingga
beratnya konstan dan ditentukan kadar air tanahnya dengan rumus sebagai berikut :
AB
Kadar air tanah (%) = x 100%
A
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Keterangan: A = Berat basah tanah
B = Berat konstan tanah (Wilde, 1972 dalam Adianto, 1993)
Jenis cacing tanah dan jumlah individu masing-masing jenis yang didapatkan
dihitung: Kepadatan Populasi, Kepadatan Relatif masing-masing jenis, Frekuensi
Kehadiran dan Indeks Similaritas (Walkwork, 1970: Southwood, 1996 dalam Suin &
Iswandi, (1994) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
b. Kepadatan Relaif (KR)
c. Komposisi Komunitas: didasarkan pada nilai urut Kepadatan Relatif (KR) terbesar
hingga terkecil dari masing-masing jenis yang didapatkan.
2C
IS =
a+b
I=n x - N
N ( N- 1 )
Keterangan: Nilai Indeks Morista = 1, menunjukkan bahwa distribusi hewan itu random
Nilai Indeks Morista > 1, menunjukkan bahwa distribusi hewan itu berkelompok
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Nilai Indeks Morista < 1, menunjukkan bahwa distribusi hewan itu beraturan
BAB 4
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang komposisi dan distribusi cacing
tanah di areal perkebunan kelapa sawit PT. Moeis dan di perkebunan kelapa sawit
rakyat Desa Simodong, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batu Bara didapatkan seperti
yang terlihat pada Tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Cacing Tanah yang Ditemukan pada Dua Lokasi Penelitian
No Famili Spesies/Jenis Lokasi
I II
1 Glossoscolecidae Pontoscolex corethrurus + +
2 Moniligastridae Drawida sp - +
3 Megascolidae Peryonix excavatus + +
Megascolex cempii + -
Pheretima posthuma + +
Jumlah Spesies 4 4
Keterangan: Lokasi 1 = lahan perkebunan kelapa sawit PT. Moeis ; lokasi 2 = lahan
perkebunan kelapa sawit Rakyat ; + = ditemukan ; - = tidak ditemukan.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
pada lokasi II, tapi tidak didapatkan pada lokasi I adalah dari jenis Drawida sp,
keadaan ini disebabkan ke dua jenis ini memiliki kisaran toleransi yang berbeda
terhadap kondisi lingkungan, seperti pH dan kadar organik tanah. Menurut John
(1998) cacing tanah dari jenis Megascolex cempii lebih menyukai kondisi lingkungan
dengan pH sedikit asam (< 6), kelembaban tanah berkisar antara 80-90%, dan kadar
organik tergolong rendah (< 1 %), sedangkan cacing tanah dari jenis Drawida sp lebih
menyukai kondisi lingkungan dengan pH netral (6-7), kelembaban tanah berkisar
antara 85-95%, dan kadar organik tergolong cukup tinggi (1-2 %).
Tanda-tanda khusus dari ke lima jenis cacing tanah yang ditemukan pada areal
perkebunan kelapa sawit adalah sebagai berikut :
Tanda-tanda khusus:
Cacing tanah ini memiliki panjang total tubuh berkisar antara 35-120 mm,
diameter 2-4 mm, dengan jumlah segmen berkisar antara 83-215 segmen, warna
bagian dorsal cokelat kekuningan, warna bagian ventral abu-abu keputihan. Warna
ujung anterior kekuningan dan warna ujung posterior cokelat kekuningan.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Prostomium prolobus atau epilobus dengan 1 segmen dapat ditarik kembali. Seta
kecil berlekuk-lekuk secara garis melintang dan bagian anterior seta kelihatan
tidak jelas tetapi pada bagian posterior seta kelihatan sangat jelas, biasanya sekitar
10-12 bagian depan sangat jelas dan lebar dari seta berpasangan. Klitelium bentuk
pelana mulai dari segmen 14-20 (John, 1998).
