Anda di halaman 1dari 9

ISU KODE ETIK DALAM PELAYANAN

DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH MANAJEMEN


KLINIK

DOSEN PENGAMPU : ARIF SISWANTO, SST.TW

DISUSUN OLEH :

INTAN PERMATA SARI

P27229017017

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA

JURUSAN TERAPI WICARA

PRODI D-IV TERAPI WICARA ALIH JENJANG

2017
KATA PENGANTAR

Dengan Puji Syukur pada Tuhan yang Maha Esa, penyusun dapat
menyelesaikan artikel tentang ISU KODE ETIK. Penulisan artikel ini merupakan
salah satu tugas untuk matakuliah Managemen Klinik.

Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak


kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat penyusun harapkan demi penyempurnaan
pembuatan artikel ini. Penyusun berharap artikel ini dapat membantu untuk
memperluas ilmu mengenai ISU KODE ETIK.

Semarang, 26 November

Penyusun
A. PENDAHULUAN
Dalam bebapa tahun ini kita sering mendengar tentang malpraktek
yang dilakukan oleh beberapa tenaga medis. Malpraktek merupakan kelalaian
dari tenaga medis untuk menggunakan ilmu dan keterampilan untuk
mengobati pasien atau orang yang mengalami masalah medis.
Kelalaian yang dimaksud diantaranya kelalaian pada diagnosa,
pemberian obat, pemberian terapi atau kelalaian penanganan pasien oleh
tenanga medis. Dalam malpraktek kerugian akan dirasakan oleh kedua belah
pihak, baik dari tenaga medis yang melakukan malpraktek maupun oleh
pasien. Tetapi kerugian yang paling besar akan dirasakan oleh pasien, bukan
hanya kerugian materi. Kerugian dari sisi mental dan kejiwaan pasien dan
keluarga.
Dalam Terapi Wicara, terjadinya malpraktek bisa saja menimbulkan
hilangnya nyawa pada pasien. Di Indonesia, banyak dari pasien yang
mengalamai malpraktek enggan untuk meminta haknya. Hal ini dikarenakan
kurangnya pengetahuan tentang peraturan yang ada di Undang-Undang
Kesehatan. Dalam Undang-Undang kesehatan pasien dijamin untuk
mendapatkan pelayanan yang layak dan aman. Berdasarkan penjabaran di
atas, penulis tertarik untuk menyusun artikel malpraktek dalam pelayanan
Terapi Wicara.
B. ISI
Malpraktek merupakan kelalaian seorang tenaga kesehatan untuk
menggunakan keterampilan dan ilmu pengetahuan yang di miliki dalam
mengobati pasien. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, malpraktek
medik adalah suatu tindakan atau perbuatan medik yang dilakukan atau
diselenggarakan dengan jalan yang tidak baik atau salah atau tidak sesuai
norma.
Standart pelayanan medik adalah suatu pedoman yang harus diikuti
oleh tenaga medis dalam menjalankan pelayanannya. Standart pelayanan
medis juga sebagai pedoman dan pengawasan dalam tindakan pelayanan.
Selain itu, untuk melindungi tenaga kesehatan dari tuntutan yang tidak wajar
dari masyarakat luas. Dan untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang
tidak sesuai dari tenaga kesehatan.
Standart pelayanan medik ini juga dijadikan pedoman pelayanan
tenaga kesehatan dengan pemberian diagnosis yang seragam. Dalam arti tidak
memberikan istilah diagnosis yang berbeda-beda. Standart pelayanan medis
juga difungsikan sebagai pembuktian di pengadilan bila terjadi masalah.
Selain standart pelayanan, tenaga kesehatan juga terikat dengan kode
etik profesi dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila melanggar kode etik akan dikenakan sanksi pada organisasi
profesinya. Bahkan bisa mendapat sanksi pidana atau perdata.
Profesi Terapi Wicara mempunyai kode etik. Kode etik Terapi Wicara
untuk pedoman dalam menjalankan pelayanan terapi. Kode etik terapi wicara
Bab I tentang pedoman umum, Bab II tentang Hubungan profesional, Bab III
