Anda di halaman 1dari 15

Adat Istiadat

a. Catur Warna (Pengelompokan Masyarakat)


Di Bali berlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Catur
Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata Catur berarti
empat dan kata warnayang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya
memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian
dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma)
seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan,
pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh
ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat
golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah:
Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.

Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan


fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan
pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.

Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan


fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan
pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan
dan pertahanan keamanan negara.

Warna Waisya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan


fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan
pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian,
perindustrian, dan lain- lain).

Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan


fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan
pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.

Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa


pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada
sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah.
Padahal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan fungsional,
sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.
a. Rumah Adat

Rumah Bali yang sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda
yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui
dalam Budaya China). Rumah adat Bali dinamakan Gapura Candi Bentar.
Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan
tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek
pawongan (harmoni dengan manusia), palemahan (harmoni dengan alam)
dan parahyangan (harmoni dengan tuhan). Untuk itu pembangunan
sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa
disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah.
Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah
dan lingkungannya.
Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu
dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam
hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan
simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias
dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang
ditampilkan dalam patung.

Fungsi bangunan rumah adat Bali :


Jabo Depan : Bangunan candi Bentor lambang budaya Bali.
Jabo Tengah : bangunan Balewantilan, fungsinya untuk tempat
aktifitas sosial/pesta.
Sanggah penunggu Parang, untuk tempat persembahan sesaji untuk Banas
Pati Raja / Dewa Sanesha (untuk penolak bala).
Balai Paruman : bangunan untuk tempat rapat keluarga dan menyiapkan
sesaji.
Ruang Jeroan : bangunan yang terdapat ruangan-ruangan yang terdiri dri
stu kesatuan.
Kuri Agung : pintu yang terletak ditengah dan besar, fungsinya untuk
tempat keluar masuknya suatu acara keagamaan.
Kuri Bebetelan : pintu kecil yang terletak disamping kanan-kiri Kuri
Agung fungsinya untuk keluar masuknya pengunjung umum.
Balai Aling-aling, untuk membaca dan menulis kitab suci Wedha. Dibalai
ini terdapat patung yang menggambarkan penduduk Bali asli.

Balai Pawaregan : Tempat untuk memasak serta tempat makan.


Balai Ranggi : Tempat untuk menyimpan perlengkapan upacara.
Balai Gedong : Tempat tidur gadis yang belum menikah dan untuk menyekep (sebelum
menikah) dan sekaligus tempat menyimpan barang-barang berharga
seperti emas,dll.
Balai Dauh : Tempat Tidur laki-laki yang belum menikah dan untuk tempat aktifitas
keluarga.
Balai Loji : Tempat khusus untuk para tamu menginap.
Balai Jineng : Tempat menyimpan hasil panen dan peralatan menyawah.
Mrajan : Tempat pemujaan kepada dewa gede, kegiatan ini dilakukan sebelum
melakukan aktifitas sehari-hari.

a. Tarian:
Tari Pendet
pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di
pura. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke
alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman
Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap
mengandung anasir yang sakral-religius.

Kontroversi Pendet 2009


Tari pendet menjadi sorotan media Indonesia karena tampil dalam
program televisi Enigmatic Malaysia Discovery Channel. Menurut
pemerintah Malaysia, mereka tidak bertanggung jawab atas iklan tersebut
karena dibuat oleh Discovery Channel Singapura, kemudian Discovery
TV melayangkan surat permohonan maaf kepada kedua negara, dan
menyatakan bahwa jaringan televisi itu bertanggung jawab penuh atas
penayangan iklan program tersebut. Meskipun demikian, insiden
penayangan pendet dalam program televisi mengenai Malaysia ini
sempat memicu sentimen Anti-Malaysia di Indonesia.

Kecak
Kecak adalah pertunjukan seni khas Bali yang diciptakan pada tahun
1930-an dan dimainkan terutama oleh laki-laki. Tarian ini dipertunjukkan
oleh banyak (puluhan atau lebih) penari laki-laki yang duduk berbaris
melingkar dan dengan irama tertentu menyerukan "cak" dan mengangkat
kedua lengan
Senjata Adat Bali:
Keris
Keris ada senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada
kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan
Nusantara bagian barat dan tengah. Keris Indonesia telah terdaftar di
UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak
2005.