Tanda-tanda khusus:
Cacing tanah ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 30-95 mm, diameternya
sekitar 3-5 mm, jumlah segmen berkisar antara 265-450 segmen, hampir tidak
mempunyai pigmen biasanya berwarna cokelat abu-abu kekuningan, bagian
ventral cokelat muda. Warna ujung anterior cokelat keputihan dan ujung posterior
cokelat keputihan. Prostomium prolobus atau epilobus. Seta kecil berpasangan,
seta mulai segmen 5/6-8/9 kebanyakan tebal. Klitelium pada segmen 10-13
berbentuk pelana di bagian depan, dan pada bagian belakang (segmen 13)
berbentuk cincin, lubang kelamin jantan pada segmen 27/28. Lubang kelamin
betina segmen 26-27 (Dindal, 1990).
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Gambar 4.2 Drawida sp
Tanda-tanda khusus:
Cacing ini tanah ini berbentuk gilik dengan panjang tubuh berkisar antara 80-120
mm, diameternya 4-6 mm, jumlah segmen berkisar antara 75-165 segmen dan
klitelumnya terletak pada segmen 13 dan 17. Memiliki banyak seta dengan tipe
Perichaetine pada setiap segmen. Gland prostat bercabang. Holonephric atau
memiliki sepasang nefridia pada setiap segmennya. Pada bagian posterior
berwarna cokelat keemasan sedangkan pada bagian anterior berwarna cokelat
kehitaman (Suin, 1994).
Tanda-tanda khusus:
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Cacing tanah ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 55-123 mm, diameter 3-4
mm, dan jumlah segmen antara 134-178. Warna bagian dorsal merah keunguan,
bagian ventral pucat atau cokelat keputihan. Warna ujung anterior cokelat
keputihan dan ujung posterior abu-abu cokelat. Prostomium epilobus, segmen
pertamanya tidak jelas tertarik ke dalam. Klitelium berbentuk cincin dan tidak
membengkak, segmennya jelas serta mengkilap, berwarna kemerahan, dimulai
pada segmen ke XIV-XVI (3 segmen), mempunyai seta, bagian dorsal dan ventral
tidak menebal. Lubang dorsal dimulai pada septa 5/6. Seta mulai dari segmen II
dengan tipe Perichaetine. Lubang kelamin jantan terletak pada segmen XVIII,
agak ke tengah dan mempunyai papila. Lubang kelamin betina terletak pada
medio-ventral segmen XIV. Lubang spermateka terletak pada septa 7/8-8/9 (Suin,
1994).
Tanda-tanda khusus:
Cacing tanah ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 115-140 mm,
diameternya 5-6 mm, dan jumlah segmen berkisar antara 125-145. Warna bagian
dorsal cokelat keunguan, bagian ventral pucat atau abu-abu keputihan. Warna
ujung anterior cokelat kekuningan, dimulai pada segmen ke XIV-XVI (3 segmen),
mempunyai seta, bagian dorsal dan ventral tidak menebal. Lubang dorsal mulai
pada septa 12/13. Seta mulai dari segmen II dengan tipe Perichaetine, seta bagian
anterior dari ventral terlihat jelas atau lebih besar. Lubang kelamin betina terletak
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
pada medioventral segmen XVII dan XIX. Lubang spermateka 4 pasang, terletak
pada septa 5/6 8/9 (pada septa 5/6 kurang jelas) (John, 1998).
Kepadatan populasi cacing tanah pada kedua lokasi penelitian menunjukkan adanya
perbedaan, seperti yang terlihat pada Tabel 4.2 berikut ini.
