04 Bab 3 Filsafat Ilmu
04 Bab 3 Filsafat Ilmu
FILSAFAT ILMU
Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian filsafat ilmu pengetahuan dan ilmu
pengetahuan, serta persamaan dan perbedaan yang mendasar tentang keduanya dengan
filsafat. Selain itu juga akan dikaji tentang cara kerja ilmu empiris yang sifatnya
induktif, cara kerja ilmu deduktif dan ilmu-ilmu kemanusiaan. Pengenalan tentang
berbagai bentuk pengetahuan dan ilmu pengetahuan sangatlah berguna terutama dalam
menentukan dasar seseorang dalam memasuki dunia ilmu pengetahuan atau dunia
ilmiah.
Bagi manusia hal utama yang sangat penting bagi dirinya adalah keingintahuan
tentang sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa apa saja, sesuatu yang tampak konkret, nyata
seperti meja, kursi, teman, alat-alat kedokteran, buku ,dan lain sebagainya. Baginya apa
yang nampak dan diketahuinya akan menjadi sebuah pengetahuan, yang sebelumnya
belum pernah dikenalnya. Untuk mendapatkan pengetahuan itu, maka pengenalan akan
pengalaman indrawi sangat menentukan. Seseorang dapat membuktikan secara indrawi,
secara konkret, secara faktual, dan bahkan ada saksi yang mengatakan, bahwa benda itu,
misalnya kursi, memang benar ada dan berada di ruang kerja seseorang. Dengan
pembuktian secara indrawi: karena sentuhan, penglihatan, pendengaran, penciuman,
daya pengecap, dan argumen-argumen yang menguatkannya, maka sebenarnya telah
muncul suatu kebenaran tentang pengetahuan itu. Bagaimana sebenarnya pengetahuan
berasal? Pengetahuan muncul karena adanya gejala. Gejala-gejala yang melekat pada
sesuatu misalnya bercak-bercak merah pada kulit tubuh manusia, aroma bau tertentu
karena seseorang sedang membakar sate ayam, bau yang menyengat karena sudah lama
got itu tidak dibersihkan, semua gejala itu muncul dihadapan kita. Kita harus
“menangkap” gejala itu atas dasar pengamatan indrawi, observasi yang cermat, secara
empiris dan rasional. Pengetahuan yang lebih menekankan adanya pengamatan dan
pengalaman indrawi dikenal sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori.
Selain telah mengenal adanya pengetahuan yang bersifat empiris, maka pengetahuan
empiris tersebut harus dideskripsikan, sehingga kemudian kita mengenal adanya
pengetahuan deskriptif. Pengetahuan deskriptif muncul bila seseorang dapat
melukiskan, menggambarkan segala ciri, sifat, gejala yang nampak olehnya, dan
penggambaran tersebut atas dasar kebenaran (objektivitas) dari berbagai hal yang
diamatinya itu.
Pengalaman pribadi manusia tentang sesuatu dan terjadi berulang kali juga dapat
membentuk suatu pengetahuan baginya. Sebagai contoh, Ani merasa bahwa ia akan
terlambat kuliah di kampus (kuliah di mulai pukul 9 pagi) apabila berangkat dari rumah
pukul 7.30 pagi, karena perjalanan ke kampus membutuhkan waktu 2 jam. Selama ini ia
sering terlambat masuk kuliah karena berangkat dari rumah pukul 7.30 pagi. Untuk itu
ia telah berpikir dan memutuskan bahwa setiap hari ia harus berangkat pukul 6.30 agar
tidak terlambat di kampus. Contoh tersebut menunjukkan bahwa pemikiran manusia
atau kesadaran manusia dapat dianggap juga sebagai sumber pengetahuan dalam upaya
mencari pengetahuan. Selain pengamatan yang konkret atau empiris, kekuatan akal budi
sangatlah menunjang. Kekuatan akal budi yang kemudian dikenal sebagai rasionalisme,
37
(yaitu pandangan yang bertitik tolak pada kekuatan akal budi) lebih menekankan adanya
pengetahuan yang sifatnya apriori, suatu pengetahuan yang tidak menekankan pada
pengalaman. Matematika dan logika adalah hasil dari akal budi, bukan dari pengalaman.
Sebagai contoh, dalam logika muncul pertanyaan: “jika benda A tidak ada, maka dalam
waktu yang bersamaan, benda itu, A tidak dapat hadir di sini”, dalam matematika,
perhitungan 2 + 2 = 4 , penjumlahan itu sebagai sesuatu yang pasti dan sangat logis.
38
a). Observasi yaitu pengamatan terhadap objek penelitian yang sifatnya konkret seperti
manusia, bangunan, monumen, tumbuh-tumbuhan, penyakit dan sebagainya dan
objek penelitian tersebut merupakan fenomena bagi penelitian seseorang atau
peneliti.
b). Fakta yaitu suatu realitas yang dihadapi seorang peneliti, sesuatu yang saya lihat atau
sesuatu tentang apa yang terjadi yang berkaitan dengan gejala dalam fenomena
seseorang.
c). Data yaitu hasil atau sejumlah besaran atau kuantitas yang berasal dari fakta yang
telah ditemukan oleh si peneliti. Di dalam data inilah seorang peneliti telah
menemukan gejala yang lebih bersifat kuantitatif dan konkret/faktual dari objek
penelitiannya, misalnya jumlah rumah sakit swasta yang ada di DKI Jakarta ada 30
buah; penderita diabetes mellitus pada Puskesmas Rawamangun pada bulan Maret
2006 berjumlah 10 orang, dan sebagainya.
d). Konsep merupakan pengertian atau pemahaman tentang sesuatu (yang berasal dari
fakta), dan pemahaman itu berada pada akal budi atau rasio manusia. Konsep selalu
dipikirkan oleh manusia, dan oleh karenanya menjadi pemikiran manusia. Bagi
seseorang atau peneliti yang memiliki konsep tertentu atau konsep tentang sesuatu
maka konsep tersebut harus dituliskan agar dapat dipahami oleh orang lain.
