Anda di halaman 1dari 24

Clinical Science Session

INAKTIVITAS DAN IMOBILISASI

Disusun oleh:
Gerry Permadi 1301-1210-0026
Muhammad Febian Satrio 1301-1210-0087
Sarasidya Fatima 1301-1210-0111
Naadira Faaiza binti Mazlan 1301-1210-0196
Anita Cynthia 1301-1211-0053
Natasha Amalda Ediwan 1301-1211-0073
Wan Nurul Nadia bt Wan Seman 1301-1211-3025
Navindhren Nair Kanan 1301-1211-3062

Preceptor :
Sunaryo. B. S., dr., SpKFR

Program Studi Profesi Dokter


Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Hasan Sadikin
2011
PERUBAHAN FISIOLOGIS DAN FUNGSIONAL AKIBAT IMOBILISASI

PENDAHULUAN
Pada era sebelum 1950, tirah baring dan imobilisasi digunakan secara luas untuk
penatalaksanaan trauma dan penyakit akut. Hanya saja, belum diketahui bahwa inaktivitas
fisik dapat merusak bagian tubuh yang tidak terkena oleh penyakit tersebut. Akibat yang
tidak diinginkan dari tirah baring pada kondisi sub-akut dan kronik sebenarnya mudah
dicegah dan jika terjadi mudah ditangani apabila gejalanya dapat dikenali. Seseorang dengan
penyakit kronis, usia lanjut, ataupun memiliki disabilitas menjadi faktor risiko efek samping
imobilisasi.
Ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi medik adalah ilmu kedokteran yang bertujuan
untuk mengembalikan fungsi fisik dan psikososial individu sehingga mereka dapat mencapai
level independensi. Pencegahan terjadinya komplikasi akibat imobilisasi merupakan salah
satu prinsip dasar program penatalaksanaan rehabilitasi.

Inactivity
(Bed Rest,
Immobility)

Reduce Functional Total Body


Capacity Deconditionin
g

Additional Disability
(Permanent,
Temporary)
Vicious Circle of Inactivity

DEFINISI
Imobilisasi merupakan sebuah keadaaan di mana pasien dalam kondisi tirah baring,
tidak bergerak secara aktif sebagai akibat adanya gangguan pada organ tubuh, baik fisik
maupun mental.
Imobilisasi mengakibatkan penurunan kemampuan reservasi sistem muskuloskeletal
yang mengakibatkan kelemahan otot, atrofi, dan rendahnya enduransi otot. Aktivitas
metabolik dan ekstraksi O2 dalam otot juga menurun dan mempengaruhi kapasitas fungsional
sistem kardiovaskular, termasuk cardiac output dan kapasitas kerja (work capacity). Selain
itu, komplikasi lain akibat imobilisasi lama adalah osteoporosis imobilisasi, hipotensi
postural, dan deep venous thrombosis (DVT). Dalam sebuah temuan klinis ditunjukkan
bahwa mobilisasi awal dapat mengurangi lamanya waktu rawat inap pasien, sedangkan
imobilisasi lama meningkatkan insidensi terjadinya morbiditas pada pasien.

KOMPLIKASI
Berbagai macam efek buruk akibat imobilisasi dikelompokkan dalam sebuah istilah,
yaitu deconditioning. Definisi deconditioning adalah penurunan kapasitas fungsional sistem
muskuloskeletal dan sistem organ tubuh lainnya.
Tabel 1. Efek Samping Imobilisasi
Sistem Efek (Pengaruh)
Muskuloskeletal Kontraktur
Kelemahan otot dan atrofi
Osteoporosis imobilisasi
Hiperkalsemia imobilisasi
Kardiovaskular dan Pulmonal Redistribusi cairan tubuh
Hipotensi orthostatik
Penurunan kapasitas fungsional kardiopulmonal
Thromboembolism
Resitansi mekanik terhadap pernapasan
Pneumonia hipostatik
Genitourinaria dan Gastrointestinal Stasis urinasi, batu saluran kemih, dan infeksi saluran kemih
Kehilangan nafsu makan
Konstipasi
Metabolisme dan Endokrin Gangguan keseimbangan elektrolit
Intoleransi glukosa
Peningkatan produksi hormon paratiroid
Gangguan hormonal
Kognitif dan Perilaku Gangguan fungsi sensoris
Bingung dan diorientasi
Cemas dan depresi
Penurunan kapasitas intelektual
Gangguan keseimbangan dan koordinasi

DAMPAK IMOBILISASI TERHADAP SISTEM MUSKULOSKELETAL


Untuk dapat bergerak optimal secara fisiologis membutuhkan fungsi dari otot, saraf,
tulang, dan sendi. Hambatan dalam pergerakan sendi dapat mempengaruhi kemampuan
berjalan atau penggunaan ekstrimitas atas sehingga dapat mengganggu mobilisasi dan
kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari (Activities of Daily Living).
Terdapat 3 tipe efek dari imobilisasi pada sistem muskuloskeletal, yaitu atrofi otot dan
kelemahan otot, kontraktur sendi, dan osteroporosis imobilisasi.
1. Kelemahan Otot dan Atrofi Otot
Pada posisi berbaring, aktivitas otot minimal akibat penurunan gaya gravitasi dan
hipokinesia. Imobilisasi yang progresif mengakibatkan reduksi kekuatan, ukuran, dan
enduransi otot sehingga mengakibatkan kelemahan dan deconditioning kardiovaskular. Pada
banyak pasien kondisi ini bersifat reversibel, hanya saja pada penderita gangguan neurologis
dan muskuloskeletal kondisi fungsional otot akan sangat bermasalah.
Pada kondisi tirah baring, otot akan kehilangan kekuatannya sebanyak 10-15% setiap
minggu. Pasien dengan tirah baring selama 3-5 minggu akan kehilangan setengah dari
kekuatan ototnya. Setelah 4 minggu imobilisasi muscle net weight akan berkurang hingga
69%.

Inaktivitas Kondisi penyakit


total body conditioning Peningkatan disabilitas

Penurunan kapasitas fungsional Penurunan aktivitas muskular


sistem kardiovaskular dan
sistem lainnya

Penurunan kapasitas
Inaktivitas fungsional sistem
muskuloskeletal

Gambar 1. Pengaruh inaktivitas dan imobilisasi terhadap total body functioning


Aktivitas succinate dehidrogenase per serabut otot meningkat di awal imobilisasi,
tetapi keseluruhan konten enzim otot berkurang secara signifikan di akhir imobilisasi. Secara
umum, aktivitas dan konten enzim oksidatif menurun disertai berkurangnya jumlah dan
ukuran mitokondria.
Perubahan metabolisme otot terjadi sebagai respon terhadap perubahan vaskular dan
enzim. Selama imobilisasi, terjadi kehilangan nitrogen yang meningkat. Keterbatasan
aktivitas muskular mengurangi sintesis protein yang mengakibatkan hipoproteinemia.
Kondisi ini diperberat mekanisme gastrointestinal, seperti kehilangan nafsu makan,
penurunan absorpsi protein dalam usus, dan konstipasi. Peningkatan proses kehilangan
nitrogen mulai terjadi pada hari ke-5 atau ke-6 tirah baring dan puncaknya terjadi pada
minggu ke-2.
Akibat inaktivitas pula terjadi penurunan sintesis protein dan jumlah myofibril
berkurang. Reduksi aktivitas otot mempengaruhi supplai darah, aktivitas metabolik otot, dan
enduransi otot yang juga disertai dengan gangguan supplai O2 ke jaringan otot.
Penurunan kapasitas enzim oksidatif mengakibatkan terjadinya penurunan ekstrak O2
dari darah ke jaringan dan rendahnya toleransi terhadap asam laktat. Perubahan tersebut
disertai gangguan bentuk dan ukuran end-plate serta fungsi dari reseptor asetilkoline berperan
dalam buruknya enduransi otot pasien.
Hilangnya massa otot minimal pada dua hari pertama imobilisasi dan meningkat
dengan cepat setelah 10 hari dan menurun secara bertahap setelahnya. Hal ini disebabkan
penurunan sintesis protein. Sintesis kolagen juga menurun tetapi pada laju lebih lambat
sehingga terjadi peningkatan proporsi kolagen dan jaringan otot.
Ekskresi kreatinin meingkat pada kondisi patologis, seperti kelaparan, diabetes,
demam, rheumatoid arthritis termasuk juga saat imobilisasi.

