Anda di halaman 1dari 7

Sistem Sanitary Landfill Sudiro | Nurul Hidayat

PENERAPAN SISTEM SANITARY LANDFILL


DI TPA TLEKUNG KOTA BATU

Sudiro
Nurul Hidayat
Teknik Lingkungan FTSP ITN Malang

ABSTRAKSI

Kota Batu yang memiliki luas wilayah sekitar 19.908,72 ha ditempati


oleh penduduk berjumlah kurang lebih 208.366 jiwa dan jumlah
3
timbulan yang dihasilkan sebesar 525 m /hari, dimana tingkat
penanganan sampah di Kota Batu Kota Batu masih sangat kecil, yaitu
sebesar 60% terlayani dan sisanya 40% belum terlayani. Sistem
Pengolahan sampah di TPA Tlekung Kota Batu, terutama untuk
sampah residu, menggunakan sistem sanitary landfill, dimana sampah
yang dikelola di sel sampah disebar dan dipadatkan lapis per lapis
sampai ketebalan sekitar 1,50 m yang terdiri dari lapisan-lapisan
sampah setebal sekitar 0,5 m kemudian ditutup oleh tanah penutup
setebal minimum 15 cm, sehingga menjadi sel-sel sampah. Hasil dari
sampingan sanitary landfill berupa lindi dan/atau gas methan. Dalam
pengolahan Lindi tersebut, TPA Tlekung Kota Batu mempunyai instalasi
pengolahan lindi (IPL), dimana IPL terdiri dari 1 bak ABR kolam
fakultatif, kolam maturasi, dan 2 unit weatland; sedangkan hasil dari
gas methan dipergunakan sebagai panel genset 5000 watt serta
dipergunakan sebagai ampul gas.

Kata kunci: TPA, Sanitary Landfill, Kota Batu

PENDAHULUAN
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses
alam yang berbentuk padat. Materi sampah terdiri atas bahan organik dan
anorganik. Sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk, ekonomi dan
pembangunan suatu kota, maka timbulan sampah juga akan meningkat. Hal
ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan karena
pengelolaan persampahan yang kurang memadai. Oleh karena itu, perlu
dilaksanakan suatu cara untuk menangani masalah sampah tersebut secara
efektif dan efisian, sehingga fenomena sampah yang selama ini terjadi di
kota, tidak menjadi masalah serius bagi warga masyarakat. TPA Tlekung di
Kota Batu dalam pengelolaan sampahnya menggunakan sistem sanitary
landfill pada tahap pemrosesan akhirnya.
Metode sanitary landfill adalah suatu sistem pemrosesan akhir
sampah dengan cara menumpuk sampah (terutama sampah organik) dalam

67
Spectra Nomor 20 Volume X Juli 2012: 67-73

suatu area yang kemudian dilakukan penutupan dengan tanah urug secara
harian.Dalam proses ini juga dilakukan perataan dan pemadatan, kemudian
ditutup dengan tanah penutup setiap hari akhir operasi. Pada metode
sanitary landfill juga dilakukan proses pengaliran lindi melalui pipa penyalur
ke instalasi pengolah lindi, sehingga lindi tidak mencemari air tanah maupun
badan air.

GAMBARAN UMUM
Kondisi Fisik
Secara geografis posisi Kota Batu terletak antara 12217 12257
Bujur Timur dan 744 826 Lintang Selatan. Luas wilayah Kota Batu yaitu
19.908,72 Ha atau 0,42% dari total luas Jawa Timur. Secara administratif
terdiri dari 3 kecamatan, dengan 19 desa dan 4 kelurahan, dengan batas-
batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan
Sebelah Timur : Kabupaten Malang
Sebelah Selatan : Kabupaten Malang
Sebelah Barat : Kabupaten Malang
Ada tiga gunung yang mengapit Kota Batu yaitu Gunung Panderman
(2.010 meter), Gunung Welirang (3.156 meter), dan Gunung Arjuno (3.339
meter). Keadaan geologi/tanah di Kota Batu secara umum dapat
diklasifikasikan menjadi 4 (empat) jenis tanah, yaitu Andosol, Kambisol,
Alluvial, Latosol. Dilihat ketinggiannya, wilayah Kota Batu berada pada
ketinggian 1.000 1.500 mdpl. Kemiringan lahan (slope) di Kota Batu
berdasarkan data dari peta kontur Bakosurtunal tahun 2001 diketahui bahwa
sebagian besar wilayah Kota Batu mempunyai kemiringan sebesar 25
40% dan kemiringan > 40%.
Kota Batu merupakan daerah tropis seperti halnya daerah lain di Jawa
Timur ataupun Indonesia. Kota Batu mengalami perubahan putaran 2 iklim,
musim hujan dan musim kemarau. Suhu maksimum antara 26,2 27,30C
dengan kelembaban udara sekitar 77 8 % disertai kecepatan angin rata-
rata 6,06 km/jam, sehingga di Kota Batu tidak mengalami perubahan musim
yang drastis antara musim kemarau dan musim penghujan.