e) Klasifikasi atau penggolongan atau kategori adalah mengelompokkan gejala atau data
penelitian ke dalam kelas-kelas atau penggolongan ataupun kategori atas dasar
kriteria-kriteria tertentu. Syarat klasifikasi atau penggolongan ataupun kategori
haruslah memiliki ciri, sifat yang homogen atau sama. Apabila ciri, sifat dari gejala
itu tidak sama, maka klasifikasi dari suatu gejala atau data penelitian tersebut tidak
menunjukkan kadar ilmiah yang benar.
f) Definisi yaitu merumuskan tentang sesuatu atau apa yang disebut (definiendum)
dengan perumusan tertentu atau apa yang dinamakan (definiens). Definisi membantu
seorang peneliti atau ilmuwan untuk merumuskan tentang sesuatu/ hal itu agar orang
lain lebih mudah memahami perumusan tersebut. Untuk itu ada beberapa jenis
definisi yang dijelaskan sebagai berikut :
(1). Definisi etimologis yaitu menjelaskan sesuatu atas dasar asal katanya. Misalnya
kata biologi berasal dari bahasa Yunani (bios dan logos), yang artinya ilmu
yang mempelajari tentang mahluk hidup
(2). Definisi stipulatif adalah merumuskan sesuatu atau istilah tertentu yang akan
digunakan untuk masa depan. Pengertian masa depan adalah suatu pengerti-an
yang diarahkan pada kegiatan seminar, ceramah, isi buku dan dalam kegiatan
ilmiah tertentu istilah-istilah yang baru dimunculkan.
(3). Definisi deskriptif merumuskan tentang sesuatu atas dasar sejarah, ciri, sifat,
kriteria-kriteria yang ada pada sesuatu atau gejala-gejala itu.
(4). Definisi operasional merumuskan tentang pelaksanaan atau cara kerja dari
fungsi dan peran gejala, alat atau benda tertentu. Definisi operasional lazim
digunakan dalam ilmu teknik, ilmu pengetahuan kealaman.
(5). Definisi persuasif merumuskan sesuatu dengan tujuan agar rumusan tersebut
dapat mempengaruhi pemikiran seseorang. Definisi persuasif sering dipakai
dalam kegiatan periklanan yang ditayangkan dalam media elektronik maupun
media cetak, kegiatan kampanye politik dan sebagainya.
Definisi yang telah disebutkan di atas ternyata harus dipahami bahwa setiap
perumusan definisi selalu menggunakan pernyataan bahasa. Bagi ilmu pengetahuan
maka bahasa memegang peran penting, karena dapat mengungkapkan segala
39
kegiatan penelitian seorang ilmuwan baik itu secara lisan maupun tertulis. Terutama
dalah bahasa tulisan, maka bahasa ilmiah (bahasa ilmu) yaitu bahasa yang
digunakan seorang ilmuwan dalam penelitiannya sangatlah penting karena segala
upaya pembenaran metodologisnya berada di dalamnya seperti penjelasan dalam
perumusan hipotesa, konsep, definisi, teori dan sebagainya.
Langkah proses penalaran pada penelitian berikutnya yaitu:
g). Hipotesa adalah suatu ramalan atau prediksi dalam kegiatan penelitian yang harus
dibuktikan kebenarannya. Dalam hipotesa tersebut, perumusan masalah sangatlah
penting. Seorang peneliti harus mampu merumuskan permasalaan penelitian dengan
cermat dan teliti. Dan atas dasar hipotesa tersebut, maka ilmuwan atau peneliti akan
menganalisanya lebih lanjut.
h). Teori adalah hubungan yang sedemikian rupa antara gejala satu dengan gejala
lainnya dan hubungan tersebut telah dibuktikan kebenarannya. Sebenarnya, teori
yang telah teruji kebenarannya berasal dari hipotesa yang telah ada (yang
sebenarnya berasal dari kerja keras si ilmuwan, usaha yang tak mengenal lelah dan
selalu melakukan trial dan error, uji coba dan pada akhirnya si ilmuwan itu
membuahkan hasil teori yang sahih).
3.1.5 Cara Kerja Ilmu-ilmu Empiris Yang Lebih Khusus: Ilmu Alam, Ilmu Hayat
dan Ilmu-Ilmu Tentang Manusia
a). Cara Kerja Ilmu Alam
1) Pengertian Tentang Ilmu Alam
Ilmu alam adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala alam (gejala alam
yang tidak hidup). Sifat ilmu alam adalah empiris, artinya gejala alam itu dianggap
41
sebagai fenomena yang dapat dibuktikan secara indrawi, dan konkret. Contoh Ilmu-ilmu
alam adalah geologi, astronomi, hidrologi, ilmu kimia, fisika, meteorologi, geodesi.
2) Sifat Ilmu Alam
Adanya praanggapan bahwa ada hukum alam, yang dapat dikenakan pada
seluruh gejala alam. Sifat hukum alam memiliki ciri kuantitatif, suatu ciri yang melekat
pada gejala alam yang muncul di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Ciri
kuantitatif merujuk pada kenyataan bahwa gejala alam memiliki besaran tertentu dan
karenanya dapat dihitung, diukur secara matematis. Selain itu hukum alam memiliki
sifat mekanistis, yaitu sifat keteraturan yang melekat pada gejala alam dan sifat
keteraturan itu berjalan secara berkala serta memiliki siklus tertentu.