Tombak atau Lembing

Tombak atau lembing adalah senjata untuk berburu dan berperang,


Terdapat sejenis tombak tanpa mata yang sering digunakan oleh milisia
di nusantara yaitu bambu runcing yang dibuat dari bambu yang
diruncingkan tanpa perkuatan apapun di ujungnya.

Alat Musik:
Gamelan
Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon,
gambang, gendang, dan gong. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di
pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis
ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa
lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.
Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada
Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di
gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang
Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para
dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong,
lalu akhirnya terbentuk set gamelan
Makanan khas Bali:
AyamBetutu

Ayam Betutu adalah lauk yang terbuat dari ayam atau bebek yang utuh
yang berisi bumbu, kemudian dipanggang dalam api sekam. Betutu ini
telah dikenal di seluruh kabupaten di Bali. Salah satu produsen betutu
adalah desa Melinggih, kecamatam payangan kabupaten Gianyar. Betutu
digunakan sebagai sajian pada upacara keagamaan dan upacara adat serta
sebagai hidangan dan di jual.

Lawar

Lawaradalah makanan tradisional Bali berupa campuran sayur-sayuran


dan daging cincang yang dibumbui .Makanan ini digunakan sebagai
sajian dan hidangan, serta telah dijual secara luas di rumah-rumah makan
dengan merek lawar Bali.

PERKAWINAN

a. SistemPerkawinan
Perkawinan (ngerorod) artinya mempertsatukan 2 insan/pemuda-pemudi
menjadi satu ikatan baik lahir maupun batin. Secara adat agama Hindu
perkawinan dilaksanakan dengan memakai sesaji/banten.

JENIS-JENIS PERKAWINAN SECARA AGAMA HINDU

1. Meminang atau meminta


2. Kawin lari
3. Mekidih
4. Mejangkepan (dijodohkan)

Yang dimaksud:
->Meminang atau meminta adalah meminta seorang gadis yang
dilakukan oleh seorang pria kekeluarga pihak perempuan.
->Kawin lari adalah kawin yang dilakukan secara adat, yang tidak
disetujui oleh pihak keluarga perempuan.
->Kawin Mekidih adalah seorang perempuan yang meminang seorang
laki-laki menjadi suaminya, karena seorang perempuan itu tidak
mempunya saudara laki-laki.
->Mejangkepan (dijodohkan) adalah perkawinan yang dilaksanakan
dengan persetujuan kedua belah pihak, orang tua, walaupun keduanya
tidak saling mencintai.

Susunan acara perkawinan Bali :

Mamade : berdasarkan cinta sama cinta. Disetujui oleh kedua keluarga


mempelai. Pihak laki-laki meminang wanita dengan membawa oleh-oleh
yang berupa kapur sirih dan sejumlah uang kejujuran (hasil
keringatsendiri). Proses upacaranya dirumah mempelai laki-laki karena
menganut system patrinial (laki-laki pemimpin keluarga).
Ngerorod : berdasarkan cinta sama cinta tapi tidak disetujui oleh
keluarga kedua belah pihak, karena beberapa faktor. Perkawinan yang
memakai surat pernyataan dari kedua belah pihak bahwa kedua pasangan
tersebut siap menjalani perkawinan, surat tersebut dibawa kekelurahan.
Wejangkepan :berdasarkan paksaan/harus saling mencinta. Maksud dan
tujuan untuk mempererat tali persaudaraan antara keluarga kedua belah
pihak. Tempat penyelenggara proses perkawinannya di kediaman pihak
laki-laki.

Proses upacara perkawinan pihak wanita:


1) Melakukan mebiukalanya itu suatu upacara pembersihan lahir batin
oleh kedua mempelai yang dipimpin oleh pemandu, biasanya
menyesuaikan dengan adat budaya setempat.
2) Mandi bersama kesungai.
3) Melakukan upacara Widiwedane dipimpin oleh pendeta, saksinya
adalah tuhan dan masyarakat

I. Upacara Keagamaan
Biasanya orang Bali sembahyang 3x sehari pada waktu pagi, siang, dan
sore.

Pagi : Jam 06.00 (setelah matahari terbit)


Siang : Jam 12.00 (pas matahari diatas kepala)
Sore : Jam 18.00 (setelah terbenamnya matahari)

Adapun sarana persembahyangannya yaitu :

Bunga / canang, Dupa, Tirtha sebagai air suci, Bije, biasa kita kenal
dengan beras

Pakaian sembahyang untuk wanita antara lain kebaya,kain,dan selendang


Untuk laki-laki antara lain baju putih, kain, dan udeng (buat kepala).