Hidrologi
Dilihat dari kondisi hidrologi, pada dasarnya Kota Batu merupakan
daerah resapan, sehingga tidak akan kekurangan cadangan air bersih
karena Kota Batu banyak terdapat sumber mata air. Selain itu, Kota Batu
banyak terdapat sungai maupun anak sungai.
Ketersediaan air sungai diperoleh dari 5 sungai, yaitu Sungai Watu,
Sungai Cangar, Sungai Selorejo, Sungai Konto, dan Sungai Sumber-
dandang. Keseluruhan sungai tersebut bermuara di Sungai Brantas yang

68
Sistem Sanitary Landfill Sudiro | Nurul Hidayat

berhulu di Dusun Sumberbrantas Desa Tulungrejo. Pada awalnya, sumber


air yang berada di Kota Batu adalah 111 sumber air, ini terdapat di kawasan
Arboretum Sumberbrantas, tetapi karena banyaknya penebangan pohon di
hutan mengakibatkan banyak sumber air yang mati. Sekarang tinggal 57
sumber dengan debit air yang juga sudah semakin menurun. Seperti sumber
air Binangun, sebelumnya debit air mencapai 250 lt/dt, namun sekarang
tinggal 230 lt/dt. Sementara sumber air di Arboretum Sumberbrantas yang
selama ini menjadi titik nol aliran Sungai Brantas antara 2-3 lt/dt. Meski
debitnya kecil, ketika musim kemarau tetap stabil.

Sanitasi Lingkungan
Secara umum kondisi drainase di wilayah Kota Batu sudah baik.
Ditinjau dari kondisi topografi, daerahnya berupa perbukitan maupun
pegunungan, maka dimungkinkan tidak terjadi banjir. Namun demikian,
kenyataan yang terjadi adalah masih adanya genangan-genangan pada titik-
titik tertentu yang hal ini disebabkan oleh pembangunan drainase yang
dilakukan secara parsial dan fungsi saluran drainase yang masih belum
optimal. Pada saat ini permasalahan yang sangat mendesak adalah
overlapping fungsi saluran drainase di beberapa titik tertentu, yaitu selain
sebagai drainase juga berfungsi sebagai irigasi. Hal lain disebabkan
berkurangnya titik resapan akibat proses pembangunan. Namun demikian,
upaya persuasif juga sudah dilakukan Pemerintah Kota Batu untuk
mewujudkan kondisi drainase yang lebih baik.
Dalam hal pengelolaan air limbah (terutama limbah domestik), di Kota
Batu dilakukan secara on-site dan off-side, yaitu secara individual pada
masing-masing rumahtangga dan komunal. Model pengelolaan limbahnya
adalah dengan memanfaatkan fasilitas umum, seperti jamban umum, MCK
dengan tangki septik dan cubluk serta saluran lainnya seperti sungai dan
kolam. Pada aspek lain juga terdapat instalasi pengolahan lumpur tinja
(IPLT) di daerah Durek sebagai sarana pendukung sistem.
Di bidang persampahan, baru sekitar 60% wilayah yang terlayani
dengan sistem pengelolaan terpusat. Sedangkan sisanya yang 40% masih
melakukan pengeloaan sampah secara parsial. Kondisi ini selain
disebabkan oleh terbatasnya kemampuan Dinas Kebersihan Kota Batu
sebagai dinas yang menangani pengelolaan persampahan kota, juga karena
masih rendahnya kesadaran sebagian masyarakat akan pentingnya
membuang sampah secara benar.

Jumlah Timbulan Sampah di Batu


Timbulan sampah yang dihasilkan Kota Batu yaitu 525 m3/hari dengan
tingkat pelayanan 60% dari jumlah penduduk 208.366 jiwa (BPS Kota Batu,
2010). Jumlah timbulan sampah ini akan bertambah seiring bertambahnya
jumlah penduduk setiap tahunnya, penambahan jumlah timbulan sampah di

69
Spectra Nomor 20 Volume X Juli 2012: 67-73

TPA berpengaruh terhadap luas lahan yang harus disediakan di TPA.


