Sudiro
Nurul Hidayat
Teknik Lingkungan FTSP ITN Malang
ABSTRAKSI
PENDAHULUAN
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses
alam yang berbentuk padat. Materi sampah terdiri atas bahan organik dan
anorganik. Sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk, ekonomi dan
pembangunan suatu kota, maka timbulan sampah juga akan meningkat. Hal
ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan karena
pengelolaan persampahan yang kurang memadai. Oleh karena itu, perlu
dilaksanakan suatu cara untuk menangani masalah sampah tersebut secara
efektif dan efisian, sehingga fenomena sampah yang selama ini terjadi di
kota, tidak menjadi masalah serius bagi warga masyarakat. TPA Tlekung di
Kota Batu dalam pengelolaan sampahnya menggunakan sistem sanitary
landfill pada tahap pemrosesan akhirnya.
Metode sanitary landfill adalah suatu sistem pemrosesan akhir
sampah dengan cara menumpuk sampah (terutama sampah organik) dalam
67
Spectra Nomor 20 Volume X Juli 2012: 67-73
suatu area yang kemudian dilakukan penutupan dengan tanah urug secara
harian.Dalam proses ini juga dilakukan perataan dan pemadatan, kemudian
ditutup dengan tanah penutup setiap hari akhir operasi. Pada metode
sanitary landfill juga dilakukan proses pengaliran lindi melalui pipa penyalur
ke instalasi pengolah lindi, sehingga lindi tidak mencemari air tanah maupun
badan air.
GAMBARAN UMUM
Kondisi Fisik
Secara geografis posisi Kota Batu terletak antara 12217 12257
Bujur Timur dan 744 826 Lintang Selatan. Luas wilayah Kota Batu yaitu
19.908,72 Ha atau 0,42% dari total luas Jawa Timur. Secara administratif
terdiri dari 3 kecamatan, dengan 19 desa dan 4 kelurahan, dengan batas-
batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan
Sebelah Timur : Kabupaten Malang
Sebelah Selatan : Kabupaten Malang
Sebelah Barat : Kabupaten Malang
Ada tiga gunung yang mengapit Kota Batu yaitu Gunung Panderman
(2.010 meter), Gunung Welirang (3.156 meter), dan Gunung Arjuno (3.339
meter). Keadaan geologi/tanah di Kota Batu secara umum dapat
diklasifikasikan menjadi 4 (empat) jenis tanah, yaitu Andosol, Kambisol,
Alluvial, Latosol. Dilihat ketinggiannya, wilayah Kota Batu berada pada
ketinggian 1.000 1.500 mdpl. Kemiringan lahan (slope) di Kota Batu
berdasarkan data dari peta kontur Bakosurtunal tahun 2001 diketahui bahwa
sebagian besar wilayah Kota Batu mempunyai kemiringan sebesar 25
40% dan kemiringan > 40%.
Kota Batu merupakan daerah tropis seperti halnya daerah lain di Jawa
Timur ataupun Indonesia. Kota Batu mengalami perubahan putaran 2 iklim,
musim hujan dan musim kemarau. Suhu maksimum antara 26,2 27,30C
dengan kelembaban udara sekitar 77 8 % disertai kecepatan angin rata-
rata 6,06 km/jam, sehingga di Kota Batu tidak mengalami perubahan musim
yang drastis antara musim kemarau dan musim penghujan.
Hidrologi
Dilihat dari kondisi hidrologi, pada dasarnya Kota Batu merupakan
daerah resapan, sehingga tidak akan kekurangan cadangan air bersih
karena Kota Batu banyak terdapat sumber mata air. Selain itu, Kota Batu
banyak terdapat sungai maupun anak sungai.
Ketersediaan air sungai diperoleh dari 5 sungai, yaitu Sungai Watu,
Sungai Cangar, Sungai Selorejo, Sungai Konto, dan Sungai Sumber-
dandang. Keseluruhan sungai tersebut bermuara di Sungai Brantas yang
68
Sistem Sanitary Landfill Sudiro | Nurul Hidayat
Sanitasi Lingkungan
Secara umum kondisi drainase di wilayah Kota Batu sudah baik.
Ditinjau dari kondisi topografi, daerahnya berupa perbukitan maupun
pegunungan, maka dimungkinkan tidak terjadi banjir. Namun demikian,
kenyataan yang terjadi adalah masih adanya genangan-genangan pada titik-
titik tertentu yang hal ini disebabkan oleh pembangunan drainase yang
dilakukan secara parsial dan fungsi saluran drainase yang masih belum
optimal. Pada saat ini permasalahan yang sangat mendesak adalah
overlapping fungsi saluran drainase di beberapa titik tertentu, yaitu selain
sebagai drainase juga berfungsi sebagai irigasi. Hal lain disebabkan
berkurangnya titik resapan akibat proses pembangunan. Namun demikian,
upaya persuasif juga sudah dilakukan Pemerintah Kota Batu untuk
mewujudkan kondisi drainase yang lebih baik.