Tabel 2. Efek Imobilisasi pada Otot Skeletal


Komponen Karakteristik Efek
SDH (succinyl dehidrogenase dan enzim oksidatif lainnya) Penurunan fungsi aerobik
Glikogen Penurunan jumlah cadangan (storage levels)
CK (creatine kinase) Penurunan jumlah cadangan (storage levels)
Sarkomer Penurunan jumlah
Tipe I dan Tipe II serabut otot atrofi Penurunan kekuatan dan enduransi
Myofibril Penurunan jumlah
Melambatnya waktu twitch contraction
Penurunan maximum twitch dan tetanic force
Na-ATPase, K-ATPase Penurunan konsentrasi pompa Na dan K
VO2 max Penurunan progresif VO2 max dan fitnes

Perubahan Fungsional
Penurunan jumlah ATP dan cadangan glikogen disertai penurunan kemampuan otot
untuk menggunakan asam lemak setelah imobilisasi lama mengakibatkan penurunan
enduransi otot. Kelemahan otot general menyebabkan kurangnya koordinasi dan kualitas
pergerakan pasien saat remobilisasi.
Peningkatan kolagen dan cross-linkage menyebabkan kekakuan otot dan kontraktur
myogenik. Pada ekstrimitas bawah, serabut otot tipe I yang aktif saat ambulasi sering terkena.
Jika otot quadriceps terfiksasi pada posisi memendek, lapisan lebih dalam yaitu vastus
intermedius (dominan tipe I) akan mengalami perubahan histokimia. Selanjutnya, jika otot
ekstensor difiksasi pada posisi ekstensi penuh di sendi atau otot fleksor terfiksasi dalam
kondisi memendek, akan terjadi pengurangan jumlah sarkomer. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya panjang otot istirahat dan perubahan gaya yang diberikan otot ketika
melakukan aktivitas sehari-hari.
Imobilisasi pada posisi memendek dapat mengakibatkan serabut otot kehilangan 40%
sarkomer. Peregangan rutin selama ½-1 jam dapat mencegah kehilangan sarkomer tersebut.
Untuk mendapatkan fungsi otot yang adekuat, peregangan untuk mempertahankan resting
length optimal adalah faktor utama. Laju atrofi setiap otot berbeda. Quadriceps, otot panggul,
otot ekstensor punggung atrofi dengan cepat menyebabkan penurunan enduransi ketika
berjalan dan menimbulkan rasa nyeri punggung.
Pencegahan dan Penatalaksanaan
Kelemahan otot akibat tidak digunakan sederhana untuk dicegah. Pasien perlu
dimotivasi untuk tetap melakukan aktivitas normal. Kekuatan otot dapat dipertahankan
dengan program kontraksi otot dari 30-50% maximal tension selama beberapa detik setiap
hari. Kelemahan otot dan atrofi dapat dicegah dengan penggunaan stimulasi elektrik untuk
menjaga ukuran otot dan kekuatannya serta dapat memperpendek waktu rehabilitasi. Dapat
pula dilakukan stimulasi dengan direct rectangular biphasic pulse sebanyak 3 sesi per hari
selama 30 menit. Pada kondisi imobilisasi lama yang mengakibatkan kontraktur terfiksasi,
dibutuhkan peregangan dan penguatan otot selama beberapa bulang dan kekuatan otot tidak
dapat kembali seutuhnya.

2. Imobilisasi dan Kontraktur Sendi


Definisi kontraktur adalah berkurangnya range of motion (ROM) penuh aktif dan
pasif akibat keterbatasan sendi, otot, atau jaringan lunak sekitarnya. Berbagai kondisi yang
dapat mengakibatkan keterbatasan ini termasuk nyeri sendi, paralisis, fibrosis jaringan
kapsular atau periartikular, kerusakan otot primer. Faktor utama tersering yang menyebabkan
keluhan ini adalah kurangnya mobilisasi sendi terhadap luas gerak sendi penuh yang
diperbolehkan. Imobilisasi lama menyebabkan berkurangnya panjang otot saat istirahat dan
memendeknya kolagen pada kapsul sendi dan jaringan lunak lainnya.
Banyak faktor, seperti posisi alat gerak, durasi imobilisasi, kondisi patologis dan
keterbatasan gerak sendi yang telah ada sebelumnya mempengaruhi laju terjadinya kontraktur
tersebut. Edema, iskemia, perdarahan, dan perubahan pada lingkungan otot dan jaringan
periartikular dapat memicu terjadinya fibrosis. Penuaan perlu dipertimbangkan karena terjadi
kehilangan serabut otot dan peningkatan proporsi jaringan ikat pada tubuh orang tua.
Tiga faktor dasar yang memegang peran penting dalam terjadinya kontraktur:
1. Posisi anggota gerak
2. Durasi imobilisasi
3. Mobilisasi
Adanya kontraktur pada sendi manapun akan menurunkan mobilitas dan kemampuan
seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Kontraktur pada otot flexor panggul akan mengurangi ekstensi, memperpendek
langkah,dan menyebabkan pasien berjalan dengan "ball of foot", sehingga meningkatkan
lordosis tulang belakang dan konsumsi energi. Selain itu, kontraktur otot flexor panggul
menyebabkan pemendekan otot hamstring sehingga lutut berada pada posisi flexi. Oleh
karena itu, tidak jarang pasien akan mengalami keterbatasan lutut dan sendi pergelangan kaki.
Kontraktur otot ekxtensor panggul jarang terjadi.
Penyebab kontraktur sendi lutut yang tersering adalah pemendekan otot hamstring dan
kekakuan jaringan ikat dibelakang lutut. Hal ini menyebabkan kerja otot hamstring,
quadriceps, dan gastrocnemius lebih berat ketika berjalan dan konsumsi energi yang lebih
banyak.
Kekakuan pada otot gastrocnemius-soleus adalah penyebab paling sering dari
kontraktur plantar flexi. Kontraktur plantar flexi akan menyebabkan lutut dan sendi-sendi
metatarsal mendapat tekanan yang lebih berat ketika menahan berat tubuh,sehingga bisa
terjadi genu recurvatum dan perubahan degeneratif dari sendi lutut. Kontraktur pada
ekstrimitas atas menyebabkan impairment pada fungsi seperti berpakaian, mengambil barang,
makan dan kerja motorik halus lainnya. Oleh karena itu penting untuk menentukan struktur
sendi, otot, atau jaringan ikat mana yang terkena kontraktur dan mekanisme yang mendasari
terbentuknya kontraktur tesebut, sehingga dapat dilakukan penanganan yang tepat.
Kontraktur yang dipicu perubahan patologis pada sendi dan otot diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok, yaitu: arthrogenik, myogenik, dan jaringan lunak.
Tabel 3. Klasifikasi Anatomis Kontraktur
Tipe Kontraktur Penyebab
Arthrogenik  Kerusakan kartilago, inkongruen sendi (deformitas kongenital), inflamasi,
trauma, penyakit sendi degeneratif, infeksi, imobilisasi
 Proliferasi sinovial dan jaringan fibrofatty (inflamasi), efusi
 Fibrosis kapsular (trauma, imobilisasi, inflamasi)
Jaringan ikat lunak  Jaringan ikat lunak periartikular (trauma, imobilisasi, inflamasi)
dan padat  Kulit, jaringan subkutan (trauma, luka bakar, infeksi, sklerosis sistemik)
 Tendon dan ligamen (tendinitis, bursitis, robekan dan fibrosis ligamen)
Myogenic
Intrinsic, struktural  Trauma (perdarahan, edema, imobilisasi)
 Inflamasi (myositis, polymyositis)
 Perubahan degeneratif (distrofi muskular)
 Iskemia (diabetes, peripheral vascular disease, compartment syndrome)
Ekstrinsik  Spastisitas (stroke, sklerosis multipel, injuri medulla spinalis, upper motor neuron
disease
 Paralisis flaccid (faulty position, muscle imbalance)
 Mekanik (faulty position saat tidur dan duduk, imobilisasi, kurang peregangan
Mixed (campuran)  Kombinasi kontraktur arthrogenic, jaringan lunak dan otot pada satu sendi