Dibawah ini disajikan proyeksi timbulan sampah per 5 tahun mulai tahun
2010 2030.

Tabel 1.
Proyeksi Timbulan Sampah Kota Batu Tahun 2010-2030
Jumlah Penduduk Jumlah Sampah
Tahun 3
(jiwa) (m /hari)
2010 208.366 525
2015 213.201 852
2020 218.036 872
2025 222.871 891
2030 227.706 910
Sumber : Hasil perhitungan

APLIKASI SISTEM SANITARY LANDFILL


Penataan Sampah
Sistem pengelolaan sampah di TPA Tlekung menggunakan konsep 3R
(reuse, reduce, recycle), sehingga secara prinsip jenis sampah yang
ditimbun di dalam sel adalah sampah yang sudah tidak dimanfaatkan lagi
(residu). Penataan sampah dilakukan untuk persiapan dalam sistem
pemrosesan akhir sampah menggunakan metode sanitary landfill. Penataan
sampah pada optimalisasi operasional TPA Tlekung pada tahun 2010
dimulai dengan penataan dan pemadatan sampah eksisting. Tujuannya
adalah karena sampah eksisting yang ada belum tertata secara baik seusai
dengan konsep sanitary landfill. Sampah hanya menumpuk di sel sampah
setinggi 5 m sepanjang 30 m dengan lebar sel sampah 40 m, tanpa ada
pelapisan tanah harian dan tanah antara. Penataan sampah ini diawali
dengan pemerataan dan pemadatan sampah untuk mencapai ketinggian 1,5
m (lapisan I), sehingga dihasilkan sebaran sampah sepanjang 80 m dengan
lebar sel sampah 40 m. Setelah sampah dipadatkan, kemudian diberi tanah
penutup dengan tebal 15 cm sebagai pengganti tanah harian. Selanjutnya
penataan dan pemadatan sampah dilakukan pada lapisan kedua yang
ditutup dengan tanah lapisan antara.

70
Sistem Sanitary Landfill Sudiro | Nurul Hidayat

Pipa gas dengan pelindung gravel

30 cm tanah antara

1,5 m sampah
padat
15 cm tanah harian

1,5 m sampah
padat
Lapisan dasar (gravel)
Lapisan geomembran

Gambar 1.
Ilustrasi penataan lapisan tanah pada sel TPA Tlekung
(potongan melintang)

Penataan Sel Sanitary Landfill


Sampah yang dikelola di sel sampah disebar dan dipadatkan lapis per
lapis sampai ketebalan 1,50 m yang terdiri dari lapisan-lapisan sampah
setebal sekitar 0,5 m yang digilas dengan bulldozer paling tidak sebanyak 4-
6 gilasan dan setiap hari ditutup oleh tanah penutup setebal minimum 15
cm, sehingga menjadi sel-sel sampah. Kebutuhan sel sampah setiap hari di
TPA Tlekung adalah 2,2 m x 20 m x 1,5 m. Setelah terbentuk 2 (dua) lapisan
yang setara dengan tanggul sel, timbunan tersebut ditutup dengan tanah
penutup antara setebal minimum 30 cm. Pengelolaan pemrosesan akhir
sampah di TPA Tlekung sudah sesuai dengan prinsip sanitary landfill.
Dengan sistem pemrosesan yang demikian, maka dampak negatif terhadap
lingkungan sekitar dapat tertanggulangi, baik dari aspek bau maupun
estetika. Proses pemadatan sampah residu dapat segera terjadi pada setiap
lapisan sel yang telah ditutup, sehingga secara perlahan akan mengurangi
tingginya tumpukan sampah di sel.

Gambar 2.
Skematik rencana operasional sel sanitary landfill dengan penutup tanah harian
dan tanah antara di TPA Tlekung Kota Batu

71
Spectra Nomor 20 Volume X Juli 2012: 67-73

Operasional Instalasi Pengolahan Lindi


Guna perlindungan lingkungan akibat dampak negatif lindi terhadap air
tanah khususnya serta air permukaan, maka di TPA Tlekung ini dilengkapi
dengan Instalasi Pengolah Lindi (IPL). Proses pengolahan lindi dilakukan
dengan menggunakan proses biologi. Bangunan instalasi pengolahan lindi
terdiri dari 1 unit ABR, 1 unit kolam fakultatif, 1 unit kolam maturasi, dan 2
unit wetland.