tentang Pemberian jasa/praktik terapi wicara, Bab IV tentang pernyataan, bab
V tentang karya cipta, bab VI mengenai pengawasan pelaksanaan kode etik.
Dalam bab III tentang pemberian jasa/praktik terapi wicara. Salah satu
pelanggaran adalah adanya malpraktek. Kelalaian terapis wicara dalam
pemberian pelayanan terapi bisa saja terjadi. Malpraktek memang menjadi
masalah besar dalam dunia kesehatan.
Terapis wicara mempunyai kewenangan dalam menangan
permasalahan bahasa, bicara, irama kelancaran, suara, dan menelan. Dalam
setiap ranah penanganan terapi, resiko malpraktek bisa terjadi.
Salah satu contoh dalam malpraktek saat melakukan intervensi pada
anak. Pada kasus anak dengan kondisi hiperaktif. Anak yang hiperaktif
cenderung tidak bisa diam. Senang berlari dan kurang dalam atensi. Kelalaian
terapis wicara saat sesi terapi bisa mengakibatkan anak terluka, dalam
beberapa kasus yang sering. Anak bisa terbentur sudut meja/kursi atau anak
jatuh dan mengalami cedera.
Terjadinya malpraktek juga bisa dari berbagai faktor. Misalnya
terapis wicara tidak memperhatikan letak alat maupun letak barang-barang
pelengkap ruang terapi, misalnya tisu, sabun cuci tangan, alat-alat tulis. Maka
peluang terjadi malpraktek bisa terjadi. Contoh kasus anak dengan ADHD
yang tingkat hiperaktifnya tinggi bisa saja langsung mengambil pulpen atau
pensil dan bisa melukai anak sendiri, atau anak mengambil tisu dan
memasukkan ke dalam mulut sehingga bisa terjadi aspirasi. Ataupun anak
bisa mengambil sabun cuci tangan dan memakannya, maka akan terjadi
keracunan, hal ini merupakan bentuk kelalaian dari terapis wicara dalam
tataletak alat-alat terapi.
Contoh lain tetap dalam kasus anak, adalah Cerebral Palsy (CP). Pada
anak dengan CP biasanya mengalami spastisitas yang tinggi pada anggota
tubuh tanpa kecuali oral cavity nya. Anak CP akan mengalami kekakuan pada
organ oral, seperti bibir, lidah, dan rahang. Hal ini akan menimbulkan
permasalahan tidak hanya masalah bicara melainkan masalah menelan. Maka
perlunya intervensi terapi wicara pada kasus ini.
Pemberian intervensi pada kasus CP, terapis wicara akan melakukan
massage dan oral motor excercise. Biasanya terapis wicara menggunakan
sikat lidah untuk memberi stimulasi pada pipi dalam, hard palate, dan lidah.
Ini bertujuan untuk memunculkan reflek menelan pada anak.
Malpraktek pada kasus ini juga bisa terjadi, yaitu pada saat melakukan
oral motor excercise dengan menggunaka sikat. Terapis wicara yang tidak
memperhatikan saat memberikan stimulasi maka bisa melukai atau
menggores bagian oral anak.
Selain hal itu, biasanya anak CP akan mudah sekali kejang.
Sebagaaiterapis wicara harus siap siaga dan tidak boleh lalai untuk
meminimalisir kejang pada anak. Malpraktek terapi wicara bisa saja terjadi
dengan hal ini. Saat anak tiba-tiba kejang, dan terapis tidak memperhatikan
atau lalai, contohnya terapis asik dengan ponselnya, atau terapis melakukan
hal lain sambil melakukan terapi. maka anak CP yang tiba-tiba kejang,
kondisinya bisa lebih fatal. Bisa memperparah kondisi spatiknya ataupun bisa
saja meninggal.
Anak CP juga mengalami masalah menelan. Dalam ilmu terapi wicara
disebut disfagia sehingga anak sulit membuka mulut, mengunyah,
menggerakan lidah, dan menelan. Sebagai terapis wicara juga harus memberi
latihan menelan. Setelah oral motor dan massage, latihan menelan dengan
cara memberikan bolus dengan konsistensi tertentu.
Sebagai terapis wicara, harus mengerti konsistensi yang tepat yang
harus diberikan kepada pasien agar pasien tidak mengalami asrpirasi maupun