3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Alam
Pertama, melalui metode observasi atau pengamatan melalui panca indra
manusia serta didukung oleh alat tertentu, alat yang dioperasionalkan untuk menunjang
pengamatan tersebut. Kedua, metode deskripsi yang bertujuan untuk melukiskan,
menggambarkan tentang gejala alam serta interaksi di antara gejala-gejala alam
tersebut. Ketiga, metode erklaeren atau metode eksplanasi, adalah metode untuk
menerangkan tentang berbagai hubungan gejala alam itu satu dengan yang lainnya.
Keempat, metode kausalitas, yaitu metode yang mencoba menjelaskan gejala alam atas
dasar hubungan sebab akibat.
b). Cara Kerja Ilmu Hayat
1) Pengertian Ilmu Hayat
Ilmu hayat adalah ilmu pengetahuan yang membahas gejala alam yang bersifat
hidup, atau memiliki sifat kehidupan. Sifat ilmu hayat adalah empiris, artinya gejala
alam yang dianggap hidup dapat diamati secara indrawi atau faktual, nyata. Contoh
pada ilmu hayat adalah ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan (zoologi)
2) Sifat Ilmu Hayat
Ilmu hayat memiliki organ-organ yang dapat tumbuh, mati, berkembang biak.
Setiap organ dapat memiliki sel, jaringan yang membentuk suatu sistem yang memiliki
nama, fungsi, peran/tugas, kegunaan serta tujuan tertentu. Sebagai suatu sistem yang
baik, maka setiap organ itu memiliki daya-daya hidup saling melengkapi, saling
menunjang sehingga sistem itu berjalan dengan sempurna.
3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Hayat
Pertama, metode kausal yang berguna untuk melihat hubungan sebab akibat
yang berasal dari hubungan atau interaksi antar organ. Di dalam hubungan kausalitas itu
sebenarnya terdapat semacam “informasi” di antara masing-masing organ, sehingga
memungkinkan organ itu berproses swakendali atau disebut sebagai proses sibernetik.
Proses sibernatik merupakan proses yang dikendalikan oleh adanya informasi umpan
balik dari organ-organ yang berjalan secara teratur (mekanistis). Proses umpan balik
tersebut diartikan sebagai hubungan timbal balik di antara organisme. Sebagai contoh,
daun mangga ketika masih tunas (kecil) berwarna hijau muda, ketika tumbuh menjadi
lebih besar berwarna hijau tua, dan ketika daun itu mati berwarna kekuningan dan
setelah mengering, maka daun itu gugur. Selama pohon mangga itu masih hidup, maka
terulang proses pertumbuhan daun itu. dari tunas daun hingga daun berwarna hijau tua
kemudian kekuningan dan proses tersebut disebut sebagai proses sibernetik (proses
swakendali), Sementara itu karena adanya asupan informasi masing-masing organisme
melalui sel fotografik maka proses itu dapat berjalan dan berlangsung secara teratur dan
berkala.
42
Kedua, metode mekanistis, yaitu metode yang memunculkan adanya keteraturan
tentang sistem yang berlaku pada gejala atau daya-daya hidup dari organisme. Metode
mekanistis memiliki tujuan tertentu yang disebut sebagai tujuan finalis (tujuan akhir)
agar sistem organisme berjalan dengan sempurna.
Ketiga, metode genetik, yaitu metode yang mengkaji tentang penelusuran secara
historis bagaimana terjadinya sebuah organ, sel ataupun jaringan tertentu.
Keempat, metode fungsional, yaitu metode yang melihat bahwa masing-masing
organisme itu memiliki fungsi tertentu yang memungkinkan sistem organ itu berjalan
dengan teratur dan baik.
c). Cara Kerja Ilmu-ilmu Kemanusian
1) Pengertian Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Ilmu-ilmu kemanusiaan adalah ilmu yang mengkaji masalah kemanusiaan
seperti masalah: budaya, sosial, politik, ekonomi, yang terdapat pada masyarakat. Ilmu-
ilmu kemanusiaan memiliki objek kajian yang diamati secara empiris dan objek itu
dianggap kongkret karena masalah kemanusiaan itu memiliki objek yang khusus yaitu
manusia atau masyarakat tertentu. Contoh ilmu-ilmu kemanusiaan adalah antropologi,
ilmu susastra, ilmu arkeologi, ilmu sejarah, ilmu sosial, ilmu ekonomi.
2) Sifat Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Sifat yang paling menonjol pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah objeknya
berkaitan dengan manusia yang memiliki tindakan bermakna (meaningfull action). Di
dalam tindakan (perilaku) bermakna manusia atau seseorang manghasilkan karya-karya
tertantu misalnya karya sastra seperti Romeo dan Juliet karya William Shakespeare dari
Inggris, karya seni seperti tari Pendet, lukisan yang termashur yaitu Monalisa karya
Michelangelo. Untuk itulah apabila ingin mengkaji ilmu-ilmu kemanusiaan dengan
lebih mendalam haruslah digunakan metode yang tepat, agar objektivitas dan kebenaran
ilmiahnya dapat terungkap dengan benar dan sahih.
3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Metode yang sangat mendasar pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah metode
pemahaman (methode verstehen). Metode pemahaman digunakan untuk memahami,
meyakini tindakan-tindakan manusia ketika ia melakukan suatu karya seni ataupun
terlibat dalam peristiwa sejarah, misalnya jatuhnya pemerintahan Orde Baru di
Indonesia pada tahun 1998. Di dalam metode pemahaman digunakan metode
wawancara mendalam (depth intervieuw), yang bertujuan untuk memahami dengan
lebih baik dan mendalam tentang para pelaku budaya yang terlibat, misalnya pada
peristiwa sejarah ataupun saat membuat karya seni. Metode yang lain adalah metode
deskripsi, yaitu metode yang digunakan oleh para peneliti untuk mencatat, melukiskan
dan menggambarkan tentang seluruh sifat dan karakteristik dari objek penelitiannya.
