Disusun oleh:
Gerry Permadi 1301-1210-0026
Muhammad Febian Satrio 1301-1210-0087
Sarasidya Fatima 1301-1210-0111
Naadira Faaiza binti Mazlan 1301-1210-0196
Anita Cynthia 1301-1211-0053
Natasha Amalda Ediwan 1301-1211-0073
Wan Nurul Nadia bt Wan Seman 1301-1211-3025
Navindhren Nair Kanan 1301-1211-3062
Preceptor :
Sunaryo. B. S., dr., SpKFR
PENDAHULUAN
Pada era sebelum 1950, tirah baring dan imobilisasi digunakan secara luas untuk
penatalaksanaan trauma dan penyakit akut. Hanya saja, belum diketahui bahwa inaktivitas
fisik dapat merusak bagian tubuh yang tidak terkena oleh penyakit tersebut. Akibat yang
tidak diinginkan dari tirah baring pada kondisi sub-akut dan kronik sebenarnya mudah
dicegah dan jika terjadi mudah ditangani apabila gejalanya dapat dikenali. Seseorang dengan
penyakit kronis, usia lanjut, ataupun memiliki disabilitas menjadi faktor risiko efek samping
imobilisasi.
Ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi medik adalah ilmu kedokteran yang bertujuan
untuk mengembalikan fungsi fisik dan psikososial individu sehingga mereka dapat mencapai
level independensi. Pencegahan terjadinya komplikasi akibat imobilisasi merupakan salah
satu prinsip dasar program penatalaksanaan rehabilitasi.
Inactivity
(Bed Rest,
Immobility)
Additional Disability
(Permanent,
Temporary)
Vicious Circle of Inactivity
DEFINISI
Imobilisasi merupakan sebuah keadaaan di mana pasien dalam kondisi tirah baring,
tidak bergerak secara aktif sebagai akibat adanya gangguan pada organ tubuh, baik fisik
maupun mental.
Imobilisasi mengakibatkan penurunan kemampuan reservasi sistem muskuloskeletal
yang mengakibatkan kelemahan otot, atrofi, dan rendahnya enduransi otot. Aktivitas
metabolik dan ekstraksi O2 dalam otot juga menurun dan mempengaruhi kapasitas fungsional
sistem kardiovaskular, termasuk cardiac output dan kapasitas kerja (work capacity). Selain
itu, komplikasi lain akibat imobilisasi lama adalah osteoporosis imobilisasi, hipotensi
postural, dan deep venous thrombosis (DVT). Dalam sebuah temuan klinis ditunjukkan
bahwa mobilisasi awal dapat mengurangi lamanya waktu rawat inap pasien, sedangkan
imobilisasi lama meningkatkan insidensi terjadinya morbiditas pada pasien.
KOMPLIKASI
Berbagai macam efek buruk akibat imobilisasi dikelompokkan dalam sebuah istilah,
yaitu deconditioning. Definisi deconditioning adalah penurunan kapasitas fungsional sistem
muskuloskeletal dan sistem organ tubuh lainnya.
Tabel 1. Efek Samping Imobilisasi
Sistem Efek (Pengaruh)
Muskuloskeletal Kontraktur
Kelemahan otot dan atrofi
Osteoporosis imobilisasi
Hiperkalsemia imobilisasi
Kardiovaskular dan Pulmonal Redistribusi cairan tubuh
Hipotensi orthostatik
Penurunan kapasitas fungsional kardiopulmonal
Thromboembolism
Resitansi mekanik terhadap pernapasan
Pneumonia hipostatik
Genitourinaria dan Gastrointestinal Stasis urinasi, batu saluran kemih, dan infeksi saluran kemih
Kehilangan nafsu makan
Konstipasi
Metabolisme dan Endokrin Gangguan keseimbangan elektrolit
Intoleransi glukosa
Peningkatan produksi hormon paratiroid
Gangguan hormonal
Kognitif dan Perilaku Gangguan fungsi sensoris
Bingung dan diorientasi
Cemas dan depresi
Penurunan kapasitas intelektual
Gangguan keseimbangan dan koordinasi
Penurunan kapasitas
Inaktivitas fungsional sistem
muskuloskeletal
Perubahan Fungsional
Penurunan jumlah ATP dan cadangan glikogen disertai penurunan kemampuan otot
untuk menggunakan asam lemak setelah imobilisasi lama mengakibatkan penurunan
enduransi otot. Kelemahan otot general menyebabkan kurangnya koordinasi dan kualitas
pergerakan pasien saat remobilisasi.