Lokasi I Lokasi II
No Jenis
K KR (%) K KR (%)
1. Pontoscolex corethrurus 14,66 66,00 20,89 58,02
2. Peryonix excavatus 3,55 16,00 2,66 7,40
3. Pheretima posthuma 1,77 8,00 2,22 6,18
4. Drawida sp - - 10,22 28,40
5. Megascolex cempii 2,22 10,00 - -
Jumlah 22,22 100,00 35,99 100,00
Keterangan: K= Kepadatan, KR = Kepadatan Relatif
Berdasarkan nilai kepadatan relatif dapat ditentukan komposisi cacing tanah dari
urutan tertinggi sampai terendah pada masing-masing lokasi seperti pada Tabel 4.3
berikut ini:
Lokasi I Lokasi II
No Jenis
KR (%) Komposisi KR (%) Komposisi
1. Pontoscolex corethrurus 66,00 1 58,02 1
2. Peryonix excavatus 16,00 2 7,40 3
3. Pheretima posthuma 8,00 4 6,18 4
4. Drawida sp - - 28,40 2
5. Megascolex cempii 10,00 3 - -
Jumlah 100,00 100,00
Keterangan: KR = Kepadatan Relatif
Frekuensi kehadiran dan konstansi cacing tanah yang didapatkan pada setiap lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut ini.
Tabel 4.4 Frekuensi Kehadiran (%) dan Konstansi Cacing Tanah pada Masing-
Masing Lokasi Penelitian
No Jenis Lokasi I Lokasi II
FK (%) Konstansi FK (%) Konstansi
1. Pontoscolex corethrurus 56 Konstan 60 Konstan
2. Peryonix excavatus 28 Asesoris 24 Aksidental
3. Pheretima posthuma 16 Aksidental 20 Aksidental
4. Drawida sp - - 36 Aksesoris
5. Megascolex cempii 16 Aksidental - -
Keterangan: FK= Frekuensi Kehadiran
Pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa jenis cacing tanah pada lokasi I yang
bersifat konstan 1 jenis, bersifat aksidental ada 2 jenis dan bersifat asesoris 1 jenis.
Pada lokasi II jenis cacing tanah yang bersifat konstan 1 jenis, bersifat aksidental ada
2 jenis dan bersifat asesoris 1 jenis tetapi yang bersifat absolut tidak ditemukan. Hal
ini memperlihatkan bahwa tidak ada jenis yang sangat sering ditemukan (absolut)
pada kedua lokasi, tetapi ada 1 jenis yang sering ditemukan (konstan) pada kedua
lokasi yaitu Pontoscolex corethrurus. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan baik
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
secara fisik-kimia maupun ketersediaan air dan unsur hara dapat mendukung bagi
kehidupan cacing tanah dari jenis Pontoscolex corethrurus.
4.5 Cacing Tanah yang Memiliki Nilai Kepadatan Relatifnya (KR) 10% dan
Frekuensi Kehadiran (FK) 25%
Tabel 4.5 Cacing Tanah yang Memiliki Nilai Kepadatan Relatif (KR) 10% dan
Frekuensi Kehadiran (FK) 25%
No Spesies Lokasi I Lokasi II
KR (%) FK (%) KR(%) FK(%)
1 Pontoscolex corethrurus 66 56 58,02 60
2 Peryonix excavatus 16 28 - -
3 Drawida sp - - 28,4 36
Didapatkan 3 jenis dari 5 jenis cacing tanah yang dapat hidup dan berkembang
dengan baik yaitu Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus dan Drawida sp.
Dimana pada lokasi I yaitu dari jenis Pontoscolex corethrurus dan Peryonix excavatus
dan pada lokasi II yaitu dari jenis Pontoscolex corethrurus dan Drawida sp.
Distribusi cacing tanah pada setiap lokasi penelitian menurut Nilai Indeks Morista
diperoleh hasilnya pada lokasi I dan II yaitu lebih besar dari 1 seperti terlihat pada
Tabel 4.6 berikut ini.