Pada awalnya ilmu-ilmu kemanusiaan hanya menggunakan metode kualitatif,
yaitu metode yang bertitik tolak pada nilai-nilai (value) kemanusiaan (nilai moral, nilai
budaya, nilai agama, nilai estetis/keindahan, dan sebagainya) dalam menganalisis data
penelitiannya. Tetapi dengan perkembangan dan demi kemajuan ilmu itu, maka ilmu-
ilmu kemanusiaan di awal abad XX dan sampai saat ini telah menggabungkan metode
statistik ke dalam penelitiannya. Sebagai contoh, di dalam penelitian pada psikologi,
ilmu sosial, serta ilmu ekonomi, mereka telah menggunakan metode statistik dalam
mengolah data penelitiannya.
43
3.2 REVOLUSI ILMU PENGETAHUAN
Apa yang hendak kita ketahui tentang revolusi ilmu pengetahuan? Apakah
revolusi semacam itu memiliki kegunaan bagi kita? Sebenarnya revolusi macam apakah
itu? Jawaban ini membutuhkan penjelasan yang cukup cermat. Revolusi ilmu
pengetahuan muncul di Eropa sekitar Abad XVII. Pada masa itu Eropa dilanda krisis
kehidupan yang cukup berat.
Banyaknya pengangguran, kehidupan perekonomian yang tidak menguntungkan
sebagian rakyat jelata dan kehidupan kenegaraan feodalisme yang sangat materialistis
kapitalis menumbuhkan berbagai gejolak pada bangsa Eropa. Berbagai revolusi ditemui
dalam sejarah perjalanan bangsa Eropa, seperti Revolusi Industri, Revolusi Pertanian,
Revolusi Perancis, serta Revolusi Ilmu Pengetahuan.
Revolusi ilmu pengetahuan adalah suatu revolusi yang terjadi di Eropa pada
abad XVII. Revolusi itu menandai bangkitnya kelompok intelektual bangsa Eropa
mengenai cara berpikir keilmiahan. Sebenarnya apa arti revolusi ilmu pengetahuan itu
bagi kita sekarang? Yang diartikan sebagai reolusi ilmu pengetahuan adalah sebuah
revolusi tentang perubahan cara berpikir serta persepsi manusia dalam mendapatkan
pengetahuan bagi dirinya. Perubahan persepsi manusia tersebut adalah tentang
bagaimana cara berada sebuah objek yang menjadi pokok perhatian dalam kegiatan
ilmiahnya. Sebuah objek (misalnya benda) dalam penelitian haruslah berada dan tampil
di depan seorang mahasiswa atau peneliti secara nyata, konkret. Benda tersebut tampil
secara konkret karena adanya persentuhan indrawi si peneliti atau mahasiswa terhadap
benda tersebut. Selain itu benda tersebut dapat diukur dan terukur secara matematis,
sehingga orang dapat mengamati tentang berat, gerak, atau perubahan yang terjadi pada
benda tersebut.
Revolusi ilmu pengetahuan adalah perubahan cara berpikir masyarakat
intelektual Eropa dari cara berpikir yang ontologis ke cara berpikir matematis
mekanistis. Cara berpikir ontologis adalah warisan yang ditinggalkan bangsa Eropa
ketika Abad atau Masa Pertengahan (Middle Ages) diberlakukan hukum agama bagi
segala-galanya, termasuk kegiatan ilmu pengetahuan. Dunia yang dialami manusia
beserta pengetahuan yang dimilikinya merupakan keberadaan secara apa adanya
(natura), alamiah yang memang itu milik manusia. Keadaan itu berlangsung cukup
lama, hingga muncul Abad Renaissance yang mengubah segalanya. Manusia tidak lagi
menjadi citra Tuhan, tetapi manusia memiliki rasio atau kesadaran manusia (akal budi)
serta kreativitas keinginan untuk maju, memperbaiki kebudayaan manusia.
Dunia manusia dan pengetahuannya adalah dunia antroposentris, dunia yang
terpusat pada "kekuataan" akal budi manusia. Pada masa Renaissance dibangun
kejayaan bangsa Eropa, yaitu mulai dipelajarinya pengetahuan yang berlandaskan
rasionalitas dan empiristis. Berbagai peninggalan bangunan, yang megah seperti karya
seni (seni lukis, pahat dan arsitektur) yang berada di daratan Eropa menandai
bangkitnya bangsa Eropa untuk menguasai dunia seni maupun ilmu pengetahuan.
Tokoh-tokoh pembaharu Humanis Renaissance, seperti Leonardo da Vinci,
Michelangelo. N. Copernicus, J. Keppler dan Galileo Galilei sangatlah termashur
dengan karya-karya seni dan penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Fenomena
alam, sosial budaya dipelajari, diamati secara cermat untuk kemudian dimanfaatkannya.
Dari upaya yang cukup lama dan tak kenal lelah, maka berkembanglah ilmu-ilmu
pengetahuan kealaman seperti fisika, ilmu kimia, kedokteran dan itu berkembang
hingga ke Abad Aufklaerung (Abad Pencerahan), abad XVIII. Perintis ilmu fisika
adalah Sir Isaac Newton yang mendasarkan fisika klasik dengan bukunya
"Philosophiae Naturalis Principia Mathematica" - “Ilmu Pengetahuan Alam
44
berdasarkan prinsip-prinsip matematis”. Sejak itulah ilmu pengetahuan berkembang
pesat dengan pendekatan matematis yang diterapkan dalam kajiannya.
Cara berpikir matematis mekanistis dalam revolusi ilmu pengetahuan yang
dipelopori oleh Newton menjadi semacam "gaya" para intelektual untuk membuat
analisis dalam penelitiannya. Pengamatan terhadap alam disekeliling para ilmuwan
dilihat sebagai sesuatu yang dapat diukur, benda dianggap memiliki kriteria tertentu
(berat, luas, isi dan sebagainya.). Dengan pengamatan semacam itulah, maka berbagai
pendekatan terhadap cara kerja ilmu pengetahuan dikembangkan. Pendekatan yang
bersifat kausalitas (hukum sebab akibat) sangat mewamai cara kerja ilmu pengetahuan.