HARI RAYA YANG ADA DI AGAMA HINDU :


Hari Raya Berdasarkan Wewaran
Galungan Jatuh pada: Buda, Kliwon, Dungulan
Kuningan Jatuh pada: Saniscara, Kliwon, Kuningan

Saraswati Jatuh pada: Saniscara, Umanis, Watugunung. Hari


Ilmu Pengetahuan, pemujaan pada Sang Hyang Aji Saraswati.
Banyupinaruh Jatuh pada: Redite, Pahing, Shinta
Pagerwesi
Hari Raya Berdasarkan Kalender Saka
1. Siwaratri
2. Nyepi

HARI RAYA NYEPI


Sebelum Nyepi dilakukan upacara Melasti yang membersihkan peralatan
untuk disucikan dan memohon air Tirtha, Kamendalu (air suci
kehidupan) biasanya kita jumpai di laut.
Setelah Melasti dilakukan upacara Tawur Agung Kesange dilakukan
diperempatan desa (jalan) tujuannya untuk menetralisir makro dan mikro.
Sehabis Tawur Agung Kesange baru dilaksanakan upacara Ngerupuk
dengan cara menyalakan api, membunyikan alat-alat music, dan
mengusir setan-setan ketempatnya serta mengarak ogoh-ogoh dan
malamnya kita melakukan puasa 24 jam full.
Hari Raya Nyepi, Nyepi adalah merupakan tahun baru Saca yang
dilakukan setiap setahun sekali.

Umat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian :


Amati Geni = Tidak menyalakan apia tau lampu.
Amati Karya = Tidak melakukan aktivitas (tidak berpergian).
Amati Lelanguan = Tidak menghibur diri.
Amati Lelungan = Tidak berpergian

Ada beberapa upacara keagamaaan di agama Hindu

Setiap 1 tahun sekali : Nyepi, Silawatri.


Setiap 6 bulan sekali : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Tumpek,
Saraswati.
Setiap 15 hari sekali : Hari purnama (bulan hidup) : bulan yang terbit
sehabis matahari terbenam. Hari tilem (bulan mati) : bulan yang tidak
bersinar/gelap gulita.
Upacara keagamaan yang dilakukan dalam Agama Hindu Dharma,
berkolaborasi dengan budaya lokal. Ini menjadi kekayaan dan keunikan
yang hanya ditemukan di Bali. Beberapa macam upacara keagamaan
yang ada di bali dapat di jelaskan sebagai berikut :
a) Manusa Yadnya (kelahiran)
Manusa yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk memelihara
hidup dan membersihkan lahir batin manusia mulai dari sejak
terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai pada akhir hidup
manusia itu. Pembersihan lahir batin manusia sangat perlu di lakukan
selama hidupnya, karena kebersihan itu dapat menimbulkan adanya
kesucian. Unsur-unsur pembersihan di dalam Upacara Manusa Yadnya
dapat di ketahui dengan adanya upakara-upakara seperti tirtha
panglukatan atau tirtha pembersihan dan lain sebagainya. Tirtha-tirtha ini
adalah air suci yang telah di berkati oleh sang sulinggih pandita
( pendeta). Di dalam Manusa yadnya, pada dasarnya terdapat empat
rangkaian upacara yang satu dengan yang lainnya tidak dapat di
pisahkan. Adapun upacara-upacara teresbut antara lain adalah Upacara
Mabhyakala ( Mabhyakaonan ), Upacara Melukat ( Mejaya-jaya ),
Upacara Natab ( Ngayab ), dan Upacara Muspa. Masing-masing upacara
ini mempunyai maksud dan tujuan-tujuan tertentu.