Tabel 4.6 Indeks Morista (Distribusi) Cacing Tanah pada Masing-Masing Lokasi
Penelitian
No Jenis Indeks Morista
Pada Tabel 4.6 menunjukan bahwa kondisi distribusi jenis cacing tanah pada
masing-masing lokasi yaitu distribusi cacing tanah yang berkelompok ada 1 jenis dan
distribusi cacing tanah yang beraturan ada 4 jenis, dimana pada lokasi I yang distribusi
cacing tanah berkelompok ada 1 jenis yaitu. Pontoscolex corethrurus dan distribusi
cacing tanah yang beraturan ada 3 jenis yaitu Peryonix excavatus, Pheretima
posthuma dan Megascolex cempii. Pada lokasi II distribusi cacing tanah yang
berkelompok ada 1 jenis yaitu. Pontoscolex corethrurus dan distribusi cacing tanah
yang beraturan ada 3 jenis yaitu Peryonix excavatus, Pheretima posthuma dan
Drawida sp. Kondisi ini disebabkan kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan makanan
pada setiap lokasi yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi distribusi cacing
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
tanah. Distribusi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan faktor-faktor
lingkungan seperti faktor makanan dan pH tanah.
Menurut Edwars & Lofty (1977) bahwa cacing tanah sangat sensitif terhadap
keasaman tanah, karena itu pH merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah
jenis yang dapat hidup pada tanah tertentu. Penyebaran vertikal maupun horizontal
cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Dari penelitian yang telah dilakukan
secara umum didapatkan cacing tanah menyukai pH tanah berkisar 5,8-7,2 karena
dengan kondisi ini cacing tanah dapat lebih optimal untuk mengadakan proses
pembusukan.
Edwars & Lofty (1977) menjelaskan bahwa faktor makanan, baik jenis
maupun kuantitas vegetasi yang tersedia di suatu habitat sangat menentukan
keanekaragaman spesies dan kerapatan populasi cacing tanah di habitat tersebut.
Nilai Indeks Similaritas jenis cacing tanah antara lokasi penelitian, yaitu antara lokasi
I dengan lokasi II yaitu 75%, seperti yang terlihat pada Tabel 4.7 berikut ini.
Tabel 4.7. Nilai Indeks Similaritas (Kesamaan) Cacing Tanah pada Masing-
Masing Lokasi Penelitian.
Lokasi I Lokasi II
Lokasi I - 75%
Lokasi II - -
Dari Tabel 4.7, menunjukkan bahwa kesamaan jenis cacing tanah yang
terdapat antara lokasi I dengan lokasi II sangat mirip, kondisi ini dikarenakan adanya
berbagai macam vegetasi dan kelembaban tanah yang mendukung kelangsungan
hidup cacing tanah dan juga kondisi sifat fisik-kimia tanah yang hampir sama antara
lokasi I dengan lokasi II. Kondisi sifat fisik kimia tanah turut mempengaruhi atau
menentukan distribusi dan komposisi jenis cacing tanah pada suatu daerah. Menurut
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Satchell (1967) dalam Suin (1982), bahwa populasi cacing tanah sangat erat
hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana cacing tanah itu berada.
Lingkungan yang disebut disini adalah totalitas kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan
makanan yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi populasi cacing tanah.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
BAB 5
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Komposisi Komunitas dan
Distribusi Cacing Tanah di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis dan
di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu
Bara dapat disimpulkan bahwa:
a) Didapatkan sebanyak 5 jenis cacing tanah yang termasuk ke dalam 3 famili, yaitu
famili Glossoscolecidae, Moniligastridae dan Megascolidae
b) Pada lokasi I didapatkan 4 jenis cacing tanah yaitu: Pontoscolex corethrurus,
Peryonix excavatus, Megascolex cempii dan Pheretima posthuma. Pada lokasi II
didapatkan 4 jenis cacing tanah yaitu Drawida sp, Pontoscolex corethrurus,
Pheretima posthuma dan Peryonix excavatus.
c) Komposisi jenis cacing tanah tertinggi yaitu Pontoscolex corethrurus dengan nilai
kepadatan 20,89 individu/ m dan kepadatan relatif 58,02% sedangkan terendah
yaitu Pheretima posthuma dengan nilai kepadatan 1,77 individu/ m dan kepadatan
relatif 8,00%.
d) Didapatkan 3 jenis cacing yang dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik
yaitu Pontoscolex corethrurus, Peryonix excavatus dan Drawida sp.