Benda atau sesuatu memiliki sifat seperti alam semesta, terstruktur, sehingga
keteraturan hukum alam, atau sifat mekanistis itu menjadi fokus dalam cara kerja ilmu.
Cara kerja ilmiah didukung dengan percobaan atau eksperimen yang selalu berusaha
menyempurnakan hasil percobaannya itu melalui usaha trial and error – uji coba.
Dalam laboratorium percobaan itu didukung juga dengan sebuah “model”, suatu tiruan
dari objek yang sesungguhnya, yang kemudian dijadikan sebagai objek penelitian.
Dengan model itu para peneliti dapat menganalisis dan mengembangkan penelitiannya
dengan lebih sempurna.
Akibat dari "perjalanan" dan proses revolusi ilmu pengeta-huan, memunculkan
adanya nilai-nilai dasar yang tampil pada perubahan cara berpikir manusianya. Nilai-
nilai dasar itu, pertama nilai alam. Alam semesta memiliki tata susunan yang berada
pada hukum alam dan kosmos adalah sesuatu yang dianggap memiliki struktur tertentu.
Kedua, nilai budaya. Kemajuan manusia ditandai dengan penguasaan terhadap ilmu
pengetahuan yang dapat digunakan untuk memajukan kebudayaan manusia. Dengan
kemajuan manusia terutama dalam cara berpikir yang antroposentris, manusia mampu
mengubah kebudayaannya dan teknologinya menjadi sesuatu yang sangat berarti dan
bermakna bagi kehidupan manusia melalui proses belajar. Ketiga, nilai ekonomi. Nilai
ini tercipta karena para pelaku revolusi ilmu pengetahuan memiliki semangat kerja yang
tinggi. Para ilmuwan mulai menciptakan teknologi yang tepat guna bagi kebutuhan
masyarakat, sehingga diciptakan mesin untuk mengisi kebutuhan kehidupan manusia
dalam berbagai sektor industri. Pada awalnya industri mula-mula berasal dari kerja
rumahan (industri rumahan) hingga ke industri pabrikasi. Hasil atau barang yang
diciptakan berkat adanya mesin-mesin (industri pabrikasi) tersebut dan mampu
menembus pasaran dengan daya jual yang tinggi. Dengan demikian tercipta adanya nilai
ekonomis yang menuntut kemandirian, tanggung jawab serta kerjasama diantara para
pelaku tersebut agar nilai ekonomis dapat dimanfaatkan tidak hanya bagi sekelompok
orang saja tapi seluruh masyarakat.
45
bahasa ilmiah dan cara kerja ilmiah yang pasti dan logis. Kelompok Wina menyebutnya
unsur pemersatu sebagai ilmu yang terpadu (unified sciences).
Pada saat ini, filsafat ilmu menjadi sangat berkembang, menjadi kajian filsafat
ilmu yang lebih modern. Beberapa bidang keilmuan sangat membutuhkan tentang
proses kerja ilmiah yang relevan dengan pokok perhatian atau fokus yang lebih spesifik.
Salah satu contoh, adalah munculnya kajian tentang filsafat ilmu kedokteran, filsafat
ilmu sosial. Dalam kajian tersebut fokus filsafat ilmu diarahkan pada bagaimana ciri dan
cara kerja kegiatan ilmiah diterapkan pada persoalan manusia dan kesehatan atau
kehidupan manusia dalam kehidupan sosial serta interaksi dengan masyarakat. Secara
historis, filsafat ilmu telah diperkenalkan oleh bangsa Yunani, diawali oleh filsuf
Aristoteles (abad VI seb.M). Dan dalam tradisi filsafat Barat telah dikenal pula adanya
pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema-tema tertentu. Tema-tema besar itu
berupa ontologi, epistemologi dan aksiologi. Tema ontologi berbicara tentang problem
"Ada", yaitu tema yang membahas masalah keberadaan tentang sesuatu, misalnya
keberadaan mahluk hidup, alam semesta, yang semuanya itu merupakan keberadaan
yang dapat ditangkap dan dibedakan secara empiris. Sisi lain terdapat keberadaan
sesuatu yang tidak dapat ditangkap dan hadir secara empiris, atau konkret, yaitu
metafisika. Metafisika (meta: di belakang, fisika: sesuatu yang konkret) adalah sebagai
sesuatu yang mengkaji tentang berbagai hal seperti gagasan, idea, ataupun konsep.
Gagasan ataupun konsep itu sebagai semacam prinsip yang muncul atas dasar penalaran
manusia. Prinsip itu sendiri memang tidak dapat dibuktikan secara empiris, tetapi orang
akan mengenal prinsip tersebut apabila diaktualisasikan melalui sebuah tulisan. Sebagai
contoh, gagasan Einstein tidak akan dikenal luas oleh masyarakat ilmuwan, apabila
Einstein tidak membuktikan gagasannya tanpa menuliskan gagasannya itu melalui
berbagai penelitiannya yang tidak kenal lelah secara trial error (uji coba) yang
kemudian dikenal sebagai teori relativitas.