Sedangkan untuk jenis-jenis Upacara Manusa Yadnya, di antaranya ada


beberapa yang penting yaitu :
1. Upacara Pagedong-gedongan ( Upacara Bayi dalam Kandungan )
Upacara ini bertujuan memohon kehadapan Hyang Widhi agar bayi yang
ada di dalam kandungan itu di berkahi kebersihan secara lahir bathin.
Demikian pula ibu beserta bayinya ada dalam keadaan selamat dan
dikemudian setelah lahir dan dewasa dapat berguna di masyarakat serta
dapat memenuhi harapan orang tua. Di samping perlu adanya upacara
semasih bayi ada di dalam kandungan, agar harapan tersebut dapat
berhasil, maka si ibu yang sedang hamil perlu melakukan pantangan-
pantangan terhadap perbuatan atau perkataan-perkataan yang kurang baik
dan sebaliknya mendengarkan nasehat-nasehat serta membaca membaca
buku-buku wiracarita atau buku lain yang mengandung pendidikan yang
bersifat positif. Sebab tingkah laku dan kegemaran si ibu di waktu hamil
akan mempengaruhi sifat si anak yangmasih di dalam kandungan.
2. Upacara Bayi Lahir.
Upacara ini merupakan cetusan rasa gembira dan terima kasih serta
angayu Bagia atas kelahirannya si bayi kedunia dan mendoakan agar bayi
tetap selamat serta sehat walafiat. Pada saat bayi lahir, yang perlu juga di
perhatikan adalah upacara perawatan Ari-ari. Ari-ari ini di cuci dengan
air bersih atau air kumkuman, kemudian di masukkan ke dalam sebutir
kelapa yang di belah dua dengan Ongkara ( pada bagian atas ) dan
Ahkara pada bagian bawah. Kelapa tersebut di bungkus dengan kain
putih kemudian di pendam ( di tanam ) di muka pintu rumah ( yang laki
di sebelah kanan dan yang perempuan di sebelah kiri ). Setelah di tanam
pada bagian atasnya hendaknya di isi daun pandan yang berduri dengan
tujuan untuk menolak gangguan dari kekuatan-kekuatan yang bersifat
negatif.
3. Upacara Kepus Puser.
Upacara ini juga di sebut Upacara Mapanelahan. Setelah puser itu putus
maka puser tersebut di bungkus dengan secarik kain, lalu di masukkan ke
dalam sebuah tipat kukur yang di sertai dengan bumbu-bumbu dan
kemudian tipat tersebut di gantungkan di atas tempat tidur si bayi. Mulai
saat inilah si bayi di buatkan Kumara, yaitu tempat memuja Dewa
Kumara sebagai pelindung anak-anak.
4. Upacara Bayi berumur 42 hari.
Upacara ini disebut juga upacara tutug kambuhan. Pada usia 42 hari bayi
di buatkan upacara Macolongan . Tujuannya adalah memohon
pembersihan dari segala keletehan ( kekotoran dan noda ), terutama si ibu
dan bayinya di beri tirtha pangklutan pabersihan, sehingga si ibu dapat
memasuki tempat-tempat suci seperti Pura, Merajan dan sebagainya.
5. Upacara Nyambutin.
Upacara Nyambutin ini diadakan setelah bayi tersebut berumur 105 hari.
Pada umur ini si bayi telah di anggap suatu permulaan untuk belajar
duduk, sehingga di adakan upacara Nyambuitn di sertai dengan upacara
Tuwun di pane dan mandi sebagai penyucia atas kelahirannya di dunia.
Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar
jiwatman si bayi benar-benar kembali kepada raganya.
6. Upacara Satu Oton.
Upacara satu oton atau yang di sebut dengan Otonan ini di lakukan
setelah bayi berumur 210 hari, dengan mempergunakan perhitungan
pawukon. Upacara ini bertujuan agar segala keburukan dan kesalahan-
kesalahan yang mungkin di bawa oleh si bayi dan semasa hidupnya
terdahulu dapat di kurangi atau di tebus, sehingga kehidupan yang
sekarang benar-benar merupakan kesempatan untuk memperbaiki serta
meningkatkan diri untuk mencapai kehidupan yang sempurna.
Serangkaian pula dengan Upacara Otonan ini adalah upacara pemotongan
rambut yang pertama kali, yang bertujuan untuk membersihkan ubun-
ubun ( Ciwa Dwara ). Pelaksanaan upacara satu oton ini juga di
maksudkan untuk memohon kehadapan Ibu Pertiwi agar ikut mengasuh
si bayi sehingga si bayi tidak mendapatkan kesulitan, selamat dan
tumbuh dengan sempurna. Untuk ini di adakan pula upacara turun tanah
yang di injakkan untuk pertama kalinya di beri gambar bedawang nala
sebagai lambang dasar dunia, sedangkan si bayi di tutupi dengan sangkar
yang di sebut sudamala.
7. Upacara Meningkat Dewasa ( Munggah Daa ).
Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar
yang bersangkutan di berikan petunjuk atau bimbingan secara gaib
sehingga ia dapat mengendalikan diri dalam menghadapi masa
pancaroba. Upacara ini pada umumnya di titikberatkan pada anak
perempuan. Hal ini mungkin di sebabkan karena wanita di anggap kaum
yang lemah serta lebih banyak menanggung akibat pertimbangan-
pertimbangan. Di samping itu, menurut Hindu bahwa kaum wanita dapat
di anggap sebagai barometer tingi rendah atau baik dan buruknya
martabat dari suatu keluarga dan lain-lain.
8. Upacara Potong Gigi.
Upacara ini dapat di lakukan baik terhadap anak laki-laki maupun anak
perempuan yang sudah menginjak dewasa. Dalam Upacara potong gigi
ini, maka gigi yang di potong ada 6 buah, yaitu empat buah gigi atas dan
dua buah lagi gigi taring atas. Secara rohaniah pemotongan terhadap ke
enam gigi tersebut merupakan simbolis untuk mengurangi ke enam sifat
Sad Ripu yang sering menyesatkan dam menjerumuskan manusia ke
dalam penderitaan atau kesengsaraan. Sifat-sifat Sad Ripu yang di
maksud adalah nafsu birahi, kemarahan, keserakahan, kemabukkan,
kebingungan dan sifat iri hati. Tetapi secara lahiriah, pemotongan gigi itu
dapat pula di anggap untuk memperoleh keindahan, kecantikan dan lain
sebagainya. Pelaksanaan Upacara Potong gigi ini bertujuan, di samping
agar yang bersangkutan kelak nanti setelah mati dapat bertemu dengan
para leluhurnya dan bersatu dengan Hyang Widhi, juga agar yang
bersangkutan selalu sukses dalam segala usaha, terhindar dari segala
penyakit serta dapat mengendalikan diri dan mengusir kejahatan.