Peningkatan kolagen dan cross-linkage menyebabkan kekakuan otot dan kontraktur
myogenik. Pada ekstrimitas bawah, serabut otot tipe I yang aktif saat ambulasi sering terkena.
Jika otot quadriceps terfiksasi pada posisi memendek, lapisan lebih dalam yaitu vastus
intermedius (dominan tipe I) akan mengalami perubahan histokimia. Selanjutnya, jika otot
ekstensor difiksasi pada posisi ekstensi penuh di sendi atau otot fleksor terfiksasi dalam
kondisi memendek, akan terjadi pengurangan jumlah sarkomer. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya panjang otot istirahat dan perubahan gaya yang diberikan otot ketika
melakukan aktivitas sehari-hari.
Imobilisasi pada posisi memendek dapat mengakibatkan serabut otot kehilangan 40%
sarkomer. Peregangan rutin selama ½-1 jam dapat mencegah kehilangan sarkomer tersebut.
Untuk mendapatkan fungsi otot yang adekuat, peregangan untuk mempertahankan resting
length optimal adalah faktor utama. Laju atrofi setiap otot berbeda. Quadriceps, otot panggul,
otot ekstensor punggung atrofi dengan cepat menyebabkan penurunan enduransi ketika
berjalan dan menimbulkan rasa nyeri punggung.
Pencegahan dan Penatalaksanaan
Kelemahan otot akibat tidak digunakan sederhana untuk dicegah. Pasien perlu
dimotivasi untuk tetap melakukan aktivitas normal. Kekuatan otot dapat dipertahankan
dengan program kontraksi otot dari 30-50% maximal tension selama beberapa detik setiap
hari. Kelemahan otot dan atrofi dapat dicegah dengan penggunaan stimulasi elektrik untuk
menjaga ukuran otot dan kekuatannya serta dapat memperpendek waktu rehabilitasi. Dapat
pula dilakukan stimulasi dengan direct rectangular biphasic pulse sebanyak 3 sesi per hari
selama 30 menit. Pada kondisi imobilisasi lama yang mengakibatkan kontraktur terfiksasi,
dibutuhkan peregangan dan penguatan otot selama beberapa bulang dan kekuatan otot tidak
dapat kembali seutuhnya.
E. Latihan Fungsional
Pemeliharaan dan pemulihan fungsi
Stimulasi elektrik pada otot yang parese untuk melatih kekuatan otot
Ambulasi untuk menjaga fungsi normal sendi yang lain
Menghindari kebiasaan buruk dalam ambulasi dan postur, dan mengoptimalkan
program kekuatan dan ketahanan (strength and endurance program) untuk
mencegah kontraktur yang berulang
3. Imobilisasi Osteoporosis
Massa tulang akan meningkat bila ada beban dan akan berkurang jika tidak terdapat
aktivitas otot
Massa tulang mulai berkurang pada decade ke4-5 kehidupan, terjadi sangat cepat pada
wanita saat 5-7 tahun pertama setelah menopause
Imobilisasi menyebabkan penurunan kepadatan tulang, dicirikan dengan hilangnya
kalsium dan hidroksiprolin dari cancellous bone epifisis dan metafisis tulang panjang.
Penyebab utama adalah resorpsi tulang yang belum diketahui. Osteoporosis ini dapat
dicegah dengan latihan isotonic atau isometric, ambulasi.
Pasien dengan imobilisasi lama juga mengalami hiperkalsemia dan hiperkalsiuria.