Tema kedua, epistemologi yaitu tema yang mengkaji tentang pengetahuan
(episteme adalah pengetahuan). Dalam pembahasan tentang epistemologi (pengetahuan)
dibahas berbagai hal seperti batas pengetahuan, sumber pengetahuan, serta kriteria
tentang kebenaran. Batas pengetahuan adalah pengalaman manusia dalam mengkaji
sesuatu yang menjadi minat penelitiannya. Oleh karena itulah setiap ilmu pengetahuan,
misalnya ilmu kedokteran dengan psikologi sangat berbeda, karena masing-masing ilmu
memiliki ruang lingkup tersendiri (objek forma yang berbeda). llmu kedokteran
membahas tentang masalah kesehatan manusia yang berkaitan dengan penyakit tertentu
sedang psikologi membahas perilaku manusia dari aspek kejiwaannya. Sumber
pengetahuan manusia adalah akal budinya. Dengan akal budinya manusia mampu untuk
berpikir tentang sesuatu, memikirkan gagasan untuk menciptakan karya-karya seni
ataupun teknologi, dengan akal budinya pula manusia dapat belajar, berhubungan
dengan orang lain, mampu berdialog tentang apa saja dengan siapa saja. Sedang kriteria
kebenaran sebagai upaya pencarian objektivitas terhadap pengenalan manusia yang
bersifat empiris. Apa yang dilihat, misalnya sebuah kursi, maka kursi itu haruslah sesuai
dengan kriteria kursi: memiliki kaki empat, sandaran, alas duduk, terbuat dari kayu.
Atas dasar itulah maka objektivitas sebuah benda yang diamati memiliki kebenaran.
Tema ketiga, aksiologi, yaitu tema yang membahas tentang masalah nilai atau
norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Nilai diartikan sebagai sebuah penilaian
tentang apa yang telah dilakukan oleh manusia dalam kaitannya dengan relasi manusia,
baik atau buruknya tindakan manusia. Nilai (value) muncul dalam kehidupan manusia
dalam bentuk sebagai nilai yang berada dalam sistem kemanusiaan seseorang, misalnya
nilai moral/nilai etis, nilai budaya, nilai keagamaan / religius, nilai keindahan. Sebagai
contoh, Tedy memiliki nilai moral yang tinggi, karena ia bekerja sebagai seorang arsitek
di sebuah perusahaan kontraktor bangunan “Indah Selalu” dengan penuh tanggung
46
jawab dan dedikasi yang tinggi terhadap tugasnya. Ia tidak suka memfitnah ataupun
menjelek-jelek teman sejawatnya dihadapan atasannya, agar supaya ia dapat menjadi
orang kepercayaannya.
Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, maka sampailah kita pada pemetaan
atau kedudukan filsafat ilmu apabila ia diletakkan pada lingkup ilmu filsafat. Agaknya
lingkup epistemologi menjadi tempat yang tepat bagi filsafat ilmu.
Filsafat ilmu membahas tentang persoalan ilmu pengetahuan dengan berbagai
problematisnya, terutama yang berkaitan dengan metodologis atau pembenaran ilmiah.
Dengan kata lain, ciri keilmiahan suatu ilmu pengetahuan dengan cara kerja ilmiah
menjadi bahan yang dikaji dalam filsafat ilmu. Sedang epistemologi membahas tentang
batas, sumber dan kebenaran pengetahuan, yang semuanya itu memerlukan kajian yang
bersifat rasional. Demikian juga filsafat ilmu mengkaji ciri dan cara kerja ilmu
pengetahuan berlandaskan rasionalitas atau akal budi manusia. Ini berarti bahwa
jembatan rasionalitas menjadi media bagi filsafat ilmu dengan aspek epistemologi untuk
menemukan kebenaran ilmiah atau validitas ilmu pengetahuan.
47
ilmu pengetahuan dan pelaksanaan aplikatifnya serta kegunaan ilmu itu dapat dtelusuri
secara historis atau melalui sejarah ilmu pengetahuan. Dalam rangka penelusuran secara
historis, secara de facto hasil maupun teknologi ilmu diterima dan digunakan oleh
manusia sesuai dengan kebutuhannya. Perkembangan teknologi akan menjadi
berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan dan perkembangan setiap ilmu itu
sendiri.
Di dalam bagian ini akan dijelaskan bahwa kebenaran dalam kegiatan ilmiah dan
filsafat ilmu bersumber pada. kebenaran epistemologi. Kebenaran filsafat ilmu itu
mengacu pada teori pengetahuan. atau teori kebenaran klasik yang terkait dalam tradisi
filsafat Barat. Teori pengetahuan dipandang sebagai teori kebenaran yang sifatnya
universal dan berlaku umum untuk berbagai bidang keilmuan (misalnya ilmu
kedokteran, teknik, ilmu ekonomi, ilmu budaya dan sebagainya) yang bertujuan mencari
objektivitas dan kebenaran ilmiah.
Teori pengetahuan atau teori kebenaran dalam epistemologi mengenal tiga teori
kebenaran, yaitu teori korespondensi, teori koherensi dan teori pragmatik. Teori
korespondensi adalah teori kebenaran yang bersumber dari persesuaian antara seorang
subjek dengan objek yang dilihatnya. Sebagai contoh, seseorang akan mengatakan
bahwa yang dilihatnya adalah sebuah meja besi apabila kriteria akan meja besi (berkaki
empat, terbuat dari besi) itu sesuai benar dengan meja itu. Ini berarti bahwa ada teori
korespondensi dalam kasus itu. Teori koherensi akan terjadi apabila ada persesuaian di
antara beberapa subjek dengan objek yang diamatinya. Sebagai contoh, semua orang di
rumah bapak Santoso setuju dan sepakat bahwa televisi itu memiliki antena yang
berwarna merah. Hal itu menunjukkan bahwa ada kebenaran koherensi di antara semua
orang di rumah bapak Santoso. Sedang teori pragmatik adalah teori kebenaran yang
terjadi karena ada manfaat serta kegunaan dari sebuah ilmu pengetahuan. Contoh, Tuti
akan belajar dengan tekun di Fakultas Teknik Arsitektur agar ia cepat lulus menjadi
seorang arsitek dan dapat segera bekerja.