b) Pitra Yadnya (kematian)


Pitra yadnya adalah suatu upacara pemujaan dengan hati yang tulus
ikhlas dan suci yang di tujukan kepada para Pitara dan roh-roh leluhur
yang telah meninggal dunia. Pitra yadnya juga berarti penghormatan dan
pemeliharaan atau pemberian sesuatu yang baik dan layak kepada ayah-
bunda dan kepada orang-orang tua yang telah meninggal yang ada di
lingkungan keluarga sebagai suatu kelanjutan rasa bakti seorang anak
( sentana ) terhadap leluhurnya. Pelaksanaan upacara Pitra Yadnya di
pandang sangat penting, karena seorang anak ( sentana ) mempunyai
hutang budi, bahkan dapat di katakana berhutang jiwa kepada leluhur.
Ada beberapa upacara yang termasuk pelaksanaan Upacara Pitra Yadnya,
yaitu Upacara Penguburan Mayat, Upacara Ngaben dan Nyekah.

1. Upacara Penguburan Mayat.


Upacara ini meliputi proses penguburan dari sejak upacara memandikan
mayat, memendem ( menanam ) sampai pada upacara setelah mayat di
tanam atau di pendem.

a. Upacara Ngaben
Upacara ini adalah penyelesaian terhadap jasmani orang yang telah
meninggal. Upacara ngaben disebut pula upacara pelebon, hanya dapat
dilakukan satu kali saja terhadap seseorang yang meninggal. Tujuannya
adalah untuk mengembalikan unsur-unsur jasmani kepada asalnya yaitu
Panca Maha Bhuta yang ada di Bhuana Agung. Jenis-jenis Upacara
Ngaben adalah :
Sawa Wedana, adalah pembakaran yang secara langsung di mana mayat
orang meninggal langsung di bawa kekuburan ( setra ) untuk di bakar.
Asti Wedana, adalah suatu upacara yang di lakukan setelah selesai
upacara pembakaran mayat, kemudian tulang-tulang yang telah menjadi
abu di hanyut ke laut atau ke sebuah sungai yang bermuara ke laut.
Swasta Wedana, adalah suatu upacara pembakaran atas mayat yang tidak
lagi dapat di ketemukan, sehingga mayat tersebut dapat di wujudkan
dengan kuasa ( lalangan ), air dan lain-lainnya.
Ngelungah, adalah upacara pembakaran mayat yang masih kanak-kanak
atau yang belum tanggal gigi.
Atma Wedana, adalah upacara pengembalian atma dari alam Pitara ke
alam Hyang Widhi. Upacara ini di sebut juga dengan Upacara Nyekah
, yang bertujuan untuk meningkatkan kesucian dan kesempurnaan atma
orang yang meninggal agar dapat kembali ke asalnya.

Anda mungkin juga menyukai