Tanda hiperkalsemia yaitu anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, konstipasi,
bingung dan bisa menjadi koma. Hal ini dapat diobati dengan hidrasi dengan normal
salin dan dieresis furosemid.
Terapi inhibisi resorpsi tulang dengan diberikan bifosfonat.
KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR
Komplikasi kardiovaskular dari immobilisasi adalah peningkatan denyut jantung,
penurunan cardiac reserve, hipotensi ortostatik, dan venous thromboembolism. Gangguan
kapasitas fungsional kardiovaskuler merupakan komplikasi yang umum terjadi pada tirah
baring yang berkepanjangan dan inaktivitas. Ada 4 manifestasi yaitu: (1) redistribusi cairan
tubuh, (2) hipotensi postural, (3) cardiovascular deconditioning, (4) fenomena
tromboembolik.
Pada posisi berbaring terlentang, tekanan hidrostatik pada kolom di pembuluh darah
menghilang, sehingga 500-700 ml darah kembali dari kaki ke paru-paru dan jantung bagian
kanan, meningkatan volum darah sentral dan distensi dari baroreseptor. Hal ini akan
menyebabkan supresi dari hormon anti diuretik. Beberapa hari dari tirang baring akan
menghasilkan diuresis yang signifikan, menurunkan volum plasma 8-12%. Selama 2-4
minggu, penurunan akan mencapai 15-20%. Peningkatan volum darah sentral yang terjadi
pada posisi berbaring akan meningkatkan detak jantung, volum sekuncup, dan keluaran
jantung. Aktivasi baroreseptor pada atrium menyebabkan pengembalian kondisi ini yaitu
penurunan volum sekuncup dan curah jantung hingga 6-13%.
Peningkatan hematokrit dan penurunan massa sel darah merah minimal terjadi pada
tirah baring yang berkepanjangan. Walaupun demikian, penurunan volum plasma lebih tinggi
daripada penurunan massa sel darah merah sehingga meningkatkan viskositas darah yang
kemungkinan menyebabkan tromboembolik.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pergeseran cairan ekstraseluler yang terjadi
pada posisi berdiri akan menyebabkan penurunan curah jantung awal (25%), penurunan
volum sekuncup (40%) dan kompensasi berupa peningkatan detak jantung (25%). 10-15%
volum darah bergeser ke kaki (utamanya pada intramuskuler dalam dan sistem vena
intermuskuler), meningkatkan tekanan vena menjadi 120 cm air. 10-20% peningkatan volum
plasma pada ruang ekstraseluler pada ekstremitas bawah merupkan penyebab efek pada
redistribusi cairan. Walaupun demikian, pada orang normal tekanan darah akan tidak berubah
atau sedikit naik. Respon kompensasi berupa vasokonstriksi, peningkatan detak jantung dan
tekanan darah pada posisi berdiri mengalami gangguan pada kondisi setelah tirah baring yang
lama, kondisi ini dinamakan hipotensi postural. Gejala dari hipotensi postural yaitu pucat,
berkeringat, pusing, kepala terasa melayang, penurunan tekanan diastolik (lebih dari 20
mmHg), peningkatan detak jantung (biasanya lebih dari 20 x/menit) dan penurunan tekanan
pulsasi. Dapat juga terjadi pingsan.
Selama kondisi tirah baring yang lama, terjadi penurunan yang progresif dari efisiensi
kardiovaskuler, berhubungan dengan penurunan yang progresif dari curah jantung dan volum
sekuncup. Kecepatan nadi meningkat secara progresif. Penurunan toleransi latihan dan
kapasitas kerja juga berkurang. Hal ini berhubungan dengan penurunan pengambilan oksigen.