Teori kebenaran (teori korespondensi, koherensi dan pragmatik) yang ada pada
filsafat ilmu adalah sebagai dasar mencari kebenaran dalam setiap kegiatan ilmu
pengetahuan. Dalam pencarian kebenaran itu, terjadi berbagai perubahan-perubahan
gejala, peningkatan ataupun kemajuan-kemajuan bagi ilmu itu sendiri Tiga teori
kebenaran itupun mendukung pelaksanaan kegiatan ilmu secara konkret, yaitu sebagai
penerapan antara sisi teoritis dengan sisi praktis, praktek dan kegunaannya.
Di sisi lain, batas pengetahuan juga menjadi landasan dalam teori kebenaran.
Apakah yang disebut sebagai batas pengetahuan itu? Batas pengetahuan adalah
pengetahuan yang memiliki keluasan wilayah secara tertentu. Melalui keluasannya yang
terukur itu, pengetahuan dibatasi oleh panca indera manusia. Dengan demikian sejauh
mata memandang terhadap apa yang dilihat kita, maka hal menjadi pengetahuan
manusia. Ini berarti bahwa pengetahuan manusia bersumber pada indera manusia dan
hasil pengetahuan itu disebut sebagai pengetahuan indrawi atau pengetahuan empiris
(empiris dari kata empêria yang artinya pengalaman manusia muncul karena diperoleh
oleh sentuhan indrawi). Selain pengetahuan indrawi, maka terdapat pengetahuan non
indrawi yang menjadi sumber pengetahuan manusia. Pengetahuan non indrawi adalah
pengetahuan yang berasal dari akal budi manusia atau rasio manusia. Melalui akal budi
atau rasio, manusia dapat berpikir, dapat memiliki gagasan atau ide dan hasil dari
kemampuan berpikir itu adalah pengetahuan non indrawi atau pengetahuan rasional.
48
Bagaimana dengan struktur pengetahuan? Struktur pengetahuan juga menjadi
landasan bagi teori kebenaran. Struktur pengetahuan adalah susunan dari berbagai
elemen pengetahuan yang dilandasi dengan suatu konsep tertentu. Berbagai elemen
pengetahuan seperti fenomena atau gejala atau sesuatu yang berada di depan kita
(gunung, pasien, rumah, mobil ambulans) atau ide tentang masa depan sebuah negara,
teori Newton, semua itu dapat menjadi elemen dari "bangunan" pengetahuan kita.
Sebenarnya, bangunan pengetahuan itu merupakan kumpulan berbagai elemen yang
disusun sedemikian rupa hingga membentuk bangunan pengetahuan yang kokoh. Dalam
proses kegiatan itu terdapat pelaku yang sangat berperan, yaitu subjek. Subjek diartikan
sebagai seseorang yang tertarik mencari pengetahuan dan pencarian tentang
pengetahuan itu atas dasar minat serta keterarahan (intensionalitas). Dan yang dicari
dalam pengetahuan adalah objek.
Dengan demikian terdapat interaksi antara subjek dengan objek dalam pencarian
pengetahuan. Struktur pengetahuan akan terjadi apabila ada hubungan atau interaksi
antara subjek dengan objek
Paradigma ilmu haruslah dilihat sebagai sebuah model penyelidikan ilmiah yang
digunakan sebagai pola dasar untuk berpikir, merencanakan usulan penelitian, atau
berbagai kasus penelitian seperti studi kasus pada ilmu-ilmu empiris, ilmu filsafat, dan
ilmu pengetahuan alam. Tujuan paradigma ilmu adalah menemukan kebenaran.
Kebenaran ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak memiliki kemutlakan, tidak absolut.
Setiap kebenaran yang dimunculkan oleh paradigma tertentu terbuka untuk difalsifikasi
atau dikaji apabila kebenaran itu mulai digoyahkan oleh pendapat-pendapat baru.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, paradigma yang dianggap sebagai model
atau pola berpikir bagi seorang peneliti memiliki kriteria dasar, seperti nilai kualitas,
nilai kuantitas, dan nilai kebenaran. Nilai-nilai yang dimiliki paradigma akan
membentuk sebuah model paradigma. Atas dasar itulah, penulis meletakkan model
dasar pada paradigma. Paradigma ilmu mengenal enam paradigma dasar, yaitu (1)
paradigma kuantitatif, (2) paradigma kualitatif, (3) paradigma induktif-deduksi, (4)
paradigma piramida atau limas ilmu, (5) paradigma siklus empiris, dan (6) paradigma
"rekonstruksi teori".
Paradigma kuantitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang bertitik tolak pada
perhitungan matematis. Objek penelitian yang menampilkan berbagai gejala atau
fenomena empiris harus dilihat sebagai "elemen" yang dapat dihitung dengan
perhitungan (besaran) tertentu dan untuk itu digunakan "alat" bantu perhitungan
matematis. Gejala-gejala medis pada si pasien seperti suhu tubuh dapat diukur dengan
alat pengukur. Gejala gempa dapat diukur besar tekanannya dengan skala Richter.
Paradigma kualitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang melihat kualitas-kualitas
objek penelitiannya seperti perasaan (emosi) manusia, pengalaman menghayati hal-hal
religius (sakral), keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah, dan simbol-simbol ritual
atau artefak tertentu. Kualitas-kualitas itu haruslah dinilai atau "diukur" berdasarkan
pendekatan tertentu (rmsalnya menggunakan metode semiotik, metode hermeneutik,
teori sistem) yang sesuai dengan objek kajiannya. Paradigma kualitatif menghindari
perhitungan matematis, karena yang dicari adalah value 'nilai' yang muncul dari objek
kajian yang bersifat khusus, bahkan sangat spesifik, unik, dan selalu mengandung
meaning full action.