Properti Mekanik Jaringan Ikat


Jaringan ikat terbagi dalam 5 kelompok besar, yaitu jaringan ikat longgar, jaringan
ikat padat (ligamen), kartilago, tulang, pembuluh darah. Jaringan ikat longgar dan padat
memiliki struktur yang kompleks dan dinamis, bertugas sebagai penyokong struktural,
stabilisator, dan pergerakan. Jaringan ikat tersebut dapat beradaptasi sebagai respon terhadap
lingkungan, salah satunya jika dikenai stress mekanis.
Jaringan ikat padat tersusun dari fibroblast dan matriks ekstraselular. Matriks berisis
makromolekul interselular seperti kolagen yang dikelilingi oleh gel polisakarida. Kolagen
berperan dalam homeostasis, adaptasi, dan fungsi repair.
A. Kolagen
Serabut tendon, ligamen, dan kapsul sendi didominasi oleh serabut kolagen walaupun
pada tendon ditemukan banyak serabut elastis. Sedangkan ligamen bersifat tidak elastis dan
sebagian besar tersusun oleh serabut kolagen. Kolagen membentuk lebih dari 20% massa
tubuh total. Tipe dan kekuatan cross-linking kolagen merupakan kunci terhadap kekuatan
tensile dan berubah tergantung pada beban mekanis yang diberikan.
Terdapat lapisan tipis jaringan ikat longgar adan padat yang membungkus bundle
serabut kolagen (endotenon atau endoligamen), fascicle (peritenon atau periligamen),
keseluruhan tendon dan ligamen (epitenon atau epiligamen). Epitenon atau epiligamen
merupakan bagian penting yang merespon terhadap beban mekanis dan injuri.
Pada tendon dan ligamen didominasi oleh kolagen tipe I, walaupun terdapat juga
kolagen tipe III, IV, dan VI. Variasi diameter kolagen berkaitan dengan lokasi, usia, tingkat
aktivitas, dan kemampuan repair. Perubahan kolagen dimediasi oleh fibroblast yang sensitif
terhadap stimulus mekanis, enzim (collagenase dan tissue inhibitor of metalloproteinase), dan
GF (growth factor). Faktor-faktor tersebut akan bergeser dari ekuilibrium dinamis ke arah
sintesis ataupun degradasi tergantung pada faktor lingkungan.
B. Proteoglikan
Kira-kira 1% dari berat kering ligamen dan tendon terdiri dari proteoglikan.
Proteoglikan berfungsi untuk lubrikasi sendi. Terdapat beberapa jenis proteoglikan
(hyaluronic acid, chondroitin sulfate, decorin, aggrecan, biglycan) yang mana berbeda pada
setiap lokasi yang berlainan.
Perubahan morfologik
Pada keadaan trauma atau inflamasi dari jarigan ikat, sel mesenkimal berdiferensiasi
menjadi fibroblas yang kemudian memproduksi kolagen yang kemudian tersusun secara
acak. Jika sintesis kolagen lebih banyak daripada pemecahannya, dapat terjadi fibrosis yang
berlebihan. Ketidakseimbangan sintesis dan pemecahan kolagen ini dipengaruhi oleh faktor
fisik seperti kurangnya peregangan yang biasa dilihat pada imobilitas dan inaktivitas yang
lama. Trauma dengan perdarahan ke dalam jaringan lunak dan otot, inflamasi, degenerasi
atau iskemia juga dapat menstimulasi sintesis kolagen. Pada keadaan ini, kurangnya regangan
dari otot dan mobilitas akan menyebabkan fibril kolagen menjadi bertambah padat. Sintesis
kolagen pada otot juga dipengaruhi level aktivitas otot.
Kontraktur yang diakibatkan oleh keadaan patologi dapat dibedakan menjadi
artrogenik, miogenik dan jaringan lunak.
 Kontraktur Miogenik – pemendekan dari panjang otot yang disebabkan:
 Faktor intrinsik (struktural)
— Inflamasi
— Perubahan degeneratif (distrofi muskular)
— Trauma
 Faktor ekstrinsik
— Spastisitas (paralisis, kerusakan medula spinalis, sklerosis multipel)
— Flaccid paralysis
— Mekanis (imobilisasi, kurang peregangan)
Kontraktur otot dapat disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Kontraktur otot
intrinsik berubungan dengan proses peradangan, degeneratif, iskemik, atau trauma pada otot
tersebut. Myositis atau peradangan lain dapat menyebabkan terbentuknya fibrosis. Pada
proses degeneratif, otot dapat bertambah pendek dan terbentuk jaringan fibrosis. Fibrosis juga
dapat disebabkan oleh iskemik dan trauma. Setelah terjadi perdarahan, terjadi deposisi fibrin,
dua sampai tiga hari kemudian fibrin digantikan oleh reticular fiber yang membentuk
jaringan ikat longgar. Setelah satu minggu, akan terbentuk jaringan ikat padat bila otot tetak
di-imobilisasi. Setelah tiga minggu, jaringan ikat padat semakin luas dan menghambat
pergerakan otot dan sendi sehingga mengurangi ROM.
Kontraktur otot ekstrinsik/positional disebabkan oleh spastisitas, paralisis atau
terhambatnya gerakan secara mekanik. Pada otot yang spastik, panjang otot akan berkurang,
yang menyebabkan ekstremitas atas menjadi fleksi dan ekstremitas bawah mengalami fleksi
plantar dan inversi. Jika posisi ini dibiarkan dan POM penuh tidak dapat dilakukan,maka
akan terjadi pemendekan otot. Otot yang spastik dapat diterapi dengan kombinasi dari gerak
ROM pasif, pemberian terapi panas dan dingin, obat-obat anti spastik, dan blokade saraf.
Pada otot-otot yang paralisis, bila otot tersebut tidak dapat mengimbangi otot yang
beroposisi, maka kontraktur dapat terjadi. Sedangkan faktor mekanik dapat menyebabkan
kontraktur pada pasien yang tirah baring dan pasien yang inaktif. Otot yang sering mengalami
kontraktur bila ROM normal tidak dipertahankan ialah otot hamstrings, otot punggung, tensor
fascia latae, rectus femoris, dan gastrocnemius.
Selain itu, pasien yang diamputasi juga dapat mengalami kontraktur otot. Pada pasien
yang diamputasi diatas lutut, dapat terjadi kontraktur fleksi pinggul karena terlalu lama duduk
pada posisi fleksi. Sdangkan dapa pasien yang diamputasi dibawah lutut, dapat terjadi
pemendekan hamstrings karena fleksi lutut yang terlalu lama.
 Kontraktur Atrogenik
 Proses patologis melibatkan komponen – komponen sendi, seperti : degenerasi
kartilago, inflamasi synovial yang dapat mengakibatkan kekakuan pada kapsular
dan fibrosis. Inflamasi dan efusi synovial yang disertai rasa sakit dapat
mengakibatkan terbatasnya pergerakan sendi dan kontraktur kapsular.
 ROM pasif selama arthritis akut dapat meningkatkan IL-1, IL-1 penetrasi ke
dalam kartilago dan berikatan dengan reseptor di membrane kondrosit dan
menghambat pembentukan proteoglikan yang penting untuk proteksi kartilago.
Oleh itu, immobilisasi jangka pendek adalah disarankan.
 Kapsul sendi juga bisa kehilangan ekstensibilitas akibat pemendekan serat
kolagen. Penyebabnya adalah karena peregangan sendi yang kurang dan posisi
fleksi. Pada kontraktur kapsular, ROM terbatas ke segala arah. Sendi bahu dan
pinggul paling sering mengalami kontraktur kapsul. Pemendekan kapsul
posterior sendi lutut juga bisa terjadi pada pasien yang menggunakan kursi roda
karena posisi fleksi terlalu lama.
 Kontraktur Jaringan Padat dan Lunak
 Trauma terhadap jaringan lunak dengan pendarahan bisa menyebabkan fibrosis
dan menjadi kontraktur bila peregangan tidak dilakukan. Dalam kondisi ini serat
kolagen berproliferasi dan membentuk jalinan. Keterbatasan gerak hanya terjadi
pada satu aksis.
 Kulit yang terbakar rentan terhadap kontraktur. Selama masa penyembuhan, luka
terbakar yang melewati sendi harus sering digerakkan dan diposisikan melawan
pemendekan dari jaringan parut.
 Imobilisasi dapat menyebabkan perubahan biomekanik dan biokimia pada
ligament. Proses yang terjadi pada ligament selama imobilisasi yaitu penurunan
sintesis kolagen dan peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang tempat insersi
ligamen.
Biasa disebabkan oleh proses peradangan, infeksi, penyakit degeneratif sendi, atau
trauma yang berulang. Rasa sakit yang dapat disebabkan oleh proses peradangan, arthritis,
atau efusi synovial dapat menyebabkan immobilitas sendi. Sendi yang tidak digerakkan pada
jangka lama dapat menyebabkan pengerutan kapsul sendi dan jaringan ikatnya. Pada penyakit
degeneratif, hilangnya kartilago menjadi penyebab timbulnya rasa sakit dan terganggunya
ROM.
Immobilisasi yang lama juga dapat menyebabkan kekakuan pada kapsul sendi, bila
kapsul sendi dan jaringan ikat disekitarnya tidak diregangkan oleh pergerakan sendi, maka
serat kolagen akan memendek dan menghambat ROM. Bila terjadi proliferasi kolagen, maka
terjadi hambatan yang lebih berat lagi. Kekakuan kapsul sendi dapat menyebabkan
terbatasnya ROM ke segala arah, sendi yang paling sering terkena kontraktur kapsul sendi
ialah sendi bahu. Kontraktur dapat menyebabkan frozen shoulder dan hilangnya fungsi
lengan.
Jaringan lunak disekitar sendi juga dapat memendek oleh peradangan, trauma, atau
posisi yang salah dari ekstremitas. Pemendekan dan proliferasi serat kolagen di jaringan
lunak menyebabkan terbatasnya gerak sendi ke satu arah.
Pencegahan Kontraktur Sendi dan Perbaikan Gerakan Sendi
Ada dua prinsip untuk mencegah kontraktur arthrogenik dan jaringan lunak, yakni
memposisikan sendi secara optimal dan mobilisasi sendi secara dini. Mobilisasi sendi
dilakukan secara aktif maupun pasif. Remobilisasi dilakukan segera setelah terjadinya infeksi
sendi maupun setelah operasi sendi. Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian alat untuk
memfasilitasi gerakan pasif sendi.