e) Kesamaan jenis cacing tanah pada lokasi I dengan lokasi II termasuk kategori
sangat mirip dengan indeks similaritas 75%.
f) Pada lokasi I distribusi cacing tanah berkelompok (1,27) didapatkan dari jenis
Pontoscolex corethrurus dan distribusi cacing tanah beraturan didapatkan dari
jenis Peryonix excavatus, Pheretima posthuma, Megascolex cempii. Pada lokasi II
distribusi cacing tanah berkelompok dari jenis Pontoscolex corethrurus (1,68) dan
distribusi cacing tanah beraturan didapatkan dari jenis Peryonix excavatus,
Drawida sp Pheretima posthuma.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang distribusi dan komposisi cacing
tanah di lokasi penelitian yang lain agar dapat dibandingkan dengan yang telah
didapatkan di lokasi penelitian ini dengan memperhatikan bagaimana pengaruh
keberadaan dan penyebaran setiap jenis cacing tanah terhadap tingkat kesuburan tanah
di lokasi penelitian.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Adianto. 1993. Biologi Pertanian (Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati dan
Insektisida). Edisi kedua. Alumni Anggota IKAPI. Bandung. hlm. 16-17.
Buckman, H.O & N.C Brady. 1982. Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Soegiman.
UGM Press. Yogyakarta. hlm. 64-66.
Dindal, D.L. 1990. Soil Biology Guide. John Willey dan Sons. New York. Chichester,
Brisbane. pp. 331-387.
Edward, C.H & J.R. Lofty. 1977. Biology of Earthworm. London. Chapman and Hall.
pp. 77-221.
Hadi, M. M. 2004. Teknik Berkebun Kelapa Sawit. Adicita Karya Nusa. Yogyakarta.
hal 28-32.
Hanafiah, K.A. 2005. Biologi Tanah. Ekologi dan Makrobiologi Tanah
PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. hlm. 70, 78-79, 91-94, 119-120, 142-143.
Hegner, R.W. & J.G Engeman. 1978. Invertebrate Zoology. Mac Milan. New York.
pp. 616.
John, A.H. 1984. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Populasi Cacing Tanah.
Paper Sarjana Muda Jurusan Biologi FMIPA. Padang: Andalas (Tidak
Dipublikasi). hlm. 3-8.
John, A.H. 1998. Kajian Pengaruh Pemupukan dengan Limbah Cair Pabrik Kelapa
Sawit ke Areal Kebun Terhadap Cacing Tanah untuk Memantau Kualitas
Tanah Secara Biologis. Tesis Pasca Sarjana (S2). Medan. USU (Tidak
Dipublikasi). hlm. 20-24.
John, A.H. 2007. Sistematika Hewan I (Invertebrata). Departemen Biologi. FMIPA
USU. Medan. hlm. 94-95.
Lee, K.E. 1985. Earthworm. Their Ecology and Relationship with Soil and Land Use.
Academic Press. Australia. pp. 38-59.
Muklis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. Medan: USU Press. hlm. 109-111.
Naibaho, P.M. 1988. Diversivikasi Minyak Sawit dan Inti Sawit dalam Upaya
Meningkatkan Daya Saing dengan Minyak Nabati lainnya dan Hewani.
Sasaran, No. 27, Th. V, 1991.
Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 29.
Odum, E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
hlm. 137-190.
Risza, Suyatno. 1994. Kelapa Sawit. Upaya Peningkatan Produktivitas. Penerbit
Kanisius (Anggota IKAPI). Yogyakarta. hlm. 40-44.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Rukmana, H.R. 1999, Budi Daya Cacing Tanah, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI),
Yogyakarta. hlm. 18, 28-29.
Russel, E.W. 1988. Soil Condition and Plant Growth. Eleventh Edition. Longman
Scientific & Technical. New York: The United States with John Wiley &
Sons. pp. 138-151.