Dalam hal pengelolaan air limbah (terutama limbah domestik), di Kota
Batu dilakukan secara on-site dan off-side, yaitu secara individual pada
masing-masing rumahtangga dan komunal. Model pengelolaan limbahnya
adalah dengan memanfaatkan fasilitas umum, seperti jamban umum, MCK
dengan tangki septik dan cubluk serta saluran lainnya seperti sungai dan
kolam. Pada aspek lain juga terdapat instalasi pengolahan lumpur tinja
(IPLT) di daerah Durek sebagai sarana pendukung sistem.
Di bidang persampahan, baru sekitar 60% wilayah yang terlayani
dengan sistem pengelolaan terpusat. Sedangkan sisanya yang 40% masih
melakukan pengeloaan sampah secara parsial. Kondisi ini selain
disebabkan oleh terbatasnya kemampuan Dinas Kebersihan Kota Batu
sebagai dinas yang menangani pengelolaan persampahan kota, juga karena
masih rendahnya kesadaran sebagian masyarakat akan pentingnya
membuang sampah secara benar.
69
Spectra Nomor 20 Volume X Juli 2012: 67-73
Tabel 1.
Proyeksi Timbulan Sampah Kota Batu Tahun 2010-2030
Jumlah Penduduk Jumlah Sampah
Tahun 3
(jiwa) (m /hari)
2010 208.366 525
2015 213.201 852
2020 218.036 872
2025 222.871 891
2030 227.706 910
Sumber : Hasil perhitungan
70
Sistem Sanitary Landfill Sudiro | Nurul Hidayat
30 cm tanah antara
1,5 m sampah
padat
15 cm tanah harian
1,5 m sampah
padat
Lapisan dasar (gravel)
Lapisan geomembran
Gambar 1.
Ilustrasi penataan lapisan tanah pada sel TPA Tlekung
(potongan melintang)
Gambar 2.
Skematik rencana operasional sel sanitary landfill dengan penutup tanah harian
dan tanah antara di TPA Tlekung Kota Batu
71
Spectra Nomor 20 Volume X Juli 2012: 67-73
Gambar 3.
Instalasi Pengolah Lindi (IPL) di TPA Tlekung Kota Batu
72
Sistem Sanitary Landfill Sudiro | Nurul Hidayat
Pengendalian Gas
Pada prinsipnya sampah yang ditutup dengan tanah akan melakukan
penguraian secara anaerobik dan akan menghasilkan gas CO2 dan Methan.
Karena gas Methan lebih ringan dari gas CO2, maka apabila terjadi
penumpukan gas, gas methan akan menempati ruang bagian atas. Dengan
demikian, jika terjadi kebocoran, maka gas methan tersebut yang lebih
keluar. Jika TPA sampah tidak dilengkapi dengan vent, maka gas-gas
tersebut akan berusaha mencari jalan keluar di tempat-tempat yang
mempunyai rongga dan keluar ke udara bebas.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam perencanaan awal
dibuat sistem pengendalian gas, yaitu dengan memasang pipa-pipa vent
disamping menyediakan media yang lebih berongga di tempat-tempat
tertentu. Dalam perencanaan awal desain TPA dipasang pipa-pipa vent
untuk tiap sel (seperti yang terlihat pada gambar).
KESIMPULAN
1. Sistem pengolahan sampah residu di TPA Tlekung Kota Batu
menggunakan sistem sanitary landfill, akan tetapi secara
operasional masih belum optimal, yaitu dengan indikasi ketika
volume sampah banyak sampah kelihatan menggunung.
2. Pengolahan lindi menggunakan sistem pengolahan biologi dengan
unit pengolah utama menggunakan Aerobik Baffle Reactor (ABR).
3. Gas methan yang dihasilkan oleh tumpukan sampah dipergunakan
untuk pengisian panel biogas dan panel genset 5.000 watt.
DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri, E., Ria Ismaria., Tri Padmi. 2006. Pedoman Pengoperasian dan
Pemeliharaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA): Sistem Controlled Landfill
dan Sanitary Landfill. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
Damanhuri, E. 2004. Pengelolaan Sampah. Buku Ajar Jurusan Teknik Lingkungan.
FTSP. Bandung: ITB Bandung.
SNI 10-3983-1995. Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan
Komposisi Sampah Perkotaan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasionan
(BSN).
SNI 19-2452-2002. Spesifikasi Timbulan Sampah untuk Kota Kecil dan Kota Sedang
di Indonesia. Jakarta: Badan Standardisasi Nasionan (BSN).
SNI 19-2454-2002. Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasionan (BSN).
Tchobanoglous, Thiesen dan Vigil. 1993. Integrated Solid Waste. Kogahusha:
McGraw-Hill.
73