Efek Imobilisasi Pada Perkembangan Penyakit Degeneratif Sendi


Immobilization degenerative joint disease adalah istilah untuk menyebut perubahan
degeneratif sendi yang parah yang disebabkan oleh imobilisasi yang berkepanjangan.
Terbatasnya gerakan sendi dapat disebabkan oleh proses patologis pada sendi itu sendiri,
yaitu berupa perubahan pada kartilago dan synovial disertai rasa sakit dan imobilitas. Hasil
percobaan pada binatang mneyebutkan bahwa imobilisasi dalam waktu yang lama dapat
meyebabkan perubahan degenerative sendi (destruksi kartilago dan penebalan kapsul sendi),
kekakuan kapsul sendi, dan perkembangan kontraktur sendi. Hal ini disebabkan oleh karena
kapsul yang mengkerut dan imobilisasi sendi pada satu posisi menyebabkan kompresi pada
kartilago, sehingga menyebabkan berkurangnya kandungan air, kandungan hyaluronate,
chondroitin sulfat pada kartilago, dan hilangnya hexamine dari jaringan periartikular.

Efek Immobilisasi Pada Perkembangan Osteopenia dan Hiperkalsemia


Walaupun fenomena kehilangan kepadatan tulang selama periode panjang dari
immobilisasi sudah banyak diketahui, namun biasanya terjadi secara diam-diam selama
bertahun-tahun. Pemeriksaan radiografi rutin tidak dapat menunjukkan tanda-tanda
osteoporosis hingga kehilangan kepadatan tulang mencapati 40%. Pada penyakit saraf yang
disertai dengan paralisis, seperti cidera medulla spinalis, osteopenia dapat terjadi sangat berat
sehingga tulang panjang dapat menjadi fraktur hanya dengan tekanan yang relatif kecil. Hal
yang sama terjadi pada penderita gangguan metabolisme tulang seperti pada kondisi post-
menopause atau penyakit Paget.
Sindrom hiperkalsemia immobilisasi umum terjadi pada anak-anak dan dewasa muda.
Klinisnya terlihat setelah 4 minggu dari awitan tirah baring. Gejala awalnya berupa
anoreksia, nyeri abdomen, konstipasi, mual, dan muntah. Gejala neurologis yang progresif
seperti kelemahan, hipotonia, ketidakseimbangan emosi, stupor dan akhirnya koma. Dapat
juga disertai dengan hipertensi yang berat. Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu
diagnosis adalah peningkatan kadar kalsium serum dan urin, rasio kalsium dan kreatin lebih
dari 0,4 pada spesimen urin 24 jam, kadar hormon paratiroid yang normal, dan peningkatan
kadar hidroksiprolin urin.
Hukum Wolff menunjukkan bahwa morfologi dan kepadatan tulang bergantung pada
kekuatan yang diterima oleh tulang, yang mana terjadi gangguan pada kondisi immobilisasi.
Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa terjadi resorpsi tulang pada gangguan kinesi
tulang.