Paradigma induktif-deduksi adalah model penyelidikan ilmiah yang digunakan
sebagai pola berpikir seorang peneliti untuk memiliki penalaran yang induktif
49
(mengambil kesimpulan dari hal-hal yang khusus untuk sampai pada hal yang umum)
dan deduktif (mengambil kesimpulan dari penalaran yang bersifat umum untuk sampai
pada hal-hal yang khusus). Paradigma induktif-deduktif dapat digunakan seseorang
sccara bersamaan, artinya ia dapar berpikir induktif dahulu untuk kemudian berpikir
secara deduktif, tetapi seseorang dalam proses kerja ilmiah dapat pula menggunakan
penalaran induktif atau deduktif saja. Tujuan paradigma induktif-deduktif lebih bersifat
aplikatif dalam penalaran dan digunakan dalam suatu penelitian ilmiah agar seseorang
dapat memiliki penalaran yang logis dan konsep berpikir yang runtut. Sebagai contoh,
penalaran induktif-deduktif dapat diterapkan ketika mencari data, mengkategorisasi
data, perumusan masalah, dan sebagainya.
Paradigma piramida atau Limas Ilmu adalah model penyelidikan ilmiah dengan
menggunakan konsep yang bertujuan mengkonstruksi tahapan-tahapan kegiatan ilmiah
secara berlapis-lapis seperti bentuk piramida. Bagian bawah piramida merupakan bagian
yang paling dasar dan paling luas, sedangkan makin ke atas luas lapisan piramida makin
berkurang. Lapisan teratas merupakan kerucut piramida. Lapisan-lapisan itu
dimaksudkan sebagai gambaran proses penelitian yang mengacu tahapan-tahapan
observasi, data, hipotesis, pengujian hipotesis, dan hasil penelitian yang berupa teori
baru. Pola pikir seorang ilmuwan dibentuk seperti model piramida berlapis: semakin ke
atas tujuan penelitian makin tercapai, dan pada puncak kerucut merupakan gambaran
ditemukannya sebuah teori baru. Bentuk atau model piramida lain adalah piramida
ganda. Piramida ganda atau bahkan menjadi piramida-piramida lain akan muncul
apabila seseorang mampu membuat piramida lain atas dasar landasan piramida yang
telah ada.
Piramida ganda
Piramida terbalik
Piramida terbalik adalah suatu kerangka berpikir atau model piramida yang
berlandaskan sebuah teori. Kegiatan penelitian yang menggunakan model piramida
terbalik memulai proses kerjanya dari sebuah teori (teori yang telah dianggap baku).
Melalui teori, seorang peneliti akan memulai kegiatannya dengan observasi terhadap
teori tersebut. Observasi menentukan langkah berikutnya, yahu tahap-tahap penelitian
atau lapisan piramida seperti data, permasalahan (hipotesis), pembuktian-pengujian
hipotesis, dan hasil penelitian yang berupa teori baru.
Paradigma siklus empiris sangat diakrabi ilmu-ilmu empiris. Paradigma tersebut
membutuhkan langkah awal, yaitu observasi yang bersifat induktif Beberapa tokoh
seperti de Groot dan Walter Wallace menampilkan siklus empiris yang beranjak pada
pengamatan faktual. Pada umumnya, paradigma siklus empiris memiliki komponen-
komponen yang saling berkaitan dan hubungan-hubungan yang sedemikian rupa
tersebut dapat dievaluasi secara siklus (periodik, berkala). Tahapan-tahapan dalam
50
siklus empiris akan membentuk pola berpikir bagi subjek (Ilmuwan/peneliti) dalam
melakukan kegiatan ilmiahnya. Walter Wallace mencoba menjelaskan paradigma siklus
empiris secara rinci dengan memperhatikan unsur metodologis. Paradigma siklus
empiris adalah model penyelidikan ilmiah yang sifatnya berkala, memiliki beberapa
elemen yang terdiri dari komponen informasi (data, konsep, kategori) dan komponen
kontrol metodologis (evaluasi, pengujian, teori). Setiap komponen dapat terdiri dari
beberapa komponen dan disusun sedemikan rupa sehingga membentuk hubungan yang
nantinya digunakan dalam proses kegiatan ilmiah. Kemampuan seseorang dalam
mengolah data dan pengujian hipotesis sangat menentukan hasil penelitiannya.
Paradigma "rekonstruksi teori" adalah model penyelidikan ilmiah yang berusaha
membangun (rekonstruksi) beberapa teori atau metode yang digunakan dalam sebuah
penelitian. Tujuan digunakannya paradigma rekonstruksi teori adalah untuk menunjang
proses penelitian agar berjalan lebih sempurna sehingga kebenaran ilmiahnya pun dapat
terjaga sesuai dengan proses metodologis yang berlaku. Untuk itu, apabila seseorang
ingin menggunakan paradigma "rekonstruksi teori" harus memahami dengan benar
teori-teori yang akan digunakannya dan memastikan dengan benar bahwa teori-teori itu
saling menunjang dan berguna (dapat diterapkan) dalam penelitiannya. Berbagai
pertimbangan yang sifatnya rasional, misalnya penguasaan teori dan kemampuan
menerjemahkannya secara aplikatif, harus menjadi pertimbangan utama apabila
seseorang akan menggunakan paradigma "rekonstruksi teori".
Semua paradigma yang ada dapat digunakan oleh seorang peneliti dalam
penelitiannya. Sebagai konsep berpikir, model penyelidikan ilmiah sangatlah abstrak.
Paradigma digunakan untuk tujuan menuntun pola pikir seseorang ke arah norma
metodologis sehingga secara dejure dapat dipertahankan secara benar dan sahih.
Paradigma ilmu dapat diperkaya apabila si ilmuwan mampu merekonstruksikan
berbagai teori yang telah ada. Rekonstruksi tersebut harus disertai dengan sebuah
"catatan" bahwa berbagai teori yang akan direkonstruksi harus saling menunjang dan
sesuai dengan tujuan penelitian. Kemampuan ilmuwan mengabstraksi sangat diperlukan
agar rekonstruksi terhadap sebuah paradigma menjadi lebih sahih dan menunjang
kebenaran ilmiah.
51