Mobiliasi dini pada pasien yang menjalani prosedur bedah mayor seperti persalinan
obstetrik dan trauma mayor, dapat menurunkan insidensi tromboembolik. Faktor yang
berhubungan dengan terjadinya peristiwa tromboembolik yaitu kejadian trombosis vena
dalam berhubungan dengan durasi tirah baring. Triad Virchow yaitu stasis, peningkatan
koagulabilitas darah dan cidera pada dinding pembuluh darah. Dua dari tiga faktor ini
dipengaruhi oleh kondisi immobiliasi. Emboli paru merupakan kondisi yang mengancam
jiwa, ditandai dengan dyspneu yang tiba-tiba, takikardia, takipneu, murmur jantung atau
gesekan pleura. Pencegahan dapat berupa injeksi heparin dosis rendah (5000 unit dua kali
sehari) dan latihan intermiten dari otot di betis, paha dan abdomen.
Peningkatan Denyut Jantung dan Penurunan Cardiac Reserve
Pada immobilisasi denyut jantung meningkat, kemungkinan karena adanya
peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Saat bed rest denyut nadi istirahat jadi
lebih cepat 1 beat permenit setiap 2 hari. Meningkatnya denyut jantung menyebabkan
waktu pengisian diastolik menjadi lebih singkat dan waktu ejeksi sistolik juga
memendiek, akibatnya jantung kurang dapat merespon kebutuhan metabolik lebih
banyak. Semakin pendek waktu diastolic menyebabkan aliran darah koroner
berkurang, sehingga ketersediaan oksigen untuk otot jantung sangat terbatas. Cardiac
output, stroke volume, dan fungsi ventrikel kiri juga akan berkurang. Jika terdapat
sedikit saja aktivitas fisik berlebih akan menyebabkan takikardi dan angina, ini
merupakan tanda bahwa kapasitas kerja sesorang berkurang.
Untuk mengendalikan efek negatif bed rest dan untuk membangun kembali daya
tahan, pasien hendaknya melakukan latihan ringan. Latihan dapat menggunakan
sepeda ergometer ataupun arm ergometry untuk pasien dengan gangguan pada
ekstremitas bawah.
Inactivity
(Loss of Na, Ca, P, S, K, Mg)
Compound loss of
Trauma Na, Ca, P, S, K,
Mg
Pada awalnya, inhibisi hormon antidiuretik dipicu oleh peningkatan tekanan vena
sentral (central venous pressure), menghasilkan diuresis dengan peningkatan kehilangan
sodium. Hilangnya sodium paling jelas selama 2 hari pertama recumbency. Hilangnya
potasium biasanya terjadi pada akhir minggu pertama imobilitas. Meskipun ekskresi sodium
dan potasium meningkat selama masa tirah baring, jumlahnya tetap normal.
Perubahan Endokrin
Laju metabolism dasar (basal metabolic rate) berkurang selama seluruh masa tirah
baring. Konsentrasi hormon tiroid selama tirah baring normal, tetapi terdapat variabilitas dari
variasi diurnal hormon tiroid dibandingkan saat sehat.
Selama tirah baring, ditemukan adanya intoleransi karbohidrat yang signifikan. Tes
toleransi glukosa pada pasien yang imobilisasi menunjukkan hiperglikemia dan
hiperinsulinemia. Selama 1 bulan pertama tirah baring, level insulin meningkat bertahap,
meskipun gula darah tetap normal. Peningkatan insulin mencapai puncaknya pada akhir bulan
pertama dan mulai berkurang setelahnya tetapi tidak akan mencapai level normal selama
inaktivitas tetap ada. Level gula darah setelah tirah baring yang lama (1 bulan atau lebih),
dapat turun sampai di bawah nilai normal, menyebabkan krisis hipoglikemia.
Tingkat kortikosteroid di dalam serum selama tirah baring bervariasi di berbagai
pernelitian. Meskipun begiru, ekskresi kortisol urin meningkat. Kelenjar adrenal menjadi
kurang responsif terhadap stimulasi dari adrenocortocotropic hormone. Selama tirah baring
kolesterol meningkat, meskipun LDL berkurang. Lipoprotein akan kembali ke normal setelah
14 hari imobilisasi. Hormone paratiroid meningkat saat imobilisasi dan merupakan faktor
hiperkalsemia pada imobilitas.