penetrasi. Jika terapis wicara lalai, maka terjadiny malpraktek akan mungkin
terjadi. Saat terapis asal-asalan melakukan latihan menelan maka akan terjadi
aspirasi maupun penetrasi pada anak.
Pada anak yang normal biasa nya memiliki reflek untuk
mengeluarkan benda asing saat tersedak. Tetapi pada anak dengan memiliki
permasalahan akan sulit melakukan reflek tersebut. Maka tersedak ini akan
mimbulkan akibat yang fatal. Pasien bisa kehilangan nyawa karena adanya
benda asing yang menyumbat saluran nafas, senhingga mengakitbatkan
terjadinya gagal nafas.
Tidak hanya pada kasus anak, pada pasien dewasa pun resiko terjadi
malpraktek. Pada kasus dewasa seperti stroke yang menimbulkan banyak
gangguan, misalnya adanya disfagia, afasia maupun disartria.
Malpraktek yang terjadi hampir sama dengan kasus anak maupun
dewasa. Pada disatria misalnya, terapis wicara juga akan melakukan oral
motor exercise. Salah satu alay yang digunakan adalah tongue spatel, gloves,
dan macam-macam alat latihan seperti benang kasur, sedotan dan lain-lain.
Seperti menggunakan benang kasur untuk latihan kekuatan otot bibir.
Resiko terjadi malpraktek bisa terjadi karena jika terapis lalai, benang untuk
latihan akan masuk ke mulut, dan bisa saja tertelan, maka aspirasi ini bisa
saja terjadi dan bisa mengakibatkan hilangnya nyawa.
Untuk disfagia pada pasien dewasa. Intervensi dilakukan oleh terapis
wicara dengan pasif dan aktif, terapis akan memberikan teknik, stimulasi,
exercise, konsistensi diet pada pasien. Setiap pasien disfagia memiliki
konsistensi yang berbeda satu sama lain, dilihat dari gangguan yang dimiliki.
Pemberian konsistensi makanan atau minuman yang salah akan
berakibat terjadinya aspirasi pada pasien. Tidak hanya memperhatikan
konsistensi makanan dan minuman. Jumlah volum makanan dan minuman
juga di perhatikan, maka jika terapis lalai, aspirasi juga bisa terjadi.
Pasien disfagia dewasa biasanya juga dalam posisi berbaring, pada
saat pemberian latihan menelan. Terapis harus memperhatikan postur pasien.
Jika tidak resiko malpraktek yaitu aspirasi bisa terjadi, karena postur tubuh
pasien akan mempengaruhi kemampuan dalam menelan.
Selain itu, kesiapan pasien dalam menjalani latihan juga diperhatikan.
Saat pasien belum siap untuk menelan dan terapis tidak memperhatikan,
reisko aspirasi bisa terjadi. Dan akan berakibat terjadinya malpraktek.
Sebagai terapis wicara harus bisa mengetahui terjadinya aspirasi, karena
pasien tidak bisa berbicara jadi terapis harus mengetahui tanda-tanda terjadi
aspirasi.
Apabila pasien mengalami malpraktek, dan pihak keluarga menuntut,
maka terapis harus siap untuk mempertanggungjawabkan. Karena sudah ada
di atur dalam undang-undang. Untuk menghindari malpraktek yang terjadi,
maka terapis harus sungguh-sungguh dalam menjalankan intervensi,tidak
mementingkan kepentingan pribadi, dan taat akan peraturan yang berlaku.
C. KESIMPULAN
Malpraktek merupakan kelalaian dari tenaga kesehatan dalam
menjalani tugas. Dalam terapi wicara malpraktek juga bisa terjadi, pada kasus
anak maupun dewasa, kelalaian bisa saja dilakukan oleh terapis wicara.
Terutama terjadi nya aspirasi dalam penanganan kasus sangat tinggi.
Maka sebagai klinisi, terapis wicara harus benar-benar menerapkan
ilmunya dengan sungguh-sungguh. Tidak mementingkan kepentingan pribadi.
Apabila terjadi malpraktek terapis wicara harus siap mempertanggung
jawabkan sesuai dengan undang-undang yang ada.
Maka kode etik disini penting untuk rambu-rambu terapis wicara
dalam menjalankan terapi dan sebagai pelindung atau mencegah terjadinya
malpraktek.

Anda mungkin juga menyukai