Efek kontraktur pada fungsi fisik


 Kontraktur memiliki 3 efek, yaitu mengganggu pergerakan, aktivitas hidup sehari-
hari, dan pada perawatan kulit
 Kontraktur pada ekstremitas bawah mengubah pola berjalan dan bisa menghambat
ambulasi.
 Kontraktur pinggul : menurunkan ekstensi pinggul, meningkatkan kemungkinan
lordosis lumbar dan kebutuhan energi. Kontraktur pinggul dapat menyebabkan
pemendekan otot hamstring sehingga memfleksikan lutut, tidak jarang pasien
dengan kontraktur pinggul mengalami kontraktur lutut dan tumit terutama bila
tidak dilakukan mobilisasi.
 Kontraktur plantarfleksi menyebabkan hilangnya hentakan kaki dan abnormal
push-off yang menghasilkan penurunan momentum progresif ke depan.
 Keterbatasan pada ekstremitas atas menyebabkan tidak bisa menggapai,
berpakaian, merawat diri, makan dan kemampuan motorik halus lainnya.
 Kontraktur pada banyak sendi mengganggu posisi tidur, berdiri, mobilisasi, dan
mempersulit perawatan kulit dan perineum dan perluasan area tekanan pada kulit.
Gambar 1. Plantarflexion contracture

Bed Rest dan Low Back Pain


Bed rest yang terlalu lama bisa menyebabkan low back pain melalui mekanisme
tightness pada otot punggung dan hamstring atau disebabkan oleh kelemahan pada otot
punggung dan abdomen. Adanya pemendekan pada otot-otot ini akan mengubah spinal
alignment dan postur badan. Imobilisasi osteoporosis spinal juga dapat menyebabkan low
back pain.
Komplikasi dari bed rest ini dapat dicegah dengan latihan penguatan otot abdomen
dan paraspinal serta hamstring.
Terapi dan Manajemen kontraktur
A. Analisis
Menentukan faktor predisposisi, pengetahuan mengenai efek kontraktur dan
pentingnya mobilisasi dan stretching dari otot serta aktif dan pasif ROM.
B. Stretch dan restorasi ROM
 Bila kontraktur sudah terjadi, latihan ROM aktif dan pasif dikombinasikan dengan
terminal stretch minimal 2 kali sehari. Untuk kontraktur ringan, stretch selama 20-30
menit cukup efektif dan lebih dari 30 menit untuk kontraktur lebih berat. Terapi akan
lebih berhasil bila dikombinasikan dengan pemanasan pada musculotendinous junction
atau kapsul sendi, menggunakan ultrasound menghangatkan jaringan hingga suhu 40-
43 C dapat meningkatkan sifat kental jaringan ikat dan memaksimalkan efek stretching.
 Stretch lama lebih dari 2 jam dapat dibantu menggunakan splint atau serial cast
(pembalutan dengan plaster atau polymer bandage dengan bantalan pada tonjolan
tulang)
 Untuk mencapai posisi sendi yang optimal, kadang-kadang diperlukan untuk
memperpanjang tendon dengan cara bedah
C. Pencegahan Kontraktur
 Pada pasien bed rest, dengan pemilihan matras dan tempat tidur yang sesuai, posisi yang
benar, program latihan mobilisasi.
 Pasien sebaiknya mulai ambulasi segera setelah kondisi medisnya membaik. Namun,
bila bed rest tetap harus dilakukan maka posisi tidur yang benar harus diterapkan.
 Matras yang kuat diperlukan untuk mencegah badan pasien melengkung atau merosot
serta menghindari fleksi pinggul yang berlebihan.
 Footboard diletakkan 4 inchi dari ujung matras, untuk menghindari tekanan pada tumit.
 Tempat tidur memiliki pegangan atau rel disampingnya sebagai pegangan bagi pasien
untuk mobilisasi dan duduk.
 Untuk bed rest lama disediakan alat untuk menjaga posisi sendi yang fungsional. Bantal
pada bahu menjaga agar bahu tetap abduksi dan rotasi netral. Palmar roll untuk
mempertahankan tangan, jari serta ibu jari pada posisi optimal. Trochanter roll untuk
mencegah rotasi eksternal yang berlebihan pada sendi pinggul.
D. Prinsip dasar pencegahan dan pengobatan kontraktur

Posisi tidur yang benar, resting splint


Pencegahan Latihan ROM (aktif atau pasif)
Mobilisasi dini dan ambulasi
CPM (continuous passive motion)

ROM pasif dengan terminal stretch


Stretch lama dan pemanasan
Progresif splinting, casting
Pengobatan Terapi spastisitas; farmakologi, motor point atau blok saraf
dengan botox A
Intervensi bedah (eg. Pemanjangan tendon, osteotomi dan
penggantian sendi).

E. Latihan Fungsional
 Pemeliharaan dan pemulihan fungsi
 Stimulasi elektrik pada otot yang parese untuk melatih kekuatan otot
 Ambulasi untuk menjaga fungsi normal sendi yang lain
 Menghindari kebiasaan buruk dalam ambulasi dan postur, dan mengoptimalkan
program kekuatan dan ketahanan (strength and endurance program) untuk
mencegah kontraktur yang berulang
3. Imobilisasi Osteoporosis
 Massa tulang akan meningkat bila ada beban dan akan berkurang jika tidak terdapat
aktivitas otot
 Massa tulang mulai berkurang pada decade ke4-5 kehidupan, terjadi sangat cepat pada
wanita saat 5-7 tahun pertama setelah menopause
 Imobilisasi menyebabkan penurunan kepadatan tulang, dicirikan dengan hilangnya
kalsium dan hidroksiprolin dari cancellous bone epifisis dan metafisis tulang panjang.
Penyebab utama adalah resorpsi tulang yang belum diketahui. Osteoporosis ini dapat
dicegah dengan latihan isotonic atau isometric, ambulasi.
 Pasien dengan imobilisasi lama juga mengalami hiperkalsemia dan hiperkalsiuria.
Tanda hiperkalsemia yaitu anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, konstipasi,
bingung dan bisa menjadi koma. Hal ini dapat diobati dengan hidrasi dengan normal
salin dan dieresis furosemid.
 Terapi inhibisi resorpsi tulang dengan diberikan bifosfonat.

KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR
Komplikasi kardiovaskular dari immobilisasi adalah peningkatan denyut jantung,
penurunan cardiac reserve, hipotensi ortostatik, dan venous thromboembolism. Gangguan
kapasitas fungsional kardiovaskuler merupakan komplikasi yang umum terjadi pada tirah
baring yang berkepanjangan dan inaktivitas. Ada 4 manifestasi yaitu: (1) redistribusi cairan
tubuh, (2) hipotensi postural, (3) cardiovascular deconditioning, (4) fenomena
tromboembolik.
Pada posisi berbaring terlentang, tekanan hidrostatik pada kolom di pembuluh darah
menghilang, sehingga 500-700 ml darah kembali dari kaki ke paru-paru dan jantung bagian
kanan, meningkatan volum darah sentral dan distensi dari baroreseptor. Hal ini akan
menyebabkan supresi dari hormon anti diuretik. Beberapa hari dari tirang baring akan
menghasilkan diuresis yang signifikan, menurunkan volum plasma 8-12%. Selama 2-4
minggu, penurunan akan mencapai 15-20%. Peningkatan volum darah sentral yang terjadi
pada posisi berbaring akan meningkatkan detak jantung, volum sekuncup, dan keluaran
jantung. Aktivasi baroreseptor pada atrium menyebabkan pengembalian kondisi ini yaitu
penurunan volum sekuncup dan curah jantung hingga 6-13%.
Peningkatan hematokrit dan penurunan massa sel darah merah minimal terjadi pada
tirah baring yang berkepanjangan. Walaupun demikian, penurunan volum plasma lebih tinggi
daripada penurunan massa sel darah merah sehingga meningkatkan viskositas darah yang
kemungkinan menyebabkan tromboembolik.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pergeseran cairan ekstraseluler yang terjadi
pada posisi berdiri akan menyebabkan penurunan curah jantung awal (25%), penurunan
volum sekuncup (40%) dan kompensasi berupa peningkatan detak jantung (25%). 10-15%
volum darah bergeser ke kaki (utamanya pada intramuskuler dalam dan sistem vena
intermuskuler), meningkatkan tekanan vena menjadi 120 cm air. 10-20% peningkatan volum
plasma pada ruang ekstraseluler pada ekstremitas bawah merupkan penyebab efek pada
redistribusi cairan. Walaupun demikian, pada orang normal tekanan darah akan tidak berubah
atau sedikit naik. Respon kompensasi berupa vasokonstriksi, peningkatan detak jantung dan
tekanan darah pada posisi berdiri mengalami gangguan pada kondisi setelah tirah baring yang
lama, kondisi ini dinamakan hipotensi postural. Gejala dari hipotensi postural yaitu pucat,
berkeringat, pusing, kepala terasa melayang, penurunan tekanan diastolik (lebih dari 20
mmHg), peningkatan detak jantung (biasanya lebih dari 20 x/menit) dan penurunan tekanan
pulsasi. Dapat juga terjadi pingsan.
Selama kondisi tirah baring yang lama, terjadi penurunan yang progresif dari efisiensi
kardiovaskuler, berhubungan dengan penurunan yang progresif dari curah jantung dan volum
sekuncup. Kecepatan nadi meningkat secara progresif. Penurunan toleransi latihan dan
kapasitas kerja juga berkurang. Hal ini berhubungan dengan penurunan pengambilan oksigen.
Mobiliasi dini pada pasien yang menjalani prosedur bedah mayor seperti persalinan
obstetrik dan trauma mayor, dapat menurunkan insidensi tromboembolik. Faktor yang
berhubungan dengan terjadinya peristiwa tromboembolik yaitu kejadian trombosis vena
dalam berhubungan dengan durasi tirah baring. Triad Virchow yaitu stasis, peningkatan
koagulabilitas darah dan cidera pada dinding pembuluh darah. Dua dari tiga faktor ini
dipengaruhi oleh kondisi immobiliasi. Emboli paru merupakan kondisi yang mengancam
jiwa, ditandai dengan dyspneu yang tiba-tiba, takikardia, takipneu, murmur jantung atau
gesekan pleura. Pencegahan dapat berupa injeksi heparin dosis rendah (5000 unit dua kali
sehari) dan latihan intermiten dari otot di betis, paha dan abdomen.
Peningkatan Denyut Jantung dan Penurunan Cardiac Reserve
 Pada immobilisasi denyut jantung meningkat, kemungkinan karena adanya
peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Saat bed rest denyut nadi istirahat jadi
lebih cepat 1 beat permenit setiap 2 hari. Meningkatnya denyut jantung menyebabkan
waktu pengisian diastolik menjadi lebih singkat dan waktu ejeksi sistolik juga
memendiek, akibatnya jantung kurang dapat merespon kebutuhan metabolik lebih
banyak. Semakin pendek waktu diastolic menyebabkan aliran darah koroner
berkurang, sehingga ketersediaan oksigen untuk otot jantung sangat terbatas. Cardiac
output, stroke volume, dan fungsi ventrikel kiri juga akan berkurang. Jika terdapat
sedikit saja aktivitas fisik berlebih akan menyebabkan takikardi dan angina, ini
merupakan tanda bahwa kapasitas kerja sesorang berkurang.
 Untuk mengendalikan efek negatif bed rest dan untuk membangun kembali daya
tahan, pasien hendaknya melakukan latihan ringan. Latihan dapat menggunakan
sepeda ergometer ataupun arm ergometry untuk pasien dengan gangguan pada
ekstremitas bawah.

Impairmen Performa Kardiovaskular


Kapasitas maksimal kardiovaskular menurun secara gradual dengan menurunnya
aktivitas fisik. Penurunan fungsi kardiovaskular diperberat dalam kondisi sakit kronis dan
seseorang dengan disabilitas yang imobile.
Setelah 3 minggu tirah baring, pulsasi istirahat meningkat 10-12 x/menit. Terjadi juga
peningkatan gradual tekanan darah sistolik sebagai respon terhadap peningkatan resistansi
vaskular perifer. Kapasitas kerja yang didapat dari tekanan bilik kiri dan dorongan yang
dihasilkan kontraksi ventrikel mengalami penurunan. Imobilisasi lama menyebabkan terjadi
penurunan menyeluruh terhadap cardiac output dan fungsi bilik kiri.
1. Redistribusi Cairan Tubuh
Ketika berbaring, 500 mL darah berpindah ke rongga dada, denyut jantung melemah,
dan cardiac output meningkat hingga 24%. Selama periode tirah baring, terjadi penurunan
volume darah secara progresif dengan reduksi maksimum pada hari ke-14. Hal ini disebabkan
oleh berkurangnya tekanan darah hidrostatik dan berkurangnya sekresi hormon antidiuresis
(ADH). Volume plasma berkurang lebih banyak dari pada sel darah merah sehingga
meningkatkan viskositas darah dan memungkinkan terjadinya fenomena thromboembolic.
Setelah 24 jam tirah baring terjadi kehilangan plasma darah sebanyak 5%, 10% pada hari ke-
6, dan 20% pada hari ke-14.
Terapi latihan isotonik dua kali lebih efektif daripada latihan isometrik dalam
mencegah hilangnya volume plasma. Hipovolemia disertai sirkulatori stasis akibat tirah
baring merupakan faktor pemicu terjadinya thrombogenesis.
2. Hipotensi Postural
Salah satu efek imobilisasi lama adalah ketidakmampuan sistem kardiovaskular untuk
mengatur dan menyesuaikan dengan posisi tegak atau berdiri.
Pada orang sehat yang berubah posisi dari supinasi ke berdiri setelah berbaring selama
beberapa hari, 500 mL darah berpindah dari rongga dada ke kaki. Sebagai konsekuensi terjadi
peningkatan tekanan vena pergelangan kaki dari 15 cm H2O menjadi 120 cm H2O pada posisi
berdiri. Berkurangnya venous return ke jantung merupakan akibat dari deplesi volume
intravaskular, perubahan komplians vena, dan pooling vena. Hasil akhir yang ditimbulkan
adalah penurunan stroke volume, cardiac output, dan penurunan tekanan darah sistolik yang
signifikan ketika berdiri. Pada kondisi normal, penurunan tekanan darah dicegah dengan
aktivasi sistem simpatis adrenergis. Baroreseptor yang terdapat di atrium kanan, great
thoracic veins, arteri karotid, dan aorta memicu refleks adrenergic dan pelepasan
norepinephrine. Peningkatan norepinephrine dalam plasma mempengaruhi pelepasan renin
dan angiotensin II sehingga kembali merangsang respon simpatetis untuk meningkatkan
denyut nadi dan restorasi tekanan darah sepanjang konstriksi alat gerak bawah dan pembuluh
darah.
Pada imobilisasi lama, sistem sirkulasi tidak dapat mempertahankan tekanan darah
yang stabil dan mencukupkan kebutuhan respon simpatetik vasopressin yang adekuat.
Vasokonstriksi yang terjadi tidak adekuat. Penurunan venous return selama denyut jantung
cepat mencegah pengisian ventrikel secara optimal selama end-diastole sehingga stroke
volume tidak cukup untuk mempertahankan perfusi serebral yang adekuat. Tanda dan gejala
yang ditemukan adalah perasaan kesemutan, rasa terbakar di ekstrimitas bawah, pusing,
kepala terasa melayang, pingsan, vertigo, peningkatan pulsasi ( >20x/menit), penurunan
sistolik ( >20 mmHg ), dan penurunan pulse pressure.
Pada orang sehat, adaptasi terhadap posisi berdiri akan hilang setelah tirah baring
selama 3 minggu. Peningkatan denyut jantung yang signifikan dan penurunan tekanan sistolik
terjadi setelah beberapa hari berbaring pada pasien sepsis, trauma, atau penuaan. Proses untuk
mengembalikan lagi respon kardiovaskular postural normal memerlukan waktu 20-72 hari.
Orang tua memerlukan waktu lebih lama untuk restorasi selama remobilisasi.
Mobilisasi dini adalah langkah efektif untuk mengatasi hipotensi orthostatik dan
termasuk latih ROM, latihan penguatan pada supinasi dan berdiri, dan ambulasi progresif.
Penguatan abdominal dan latihan isotonik-isometrik melibatkan kaki optimal untuk
mereversikan stasi vena dan pooling. Alat bantu dengan stocking elastic dapat digunakan
3. Deep Venous Thromboembolism
Venous thromboembolism terjadi akibat stasis pada vena dan peningkatan
koagulabilitas darah. Stasis terjadi pada daerah kaki diikuti penurunan kontraksi otot
gastrocnemius dan soleus. Mayoritas thrombus vena dalam terjadi pada daerah betis.
Lamanya tirah baring berkaitan secara langsung dengan frekuensi munculnya thrombosis
vena dalam.
Gejala dan tanda yang umumnya muncul adalah sakit dan nyeri tekan,
pembengkakan, distensi vena, sianosis, ataupun kemerahan pada daerah yang thrombosis.
Pemeriksaan yang lebih sensitif dan spesifik dapat menggunakan USG Doppler, impedance
plethysmography, dan venografi kontras.
Diagnosis banding untuk hipotensi ortostatik adalah neuropati otonom yang
berhubungan dengan diabetes melitus, penyakit Addison atau hipotensi ortostatik kronis
idiopatik. Penggunanan pakaian antigravitasi dapat memperbaikin kondisi hipotensi postural.
Terapi thromboemboli vena adalah dengan mengurangi stasis vena dengan fisioterapi
seperti latihan, elevasi kaki, penggunaan stocking elastic, ambulasi dini, dan kompresi
mekanis. Untuk mengurangi koagulabilitas darah dapat menggunakan dextran, acetylsalicylic
acid atau antikoagulan seperti heparin dan warfarin.
Prinsip Pencegahan dan Rekondisi
Beberapa cara dilakukan untuk mencegah hipotensi ortostatik. Yang paling efektif
adalah mobilisasi dini dan latihan penguatan otot mayor secara progresif. Kontraksi otot
abdomen dan kaki meningkatkan pengembalian darah vena. Jika terjadi edema pada
ekstremitas bawah, tinggikan posisi kaki pada posisi terlentang, ubah posisi, dan
penggunakan pakaian khusus (Ace bandage wrapping, full-length elastic stocking, abdominal
binders).
Pada pasien dengan hipotensi postural yang berat dan paraplegia atau quadriplegia,
dibutuhkan meja yang dapat diubah kemiringannya. Peningkatan sudut secara bertahap dapat
mengontrol perubahan tekanan darah.
Rekondisi dengan latihan dengan intensitas 65% atau kurang dari detak jantung
maksimal, kemudian dinaikkan menjadi 70-80%. Secara umum, peningkatan detak jantung
20 x/menit selama masa latihan merupakan petunjuk yang baik apakah latihan dapat
meningkatkan kebugaran kardiovaskuler. Dengan latihan yang teratur, akan meningkatkan
curah jantung dan pengambilan oksigen (VO2maks). Tekanan darah pun akan menurun
kemungkinan karena penurunan resistensi pembuluh darah perifer.