Gambar 3.
Instalasi Pengolah Lindi (IPL) di TPA Tlekung Kota Batu

Instalasi pengolahan lindi merupakan hal utama dalam mencegah


pencemaran terhadap air dan tanah akibat air lindi, sehingga
keberadaannya harus mendapat perhatian dan perawatan secara maksimal.
Di TPA Tlekung, dalam hal perawatannya, lebih ditekankan pada
perlindungan reaktor dari sampah yang terbawa angin. Aspek lain yang
dilakukan adalah pembuatan sistem drainase di sekitar unit ABR agar di
waktu hujan limpasan air hujan tidak masuk ke unit ABR. Hal ini dilakukan
sebagai upaya untuk menjaga optimalisasi proses pengolahan lindi secara
kontinyu. Selain itu, pembersihan juga dilakukan pada area IPL yang banyak
ditumbuhi tanaman semak. Aliran air lindi di inlet IPL di musim kemarau
sangat kecil, hal ini disebabkan selain jumlah sampah yang ada di sel
sampah juga belum terisi sepenuhnya, tidak ada air hujan yang masuk ke
dalam tumpukan sampah di sel, sehingga air lindi seperti terlihat tidak
mengalir ke unit-unit berikutnya (unit maturasi). Selain itu luas permukaan
unit fakultatif dan aerasi yang luas juga berperan dalam penguapan air lindi
karena angin dan sinar matahari. Pada unit wetland di kolam pertama,
tanaman pereduksi air lindi mengalami kematian, hal ini karena tidak
mampunya tanaman tersebut juga karena faktor penunjang tanaman
(gravel) yang tergenang terus. Sedangkan unit penunjang lainnya seperti
sumur pantau masih belum ada di lokasi TPA Tlekung.

72
Sistem Sanitary Landfill Sudiro | Nurul Hidayat

Pengendalian Gas
Pada prinsipnya sampah yang ditutup dengan tanah akan melakukan
penguraian secara anaerobik dan akan menghasilkan gas CO2 dan Methan.
Karena gas Methan lebih ringan dari gas CO2, maka apabila terjadi
penumpukan gas, gas methan akan menempati ruang bagian atas. Dengan
demikian, jika terjadi kebocoran, maka gas methan tersebut yang lebih
keluar. Jika TPA sampah tidak dilengkapi dengan vent, maka gas-gas
tersebut akan berusaha mencari jalan keluar di tempat-tempat yang
mempunyai rongga dan keluar ke udara bebas.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam perencanaan awal
dibuat sistem pengendalian gas, yaitu dengan memasang pipa-pipa vent
disamping menyediakan media yang lebih berongga di tempat-tempat
tertentu. Dalam perencanaan awal desain TPA dipasang pipa-pipa vent
untuk tiap sel (seperti yang terlihat pada gambar).

KESIMPULAN
1. Sistem pengolahan sampah residu di TPA Tlekung Kota Batu
menggunakan sistem sanitary landfill, akan tetapi secara
operasional masih belum optimal, yaitu dengan indikasi ketika
volume sampah banyak sampah kelihatan menggunung.
2. Pengolahan lindi menggunakan sistem pengolahan biologi dengan
unit pengolah utama menggunakan Aerobik Baffle Reactor (ABR).
3. Gas methan yang dihasilkan oleh tumpukan sampah dipergunakan
untuk pengisian panel biogas dan panel genset 5.000 watt.

DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri, E., Ria Ismaria., Tri Padmi. 2006. Pedoman Pengoperasian dan
Pemeliharaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA): Sistem Controlled Landfill
dan Sanitary Landfill. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
Damanhuri, E. 2004. Pengelolaan Sampah. Buku Ajar Jurusan Teknik Lingkungan.
FTSP. Bandung: ITB Bandung.
SNI 10-3983-1995. Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan
Komposisi Sampah Perkotaan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasionan
(BSN).
SNI 19-2452-2002. Spesifikasi Timbulan Sampah untuk Kota Kecil dan Kota Sedang
di Indonesia. Jakarta: Badan Standardisasi Nasionan (BSN).
SNI 19-2454-2002. Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasionan (BSN).
Tchobanoglous, Thiesen dan Vigil. 1993. Integrated Solid Waste. Kogahusha:
McGraw-Hill.

73

Anda mungkin juga menyukai