Satchell, J.E. 1955. Some Aspect of Earthworm Ecology, in Soil Zoology. Edition by
Kevan. London: Butterworths. pp. 138-151.
Suin, N.M. 1982. Cacing Tanah dari Biotop Hutan, Belukar dan Kebun di Kawasan
Gambung Jawa Barat. Tesis Pasca Sarjana (S2). ITB. Bandung (Tidak
Dipublikasi). hlm. 72-74.
Suin, N.M. 1988. Populasi Hewan Tanah di Sekitar Pabrik Semen serta
Kemungkinannya Bagi Pemantauan Kualitas Tanah. Disertasi (S3). Bandung:
ITB (Tidak Dipublikasi). hlm. 131-134.
Suin, N.M. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Penerbit Bumi Aksara. Bandung. hlm. 91-
96.
Suin, N.M & Iswandi. 1994. Pemanfaatan Cacing Tanah pada Onggokan Sampah
dan Tanah Sekitarnya (Laporan Penelitian). Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Pusat Studi Lingkungan Hidup. Padang: Universitas Andalas.
hlm. 1-9.
Wallwork, J.A. 1970. Ecology of Soil Animal. Mc.Graw Hill Book Company. London.
pp. 58-74.
Wallwork, J.A. 1976. The Distribustion and Diversity of Soil Fauna. London:
Academic Press inc. pp. 36.
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
LAMPIRAN A. Peta Lokasi Penelitian
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
LAMPIRAN B. Nilai Faktor Fisik-Kimia Tanah pada Masing-Masing Lokasi
Perkebunan Sawit
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
LAMPIRAN C. Data Jumlah dan Jenis Cacing Tanah yang Didapatkan pada Dua Lokasi Penelitian
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
LAMPIRAN D. Contoh Cara Perhitungan Analisis Data
Luas Area = 30 cm x 30 cm
= 900 cm
= 10.000 : 900 cm
= 11,11 m
Kepadatan
33
Ponthoscolex corethrurus = = 1,32 11,11 = 14,67 individu/ m
25
8
Peryonix excavatus = = 0,32 11,11 = 3,55 individu/ m
25
4
Pheretima posthuma = = 0,16 11,11 = 1,77 individu/ m
25
5
Megascolex cempii = = 0,2 11,11 = 2,22 individu/ m
25
Total = 22,22 individu/ m
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Komposisi Jenis
Ponthoscolex corethrurus = 66 %
Peryonix excavatus = 16 %
Pheretima posthuma =8%
Megascolex cempii = 10 %
Frekuensi Kehadiran
14
Ponthoscolex corethrurus = x100% = 56%
25
7
Peryonix excavatus = x100% = 28%
25
4
Pheretima posthuma = x100% = 16%
25
4
Megascolex cempii = x100% = 16%
25
Ponthoscolex corethrurus I= n x - N
N(N-1)
= 33 1,32 - 25
25 ( 25 - 1 )
= 33 1,74 25
600
I= 1,27
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Peryonix excavatus I=n x - N
N(N-1)
I=8 0,32 - 25
25 ( 25 - 1 )
I=8 0,10 - 25
600
I= 0,33
25 ( 25 - 1 )
I=4 0,02 - 25
600
I = 0,16
I=5 0,2 - 25
25 ( 25 - 1 )
I=5 0,04 - 25
600
I = 0,20
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
Indeks Similaritas (Kesamaan Cacing Tanah)
Indeks similaritas antara Biotop I dengan II
2C
IS = x100%
A+ B
2(3)
IS = x100%
4+4
= 75 %
dimana :
IS = Indeks Similaritas
A = Jumlah Jenis Pada Lokasi A
B = Jumlah Jenis Pada Lokasi B
C = Jumlah Jenis yang Sama Pada Dua Lokasi yang Berbeda
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.
LAMPIRAN E. Foto-Foto Penelitian
Morario : Komposisi Dan Distribusi Cacing Tanah Di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Moeis Dan Di
Perkebunan Rakyat Desa Simodong Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara, 2010.