DAMPAK IMOBILISASI TERHADAP SISTEM PULMONAL


Komplikasi sistem pernapasan akibat imobilisasi dapat mengancam jiwa. Perubahan
awal yang terjadi muncul akibat keterbatasan gerak rongga dada pada posisi supinasi dan
gravitasi mempengaruhi perfusi pada bagian-bagian yang berbeda di paru-paru.
Keseimbangan antara perfusi dan ventilasi terganggu saat berbaring. Perubahan posisi dari
berdiri ke supinasi mengurangi 2% kapasitas vital, 7% kapasitas paru-paru total, 19% volume
residual, dan 30% kapasitas fungsional residual. 25% kapasitas vital dan 50% kapasitas
reservasi fungsional akan berkurang pada imobilisasi lama. Mekanisme yang bertanggung
jawab pada kondisi ini termasuk keterbatasan gerak diafragma pada posisi supinasi,
berkurangnya ekskursi rongga dada, penurunan ROM sendi kostovertebral dan kostokondral
secara progresif, dan napas yang dangkal dengan konsekuensi peningkatan laju pernapasan.
Klirens sekret menjadi lebih sulit pada posisi berbaring. Pada dinding posterior
terakumulasi lebih banyak sekret, sedangkan bagian anterior lebih kering mengakibatkan
siliar tidak efektif untuk mengeluarkan sekret sehingga terkumpul di bagian bawah bronchial
tree.
Otot interkostal dan otot respiratorius aksilaris untuk napas dalam kehilangan
kekuatan dan enduransinya. Pencegahan dan penatalaksanaan melibatkan mobilisasi dini,
sering melakukan respiratory toileting, dan perubahan posisi yang sering.
Pasien dengan posisi berbaring harus dimotivasi untuk melakukan pulmonary
toiletingi rutin, napas dalam, dan latihan batuk untuk mempertahankan hidrasi yang adekuat.
Insentif spirometer, perkusi dada, drainase postural dengan suction orofaringeal akan
mencegah aspirasi dan atelektasis.

DAMPAK IMOBILISASI TERHADAP SISTEM GENITOURINARI


Pada posisi berbaring, baik aliran darah renal dan eliminasi air renal (diuresis)
meningkat. Hal ini diikuti dengan peningkatan ekskresi sodium dan potasium. Hilangnya
kalsium dan fosfor juga dapat terjadi, menetap lama setelah dimulainya remobilisasi.
Hiperkalsiuria dan fosfaturia berperan terhadap pembentukkan batu ginjal dan kandung
kemih, menyebabkan hematuria, infeksi saluran kencing, dan urosepsis. Sebagai tambahan,
drainase urin dari renal pelvis dan ureter berkurang tanpa adanya bantuan gravitasi,
menghasilkan stagnansi urin, yang selanjutnya mendukung pembentukan batu ginjal.
Pengosongan kandung kencing terganggu karena gangguan pada posisi supinasi,
dimana lebih sulit menghasilkan tekanan intra-abdomen. Kelemahan otot abdomen,
keterbatasan gerakan diafragma, dan relaksasi pelvic floor yang inkomplit, berperan sedikit
terhadap retensi urin.
Batu ginjal, biasanya struvate dan carbonate-apatite stone, umum ditemukan (15-30%
dari pasien imobilisasi). Hiperkalsiuria dan retensi urin dikombinasikan akan menghasilkan
lingkungan yang mendukung pembentukan batu ginjal. Retensi urin membiarkan
perteumbuhan berlebihan dari bakteri pemecah urea; meningkatkan pH urin dan ammonia
dan membiarkan presipitasi kalsium dan fosfor. Sekali terbentuk, batu kandung kencing
menciptakan nidus untuk pertumbuhan bakteri, menyempurnakan siklus batu-proliferasi
bakteri. Batu juga menyebabkan mikrotrauma terhadap lapisan mukosa kandung kencing,
meningkatkan kemungkinan infeksi bakteri.
Asupan cairan yang cukup dan asidifikasi urin akan mengurangi kolonisasi bakteri pada
pasien imobilisasi. Complete bladder emptying harus didorong dengan posisi tegak saat
BAK. Jika ada kecurigaan retensi, volume residu harus diambil. Kateter urin mungkin
diperlukan pada beberapa pasien.
Pencegahan munculnya batu tersebut dengan memberi asupan cairan yang cukup,
membiasakan diri buang air kecil dalam posisi berdiri/duduk, dan pencegahan kontaminasi
instrumen (kateter). Untuk terapi dapat diberikan asidifikasi urin dengan vitamin C, aseptik
urinari, atau inhibitor urease pada faktor risiko tinggi. Pasien yang sudah dapat bergerak
dianjurkan untuk melepas kateter dan membiasakan membuang air kecil sambil
duduk/berdiri.

DAMPAK IMOBILISASI TERHADAP SISTEM GASTROINTESTINAL


Imobilisasi menyebabkan kehilangan nafsu makan (terutama makanan kaya protein),
kecepatan absorbsi yang lebih lambat, dan hipoproteinemia. Pasase makanan melalui
esofagus, lambung, dan usus kecil lebih lambat pada posisi berbaring. Untuk pasien yang
belum dapat duduk sempurna disarakan untuk meninggikan badan dan kepala dengan 2-3
bantal saat makan. Imobilisasi juga terjadi peningkatan aktivitas adrenergic sehingga gerakan
peristalsis terhambat dan terjadi konstipasi. Faktor ini ditambah dengan hilangnya volume
plasma dan dehidrasi sering menyebabkan konstipasi. Konstipasi dapat diperburuk dengan
ketidakmampuan pasien menggunakan pispot.
Untuk mencegah konstipasi penting untuk dilakukan progam bowel training. Progam
ini meliputi asupan diet kaya serat (fiber), cairan yang cukup, scheduled post-meal toileting,
dan penggunaan gliserin atau supositori, stool softeners, dan bedside commode atau toilet.

DAMPAK IMOBILISASI TERHADAP METABOLISME DAN ENDOKRIN


Keseimbangan Nitrogen Negatif
Inaktivitas meningkatkan ekskresi nitrogen urin (rata-rata 2 gm per hari), menyebabkan
hipoproteinemia, edema dan penurunan berat badan. Ketika inaktivitas berhubungan dengan
kelaparan atau trauma mayor, seperti fraktur tulang panjang, kehilangan nitrogen harian dapat
mencapai kondisi yang signifikan (8-12 gm per hari).
Ekskresi nitrogen mulai terjadi pada hari kelima atau keenam setelah awal tirah baring,
mencapai puncaknya pada minggu kedua dan terus berlangsung selama immobiliasi.
Penyebab tunggal tidak diketahui, karena terjadi penurunan sintesis protein dan peningkatan
pemecahan protein. Kekurangan triptofan dan niasin yang paling sering terjadi.

Keseimbangan negatif mineral lainnya


Telah diketahui sebelumnya bahwa trauma mayor dan inaktivitas berhubungan dengan
kehilangan berlebihan dari sodium, potassium, sulfur, fosfor, dan magnesium. Seperti yang
ditunjukkan pada gambar di bawah ini:

Inactivity
(Loss of Na, Ca, P, S, K, Mg)

Compound loss of
Trauma Na, Ca, P, S, K,
Mg

Loss of Na, Ca, P, S, K, Mg


due to Trauma Alone

Compound Effect of Trauma and Inactivity on Metabolic Balance

Pada awalnya, inhibisi hormon antidiuretik dipicu oleh peningkatan tekanan vena
sentral (central venous pressure), menghasilkan diuresis dengan peningkatan kehilangan
sodium. Hilangnya sodium paling jelas selama 2 hari pertama recumbency. Hilangnya
potasium biasanya terjadi pada akhir minggu pertama imobilitas. Meskipun ekskresi sodium
dan potasium meningkat selama masa tirah baring, jumlahnya tetap normal.

Perubahan Endokrin
Laju metabolism dasar (basal metabolic rate) berkurang selama seluruh masa tirah
baring. Konsentrasi hormon tiroid selama tirah baring normal, tetapi terdapat variabilitas dari
variasi diurnal hormon tiroid dibandingkan saat sehat.
Selama tirah baring, ditemukan adanya intoleransi karbohidrat yang signifikan. Tes
toleransi glukosa pada pasien yang imobilisasi menunjukkan hiperglikemia dan
hiperinsulinemia. Selama 1 bulan pertama tirah baring, level insulin meningkat bertahap,
meskipun gula darah tetap normal. Peningkatan insulin mencapai puncaknya pada akhir bulan
pertama dan mulai berkurang setelahnya tetapi tidak akan mencapai level normal selama
inaktivitas tetap ada. Level gula darah setelah tirah baring yang lama (1 bulan atau lebih),
dapat turun sampai di bawah nilai normal, menyebabkan krisis hipoglikemia.
Tingkat kortikosteroid di dalam serum selama tirah baring bervariasi di berbagai
pernelitian. Meskipun begiru, ekskresi kortisol urin meningkat. Kelenjar adrenal menjadi
kurang responsif terhadap stimulasi dari adrenocortocotropic hormone. Selama tirah baring
kolesterol meningkat, meskipun LDL berkurang. Lipoprotein akan kembali ke normal setelah
14 hari imobilisasi. Hormone paratiroid meningkat saat imobilisasi dan merupakan faktor
hiperkalsemia pada imobilitas.

PERUBAHAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT


Imobilisasi yang lama dapat menyebabkan perubahan keseimbangan sodium, sulfur,
fosfor, dan potasium. Penurunan sodium terjadi pada awal tirah baring. Hiponatremia pada
orang tua dapat menyebabkan lethargi, disorientasi, anorexia, bahkan kejang.
Penurunan kadar potasium terjadi secara progresif pada minggu awal imobilisasi.
Selain hiponatremia dan hipokalemia juga terdapat hiperkalsemia.

PERUBAHAN PADA SISTEM SARAF


Penurunan fungsi sensoris sering terjadi dan menjadi ancaman pada pasien imobilisasi
lama. Selain masalah sensori, isolasi sosial yang terjadi juga menyebabkan kelabilan
emosional pada pasien, tanpa disertai penurunan fungsi intelektual. Perubahan konsentrasi,
orientasi tempat dan waktu, gelisah, kecemasan, depresi, penurunan ambang batas nyeri,
insomnia, dan iritabilitas biasanya terjadi pada pasien dengan imobilisasi lebih dari 2 minggu.
Isolasi sosial berkepanjangan dengan inaktivitas fisik dapat bermanifestasi menjadi
iritabilitas, hostilitas, berkurangnya kooperasi, kurangnya stabilitas emosional, termasuk
anxietas, perilaku neurotik, dan depresi. Judgement, problem solving, dan kemampuan
belajar, memori, kemampuan psikomotor, dan awareness dapat tergangguBerkurangnya
konsentrasi dan motivasi, depresi, dan berkurangnya kemampuan psikomotor dapat
mencegah tercapainya hasil terapi yang optimal.
Strategi pencegahan yang sesuai adalah dengan stimulus fisik dan psikososial yang
sesuai sejak awal perjalanan penyakit. Pilihannya adalah sesi terapi kelompok, sosialisasi dan
avocational pursuit pada sore atau akhir minggu, dan mendorong interaksi keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
1. Delisa, Joel et al. 1988. Rehabilitation Medicine Principles and Practice. Third edition.
Washington : Lippincot
2. Frederic J. Kottke, Justus F. Lehmann. Handbook of physical medicine and rehabilitation.
Philadelphia : Saunders, 1990

Anda mungkin juga menyukai